Anda di halaman 1dari 158

PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN LXVIII

Current Evidences in Pediatric


Emergencies Management

Penyunting:
Murti Andriastuti
Irene Yuniar
Wahyuni Indawati
Nina Dwi Putri

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang memperbanyak, mencetak dan menerbitkan sebagian atau seluruh
buku dengan cara dan dalam bentuk apapun juga tanpa seizin penulis dan
penerbit

Diterbitkan oleh:
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM

Cetakan Pertama 2014

ISBN 978-979-8271-50-2

ii
Kata Sambutan
Ketua Departemen IKA FKUI - RSCM

Assalamualaikum wr.wb
Salam sejahtera untuk kita semua.
Emergensi merupakan salah satu pilar penting dari ilmu kedokteran termasuk
ilmu kesehatan anak. Keterlambatan atau kesalahan diagnosis dan tatalaksana
pada emergensi anak dapat menyebabkan mortalitas maupun sekuele di
kemudian hari. Hal inilah yang mendasari pentingnya penanganan awal yang
tepat pada emergensi anak.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
perkembangan ilmu emergensi anak juga berkembang dengan pesat. Berbagai
studi terus dilakukan baik di Indonesia maupun di dunia mengenai emergensi
pada anak. Studi-studi tersebut dapat memberikan data-data terbaru yang
bermanfaat untuk pengembangan dan acuan terapi pada ilmu emergensi
pada anak.
Berbeda dengan penanganan di bidang lain, penanganan emergensi
memiliki tantangan tersendiri. Tatalaksana pasien gawat dan berlomba
dengan waktu menuntut dokter harus berpikir dan bertindak cepat dalam
menentukan diagnosis dan tatalaksana. Namun demikian, harus dipastikan
bahwa keputusan penanganan yang diambil berdasarkan bukti ilmiah terkini
sebagai landasan evidence-based medicine.
Oleh karena itu, seminar “current evidence in pediatric emergencies
management” ini diharapkan dapat menjaga dan meningkatkan kompetensi
sejawat di bidang emergensi anak sebagai upaya peningkatan kualitas pelayanan
pada kasus-kasus yang berkaitan dengan emergensi di bidang pediatrik.
Ucapan terima kasih saya ucapkan kepada para pembicara yang
berkenan berbagi ilmu dan pengalaman. Ucapan terima kasih dan apresiasi
saya sampaikan kepada segenap panitia pelaksana di bawah koordinasi Prof.
Dr.Jose RL Batubara, Ph.D , SpA(K) yang telah bekerja keras sehingga acara
ini dapat terlaksana. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada para
mitra Departemen IKA FKUI-RSCM yang telah berkontribusi pada acara ini.

iii
Semoga acara ini dapat menambah wawasan dan keilmuan dibidang
emergensi pediatri untuk seluruh peserta yang pada akhirnya akan
meningkatkan kualitas pelayanan di masing-masing unit emergensi pediatri.
Akhir kata

Wassalamualaikum wr.wb.

Dr. dr. Aryono Hendarto Sp.A (K)


Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM

iv
Kata Sambutan
Ketua Panitia PKB Departemen IKA FKUI-RSCM LXVIII

Sejawat yang terhormat,

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, salam sejahtera untuk kita


semua

Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia


selalu berupaya untuk ikut serta menjaga agar kompetensi sejawat dokter
anak tetap terjaga. Oleh sebab itu, Departemen Ilmu Kesehatan Anak secara
periodic mengadakan Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB) dan
Pengembangan Profesionalisme Berkelanjutan (PPB) atau Continuing Medical
Education and Continuing Professional Development
(CME-CPD) yang telah dilakukan sejak tahun 1980. Hingga saat ini,
Departemen IKA FKUI-RSCM telah menyelenggarakan 67 kali PKB, 28 kali
pelatihan, dan 14 kali simposium untuk awam. Tujuan dari diselenggarakannya
PKB adalah agar pengetahuan dan ketrampilan sejawat dokter anak tetap
terbarukan sesuai dengan bukti yang terakhir.
Dalam kegiatan yang berupa serial simposia ini, tema utama adalah
aplikasi bukti ilmiah dalam praktik klinis dokter anak. Oleh karena itu berbagai
judul yang diberikan kepada pembicara diharapkan memenuhi target ini, dan
muaranya berupa tambahan atau penyegaran tata laksana yang langsung dapat
diaplikasikan pada pasiennya.
Kegawatdaruratan pada pelayanan kesehatan anak dapat terjadi pada
berbagai kesempatan termasuk dalam praktik dokter anak sehari-hari. Pada
kesempatan kali ini, topik yang diketengahkan adalah Current evidences in
pediatric emergency management, yang akan mengangkat berbagai masalah
kegawatdaruratan dari berbagai sub-spesialisasi kesehatan anak.Departemen
Ilmu Kesehatan Anak sebagai bagian dari FKUI mempunyai misi antara
lain menyelenggarakan pendidikan kedokteran bertaraf internasional yang
berbasis kompetensi. Juga sebagai bagian dari RS Dr. Cipto Mangunkusumo
Departemen IKA mengemban tugas melebarkan sayap pendidikannya sehingga
di masa yang akan datang akan ada model pendidikan berkelanjutan lainnya.

v
Kami berharap bahwa buku ini dapat membantu meningkatkan standar
praktik klinik dokter anak.

Hormat kami,

Prof. Dr. Jose R. Batubara, PhD, Sp.A(K)


Ketua Panitia Pelaksana

vi
Kata Pengantar Tim Penyunting

Assalamualaikum Wr. Wb.


Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT kami dapat menyelesaikan
penyuntingan makalah Pendidikan Berkelanjutan ke-LXVIII Departemen Ilmu
Kesehatan Anak FKUI-RSCM. Ucapan terima kasih untuk semua anggota
tim penyunting yang sudah bekerja keras dalam waktu yang relatif singkat.
Kepada Tim PKB kami juga mengucapkan terima kasih atas kepercayaan yang
diberikan untuk menyelesaikan tugas ini. Dalam penyuntingan buku ini, tim
penyunting hanya menyesuaikan format makalah yang ada dengan format yang
berlaku pada semua PKB IKA FKUI-RSCM. Mengenai isi makalah sepenuhnya
adalah tanggung jawab penulis. Kami berharap buku ini bermanfaat bukan
hanya untuk peserta yang hadir, tapi juga dapat dibaca oleh dokter yang tidak
berkesempatan hadir pada acara PKB ini.
Dalam PKB IKA FKUI-RSCM ke-LXVIII dengan topik: Current evidence
in pediatric practices,menampilkan 16 makalah yang disampaikan oleh para
pakar di bidang ilmu kesehatan anak. Para penulis adalah staf Departemen Ilmu
Kesehatan Anak FKUI-RSCM. Topik yang disampaikan adalah mengenai tata
laksana pada kondisi emergensi sehingga diharapkan dapat membantu sejawat
jika mendapatkan kasus emergensi dalam praktek sehari-hari. Tentunya topik
ini sangat diperlukan oleh dokter spesialis anak, dokter umum dan mahasiswa
dalam menangani pasien untuk meningkatkan kompetensinya sesuai amanah
dari undang-undang praktik kedokteran. Kepada semua penulis, kami tim
penyunting mengucapkan terima kasih atas waktu yang sudah disediakan
untuk mengumpulkan literatur dan menuliskannya ke dalam bentuk makalah.
Kami menyadari bahwa buku ini masih jauh dari sempurna. Mohon maaf
jika terdapat kesalahan dalam penyuntingan buku ini. Semoga buku ini dapat
menjadi penyegar dan pedoman sejawat dalam menangani pasien
Wassalamualaikum Wr. Wb.

Jakarta, April 2015


Tim Penyunting
Murti Andriastuti
Irene Yuniar
Wahyuni Indawati
Nina Dwi Putri

vii
viii
Tim PKB FKUI-RSCM

Ketua : Prof. DR. Dr. Sri Rezeki S. Hadinegoro, Sp.A(K)


Wakil Ketua : Dr. Endang Windiastuti, Sp.A(K), MMed(Paed)
Sekretaris : Dr. Sudung O. Pardede, Sp.A(K)
Bendahara : Dr. Bernie Endyarni, Sp.A(K)
Anggota : 1. DR. Dr. Zakiudin Munasir, Sp.A(K)
2. Dr. H. F. Wulandari, Sp.A(K), MMed(Imaging)
3. DR. Dr. Rini Sekartini, Sp.A(K)
4. Dr. Muzal Kadim, Sp.A(K)
5. Dr. Titis Prawitasari, Sp.A(K)
6. Dr. R. Setyo Handryastuti, Sp.A(K)

ix
Susunan Panitia

Ketua Prof. Dr. Jose RL Batubara, PhD, Sp.A(K)


Wakil Ketua DR. Dr. Mulyadi M. Djer, Sp.A(K)
Sekretaris Dr. Bernie Endyarni, Sp.A(K), MPH
Bendahara Dr. Yoga Devaera, Sp.A(K)
Seksi Dana DR. Dr. Aryono Hendarto, Sp.A(K)
Prof. DR. Dr. Sri Rezeki Hadinegoro, Sp.A(K)
Prof. Dr. Jose RL Batubara, PhD, Sp.A(K)
DR. Dr. Zakiudin Munasir, Sp.A(K)
DR. Dr. Hardiono D. Pusponegoro, Sp.A(K)
Dr. Badriul Hegar, PhD, Sp.A(K)
Seksi Ilmiah DR. Dr. Murti Andriastuti, Sp.A(K)
Dr. Wahyuni Indawati, Sp.A(K)
Dr. Irene Yuniar, Sp.A(K)
Dr. Nina Dwi Putri, Sp.A
Seksi Perlengkapan, Dr. Ari Prayitno, Sp.A (K)
Dokumentasi & Pameran Dr. Ratno Juniarto M . Sidauruk, Sp.A
Seksi Sidang DR. Dr. Pustika Amalia, Sp.A(K)
DR. Dr. R. Setyo Handryastuti, Sp.A(K)
Dr. Cahyani Gita Ambarsari, Sp.A
Dr. Putri Maharani, Sp.A
Seksi Konsumsi Dr. HF Wulandari, Sp.A(K), MMed(Imaging)
DR. Dr. Teny Tjitra Sari, Sp.A(K)

x
Daftar Penulis

DR. Dr. Aman B. Pulungan, Sp.A(K)


Divisi Endokrinologi
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

DR. Dr. Aryono Hendarto, Sp.A(K)


Divisi Nutrisi dan Penyakit Metabolik
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

Dr. Darmawan B. Setyanto, Sp.A(K)


Divisi Respirologi
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

DR. Dr. Hardiono D. Pusponegoro, Sp.A(K)


Divisi Neurologi
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

Dr. HF. Wulandari, Sp.A(K), MMed(Imaging)


Divisi Pencitraan
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

DR. Dr. Hindra I. Satari, Sp.A(K), MTropPaed


Divisi Infeksi Tropik
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

DR. Dr. Irawan Mangunatmadja, Sp.A(K)


Divisi Neurologi
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

DR. Dr. Paramita Gayatri, Sp.A(K)


Divisi Gastro-Hepatologi
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

xi
DR. Dr. Pustika Amalia, Sp.A(K)
Divisi Hemato-Onkologi
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

DR. Dr. Rinawati Rohsiswatmo, Sp.A(K)


Divisi Neonatologi
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

DR. Dr. Rismala Dewi, Sp.A(K)


Divisi Pediatri Gawat Darurat
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

DR. Dr. Soedjatmiko, Sp.A(K), MSi


Divisi Pediatri Sosial
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

Dr. Sudung O. Pardede, Sp.A(K)


Divisi Nefrologi
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

DR. Dr. Sukman T. Putra, Sp.A(K), FACC, FESC


Divisi Kardiologi
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

DR. Dr. Zakiudin Munasir, Sp.A(K)
Divisi Alergi Imunologi
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Jakarta

xii
Daftar isi

Kata Sambutan Ketua Departemen IKA FKUI - RSCM........................ iii


Kata Sambutan Ketua Panitia PKB Departemen IKA FKUI-RSCM
LXVIII................................................................................................... v
Kata Pengantar Tim Penyunting........................................................... vii
Tim PKB FKUI-RSCM......................................................................... ix
Susunan Panitia..................................................................................... x
Daftar Penulis....................................................................................... xi

Pemberian Transfusi Darah pada Anemia Berat .................................... 1


Pustika Amalia Wahidiyat, Ludi Dhyani Rahmartani, Pustika Efar
Pemilihan Obat pada Tata Laksana Penyakit Alergi.............................. 12
Zakiudin Munasir
Cyanotic Spells pada Penyakit Jantung Bawaan : Pengenalan dini dan
Tatalaksana.......................................................................................... 21
Sukman Tulus Putra
Tata Laksana Luka Bakar pada Anak................................................... 27
Rismala Dewi
Difteri suatu Penyakit Re-emerging .................................................... 37
Hindra Irawan Satari
Noisy Breathing in Children, When Should be Referred.......................... 47
Darmawan B Setyanto
Peran Endoskopi pada Kasus Emergensi Anak..................................... 60
Pramita G Dwipoerwantoro

xiii
Doppler Ultrasound in Paediatric Emergency Cases................................ 71
H F Wulandari
Hypertensive Emergency in Children...................................................... 77
Sudung O. Pardede
Kejang Demam..................................................................................... 92
Hardiono Pusponegoro
Risiko Penurunan Berat Badan Terlalu Cepat pada Anak Obesitas.... 101
Aryono Hendarto
Kedaruratan pada Tindakan Imunisasi............................................... 115
Soedjatmiko
Hipoglikemia pada Neonatus dan Bayi............................................... 124
Aman B Pulungan
Newborn Emergency Tranport Service (NETS) : Moving intensive care for
kids..................................................................................................... 136
Rinawati Rohsiswatmo

xiv
Pemberian Transfusi Darah
pada Anemia Berat
Pustika Amalia Wahidiyat,
Ludi Dhyani Rahmartani, Pustika Efar

Tujuan:
1. Mengetahui batasan definisi anemia berat pada anak
2. Mengetahui strategi tata laksana anemia berat, baik akut maupun
kronik
3. Mampu melakukan manajemen transfusi masif yang aman pada anak
4. Mengetahui sediaan darah yang terbaik untuk pasien sesuai indikasinya

Latar belakang
Transfusi darah adalah proses memasukkan darah atau komponen darah
dari donor ke dalam sistem peredaran darah resipien. Pada kondisi anemia,
transfusi darah diberikan untuk mengembalikan volume darah normal, serta
memperbaiki oksigenasi dan homeostasis ketika tubuh gagal melakukan
kompensasi terhadap penurunan daya dukung oksigen.1 Anemia berat
didefinisikan sebagai turunnya kadar hemoglobin (Hb) di bawah 5 g/dL
dan dapat disebabkan oleh proses akut seperti perdarahan ataupun kronik
misalnya thalassemia. Kasus anemia berat di negara berkembang memiliki
angka mortalitas cukup tinggi sekitar 8-17%.2
Anemia berat, baik akut maupun kronik, merupakan suatu kondisi yang
dapat mengancam jiwa dan merupakan indikasi transfusi. Praktik transfusi
darah yang aman tentu perlu memperhatikan indikasi transfusi yang tepat dan
pemberian produk darah yang sesuai karena pasien dapat mengalami komplikasi
serius, baik karena anemianya atau pemberian transfusi darah yang tidak tepat.

Definisi anemia dan anemia berat


Definisi anemia pada anak menurut World Health Organization (WHO) adalah
penurunan konsentrasi Hb atau volume sel darah merah di bawah nilai normal
anak sehat sesuai usia. Nilai Hb dan hematokrit (Ht) anak berbeda sesuai
dengan tingkat usianya (Tabel 1).3,4 Pada dewasa, anemia berat didefinisikan

1
Pemberian Transfusi Darah pada Anemia Berat

sebagai kadar Hb < 8 g/dL namun pada anak batasan yang dipakai adalah
kadar Hb < 5 g/dL.2

Tabel 1. Kadar hemoglobin yang didefinisikan sebagai anemia4


Usia Hemoglobin (g/dL) Hematokrit (%)
6 bulan – 4 tahun < 11 < 33
5 – 12 tahun < 11,5 < 35
12 – 15 tahun < 12 < 36
Dewasa lelaki < 13 < 39
Dewasa perempuan (tidak hamil) < 12 < 36
Dewasa perempuan (hamil) < 11 < 33

Penyebab anemia berat


Anemia berat dapat disebabkan oleh kondisi akut maupun kronik. Secara
umum, anemia berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi 2, yaitu gangguan
pembentukan sel darah merah dan kehilangan darah.5

I. Gangguan pembentukan sel darah merah


a. Defisiensi nutrien yang diperlukan untuk produksi sel darah merah.
Gangguan pembentukan sel darah merah dapat disebabkan oleh
defisiensi besi, folat, vitamin B12, vitamin C, protein, dan vitamin
B6. Beberapa penyebab defisiensi tersebut adalah:
i. Asupan yang kurang (misalnya defisiensi besi pada konsumsi susu
sapi yang berlebihan, defisiensi vitamin B12 pada vegetarian)
ii. Peningkatan kebutuhan nutrien (misalnya defisiensi besi pada
fase pertumbuhan cepat, defisiensi folat pada hemolisis)
iii. Penurunan absorpsi nutrien (misalnya defisiensi vitamin B12 pada
kondisi kekurangan faktor intrinsik atau defisiensi besi dan folat
pada sindrom malabsorpsi)
iv. Peningkatan nutrient loss (misalnya defisiensi besi akibat
perdarahan)
b. Kegagalan sumsum tulang, dapat terjadi akibat:
i. Kegagalan 1 galur sel, misalnya prekursor sel darah merah
(misalnya aplasia sel darah merah kongenital atau anemia
Diamond-Blackfan)
ii. Kegagalan seluruh galur sel, ditandai oleh pansitopenia dan
sumsum tulang aselular/hiposelular (misalnya anemia Fanconi,
atau sekunder akibat paparan obat, radiasi, toksin, infeksi HIV)

2
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

iii. Infiltrasi sumsum tulang, dapat disebabkan oleh proses jinak


(osteopetrosis, storage disease) atau proses keganasan (leukemia,
mielofibrosis, neuroblastoma, limfoma)
iv. Anemia dishematopoietik, ditandai oleh penurunan eritropoiesis
dan penurunan utilization, misalnya anemia pada penyakit kronik,
gagal ginjal, gagal hati, malnutrisi, anemia sideroblastik.

II. Kehilangan darah (blood loss)


Kehilangan darah dapat disebabkan oleh perdarahan atau proses hemolitik.
Penyebab anemia hemolitik dibedakan menjadi 2, yaitu intrakorpuskular
dan ekstrakorpuskular:
a. Intrakorpuskular, artinya hemolisis disebabkan oleh kelainan sel darah
merah, dapat berupa defek membran (sferositosis, eliptositosis), defek
enzim (piruvat kinase, glukosa-6-fosfat dehidrogenase/G6PD), atau
defek hemoglobin (anemia sel sabit, thalassemia)
b. Ekstrakorpuskular, artinya hemolisis disebabkan oleh proses
imunologis (misalnya sistemik lupus eritematosus) atau non-
imunologis.

Strategi transfusi pada anemia berat – akut


Anemia berat yang bersifat akut umumnya disebabkan oleh perdarahan, misal
pecahnya varises esofagus, trauma, dan menoragia, atau hemolisis akut pada
kasus autoimmune haemolytic anemia (AIHA) dan defisiensi G6PD. Pada anak
dengan kasus perdarahan, kehilangan darah sedikit saja dapat menimbulkan
dampak yang signifikan karena total volume darah yang kecil (80-90 mL/kg),
sehingga bayi usia < 6 bulan memerlukan transfusi yang lebih agresif, pada
kehilangan volume darah 20-25%, dibandingkan anak besar (kehilangan
volume darah 30-35%).6
Kehilangan darah yang masif merupakan salah satu kegawatan anak
yang masih menjadi tantangan untuk praktisi kesehatan khususnya di bidang
hematologi dan emergensi pediatri. Kehilangan darah masif (massive blood loss)
didefinisikan sebagai kehilangan volume darah sebanyak 80 mL/kg dalam 24
jam. Definisi lain yang dapat digunakan dalam situasi akut adalah kehilangan
50% volume darah dalam 3 jam atau 150 mL/menit.7 Pediatric Trauma Society
mengambil batasan untuk mengaktifkan protokol transfusi masif (massive
transfusion protocol/MTP) yaitu memerlukan transfusi ³ 20 mL/kg darah merah
dalam 1 jam pertama, atau pasien diantisipasi akan terus mengalami perdarahan
hingga 80 mL/kg dalam 24 jam.8

3
Pemberian Transfusi Darah pada Anemia Berat

Prinsip penanganan pada kehilangan darah masif adalah mengembalikan


volume darah pasien, pemeriksaan golongan darah dan crossmatch segera,
menjaga suhu tubuh pasien normotermia (suhu inti tubuh > 36 oC),
mengantisipasi gangguan elektrolit, pemantauan ketat, dan mengatasi
penyebab koagulopati intravaskular diseminata (KID) jika ada. Pemeriksaan

Tabel 2. Rekomendasi transfusi masif pada anak7,8


Target Prosedur Keterangan
Mengembalikan Pasang akses vena perifer berdiam- Akses sentral atau akses perifer
volume sirkulasi eter besar atau vena sentral dengan jarum ukuran besar.
Berikan resusitasi cairan dengan Jaga pasien tetap hangat
kristaloid atau koloid yang telah Hati-hati perdarahan internal yang
dihangatkan tak terlihat
Atasi hipotensi dan oliguria <0,5 mL/
kg/jam
Menghentikan Lakukan tindakan bedah jika diper-
perdarahan lukan
Pemeriksaan labo- DPL, PT, aPTT, thrombin time, Hasil dapat menjadi tidak akurat
ratorium fibrinogen, sampel darah untuk bank pasca pemberian koloid
darah, profil biokimia (GDS, elektro- Pada kondisi emergensi, produk da-
lit), analisis gas darah rah dapat diberikan tanpa menung-
Ulangi pemeriksaan laboratorium gu hasil laboratorium
pasca-transfusi
Pertahankan Hb > Berikan PRC 15 mL/kg, jika: Nilai derajat urgensi transfusi:
8g/dL Hb < 8g/dL, atau Berikan darah merah golongan O Rhesus
Pasien sudah memerlukan3 kali bo- negatif (pada kondisi emergensi ekstrem),
lus cairan 20 mL/kg untuk memper- golongan A/B/O/AB sesuai pasien (jika
tahankan tekanan darah golongan darah diketahui), atau darah
Berikan darah yang telah dihangat- yang sepenuhnya kompatibel (jika waktu
kan (dengan alat khusus) memungkinkan untuk crossmatch)
Pertahankan trom- Berat badan > 30 kg: 1 Unit TC aferesis Batas aman minimal adalah trombosit
bosit >75.000/uL donor tunggal >50.000/uL
Berat badan < 30 kg: ½ Unit TC aferesis
donor tunggal Pertahankan trombosit >100.000/uL
Antisipasi trombosit turun hingga <50.000/ pada perdarahan susunan saraf pusat,
uL setelah transfusi sebanyak 40-80 mL/ trauma multipel, atau jika fungsi trombosit
kg PRC abnormal
Pertahankan PT dan FFP 20 mL/kg, jika:
aPTT <1,5 kali kontrol PT > 15 detik (>1,5x nilai normal), aPTT > PT/aPTT >1,5x nilai normal menin-
40 detik, atau gkatkan risiko perdarahan mikro-
Perdarahan masih terjadi pasca 40 vaskular
mL/kg PRC Pertahankan Ca ion >1,13 mmol/L

Antisipasi FFP diperlukan setelah FFP memerlukan 20-30 menit untuk


transfusi sebanyak 1-1,5x volume thawing
darah
Pertahankan Kriopresipitat 1 Unit/ 10 kg jika: Kriopresipitat jarang diperlukan
fibrinogen Fibrinogen <100 mg/dL, atau kecuali pada KID
>1 g/L (>100 mg/dL) Perdarahan tidak dapat terkoreksi Kriopresipitat memerlukan 20-30
dengan FFP, klinis KID menit untuk thawing
Hindari koagulasi Atasi penyebab yang mendasari KID Mortalitas tinggi pada KID
intravaskular dis- (syok, hipotermia, asidosis)
eminata (KID)

4
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

laboratorium yang diperlukan pada awal penanganan adalah darah perifer


lengkap, golongan darah dan crossmatch, prothrombin time (PT), activated
partial thromboplastin time (aPTT), fibrinogen, glukosa darah, dan analisis gas
darah.8 Berikut adalah ringkasan rekomendasi tata laksana perdarahan masif
pada anak. (Tabel 2)
Kadar Hb, trombosit, kalsium ion, kalium, glukosa, analisis gas darah,
PT, aPTT, dan fibrinogen perlu dipantau secara berkala, tiap 2-3 jam di unit
perawatan intensif (intensive care unit/ICU) atau minimal tiap 6 jam jika
memungkinkan.8 Penanganan yang komprehensif memerlukan kerjasama yang
baik antara dokter yang berupaya menghentikan perdarahan, bank darah, dan
laboratorium.

Strategi transfusi pada anemia berat - kronik


Anemia pada penyakit kronik adalah anemia kedua terbanyak setelah anemia
defisiensi besi. Penyakit kronik yang terbanyak menyebabkan anemia adalah
infeksi (akut maupun kronik), thalassemia, keganasan, autoimun, dan penyakit
ginjal kronik. Mengatasi penyakit dasarnya adalah pendekatan terapeutik
utama untuk anemia pada penyakit kronik, namun jika penyakit dasar tersebut
belum teratasi maka strategi alternatif seperti transfusi dapat diperlukan.9

Thalassemia
Anak dengan thalassemia mayor memerlukan transfusi rutin untuk menjaga
kadar Hb yang cukup untuk oksigenasi jaringan tubuhnya. Target transfusi PRC
pada thalassemia adalah mencapai kadar hemoglobin yang cukup, menjaga
transpor oksigen baik dalam tubuh diharapkan anak dapat mencapai tumbuh
kembang yang optimal, dan meminimalkan reaksi transfusi yang mungkin
terjadi, termasuk transmisi infeksi.10
Beberapa pertimbangan untuk memulai transfusi pada anak dengan
thalassemia adalah Hb < 7 g/dL pada 2 kali pemeriksaan dengan interval >
2 minggu tanpa faktor pemicu anemia seperti infeksi, atau Hb >7 g/dL namun
disertai dengan perubahan wajah (facies Cooley), retardasi pertumbuhan,
fraktur, atau hematopoiesis ekstramedular. Transfusi selanjutnya dilakukan
secara rutin dengan interval 2-5 minggu untuk mempertahankan Hb pra-
transfusi selanjutnya di atas 9-10 g/dL. Target Hb pra-transfusi lebih tinggi yaitu
11-12 g/dL dapat dipertimbangkan jika terdapat gangguan fungsi jantung, dan
target Hb pasca-transfusi sebaiknya tidak lebih dari 14-15 g/dL.10
Jika kadar Hb pra transfusi > 6 g/dL, volume PRC yang diberikan 10-15
mL/kg/kali dalam 2-3 jam (±5 mL/kg/jam), sedangkan bila kadar Hb < 6 g/dL,

5
Pemberian Transfusi Darah pada Anemia Berat

dan/atau kadar Hb berapapun tetapi dijumpai klinis gagal jantung maka volume
darah yang ditransfusikan dikurangi menjadi 2-5 mL/kg/kali dan kecepatan
transfusi dikurangi hingga 2 mL/kg/jam untuk menghindari kelebihan cairan/
overload. Diuretik furosemid dipertimbangkan dengan dosis 1 hingga 2 mg/
kgBB pada pasien dengan gangguan fungsi jantung atau bila terdapat klinis
gagal jantung. Interval antar serial transfusi adalah 12 jam, namun pada kondisi
anemia berat interval transfusi berikutnya dapat diperpendek menjadi 8-12
jam.11

Penyakit ginjal kronik


Anemia merupakan salah satu konsekuensi dari penurunan fungsi ginjal pada
penyakit ginjal kronik (PGK). Pada laju filtrasi glomerulus kurang dari 43 mL/
menit/1,73 m2 terdapat penurunan Hb 0,3 g/dL untuk setiap penurunan laju
filtrasi glomerulus 5 mL/ menit/ 1,73 m2. Anak dengan PGK dikatakan anemia
bila kadar Hb < 11 g/dL (usia 0,5 - 5 tahun), <11,5 g/dL (usia 5-12 tahun),
<12 g/dL (usia 12-15 tahun), <12 g/dL (usia >15 tahun, perempuan), dan
<13 g/dL (usia >15 tahun, lelaki).
Transfusi PRC tidak direkomendasikan secara rutin untuk anemia
pada PGK, bahkan dalam rekomendasi Kidney Disease: Improving Global
Outcomes (KDIGO) tahun 2012 dikatakan bahwa pada kasus anemia
kronik seperti pada PGK, transfusi PRC sebaiknya dihindari untuk
meminimalkan dampak negatifnya yaitu risiko sensitisasi alogenik yang
dapat memengaruhi keberhasilan transplantasi ginjal.12
Pada anak dengan PGK dan anemia berat, transfusi PRC hanya
diberikan pada kasus anemia kronik yang tidak efektif dengan pemberian
eritropoietin, misalnya pada kasus hemoglobinopati, kegagalan sumsum
tulang, dan resistensi eritropoietin, atau pada kondisi Hb perlu
ditingkatkan untuk persiapan operasi. Keputusan untuk melakukan
transfusi sebaiknya tidak semata-mata berdasarkan nilai ambang batas
hemoglobin, tetapi juga berdasarkan gejala klinis yang terjadi akibat
anemia.12

Pemilihan produk darah merah


Istilah produk darah mencakup setiap substansi yang dihasilkan dari darah
manusia. Perkembangan teknologi memungkinkan produksi komponen darah
dan derivat plasma dari darah donor. Hal ini memberikan pilihan terapi pada
pasien sesuai kebutuhannya.

6
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

1. Darah lengkap (whole blood/WB)


Darah lengkap terdiri dari dua macam sediaan yakni darah segar (fresh
blood) dan darah simpan (preserved blood). Darah segar berusia 6-24 jam
dan masih mengandung faktor koagulasi, sedangkan darah simpan berusia
>24 jam hingga 3-4 minggu dan mengandung faktor koagulasi yang lebih
sedikit. Satu unit (kantong) WB berisi 230-350 mL. Keuntungan dari
sediaan ini antara lain karena proses persiapannya cukup sederhana, tidak
memakan waktu lama dan tidak memerlukan peralatan khusus. Sediaan
ini masih memiliki faktor pembekuan yang lengkap, terutama pada darah
segar.3 Walaupun saat ini penggunaan WB kurang dianjurkan karena risiko
kelebihan darah (overload) cukup tinggi, namun WB dapat digunakan
pada kondisi kehilangan darah akut yang berat dan pada fasilitas yang
terbatas.

2. Sel darah merah (SDM)/eritrosit


Sel darah merah (SDM) merupakan komponen darah yang paling sering
ditransfusikan dibandingkan komponen darah yang lain. Sediaan SDM
didapat dengan memisahkan plasma dari WB. Sediaan yang tersedia
adalah: SDM pekat atau packed red cell (PRC), suspensi SDM (red cell
suspension), dan SDM cuci atau washed erythrocyte (WE). Dari 250 mL
WB, dapat diperoleh 100-125 mL PRC. Packed red cell diperoleh dari
pemisahan plasma secara tertutup dengan kadar hematokrit sebesar 70-
80%. Red cell suspension didapatkan dengan cara mencampur eritrosit pekat
dengan cairan pelarut NaCl fisiologis dalam jumlah yang sama, dan WE
peroleh dengan mencuci eritrosit pekat 2-3 kali dengan NaCl fisiologis
dalam jumlah yang sama. Sediaan WE ini lebih aman dan terindikasi bagi
resipien yang alergi terhadap plasma manusia, anemia hemolitik yang
didapat, transfusi tukar, dan transfusi pada transplantasi ginjal.3
Transfusi SDM memiliki keunggulan dibandingkan dengan WB,
antara lain tidak terlalu membebani sirkulasi karena volume lebih kecil,
tidak memperberat fungsi ginjal, dan sedikit mengurangi reaksi alergi
karena tidak disertai pemberian plasma yang tinggi protein. Namun
demikian SDM masih memiliki beberapa risiko seperti reaksi hemolitik,
transmisi infeksi, atau kontaminasi bakteri jika tidak diproduksi dengan
baik, dan transfusi PRC memerlukan waktu yang lebih lama karena
viskositasnya tinggi (rasio eritrosit/plasma).3
Komponen SDM saat ini dapat diproses dengan filter khusus
sehingga menghasilkan produk akhir yang sangat sedikit mengandung
leukosit/ leukodepleted (leukocyte-depleted; leukosit < 5 x 106 per kantong

7
Pemberian Transfusi Darah pada Anemia Berat

darah) sehingga aman untuk ditransfusikan kepada pasien, dan reaksi


transfusi serta risiko transmisi sitomegalovirus dapat diminimalkan.
Indikasi pemberian PRC leucodepleted ini antara lain pada penyakit
yang membutuhkan transfusi berulang seperti thalassemia, anemia
aplastik, kanker, dan ITP kronik, juga dapat diberikan pada keadaan
imunodefisiensi, tindakan operasi jantung, pasien transplantasi organ,
riwayat alergi produk darah non-leukodepleted dan neonatus.13
Idealnya, upaya leukodeplesi dilakukan sebelum penyimpanan darah
(pre-storage filter) di bank darah.14 Saat ini komponen darah di Palang
Merah Indonesia (PMI) baru tersedia dalam bentuk leukoreduksi (leukosit
108), walaupun demikian tersedianya PRC leukoreduksi ini sudah dapat
menurunkan angka kejadian reaksi transfusi menjadi 35% dibandingkan
65% saat menggunakan PRC biasa (leukosit 109).15 Sementara itu, PRC
cuci (WE) mengandung leukosit 107 tetapi produk ini lebih mudah lisis
dibandingkan produk PRC lainnya akibat proses pembuatannya, dan
hanya dipakai pada resipien yang telah mengalami reaksi transfusi. Jika
komponen darah dengan pre-storage filter tidak tersedia, dapat digunakan
pemakaian filter leukosit bedside. Terdapat beberapa macam filter , dan
saat ini tersedia filter generasi terbaru dari bahan polyurethane, yang dapat
menyaring leukosit seperti yang dianjurkan oleh badan internasional tanpa
menimbulkan reaksi yang tidak diharapkan.14
3. Darah dengan skrining nucleic acid testing (NAT)
Skrining NAT adalah salah satu teknologi uji saring darah terbaru untuk
mendeteksi virus tertentu dalam darah. Saat ini PMI telah mewujudkan
komitmen dalam meningkatkan keamanan transfusi darah di Indonesia
dengan teknologi penapisan berbasis NAT untuk mendeteksi virus HIV-
1, hepatitis B (HBV), dan hepatitis C (HCV). Penapisan dengan NAT
memiliki sensitivitas yang tinggi dan mampu mendeteksi virus lebih
cepat.16
Metode NAT RNA HIV-1 memperpendek window period deteksi
menjadi 6-11 hari, sehingga dapat mencegah >50% transmisi HIV melalui
transfusi darah. Metode NAT RNA HCV dapat mendeteksi virus dalam
darah sekitar 59 hari lebih cepat dibandingkan metode serologi, sedangkan
NAT HBV DNA dapat mendeteksi virus beberapa minggu lebih cepat
dibandingkan pemeriksaan HbsAg, yang baru dapat mendeteksi virus
50-60 hari pasca-infeksi.17

Efek samping dan premedikasi transfusi


Efek samping akibat transfusi darah merupakan hal yang yang harus

8
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

diperhatikan pada saat pemberian transfusi. Data di 100.000 komponen


darah yang diberikan, dengan kematian sebanyak 100 kasus. Komplikasi
akut transfusi yang mengancam nyawa diantaranya adalah reaksi
hemolitik akut, reaksi terhadap unit darah yang terkontaminasi bakteri,
transfusion-related acute-lung injury (TRALI), kelebihan cairan atau
transfusion-associated circulatory overload (TACO), dan reaksi alergi
berat atau anafilaksis. Reaksi lain yang lebih ringan seperti urtikaria
atau demam terjadi pada 1-2% resipien. Reaksi transfusi tipe lambat
dapat terjadi pada lebih dari 24 jam pasca-transfusi, dan gejala akibat
transmisi infeksi melalui transfusi darah terjadi dalam jangka waktu
yang lebih lama pasca transfusi.18
Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk meminimalkan reaksi transfusi
adalah memberikan darah donor dari golongan darah yang sama (ABO, Rh)
untuk meminimalkan alloimunisasi, jika memungkinkan menggunakan darah
leukodepleted atau menggunakan filter bedside, dan telah menjalani uji skrining
NAT untuk menghindari/meminimalkan transmisi penyakit infeksi.
Harus menjadi perhatian, bahwa komponen darah sudah harus
ditransfusikan dalam waktu 30 menit terhitung sejak keluar dari bank darah,
dan maksimal dalam waktu 4 jam sudah selesai ditransfusikan terhitung sejak
komponen darah keluar dari bank darah. Selain itu, selang infus harus selalu
diganti setiap selesai pemberian produk darah yang berbeda, kecuali pada saat
transfusi masif produk plasma dan trombosit dapat diberikan melalui selang
infus yang sama. Produk trombosit tidak boleh diberikan melalui selang infus
yang telah dipakai untuk transfusi SDM, karena trombosit dapat terperangkap
oleh debris SDM yang telah terfilter sebelumnya. Sebaliknya jika transfusi SDM
diberikan setelah pemberian komponen trombosit selang infus tidak perlu
diganti. Sangat dianjurkan selang infus diganti jika transfusi sebelumnya telah
selesai atau melewati waktu 12 jam, untuk menghindari tumbuhnya bakteri.19
Premedikasi seperti parasetamol dan difenhidramin tidak terbukti
mengurangi insidens demam/febrile nonhemolytic transfusion reaction (FNHTR)
ataupun reaksi alergi akibat transfusi,20 sehingga tidak perlu secara rutin
diberikan pada pasien sebelum transfusi. Bila terjadi reaksi transfusi, tata
laksana disesuaikan berdasarkan berat ringannya reaksi transfusi.
Pemakaian alat penghangat darah (blood warmers devices) tidak rutin
digunakan. Alat ini harus digunakan secara cermat dan perlu dilakukan
servis rutin berkala untuk mencegah kesalahan pada saat digunakan. Produk
darah yang terpapar suhu di atas 40 0C dapat menyebabkan lisisnya darah
dan justru berisiko menimbulkan reaksi transfusi yang berat, sehingga darah
tidak boleh dihangatkan dengan microwave atau radiator yang tidak dapat
dikontrol suhunya. Pasien yang memerlukan pemberian produk darah yang

9
Pemberian Transfusi Darah pada Anemia Berat

dihangatkan (diharapkan temperatur darah 37oC saat darah masuk ke tubuh


resipien) adalah pasien yang menerima transfusi masif, bayi yang menjalani
transfusi tukar, dan pasien anemia hemolitik dengan antibodi yang teraktivasi
pada suhu di bawah 37oC.18

Simpulan
Anemia berat, baik akut maupun kronik, merupakan kondisi yang dapat
mengancam jiwa dan merupakan indikasi transfusi. Tata laksana anemia berat
akut pasca-perdarahan perlu memperhatikan target terapi sesuai protokol
transfusi masif, sedangkan tata laksana anemia berat yang sifatnya kronik perlu
memperhatikan patofisiologi penyakit yang mendasarinya.
Transfusi yang aman bertujuan meminimalkan reaksi transfusi dan
transmisi penyakit infeksi sehingga disarankan transfusi menggunakan darah
leukodeplesi atau filter bedside dengan uji saring NAT. Sangat dianjurkan untuk
mengganti transfusi set setiap 12 jam pemberian komponen yang sama dan
bila komponen darah yang akan diberikan berikutnya berbeda jenis.
Premedikasi tidak terbukti mengurangi insidens reaksi transfusi sehingga
tidak perlu rutin diberikan sebelum transfusi darah.

Daftar pustaka
1. Liumbruno G, Bennardello F, Lattanzio A, Piccoli P, Rosseti G. Recommendation
for the transfusion of the red blood cell. Blood Transfus. 2009:7;49-64.
2. Calis JCJ, Phiri KS, Faragher B, Brabin BJ, Bates I, Cuevas LE, dkk. Severe anemia
in Malawian children. N Engl J Med. 2008;348:888-99.
3. World Health Organization (WHO). The clinical use of blood in medicine,
obstetrics, pediatrics, surgery & anaesthesia, trauma & burns. Diunduh dari:
http://www.who.int/bloodsafety/clinical_use/en/Manual_EN.pdf pada 13 Maret
2015.
4. DeMaeyer EM. Dallman P, Gurney JM, Hallberg L, Sood SK, Srikantia SG.
Preventing and controlling iron deficiency anemia through primary health care.
WHO: Geneva, 1989.
5. Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology. Edisi ke-5. London:
Elsevier, 2011.
6. Expert working group. Guidelines for red blood cell and plasma transfusion for
adults and children. Can Med Assoc J. 1997;156:S1-23.
7. Stainsby D, MacLennan S, Thomas D, Isaac J, Hamilton P. Guidelines on the
management of massive blood loss. Br J Haematol. 2006;135:634-41.
8. Pediatric Trauma Society. Massive transfusion guidelines. Diunduh dari http://
pediatrictraumasociety.org/multimedia/files/clinical-resources/MTP-5.pdf pada
25 Maret 2015.

10
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

9. Weiss G. Goodnough LT. Anemia of chronic disease. N Engl J Med.


2005;352:1011-23.
10. Thalassaemia International Federation. Guidelines for the clinical management
of thalassaemia. Edisi ke-2. Cyprus: Thalassaemia International Federation,
2008. hal. 14-9.
11. Rachmilewitz EA, Giardina PJ. How I treat thalassemia. Blood. 2011;118:3479-88.
12. Kasiske BL. KDOQI Clinical practice guidelines and clinical practice
recommendations for anemia in chronic kidney disease. Am J Kidney Dis.
2006;48:879-1040.
13. Lindholm PF, Annen K, Ramsey G. Approaches to minimize infection risk in blood
banking and transfusion practice. Infect Disord Drug Targets. 2011;11:45-56.
14. Sen A, Khetarpal A, Jetley S. Comparative study of predeposit and bedside
leucodepletion filters. MJAFI. 2010;66:142-6.
15. Pusat Thalassemia Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Data Pusat
Thalassemia Januari-Desember 2014. Jakarta: RSCM, 2014.
16. Hans R, Marwaha N. Nucleic acid testing-benefits and constraints. Asian J
Transfus Sci. 2014;8:2–3.
17. Novartis diagnostics. Procleix Ultrio Plus Assay. 2012. Gen-Probe Incorporated.
Diunduh dari: http://www.fda.gov/downloads/BiologicsBloodVaccines/
B lo o dB loo dProdu cts/Ap p ro vedPro ducts/LicensedPro duct sB LAs/
BloodDonorScreening/InfectiousDisease/UCM092120.pdf pada 13 Maret 2015.
18. McClelland DBL. Handbook of transfusion medicine. Edisi ke-4. London: United
Kingdom Blood Services, 2007.
19. Australian and New Zealand Society of Blood Transfusion Ltd, Royal College
of Nursing Australia. Guidelines for the administration of blood products, Edisi
ke-2. ANZSBT [internet]. Desember 2011; [disitasi 20 Maret 2015]. Diunduh
dari: http://www.anzsbt.org.au/publications/documents/anzsbt_guidelines_
administration_blood_products_2nded_dec_2011_hyperlinks.pdf.
20. Tobian AAR, King KE, Ness PM. Transfusion premedications: a growing practice
not based on evidence. Transfusion. 2007;47:1089-96.

11
Pemilihan Obat pada Tata Laksana
Penyakit Alergi

Zakiudin Munasir

Tujuan:
1. Memahami berbagai jenis obat yang sering digunakan pada tata
laksana penyakit alergi berdasarkan kedokteran berbasis bukti.
2. Mendorong untuk menggunakan obat yang lebih rasional dan praktis.
3. Mendorong pemakaian obat yang paling ekonomis tapi dengan hasil
klinis yang memuaskan.

Penyakit alergi merupakan salah satu penyebab penyakit kronis di banyak


negara maju dan di negara yang sedang berkembang yang prevalensinya mulai
meningkat.Dari segi diagnosis dan tata laksana, penyakit alergi menghabiskan
banyak dana di beberapa negara termasuk di Indonesia1. Oleh karena itu, tata
laksana penyakit alergi merupakan prioritas utama dalam bidang kesehatan2.
Dalam melakukan tata laksana penyakit alergi, langkah pertama adalah
melakukan penghindaran terhadap alergen pencetus yang sudah terbukti.
Langkah berikutnya adalah pemakaian obat yang efektif untuk mengontrol
gejala alergi walaupun tidak menghilangkan kelainan yang mendasari penyakit
alergi dan sebagai langkah terakhir adalah memberikan imunoterapi.
Pada makalah ini akan dibahas bagaimana pemilihan obat atau
farmakoterapi yang digunakan untuk mengatasi penyakit alergi. Beberapa jenis
obat yang digunakan bervariasi antar negara baik yang harus menggunakan
resep dokter ataupun tanpa resep dokter.
Jenis obat yang digunakan dalam terapi penyakit alergi dapat
dikelompokkan sebagai berikut :
1. Obat yang menghambat aktivitas zat kimia atau mediator yang dilepaskan
tubuh selama reaksi alergi, yaitu antihistamin, antagonis leukotrien, dan
anti- IgE.
2. Obat yang membuat relaksasi otot polos bronkus yang mengalami
kontraksi atau pembengkakan jaringan akibat efek mediator yang
dilepaskan misalnya, bronkodilator, dekongestan dan epinefrin.

12
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

3. Obat yang dapat mencegah aktivasi sel yang terlibat pada reaksi alergi
yaitu obat anti alergi.
4. Obat yang mempunyai efek menyeluruh dalam mengatasi reaksi inflamasi
yaitu kortikosteroid Selain obat tersebut di atas, ada cara lain untuk
mengobati penyakit alergi yaitu dengan memodifikasi respons imun yang
disebut imunoterapi.

Antihistamin
Histamin merupakan salah satu mediator utama yang dilepaskan oleh sel
mast dan basophil, dan berperan dalam patofisiologi penyakit alergi termasuk
rinitis, urtikaria, asma, dan reaksi anafilaksis3.Efek histamin ini melalui reseptor
histamin protein G yang terdiri dari reseptor histamin H1, H2, H3, dan H4.
Rangsangan histamin melalui reseptor H1 menghasilkan gejala manifestasi
alergi segera terutama pruritus, nyeri, vasodilatasi, peningkatan permeabilitas
kapiler, hipotensi, flushing, sakit kepala, takikardia, bronkokonstriksi, stimulasi
nervus vagus aferen saluran napas dan refleks batuk yang dapat menurunkan
konduksi nodus atrioventrikular. Beberapa efek seperti hipotensi, takikardia,
flushing, sakit kepala, pruritus, dan hidung tersumbat adalah akibat
perangsangan reseptor H1 dan H23,4.
Berdasarkan peran histamin pada reaksi alergi terutama melalui
reseptor H1, maka yang paling banyak digunakan pada penyakit alergi
adalah antihistamin anti-H15.Antihistamin H1 (AH1) bukanlah reseptor
antagonis H1 melainkan suatu inverse agonist6.Pada keadaan normal, terdapat
keseimbangan antara histamin maupun antihistamin bentuk aktif atau
inaktif reseptor H1. Histamin mempertahankan bentuk aktif yang dapat
merangsang sel, sedangkan antihistamin mempertahankan bentuk inaktif yang
menimbulkan efek berlawanan dengan histamin yaitu mengurangi ekspresi
molekul adesi sel pro-inflamasi serta mengurangi akumulasi sel radang seperti
eosinofil dan neutrofil.3
Antihistamin H1 diklasifikasikan menjadi antihistamin generasi lama
atau generasi pertama dan antihistamin generasi baru atau generasi kedua.
Perbedaan utama antara kedua obat tersebut adalah kecenderungan terjadinya
efek samping pada sistem saraf pusat.3
Antihistamin H1 generasi pertama seperti difenhidramin, klorfeniramin,
klemastine, triprolidin, siproheptadin, bromfeniramin dan hidroksizin sangat
lipofilik sehingga dapat menembus sawar otak dan menyebabkan sedasi. Selain
itu, antihistamin generasi pertama sangat non-selektif terhadap reseptor di
otak, sering menunjukkan afinitas tinggi untuk dopaminergik, serotonergik,
alfa-adrenergik, dan reseptor kolinergik di otak7,8.

13
Pemilihan Obat pada Tata laksana Penyakit Alergi

Meskipun antihistamin generasi pertama tidak dapat menghentikan reaksi


alergi yang sudah dimulai, bukti penelitian yang lebih baru, AH1 generasi
kedua dapat menghambat pelepasan mediator inflamasi dari sel mast serta
menghambat kemotaksis eosinofil. AH1 generasi kedua juga menghasilkan efek
samping yang lebih ringan , termasuk pengurangan efek sedasi. Berbeda dengan
rekomendasi sebelumnya, temuan terbaru menunjukkan bahwa antihistamin
AH1 generasi kedua bukan lagi merupakan kontraindikasi pada pasien yang
memiliki asma dan rinitis alergi9.
Antihistamin H1 generasi kedua pertama kali dikembangkan pada awal
tahun 1980-an untuk mengurangi efek sedasi dan efek samping antikolinergik.
Namun, dua di antaranya, yaitu astemizol dan terfenadine, memiliki efek
samping serius pada jantung, yaitu interval QT yang memanjang dan aritmia
sehingga ditarik dari peredaran. Saat ini tersedia antihistamin generasi
kedua (dan ketiga) termasuk setirizin, loratadin, desloratadin, feksofenadin,
akrivastin, azelastin, dan levosetirizin. Peran potensial antihistamin baru
dalam memperbaiki reaksi alergi lokal maupun sistemik merupakan hal yang
menguntungkan10. Pada studi ETAC (Early Treatment of the Atopic Child)
terbukti bahwa pemberian antihistamin generasi kedua, yaitu setirizin pada
pasien dermatitis atopik berusia 1 tahun selama 18 bulan dapat mengurangi
kejadian asma di kemudian hari sampai 50%.11
Untuk rinitis atau konjugtivitis alergi intermiten ringan , antihistamin
oral non -sedasi direkomendasikan sebagai pengobatan lini pertama12

Bronkodilator
Golongan obat bronkodilator adalah obat yang membuat relaksasi otot polos
bronkus yang mengalami kontraksi atau pembengkakan jaringan akibat efek
mediator yang dilepaskan.
Seperti turunan xantin alkohol lainnya, teofilin adalah kompetitif
inhibitor fosfodiesterase non-selektif13 yang meningkatkan cAMP (cyclic
AMP) intraselular, mengaktifkan PKA (protein kinase A), menghambat
TNF-alfa14dan sintesis leukotrien, serta mengurangi peradangan dan aktivasi
imunitas bawaan.15
Golongan β2-adrenoreseptor manusia adalah anggota dari keluarga
7 reseptor transmembran yang dikode oleh gen pada kromosom 5 dan
didistribusikan secara luas pada saluran napas. Setelah aktivasi β2-
adrenoreseptor, sinyal intraselular terutama diproduksi dengan menginduksi
siklik AMP .Keadaan ini menghasilkan relaksasi jalan napas melalui fosforilasi
protein regulasi otot dan modifikasi konsentrasi Ca2+ selular.

14
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

Cara kerja obat β2-agonis dapat langsung mengaktifkan reseptor


(salbutamol / terbutalin), diangkat ke depot membran (formoterol) dan
berinteraksi dengan tempat pengikatan tambahan reseptor tertentu
(salmeterol). Perbedaan dalam mekanisme kerja tersebut tercermin dalam
kinetika napas relaksasi otot polos dan bronkodilatasi pasien asma16. Inhalasi
β2-agonis long acting termasuk formoterol dan salmeterol tidak boleh digunakan
sebagai monoterapi pada asma karena tidak dapat mengatasi peradangan
saluran napas karena reseptornya makin jenuh. Terapi paling efektif adalah
bila dikombinasikan dengan glukokortikoid inhalasi17, dan terapi kombinasi
ini dapat digunakan sebagai pilihan ketika dosis medium dengan inhalasi
glukokortikoidsaja gagal mengatasi serangan asma.

Dekongestan
Sebagian besar dekongestan bekerja melalui peningkatan kadar norepinefrin
(noradrenalin) dan epinefrin (adrenalin) atau aktivitas adrenergik dengan
merangsang reseptor α-adrenergik. Keadaan ini menyebabkan vasokonstriksi
pembuluh darah di hidung, tenggorokan, dan sinus paranasal, yang
mengakibatkan berkurangnya peradangan dan pembentukan lendir di daerah
peradangan.
Obat semprot hidung dekongestan dan tetes mata mengandung
oksimetazolin sebagai dekongestan topikal. Pseudoefedrin bekerja secara
tidak langsung pada sistem reseptor adrenergik, sedangkan fenilefrin dan
oksimetazolin adalah agonis langsung. Efek vasokonstriksi yang terjadi tidak
terbatas pada hidung dan dapat menyebabkan hipertensi. Pada umumnya
dekongestan bukan merupakan stimulan karena kurangnya respons dari
adrenoreseptor lainnya. Selain hipertensi, efek samping yang dapat terjadi
adalah sulit tidur, gelisah, pusing, eksitasi, dan gugup. Pemakaian topikal pada
hidung dan matalebih cepat menimbulkan takifilaksis oleh karena itu tidak
dianjurkan penggunaan jangka panjang karena efektivitas obat akan hilang
setelah beberapa hari pemakaian dan dapat menimbulkan efek rebound.2

Epinefrin
Epinefrin (juga dikenal sebagai adrenalin, atau β,3,4-trihidroksi-N-
methylphenethylamine) adalah hormon dan neurotransmiter.18 Epinefrin dan
norepinefrin adalah dua hormon terpisah dan disekresi oleh medula kelenjar
adrenal. Kedua hormon tersebut diproduksi pada ujung serabut saraf simpatis
yang meneruskan mediator kimia untuk menyampaikan impuls saraf ke organ
efektor. Penyebutan kata adrenalin dalam bahasa umum menunjukkan aktivasi

15
Pemilihan Obat pada Tata laksana Penyakit Alergi

peningkatan sistem simpatik terkait dengan energi dan eksitasi.19 Pengaruh


adrenalin terutama terbatas pada efek metabolik dan efek bronkodilatasi organ
tanpa persarafan simpatis langsung.20 Epinefrin digunakan untuk mengatasi
reaksi anafilaksis atau urtikaria yang disertai angioedema berat.

Stabilisator sel mast


Stabilisator sel mast adalah obat yang digunakan untuk mencegah atau
mengendalikan gangguan alergi tertentu melalui pencegahan terjadinya
degranulasi sel mast, seperti kromolin atau natrium kromoglikat. Obat ini
memblokir saluran kalsium untuk degranulasi sel mast dan menstabilkan sel
dan dengan demikian mencegah pelepasan histamin21 dan mediator terkait.
Tanpa kalsium intraselular, granul yang mengandung histamin tidak bisa
menyatu dengan membran sel dan tidak dapat berdegranulasi. Kromolin
sebagai inhaler digunakan untuk mengobati asma sedangkan pada semprot
hidung untuk mengobati rinitis alergi dan pada tetes mata untuk mengobati
konjungtivitis alergi. Dalam bentuk oral, obat ini digunakan untuk mengobati
penyakit langka yaitu mastositosis. Obat stabilisator sel mast yang lain adalah
ketotifen.
Ketotifen adalah generasi kedua kompetitif dengan AH1 dan merupakan
stabilizer sel mast. Ketotifen dipasarkan dalam bentuk garam dengan asam
fumarat menjadi ketotifen fumarat, dan tersedia dalam. Bentuk tetes mata
untuk mengobati konjungtivitis atau mata merah gatal karena alergi, sedangkan
dalam bentuk oral 22 digunakan untuk mencegah serangan asma.
Sejak terapi steroid topical ditemukan, obat-obatan ini sudah jarang
digunakan.

Kortikosteroid
Saat ini kortikosteroid merupakan terapi yang paling efektif untuk penyakit
alergi, seperti asma, rinitis alergi dan dermatitis atopik 23.
Kortikosteroid secara klinis sangat efektif karena dapat memblokir
banyak jalur inflamasi abnormal yang diaktifkan oleh penyakit alergi, dan
obat ini memiliki spektrum anti-inflamasi yang sangat luas.Kortikosteroid
sangat efektif dalam mengendalikan peradangan pada asma, rinitis, dan
dermatitis atopik, dan kemungkinan juga memiliki beberapa efek selular. Studi
biopsi pada pasien asma membuktikan bahwa inhalasi kortikosteroid dapat
mengurangi jumlah dan aktivasi sel inflamasi di mukosa saluran napas dan
lavase bronkoalveolar.24 Efek ini terjadi karena hambatan sintesis sitokin pada
sel inflamasi dan strukturnya serta penghambatan molekul adesi. Perbaikan

16
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

kerusakan epitel dan rasio sel bersilia untuk sel goblet menjadi normal kembali
setelah 3 bulan mendapat terapi inhalasi kortikosteroid .Terdapat bukti lain
yaitu berkurangnya ketebalan membran basal meskipun pada pasien asma yang
menggunakan inhalasi kortikosteroid selama lebih dari 10 tahun masih terdapat
penebalan karakteristik membran basal. Dengan mengurangi peradangan
saluran napas, kortikosteroid inhalasi secara konsisten mengurangi reaktivitas
bronkus pada pasien asma dewasa maupun anak.25 Pengobatan jangka lama
dengan kortikosteroid inhalasi dapat mengurangi respons terhadap histamin,
agonis kolinergik, alergen (respons awal dan akhir), olahraga, kabut, udara
dingin, bradikinin, adenosin, dan iritasi (seperti sulfur-dioksida dan meta-
bisulfit). Pengurangan reaktivitas bronkus dapat berlangsung selama beberapa
minggu sampai beberapa bulan terapi. Seberapa banyak pengurangan yang
terjadi bervariasi antar pasien, dan sering tidak sampai kembali ke keadaan
normal. Hal ini mencerminkan tidak hanya penekanan peradangan tetapi
juga perubahan struktur yang tidak dapat diobati dengan kortikosteroid.
Kortikosteroid inhalasi tidak hanya membuat saluran udara kurang sensitif
terhadap zat spasmogen tetapi juga menghambat penyempitan saluran udara
maksimal oleh zat spasmogen.

Mekanisme molekular resistensi kortikosteroid


Ada beberapa mekanisme resistensi terhadap efek kortikosteroid. Sitokin
tertentu (khususnya IL-2, IL-4, dan IL-13) dapat menyebabkan penurunan
afinitas reseptor glukokortikoid dalam sel inflamasi seperti sel T, sehingga
terdapat resistensi lokal terhadap efek anti-inflamasi kortikosteroid.26
Mekanisme lain adalah peningkatan aktivasi faktor transkripsi activating
peptide-1 (AP-1)oleh sitokin inflamasi, sehingga AP-1 menempati reseptor
glukokortikoid yang aktif, dengan demikian mengurangi ketersediaan reseptor
ini untuk menekan peradangan.27
Pemilihan golongan kortikosteroid disesuaikan dengan keadaan klinis
penyakit alergi yang terjadi baik topical ataupun sistemik. Penggunaan
golongan kortikosteroid yang mempunyai efektivitas klinis yang baik dengan
efek samping minimal sangat dianjurkan.

Anti Ig-E
Anti-IgE (omalizumab) merupakan pilihan pengobatan terbatas pada pasien
dengan kadar serum IgE yang tinggi. Indikasi obat ini adalah untuk pasien
dengan asma alergi28 yang tidak terkontrol dengan kortikosteroid inhalasi dosis
tinggi. Asma yang terkontrol terlihat dari berkurangnya gejala, penggunaan

17
Pemilihan Obat pada Tata laksana Penyakit Alergi

obat pereda serta jarang mengalami eksaserbasi29. Untuk pasien asma yang
sudah mendapat pengobatan dengan kortikosteroid (oral ataupun inhalasi)
serta long-acting β2-agonist , pemberian anti-IgE aman sebagai add-on
terapi30 .

Simpulan
Tata laksana penyakit alergi mempunyai tiga tahapan yaitu penghindaran,
penggunaan farmakoterapi dan imunoterapi. Pemilihan farmakoterapi harus
mempertimbangkan kemananan dan efikasi termasuk biaya. Golongan obat
yang dapat digunakan antaralain antihistamin, antagonis reseptor leukotrien,
adrenergik, dekongestan, kortikosteroid dan anti Ig-E.

Daftar pustaka
1. Tang MB, Leong KF, Ou LS ,Munasir Z, Parekh PR, Azmi S,dkk. Cost-
effectiveness study of pediatric atopic dermatitis in Asia: atopiclair vs. regular
emollient (AD-ATOP).J Drugs Dermatol.2015;14:169-75
2. Warner JO, Kaliner MA, Crisci CD, Del Giacco S, Frew AJ. Allergy practice
worldwide. A report by the world allergy organization specialty and training
council. Allergy Clin Immunol Int – J World Allergy Org.2006;18:4–10.
3. Motala C. H1 antihistamines in allergic diseases. Curr Allergy Clin Immunol.
2009; 22: 71-4.
4. Lorenz W, Duda D, Dick W, Sitter H, Doenicke A, Black A,dkk. Incidence
and clinical importance of periperative histamine release: randomised study
of volume loading and antihistamines after induction of anaesthesia. Lancet .
1994; 343 :933-40.
5. Nettis E, Colanardi MC, Ferrannini A, Tursi A. Antihistamines as important
tools for regulating inflammation. Curr Med Chem - Anti- Inflammatory &
Anti-Allergy Agents. 2005; 4: 81- 9.
6. Bakker RA, Wieland K, Timmerman H, Leurs R. Constitutive activity of the
histamine H(1) receptor reveals inverse agonism of histamine H(1) receptor
antagonists. Eur J Pharmacol. 2000; 387: R5-7.
7. DuBuske LM. Non- sedating antihistamines for allergic rhinitis. Business Briefing:
North American Pharmacotherapy. 2005; 1-12.
8. DuBuske L M. Clinical comparison of H1-receptor antagonist drugs. J Allergy
Clin Immunol.1996; 98:307-18.
9. Busse WW. Role of antihistamines in allergic disease.Ann Allergy. 1994 ;72:
371-5.
10. Marshal GD. Therapeutic options in allergic disease: antihistamines as
systemicantiallergic agents. J Allergy Clin Immunol. 2000;106: 303-5

18
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

11. ETAC study group. Allergic factors associated with the development of
asthma and the influence of cetirizine on this progression in a double-blind,
randomised, placebo- controlled trial: first results of ETAC. Pediatr Allerg
Immunol.1998;9:116-24.
12. Brożek, JL, Bousquet J, Carlos E, Baena-Cagnani, Bonini S, Canonica GW.
Allergic rhinitis and its impact on asthma (ARIA) guidelines: 2010 revision. J
Allergy Clin Immunol. 2008;126: 466-76
13. Essayan DM. Cyclic nucleotide phosphodiesterases. J Allergy Clin Immunol.
2001;108: 671–80.
14. Marques LJ, Zheng L, Poulakis N, Guzman J, Costabel U. Pentoxifylline inhibits
TNF-alpha production from human alveolar macrophages. Am. J. Respir. Crit.
Care Med.1999;159: 508–11.
15. Peters- Golden M, Canetti C, Mancuso P, Coffey MJ. Leukotrienes:
underappreciated mediators of innate immune responses. J Immunol. 2005;174:
589–94.
16. Johnson M. Beta2-adrenoceptors: mechanisms of action of beta2 agonists. Ped
Resp Rev. 2001;2:52-7.
17. Pauwels RA1, Löfdahl CG, Postma DS, Tattersfield AE, O’Byrne P, Barnes PJ,
dkk.Effect of inhaled formoterol and budesonide on exacerbations of asthma.
Formoterol and corticosteroids establishing therapy (FACET) international study
group. N Engl J Med.1997;337:1405-11.
18. Berecek KH, Brody MJ. Evidence for a neurotransmitter role for epinephrine
derived from the adrenal medulla. Am J Physio.1982; 242(4): 593–601
19. Stress, hypertension, and the heart: the adrenaline trilogy”. Lancet.1982; 2:
1440–1.
20. Celander O. The range of control exercised by the sympathico-adrenal system.
Acta Physiol Scand.1954;32
21. Fanta CH. Asthma. N Engl J Med. 2009; 360: 1002–14
22. Klooker TK, Braak B, Koopman KE, Welting O, WoutersMM, Van Der HeideS,
dkk.The mast cell stabiliser ketotifen decreases visceral hypersensitivity and
improves intestinal symptoms in patients with irritable bowel syndrome.
Gut.2010;59:1213–21.
23. Barnes JP. Molecular mechanisms of corticosteroids in allergic diseases.Allergy.
2001;56: 928–36.
24. Barnes PJ. Molecular mechanisms of steroid action in asthma.J Allergy
ClinImmunol.1996;97:159 –68.
25. Barnes PJ. Effect of corticosteroids on airway hyperresponsiveness.Am Rev Respir
Dis.1990;141:S70 – 6.
26. Szefler SJ, Leung DY. Glucocorticoid-resistant asthma: pathogenesis and clinical
implications for management. Eur Respir J.1997;10:1640 – 7.
27. Adcock IM, Brown CR, Shirasaki H, Barnes PJ. Effects of dexamethasone
on cytokine and phorbol ester stimulated c-Fos and c-Jun DNA binding and
geneexpression in human lung. Eur Respir J.1994;7:2117 – 23.

19
Pemilihan Obat pada Tata laksana Penyakit Alergi

28. Humbert M, Beasley R, Ayres J., Benefits of omalizumab as add-on therapy in


patients with severe persistent asthma who are inadequately controlled despite
best available therapy (GINA 2002 step 4 treatment): INNOVATE. Allergy.
2005;60:309-16.
29. Busse W, Corren J, Lanier BQ. Omalizumab, anti-IgE recombinant humanized
monoclonal antibody, for the treatment of severe allergic asthma.J Allergy Clin
Immunol. 2001;108:184–90.
30. Bousquet J, Wenzel S, Holgate S, Lumry W, Freeman P, Fox H. Predicting response
to omalizumab, an anti-IgE antibody, in patients with allergic asthma. Chest.
2004;125:1378–86.

20
Cyanotic Spells pada Penyakit Jantung Bawaan :
Pengenalan dini dan Tatalaksana
Sukman Tulus Putra

Tujuan:
1. M engenal manifestasi klinis serangan sianotik (cyanotic spells) pada
bayi dan anak.
2. Mengerti mekanisme dan patofisiologi serangaran sianotik pada bayi
dan anak sehingga dapat melakukan tatalaksana yang tepat dan cepat
3. Dapat melakukan talakasana serangan sianotik baik berupa intervensi
awal maupun dalam pemberian pengobatan yang tepat termasuk
mengatasi komplikasi.

Cyanotic spells atau serangan sianotik merupakan suatu keadaan darurat


(emergency) yang memerlukan pengenalan klinis yang cepat dan tatalakasana
yang memadai karena dapat menyebabkan berbagai komplikasi seperti asidosis
metabolik, kejang bahkan kematian. Cyanotic spells disebut juga dengan:
hypoxic spells, hypercyanotic spells, tet spells atau paroxysmal dyspnea. Keadaan ini
seringkali ditemukan pada penyakit jantung bawaaan (PJB) sianotik terutama
pada Tetralogi Fallot, namun dapat juga terjadi pada PJB sianotik lain seperti
atresia pulmonal dengan VSD, transposisi arteri besar (TGA), atresia trikuspid
dan sindrom Eisenmenger pada berbagai tingkatan usia.
Serangan sianotik ditandai dengan karakteristik klinis seperti paroksismal
hyperpnoe (pernafasan cepat dan dalam), iritabilitas setelah menangis lama,
sianosis yang bertambah berat, bising jantung melemah, kadang-kadang kejang
(convulsion).
Keadaan tersebut di atas memerlukan pengenalan sedini mungkin
sehingga pasien dapat ditatalaksana secara efektif agar terhindar dari
komplikasi akibat hipoksia lama. Serangan sianotik paling sering ditemukan
pada usia muda khususnya kurang dari 4 tahun, terjadi tiba-tiba ketika bangun
tidur atau setelah menagis. Serangan sianotik pernah dilaporkan terjadi pada
pasien laki-laki berumur 29 tahun dengan Tetralogi Fallot.1

21
Cyanotic Spells pada Penyakit Jantung Bawaan: Pengenalan dini dan Tatalaksana

Patofisiologi
Serangan sianotik terjadi akibat penurunan tahanan vaskular sistemik (systemic
vascular resistance) sehinga terjadi peningkatan pirau dari kanan ke kiri yang
menyebabkan sianosis bertambah berat. Terjadi penurunan tekanan parsial
O2 (pO2) dan peningkatan tekanan parsial CO2 (pCO2) dan penurunan pH
yang akan merangsang pusat pernafasan sehingga pernafasan menjadi cepat
dan dalam (hyperpnea), darah balik vena sistemik (systemic venous return) yang
menyebabkan peningkatan pirau dari kanan ke kiri. Pada keadan obstruksi yang
menetap pada Right Ventricular Outflow Tract (RVOT) maka peningkatan darah
balik vena sistemik akan menyebabkan sianosis bertambah berat (lihat gambar
1)2. Setiap keadaan yang menimbulkan peningkatan aktivitas, menangis,
defekasi dan hipovolemia dapat menimbulkan cyanotic spells pada PJB sianotik.
Pada Tetralogi Fallot terdapat 5 mekanisme patogenesis serangan sianotik
yakni:
yy peningkatan frekuensi laju jantung (heart rate)
yy peningkatan curah jantung (cardiac output) dan venous return
yy peningkatan pirau dari kanan ke kiri
yy terangsangnya pusat pernafasan
yy kontraksi infundibulum

Gambar 1 (sumber: modifikasi dari ref.2)

22
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

Mekanisme cyanotic spells: penurunan pO2 arteri akan merangsang


pusat pernafasan sehingga terjadi Hiperpnea. Hiperpnea akan meningkatkan
alir balik vena sistemik yang akan menyebabkan peningkatan tekanan di
ventrikel kanan akan meningkatkan pirau dari kanan ke kiri dan sianosis
menjadi bertambah berat.
Demikian siklus ini akan terus berjalan
Terdapat beberapa teori tentang mekanisme terjadinya serangan sianotik.
Terdapat teori yang menyatakan bahwa serangan sianotik terjadi akibat spasme
infundibulum sehingga terjadi penyempitan RVOT. Woods,3 melaporkan
bahwa serangan sianotik terjadi akibat spasme infundibulum pada ventrikel
kanan yang menimbulkan peningkatan pirau dari kanan ke kiri dan asidosis
metabolik. Terjadi penglepasan katekolamin yang mengakibatkan peningkatan
kontraktilitas miokardium dan spasme infundibulum. Selain itu ada laporan
lain oleh Guntehroth dkk.4 yang menyatakan bahwa episode paroxysmal
hyperpnea adalah faktor penyebab bukanlah efek dari cyanotic spells. Keadaan
hyperpnea akan meningkatkan darah balik vena sistemik yang mengakibatkan
terjadi peningkatan pirau dari kanan ke kiri (right to left shunt) dan juga
konsumsi oksigen melalui peningkatan upaya bernafas. Namun pendapat ini
dibantah oleh Kothari dkk5 yang menyatakan bahwa terdapat peran stimulasi
mechanoreceptors pada ventrikel kanan sehingga terjadi spells. Peningkatan
kontraktilitas ventrikel kanan karena katekolamin dan berkuranganya ukuran
ventrikel kanan sebagai akibat berbagai faktorakan merangsang refleks sehingga
terjadi hiperventilasi, vasodilatasi perifer tanpa bradikardia yang pada akhirnya
menyebabkan spells.

Manifestasi klinis
Biasanya serangan sianotik tipikal terjadi pada pagi hari setelah anak bangun
tidur, yang mungkin terjadi akibat perubahan vaskular bed di sirkulasi pulmonal
secara tiba-tiba. Keadaan lain yang dapat menstimulasi dapat berupa ansietas,
demam, anemia, hipovolemia namun dapat juga terjadi tanpa sebab yang
jelas. Serangan sianotik jarang terjadi pada bayi kurang dari 6 bulan. Serangan
sianotik paling sering terjadi pada usia 4 tahun dan jarang terjadi setelah umur
4 tahun. 6
Presentasi klinis serangan sianotik pada bayi dan anak berupa anak
terlihat lemah dan bertambah biru (sianotik) dengan pola pernafasan cepat
dan dalam (hyperpnea) untuk kemudian terjadi asidosis metabolik berat.
Bising jantung melemah karena peningkatan pirau dari kanan ke kiri. Dapat
juga terjadi penurunan kesadaran dan kejang yang dapat mengancam jiwa
(life threatening). Pada anak yang lebih besar seperti anak pada anak usia
sekolah, akan mengalami squatting yang merupakan mekanisme recovery berupa

23
Cyanotic Spells pada Penyakit Jantung Bawaan: Pengenalan dini dan Tatalaksana

peningkatan resistensi vaskluar sistemik dengan akibat berkurangnya pirau dari


kanan ke kiri di tingkat ventrikel sehingga sirkulasi paru akan bertambah.
Beberapa PJB sianotik yang dapat mengalami spells adalah atresia trikuspid
dengan stenosis pulmonal, TGA dengan stenosis pulmonal dan ventrikel
tunggal dengan stenosis pulmonal.

Tata laksana
Intervensi awal untuk mengatasi spells padabayi yaitu dengan posisi knee-chest
yang dapat dilakukan dengan berbaring atau bayi diletakkan pada bahu ibu.
Keadaan ini diharapkan dapat meningkatkan resistensi vaskular sistemik yang
berakibat berkurangnya pirau dari kanan ke kiri sehingga terjadi peningkatan
sirkulasi pulmonal. Bayi akan lebih tenang dan darah balik vena sistemik akan
berkurang. Pada anak besar dengan squatting (berjongkok) yang juga merupakan
upaya untuk meningkatkan resitensi vaskular sistemik sehingga berkurangnya
pirau dari kanan ke kiri di tingkat ventrikel. Pemberian oksigen pada keadaan
ini tidak banyak manfaatnya karena masalah utama bukan kekurangan oksigen
namun yang terjadi adalah berkurangnya aliran darah ke paru.
Apabila intervensi di atas tidak berhasil maka harus diberikan terapi
sebagai berikut: 7
1) Propranolol 0,1 mg/kg berat badan (BB) Intravena (i.v) diberikan
pelan-pelan dan dapat diulang setelah 15 menit. Dengan berkurangnya
kontraktilitas miokard diharapkan spasme infundibulum berkurang dan
sirkulasi pulmonal akan meningkat. Untuk pencegahan spells dapat
diberikan propranolol oral dengan dosis 2-4mg/kgBB/hari.
Obat pilihan lain adalah Esmolol (0,5mg/kgBB) diberikan i.v dalam
1 menit, kemudian 50 mikrogram/kgBB selama 4 menit. Dapat pula
diberikan metoprolol 0,1 mg/kgBB diberikan i.v selama 5 menit, dapat
diulang tiap 5 menit maksimal 3 kali.
Vasokonstriktor Phenylephrine drip dapat diberikan 0,1-0,5
mikrogram/kgBB/menit
Untuk meningkatkan resistensi vaskular sistemik sehingga terjadi
penurunan pirau dari kanan ke kiri.
2) Koreksi asidosis metabolik dengan pemberian bicarbonate natricus 1-2
mEq/KgBB i.v. Dengan koreksi asidosis metabolik akan terjadi penurunan
rangsangan pusat pernafasan dan mengurangi peningkatan resistensi
vaskular paru yang disebabkan hipoksia dan asidosis
3) Bila belum ada perbaikan dapat diberikan Morphine 0,1-0,2 /kgBB
i.m,dengan efek yang diharapkan dapat menekan pusat pernafasan dan
sedasi yang pada akhirnya mengurangi hyperpnea.

24
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

4) Pemberian cairan inisial dengan bolus 10-20 cc/kgBB akan meningkatkan


aliran darah paru. Dapat diberikan cairan koloid atau kristaloid yang dapat
meningkatkan preload dan diberikan lebih dulu sebelum obat-obatan.

Akhir-akhir ini dilaporkan keberhasilan pengobatan “cyanotic spells”


pada anak dengan tetralogi Fallot menggunakan single dose fentanyl intranasal,
terjadi peningkatan saturasi oksigen menjadi 78% dalam waktu 10 menit.8
Frekuensi terjadinya serangan sianotik yang sering atau tidak pada bayi atau
anak dengan PJB sianotik menentukan apakah penderita perlu tindakan operasi
paliatif segera atau dapat langsung dilakukan operasi definitif atau total koreksi.

Simpulan
Serangan sianotik atau “cyanotic spells” merupakan keadaan kegawatan
yang tidak jarang ditemukan pada bayi dan anak penderita PJB sianotik
terutama pada tetralogi Falllot. Keadaan ini perlu dideteksi lebih dini oleh
dokter termasuk dokter spesialis anak agar pasien terhindar dari berbagai
komplikasi berbahaya akibat hipoksia lama. Biasanya serangan sianotik timbul
saat bangun tidur di pagi hari, setelah menangis atau exercise. Karakteristik
serangan sianotik adalah: paroksismal hyperpnea, iritabilitas setelah menangis,
sianosis yang bertambah berat,bising jantung melemah dan dapat terjadi
kejang. Terdapat beberapa teori tentang makanisme terjadinya serangan
sianosis : (1) spasme infundibulum akibat peningkatan katekolamin sehingga
penyempitan RVOT akan bertambah dan pirau dari kanan ke kiri meningkat,
(2) hyperpnea (nafas cepat dan dalam) yang menyebabkan peningkatan darah
balik vena sistemik dengan akibat bertambahnya pirau dari kanan ke kiri.
(3) stimulasi mechanoreceptors pada ventrikel kanan oleh katekolamin dan
berkurangnya ukuran ventrikel kanan akan merangsang refleks sehingga
terjadi hiperventilasi. Untuk tatalaksana cyanotis spells diawali dengan knee chest
position. Beberapa obat dapat diberikan antara lain propranolol, morphine,
metoprolol. Selain itu asidosis metabolik harus segera diatasi.
Pemberian cairan inisial dapat meningkatakan aliran darah ke paru.
Pemberian koloid atau kristaloid dapat menurunkan preload dan diberikan
sebelum diberikan obat-obatan

25
Cyanotic Spells pada Penyakit Jantung Bawaan: Pengenalan dini dan Tatalaksana

Daftar pustaka
1. Weng YM, Cahang YC, Chiu TF, Weng CS. Tet spells in an adult. Am J Emerg
Med. 2009;27:130.e 3-5
2. Park MK. Pathophysiology of cyanotic congenital heart disease. Dalam: Park MK,
penyunting. Park’s Pediatric Cardiology for Practitioners. Edisi ke-6. Philadelphia:
Elsevier Saunders;2014. h.137-52
3. Wood P. Attack of deeper cyanosis and loss of consciousness (syncope) in Fallot’s
Tetralogy. Br Heart J. 1958;20: 282
4. Guntheroth WG, Morgan BC, Mullins GL. Physiologic studies of paroxysmal
hyperpneu in cyanotic congenital heart disease. Circulation.1965;31: 70
5. Kothari S.S. Mecahnism of cyanotic spells in tetratolgy of Fallot-the missing
link?. Int J.Cardiol.1992;37:1-5
6. Raid-Abdullah. Tetralogy of fallot, in: Koenig P, Hijazi Z, Zimmerman F, essensial
pediatric cardiology The McGraw-Hill Companies.2004.h. 193-98
7. Taksande A, Gautami V, Padhi S, Bakshi K. Hypercyanotic spells. J
MGIMS.2009;14:7-9
8. Daniel ST, Yaffa M Vitberg, Joel Berezov, Thomas JS, Peter SD. Treatment of tetralogy
of fallot hypoxic spells with intranasal fentanyl. Pediatrics.2014;134:e266-8

26
Tata Laksana Luka Bakar pada Anak
Rismala Dewi

Tujuan:
1. Mampu menjelaskan patofisiologi luka bakar pada anak
2. Mampu menjelaskan luas, derajat dan kedalaman luka bakar pada anak
3. Mampu menatalaksana luka bakar pada anak

Luka bakar menempati urutan kelima penyebab kematian terkait kecelakaan


yang tidak disengaja pada anak, terutama apabila daerah yang terkena cukup
luas. Dalam penanganan luka bakar harus dipertimbangkan jenis, lokasi,
luas dan dalamnya luka bakar serta adanya kondisi khusus seperti pada
anak.1 Perawatan luka bakar kompleks umumnya memerlukan pendekatan
multidisiplin., dan merupakan tantangan besar bila hal tersebut terjadi pada
anak. Penanganan luka bakar pada anak dan dewasa pada dasarnya sama hanya
akibat yang ditimbulkan dapat lebih serius pada anak. Hal itu disebabkan
secara anatomi kulit anak lebih tipis, lebih mudah terjadi kehilangan cairan
dan elektrolit serta kemungkinan terjadi hipotermi cukup besar.2-3

Epidemiologi
Di Amerika Serikat sekitar 120.000 anak per tahun mengalami luka bakar dan
merupakan penyebab ketiga terbesar kecelakaan non-fatal. Angka kejadian
pada laki-laki dibandingkan perempuan 3:2, dan sekitar 58 % kasus mengenai
anak usia < 6 tahun. Luka bakar akibat air panas atau uap panas merupakan
penyebab tersering yaitu 52,2 % diikuti oleh api 32,5 % dengan angka kematian
0,9/100.000 anak per tahun.1,4,5 Berbeda dengan hasil yang dilaporkan di
Pakistan pada 1725 anak usia di bawah 15 tahun yaitu usia terbanyak (67,5
%) adalah 3-6 tahun dengan rerata 5,04 (SB 2,78) tahun, dan sekitar 70,3 %
disebabkan tersiram air panas. Daerah tangan dan lengan bawah merupakan
bagian tubuh yang sering terkena (36%), diikuti daerah muka dan leher
(21,1 %).6 Di Indonesia belum didapatkan data yang tepat mengenai angka
kejadian luka bakar pada anak. Unit Luka Bakar (Burn Unit) Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo selama bulan Januari 2011 sampai Desember 2012,
menerima 275 pasien luka bakar dengan jumlah pasien anak 72 pasien (26 %).7

27
Tata Laksana Luka Bakar pada Anak

Etiologi1,8,9
Termal
Luka bakar karena panas paling sering terjadi akibat tersiram air panas yang
akan membentuk luka lepuh, hingga terjadi denaturasi protein, pembentukan
oksigen radikal bebas, dan akhirnya kematian sel dengan pembentukan bekas
luka bakar

Luka bakar listrik


Luka bakar listrik terjadi akibat aliran listrik yang diubah menjadi panas dan
menjalar ke jaringan tubuh yang merupakan konduktor yang buruk. Jumlah
panas yang dihasilkan, dan tingkat kerusakan jaringan, sama dengan 0,24
dikalikan dengan tegangan dan resistan. Listrik untuk keperluan domestik
biasanya bertegangan rendah dan cenderung menyebabkan luka bakar kecil.
Aliran listrik yang lebih besar dari 1000 Volt dapat menyebabkan kerusakan
otot, rabdomiolosis, dan gagal ginjal.

Luka bakar kimiawi


Luka bakar kimiawi disebabkan paparan zat asam atau basa. Luka bakar
akibat paparan zat basa umumnya lebih dalam dibandingkan zat asam. Hal ini
karena basa menyatu dengan jaringan lemak di kulit sehingga menyebabkan
kerusakan jaringan yang lebih progresif, sedangkan luka bakar akibat asam
akan menyebabkan koagulasi protein.

Luka bakar api


Luka bakar api sering berhubungan dengan cedera inhalasi dan penyerta
lainnya, serta cenderung mengenai kulit yang lebih dalam. Luka bakar api dan
luka bakar tersiram air panas adalah penyebab paling umum luka bakar pada
anak-anak dan dewasa di seluruh dunia.

Patofisiologi
Kulit dapat bertahan terhadap panas sampai suhu tertentu karena adanya
kandungan air yang cukup. Pada daerah dengan vaskularisasi yang banyak,
memungkinkan terjadinya penghantaran panas dari tempat luka bakar ke
tempat lain sehingga mengurangi kedalaman luka bakar. Luasnya luka bakar
ditentukan oleh derajat panas, lamanya jaringan terpapar dan ketebalan kulit
yang terkena oleh sumber panas. Kerusakan jaringan pada luka bakar jarang
sekali homogen dan biasanya terbagi atas 3 zona yaitu zona koagulasi, stasis

28
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

dan hiperemia (Gambar 1). Zona ini dikenal sebagai teori Jackson (Jackson’s
thermal wound theory), yang biasanya terlihat sebagai bull’s-eye pattern. Zona
koagulasi merupakan jaringan mati yang membentuk parut, terletak di pusat
luka terdekat dengan sumber panas. Jaringan pada zona ini tidak dapat
diselamatkan karena telah terjadi koagulasi nekrosis. Jaringan yang masih layak
berdekatan dengan daerah nekrotik disebut zona stasis. Penurunan perfusi
didaerah tersebut dapat menyebabkan nekrosis. Edema yang berlangsung lama,
infeksi, intervensi bedah yang tidak perlu, dan hipotensi dapat mengkonversi
zona ini ke zona koagulasi. Pada zona hiperemia terjadi peningkatan perfusi
dan merupakan daerah dengan kerusakan minimal.1,8,9,

Gambar 1. Zona luka bakar menurut Jackson.8

Kulit merupakan organ yang yang terbesar pada tubuh manusia,


dengan ketebalan bervariasi sesuai usia dan lokasi (1-2 mm). Ketebalan kulit
mempengaruhi kerentanan terhadap luka bakar, misalnya kulit di telapak
tangan dan kaki lebih tebal dan lebih tahan dibandingkan lengan atau kelopak
mata.8

Gambar 2. Klasifikasi kedalaman luka bakar sesuai lapisan anatomi kulit8

29
Tata Laksana Luka Bakar pada Anak

Klasifikasi luka bakar berdasarkan kedalamannya dibagi dalam 4 derajat,


dengan pembagian sebagai berikut: (Tabel 1).

Tabel 1. Derajat luka bakar.8


Kedalaman luka Gambaran Melepuh Sensasi Waktu penyem-
bakar buhan
Epidermis merah tidak ada sangat nyeri 1 minggu
Superficial partial merah jambu, basah, waktu melepuh sangat nyeri 2-3 minggu
thickness pengisian kapiler cepat
Deep partial thick- pucat, merah menetap, mungkin me- nyeri 3 minggu, skin
ness waktu pengisian kapiler lepuh berkurang graft, eksisi
kurang
Full thickness kulit putih atau coklat tidak tidak eksisi dan skin graft

Selain derajat luka bakar, yang perlu diperhatikan adalah luasnya luka
bakar karena penentuan luasnya luka bakar sangat menentukan prognosis dan
komplikasi yang terjadi. Gambar 2 menunjukkan luasnya luka bakar menurut
Lund Browder Chart.10

Gambar 3. Persentase luas luka bakar.10

Proses mendasar yang terjadi pada luka bakar dapat berupa reaksi
inflamasi lokal dan sistemik, dengan hasil akhir terjadinya perpindahan cairan
ke ruang intersitisial. Efek sistemik luka bakar akan jelas terlihat bila luas luka
bakar mencapai > 20%. Beberapa keadaan yang perlu diperhatikan pada luka

30
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

bakar adalah inflamasi, edema, kehilangan cairan dan elektrolit, infeksi. Pada
luka bakar terjadi pelepasan mediator inflamasi seperti histamin, serotonin,
prostaglandin, tromboksan, komplemen dan sitokin lainnya sebagai respons
tubuh terhadap adanya trauma mekanis. Hal itu menyebabkan permeabilitas
kapiler meningkat sehingga terjadi ekstravasasi cairan dan protein ke ruang
interstisial sehingga terjadi edema. Pada luka bakar yang luas terjadi pelepasan
vasoaktif ke sirkulasi sehingga terjadi peningkatan permeabilitas kapiler
sistemik. Selain itu terjadi penurunan aktivitas potensial transmembran sel
sehingga terjadi perpindahan sodium dan air dari ekstrasel ke intrasel yang
menyebabkan pembengkakan sel.1,8,9
Salah satu fungsi kulit adalah menapis masuknya kuman ke dalam
sirkulasi. Dengan hilangnya kulit (epidermis dan dermis) maka proses inhibisi
kuman ke sirkulasi terganggu. Kuman dapat langsung kontak ke sirkulasi
sehingga proses infeksi mudah terjadi. Infeksi secara luas akan menimbulkan
sepsis yang dapat menyebabkan kematian. Selain itu infeksi dapat terjadi akibat
translokasi bakteri dan peningkatan permeabilitas dari gastrointestinal.1,11,12

Evaluasi klinis
Evaluasi klinis dimulai dengan airway, breathing, circulation (ABC) diikuti
anamnesis dan pemeriksaan fisis. Survei primer bertujuan untuk melihat
patensi jalan napas dan beratnya luka bakar. Anak dengan luka bakar akibat
kebakaran berisiko mengalami edema jalan napas, sehingga perlu ketelitian
dalam melakukan pemeriksaan di daerah muka, mukosa mulut dan hidung.
Tindakan intubasi endotrakea mungkin diperlukan untuk mengantisipasi
adanya bronkospasme dan hipoksia. Pada survei sekunder dilakukan
pemeriksaan fisis lengkap termasuk pemeriksaan mata untuk melihat adanya
laserasi kornea. Perlu diperhatikan juga adanya gangguan sirkulasi dan
pernapasan, terutama bila luka bakar mengenai bagian tubuh depan dan
belakang.13-15

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan diantaranya adalah darah perifer
lengkap, metabolik dasar, analisis gas darah, kadar mioglobin, urinalisis dan
profil faktor pembekuan. Sel darah putih biasanya meningkat pada pasien luka
bakar akibat respons terhadap kondisi akut yang terjadi atau disebabkan oleh
infeksi. Kadar hemoglobin dan hematokrit dapat meningkat akibat kehilangan
cairan atau perdarahan. Penilaian fungsi ginjal sangat penting dilakukan untuk
mengetahui adanya asidosis metabolik dan nekrosis tubular akut. Hiperkalemia

31
Tata Laksana Luka Bakar pada Anak

dapat ditemukan pada pasien luka bakar akibat pemecahan sel dan pergeseran
kalium intrasel ke ekstrasel.15,16

Tata laksana
Tata laksana luka bakar sangat tergantung pada derajat, luas, dan lokasi luka
bakarnya. Pada anak yang mengalami luka bakar yang berat, evaluasi dan tata
laksana awal harus diberikan secara simultan, meliputi menjaga patensi jalan
napas, pernapasan, sirkulasi, menghentikan dan penilaian proses luka bakar
dan pemberian cairan resusitasi.13,17

Penilaian patensi jalan napas, pernapasan dan sirkulasi


Edema laring dapat terjadi dalam 24-48 jam pertama setelah terhisap asap
atau uap panas sehingga memerlukan penanganan segera agar tidak terjadi
obstruksi jalan napas dan henti napas. Selain itu perlu diperhatikan tanda-
tanda obstruksi jalan napas yang lain seperti stridor, mengi, suara serak sehingga
tindakan intubasi dapat segera dilakukan karena keterlambatan melakukan
penilaian dapat menyebabkan terjadinya intubasi yang sulit. Bila ditemukan
rambut hangus terbakar, wajah terbakar, serak, disfoni, batuk, jelaga di mulut
dan hidung, tanpa disertai dengan distres napas, harus dicurigai kemungkinan
adanya edema yang mengancam di jalan napas atas dan bawah. Penilaian
terhadap ventilasi dan oksigenasi perlu dilakukan dengan melihat usaha napas
anak, ekspansi dada, suara napas dan adanya sianosis. Pulse oksimetri dapat
digunakan untuk menilai saturasi pada anak dengan luka bakar, tetapi perlu
hati-hati pada pasien anak dengan kadar karboksihemoglobin yang tinggi dapat
terlihat “normal” saturasinya. Pada anak dengan luka bakar berat sebaiknya
diberikan oksigen 100%.14,18
Gangguan sirkulasi pada anak dengan luka bakar sangat kompleks, dan
biasanya anak lebih rentan untuk terjadinya renjatan dibandingkan dewasa.
Penilaian sirkulasi meliputi kesadaran, nadi, warna kulit, waktu pengisian
kapiler dan suhu ekstremitas. Pemberian cairan intravena bertujuan untuk
memperbaiki hipovolemia akibat dari kebocoran kapiler kulit yang terluka.
Kebocoran kapiler lokal dan sistemik dapat terjadi secara proporsional sesuai
dengan luas dan kedalaman luka bakar.18

Penilaian luka bakar


Penilaian luas dan derajat luka bakar dilakukan setelah stabilisasi fungsi vital.
Perhitungan luasnya permukaan luka bakar dengan menggunakan the rule of
nine kurang akurat pada anak karena perbedaan proporsi tubuh antara anak

32
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

dan dewasa. Pada anak area kepala lebih besar sedangkan area ekstremitas
lebih kecil sehingga pengukuran luas permukaan tubuh yang lebih akurat pada
anak < 15 tahun dengan mempergunakan Lund-Browder chart. Penilaian luas
permukaan luka bakar ini hanya perkiraan saja sehingga penilaiannya harus
dilakukan berulang-ulang.10

Pemberian cairan resusitasi


Penilaian status hidrasi anak dengan luka bakar merupakan proses yang dinamis
sehingga memerlukan evaluasi dan terapi yang berkesinambungan. Pada
luka bakar yang ringan yang meliputi 10-15 % luas permukaan tubuh cukup
diberikan cairan rehidrasi oral atau cairan rumatan intravena. Tetapi pada
luka bakar yang luasnya > 15 % memerlukan cairan resusitasi dengan 2 jalur
intravena. Bila ditemukan tanda-tanda renjatan bisa diberikan loading cairan
Ringer laktat 20 ml/kgBB secara cepat sampai renjatan teratasi, setelah itu
dapat diberikan cairan kristaloid sesuai formula Parkland yaitu: 4 mL/kgBB/%
BSA untuk luka bakar derajat dua dan tiga. Setengahnya diberikan dalam
8 jam, sisanya dilanjutkan 16 jam kemudian, tambahkan rumatan dengan
dekstrosa 5 % pada anak < 5 tahun. Rumus lain yang bisa digunakan adalah
Galveston Shriners yaitu: 5.000 mL/m2/% BSA untuk luka bakar derajat dua
dan tiga, setengahnya diberikan dalam 8 jam, sisanya dilanjutkan 16 jam
kemudian serta tambahkan rumatan dekstrosa 5 % sebanyak 2.000 mL/m2/hari.
Modifikasi Brooke system bisa digunakan dengan rumus 2 mL/kgBB/% BSA
dalam 24 jam. Pemberian cairan koloid pada resusitasi awal tidak dianjurkan
karena akan memperberat edema di jaringan, sedangkan pemberian albumin
5 % dapat dipertimbangkan setelah 24 jam pertama. Pemantauan pemberian
cairan merupakan hal yang mutlak sehingga evaluasi harus dilakukan selama
24 jam untuk menghindari kelebihan cairan, dengan memantau pengeluaran
urin 1 mL/kgBB/jam untuk anak < 10 tahun dan 0,5 mL/kgBB/jam untuk
anak > 10 tahun.19-21

Kontrol infeksi
Diagnosis infeksi pada pasien dengan luka bakar merupakan tantangan
tersendiri. Dengan berkembangnya tehnik antiseptik dan antibiotik topikal
dapat mengurangi jumlah bakteri dan risiko infeksi. Pemberian antibiotik
profilaksis spektrum luas pada luka bakar ringan tidak dianjurkan karena
menambah risiko resistensi antibiotik. Pada pasien ini cukup diberikan krim
silver sulfadiazin untuk mencegah infeksi, tetapi tidak boleh diberikan pada
wajah, riwayat alergi sulfa, perempuan hamil, dan bayi kurang dari 2 bulan.
Alternatif lain adalah dengan menggunakan krim basitrasin. Pada luka bakar
yang luas dan dalam kemungkinan infeksi dan terjadinya sepsis cukup besar,

33
Tata Laksana Luka Bakar pada Anak

antibiotik spektrum luas dapat diberikan sampai menunggu kultur sehingga


antibiotik yang lebih tepat dapat diberikan.22

Perawatan luka bakar


Tujuan utama dari perawatan luka ini adalah untuk mengurangi kehilangan
cairan, mencegah pengeringan kulit yang masih layak, mempercepat
penyembuhan dan mencegah terjadinya infeksi. Tata laksana awal luka
bakar adalah melakukan pembersihan dan membuang jaringan yang tidak
vital dengan sabun dan air. Eksisi dan skingraft pada luka bakar yang dalam
menjadi pilihan yang utama walaupun belum ada penelitian terkontrol yang
membuktikannya.13,22

Tata laksana nyeri


Mengurangi nyeri merupakan hal yang harus dipertimbangkan dalam
penatalaksanaan anak dengan luka bakar. Kadang diperlukan juga sedasi untuk
mengurangi kecemasan yang dialami anak dengan memberikan golongan
narkotik analgesi seperti morfin atau fentanil. Morfin dengan dosis 0,1-0,15
mg/kgBB merupakan obat pilihan utama pada anak dengan luka bakar yang
berat.23,24

Nutrisi
Pemberian nutrisi merupakan hal yang penting dilakukan untuk mengantisipasi
proses katabolik yang terjadi pada anak dengan luka bakar. Pada luka bakar
yang signifikan kebutuhan metabolisme basal dapat meningkat sampai 40 %.
Pemberian nutrisi enteral lebih diutamakan bila anak dalam kondisi stabil yang
dapat diberikan segera dalam 24 jam pertama. Pemantauan klinis, kebutuhan
nutrisi, tipe dan cara pemberian nutrisi sangat penting pada pasien luka bakar
untuk memenuhi kebutuhan medis dan surgikal.23,25

Prognosis
Prognosis luka bakar pada anak sangat tergantung pada luasnya, derajat, dan
lokasi luka bakarnya. Pada luka bakar derajat 1 angka kesembuhan sekitar
90-100 % tanpa adanya kontraktur. Sedangkan derajat 2, 3, dan 4 angka
kejadian kontraktur berturut-turut sekitar 30-34 %, 50-70 %, dan 90-100%.
Angka perawatan sekitar 17,2 % dengan rerata luas luka bakar sekitar 27,1
(SB 10,84 %) dengan lama rawat sekitar 15,6 (SB 5,01) hari. Angka kematian
secara keseluruhan 9,1 % sedangkan pada derajat 3 dan 4 sekitar 50-100 % .2,9,12

34
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

Simpulan
Luka bakar pada anak memerlukan perhatian khusus karena anak bukan
orang dewasa kecil. Perbedaan dalam fisiologi cairan dan elektrolit, kebutuhan
energi dan proporsi tubuh pada anak menyebabkan penatalaksaan luka bakar
pada anak harus dilihat dengan perspektif yang berbeda dibandingkan orang
dewasa. Tata laksana meliputi tunjangan hidup dasar dan lanjut, perawatan
luka, pemberian cairan resusitasi, mengontrol nyeri dan infeksi, nutrisi yang
adekuat dan mengatasi respons metabolik yang terjadi, serta pemantauan
sekuele jangka panjang.

Daftar pustaka
1. Hendry PL. Pediatric burns. Dalam: Schafermeyer RW, Tenenbein M, Macias
CG, Sharieff GQ, Yamamoto L, penyunting. Pediatric Emergency Medicine. Edisi
ke-4. New York: Mc Graw Hill;2015. h. 721-32.
2. Sharma RK, Parashar A. Special considerations in paediatric burn patients. Indian
J Plast Surg. 2010;43:43-50.
3. Bakker A, Maertens KJP, Van Son MJM, Van Loey NEE. Psychological
consequences of pediatric burns from a child and family perspective: A review
of the empirical literature. Clin Psychol Rev. 2013;33:361-71.
4. Alaghehbandan R, Sikdar KC, Gladney N, Macdonald D, Collins KD.
Epidemiology of severe burn among children in Newfoundland and Labrador,
Canada. Burns. 2011;18:1-8.
5. Arslan H, Kul B, Derebaşinlioğlu H, Çetinkale O. Epidemiology of pediatric
burn injuries in Istanbul, Turkey. Turkish J Trauma Emerg Surg. 2013;19:123-6.
6. Iqbal T, Saaiq M. The burnt child: an epidemiological profile and outcome. J Coll
Physicians Surg Pak. 2011;21:691-4.
7. Martina NR, Wardhana A. Mortality analysis on adult burn patients. J Plast
Rekons. 2013;2:96-100.
8. Hettiaratchy S, Dziewulski P. ABC of burns: pathophysiology and types of burns.
BMJ. 2004;328:1427-9.
9. Karimi H, Motevalian SA, Momeni M, Ghadarjani M. Etiology, outcome and
mortality risk factors in children burn. Surg Sci. 2015;6:42-9.
10. Minimas DA. A critical evaluation of the Lund and Browder chart. Wound.
2007;3:58-68.
11. Hansbrough J, Hansbrough W. Pediatric Burns. Pediatrics. 2010;20:117-22.
12. Krishnamoorthy V, Ramaiah R, Bhananker SM. Pediatric burn injuries. Int J Crit
Illn Inj Sci. 2012;2:128–34.
13. Jamshidi R, Sato TT. Initial assessment and management of thermal burn injuries
in children. Pediatr Rev. 2013;34:395-44.
14. Bezuhly M, Fish JS. Acute burn care. Plast Reconstr Surg. 2012;130:349e-58e.
15. Alharbi Z, Piatkowski A, Dembinski R, Reckort S, Grieb G, Kauczok J, dkk.
Treatment of burns in the first 24 hours: simple and practical guide by answering
10 questions in a step-by-step form. World J Emerg Surg. 2012;7:13-23.

35
Tata Laksana Luka Bakar pada Anak

16. Kamolz L, Handle A, Sharmm W. Lactate: early predictor of morbidity and


mortality in patients with severe burn. Burns. 2011;31:986-90.
17. Bilwani PK. Unfavourable results in acute burns management. Indian J Plast
Surg. 2013;6:428-34.
18. Cuttle L, Pearn J, McMillan J, Kimlbe R. A review of first aid treatment of burn
injuries. Burns. 2009;35:768-75
19. Gille J, Klezcewski B, Malcherek M, Raff T, Mogk M, Sabiotzki A. Safety of
rescucitation with Ringer’s acetate solution in severe burn: An observational
trial. Burns. 2014;40:871-80.
20. Kraft R, Herndon D, Branski L, finnerty C. Optimized fluid management improves
outcomes of pediatric burn patients. J Surg Research. 2014;181:121-8.
21. Boldt J. Use of albumin: an update. Br J Anaesth. 2010;104:276–84.
22. Tran S, Chin AC. Burn sepsis in children. Tran and Chin. 2014;15:149-58.
23. Jeschke MG, Herndon DN. Burns in children: standard and new treatments.
Lancet 2013;383:1168–78.
24. Gandhi M, Thomson C, Lord D, Enoch S. Management of pain in children with
burns. Int J Pediatr. 2010;4:1-9.
25. Rousseau AF, Losser MR, Ichai C, Berger MM. ESPEN endorsed recommendations:
nutritional therapy in major burns. Clin Nutr. 2013;32:497-502.

36
Difteri suatu Penyakit Re-emerging
Hindra Irawan Satari

Tujuan:
1. Mengetahui perjalanan alamiah infeksi difteri pada anak
2. Mengetahui pengertian penyakit re-emerging
3. Mengetahui faktor yang berperan untuk timbulnya penyakit re-
emerging
4. Mengetahui situasi global difteri dan re-emergence
5. Mengetahui kejadian luar biasa difteri dan implikasinya
6. Mengetahui metode efektif untuk menghadapi KLB

Kasus difteri tidak pernah mereda sejak 2006, kejadian luar biasa (KLB) terjadi
di Tasikmalaya menyerang anak usia 1-15 tahun dengan case fatality rate (CFR)
3,91%, di Garut pada anak usia 2-14 tahun dengan CFR 11,76%. Jumlah kasus
difteri di Indonesia pada tahun 2006, 2008, 2009, 2010 dan 2011 berturut-turut
adalah 432, 210, 187, 432, dan 650 kasus.1 Sebanyak 11 anak meninggal dunia
dari 333 kasus difteri yang muncul di Jawa Timur (Jatim) selama tahun 2011.
Oleh karena itu, pemerintah Provinsi Jatim menetapkan KLB difteri pada
tanggal 7 Oktober 2011. Pada tahun 2014, kasus difteri telah ditemukan pada
dua kecamatan di Sumatera Barat yaitu Koto Tangah dan Kuranji. Data kasus
difteri menunjukkan bahwa 68–74% di antaranya adalah anak di bawah usia 15
tahun. Pada Januari 2015 di Sumatera Barat, sebanyak lima orang dinyatakan
suspek difteri. Keadaan ini menggambarkan tidak meratanya cakupan imunisasi
di Indonesia. Seharusnya, apabila cakupan imunisasi merata dan tinggi di
seluruh pelosok tanah air, maka KLB difteri tidak akan terjadi. Tolok ukur
universal child immunization (UCI) menurut World Health Organization (WHO),
adalah setiap desa di suatu negara cakupan imunisasinya harus mencapai lebih
dari 80%. Data WHO menunjukkan peningkatan cakupan Imunisasi DPT3
di Indonesia dari 72 % di tahun 1986 menjadi 85 % pada tahun 20132. Akan
tetapi, beberapa provinsi seperti Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara dan
Papua, hanya mencapai 52,4 – 74%.
Data dari WHO menunjukan sampai saat ini masyarakat masih berisiko
untuk terinfeksi penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Penyakit
tersebut antara lain, hepatitis B, polio, difteri, tetanus, campak dan pertusis.
Berdasarkan data dari WHO, kematian karena difteri di dunia pada tahun

37
Diphtheria: Re-emerging Disease

2011 adalah 2500 orang. Pada tahun 2013 masih ditemukan 4680 kasus difteri
baru. Padahal cakupan imunisasi negara di dunia sudah mencapai 85%, dan
30% diantaranya telah mencapai cakupan imunisasi DPT3 >80%.3

Perjalanan penyakit difteri


Difteri adalah suatu penyakit infeksi yang ditularkan dari orang ke orang
melalui batuk, bersin dan percikan ludah dari tenggorokan. Penyakit ini
biasanya muncul 2 sampai 5 hari setelah terinfeksi kuman difteri. Pada
umumnya, difteri menyerang tonsil, faring, laring dan kadang kulit. Gejala
berkisar dari yang ringan sampai berat dan mengancam nyawa, seperti difteri
laring atau saluran napas atas dan bawah. Difteri seringkali diikuti dengan
komplikasi miokarditis dan neuritis. Lima sampai sepuluh persen pasien difteri
meninggal, meski telah mendapat pengobatan. Pasien yang tidak diobati sangat
infeksius selama 2-3 minggu. Oleh karena itu, difteri sangat berpotensi untuk
menimbulkan wabah.
Berdasarkan panduan WHO, definisi kasus klinis pada KLB difteri adalah
laringitis, faringitis atau tonsilitis disertai pseudomembran di tonsil, faring
dan atau hidung. Isolasi C. diphtheria dari apus tenggorok merupakan kriteria
diagnostik laboratorium.4 Berdasarkan buku pedoman penanggulangan KLB
difteri Provinsi Jatim, kasus suspek difteri adalah orang dengan gejala laringitis,
nasofaringitis atau tonsilitis ditambah pseudomembran putih keabuan yang
tak mudah lepas dan mudah berdarah di faring, laring, tonsil. Kasus probable
difteri adalah suspek difteri ditambah salah satu dari: a)Pernah kontak dengan
kasus (<2 minggu), b)Ada di daerah endemis difteri, c)Stridor, bullneck,
perdarahan submukosa atau petekie pada kulit, d)Gagal jantung, gagal ginjal
akut, miokarditis dan atau kelumpuhan motorik 1 s/d 6 minggu setelah awitan,
e)Meninggal. Kasus konfirmasi difteri adalah kasus probable dengan hasil isolasi
positif C. diphteria yang toksigenik (dari usap hidung, tenggorok, ulkus kulit,
jaringan, konjungtiva, telinga, vagina) atau serum antitoksin meningkat 4 kali
lipat atau lebih (hanya bila kedua sampel serum diperoleh sebelum pemberian
toksoid difteri atau antitoksin)5.

Penyakit infeksi emerging dan re-emerging


Meski kemajuan penelitian di bidang medik sangat pesat, namun penyakit
infeksi masih merupakan penyebab kematian utama di dunia dengan tiga
alasan: (1) emergence of new infectious diseases, (2) re-emergence old infectious
diseases, dan (3) persistence of intractable infectious diseases. Termasuk di dalam
emerging diseases adalah KLB penyakit yang tidak pernah dikenal sebelumnya

38
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

atau penyakit yang sudah dikenal, namun insidens pada manusia meningkat
pesat pada dua dekade terakhir. Penyakit re-emerging adalah penyakit yang
telah dikenal dan meningkat kembali setelah insidensnya menurun secara
bermakna. Adanya inovasi riset dan peningkatan metode deteksi dan
diagnostik menunjukkan beberapa patogen manusia yang sebelumnya tidak
dikenal.6

Faktor yang berperan untuk timbulnya penyakit infeksi


emerging dan re-emerging
Perubahan demografi dan perilaku, penggunaan lahan, banyaknya hewan
peliharaan, konsumsi hewan ternak, meningkatnya perjalanan internasional,
menurunnya ketaatan imunisasi, terbatasnya fasilitas layanan kesehatan
terutama di negara berkembang, membuat seseorang lebih rentan dan sering
kontak dengan patogen. Situasi ini menyebabkan paparan terhadap penyakit
yang berasal dari hewan (zoonosis infection) atau penyakit yang berasal dari
artropoda sehingga mengakibatkan re-emergence penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi (PD3I), seperti difteri.6

Situasi global difteri dan re-emergence difteri


Laporan dari Amerika Serikat tahun 1920 menunjukkan angka 125.000 kasus
difteri dengan 10.000 kematian. Dalam periode yang sama dilaporkan pula
1,7 juta kasus pertusis dengan 73.000 kematian. Vaksinasi terhadap kedua
penyakit ini telah menurunkan morbiditas dan mortalitas secara bermakna
baik di negara maju maupun negara berkembang.
Difteri merupakan masalah kesehatan di negara dengan cakupan
imunisasi rendah. Munculnya difteri mencerminkan cakupan imunisasi yang
tidak adekuat, untuk itu masalah harus diidentifikasi dan tindakan nyata
harus dilakukan untuk meningkatkan cakupan imunisasi. Apabila cakupan
imunisasi tinggi dan booster alamiah rendah, seperti terjadi di negara industri,
maka sebagian besar kelompok usia dewasa akan rentan terhadap difteri dengan
menurunnya kekebalan.
Meski insidens difteri menurun sejak tahun 1990, namun masih terdapat
di beberapa negara di Eropa Timur, dan kasus sporadik juga masih dilaporkan
di beberapa tempat. Data surveilans dari diphtheria surveillance network
countries dan WHO regional Eropa dari tahun 2000-2009 menunjukkan Latvia
mempunyai insidens tertinggi dan Federasi Rusia dan Ukraina menyumbang
83% dari seluruh kasus. Selama 10 tahun terakhir, insidens difteri menurun 95%

39
Diphtheria: Re-emerging Disease

di seluruh wilayah. Meski sebagian besar kematian muncul di negara endemik,


namun CFR tertinggi adalah di negara non-endemik, karena penurunan
kewaspadaan sehingga terjadi keterlambatan diagnosis dan pengobatan.
Re-emergence difteri di negara bekas pecahan Uni Soviet merupakan tanda
epidemik pertama berskala besar di negara industri dalam 3 dekade. Di negara-
negara bekas pecahan Uni Soviet pada tahun 1990-1997 terdapat 140.000
kasus difteri dan lebih dari 4.000 kematian. Gambaran penting dari KLB ini
adalah tingginya proporsi kasus dewasa. Pada fase dini dan akhir epidemik
sekitar 70% kasus adalah anak kelompok umur di atas 15 tahun.
Faktor yang berperan terjadinya epidemik di antaranya adalah tingginya
populasi dewasa yang rentan dan menurunnya cakupan imunisasi pada anak.
Penurunan cakupan imunisasi pada anak menjadi 70% pada tahun 1980an
terjadi akibat masalah politik dan ekonomi yang berkaitan dengan pecahnya
Uni Soviet. Transmisi difteri pada populasi yang rentan disebabkan antara lain
oleh perubahan praktek imunisasi pada anak, digunakannya vaksin dengan
kandungan antigen yang rendah, anak tidak menerima dosis booster pada saat
masuk sekolah. Selain itu, KLB di Uni Soviet disebabkan juga oleh instabilitas
sosio-ekonomi, penurunan standar hidup, pergerakan populasi (pengungsian),
buruknya infrastruktur kesehatan, lambatnya implementasi pengendalian serta
rendahnya ketersediaan vaksin pada awal KLB.7
Sebagai contoh, difteri telah jarang dilaporkan di Australia. Tidak
ada kasus atau kematian yang dilaporkan sejak 1992, berbeda dengan masa
pertengahan abad ke-20. Pada puncak epidemik tahun 1921, tercatat 23.199
kasus (laporan kasus per tahun adalah 426 per 100.000 populasi) dan di antara
tahun 1926 dan 1935, terdapat 4043 kematian akibat difteri.8 Meski difteri
sudah tidak ditemukan lagi di Australia namun kasus baru masih ditemukan
di negera tetangga Selandia Baru. Kejadian luar biasa di negara baru pecahan
Uni Soviet mengisyaratkan potensi untuk terjadinya re-emergence difteri baik
di Australia maupun berbagai tempat di dunia.9
Analisis retrospektif data pasien yang dirawat di rumah sakit pendidikan
di negara India dari tahun 1997-2002 didapatkan difteri faring (90%). Pasien
yang tidak diimunisasi sebanyak 70% dan angka kematian sebesar 16%. Sero-
survei yang dilakukan pada anak berumur 7-17 tahun di beberapa sekolah.
Hasil penelitian menunjukkan cakupan vaksinasi dasar dan booster <80 %.
Sebanyak 56% anak memiliki kekebalan terhadap difteri. Sebagai kesimpulan,
cakupan booster perlu ditingkatkan terutama pada saat masuk sekolah dasar
dan selanjutnya secara berkala sehingga kekebalan anak meningkat.10,11
Kejadian luar biasa difteri di Nigeria dilaporkan dari Februari sampai
November 2011. Dari 98 kasus, 64,3% berusia <10 tahun, dan 98%
diantaranya tidak mendapatkan imunisasi. Case fatality rate sebesar 21,4%
dengan kematian terbanyak (42,9%) pada anak berusia <4 tahun. Rendahnya

40
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

cakupan imunisasi, terlambatnya diagnosis dan tata laksana yang belum


memadai berperan untuk terjadinya KLB ini.12
Difteri saat ini juga merupakan penyakit re-emerging di Thailand. Toksoid
difteri diberikan pada semua anak <15 tahun baik melalui program pekan
imunisasi nasional (PIN) pemerintah maupun swasta sejak tahun 1977 dengan
cakupan cukup tinggi. Sampai saat ini hanya sedikit kasus difteri dilaporkan
di Thailand, dan kasus dewasa sangat jarang. Akan tetapi, kelompok usia
>30 tahun dan anak yang tidak lengkap atau tidak diimunisasi tetap rentan
terhadap manifestasi klinis berat difteri. Data dari Kementrian Kesehatan
Thailand menunjukkan peningkatan kasus difteri beberapa tahun terakhir.
Sebagian besar (56%) kasus dilaporkan antara Januari dan November
2013 dari satu provinsi, Loei yaitu 48 kasus difteri dengan 5 kematian yang
disebabkan miokarditis difteri. Laporan kasus terakhir yang dilaporkan
sebelumnya adalah pada tahun 1995. Sumber penularan (index case) adalah
pasien dewasa, meninggal oleh karena miokarditis, tidak pernah diimunisasi,
dan mengalami keterlambatan pemberian anti-toksin difteri. Dalam kurun
waktu Juni-Oktober 2013, sejumlah 26 kasus didiagnosis dan dikonfirmasi
hasil pemeriksaan laboratorium. Sebagian besar kasus menyerang anak usia
<15 tahun (77%) dengan kisaran usia yang lebar (4-72 tahun). Semua kasus
ditandai dengan pseudo-membran dan sebagian besar (81%) tidak lengkap
atau tidak diimunisasi. Dalam investigasi, ditemukan sejumlah 1846 kontak,
termasuk didalamnya anggota keluarga serumah, teman sekelas, rekan, dan
petugas kesehatan yang di wawancarai dan di pantau selama 2 minggu.
Didapatkan 62 isolat C. diphtheria jenis toksigenik dari kontak asimtomatik
atau mempunyai gejala infeksi saluran nafas ringan tanpa pseudo-membran.13

Implikasi epidemik difteri bagi program imunisasi


Epidemi masif difteri di negara bekas Uni Soviet memberikan pelajaran
penting bagi semua program Imunisasi, yaitu pentingnya pencapaian cakupan
imunisasi pada anak, mempertahankan kekebalan pada kelompok umur
anak yang lebih besar. Cakupan imunisasi pada anak setidaknya mencapai
90%. Diperlukan penelitian untuk mengelaborasi strategi yang paling efektif
untuk mempertahankan kekebalan terhadap imunisasi pada dewasa (dosis
booster berkala), imunisasi kelompok umur tertentu, tersedianya fasilitas
kesehatan, penggunaan vaksin Td daripada toksoid tetanus. Berbagai upaya
harus dilakukan untuk memantau berbagai tingkat kekebalan terhadap difteri
pada berbagai kelompok umur dengan mengadakan studi serologi kelompok
umur tertentu.14
Kasus difteri pertama dalam 19 tahun terakhir di New Zealand
menunjukkan bahwa reservoir C. diphtheria toksigenik masih ada, sehingga

41
Diphtheria: Re-emerging Disease

difteri masih mungkin re-emerge di Australia apabila kekebalan tidak dapat


dipertahankan. Pasien tersebut, anak tanpa riwayat imunisasi berumur 32
bulan, kemungkinan terinfeksi dari ayahnya yang kembali dari Bali dengan
aberasi pada kulit yang terinfeksi. Kasus terbaru di Inggris, Amerika dan negara
yang berbatasan dengan pecahan Uni Soviet juga berhubungan dengan infeksi
impor. Untuk mengurangi risiko kasus impor difteri di Australia, wisatawan
harus memperbaharui status imunisasi mereka dan diperlukan tingkat
kekebalan yang tinggi di seluruh kelompok umur.
Untuk meningkatkan kekebalan pada dewasa, dilakukan perbaikan
rekomendasi imunisasi difteri pada dewasa. Dewasa yang telah memperoleh
imunisasi lengkap di masa lalu harus menerima dosis booster vaksin tetanus-
difteri dewasa (Td) pada umur 50 tahun, kecuali penguat sudah diberikan
dalam sepuluh tahun terakhir, atau semasa remaja atau dewasa telah menerima
5 dosis. Pada dewasa tanpa riwayat vaksinasi, dapat diberikan vaksinasi dasar
dengan Td selang 2 bulan sebanyak 3 dosis, diikuti dengan dua booster dengan
selang sepuluh tahun. Selain itu, untuk meningkatkan cakupan dengan 5 dosis
vaksin yang mengandung difteri, Td dapat diberikan sebagai pencegahan pada
luka yang berpotensi untuk terjadi tetanus.

Faktor penyebab terjadinya KLB difteri di Indonesia


Adanya miskonsepsi kelompok masyarakat terhadap vaksinasi merupakan
salah satu faktor penyebab terjadinya KLB di Indonesia dan kelompok ini harus
didekati secara khusus. Selain itu, petugas kadang menunda imunisasi pada
anak yang sakit ringan walaupun pada literatur, kontraindikasi imunisasi hanya
pada keadaan defisiensi imun dan riwayat syok anafilaksis pada pemberian
vaksin terdahulu. Vaksin difteri mengandung toksoid yang memerlukan
pemberian imunisasi booster untuk tetap mempertahankan titer antibodi pada
ambang pencegahan. Untuk itu diperlukan suntikan sebanyak 5 kali sebelum
mencapai usia sekolah dasar. Selain itu, kualitas vaksin dapat memengaruhi
efektivitasnya. Hal ini sangat ditentukan oleh rantai dingin distribusi sehingga
perlu dilakukan pemantauan transportasi dan penyimpanannya.

Pengendalian KLB
Metode yang paling efektif adalah imunisasi masal seluruh populasi. Individu
yang kontak erat dengan pasien harus diidentifiksi dan segera diobati dengan
antibiotik. Penyakit harus didiagnosis secara dini dan prosedur tata laksana
kasus dengan baik untuk mencegah komplikasi dan kematian. Kuncinya adalah
surveilans termasuk deteksi sumber penularan, verifikasi KLB, penyusunan

42
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

program strategis pencegahan dan pengendalian serta pembangunan prasarana


kesehatan masyarakat dan penelitian.

Tata Laksana
Anak harus dirawat di ruang isolasi dan diperiksa apusan tenggorok.
Pengobatan terdiri dari pemberian antitoksin difteri dan antibiotik. Pengobatan
dengan antibiotik umumnya menjadikan pasien menjadi tidak infeksius dalam
24 jam. Apabila tidak di imunisasi, anak dan dewasa dapat terinfeksi berulang
dengan penyakit ini, untuk itu lakukan segera setelah pasien sembuh. Apabila
belum lengkap, sesuaikan dengan status imunisasinya.

Manajemen kontak
Untuk memutuskan rantai penularan, seluruh anggota keluarga serumah harus
segera berobat ke dokter dan diperiksa apus tenggorok untuk menentukan
status mereka apakah penderita atau karier (pembawa kuman) difteri. Karier
difteri akan diberikan pengobatan eritromisin 50mg/kg berat badan selama
5 hari. Awasi ketat selama 7 hari sejak tanggal terakhir kontak. Lakukan
desinfeksi serentak dan menyeluruh terhadap barang yang terpapar dengan
pasien. Beri eritromisin pada semua orang serumah tanpa melihat status
imunisasi dan berikan vaksin pada fase konvalesens sesuai rekomendasi.5

Vasksinasi DPT
Bila sehat, maka selama masa bayi, DPT diberikan 3 kali, paling dini umur
6 minggu, selang 4 minggu. Kombinasi toksoid difteri dengan vaksin tetanus
dan pertusis merupakan bagian program pengembangan imunisasi (PPI)
Kementerian Kesehatan RI sejak tahun 1974. Setelah imunisasi dasar, masa
proteksi berkisar 10 tahun. Daya kebal di perkuat melalui paparan C. diphtheria
strain toksigenik. Apabila tidak ada booster alamiah, untuk mempertahankan
kekebalan diperlukan dosis booster toksoid difteri setelah bayi dan usia masuk
sekolah.
Untuk memutus transmisi KLB diberikan profilaksis antibiotik terhadap
kontak dan imunisasi pada yang berisiko (Outbreak response immunization/
ORI), yaitu: DT pada usia 3-5 tahun dan 5-7 tahun sedangkan Td pada usia
>7-15 tahun. Anak usia 1-3 tahun yang belum lengkap dilakukan imunisasi
DPT-Hepatitis B. Imunisasi dilakukan selain di tempat tinggal, juga dilakukan
di sekolah.
Menurut CDC, pemberian rutin vaksin DPT harus diberikan pada usia 2,
4, 6 selanjutnya antara 15 sampai 18 bulan, dan usia 4 sampai 6 tahun. Dosis
ke empat dapat diberikan paling dini pada usia 12 bulan, paling tidak 6 bulan

43
Diphtheria: Re-emerging Disease

setelah diberikan dosis ke tiga. Vaksin DPT dan DTaP (apabila tersedia) dapat
diberikan paling dini pada usia 6 minggu. Apabila datang terlambat, maka
selang minimum antara dosis 1, 2 dan 3 adalah 4 minggu, sedangkan dari
dosis 3 ke 4, dan dari dosis 4 ke dosis ke 5 dianjurkan selang minimal masing
masing 6 bulan (Tabel 1 dan 2).

Tabel 1. Jadwal imunisasi terlambat usia 4-6 bulan16


Usia 4-6 bulan
Vaksin Usia minimum Selang minimum antara dosis
Dosis 1 Dosis 2 ke Dosis 3 ke dosis 4 Dosis 4 ke dosis 5
dosis 3
DPT/DTaP 6 minggu 4 minggu 4 minggu 6 bulan 6 bulan

Bagi anak 7 sampai 18 tahun, selang minimum antar dosis 1 ke dosis 2,


dosis 2 ke dosis 3 adalah 4 minggu, sedangkan apabila dosis pertama DTaP/
DT diberikan sebelum mencapai umur 1 tahun, maka selang antara dosis 3
ke dosis 4 adalah 4 minggu, sedangkan apabila dosis pertama DTaP/DT telah
diberikan pada atau sesudah umur 1 tahun maka dosis selanjutnya diberikan
selang 6 bukan sebagai dosis final. Apabila dosis ke-4 telah diberikan setelah
umur 4 tahun, maka dosis ke-5 DTaP tidak lagi diperlukan.

Tabel 2. Jadwal imunisasi terlambat usia 7-18 bulan


Usia 7-18 bulan
Vaksin Usia minimum Selang minimum antara dosis
Dosis 1 Dosis 1 ke Dosis 2 ke dosis 3 Dosis 3 ke dosis 4 Dosis 4 ke dosis 5
dosis 2
DTP/DTaP 7 tahun 4 minggu 4 minggu apa- 6 bulan apabila do- Dosis ke 5 DTaP tidak
bila dosis pertama sis pertama DTaP/ diperlukan apabila
DTaP/DT diberikan DT telah diberikan dosis pertama vaksin
sebelum umur 1 sebelum mencapai DTaP vaksin apabila
tahun umur 1 tahun dosis ke 4 telah di-
berikan telah diberi-
6 bulan (sebagai kan pada umur atau
dosis final) apa- lebih dari 4 tahun
bila dosis pertama
DTaP/DT pada atau
sesudah umur 1
tahun.

Apabila tersedia vaksin Tdap (usia minimum diberikan 10 tahun), maka


dapat diberikan vaksin Tdap 1 dosis pada remaja usia 11 sampai 12 tahun.
Pemberian rutin dapat diberikan tanpa melihat jarak waktu terakhir pemberian
vaksin difteri. Vaksin ini selama masa kehamilan antara 27-36 minggu, tidak
bergantung dengan jarak waktu pemberian vaksinasi Td atau Tdap.

44
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

Anak usia 7 tahun atau lebih yang status imunisasinya tidak lengkap harus
di vaksinasi dengan vaksin Tdap sebagai dosis pertama, dan apabila diperlukan
dosis tambahan, maka dapat digunakan vaksin Td. Pada anak berusia 7 sampai
10 tahun yang diberikan satu dosis Tdap sebagai dosis pertama, tidak perlu
diberikan vaksin Tdap pada usia 11 sampai 12 tahun sebagai imunisasi pada
remaja, sebagai gantinya berikan Td setelah 10 tahun pemberian Tdap. Anak
usia 11 sampai 18 tahun yang belum diberikan vaksin Tdap harus menerima
satu dosis diikuti dengan dosis booster Td setiap 10 tahun sesudahnya. Apabila
vaksin DTaP diberikan pada anak usia 7 sampai 10 tahun, maka ini dianggap
merupakan bagian dari seri catch-up. Dosis ini diangap sebagai dosis Tdap
remaja, atau anak ini selanjutnya dapat diberikan dosis booster Tdap pada
usia 11 sampai 12 tahun. Apabila pemberian DTaP diberikan pada remaja
11 sampai 18 tahun, maka dosis tersebut harus dihitung sebagai dosis booster
pada masa remaja (Tabel 2).16

Simpulan
yy Difteri saat ini merupakan salah satu kelompok penyakit infeksi re-emerging
baik di Indonesia maupun global.
yy Kejadian luar biasa dapat dicegah dengan meningkatkan dan pemerataan
cakupan Imunisasi
yy Advokasi mengenai Imunisasi harus selalu dilakukan oleh tenaga
kesehatan pada setiap kesempatan.

Daftar pustaka
1. Pracoyo NE, Roselinda. Survei antibodi anak sekolah usia 6-17 tahun di daerah
KLB difteri dan non KLB di Indonesia. Buletin Penelitan Kesehatan. 2013;41:237-
47.
2. UNICEF, WHO. A statistical reference containing data through 2013.
Geneva:2014.
3. WHO. Immunization, vaccines and biological diphtheria. Diunduh dari: http://
www.who.int/biologicals/vaccines/diphtheria/en/. Diunduh tanggal 22 Februari
2015.
4. WHO. Immunization, vaccines and biological diphtheria-the disease. Diunduh
dari: http://www.who.int/immunization/topics/diphtheria/en/index1.html.
Diunduh tanggal 22 Februari 2015.
5. Dinas Kesehatan Daerah Provinsi Jawa Timur. Pedoman penanggulangan KLB
difteri Provinsi Jawa Timur. Surabaya: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur:
2011.
6. NIH. Understanding emerging and re-emerging infectious diseases. Diunduh
dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK20370/. Diunduh tanggal 22
Februari 2015.

45
Diphtheria: Re-emerging Disease

7. Vitek CR, Wharton M. Diphtheria in the former Soviet Union: re-emergence


of a pandemic disease. Emerg Infect Dis. 1998;4:539-550.
8. Gidding HF, Burgess MA, Gilbert GL. Diphtheria in Australia, recent trends and
future prevention strategies. Communicable Diseases Intelligence. 2002;24:1-111
9. Baker M, Taylor P, Wilson E. A case of diphtheria in Auckland-implications for
disease control. N Z Public Health Rep. 1998;5:73-76.
10. Nandi R, De M, Browning S, dkk. Diphtheria: the patch remains. J Laryngol
Otol. 2003;117:807-10.
11. Immunization coverage and immunity to diphtheria and tetanus among children
in Hyderabad, India. J Infect. 2009;58:191-6.
12. Besa NC, Coldiron ME, Bakri A, Raji A, Nsuami MJ, Rousseau C, Hurtado
N, Porten K. Diphtheria outbreak with high mortality in northeastern Nigeria.
Epidemiol Infect. 2014;142:797-802.
13. Wanlapakorn N, Yoocharoen P, Tharnmaphornpilas P. Diphtheria outbreak in
Thailand 2012; seroprevalence of diphtheria antibodies among Thai adults and
its implications for immunization programs. Southeast Asian J Trop Med Pub
Health. 2014;45:1132-41.
14. Dittmann Sieghart D, Wharton M, Vitek C. Successful control of epidemic
diphtheria in the states of the former union of Soviet Socialist Republic: lessons
learned. Diunduh dari: http://jid.oxfordjournals.org/content/181/Supplement1/
S10.long. Diunduh tanggal 22 Februari 2015.
15. Reacer M, Ramsay M, White J. Nontoxigenic Corynebacterium diphtheria: An
emerging pathogen in England and Wales. Emerg Infect Dis. 2000;6:640-5.
16. CDC.2015 Catch-up Immunization Schedule. Diunduh dari: http://www.cdc.gov/
vaccines/schedules/downloads/child/catchup-schedule-pr.pd. Diunduh tanggal
21 Maret 2015.

46
Noisy Breathing in Children,
When Should be Referred
Darmawan B Setyanto

Tujuan:
1. Memahami pengertian bunyi, suara napas, dan simtomatologi noisy breathing.
2. Memahami apa saja yang tercakup dalam noisy breathing.
3. Mengetahui lebih jauh gejala stridor baik akut maupun kronik dan berbagai
diagnosis banding penyebabnya.
4. Mengetahui laringitis akut dan laringomalasia sebagai penyebab terbanyak
stridor pada anak.
5. Mengetahui pada keadaan apa kasus stridor perlu dirujuk.
6. Memahami bagaimana melakukan edukasi kepada keluarga pasien

Bunyi (sound) adalah getaran yang dialirkan melalui benda padat, cair, atau gas
yang elastis. Getaran yang dapat ditangkap oleh telinga manusia adalah yang
berada dalam rentang frekuensi antara 20-20 ribu Hertz. Aktivitas bernapas
menimbulkan bunyi karena terjadinya getaran akibat benturan atau gesekan
antaradinding saluran respiratori dengan udarayang mengalir di dalamnya.
Getaran ini kemudian diteruskan ke dinding toraks melalui parenkim paru,
yang dapat kita tangkap getarannya misalnya dengan stetoskop. Dalam keadaan
normal, suara napas timbul akibat aliran udara yang laminer dalam saluran
napas yang normal. Suara napas (respiratory sound) yang normal (dasar) mulai
dari yang keras yaitu suara trakea, bronkial, bronkovesikuler, hingga yang paling
lemah yaitu suara vesikuler.
Bila ada perubahan bentuk dalam lumen saluran napas baik karena
adanya penekanan dari luar, kelemahan, menyempitnya dinding saluran napas,
atau adanya benda asing padat ataupun cair, maka aliran udara napas akan
mengalami turbulensi dan menghasilkan suara napas abnormal atau suara napas
tambahan (adventitious respiratory sound). Suara napas dasar maupun tambahan
biasanya tidak terdengar tanpa bantuan alat (stetoskop). Suara napas dasar
dapat terdengar tanpa alat (audible) bila laju ventilasi meningkat sehingga
kita bernapas dengan cepat dan keras, misalnya pada saat kita mendesah atau
terengah saat berolahraga.1 Suara napas tambahan yang dapat didengar tanpa

47
Noisy Breathing in Children, When Should be Referred

alat disebut noisy breathing. Jadi noisy breathing adalah suara napas abnormal
yang dapat terdengar langsung.
Noisy breathing mencakup semua suara napas tambahan yang bersumber
mulai dari hidung hingga bronkus. Termasuk di dalamnya suara hidung yang
tersumbat, merintih (grunting), mendengkur (snoring), stridor, dan mengi
(wheezing).

Patofisiologi
Penyebab turbulensi aliran udara napas yang menghasilkan getaran atau
bunyi, dapat berasal dari dinding saluran respiratori atau dari dalam lumen
saluran respiratori. Kelainan dinding dapat berasal dari luar saluran napas
yaitu adanya tekanan oleh berbagai benda padat misalnya kelenjar limfe
yang membesar, pembesaran atau anomali vaskular besar, atau adanya tumor.
Dinding yang membengkak akibat inflamasi misalnya pada sindrom croup
juga dapat menyebabkan bunyi. Bila lokasi lesi di saluran napas atas yang
terletak ekstra-torakal, maka bunyi akan timbul pada fase inspirasi, misalnya
stridor pada pasien dengan laringitis atau laringomalasia. Sedangkan bila
lesi di saluran napas yang terletak intra-torakal maka bunyi akan terjadi saat
ekspirasi misalnya stridor ekpirasi pada trakeomalasia atau mengi pada asma
dan bronkiolitis.
Penyebab turbulensi aliran udara napas dapat berasal dari dalam lumen
saluran respiratori, yang dapat berupa benda padat atau cair. Benda padat
intralumen sebagai sumber bunyi biasanya adalah corpus alienum yang teraspirasi.
Benda padat ekstralumen dapat berupa tumor, benda asing di esofagus, atau
malformasi vaskular yang menekan trakea dari luar. Benda cair penyebab
bunyi adalah cairan sekresi yang berlebihan di saluran respiratori. Jumlah yang
berlebihan ini dapat karena produksinya yang berlebihan (hypersecretion) atau
kemampuan membersihkan saluran napas (airway clearance) yang terganggu
misalnya pada pasien dengan gangguan neuromuskular.
Noisy breathing dapat disebabkan lesi yang terkait dengan kelainan
sistem saraf pusat, sistem kardiovaskular, sistem gastro-intestinal, atau sistem
respiratori sendiri.2Noisy breathing mencakup semua suara napas tambahan
yang bersumber mulai dari hidung hingga bronkus. Termasuk di dalamnya
suara hidung yang tersumbat, merintih (grunting), mendengkur (snoring),
stridor, dan mengi (wheezing). Di antara berbagai noisy breathing, maka stridor
merupakan salah satu gejala yang cukup sering dijumpai dan dapat mengarah
kepada penyakit yang sebagian di antaranya perlu untuk dirujuk.

48
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

Stridor
Stridor adalah suara kasar dan bergetar bernada tinggi yang timbul pada saluran
napas atas yang mengalami obstruksi parsial, sehingga terjadi turbulensi aliran
udara di saluran respiratori.2-5Lesi sumber suara berasal dari saluran napas atas
di sekitar glotis.Makalah ini akan membahas stridor yang merupakan salah
satu yang utama dari berbagai jenis noisy breathing. Utama dalam arti cukup
sering dijumpai, cukup mudah dikenali gejalanya bahkan oleh awam sekalipun,
namun diagnosis penyakit dasarnya tidak selalu mudah. Stridor juga dapat
dijumpai dalam keadaan akut maupun kronik yang masing-masing banyak
sekali kemungkinan penyebab atau diagnosis bandingnya.

Tabel 1 . Diagnosis banding stridor berdasarkan lokasi lesi.2,6


Nasofaring Laring Trakea
Atresia koana Laringomalasia Trakeeomalasia
Lingual thyroid or thyro- Laryngeal web, cyst or laryngocele Bakterial trakeitis
glossal cyst Laringotrakeobronkitis(viral croup) Kompresi luar
Makroglosia Acute spasmodic laryngitis spasmodic croup
Mikrognatia Bakterial trakeitis
Hipertrofi tonsil/adenoid Epiglotitis
Abses retrofaring/peritonsil Vocal cord paralysis
Laryngotracheal stenosis
Intubasi
Korpus alineum
Higroma kistik
Hemangioma subglotis
Papiloma laring
Angioneurotic edema
Spasme laring (hypocalcemic tetany)

Selain berdasarkan lokasi lesi, dari aspek waktu stridor dapat dibagi
menjadi akut dan kronik. Pembagian ini juga dapat membantu untuk
penegakan diagnosis penyakit dasarnya.

Penyebab stridor akut:2,3,6


yy Benda asing teraspirasi
yy Croup – laringotrakeobronkitis
yy Bakterial trakeitis
yy Epiglotitis
yy Spasmodic croup (laringitis spasmodik akut)
yy Papilomatosis laring
yy Edema angioneurotik
yy Tetani hipokalsemik
yy Trauma, intubasi
yy Abses peritonsil atau retrofaring

49
Noisy Breathing in Children, When Should be Referred

Laringotrakeobrokitis (croup) merupakan penyebab tersering stridor


yang terjadi secara akut pada bayi dan anak kecil. Croup merupakan penyakit
infeksi respiratori akut yang disebabkan oleh virus, yang paling sering adalah
virus parainfluenza, namun juga dapat disebabkan oleh virus influenza tipe A
atau B, respiratory syncytial virus dan rhinoviruses. Croup biasanya terjadi pada
anak umur 6 – 36 bulan, ada yang melaporkanhingga 6 tahun, dengan puncak
kejadian pada tahun kedua kehidupan. Rasio lelaki banding perempuan sekitar
3:2. Penyakit ini biasanya diawali dengan rinofaringitis (common cold, selesma)
selama beberapa hari dengan demam yang tidak tinggi. Kemudian batuk
menjadi lebih keras dengan suara menyalak (barking cough), suara menjadi
serak, dan timbul stridor. Gejala memberat pada malam hari dan terpacu bila
pasien teragitasi atau menangis.6-8

Penyebab stridor kronik:2,3,6


yy Maformasi hidung dan faring
yy Malformasi kraniofasial
yy Hipotonia
yy Laringomalasia
yy Laryngeal web
yy Laryngeal cleft
yy Kista laring
yy Diskinesia laring yang dapat dijumpai pada pasien dengan gangguan
neuromuskular
yy Papiloma laring
yy Paralisis pita suara
yy Kista subglotik
yy Stenosis subglotik
yy Hemangioma subglotik
yy Higroma kistik
yy Fistula trakeo-esofagus
yy Refluks gastro-esofagus
yy Malformasi vaskular: vascular ring or sling

Laringomalasia merupakan penyebab tersering stridor kronik pada bayi


dan anak di bawah 2 tahun. Rasio lelaki banding perempuan sekitar 2:1.
Keadaan ini disebabkan defek intrinsik atau terlambatnya maturasi jaringan
penyokong laring. Jalan napas tersumbat sebagian pada saat inspirasi akibat
prolaps epiglotis yang flasid, aritenoid atau lipatan ariepiglotik. Stridor
inspiratori akanmemberat bila anak dalam posisi telentang, menangis atau
teragitasi, atau bila mengalami infeksi respiratori atas akut.6

50
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

Kapan perlu dirujuk


Sebagian pasien dengan stridor perlu dirujuk dari fasilitas medis primer ke
fasilitas yang lebih tinggi. Ada beberapa hal yang mendasari perlunya merujuk
kasus, di antaranya:
yy Kesulitan dalam diagnosis
yy Kegawatdaruratan
yy Kesulitan dalam tatalaksana

Kesulitan dalam diagnosis


Melihat begitu banyaknya diagnosis banding stridor akut maupun kronik,
dapat dimengerti bila menegakkan diagnosis penyebab gejala stridor tidak
mudah. Pembagian pertama untuk mempermudah diagnosis adalah awitan
kejadiannya, akut atau kronik yang membantu dalam menentukan diagnosis
sesuai dengan pengelompokannya. Sebagaimana biasa langkah diagnosis
medis mulai dengan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang.
Berikut contoh panduan anamnesis untuk mengarahkan diagnosis penyebab
stridor yang dapat dilakukan di layanan primer sekalipun.

Tabel 2. Anamnesis untuk evaluasi stridor.6


Anamnesis Etiologi yang mungkin
Umur awitan
Saat lahir Paralisis pita suara, lesi kongenital (atresia koana, laryngeal web, vascular ring)
Usia 4-6 minggu Laringomalasia
Usia 1-4 tahun Croup, epiglotitis, benda asing
Waktu kejadian
Akut Benda asing, croup, bakterial trakeitis, epiglotitis
Kronik Lesi anatomik: laringomalasia, laryngeal web, laryngo-tracheal stenosis
Faktor yang meperburuk
Aktivitas, menangis Laringomalasia, hemangioma subglotik
Posisi telentang Laringomalasia, trakeomalasia, makroglosi, mikrognati
Waktu malam Viral croup, spasmodic croup
Pemberian makan Fistula trakeo-esofagus, trakeomalasia, gangguan neuromuskular, malformasi
vaskular
Didahului selesma Croup, bakterial trakeitis
Tersedak Benda asing, fistula trakeo-esofagus
Gejala penyerta
Batuk menyalak Croup,
Napas berdesah Lesi trakea
Liur menetes Epiglotitis, benda asing di esofagus, abses pertonsil atau retrofaring
Tangisan lemah Anomali laring, gangguan neuromuskular
Tangisan teredam Lesi supraglotik
Suara serak Croup, paralisis pita suara
Gangguan menalan Lesi supraglotik, gangguan neuromuskular
Riwayat medis
Intubasi Laringomalasia, stenosis laring, paralisis pita suara
Trauma lahir, asfiksia Paralisis pita suara,
Alergi Spasmodic croup, edema angioneurotik

51
Noisy Breathing in Children, When Should be Referred

Demikian pula panduan pemeriksaan fisis berikut dapat dilakukan di


fasilitas medis primer.

Tabel 3. Pemeriksaan fisis untuk evaluasi stridor.6


Temuan klinis Etiologi yang mungkin
Umum
Sianosis Croup berat, laringomalasia berat
Demam Croup, abses retrofaring
Tampak toksik Epiglotitis
Jenis stridor
Inspiratori Croup, Laringomalasia
Ekspiratori Trakeomalasia
Bifasik Laringotrakeomalasia
Posisi anak
Duduk miring, tripod Epiglotitis
Berkurang bila tengkurap Laringomalasia
Pemeriksaan fisis
Fase inspirasi memanjang Obstruksi laring: croup, laringomalasia
Fase ekspirasi memanjang Obstruski trakea: bakterial trakeitis, trakeomalasia
Hemangioma kulit Hemangioma subglotik

Untuk pemeriksaan penunjang, sebagian dapat dilakukan di fasilitas


medis primer namun sebagian yang lain memerlukan pemeriksaan yang lebih
canggih sehingga perlu dirujuk. Selain ketersediaan alat diagnosis yang lebih
lengkap dan maju, tentu juga ketersediaan tenaga ahli untuk memeriksa dan
menafsirkan hasil pemeriksaan.

Fasilitas yang diperlukan untuk diagnosis lebih tepat:


yy Endoskopi: rinofaringolaringoskopi, esofagoskopi, bronkoskopi
yy Pencitraan: radiologi, USG, ekokardiografi, CT-scan, Magnetic resonance
imaging

Banyak laporan kasus yang menunjukkan bahwa diagnosis penyebab


stridor tidak mudah dilakukan. Berikut beberapa contoh stridor dengan
penyebab yang sulit didiagnosis.
Bayi lelaki usia 7 bulan dengan keluhan stridor sejak usia 6 minggu
yang makin mengeras hingga usia 10 bulan, dan kemudian menetap hingga
datang ke RS. Anak tampak baik saja , tidak gagal tumbuh, tidak ada riwayat
tersedak atau tertelan benda asing. Pasien sudah dibawa ke beberapa dokter
dan didiagnosis sebagai laringomalasia. Selain stridor, pada pemeriksaan
fisis tidak ditemukan kelainan. Pada foto toraks tidak tampak penyempitan
saluran respiratori. Pemeriksaan barium meal tidak menunjukkan kelainan
yang nyata. Pada pemeriksaan bronkoskopi fleksibel terlihat penyempitan

52
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

antero-posterior di pertengahan trakea. Pemeriksaan CT-scan tampak massa


dalam esofagus di belakang trakea yang tertekan, dan terlihat garis radiolusen
dalam massa tersebut. Diagnosis banding yang dipikirkan antara lain kista
esofagus, kista bronkogenik, dan abses perforasi. Kemungkinan benda asing
tidak dipertimbangkan karena usia bayi dan awitan stridor sejak usia 6 minggu.
Diputuskan untuk melakukan operasi dan ternyata ditemukan koin plastik
berdiameter 15mm dan tebal 1mm tersangkut di esofagus.9
Anak lelaki 2 tahun dengan riwayat stridor berulang sejak usia 6 bulan.
Pemberian antibiotik tidak memberi perbaikan, dan secara pelahan mengalami
peningkatan progresif gejala stridor, suara yang melemah, dan penurunan nafsu
makan. Suara serak yang nyata dan sesak napas selama 10 hari mendorong
dilakukannya evaluasi kemungkinan aspirasi benda asing. Foto toraks dan
saluran cerna atas dengan kontras tidak menunjukkan adanya kelainan. Foto
lateral leher menunjukkan massa supraglotik dan subglotik. Pemeriksaan
laringoskopi menunjukkan adanya papiloma masif.10
Bayi usia 6 minggu dibawa ke IGD karena stridor disertai sianosis berulang.
Foto lateral leher menunjukkan pelebaran jaringan lunak retrofaring, diduga
abses retrofaring dan diberi antibiotik intravena namun tidak menunjukkan
perbaikan. MRI yang dilakukan pada hari ke-tujuh rawat menunjukkan
massa retrofaring yang memanjang hingga ke ruang karotid. Massa ini dengan
mudah direseksi melalui jalur oral. Pemeriksaan histopatologi menunjukkan
jaringan timus.11

Kegawatdaruratan
Mengingat bahwa stridor timbul akibat adanya obstruksi parsial saluran
respiratori, maka hal ini berpotensi menimbulkan kegawatdaruratan di bidang
respiratori, bahkan pasien dapat mengalami gagal napas. Croup merupakan
penyebab terbanyak stridor akut pada anak dengan demam.8,12 Croup atau
laringotrakeitis adalah inflamasi pada laring yang meliputi glotis dan subglotis.
Manifestasi klinis sangat lebar variasinya. Anak dengan croup biasanya tidak
tampak toksik. Sebagian besar anak mengalami batuk ‘menyalak’ (barking
cough) dan suara serak. Sebagian mengalami stridor saat beraktivitas atau
teragitasi. Sebagian lain bergejala stridor dan sesak saat istirahat. Kebalikannya
anak yang mengalami croup yang berat justru tampak stridornya lebih tenang
akibat hebatnya obstruksi sehingga aliran udara hanya sedikit. Keadaan
terakhir inilah yang justru merupakan keadaan bahaya karena anak dapat
mengalami gagal napas.12

53
Noisy Breathing in Children, When Should be Referred

Alberta Medical Association membuat pedoman tatakelola croup pada anak.


Untuk membantu penilaian derajat beratnya croup, dibagi menjadi 4 derajat:13
yy Ringan – batuk menyalak sesekali, tidak terdengar stridor saat istirahat,
dan tidak ada retraksi atau retraksi ringan suprasternal &/ interkostal.
yy Sedang – batuk menyalak sering, stridor terdengar saat istirahat, retraksi
suprasternal &/ interkostal saat istirahat, anak masih relatif tenang
yy Berat – batuk menyalak sering, stridor inspiratori nyata, retraksi nyata
dinding toraks, dan sesak yang berat dan anak teragitasi.
yy Ancaman gagal napas – batuk menyalak tidak menonjol, stridor
menjadi berkurang, retraksi suprasternal tidak nyata, air entry tidak
baik, hipoksemia, hiperkarbia, letargi dan kesadaran menurun, dan anak
sianosis.8,12,13

Sebagian besar croup termasuk dalam derajat ringan dan sedang, serta
umumnya membaik dengan sendirinya (self limited), sehingga cukup dengan
rawat jalan . Namun sebagian kecil dengan derajat berat dapat mengalami
obstruksi respiratori atas berat hingga mengalami gagal napas. Kurang dari
15% anak yang memerlukan rawat inap dan hanya 1-5% yang memerlukan
intubasi.7,8 Anak dengan derajat croup berat atau ancaman gagal napas ini yang
memerlukan rujukan ke fasilitas medis yang lebih tinggi. Pada kelompok ini,
henti napas dapat terjadi mendadak saat episode batuk yang hebat.12
Agitasi dan kecemasan dapat memperparah obstruksi yang terjadi
sehingga pasien perlu dibuat senyaman mungkin dan ditatalaksana dengan
hati-hati. Perlu pertimbangan mendalam dalam melakukan tindakan yang
berpotensi menimbulkan agitasi pada pasien. Usahakan pasien tetap dalam
gendongan / pangkuan orang tua atau pengasuhnya saat diperiksa. Jangan
memaksa memeriksa pasien dalam keadaan terbaring di tempat tidur.
Pemeriksaan faring dilakukan pada pasien yang kooperatif. Bila memerlukan
pemeriksaan pencitraan pasien perlu didampingi oleh pengasuhnya. Tindakan
invasif seperti pemasangan infusapalagi pengambilan darah untuk analisis
gas darah sedapat mungkin dihindari. Bila memerlukan pemberian oksigen,
lakukan dengan meletakkan ujung pipa oksigen beberapa cm di depan mulut-
hidung pasien (blow by oxygen).8,14
Croup disebabkan oleh virus sehingga tidak memerlukan antibiotik.
Namun terdapat diagnosis banding stridor pada pasien demam yang disebabkan
oleh bakteri yaitu bakterial trakeitis dan epiglotitis. Kedua keadaan ini
jarang ditemukan namun memerlukan tindakan agresif pada fasilitas medis
yang lengkap, terutama untuk epiglotitis. Dengan demikian bila mengelola
pasien croup perlu kewaspadaan terhadap kemungkinan dua keadaan ini yang
memerlukan rujukan ke fasilitas medis yang lengkap.

54
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

Bakterial trakeitis
Bakterial trakeitis (BT) jarang terjadi dengan insidens 4-8 per 1 juta anak.
Penyakit ini berbahaya karena berlangsung dengan cepat dan mengancam
nyawa dengan mortalitas hingga 20%. Sekitar 80% pasien memerlukan intubasi
dan 94% memerlukan perawatan intensif. Risiko terjadinya penyakit ini lebih
tinggi pada pasien dengan artificial airway seperti trakeostomi.8,15 Penyakit BT
merupakan croup yang mengalami infeksi sekunder dari infeksi lain respiratori
atas (faringitis, rinosinusitis) atau dari koloni kuman di daerah naso-faring-
laring. Kuman penyebab biasanya ada beberapa dan Staphylococcus aureus
yang paling sering. Kuman respiratori lain yang menjadi penyebab adalah
Streptococcus pneumoniae, Streptococcus pyogenes, Haemophilus influenzae, dan
Moraxella catharralis.8
Akibat infeksi sekunder ini terjadi peningkatan sekresi purulen yang
kental yang dapat menyumbat saluran napas. Pada BT berat terbentuk
pseudomembran di sepanjang trakea, yang dapat terlepas dan memperparah
obstruksi yang terjadi. Pasien demam tinggi, perburukan klinis terjadi cepat,
pasien makin sesak yang berlangsung dengan progresif.Bakterial trakeitis perlu
dipikirkan bila dengan tatalaksana baku croupyaitu pemberian deksametason
dan epinefrin keadaan pasientidak membaik, dan dijumpai keadaan klinis di
atas.8,13

Epiglotitis
Epiglotitis adalah inflamasi pada epiglotis dan struktur supraglotik. Inflamasi
menyebabkan edema yang mempersempit daerah supraglotik dan mengubah
bentuk dan arah epiglotis menekuk ke posterior inferior. Pasien tidak bisa
mengeluarkan lendirnya. Penyakit ini mengenai anak umur 2-6 tahun.
Manifestasi tipikalnya pasien datang dengan sesak napas yang awitannya cepat,
demam tinggi, dan suara teredam (muffled voice). Stridor dapat terdengar,
namun berbeda dengan croup, pada epiglotitis batuk dan suara serak justru
tidak dijumpai.8
Epiglotitis merupakan kegawatan respiratori. Kasusnya jarang dijumpai,
tapi menurut kepustakaan tampilan klinis pasien khas sekali sehingga tidak
akan terlewatkan diagnosisnya. Pasien tampak toksik, gelisah, iritabel dan
ketakutan. Anak duduk dalam posisi tripod untuk memaksilmalkan udara
napas yang masuk.16
Mulut pasien terbuka lebar dengan lidah terjulur, liur menetes keluar
mulut (drooling) karena kesulitan menelan bahkan terasa nyeri. (lihat gambar)
Ada yang menyebut pasien epiglotitis mempunyai trias D, drooling – dysphagia
– distress. Epiglotis tampak bengkak, eritematous, cherry red yang dapat terlihat
pada pemeriksaan hati-hati daerah orofaring. Namun pemeriksaan ini tidak

55
Noisy Breathing in Children, When Should be Referred

Gambar. Pasien dengan epiglotitis, duduk miring atau posisi tripod dan
tampak mulut terbuka dan ‘drooling’.

boleh dilakukan bila akan mengganggu pernapasan pasien.16 Pemeriksaan pada


pasien dengan kecurigaan epiglotitis harus dilakukan dengan sangat hati-hati.
Bila pasien teragitasi atau meningkat kecemasannya dapat memprovokasi
prolaps epiglotis, spasme laring dan henti jantung paru.8

Tabel 4. Perbedaan croup dengan bakterial trakeitis dan epiglotitis.14


Manifestasi klinis Croup Bakterial trakeitis Epiglotitis
Kecepatan awitan Jam-hari, 12-48 jam Memburuk Jam
Didahului IRA atas Ya Ya Tidak
Demam Subfebris Febris Demam tinggi
Penampilan Sakit ringan, rewel Sakit sedang-berat Toksik
Posisi badan Tidak khas Tidak khas Posisi tripod
Batuk Menyalak Menyalak - berdahak Minimal – tidak ada
Stridor Inspiratori, keras Bifasik Lemah
Suara Serak; kasar Serak Teredam (muffled)
Tangisan Serak Lemah Lemah
Drooling Tidak Tidak Ya
Minum Biasa Berkurang Sulit
Respons tatalaksana Membaik Tidak membaik Tidak

Benda asing
Benda asing padat dapat terhirup dan tersangkut di daerah laring, atau
esofagus bagian atas yang kemudian dapat menekan laring-trakea sehingga
menyempitkan saluran respiratori atas dan timbul stridor. Kecurigaan timbul
pada pasien yang sebelumnya tidak ada keluhan demam atau respiratori,
kemudian tiba-tiba mengalami stridor dan atau sesak. Terlebih bila tersaksikan

56
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

pasien tersedak atau diketahui sebelumnya bermain dengan benda berukuran


kecil.13,14
Benda asing (BA) padat yang teraspirasi mempunyai 3 kemungkinan.
Pertama, BA terdorong keluar oleh batuk. Kedua, BA tetap di saluran
respiratori tanpa menimbulkan obstruksi bermakna. Ketiga, BA menyebabkan
obstruksi saluran respiratori parsial atau sepenuhnya. Pasien bayi yang
mengalami obstruksi total memerlukan tindakan tepuk punggung (back slaps)
atau penekanan mendadak dada (chest thrust) dengan posisi kepala ke bawah,
atau penekanan perut (abdominal thrust) untuk anak yang lebih besar. Usaha
mencongkel benda asing lewat mulut secara ‘buta’ tidak boleh dilakukan.17
Pasien yang mengalami obstruksi parsial harus ditempatkan dalam posisi
yang nyaman, dan secepat mungkin dirujuk ke fasilitas medis yang mampu
menatalaksana. Pengiriman pasien yang mengalami obstruksi parsial tidak
boleh tertunda karena pemeriksaan pencitraan. Tindakan definitif tidak boleh
ditunda bila hasil radiografi polos menunjukkan hasil negatif. Penundaan
seperti itu akan meningkatkan risiko terjadinya komplikasi.17

Kesulitan dalam tatalaksana


Laringomalasia berat dapat dianggap kegawatan juga namun dalam jangka
panjang. Pasien dengan laringomalasia akan mengalami dua masalah utama.
Pertama adalah gangguan aliran napas yang bersifat kronik sehingga dapat
menyebabkan hipoksia kronik. Proses menelan memerlukan koordinasi
kompleks dari otot-otot laring yang secara harmoni melakukan gerakan
sekuensial bergantian antara menelan dan menarik napas. Dalam keadaan
sesak napas, koordinasi ini sulit dilakukan sehingga pasien dengan
laringomalasia berat berisiko mengalami aspirasi berulang. Selain itu karena
kesulitan koordinasi tersebut juga menyebabkan gangguan asupan makanan.
Kombinasi antara kurangnya asupan, kebutuhan metabolisme ekstra karena
usaha napas yang berat dan hipoksia kronik akan mengakibatkan gangguan
gizi berupa gagal tumbuh, bahkan gizi buruk.
Kasus laringomalasia berat tentu tidak dapat ditatalaksana secara
konservatif di fasilitas medis primer. Sebelum melakukan tatalaksana
menyeluruh, pasien perlu menjalani prosedur diagnosis lebih lanjut seperti
endoskopi seperti laringoskopi, bronskoskopi dan mungkin esofagoskopi. Pasien
dengan laringomalasia terutama yag berat, biasanya disertai kelainan serupa di
saluran respiratori bawah berupa trakeomalasia atau bronkomalasia. Dengan
demikian evaluasi bronkoskopi menyeluruh perlu dilakukan.8
Sebagian besar laringomalasia berat memerlukan tindakan bedah seperti
supra-glotoplasti. Indikasi bedah pada pasien laringomalasia etrmasuk:8

57
Noisy Breathing in Children, When Should be Referred

yy Distres respiratori berat


yy Hipoksemia, saturasi O2 saat istirahat <90%
yy Sianosis
yy Life threatening events
yy Kesulitan asupan oral
yy Gagal tumbuh

Pasien laringomalasia berat akan mendapatkan manfaat nyata dari


tindakan bedah, berupa perbaikandalam fungsi respiratori dan asupan
makanan.8 Pada pasien laringomalasia berat biasanya disertai dengan penyakit
refluks gastro-esofagus. Untuk mengatasinya perlu pemasangan naso-jejuno-
feeding tube (NJFT) yang dipandu dengan esofagoskopi. Dengan demikian
kasus laringomalasia berat memerlukan rujukan baik untuk diagnosis maupun
tatalaksananya.
Pasien lain dengan stridor yang memerlukan tindakan invasif atau bedah
adalah dengan diagnosis:
yy Aspirasi benda asing
yy Laryngeal web
yy Stenosis laring
yy Tumor atau lesi laring seperti hemangioma, papilomatosis

Edukasi
Setelah mengidentifikasi apa yang menjadi dasar timbulnya stridor dan dapat
menegakkan diagnosis, maka kepada orangtua pasien perlu diberikan edukasi.
Bila terkait dengan keadaan gawat darurat, maka orangtua perlu diberitahu
keadaan tersebut dan perlunya melakukan tindakan segera. Bila tidak dalam
keadaan gawat darurat, maka kita perlu menyediakan waktu menjelaskan
tentang penyakitnya, meliputi penyebabnya, sistem organ yang terkena, dan
mengapa timbul gejala tersebut. Bila memerlukan rujukan, jelaskan pula
kenapa perlu dirujuk, apa yang dilakukan dan apa tujuannya. Tatalaksana
menyeluruh tentang penyakitnya juga perlu dijelaskan. Kemungkinan bahaya
dan komplikasi yang mungkin timbul, sehingga pasien perlu dirujuk. Prognosis
penyakit juga perlu diterangkan agar orangtua tidak mempunyai pandangan
dan harapan yang keliru tentang penyakit anaknya.

Simpulan
Stridor merupakan simtomatologi respiratori atas yang cukup sering ditemukan
dalam praktek sehari-hari. Bila menemukan stridor akut, diagnosis banding

58
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

yang paling mungkin adalah laringitis akut. Sedangkan bila menemukan


stridor kronik yang awitannya pada awal masa bayi, maka laringomalasia
perlu dipikirkan pertama kali. Simtomatologi ini cukup banyak dijumpai dan
menjadi kekhawatiran orangtua pasien. Pada sebagian besar kasus stridor dapat
ditatalaksana di fasilitas medis primer, namun sebagian perlu dirujuk bila ada
kesulitan dalam hal diagnosis, kegawatdaruratan, atau kesulitan tatalaksana
karena terbatasnya fasilitas.

Daftar pustaka
1. Forgacs P. Noisy breathing. Chest 1973; 63:38S-41S.
2. Benson BE, Baredes S, Schwartz RA. Stridor. emedicine.medscape.com/
article/995267-overview - Updated: Jan 30, 2015
3. Escobar ML, Needleman J. Stridor. Pediatr Rev 2015; 36:135-7.
4. Cohen LF, Rockville. Stridor and upper airway obstruction in children. Pediatr
Rev 2000; 21:4-5.
5. Maloney E, Maekin GH. Acute stridor in children. Cont Edu Anaes Crit Care
Pain 2007; 7:183-6.
6. Leung AKC, Cho H. Diagnosis of stridor in children. Am Fam Physian 1999;
60:2289-96.
7. Zorob R, Sidani M, Muray J. Croup: An Overview. AmFam Physician.
2011;83:1067-73.
8. Virbalas J, Smith L. Upper airway obstruction. Pediatr Rev 2015; 36:62-73.
9. Sherrington CA, Crameri JA, Coleman LT, Sawyer SM. Stridor in infant. Eur
Respir J 1999; 14:717-9.
10. Zacharisen MC, Conley SF. Recurrent respiratory papillomatosis in children:
masquerader of common respiratory diseases. Pediatrics 2006; 118:1925-31.
11. Shah SS, Lai SY, Ruchelli E, Kazahaya K, Mahboubi S. Retropharyngeal abberant
thymus. Pediatrics 2001; 108:e94.
12. Defendi GL, Muniz A, Molodow RE. Croup. emedicine.medscape.com/
article/962972-overview Updated: Apr 15, 2014.
13. Alberta Medical Association. Guidelines for the Diagnosis and Management of
Croup. 2008 update.
14. South Australia Health Clinical Network. Management of Acute Croup in
Children – Policy Clinical Guideline 2013.
15. Kuo CY, Parikh SR. Bacterial tracheitis. Pediatr Rev 2014; 35:497-9.
16. Tolan RW, Muniz A. Pediatric epiglottitis. emedicine.medscape.com/article/963773
- Updated: Apr 11, 2013.
17. Louie MC, Bradin S. Foreign body ingestion and aspiration. Pediatr Rev 2009;
30:295-300.

59
Peran Endoskopi pada Kasus Emergensi Anak
Pramita G Dwipoerwantoro

Tujuan:
1. Mengetahui jenis prosedur endoskopi saluran cerna pada anak
2. Mengetahui kasus-kasus emergensi yang dapat dilakukan tindakan
endoskopi diagnostik maupun terapetik
3. Mengetahui algoritma merujuk pasien yang akan dilakukan endoskopi
segera

Prosedur endoskopi saluran cerna pada anak telah mengalami perkembangan


yang sangat pesat baik bagi prosedur diagnostik maupun terapeutik sejak
pertama kali penggunaannya pada anak di era 1970an. Sejak dua dekade
terakhir, telah banyak publikasi mengenai pengalaman maupun inovasi dalam
bidang intervensi endoskopi terapeutik terutama saluran cerna atas.1 Pada
akhir 1970an nilai diagnostik endoskopi anak secara perlahan mulai menggeser
kebutuhan prosedur radiologi yang menggunakan kontras.2 Penggunaan alat
endoskopi anak dipilih berdasarkan usia dan berat badan anak (Tabel 1).3

Tabel 1. Panduan penggunaan alat endoskopi saluran cerna atas berdasarkan berat badan anak3
Berat Badan (kg) Esofagogastroduodenoskopi ERCP
< 2,5 < 6 mm gastroskopi 7,5 mm duodenoskopi
2,5 – 10 < 6 mm gastroskopi (lebih disukai) 7,5 mm duodenoskopi
Gastroskopi standar dapat dipertimbangkan bila
diperlukan tindakan terapeutik
10 – 35 Gastroskopi Anak atau tipe “langsing” Memakai tipe “langsing” atau gas-
troskopi anak
>35 Standar Kebanyakan dapat memakai standar
duodenoskopi
*ERCP = endoscopic retrograde cholangiopancreatography

Secara umum prosedur diagnostik maupun terapeutik dapat dikelompokan


sebagai endoskopi saluran cerna atas dan bawah. Indikasi tersering penggunaan
endoskopi saluran cerna atas, baik untuk diagnostik maupun terapeutik, dapat
dilihat pada Tabel 2.3 Pada prinsipnya keputusan penggunaan endoskopi pada
bayi maupun anak berdasarkan pertimbangan apakah prosedur endoskopi
tersebut akan merubah atau menentukan diagnosis, pengobatan ataupun
prognosis. Hal tersebut tentunya sangat tergantung dengan keahlian operator

60
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

maupun jenis endoskopi dan alat pendukung (asesoris) yang dimiliki oleh pusat
endoskopi saluran cerna tersebut.3

Endoskopi intervensi
Prosedur emergensi
Dua indikasi tersering endoskopi saluran cerna atas emergensi yang dilakukan
oleh Konsultan Gastrohepatologi Anak adalah tertelan benda asing dan
perdarahan saluran cerna atas.

Tabel 2. Indikasi endoskopi saluran cerna atas3


Diagnostik
Nyeri perut berulang (sangat penting untuk membedakan dari nyeri perut fungsional)
Berat badan turun / gagal tumbuh tidak hanya akibat kurang asupan nutrisi
Disfagia
Diare / malabsorpsi (sangat penting untuk membedakan dari nyeri perut fungsional)
Muntah persisten / hematemesis
Investigasi anemia defisiensi besi
Kecurigaan terhadap enteropati – penyakit celiac (guideline baru) / autoimun
Investigasi terhadap IBD (inflammatory bowel disease)
Terapeutik
Ekstraksi benda asing
Insersi selang makanan (NJFT = nasojejunal feeding tube)
Dilatasi striktur
Ligasi / injeksi varises
Terapi botox
Eksisi polip

Ektraksi benda asing


Anak dalam fase tumbuh kembang akan melakukan eksplorasi dan berinteraksi
dengan lingkungan sekitarnya dan seringkali tidak dapat dihindari tertelan
benda asing tanpa diketahui oleh penjaganya. Hal ini biasanya terjadi pada
lebih dari 80% anak berusia 6 bulan sampai 3 tahun.4,5 Seringkali benda
asing yang tertelan dapat ke luar melalui anus secara spontan, hanya 10-20%
memerlukan tindakan endoskopi untuk mengekstraksi dari saluran cerna
atas, dan sekitar 1% saja yang memerlukan tindakan bedah.4,6 Sangat jarang
tertelan benda asing menyebabkan kematian, walaupun laporan mengenai
hal tersebut ada.7,8 Beberapa jenis benda asing yang tertelan dan berhasil
diekstraksi di Pusat Endoskopi Saluran Cerna (PESC) RSCM, berdasarkan
kekerapannya secara berturut-turut adalah koin, jarum pentul, mainan, dan
bros (Gambar 1). Koin merupakan merupakan temuan paling sering benda
asing yang tertelan oleh anak.9

61
Peran Endoskopi pada Kasus Emergensi Anak

Pada saat bayi ataupun anak dicurigai tertelan benda asing maka perlu
dilakukan anamnesis yang cukup cermat mengenai detil peristiwa dan
dilakukan pemeriksaan foto polos antero-posterior dan lateral. Intervensi
yang akan dilakukan tergantung dari beberapa hal; yaitu: (1) jenis benda yang
tertelan; (2) lokasi benda tersebut; dan (3) usia pasien. Lokasi biasanya di
daerah penyempitan yang fisiologis; yaitu: bagian atas sfingter esofagus, sebatas
arkus aorta, bagian bawah sfingter esofagus atau bagian lambung biasanya
daerah fundus.6,10 Lokasi sakit yang ditimbulkan ataupun gejala yang timbul
tidak selaluberhubungan dengan lokasi impaksi (inervasi visera).11
Akhir-akhir ini tertelan batere kancing/cakram (button/disc) kerap
dijumpai12 seperti halnya salah satu kasus yang dirujuk ke Departemen IKA
FKUI-RSCM dari Makassar (Gambar 2). Batere standar dapat menyebabkan
masalah karena ukurannya dan akibat bocornya materi yang dapat merusak
(caustic material), sedangkan batere kancing/ cakram memiliki tambahan
risiko terjadinya konduksi listrik (karena kedua kutubnya berkontak langsung
dengan mukosa saluran cerna) yang dapat mengakibatkan nekrosis jaringan
dan berpotensi perforasi.13 Oleh sebab itu tertelan batere kancing/cakaram
di lokasi manapun di saluran cerna atas harus segera dilakukan ekstraksi.3,13

Gambar 1. Jenis benda asing yang diekstraksi menggunakan endoskopi di PESC–RSCM

A. Koin logam Rp 1000,- di lambung (gunakan Roth-net); B. Jarum pentul tertancap di katup pilorik
lambung (gunakan snare); C. Mainan di dalam lambung (gunakan snare); D. Bros di fundus lambung
(gunakan Roth-net).

62
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

Sekitar 30% obyek yang tertelan adalah benda tajam seperti jarum dan
peniti7, dan hal ini menempati urutan kedua terbanyak setelah tertelan koin
di Departemen IKA FKUI-RSCM. Kebanyakan benda yang tertelan tersebut
tidak “radio-opaque” sehingga bila dicurigai tertelan benda tersebut sebaiknya
dilakukan evaluasi gunakan endoskopi sekaligus ekstraksi benda asing tersebut.3

Impaksi Bolus Makanan


Kondisi ini merupakan salah satu kondisi emergensi bila impaksi terjadi
di esofagus akibat tidak dapat menelan saliva dengan risiko aspirasi. Hal
ini lebih jarang terjadi pada anak dibandingkan dewasa, biasanya akibat
kelainan patologis esofagus seperti esofagitis eosinofilik, akalasia dan striktur.14
Penggunaan obat-obatan seperti glucagon, buscopan dan enzim proteolitik
tidak memiliki cukup bukti bermanfaat pada kondisi ini.15 Teknik pengambilan
yang cukup aman menggunakan alat Roth-net yang dapat juga digunakan untuk
mengambil koin, potongan polip, maupun benda asing (Gambar 1A, 1D).

A.

B. C.

Gambar 2. A. Tertelan batere kancing (button) pada bayi usia 4 bulan (foto polos AP dan lateral) dan
akibat lanjut terjadinya B. Fistel trakeo-esofagus setinggi torakal 1-2 (Ba-meal) dan C. Striktur esofagus
(pada endoskopi sejauh 10 cm dari insisivus) pasca ekstraksi batere kancing menggunakan endoskopi
rigid pada bayi tersebut; pada evaluasi 3 bulan kemudian di IKA FKUI–RSCM.

63
Peran Endoskopi pada Kasus Emergensi Anak

Tata laksana tertelan benda asing pada anak tergantung pada gejala yang
ditimbulkan yaitu tanpa gejala sampai gejala berat berupa gangguan pernapasan
atau nyeri abdomen akut. Gejala ringan dapat berupa menolak makan, batuk,
mual/muntah, sensasi benda asing dan sakit kerongkongan. Gejala sedang
sampai berat berupa disfagia, odinofagia, meneteskan air liur, stridor dan nyeri
retrosternal. Apabila benda asing terletak di distal esofagus maka seringkali
disertai hematoskezia, melena, nyeri perut dan distensi abdomen. Gejala
sistemik yang timbul berupa dermatitis kontak akibat nikel.6,16-18
Berdasarkan tampak atau tidak tampaknya benda asing yang tertelan
maka secara garis besar ada dua algoritma cara penanganan yaitu bila dengan
pemeriksaan foto polos leher/dada/abdomen tervisualisasi (radio-opaque) dan
bila tidak tervisualisasi (radio-lucent). Algoritma dari beberapa rumah sakit
pendidikan pada dasarnya mirip, sebagai ilustrasi dapat dilihat pada Gambar
3A dan 3B.16

Gambar 3A. Contoh algoritma tertelan benda asing (foto polos Radio-opaque)
pada kondisi pasien yang stabil16

64
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

Bila benda asing terletak di esofagus maka ekstraksi dalam sedasi umum
gunakan intubasi endotrakeal sangat dianjurkan. Bila tertelan koin tidak
perlu segera, akan tetapi beberapa kondisi memerlukan ekstraksi urgen
atau segera seperti tertelan batere kancing/cakram dan tertelan benda asing
yang tajam (jarum, peniti, jepit rambut dll). Tertelan batere kancing/cakram
dapat menyebabkan kerusakan jaringan korosif, sedangkan benda tajam di
esofagus dapat berakibat perforasi sampai pneumo-mediastinum.6,16-18 Dalam
penanganan benda asing yang tertelan di esofagus perlu dipastikan melalui
pemeriksaan foto polos apakah yang tertelan hanya koin atau batere kancing/
cakram (memberikan gambaran kontur ganda pada foto polos antero posterior
dan terdapat gambaran seperti bahu pada arah lateral). Jika batere kancing/
cakram dapat melewati esofagus maka absorpsi sistemik yang ditakutkan
jarang terjadi. Tidak diperlukan pengobatan khusus bila jenis batere tersebut
mencapai lambung. Pemberian laksatif kuat untuk meningkatkan waktu
singgah dapat dicoba. Bila dengan cara ini masih belum berhasil, maka ekstraksi
benda asing harus dilakukan dengan endoskopi.16

Gambar 3B. Contoh algoritma tertelan benda asing (foto polos radio-lucent)
pada kondisi pasien yang stabil16

65
Peran Endoskopi pada Kasus Emergensi Anak

Tertelan magnet tidak akan berakibat intoksikasi sistemik, akan tetapi


tertelan beberapa magnet sekaligus atau bila magnet tertelan bersamaan
dengan kepingan metal maka akan meningkatkan risiko komplikasi akibat
impaksi usus di antara kedua benda magnetik tersebut. Pada kondisi tersebut
dapat terjadi komplikasi perforasi, volvulus, ulserasi, dan peritonitis.
Kedua contoh algoritma tersebut berlaku hanya pada kondisi pasien
yang stabil. Bila terjadi kegawatan akibat sekunder penekanan dari saluran
cerna atas akibat tertelan benda asing, atau secara klinis pasien tidak stabil
(kesadaran menurun, gagal napas, dan/atau syok) maka perlu dirujuk segera
ke rumah sakit yang memiliki fasilitas endoskopi saluran cerna setelah kondisi
pasien distabilkan.

Perdarahan Saluran Cerna Atas


Kondisi ini dapat mengancam jiwa walaupun jarang terjadi pada anak.
Penyebab perdarahan saluran cerna atas pada anak beragam dan tergantung
pada usia dan letak geografis.19 Penyebab tersering pada anak adalah akibat
ulkus peptik, varises, robekan Mallory-Weiss, lesi dieulafoy dan angioektasia.15,18
Kasus perdarahan saluran cerna atas pada anak yang tersering dilakukan
endoskopi emergensi di PESC RSCM adalah akibat pecahnya varises esofagus
akibat hipertensi portal ekstrahepatik dan yang berasal dari mukosa saluran
cerna atas yang erosif atau ulkus peptik (Gambar 4). Hal ini sesuai dengan
yang ditemukan di Asia maupun negara maju.20,21

A.

B.
Gambar 4. A. Kasus varises esofagus pada remaja lelaki, 14 tahun sebelum dan sesudah ligasi.
B. Kasus hematemesis dan melena pada anak 12 tahun akibat ulkus pada GERD berat dan pada anak 12
tahun akibat gastritis erosif pada acute kidney injury.

66
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

Pada umumnya pasien datang dengan gejala dan tanda hematemesis


(73%), melena (21%), dan muntahan seperti bubuk kopi (6%); di samping
keluhan nyeri epigastrik, nyeri seluruh lapang perut, atau pusing.22,23 Kematian
akibat perdarahan saluran cerna atas berkisar antara 5-21%.20 Angka kematian
ini dapat ditekan bila dilakukan deteksi dini dan tata laksana adekuat terhadap
perdarahan saluran cerna atas yang terjadi didukung dengan adanya fasilitas
PICU dan kerja sama multidisiplin dalam upaya stabilisasi kondisi hemodinamik
termasuk tata laksana pasien dengan kondisi sakit berat.22
Tujuan utama tata laksana perdarahan saluran cerna atas pada anak
adalah stabilisasi hemodinamik, penghentian sumber perdarahan, dan
pencegahan perdarahan berulang.24 Diagnosis maupun tata laksana perdarahan
saluran cerna atas menggunakan endoskopi sebaiknya dilakukan dalam 24 jam
pertama setelah kondisi hemodinamik stabil dan pasien telah mendapat terapi
proton pump inhibitor (contohnya omeprazole).25,26 Transfusi PRC sebaiknya
diberikan bila Hb <8g/dL dan volume yang diberikan harus disesuaikan dengan
usia dan berat badan pasien.25 Pasien dengan perdarahan aktif dan koagulopati
perlu dipertimbangkan pemberian transfusi fresh frozen plasma (FFP); dan
pasien dengan trombositopenia < 30.000/uL perlu diberikan trombosit.25
Obat vasoaktif (contohnya octreotide atau vasopressin, antibiotik spectrum luas
dan non-selektif β-blocker) dapat diberikan pada pasien dengan kecurigaan
terhadap perdarahan akibat varises.25 Octreotide merupakan obat pilihan
dibandingkan vasopressin karena efikasinya lebih tinggi dan efek sampingnya
lebih sedikit.27 Obat sitoprotektif seperti sucralfate dan misoprostol tidak
mempunyai peran pada pengobatan perdarahan saluran cerna pada anak.22
Tata laksana endoskopi yang akan dilakukan tergantung dari etiologi
(Gambar 5).22,26 Bila etiologi perdarahan adalah varises esofagus maka
perlu dilakukan ligasi segera dan diulang setiap 2-4 minggu sampai varises
sepenuhnya dieradikasi. Ligasi dimulai tepat di atas gastroesophageal junction lalu
ligasi dilanjutkan ke arah proksimal dengan metode spiral. Biasanya diperlukan
2-4 sesi ligasi. Skleroterapi biasanya dilakukan pada varises esofagus pada bayi
kecil ataupun neonatus; sedangkan varises fundus (lambung) menggunakan
teknik skleroterapi dengan sklerosan (N-butil-2-sianoakrilat).28,29 Bila injeksi
dilakukan pada bayi kecil biasanya diperlukan volume sklerosan yang lebih
sedikit (0,3 mL). Tindakan tersebut biasanya diulang setelah 4 hari.28
Bila sumber perdarahan saluran cerna atas berasal dari non-varises (ulkus,
erosi, dan malformasi vaskular) maka ada 3 kategori endoskopi terapeutik
yang dilakukan yaitu metode injeksi, hemostasis mekanikal (hemoclip), atau
termokoagulasi.3,22,25,30 Endoskopi terapeutik menggunakan hemoclip bermanfaat
sebagai hemostasis primer (misal pada ulkus peptik dan lesi Dieulafoy) dengan
angka keberhasilannya 95-100% dan perdarahan ulang cukup rendah (6,5%).30
Tindakan injeksi biasanya pada ulkus peptik menggunakan adrenalin 1:10.000

67
Peran Endoskopi pada Kasus Emergensi Anak

Gambar 5. Algoritma penanganan perdarahan saluran cerna atas (varises vs. non-varises)
pasca stabilisasi kondisi hemodinamik22

ataupun pada varises fundus menggunakan sklerosan ataupun tissue adhesive.3


Tindakan koagulasi termal prinsipnya menyebarkan energi panas yang dapat
menyebabkan koagulasi dan pengeringan jaringan sehingga terjadi hemostasis.3

Simpulan
Endoskopi terapeutik pada anak telah mengalami perkembangan pesat sejak
beberapa tahun terakhir terutama di bidang intervensi saluran cerna atas.
Ekstraksi benda asing maupun perdarahan saluran cerna atas yang tidak dapat
diatasi dengan endoskopi terapeutik, perlu dilanjutkan dengan penanganan
secara bedah.

68
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

Daftar pustaka
1. Cadranel S, Rodesch P, Peeters JP, Cremer M. Fiberendoscopy of the gastrointestinal
tract in children. A series of 100 examinations. Am J Dis Child. 1977;131:41-5.
2. Lux G, Rösch W, Philip J, Frühmorgen P. Gastrointestinal fiberoptic endoscopy
in pediatric patients and juveniles. Endoscopy. 1978;10:158-63.
3. Rahman I, Patel P, Boger P, Rasheed S, Thomson M, Afzal NA. Therapeutic
upper gastrointestinal tract endoscopy in Paediatric Gastroenterology. World J
Gastrointest Endosc. 2015;16:169-82.
4. Wyllie R. Forreign bodies in the gastrointestinal tract. Curr Opin Pediatr.
2006;18:563-4.
5. Little DC, Shah SR, St Peter SD, Calkins CM, Morrow SE, Murphy JP, et al.
Esophageal foreign bodies in the pediatric population: our first 500 cases, J Pediatr
Surg. 2006;41:914-8.
6. Uyemura MC. Foreign body ingestion in children. Am Fam Physician.
2005;72:287-91.
7. Cheng W, Tam PK. Foreign body ingestion in children: experienced with 1265
cases. J Pediatr Sur. 1999;34:1472-6.
8. Simic MA, Budakov BM. Fatal upper esophageal hemorrhage caused by a
previously ingested chicken bone: case report. Am J Forensic med Pathol.
1998;19:166-8.
9. Kay M, Wyllie R. Pediatric foreign bodies and their management. Curr
Gastroenterol Rep. 2005;7:212-8.
10. Nandi P, Ong GB. Foreign body in the esophagus: review of 2394 cases. Br J
Surg. 1978;65:5-9.
11. Louie JP, Alpern ER, Windrreich RM. Witnessed and unwitnessed esophageal
foreign bodies in children. Pediatr Emerg Care. 2005;21:582-5.
12. Litovitz T, Whitaker N, Clark L. Preventing battery ingestions: an analysis of
8648 cases. Pediatrics. 2010;125:1178-83.
13. Maves MD, Carithers JS, Birck HG. Esophageal burns secondary to disc battery
ingestion. Ann Otol Rhinol Laryngol. 1984;93:364-9.
14. Hurtado CW, Furuta GT, Kramer RE. Etiology of esophageal food impactions in
children. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2011;52:43-6.
15. Deghani Sm, Haghighat M, Imanieh MH, Tabebordbar MR. Upper gastrointestinal
bleeding in children in Southern Iran. Indian J Pediatr. 2009;76:635-8.
16. Deghani N, Ludemann JP. Ingested foreign bodies in children: BC children’s
Hospital emergency room protocol. BC Med J. 2008;50:257-62.
17. Louie MC, Bradin S. Foreign body ingestion and aspiration. Ped Rev. 2009;30:295-
301.
18. Abbas TO, Al Shahwani N, Ali M. Endoscopic management of ingested foreign
bodies in children: A retrospective review of cases, and review of the literature.
19. Rafeey M, Shoaran M, Majidy H. Diagnostic endoscopy and clinical characteristics
of gastrointestinal bleeding in children: a 10-year retrospective study. Iran Red
Crescent Med J. 2013;15:794-7.

69
Peran Endoskopi pada Kasus Emergensi Anak

20. Cochran EB, Phelps SJ, Tolley EA, Stidham GL. Prevalence of, and risk factors
for, ullypper gastrointestinal tract bleeding in critically ill pediatric patients. Crit
Care Med. 1992;20: 1519-23.
21. Yachha SK, Khanduri A, Sharma BC, Kumar M. Gastrointestinal bleeding in
children. J Gastroenterol Hepatol. 1996;11:903-7.
22. Owensby S, Taylor K, Wilkins T. Diagnosis and management of upper
gastrointestinal bleeding in children. J Am Board Fam Med. 2015;28:134-45.
23. Cleveland K, Ahmad N, Bishop P, Nowicki M. Upper gastrointestinal bleeding
in children: an 11-year retrospective endoscopic investigation. World J Pediatr.
2012;8:123-8.
24. Bhatia V, Lodha R. Upper gastrointestinal bleeding. Indian J Pediatr. 2011;78:227-
33.
25. Colle I, Wilmer A, Abenheim L, Michaud L, Debruyne R, Delwaide J, Dhondi
E, et al. Upper gastrointestinal tract bleeding management: Belgian guidelines
for adults and children. Acta Gastroenterol Belg. 2011;74:45-66.
26. Araujo TE, Vieira SM, Carvalho PR. Stress ulcer prophylaxis in pediatric intensive
care units. J Pediatr (Rio J). 2010;86:525-30.
27. Fox VL. Gastrointestinal bleeding in infancy and childhood. GastroenterolClin
North Am. 2000;29:37-66.
28. Kim SJ, Kim KM. Recent trends in the endoscopic management of variceal
bleeding in children. Pediatr Gastroenterol Hepatol Nutr. 2013;16:1-9.
29. Oh SH, Kim SJ, Rhee KW, Kim KM. Endoscopic cyanoacrylate injection for the
treatment of gastric varices in children. World J Gastroenterol. 2015;21:2719-24.
30. Ünal F, Çakir M, baran M, Duygulu S, Aydoğdu S. Application of endoscopic
hemoclips for nonvariceal upper gastrointestinal bleeding in children. Turk J
Gastroenterol. 2014;25:147-51.

70
Doppler Ultrasound in
Paediatric Emergency Cases
H F Wulandari

Tujuan:
1. Mengetahui penggunaan ultrasonografi Doppler pada beberapa kasus
emergensi anak

Ultrasonografi (US) sering digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis


suatu penyakit. Gray scale US memperlihatkan struktur potongan anatomi
organ akan tetapi tidak bisa menggambarkan vaskularisasi yang ada. Pada Color
Doppler Ultrasound (CDS) pembuluh darah akan terlihat berwarna merah dan
biru. Warna merah menunjukkan arah pembuluh darah menuju pemeriksa dan
warna biru menjauh. Sedangkan pada power Doppler pembuluh darah tergambar
dengan hanya 1 warna. Di lain pihak spectral US dapat memberikan informasi
tentang kecepatan sistolik dan diastolik suatu pembuluh darah. Vaskularisasi
suatu organ atau lesi bisa bertambah atau berkurang sesuai penyakitnya.
Beberapa penyakit yang membutuhkan US Doppler untuk diagnosis dan
penyakit lainnya yang menjadi lebih tajam diagnosisnya dengan US Doppler
akan dibahas di bawah ini.

Akut skrotum
Nyeri akut dan pembengkakan skrotum perlu dipikirkan pada keadaan torsi
testis dan epididimo-orkitis. Torsi testis merupakan hal yang paling penting
karena untuk menyelamatkan testis tersebut membutuhkan operasi segera,
sedangkan keadaan yang terakhir dapat ditatalaksana secara konservatif.
Pemeriksaan gray scale US tidak cukup untuk dapat mendiagnosis
torsi testis karena tidak dapat memberikan informasi tentang aliran darah.
Kombinasi gray scale US dan US Doppler dapat memberikan informasi tentang
morfologi dan perfusi testis.

71
Doppler Ultrasound in Paediatric Emergency Cases

Torsi testis
Torsi duktus spermatikus diartikan sebagai berputarnya 1 atau 2 kali testis atau
duktus spermatikus di dalam skrotum. Pada saat awal vena akan mengalami
obstruksi dan menyebabkan stasis vena dan infark hemoragik, selanjutnya
arteri akan mengalami obstruksi dan kemudian menyebabkan iskemia testis.
Dikenal 2 jenis torsi: Intra dan ekstra vaginal. Intravaginal torsi lebih sering
ditemukan dan umumnya dialami oleh anak setelah pubertas.

Torsi ekstravaginal (pada neonatus)


Torsi ekstravaginal dapat terjadi pada level duktus spermatikus. Hal ini terjadi
karena fiksasi yang buruk di kanalis inguinalis. Torsi umumnya terjadi in utero
sehingga testis umumnya sudah mengalami nekrosis saat lahir.
Pada pemeriksaan gray scale US testis tampak membesar, heterogen
dengan area yang hiperekoik dan hipoekoik. Hidrokel atau penebalan dinding
skrotum dapat ditemukan.

Torsi intravaginal (pada anak)


Torsi intravaginal terjadi jika insersi tunika vaginalis terletak tinggi pada duktus
spermatikus. Fiksasi testis terhadap skrotum buruk sehingga testis mudah
berputar mengelilingi duktus spermatikus. Pada keadaan torsi akut dan testis
mengalami iskemia maka detorsi testis dalam 6 jam akan menyelamatkan testis
tersebut. Pada keadaaan akut umumnya pasien akan merasakan nyeri pada
skrotum dan abdomen bagian bawah. Gejala lain seperti mual, muntah, tidak
nafsu makan dan demam tidak tinggi sering dikeluhkan. Skrotum akan tampak
merah, bengkak dan keras. Pada pemeriksaan fisis posisi testis didapatkan
tranversal dan terletak tinggi dalam skrotum jika dibandingkan dengan testis
yang sehat.
Pada pemeriksaan gray scale US testis tampak membesar, terletak
transversal dalam skrotum. Epididimis tidak terlihat pada pool atas testis.
Dinding testis menebal. Hidrokel bisa ditemukan. Ekotekstur dan ukuran
testis masih tampak normal pada jam pertama setelah terjadi torsi. Setelah
4-6 jam testis akan menjadi hipoekoik dan membesar serta bisa ditemukan
juga sedikit hidrokel. Testis akan terlihat mottled dan heterogen setelah 24 jam
terjadi torsi. Gambaran testis yang heterogen merupakan faktor prognostik
buruk. Torsi duktus spermatikus akan tampak sebagai massa bulat/oval di
lokasi ekstra testis.
Pemeriksaan CDS pada torsi komplit tidak menunjukkan adanya
pembuluh darah intra testis. Jika pembuluh darah intra testis masih dapat
terlihat maka perlu dilakukan spectral Doppler untuk membuktikan adanya

72
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

torsi parsial. Pada torsi parsial akan terjadi aliran resistensi tinggi. Amplitudo
diastolik akan rendah atau bahkan menghilang, sedangkan aliran sistolik masih
ada sehingga menyebabkan resistensi indeks yang meningkat.
Pada intermittent testicular torsion (ITT) pemeriksaan gray scale US dan
CDS dapat inkonklusif. Dalam keadaan ini pemeriksaan terhadap duktus
spermatikus perlu dilakukan karena torsi bisa terjadi pada duktus spermatikus.

Epididimitis dan orkitis


Epididimitis dan epididimo-orkitis dapat menyebabkan nyeri skrotum akut
pada anak berusia di bawah 2 tahun dan di atas 6 tahun.
Epididimitis ditandai dengan gambaran epididimis yang membesar,
hipoekoik atau hiperekoik. Walaupun demikian dapat juga ditemukan
ekogenisitas yang normal. Kadang - kadang ditemukan hidrokel atau piokel
dan penebalan dinding skrotum. Adanya abses perlu diperhatikan. Pada orkitis,
testis akan tampak membesar, inhomogen dan penurunan ekogenisitas.
Color and power Doppler menunjukkan hiperemia pada epididimis atau
testis atau keduanya. Color dan power Doppler mendemonstrasikan peningkatan
jumlah dan konsentrasi pembuluh darah pada daerah yang terkena di epididimis
dan/atau testis dibandingkan dengan yang sehat.

Trauma testis
Trauma skrotum dapat terjadi akibat child abuse, kecelakaan lalu lintas, olah
raga, straddle injury (trauma pada daerah inguinal) atau pukulan langsung.
Trauma bisa menyebabkan kontusio, hematom, hematokel, fraktur dan ruptur
testis.
Hematom testis pada pemeriksaan gray scale US akan memberikan
gambaran testis yang membesar dengan fokal area dengan ekogenisitas
yang meningkat atau menurun tergantung dari usia perdarahan. Hematokel
merupakan kumpulan darah di dalam tunika vaginalis.
Fraktur testis akan tampak sebagai garis linier hipoekoik pada parenkim
testis. Kontur testis terlihat normal karena tunika albugenia yang utuh (intact).
Sedangkan pada ruptur testis, tepi testis menjadi ireguler dan berbatas tidak
jelas karena adanya diskontinuitas tunika albugenia. Adanya perdarahan dan
disrupsi parenkim testis membuat parenkim menjadi heterogen.
Jika terjadi kontusio pada testis maka pada pemeriksaan CDS atau power
Doppler akan terlihat peningkatan atau penurunan vaskularisasi testis. Apabila
tampak perfusi testis, maka dapat diberikan terapi konservatif. Namun jika

73
Doppler Ultrasound in Paediatric Emergency Cases

tidak terdapat gambaran sinyal Doppler pada testis maka berarti terjadi iskemia
testis dan operasi perlu segera dilakukan.

Infark limpa
Infark limpa dapat terjadi pada pasien dengan anemia sickle cell, penyakit
mieloproliferatif, storage disorder dan endokarditis dengan emboli kardiak.
Nyeri perut kiri atas, muntah, mual, dan nyeri bahu kiri dapat merupakan
salah satu gejala infark limpa.
Pada pemeriksaan gray scale US daerah yang mengalami infark akan
terlihat sebagai lesi subkapsular yang hipoekoik. Pemeriksaan CDS atau power
Doppler tidak menunjukkan adanya sinyal.

Intususepsi
Intususepsi merupakan keadaan kedaruratan abdomen yang paling sering
ditemukan pada bayi. Kelainan ini terjadi apabila suatu bagian usus masuk
ke dalam bagian usus lainnya. Sembilan puluh persen intususepsi merupakan
intususepsi ileokolik. Pada keadaan ini ileum masuk ke dalam kolon.
Gambaran gray scale US intususepsi bervariasi tergantung dari derajat
scaning yang dilakukan. Scaning aksial pada dasar intususepsi akan memberikan
gambaran crescent-doughnat sign. Sedangkan skaning aksial pada daerah
apek memperlihatkan gambaran cincin konsentrik. Scaning longitudinal
memperlihatkan gambaran pseudokidney atau sandwich.
Obstruksi yang terjadi pada intususepsi menyebabkan kompresi
pembuluh darah mesenterik. Pada saat awal vena mesenterika akan
mengalami kompresi terlebih dulu, sedangkan perfusi arterial masih ada. Hal
ini menyebabkan edema usus, iskemia dan selanjutnya nekrosis. Pemeriksaan
CDS dapat memperlihatkan vaskularisasi di dalam intususepsi. Beberapa
peneliti menyatakan CDS pada intususepsi dapat memprediksi viabilitas usus.
Sedangkan peneliti lain melaporkan adanya gambaran CDS pada intususepsi
merupakan indikator yang baik untuk keberhasilan suatu tindakan reduksi
radiologis.

Apendisitis akut
Appendisitis akut menyebabkan nyeri perut akut pada anak dan memerlukan
tindakan operasi. Diagnosis ditegakkan secara klinis. US digunakan untuk
membantu menegakkan diagnosis.

74
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

Gambaran gray scale US pada appenditis akut berupa: lesi tubuler buntu
yang berdiameter lebih dari 6 mm, tidak ada peristaltik, non-compressible
dengan daerah sekitar yang ekogenik. Kesulitan teknis ditemukan jika
terdapat nyeri hebat sehingga pemeriksaan dengan teknik penekanan sulit
dilakukan. Kesulitan pemeriksaan juga timbul jika ditemukan banyak udara/
cairan dan pada pasien yang gemuk. Pemeriksaan dengan hasil negatif palsu
dapat disebabkan oleh apendisitis fokal, apendik retro sekal dan apendik yang
mengalami perforasi.
Pemeriksaan dengan CDS tidak meningkatkan sensitivitas pemeriksaan
gray scale US, tetapi akan memudahkan pemeriksa untuk melakukan
interpretasi.

Apendisitis akut tanpa perforasi


Pada keadaan ini terjadi hipervaskularitas yang dengan CDS akan
memperlihatkan banyak sinyal Doppler yang mengelilingi dinding apendik.

Apendisitis akut dengan perforasi


Dengan adanya nekrosis dan perforasi maka CDS tidak menunjukkan sinyal
Doppler atau jika ada hanya tampak minimal. Oleh karena nekrosis dan
perforasi menyebabkan inflamasi jaringan daerah sekitar apendik maka akan
tampak banyak sinyal Doppler pada daerah ini. Akan tetapi pada apendisitis
perforasi hanya 40-60% apendik dapat tervisualisasi. Apendik akan mengalami
disintegrasi sehingga sulit untuk diidentifikasi.

Malrotasi/volvulus Midgut
Malrotasi usus halus terjadi jika proses perkembangan usus saat janin terganggu.
Hal ini dapat mengakibatkan obstruksi secara sekunder karena adanya sisa
lipatan peritoneal (Ladd’s band) yang melewati duodenum atau midgut dan
menyebabkan volvulus karena terpuntirnya mesenterium yang pendek.
Adanya malrotasi dapat dicurigai jika kedudukan vena mesenterika
superior (SMV)/splenoportal confluence ada di sebelah kiri arteri mesenterika
superior (SMA). Dengan CDS akan tampak gambaran “whirlpool”. Walaupun
demikian sebagian kecil dari pasien dengan malrotasi/volvulus midgut
mempunyai kedudukan SMV terhadap SMA yang normal.
Adanya malrotasi/volvulus midgut dapat dicurigai dengan US jika
ditemukan gambaran dilatasi duodenum dengan ujung distal yang menyempit,
whirlpool sign dan dilatasi SMV.

75
Doppler Ultrasound in Paediatric Emergency Cases

Kendala
Kendala yang sering dihadapi untuk melakukan US Doppler adalah:
yy Tidak tersedianya alat US yang mempunyai resolusi baik.
yy Tidak semua alat US mempunyai soft ware untuk pemeriksaan Doppler.
yy Tidak tersedianya transducer/probe yang sesuai kebutuhan pemeriksaan.
yy Anak tidak kooperatif/menangis.

Simpulan
US Doppler dapat digunakan untuk menegakkan dan mempertajam diagnosis
pada beberapa kasus kedaruratan anak. Kendala yang ada di lapangan sering
menyebabkan pemeriksaan US Doppler tidak dapat dilakukan.

Daftar pustaka
1. Deeg KH. Doppler sonografi of the scrotum. Dalam: Deeg KL, Rupprecht
T, Hofbeck M, penyunting. Doppler sonography in infancy and childhood.
Heidelberg: Springer, 2015.h.597-621.
2. Cooley BD, Siegel MJ. Male genital tract. Dalam: Siegel MJ, penyunting.
Pediatric ultrasound, edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins,
2011.h.571-587.
3. Donnelly LF. Testicular abnormality. Dalam: Donnelly LF, Jones BV, O’Hara SM,
Anton CG, Benton C, Westra SJ dkk, penyunting. Diagnostic imaging: pediatrics.
Friesens: Amirsys, 2005.h.98-105.
4. Deeg KH. Doppler sonografi of the mesenteric artery. Dalam: Deeg KL, Rupprecht
T, Hofbeck M, penyunting. Doppler sonography in infancy and childhood.
Heidelberg: Springer, 2015.h.433-461.
5. Siegel MJ. Gastrointestinal tract. Dalam: Siegel MJ, penyunting. Pediatric
ultrasound, edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2011.h.353-
373
6. Donnelly LF. Gastrointestinal section. Dalam: Donnelly LF, Jones BV, O’Hara
SM, Anton CG, Benton C, Westra SJ et al, penyunting. Diagnostic imaging:
pediatrics. Friesens: Amirsys, 2005.h.8-75.

76
Hypertensive Emergency in Children
Sudung O. Pardede

Tujuan:
1. Mampu memahami pengertian hipertensi emergensi
2. Mampu menata laksana hipertensi emergensi
3. Mampu mencari penyebab hipertensi emergensi

Hipertensiemergensimerupakan keadaan gawat darurat yang memerlukan tata


laksana segera. Penyakit ini relatif jarang pada anak, namun dapat mengancam
jiwa sehingga perlu menegakkan diagnosis dan menanggulangi hipertensi
emergensi dengan segera untuk mencegah atau mengurangi komplikasi
yang lebih berat. Penyebab hipertensi krisis bervariasi dan tergantung usia.
Umumnya hipertensi pada anak merupakan hipertensi sekunder, namun pada
anak > 15 tahun, 90% hipertensi merupakan hipertensi primer.1-4
Pada tahun, 2004, National High Blood Pressure Education Program Working
Group on High Blood Pressure in Children and Adolescents (2004) merevisi
definisi hipertensi yang dibuat tahun 1987, dengan mendefinisikan hipertensi
sebagai tekanan darah sistolik dan atau diastolik > persentil 95th berdasarkan
umur, jenis kelamin, dan tinggi badan pada > 3 kali pemeriksaan saat yang
berbeda. Hipertensi dibagi menjadi dua stadium, yaitu hipertensi stadium 1
adalah hipertensi dengan tekanan darah berkisar antara persentil > 95th sampai
persentil 99th plus 5 mmHg berdasarkan umur, jenis kelamin, dan tinggi badan,
serta hipertensi stadium 2 adalahhipertensi dengan tekanan darah > persentil
99th plus 5 mmHg berdasarkan umur, jenis kelamin, dan tinggi badan.5
Berdasarkan keparahan, hipertensi dibedakan menjadi hipertensi krisis
dan hipertensi non krisis. Umumnya, hipertensi krisis didefinisikan jika tekanan
darah diastolik > 120 mmHg dan atau tekanan darah sistolik > 180 mmHg,
atau setiap tingkat hipertensi yang disertai komplikasi ensefalopati hipertensi,
dekompensasio kordis, atau kelainan retina berupa perdarahan atau edema
papil. Pada anak < 5 tahun, hipertensi krisis didefinisikan sebagai peningkatan
tekanan darah 50% dari nilai tekanan darah normal atau 1 1/2 kali batas atas
tekanan darah normal berdasarkan umur dan jenis kelamin.6
Joint National Committee on Detection, Evaluation, and Treatment of
High Blood Pressure (1984) membagi hipertensi krisis menjadi 2 kelompok

77
Hypertensive Emergency in Children

yaitu hipertensi emergensi (hypertensive emergencies) dan hipertensi urgensi


(hypertensive urgencies).Hipertensi emergensi diartikan dengan hipertensi
yang berkaitan dengan gejala yang mengancam jiwa dan atau kerusakan
organ target (otak, jantung, ginjal, mata). Hipertensi urgensi didefinisikan
sebagai peningkatan tekanan darah sistolik dan atau diastolik di atas persentil
99 plus 5 mmHg disertai komplikasi tanpa ada kerusakan organ target.
Pada hipertensi emergensi, tekanan darah perlu diturunkan segera dalam
beberapa menit hingga jam untuk menghindari komplikasi yang mengancam
jiwa, sedangkan pada hipertensi urgensi tekanan darah diturunkan perlahan-
lahan dalam beberapa hari untuk menghindari sekuele serius. Termasuk
hipertensi emergensi adalah hipertensi ensefalopati, gangguan intrakranial
akut (perdarahan intrakranial, trombosis pembuluh darah otak, perdarahan
subaraknoid, trauma kepala), sindrom iskemik miokard (gagal jantung dengan
edema paru, diseksi aorta akut), gagal ginjal akut, peningkatan katekolamin
(feokromositoma krisis).4,7-10Istilah “malignant” atau “accelerated” hypertension
yang pernah digunakan, tidak digunakanlagi.8

Tata laksana
Tata laksana hipertensi emergensi bertujuan untuk memperbaiki fungsi organ
vital, mempertahankan perfusi, dan mencegah komplikasi dengan pemberian
antihipertensi onset cepat, mengatasi kelainan organ target, mencari dan
menanggulangi penyebab hipertensi, serta terapi suportif.1-3,11,12
Hipertensi emergensi memerlukan tata laksana cepat, namun sebelumnya
perlu dibedakan apakah hipertensi emergensi tersebut merupakan hipertensi
akut atau kronik.Dalam keadaan normal, terdapat autoregulasi serebral yang
melindungi otak dari hiperperfusi akibat hipertensi melalui regulasi vasodilatasi
dan vasokonstriksi. Pada hipertensi kronik, terjadi perubahan autoregulasi
aliran darah dan organ vital, dan penurunan tekanan darah yang cepat akan
mengubah autoregulasidan menimbulkan hipoperfusi organ vital terutama
otak sehingga terjadi stroke iskemikyang berakibat kematian.10,11
Pemilihan antihipertensi tergantung pada penyebab. Antihipertensi yang
digunakan adalah obat awitan cepat, waktu paruh singkat, aman, efektif, dan.
lebih disukai obat yang diberikan intravena tetes (per drip) karena dosis dapat
dititrasi.Pada anak kecil, kemungkinan sulit untuk mendapatkan akses intravena
dengan segera sehingga dapat digunakan antihipertensi oral.1-3,12Antihipertensi
intravena telah digunakan sebagaiterapi hipertensi emergensi pada anak adalah
natrium nitroprusid, labetalol, nikardipin, hidralazin, diazksida, esmolol, dan
enalaprilat.8,11,12Nikardipin dan labetalol merupakan lini pertama dalam tata
laksana hipertensi emergensi. Esmolol lebih jarang digunakan karena laporan
penelitian yang masih terbatas. Nitroprusid sebelumnya sering digunakan,

78
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

namun belakangan ini mulai jarang karena toskisitas sianida dan takipilaksis
pada pemakaian jangka lama. Hidralazin intravena dapat digunakan sebagai
alternatif terhadap labetalol bolus. Enalaprilat jarang digunakan dan obat
ini dapat menyebabkan acute kidney injury sehingga penggunaannya harus
hati-hati pada neonatus dan penyakit ginjal kronik. Obat yang relatif baru
adalah fenoldopam dan clevidipinemasih jarang digunakan pada anak karena
laporan penelitian yang masih terbatas. Phentolaminesangat membantu pada
hipertensi krisis yang disebabkan katekolamin dan kokain.Obat lain yang
direkomendasikan adalah klonidin dan nifedipin.9
Tekanan darah pada hipertensi emergensi harus dengan segera tetapi
bertahap.Meskipun belum ada panduan secara universal, namun ada beberapa
panduan yang dapat digunakan.Salah satu rekomendasi adalah menurunkan
rerata tekanan arteri (mean arterial pressure, MAP) tidak lebih dari 25% dalam
8-12 jam pertama kemudian diturunkan bertahap hingga normal dalam waktu
48 hingga 72 jam.9Great Ormond Street Hospital for Children di Inggris
menganjurkan penurunan tekanan darah sepertiga dari nilai awal dalam 6
jam pertama, kemudian sepertiga lagi diturunkan dalam waktu 24–36 jam
berikut, dan diturunkan hingga normal dalam waktu 48–72 jam.8 Penulis
lain menganjurkan penurunan tekanan darah tahap awal tidak lebih dari
25–30% dari nilai tekanan darah awal dalam waktu 6-8 jam, dan kemudian
diturunkan bertahap dalam 24-48 jam.12Untuk mencegah hipotensi, dianjurkan
memberikan cairan infus.8Tidak ada rekomendasi universal tentang laju
penurunan tekanan darah yang optimal dan tidak ada rekomendasi absolut
tentang jenis obat yang dianjurkan. Setiap klinikus harus menggunakan obat
yang familiar dan comfortable bagi mereka.8,11,12Setelah tekanan darah stabil,
antihipertensi dilanjutkan dengan obat oral seperti nifedipin, angiotensin
converting enzyme (ACE) inhibitors dan b-blockers sambil mencari penyebab
hipertensi.8,9,11,12
Selain antihipertensi, diperlukan tata laksana lain bergantung pada
keadaan pasien. Pada hipertensi emergensi karena kelebihan cairan (fluid
overload) seperti pada penyakit ginjal stadiumakhir diperlukan tindakan
ultrafiltrasi atau dialisis. Pada anak dengan gagal jantung kongestif, diperlukan
obat inotropik untuk memperbaiki keadaan pasien agar dalam keadaan stabil.
Continuous venovenous hemofiltration(CVVH) merupakan tindakan yang sesuai
untuk mengeluarkan cairan pada pasien dengan hemodinamik yang tidak
stabil. Jika masih terdapat diuresis, pemberian furosemid dosis tinggi dapat
meningkatkan diuresis yang akan menurunkan hipertensi. Pada hipertensi
emergensi karena glomerulonefritis akut, pemberian diuretik sangat efektif.
Untuk mencegah takikardia, dapat ditambahkan beta blockers.
Natrium nitroprusid merupakan vasodilator direk sel otot polos arteriol
dan vena dengan awitan cepat dan dimetabolisme menjadi nitric oxide yang

79
Hypertensive Emergency in Children

menyebabkan dilatasi arteriol dan vena sehinga menurunkan resistensi perifer


dan mengurangi venous return, sertamenurunkan preloaddanafterload. Dosis
0.5-10 mcg/kgBB/menit.Nitroprusid akan dimetabolisme menjadi sianida dan
tiosianat.Risiko toksisitas meningkat setelah 24–48 jam atau pada gagal ginjal
sehingga perlu pemantauan kadar sianida darah atau sianat plasma. Pemberian
natrium nitroprusid bersama thiosulfatedapat mengurangi toksisitas. Toksisitas
sianida dapat berupa asidosis metabolik, methemoglobinemia, takikardia,
perubahan status mental, nausea, vomitus, psikosis, kejang, anoreksia, dan
koma. Karena toksisitasnya, obat ini jarang digunakan dan diberikan jika tidak
ada lagi obat pilihan lain.8,9,11-14
Nikardipin intravena adalah generasi keduadihydropyridinecalcium channel
blockeryang menghambat perpindahan kalsium melalui sel otot polos vaskular
sehingga mencegah kontraksi dan menurunkan resistensi perifer vaskular.
Nikardipin dimetabolisme di hati dan tidak punya efek inotropik negatif. Efek
samping nikardipin antara lain peningkatan tekanan intrakranial, takikardia,
sakit kepala, mual, dan hipotensi. Dosis dimulai dengan 0,5-1 mcg/kgBB/menit
dan dinaikkan setiap 15 hingga 30 menit sampai tercapai efek yang diinginkan
dengan dosis maksimum 4 mcg/kgBB/menit.Rekomendasi lain adalah dosis
awal 5 mcg/kgBB/menit yang diikuti dengan 1 hingga 3 mcg/kgBB/menit jika
rerata tekanan arteri yang diinginkan sudah tercapai. Efek samping berupa
hipotensi, takikardia, flushing, dan berdebar-debar. 9,11,12,15
Labetalol adalah komibinasi α1 dan β-adrenergic blockingagent yang
dapat diberikan baik per oral maupun intravena. Karena kemampuan
menghambat α1 receptor, labetalol menyebabkan vasodilatasi sehingga
menurunkan resistensi perifer, dan sedikit efek terhadap jantung.Efek samping
dapat berupa bradikardiadan bronkospasme. Labetalol dapat diberikan
intravena secara infus atau bolus. Obat ini tidak boleh diberikan pada anak
dengan bronkospasme dan gagal jantung kongestif karena mempunyai efek
inotropik negatif dan pada pasien diabetes melitus karena menyebabkan gejala
seperti hipoglikemia. Labetalol diberikan secara bolus dengan dosis 0.2 – 1
mg/kgBB hingga maksimum 40 mg atau secara infus dengan dosis 0.25-3 mg/
kgBB/jam.9,11,12
Esmolol adalah antihipertensi cardioselective β blocker yang bekerja cepat
(kurang dari 1 menit) yang digunakan pada hipertensiemergensiterutama jika
terdapat takikardia. Sebagai β blockers, obat ini menurunkan kontraktilitas
jantung sehingga tidak digunakan pada dekompensasio jantung akut. Obat
ini diberikan secara infus dengan dosis awal 100 sampai 500 mcg/kgBB diikuti
dengan infus 50 sampai 150 mcg/kgBB/menit, dan dititrasi setiap 10-15 menit
hingga 1000 mcg/kgBB/menit. Efek samping antara lain hipotensi, mengi,
bradikardia,bronkokonstriksi, hipoglikemia, dan gagal jantung kongestif.9,11,12,15

80
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

Fenoldopam adalah dopamine D1-like receptor agonist yang juga berikatan


dengan α2-adrenoceptors, tetapi tidak terikat dengan reseptor vaskular lain
seperti D2-like receptors, α1 and β adrenoceptors, 5HT1 dan 5HT2 receptors,
dan muscarinic receptors. Fenoldopam menyebabkan vasodilasi pada arteri
koroner, renalis, mesenterik, dan perifer.11Efek samping berupa takikardia,
sakit kepala, flushing,dan retensi natrium.12Dosis yang direkomendasikan :0,2
hingga 0,8 mcg/kgBB/menit dan tidak perlu penyesuaian dosis pada insufisiensi
ginjal,9meskipun ada juga menganjurkan dosis lain 0,8–1,2 mcg/kgBB/menit.12
Enalaprilat adalah satu-satunya ACE inhibitorintravena yang efektif
dalam penanggulangan hipertensi emergensi yang dimediasi renin (renin-
mediated hypertension). Diberikan dengan dosis 5 hingga 10 mcg/kgBB/dosis
dan dapat dinaikkan hingga 1,25 mg/dosis. Ada laporan penggunaan obat ini
pada neonatus dengan rentang dosis 7,4–22,9 mcg/kgBB per 24 jam. Efek
samping antara lain hipotensi, oliguria, gagal ginjal akut, hiperkalemia.9,11,12
Phentolamine, phenoxybenzamine, prazosin, dandoxazocin merupakan
α-adrenergic blockersyang digunakan dalam tata laksana hipertensi yang
diinduksi kateholamin (catecholamine-induced hypertension) seperti pada
feokromositoma, overdosis kokain dan pseudoefedrin.Sebagai penghambat
kanal kalsium (calcium channelblockers)telah terbukti efektif dalam tata laksana
hipertensi yang dinduksi kateholamin.Dosis yang dianjurkan adalah 0.1 mg/
kgBB dengan dosis maksimum 5 mg.9,12
Nitrogliserin intravena atau transdermal biasanya tidak digunakan
sebagai terapi lini pertama pada anak. Obat ini merupakan venodilator
yang akan menurunkan pre-loaddan curah jantung, dan dapat menyebabkan
methemoglobinemia, hipoksemia, takikardia, dan takifilaksis.Pemakaian
intravena jangka lama dapat menyebabkan retensi natrium dan air.12
Hidralazin adalah vasodilator yang bekerja pada otot polos arteriolar,
menurunkan resistensi perifer melalui mekanisme perubahan metabolisme
kalsium intraselular yang menyebabkan perpindahan kalsium dalam otot polos
vaskularyang berperan dalam kontraksi otot. Dosis berupa bolus diberikan 0,2
hingga 0,6 mg/kgBB dengan dosis maksimum 20 mg. Pemberian intravena
dapat dilanjutkan peroral dengan dosis 0,25 mg/kgBB.Efek stimulasi sistem
saraf simpatetik pada otot polos arteriolar, dapat menyebabkan takikardia,
aktivasi sistem renin-angiotensin, dan retensi natrium.9,11,16
Diazksida atau Halic adalah vasodilator direk yang meningkatkan
permeabilitas membran sel otot polos vaskular terhadap ion kalsium sehingga
menghambat voltage-gated calcium ion channelsdan menghambat aksi potensial.
Diazoxida telah lama digunakan sebagai terapi hipertensi emergensi pada
dewasa dan anak. Dosis yang direkomendasikan adalah 1–3 mg/kgBBdan
diulang dalam waktu 5–15 menit.9,11

81
Hypertensive Emergency in Children

Klonidin adalah α2-adrenergic agonistyang bekerja sentral, menurunkan


tekanan darah dengan mengurangi luaran simpatetik serebral, dengan awitan
kira-kira 15–30 menit dengan pemberian per oral. Efek samping yang sering
terjadi adalah somnolen dan mulut kering.11Dosis yang dianjurkan adalah
0,05-0,1 mg/dosis dan dapat diulang setiap jam hingga dosis 0,8 mg.9Di
Departemen IKA FKUI-RSCM, hipertensi krisis diterapi dengan klonidin drip
dan furosemid. Klonidin diberikan per infus dengan dosis 0,002 mg/kg/8 jam
dimasukkan dalam 100 ml dextrose 5% (12 tetes per menit), dan kemudian
dosis dinaikkan setiap 30 menit hingga tekanan darah diastolik di bawah 100
mmHg. Klonidin dapat dinaikkan hingga dosis maximum 0,006 mg/kg 8 jam
(36 tetes per menit). Furosemid diberikan 1 mg/kg/dosis, 2 kali sehari. Jika
tekanan darah diastolik belum mencapai < 100 mmHg, tambahkan kaptopril
0,3 mg/kg/dosis.6
Isradipin, generasi kedua dihydropyridine calciumchannel blocker, dengan
awitan cepat, menurunkan tekanan darah dalam waktu 1 jam. Dosis yang
direkomendasikan adalah 0,05 sampai 0,1 mg/kgBB per dosis hingga 5 mg.
Efek samping antara lain nausea, muntah, sakit kepala, hipotensi, flushing,
dan palpitasi. Rekomendasi dosis lain adalah dosis inisial 0,5 mg/kgBB untuk
anak < 2 tahun.9,11
Nifedipin merupakan calcium-channel blockers, yang bekerja sebagai
vasodilator langsung dengan menghambat kontraksi otot polos vaskular oleh
intervensi calcium influx selular, menyebabkan dilatasi arteriol perifer.Nifedipin
telah direkomendasikan untuk tata laksana hipertensi emergensi pada anak,
walapun obat ini kontra indikasi bila diberikan pada pasien dewasa dengan
hipertensi akut karena dapat menyebabkan penurunan tekanan darah tiba-
tiba yang mengakibatkan iskemik.8,9,14 Nifedipin diberikan secara sublingual
0,25 hingga 0,5 mg/kgBB dan efektif dalam 10 menit dengan puncak efek
terlihat 30 hingga 40 menit setelah pemberian.Nifedipin dapat juga diberikan
per oral.Absorbsi sublingual hampir sama atau lebih cepat 10 – 15 menit
dibandingkan dengan secara oral.17,18,19,20Di Departemen IKA FKUI-RSCM,
hipertensi emergensi diterapi dengan nifedipin sublingual dan furosemid.
Nifedipin diberikan dengan dosis 0,1 mg/kgBB/dosis, dan kemudian dosis
dinaikkan setiap 30 menit hingga tekanan darah diastolik di bawah 100 mmHg.
Nifedipin dapat dinaikkan hingga dosis maximum 10 mg/dosis. Furosemid
diberikan 1 mg/kgBB/dosis, 2 kali sehari. Jika tekanan darah diastolik belum
mencapai < 100 mmHg, tambahkan kaptopril 0,3 mg/kg/dosis.6Efek samping
nifedipin antara lain sakit kepala, flushing, pusing, dan takikardia sebagai akibat
vasodilatasi akut.17-19
Minoxidil adalah vasodilator direk yang membuka potassium channel pada
sel otot polos danmenyebabkan efflux kalium, menyebabkan hiperpolarisasi
dan relaksasi.Obat ini bekerja pada arteriol dan tidak menyebabkan dilatasi

82
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

vena. Minoxidil bekerja dalam 1 jam, waktu paruh 4 jam, dan efeknya hilang
dalam 8– 12 jam. Dosis yang direkomendasikan adalah 0,1 hingga 0,2 mg/kgBB
per dosis hingga 10 mg per dosis.Obat ini diekskresi melalui ginjal sehingga
perlu penyesuaian dosis pada penurunan fungsi ginjal. Efek samping berupa
hirsutisme dan retensi cairan.9,11
Clevidipineadalahdihydropyridine calcium channel blocker intravena
generasi ketiga dengan awitan cepat dan masa kerja sangat singkat. Clevidipine
merupakan vasodilator arterial poten yang menurunkan resistensi vaskular
sistemik tanpa mempunyai efek kronotropik atau inotropik negatif pada
jantung.12 Awitan 2 menit dengan waktu paruh kurang dari 1 menit dan
efeknya hilang dalam 5-15 menit.9Clevidipinelebih baik dibandingkan natrium
nitroprusid dan nikardipin karena awitannya lebih cepat.11
Urapidil adalah antagonis alpha-adrenoceptorpostsinap perifer yang bekerja
secara agonis sentral pada reseptor serotonin 5-HT, menurunkan tekanan darah
dengan menurunkan resistensi vakular perifer. Belum ada laporan tentang
pemberian obat ini pada anak.11

Berbagai penyebab hipertensi emergensi


Hipertensiemergensikarena obat
Penghentian mendadak obat golongan opiat, benzodiazepin, dan klonidin
dapat menyebabkan reaksi withdrawalberupa hipertensi emergensi.
Hipertensiemergensi karena kokain disebabkan potensiasi efek kateholamin
yang menghambat uptakenorefinefrin pasca sinaptik. Pada keadaan ini,
alpha-blockerintravena seperti phentolaminemerupakan obat pilihan dan
dapat ditambahkan dengan beta-blockers. Hipertensiemergensidapat juga
terjadi jika obat monoamineoxidase inhibitorsberinteraksi dengan makanan
yang mengandung tiramin atau dengan dextrometorfan, methylene blue, dan
linezolid. Hipertensi karena interaksi dengan monoamine oxidase inhibitors
diterapi dengan alpha blockeratau natrium nitroprusid. 21

Hipertensiemergensi karena feokromositoma


Feokromositoma jarang ditemukan pada anak. Sekitar 80% feokromositoma
berasal dari medula adrenaldan hipertensi didapatkan pada 60–90% pasien.
Terapi pilihan feokromositoma adalah tindakan bedah dan direkomendasikan
tata laksana hipertensi pra bedah minimal 10–14 hari sebelumnya. Obat
antihipertensi pilihan adalah α2-blockadedengan noncompetitive α2-blocker
sepertiphenoxybenzamine.Pilihan terapi untuk tumor adalah embolisasi, terapi
sistemik dengan 131MIBG, atau kemoterapi.21Selective α1 antagonistdiikuti β

83
Hypertensive Emergency in Children

blockersdapat diberikan sebagai langkah awal tata laksana hipertensi. Perlu


diperhatikan pemberian cairan dan garam untuk mencegah hipotensi karena
pemakaian α blocker.Calcium channel blockers memberikan hasil yang baik
mengontrol tekanan darah preoperatif dan intraoperatif.12,21

Hipertensiemergensi karena penyakit renovaskular


Hipertensi renovaskularjarang ditemukan pada anak yaitu 3-6% di antara
penyebab hipertensi, tetapi merupakan penyebab hipertensi yang sulit
diatasi.Hipertensi berat yang tidak responsif dengan beberapa antihipertensi,
terdapat bruit arteri renalis, nadi tidak teraba, hipokalemia, aktivitas renin
yang meningkat, perlu dipikirkan penyebab renovaskular. Tata laksana
bergantung pada etiologi, keparahan, dan penyakit yang menyertai. Pada
hipertensi sistem-renin-angiotensinkarena penyakit Takayasu, diperlukan
steroid, imunosupresan, dan antituberkulosis. Sebaiknya diuretik dihindari
karena menyebabkan hipovolume yang dapat meningkatkan aktivitas renin
plasma. Tindakan bedah dilakukan pada kasus tertentu dengan teknik
percutaneoustransluminal renal angioplasty, stenting, segmental ethanolablation,
revascularization, dannefrektomi parsial atau total.Antihipertensi yang
dianjurkan adalah angiotensin converting enzyme inhibitoratauangiotensinreceptor
blocker. 12,21

Hipertensi pada penyakit ginjal kronik


Hipertensi merupakankeadaan yangsering terdapat pada penyakit ginjal
kronik.Penyakit renoparenkim dan tubulointerstitial akan menyebabkan
jaringan parut dan mengurangi jumlah nefron sehingga mengaktivasi sistem
renin-angiotensin-aldosteron. Aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron
menyebabkan retensi natrium dan air serta hiperaktivasi simpatetik dan
menyebabkan hipertensi. Selain faktor volume overload, terdapat faktor lain
yang berperan terhadap hipertensi seperti uremictoxin, peningkatan circulating
endogenous nitric oxide synthetase inhibitors like asymmetric dimethylarginine,
hiperparatiroidisme sekunder akibat hiperkalsemia, dan meningkatnya
ekspresireseptor endotelin A. Selain antihipertensi, diperlukan upaya
mempertahankan berat badan kering, pengaturan asupan cairan, dietrendah
garam, dan dialisis teratur untuk menanggulangi hipertensi. Antagonis sistem
renin-angiotensin-aldosteron seperti angiotensin converting enzyme inhibitorsdan
angiotensin receptor blocker merupakan pilihan pertama sebagai antihipertensi.
Antagonis sistem renin-angiotensin-aldosteron tidak hanya menurunkan
tekanan transglomerular dan proteinuria, tetapi juga menekan pengeluaran
sitokin dan kemokin, yang membuat obat ini sebagai nephroprotectionkarena
mengurangi hipertrofi dan sklerosis glomerulus serta inflamasi dan fibrosis

84
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

tubulointerstitial. Selain antagonis sistem renin-angiotensin-aldosteron, dapat


juga diberikan calciumchannel blockerdan beta-blockers.21

Hipertensipada resipien ginjal transplan


Hipertensisering terjadi pada resipien transplantasi ginjal dengan frekuensi
hingga 90% resipien. Hipertensi pada resipien transplant meningkatkan risiko
disfungsi graft serta morbiditas dan mortalitas kardiovaskular. Faktor yang
berperan terhadap hipertensi setelah cangkok ginjal antara lain hipertensi yang
ada sebelum transplantasi, penyakit ginjal natif, obat seperti steroid, inhibitor
kalsineurin, disfungsi graft, stenosis arteri renalis, mikroangiopati trombotik,
fistula arteriovenous pasca biopsi. Hipertensi terjadi melalui mekanisme
retensi natrium dan air, kativasi sistem renin-angiotensin-aldosteron,
overaktivitas simpatetik, inhibisi atrial natriuretic peptide, ketidak seimbangan
sintesis dan degradasi nitric oxide, disfungsi endotelial, dan stres oksidatif.Tata
laksana hipertensi termasuk pemantauan kadar imunosupresan dan interaksi
obat. Pada hipertensi yang diinduksi calcineurin inhibitors, calcium-channel
blockers menurunkanvasokonstriksi. Dapat juga diberikan thiazida dan loop
diuretics, ACE inhibitors, dan ARBsebagai obat tunggal maupun kombinasi.
Selain sebagai antihipertensi, ACE inhibitor dan ARB mempunyai efek
antiproteinuria dan antieritrositosis, namun dapat menurunkan laju filtrasi
glomerulus dan menyebabkan anemia maupun hiperkalemia, sehingga obat ini
perlu dihindari pada pasien dengan penurunan laju filtrasi glomerulus karena
disfungsi graft atau stenosis arteri renalis pasca transplantasi.12,21

Penyebab
Setelah hipertensi emergensi teratasi, perlu dicari penyebab hipertensi.
Penyebab hipertensi emergensi pada anak sangat bervariasi dan tergantung
pada usia. Umumnya, hipertensi pada anak (termasuk hipertensi emergensi)
merupakan hipertensi sekunder. Pada anak di atas 15 tahun, sekitar 90%
penyebab hipertensi adalah hipertensi primer.4Penyebab hipertensi pada anak
antara lain trombosis arteri dan vena renalis, stenosis arteri dan vena renalis,
kelainan ginjal kongenital, koartasio aorta, displasia bronkopulmonar, duktus
arteriosus paten, perdarahan intraventrikular, penyakit renovaskular, penyakit
renoparenkim, penyakit endokrin, dan iatrogenik seperti obat-obatan dan
hipertensi postoperatif.22

85
Hypertensive Emergency in Children

Penyebab hipertensi pada anak adalah:1,2,3,12


Tabel. Penyebab hipertensi emergensi dan urgensi
Neonatus:
-trombosis arteri dan vena renalis
-penyakit ginjal polikistik resesif autosomal
-koartasio aorta
-sindrom nefrotik kongenital (sklerosis mesangial difus)
-penyakit parenkim ginjal lain
-stenosis arteri renalis
-tumor
-iatrogenik
-midriatik
-overdosis teofilin
-overdosis kafein
Bayi hingga 12 tahun
-penyakit parenkim ginjal
-penyakit ginjal polikistik
-penyakit renovaskular
-tumor
-penyebab endokrin
-koartasio aorta
Remaja
-hipertensi esensiel
-sindrom metabolik
-penyakit parenkim ginjal
-iatrogenik
-steroid anabolik
-drug abuse
-dekongestan
-penyakit renovaskular
-koartasio aorta
-penyebab endokrin
Sumber: Chandar J, Zilleruelo G. Pediatr Nephrol. 2012;27:741-51

Komplikasi
Gejala sisa hipertensi bergantung pada keparahan, lama, dan penyebab
hipertensi. Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah hipertensi
ensefalopati, infark dan perdarahan serebral, pali fasial, gangguan penglihatan,
dekompensasi jantung, dan gagal ginjal.22Sistem organ yang menjadi target
hipertensi yakni pembuluh darah, otak, mata, ginjal, dan jantung. Ada beberapa
petanda kerusakan organ target karena hipertensi yaitu kelainan pembuluh
darah (penurunan vascular compliance, peningkatan tebal intimamedia
dinding pembuluh darah), otak (kelainan pada CTHalic scan dan MRI), mata
(retinopati), ginjal (mikroalbuminuria), penurunan laju filtrasi glomerulus) dan
jantung (peningkatan left ventricular mass, disfungsi diastolik).22
Komplikasi utama pada anak adalah pada susunan saraf pusat, mata,
jantung, dan ginjal. Deal dkk. melaporkan komplikasi hipertensi emergensi
berupa hipertensiretinopati 27%, hipertensi ensefalopati 25%, kejang 25%,

86
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

hipertrofi ventrikel kiri 13%, palsi fasial 12%, gangguan visus 9%, dan
hemiplegia 8%. Gangguan visus dapat disebabkan retinopati, kerusakan
kortikal, perdarahan vitreous, atau neuropati iskemik optik anterior.23
Dapat juga ditemukan gangguan saluran cerna seperti perdarahan karena
kerusakan mikrovaskular akibat tekanan darah yang tinggi. Manifestasi klinis
pada neonatus dapat berupa takipnea, kardiomegali, gagal jantung kongestif,
letargi, kejang, retinopati, dan failure to thrive.8
Penurunan tekanan darah yang dini, perlahan, dan aman berkaitan erat
dengan besarnya kemungkinan pulih dari komplikasi. Deal dkk. melaporkan
bahwa 24% pasien rawat dengan hipertensi memerlukan tata laksana
emergensi.23

Patogenesis dan patofisiologi


Tekanan darah terjadi karena resultante curah jantung (cardiac output)dan
resistensi perifer. Curah jantung ditentukan oleh isi sekuncup dan laju nadi.
Isi sekuncupditentukan oleh preload, kontraktilitas jantung, dan after-load
atau resistensi perifer. Hipertensi terjadi karena meningkatnya curah jantung
dan atau resistensi perifer. Meningkatnya curah jantung dapat disebabkan
meningkatnya isi sekuncup dan laju jantung.11Terjadinya hipertensiemergensi
dipengaruhi oleh kecepatan, derajat, dan lama peningkatan tekanan darah.
Faktor lain yang berperan adalah retensi natrium dan disfungsi endotel.
Homeostasis tekanan darah dipengaruhi interaksi berbagai faktor yang
melibatkan sistem kardiovaskular dan ginjal yang dimediasi oleh mekanisme
neural dan humoral.Perfusi jaringan di ginjal, otak, dan jantung dipertahankan
dengan fluktuasi tekanan darah dalam rentang yang lebar melalui mekanisme
humoral dan miogenik, oleh proses auto-regulasi aliran darah dalam berbagai
organ. Kerusakan end-organakibat hipertensi berat timbul jika tekanan darah
meningkat melampaui rentang auto-regulasi. Hipertensiemergensisebagian
besar tergantung angiotensin dengan reaktivitas vaskular yang tinggi, dan
terdapat peningkatan norepinefrin dan vasopresin, serta penurunan kadar
hormon vasodilatorseperti kininogen,kinin, dan prostasiklin. Hipertensi berat
terbukti berkaitan dengan peningkatan aktivitas simpatetik yang meningkatkan
efek vasokonstriktif angiotensin II. Angiotensin IImemfasilitasi pengeluaran
dan menghambat reuptakenor-epinefrin, serta mempotensiasi respon vaskular
terhadap nor-epinefrin. Angiotensin II akan meningkatkan reactive oxygen
species seperti anion superoksida, mengaktivasisel T, danmenimbulkan inflamasi
vaskular dan disfungsi endotel. Hipertensi berat pada anak dengan kelainan
renovaskular unilateral dapat menimbulkan hiponatremia,hipokalemia, dan
kurang air karena natriuresis dan hiperaldosteronisme. Susunan saraf pusat
memegang peran penting dalam pengaturan tekanan darah melalui aktivasi

87
Hypertensive Emergency in Children

simpatetik dan modulasi faktor neuron–humoral seperti angiotensin II dan


vasopresin.
Hipertensi berat menginduksi kelainan arteriol ginjal yang mengakibatkan
kerusakan endotel, pengendapan trombosit dan fibrin, serta pelepasan
tromboksan. Keadaan ini menyebabkan vasokonstriksi, iskemia, proliferasi
miointima, dan dekompensasi mekanisme autoregulasiyang menyebabkan
hipoperfusi ke jantung, ginjal, dan otak.1,2,3,12
Patogenesis hipertensiemergensibersifat multifaktor, yaitu peningkatan
tekanan darah, fluid overload, overaktivitas simpatetik, aktivasi sistem renin-
angiotensin-aldosteron, stres oksidatif, disfungsi endotel, dan inflamasi.
Interaksi faktor ini sangat kompleks.21

Sistem renin–angiotensin
Renin disekresi oleh aparatus jukstaglomerulusginjal dan mengubah
angiotensinogen menjadi deka-peptidaangiotensin I. Angiotensin-converting
enzyme (ACE) mengubah angiotensin I menjadi bentuk aktif yaitu
angiotensin II (AII) yang menyebabkan hipertensi. Angiotensin II merupakan
vasokonstriktor poten yang berikatan dengan reseptor1angiotensinII (AT
1). Ikatan ini menimbulkan berbagai proses yang menyebabkan hipertensi
seperti retensi natrium, hipertrofi sel vaskular, dan induksi jalur proinflamatori
dan profibrotik.Angiotensin II juga berikatan dengan reseptor AT 2 yang
menimbulkan efek balik terhadap AT 1, seperti vasodilasi dan natriuresis
dan menyebabkan tekanan darah turun. Angiotensin II menginduksi sintesis
aldosteron dizona glomerulosa adrenal, vascular tree (sel endotel dan sel
otot polos vaskular), dan otak. Aldosteron menyebakan retensi natrium
dan ekskresi kalium sehingga meningkatkan volume sirkulasi. Sistem saraf
simpatetik dapat diaktivasi aldosteron.Kadar renin dan aldosteron yang tinggi
merupakan penyebab hipertensi pada sebagian besar penyakit ginjal.11

Fluid overload
Fluid overload merupakan mekanisme hipertensi paling sering pada anak dengan
penyakit ginjal dan gangguan ginjal akut dengan oliguria atau anuria. Renin
akan meningkatkan produksi angiotensin II dan aldosteron dan menyebabkan
retensi natrium dan fluid overload.11

Stimulasi simpatetik
Aktivasi sistem saraf simpatetik menimbulkan vasokonstriksi sistemik
dan menyebabkan hipertensi berat, seperti pada feokromositoma dan
neuroblastoma yang memproduksi vasoaktif.Hemodialisis dapat meningkatkan

88
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

katekolamin dan renin yang menyebabkan hipertensi.Penurunan kadar nitric


oxide menyebabkan hipertensi berat terutama pada penurunan fungsi ginjal.11

Disfungsi endotel
Endotel memegang peran penting dalam mekanisme hipertensi berat
simtomatik. AngiotensinII mempunyai efek terhadap dinding pembuluh
darah. Mekanisme yang menurukan vasodilatasi antara lain pembentukan
nitric oxidedan oxidativeexcess yang menurun.Vasodilatasi sebagai kompensasi
terhadap peningkatan tekanan darah mempunyai keterbatasan dan
menyebabkan dekompensasi endotel sehingga meningkatkan tekanan
darah. Pada proses ini, terdapat peran faktor transkripsi (transcription
factors) terutama NF-κB. Faktor transkripsi ini merangsang produksi sitokin
proinflamatorisepertitumor necrosis factor-α, kemokin, dan molekul adhesi
vaskular (vascular adhesion molecules) yang menimbulkan inflamasi pada
dinding pembuluh darah.11

Obat-obatan
Meski jarang, ada beberapa obat yang dapat meningkatkan tekanan darah
secara mendadak pada anakantara lain kokain, amfetamin, atau fensiklidin
yang menyebabkan hipertensi melalui mekanisme overstimulasi simpatetik.
Mekanisme lain adalah melalui fluidoverload, aktvasi sistem renin–angiotensin,
dan vasokonstriksi arteriol aferen glomerulus. Obat lain adalah kortikosteroid
dan penghambat kalsineurin.11

Simpulan
Hipertensi emergensi merupakan masalah kegawatan yang penting pada anak
karena berkaitan denganmorbiditas dan mortalitas. Diagnosis dini dantata
laksana tergantung pada penyebab. Tekanan darah harus segera diturunkan
namun dilakukan dengan hati-hati dan bertahap.

Daftar pustaka
1. Bagga A, Sinha A, Gulati A. Hypertension. Dalam: Bagga A, Sinha A, Gulati
A, penyunting. Protocols in Pediatric Nephrology. Edisi pertama, New Delhi-
Chennay, CBS Publisjers and Distribution Pvt, 2012,h.2011-23.
2. Gulati A, Srivastava RN. Hypertension. Dalam: Srivastava RN, Bagga A,
penyunting. Pediatric Nehrology, edisi ke-empat, New Delhi-London, Jaypee
Brothers Medical Publisher, 2011,h.337-59.

89
Hypertensive Emergency in Children

3. Patel NH, Romero SK, Kaelber DC. Evaluation and management of pediatric
hypertensive crises: hypertensive urgency and hypertensive emergencies. Apen
Acces Emergency Med. 2012;4:85-92.
4. Yang WC, Zhaoo LL, Chen CY, Wu YK, Chang YJ, Wu HP. First-attack
pediatric hypertensive crisis presenting to the pediatric emergency department.
BioMed Central Pediatr. 2012, 12:200. Diunduh dari: http://www.biomedcentral.
com/1471-2431/12/200tanggal 7 April 2015.
5. National High Blood Pressure Education Program Working Group on High
Blood Pressure in Children and Adolescents. The fourth report on the diagnosis,
evaluation, and treatment of high blood pressure in children and adolescents.
Pediatrics 2004;114:555-76.
6. Alatas H. Ensefalopati hipertensi. Naskah simposium dan workshop sehari:
Kegawatan pada penyakit ginjal anak. Makasar, 27-28 Mei, 2006,17-28.
7. The Joint National Committee on Detection, Evaluation, and Treatment of High
Blood Pressure: The 1984 report of the Joint National Committee. Archs Intern
Med 1984;144:1045-57.
8. Adelman RD, Coppo R, Dillon MJ. The emergency management of severe
hypertension. Pediatr Nephrol. 2000;14:422-7.
9. Webb TN Therapy of acute hypertension in hospitalized children and adolescents.
Curr Hypertens Rep. 2014;16: 425. doi:10.1007/s11906-014-0425-0.
10. Vaughan DJ, Delanty N. Hypertensive emergencies. Lancet 2000;356: 411–7.
11. Flynn JT, Tullus K. Severe hypertension in children and adolescents:
pathophysiology and treatment. Pediatr Nephrol. 2009;24:1101-12.
12. Chandar J, Zilleruelo G. Hypertensive crisis in children. Pedatr Nephrol.
2012;27:741-51.
13. Michael J, Groshong T, Tobias JD. Nicardipine for hypertensive emergenciesin
children with renal disease. Pediatr Nephrol.1998;12: 40-2.
14. Flynn JT, Pasko DA. Calcium channel blockers: pharmacology and place in
therapy of pediatric hypertension. Pediatr Nephrol.2000;15:302–16.
15. Majdalani MN. Pediatric hypertension. Management of hypertensive emergencies
in children. J Med Liban. 2010;58:167-70.
16. Ostrye J, Hailpern SM, Jones J, Egan B, Chessman K, Shatat IF. The efficacy
and safety of intravenous hydralazine for the treatment of hypertension in the
hospitalized child. Pediatr Nephrol. 2014;29:1403–9.
17. Li SPS, Wong SN. Treatment of hypertension. Dalam: Chiu MC, Yap HK, editors,
Practical Paediatric Nephrology, edisi ke-1, Hong Kong, Medcom Limited,
2005;h.89-95.
18. Egger DW, Deming DD, Hamada N, Perkin RM, SahneyS. Evaluation of the
safety of short-acting nifedipine in children with hypertension. Pediatr Nephrol
2002, 17: 35-40.
19. Yiu V, Orrbine E, Rosychuk RJ, MacLaine P, Goodyer P, Girardin C, dkk. The
safety and use of short-acting nifedipine in hospitalized hypertensive children.
Pediatr Nephrol.2004;19:644–50..
20. Calvetta A,Martino S, von Vigier RO, Schmidtko J, Fossali E, Bianchetti MG.
“What goes up must immediately come down!”Which indication for short-acting
nifedipine in children with arterial hypertension?Pediatr Nephrol.2003;18:1–2.

90
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

21. Singh D, Akingbola O, Yosypiv I, El-Dahr S. Emergency management of


hypertension in children. Int J Nephrol. 2012, Article ID 420247, 15 pages.
doi:10.1155/2012/420247.
22. Varda NM, Gregoric A. A diagnostic approach for the child with hypertension.
Pediatr Nephrol. 2005;20:499–506.
23. Deal JE, Barratt TM, Dillon MJ. Management of hypertensiveemergencies. Arch
Dis Child. 1992; 67:1089–92.

91
Kejang Demam
Hardiono Pusponegoro

Tujuan
1. Menentukan apakah diperlukan pungsi lumbal pada kejang demam.
2. Mengetahui pencegahan kejang demam secara intermiten atau rumat.
3. Mengetahui Generalized Epilepsy with Febrile Seizure Plus (GEFS+),
sindrom Dravet, febrile status epilepticus dan hubungan kejang demam
dengan epilepsi lobus temporalis.
4. Mengetahui peran elektroensefalografi (EEG) pada kejang demam.
5. Mengetahui faktor risiko berulangnya kejang demam, faktor risiko
epilepsi di kemudian hari, dan prognosis.

Kejang demam adalah kejang yang disebabkan demam 38oC, tanpa disertai
infeksi susunan saraf pusat, yang terjadi pada anak berumur 6-60 bulan.1 Angka
kejadian kejang demam adalah 2-5% di antara anak berumur antara 6-60
bulan.1-3 Kejang demam dibagi menjadi kejang demam sederhana yang ditandai
kejang umum selama kurang dari 15 menit dan tidak berulang dalam 24 jam;
dan kejang demam kompleks dengan ciri kejang fokal, lama kejang lebih dari
15 menit, dan/ atau berulang dalam 24 jam.1 Hal yang paling penting dalam
penatalaksanaan kejang demam adalah mencari penyebab demam, terutama
menyingkirkan diagnosis meningitis,1 dan menentukan penatalaksanaan
selanjutnya. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai indikasi pungsi
lumbal, penatalaksanaan kejang demam, beberapa jenis kejang demam yang
memerlukan perhatian khusus, dan prognosis kejang demam.

Prediksi meningitis pada kejang demam


Penelitian retrospektif terhadap 497 anak berumur 6-18 bulan di India
melaporkan prevalensi meningitis bakterialis sebanyak 2,4% di antara anak
yang mengalami kejang demam pertama, 0,86% di antara anak dengan kejang
demam sederhana, dan 4,81% di antara anak dengan kejang demam kompleks.
Faktor risiko meningitis adalah kejang lebih dari 30 menit, adanya penurunan
kesadaran pasca kejang, dan adanya defisit neurologis.4 Penelitian di Amerika
menunjukkan hal yang berbeda. Kejadian meningitis bakterialis pada anak
dengan kejang demam sederhana boleh dikatakan sangat kecil bahkan nihil.

92
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

Penelitian retrospektif terhadap 704 anak berumur 0-18 bulan dengan kejang
demam sederhana, tidak menemukan satupun kasus meningitis bakterialis.5
Meta-analisis terhadap 2 penelitian kejang demam sederhana meliputi 150
anak juga melaporkan tidak ditemukannya meningitis bakterialis.6
Penelitian kejadian meningitis bakterialis pada anak dengan kejang demam
kompleks menunjukkan hasil sedikit berbeda. Suatu penelitian retrospektif
di Amerika dilakukan terhadap 526 anak berumur 6-60 bulan dengan kejang
demam kompleks. Ditemukan 3 anak dengan meningitis bakterialis (0,9%,
IK 95% 0,2-2,8). Satu anak menunjukkan penurunan kesadaran, satu anak
menunjukkan ubun-ubun besar membonjol dan apnea. Anak ketiga terlihat
baik, biakan darah menunjukkan Streptococcus pneumoniae, sedangkan
pungsi lumbal tidak dilakukan. Peneliti berkesimpulan bahwa hanya sedikit
anak dengan kejang demam kompleks yang mengalami meningitis bakterialis
bila tidak disertai gejala klinis.7
Penelitian retrospektif lain dilakukan terhadap 193 anak berumur 6-60
bulan, yang mengalami kejang demam kompleks pertama kali. Anak-anak
tersebut mengalami kejang fokal atau status epileptikus, atau memerlukan
intubasi. Hanya 1 pasien mengalami meningitis bakterialis (0,5%, IK 95%
0,0-1,5). Satu pasien tersebut mengalami empat kali bangkitan kejang dan
status epileptikus, serta memerlukan intubasi. Tidak ada gejala neurologis lain.8
Empat puluh tiga pasien mengalami kejang berulang, tidak ada di antaranya
yang mengalami meningitis bakterialis.8

Tabel 1. Risiko meningitis bakterialis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis

Likelihood ratio IK 95%


Anamnesis
Ubun-ubun besar membonjol 8,00 2,4-26
Kuduk kaku 7,70 3,2-19
Kejang di luar umur kejang demam 4,40 3,0-6,4
Tidak mau makan 2,00 1,2-3,4
Pemeriksaan fisis
Ikterus 5,90 1,8-19
Tampak sakit berat 5,80 3,0-11
Kuduk kaku 4,00 2,6-6,3
Kernig 3,50 2,1-5,7
Brudzinsky 2,50 1,8-3,6
Spastik 3,2 2,2-4,5
Demam > 40oC 2,90 1,6-5,5
Ubun-ubun besar membonjol 3,50 2,0-6,0
Lain-lain
Tidak ada gejala meningeal dan tangis abnormal menurunkan risiko meningitis. Tidak ada demam tidak
menyingkirkan meningitis.

93
Kejang Demam

Jelaslah, bahwa meningitis bakterialis pada anak dengan kejang demam


sangat sedikit dan hanya terjadi pada anak yang menunjukkan kelainan
neurologis, kejang fokal atau febrile status epilepticus. Artinya, bila
menghadapi seorang anak dengan kejang demam diperlukan anamnesis dan
pemeriksaan neurologis yang lengkap untuk mencari kemungkinan gejala
meningitis. Suatu meta analisis terhadap 10 penelitian, meliputi anak berumur
sampai 15 tahun ditujukan untuk menentukan gejala klinis meningitis
bakterialis.9

Indikasi pungsi lumbal pada kejang demam sederhana


Kriteria dari American Academy of Pediatrics1 telah mengalami perubahan
dibanding kriteria sebelumnya.

1. Pungsi lumbal harus dilakukan terhadap anak dengan kejang dan demam,
dan menunjukkan gejala dan tanda rangsang meningeal (misalnya kuduk
kaku, tanda Kernig atau Brudzinsky) atau anak dengan riwayat atau
pemeriksaan menunjukkan kemungkinan adanya meningitis atau infeksi
intrakranial, peringkat bukti ilmiah B
2. Pungsi lumbal dilakukan bila anak tidak mendapat vaksin Haemophilus
influenzae type b atau Streptococcus pneumoniae, atau apabila imunisasi
tidak diketahui (opsi).
3. Pungsi lumbal dipertimbangkan bila anak telah mendapat pengobatan
antibiotika karena pemberian antibiotika dapat menyamarkan gejala dan
tanda meningitis (opsi)
4. Pemeriksaan elektroensefalografi tidak dilakukan, peringkat bukti ilmiah
B, rekomendasi kuat
5. Pemeriksaan elektrolit serum, kalsium, fosfor, magnesium, glukosa darah,
darah tepi lengkap tidak dilakukan pada kejang demam sederhana.
peringkat bukti ilmiah B, rekomendasi kuat
6. Pencitraan susunan saraf pusat tidak dilakukan pada anak dengan kejang
demam sederhana. peringkat bukti ilmiah B, rekomendasi kuat
Kriteria nomor 2 dan 3 sulit diterapkan di Indonesia. Indikasi pungsi
lumbal pada kejang demam sederhana adalah menurut kriteria pertama. Pada
kejang demam kompleks, indikasi pungsi lumbal sama dengan kejang demam
sederhana, dengan perhatian khusus pada anak dengan gejala meningitis,
penurunan kesadaran, ubun-ubun besar membonjol, febrile status epilepticus,
atau kejang berulang.

94
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

Kejang demam yang memerlukan perhatian khusus


Generalized Epilepsy with Febrile Seizure + (GEFS+)
Pada beberapa anak, kejang demam dapat merupakan awal dari GEFS+.
Fenotip tersering dari GEFS+ adalah adanya kejang demam dan kejang demam
plus. Kejang demam plus dapat berupa kejang demam yang melanjut sampai
remaja, atau disertai adanya kejang tanpa demam. Kejang tanpa demam dapat
terjadi pada umur yang sesuai dengan kejang demam, atau setelah kejang
demam tidak terjadi lagi.10,11 Apabila kejang tanpa demam tersebut terjadi lebih
dari 2 kali, anak dapat disebut mengalami GEFS+. GEFS+ dapat menghilang
pada masa remaja atau berlanjut sampai dewasa. GEFS+ disebabkan oleh
mutasi berbagai gen, yang tersering adalah mutasi gen SCN1B. Di Indonesia
telah dilaporkan 34 anak dengan GEFS+. Tiga kasus di antaranya disebabkan
mutasi gen SCN1A.12

Sindrom Dravet (Severe Myoclonic Epilepsy of Infancy)


Sindrom Dravet lebih sering mengenai laki-laki. Insidens adalah 3-5% di
antara penderita epilepsi dalam tahun pertama, dan 7% pada penderita
epilepsi umur 3 tahun. Riwayat keluarga dengan epilepsi atau kejang demam
ditemukan pada 25% kasus. Sindrom Dravet disebabkan mutasi gen SCN1A,
yang ditemukan pada 40-100% pasien, yang dapat merupakan mutasi spontan
atau mutasi berulang.13
Gejala dimulai pada umur 6 bulan pertama berupa kejang demam disertai
kejang tonik klonik pada anak normal. Antara umur 1-4 tahun, terjadi kejang
demam dan kejang tanpa demam berganti-ganti. Kejang tanpa demam sering
unilateral, tonik-klonik atau parsial menjadi umum, kemudian berubah menjadi
berbagai tipe kejang yaitu mioklonik, absens atipik, atonik, berganti-ganti
kejang parsial dan status epileptikus. Anak sering mengalami status epileptikus
pada saat demam.13,14 Sindrom Dravet sangat resisten terhadap pengobatan.
Obat terpilih adalah valproat, topiramat atau klobazam. Pemberian
fenobarbital, karmamasepin, fenitoin, dan lamotrigin dapat memperberat
epilepsi.15 Perkembangan yang awalnya normal terhenti, dan anak mengalami
disabilitas intelektual. Epilepsi dapat berhenti sendiri dengan bertambahnya
umur. Dua kasus telah dilaporkan dari Indonesai dengan mutasi pada SCN1A.16

Febrile status epilepticus


Sebanyak 10% di antara anak yang mengalami febrile status epilepticus
menunjukkan adanya gangguan hipokampus pada pencitraan.17 Apakah hal
ini berhubungan dengan risiko berulangnya kejang demam atau meningkatkan
risiko menjadi epilepsi di kemudian hari belum jelas. Pemeriksaan

95
Kejang Demam

elektroensefalografi dapat menunjukkan perlambatan fokal pada 30% anak,


yang berhubungan dengan risiko epilepsi di kemudian hari.17

Pencegahan kejang saat demam


Diazepam oral
Pemberian diazepam oral 0,33 mg/kg setiap 8 jam akan mengurangi risiko
rekurensi kejang demam sebanyak 44% (RR = 0.56; IK 95% 0,38- 0,81; P =
0.002).18 Namun, hal tersebut memerlukan 13 anak untuk mencegah kejang
pada satu anak.19,20 dengan efek samping pada 30-40% anak berupa mengantuk
dan ataksia. Penelitian dengan dosis 0,5 mg/kg disusul 0,2 mg/kg setiap 12
jam tidak menunjukkan manfaat.21 Penelitian lain menggunakan diazepam
rektal disusul diazepam oral 0,2 mg/kg tiga kali sehari juga tidak bermanfaat.22
Penelitian lain membandingkan klobazam per oral (n=20) dengan plasebo
(n=19) sebagai pengobatan intermiten. Klobazam sangat efektif. Kejang
demam berulang pada 6 kasus (12.5%) di antara 48 episode demam pada
kelompok plasebo, dibandingkan dengan 1 kasus (1,7%) di antara 60 episode
demam pada kelompok klobazam (P=0,01).23
Penelitian acak buta ganda yang membandingkan diazepam 0,33 mg/
kg setiap 8 jam (n=37) dengan klobazam (n=35) selama 12 bulan dengan
243 episode demam menunjukkan bahwa 2 pasien grup klobazam (1,7%)
dan 4 pasien grup diazepam (3,1%) mengalami berulangnya kejang demam
(p=0,474). Rasio odd klobazam dibandingkan dengan diazepam dengan IK
95% 0,54 (0,01-3) dan number to treat adalah 71,43. Dua puluh kasus (54%)
pada grup diazepam dan 5 kasus (14,2%) grup klobazam mengalami sedasi dan
mengantuk (p=0.0001).24
Dosis klobazam adalah 0,3-1 mg/kg/hari, diberikan dua kali per hari.
Dalam penelitian di atas, dosis klobazam yang digunakan adalah:23,24
yy Berat badan sampai 5 kg, dosis 2x2,5 mg per hari
yy Berat badan 6-10 kg, dosis 2 x 5 mg per hari
yy Berat badan 11-15 kg, dosis 2x7,5 mg per hari
yy Berat badan lebih dari 15 kg, dosis 2x10 mg per hari

Pengobatan saat kejang demam


Sebagian besar kejang akan berhenti sendiri sebelum 5 menit. Kejang dapat
diatasi dengan diazepam rektal, atau diazepam intravena. Lorazepam intravena
dan midazolam bukal atau intranasal sama efektifnya dengan diazepam, namun
kedua obat ini tidak tersedia di Indonesia.17 Bila kejang tidak dapat dihentikan

96
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

dengan diazepam, pengobatan dilanjutkan dnegan protokol status epileptikus


menggunakan fenobarbital atau fenitoin.17

Pengobatan rumat kejang demam


Obat anti epilepsi
Suatu meta-analisis menunjukkan bahwa pengobatan rumat dengan valproat
atau fenobarbital menurunkan risiko berulangnya kejang demam dalam 6 bulan
sampai 2 tahun, namun menyebabkan efek samping pada 30-40% anak.25 Efek
samping pada penggunaan valproat lebih sedikit dibandingkan fenobarbital.2
Pada kejang demam sederhana, tidak diperlukan pengobatan rumat.26
Untuk kejang demam kompleks, tidak ada panduan yang dibuat dan penilaian
harus dilakukan secara individual.17 Anamnesis, pemeriksaan neurologis,
dan EEG pada kejang demam kompleks atau febrile status epilepticus dapat
menunjukkan kemungkinan adanya sindrom epilepsi atau risiko epilepsi di
kemudian hari, misalnya perlambatan fokal, atau ditemukannya sklerosis mesial
temporal yang merupakan risiko epilepsi lobus temporalis. Kejang demam lebih
dari 6 kali per tahun juga merupakan indikasi terapi rumat.2 Lama terapi tidak
ada kesepakatan, ada yang berpendapat selama 2 tahun setelah kejang terakhir,
ada yang berpendapat sampai anak berumur 6 tahun.17

Antipiretik
Penggunaan antipiretik menyebabkan anak menjadi lebih nyaman, namun
tidak mengurangi risiko berulangnya kejang demam.17 Suatu meta-analisis
meliputi 540 anak yang mendapat asetaminofen, ibuprofen atau diklofenak
tidak dapat membuktikan bahwa antipiretik dapat mengurangi berulangnya
kejang demam (OR 0.9, 95% CI: 0.57-1.43).27 Suatu penelitian acak buta
ganda terhadap 231 anak yang membandingkan ibuprofen, asetaminofen dan
plasebo tidak menemukan perbedaan bermakna antara grup yang mendapat
antipiretik dan plasebo dalam mencegah berulangnya kejang demam.28

Prognosis
Kecacatan dan mortalitas
Penelitian pemantauan 1-5 tahun terhadap 482 anak tidak menemukan
kematian, disabilitas intelektual atau kecacatan.29 Penelitian di dalam populasi
juga menunjukkan bahwa kejang demam sederhana tidak menyebabkan
peningkatan mortalitas, disabilitas intelektual atau kecacatan.30,31

97
Kejang Demam

Kejang selama 50 menit dilaporkan dapat menyebabkan terhentinya


perkembangan substansia alba, yang pada sebagian besar anak menjadi normal
kembali.32 Laporan lain menunjukkan adanya gangguan memori pada anak
yang mengalami kejang demam lama.33

Risiko berulangnya kejang demam kembali


Sebanyak 30-35% anak akan mengalami kejang demam kembali.17 Risiko
meningkat bila kejang demam pertama terjadi sebelum anak berumur 1 tahun,
riwayat kejang demam pada saudara kandung, demam yang tidak tinggi,
interval antara demam dan kejang yang pendek, dan perkembangan abnormal
sebelum kejang.17

Risiko menjadi epilepsi


Risiko epilepsi di kemudian hari pada kejang demam sederhana hanya 1-2%.17
Pada kejang demam kompleks, risiko menjadi epilepsi adalah 5-10%.17 Faktor
risiko untuk menjadi epilepsi misalnya gangguan perkembangan sebelum kejang
demam, kejang demam kompleks termasuk kejang demam fokal, lama, atau
berulang, dan riwayat keluarga epilepsi.17

Simpulan
Kejang demam sederhana tidak memerlukan pemeriksaan apa-apa, tidak
pernah menyebabkan meningitis bakterialis, tidak memerlukan pengobatan
rumat. Pengobatan intermiten efektif namun menimbulkan banyak efek
samping.
Kejang demam kompleks harus dinilai secara individual mengenai
kemungkinan meningitis bakterialis. Kejang demam kompleks memerlukan
pemeriksaan EEG. Pengobatan rumat harus dinilai secara individual.
Kemungkinan GEFS+, sindrom Dravet harus difikirkan pada kejang
demam tertentu.
Prognosis pada kejang demam sederhana sangat baik, sedangkan prognosis
kejang demam kompleks umumnya baik kecuali kasus tertentu.

Daftar pustaka
1. American Academy of Pediatrics. Neurodiagnostic evaluation of the child with
a simple febrile seizure. Pediatrics 2011;127:389-94.
2. Paul SP, Chinthapalli R. Rational approach to management of febrile seizures.
Indian J Pediatr 2013;80:149-50.

98
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

3. Fishman MA. Febrile seizures. In: Nordi DR, editors. UpToDate. Waltham, MA:
UpToDate; 2014.
4. Batra P, Gupta S, Gomber S, Saha A. Predictors of meningitis in children
presenting with first febrile seizures. Pediatr Neurol 2011;44:35-9.
5. Kimia AA, Capraro AJ, Hummel D, Johnston P, Harper MB. Utility of lumbar
puncture for first simple febrile seizure among children 6 to 18 months of age.
Pediatrics 2009;123:6-12.
6. Hom J, Medwid K. The low rate of bacterial meningitis in children, ages 6 to 18
months, with simple febrile seizures. Acad Emerg Med 2011;18:1114-20.
7. Kimia A, Ben-Joseph EP, Rudloe T, Capraro A, Sarco D, Hummel D, et al. Yield
of lumbar puncture among children who present with their first complex febrile
seizure. Pediatrics 2010;126:62-9.
8. Fletcher EM, Sharieff G. Necessity of lumbar puncture in patients presenting
with new onset complex febrile seizures. West J Emerg Med 2013;14:206-11.
9. Curtis S, Stobart K, Vandermeer B, Simel DL, Klassen T. Clinical features
suggestive of meningitis in children: A systematic review of prospective data.
Pediatrics 2010;126:952-60.
10. Scheffer IE, Harkin LA, Dibbens LM, Mulley JC, Berkovic SF. Neonatal epilepsy
syndromes and generalized epilepsy with febrile seizures plus (GEFS+). Epilepsia
2005;46 Suppl 10:41-7.
11. Millichap JJ, Millichap GJ. Clinical features and evaluation of febrile seizure. In:
Nordli DR, Elcher AF, editors. UpToDate. Waltham, MA: UpToDate; 2015.
12. Herini ES, Gunadi, Harahap IS, Yusoff S, Morikawa S, Patria SY, et al. Generalized
epilepsy with febrile seizures plus (GEFS+) spectrum: Clinical manifestations and
scn1a mutations in indonesian patients. Epilepsy Res 2010;90:132-9.
13. Brunklaus A, Zuberi SM. Dravet syndrome--from epileptic encephalopathy to
channelopathy. Epilepsia 2014;55:979-84.
14. Le Gal F, Lebon S, Ramelli GP, Datta AN, Mercati D, Maier O, et al. When
is a child with status epilepticus likely to have dravet syndrome? Epilepsy Res
2014;108:740-7.
15. Incorpora G. Dravet syndrome. Ital J Pediatr 2009;35:27.
16. Herini ES, Gunadi, van Kempen MJ, Yusoff S, Sutaryo, Sunartini, et al. Novel
scn1a mutations in indonesian patients with severe myoclonic epilepsy in infancy.
Pediatr Int 2010;52:234-9.
17. Millichap JJ, Millichap GJ. Treatment and prognosis of febrile seizures. In: Nordli
DR, Elcher AF, editors. UpToDate. Waltham, MA: UpToDate; 2015.
18. Rosman NP, Colton T, Labazzo J, Gilbert PL, Gardella NB, Kaye EM, et al. A
controlled trial of diazepam administered during febrile illnesses to prevent
recurrence of febrile seizures. N Engl J Med 1993;329:79-84.
19. Camfield PR, Camfield CS, Gordon K, Dooley JM. Prevention of recurrent febrile
seizures. J Pediatr 1995;126:929-30.
20. Camfield P, Camfield C. Are febrile seizures an indication for intermittent
benzodiazepine treatment, and if so, in which cases? Epileptic Disord 2014;16
suppl.1:S84-8.

99
Kejang Demam

21. Autret E, Billard C, Bertrand P, Motte J, Pouplard F, Jonville AP. Double-blind,


randomized trial of diazepam versus placebo for prevention of recurrence of febrile
seizures. J Pediatr 1990;117:490-4.
22. Uhari M, Rantala H, Vainionpää L, Kurttila R. Effect of acetaminophen and
of low intermittent doses of diazepam on prevention of recurrences of febrile
seizures. J Pediatr 1995;126:991-5.
23. Rose W, Kirubakaran C, Scott JX. Intermittent clobazam therapy in febrile
seizures. Indian J Pediatr 2005;72:31-3.
24. Khosroshahi N, Faramarzi F, Salamati P, Haghighi SM, Kamrani K. Diazepam
versus clobazam for intermittent prophylaxis of febrile seizures. Indian J Pediatr
2011;78:38-40.
25. Offringa M, Newton R. Prophylactic drug management for febrile seizures in
children (review). Evid Based Child Health 2013;8:1376-485.
26. Steering Committee on Quality Improvement and Management, Subcommittee
on Febrile Seizures American Academy of Pediatrics. Febrile seizures: Clinical
practice guideline for the long-term management of the child with simple febrile
seizures. Pediatrics 2008;121:1281-6.
27. Rosenbloom E, Finkelstein Y, Adams-Webber T, Kozer E. Do antipyretics prevent
the recurrence of febrile seizures in children? A systematic review of randomized
controlled trials and meta-analysis. Eur J Paed Neurol 2013;17:EPub 2013 May 21.
28. Strengell T, Uhari M, Tarkka R, Uusimaa J, Alen R, Lautala P, Rantala H.
Antipyretic agents for preventing recurrences of febrile seizures: Randomized
controlled trial. Arch Pediatr Adolesc Med 2009;163:799-804.
29. Sfaihi L, Maaloul I, Kmiha S, Aloulou H, Chabchoub I, Kamoun T, Hachicha
M. Febrile seizures: An epidemiological and outcome study of 482 cases. Childs
Nerv Syst 2012;28:1779-84.
30. Nelson KB, Ellenberg JH. Prognosis in children with febrile seizures. Pediatrics
1978;61:720-7.
31. Verity CM, Greenwood R, Golding J. Long-Term intellectual and behavioral
outcomes of children with febrile convulsions. N Engl J Med 1998;338:1723-8.
32. Yoong M, Seunarine K, Martinos M, Chin RF, Clark CA, Scott RC. Prolonged
febrile seizures cause reversible reductions in white matter integrity. Neuroimage
Clin 2013;3:515-21.
33. Martinos MM, Yoong M, Patil S, Chin RF, Neville BG, Scott RC, de Haan M.
Recognition memory is impaired in children after prolonged febrile seizures.
Brain 2012;135:3153-64.

100
Risiko Penurunan Berat Badan Terlalu Cepat
pada Anak Obesitas
Aryono Hendarto

Tujuan:
1. Memberikan informasi mengenai masalah obesitas pada anak
2. Memberikan informasi mengenai patofisiologi dan etiologi obesitas
pada anak
3. Memberikan informasi mengenai dan dampak jangka pendek dan
panjang obesitas pada anak
4. Memberikan informasi mengenai berbagai tata laksana obesitas pada
anak
5. Memberikan informasi mengenai risiko penurunan berat badan terlalu
cepat pada anak

Latar belakang
Obesitas merupakan keadaan akumumulasi lemak tubuh secara berlebihan.1,2
Obesitas merupakan salah satu masalah kesehatan besar pada berbagai negera.
Prevalensi obesitas bukan hanya tinggi pada dewasa, tetapi prevalensi obesitas
juga terus meningkat pada anak-anak.3,4 Diperkirakan 17% anak berusia 2-19
tahun mengalami obesitas di dunia.4
Obesitas pada anak dapat menimbulkan berbagai dampak kesehatan
jangka pendek dan jangka panjang.4,5 Risiko jangka pendek obesitas dapat
terjadi pada berbagai sistem organ tubuh.1,2,4,6 Selanjutnya, anak dengan
obesitas memiliki risiko 2- 2.6 kali lebih tinggi mengalami gizi lebih atau obesitas
setelah dewasa dibandingkan dengan anak dengan berat badan normal.7,8 Oleh
karena itu, obesitas pada anak memiliki risiko jangka panjang peningkatan
morbiditas dan mortalitas, masalah psikologis, dan masalah diskriminasi yang
kerap terjadi pada usia dewasa.4
Berbagai pendekatan terapi telah dilakukan untuk menangani masalah
obesitas pada anak. Kombinasidari modifikasi pola diet, perubahan kebiasaan,
olahraga, obat-obatan, dan operasi dapat dilakukan untuk menurunkan
berat badan anak yang mengalami obesitas.1,2,4 Peran keluarga, sekolah, dan
lingkungan sangat membantu keberhasilan terapi obesitas pada anak.9,10
Ada beberapa pendekatan pola diet yang dilakukan untuk menurunkan

101
Risiko Penurunan Berat Badan Terlalu Cepat pada Anak Obesitas

berat badan pada anak dan remaja. Diet makronutrien seimbang sejauh ini
masih merupakan diet yang paling aman dan dianjurkan untuk menurunkan
berat badan anak usia pra-remaja yang mengalami obesitas.4,11 Ada dua jenis
diet perubahan komposisi karbohidrat yaitu diet rendah glikemik dan rendah
karbohidrat. Diet makanan rendah glikemik bertujuan untuk mengurangi
pelepasan insulin dan peningkatan gula darah secara tajam.12 Sementara itu,
diet rendah karbohidrat merupakan pola diet dengan konsumsi karbohidrat
dibawah angka kecukupan gizi yang dianjurkan.11 Diet perubahan komposisi
protein sering juga disebut dengan diet “protein sparing modified fast”, bermanfaat
pada keadaan dibutuhkan penurunan berat badan dalam waktu singkat.1,4
Penurunan aktivitas sedentari penting untuk mencapai kontrol berat
badan. Menghindari mengonsumsi makanan cepat saji berkalori tinggi,
peningkatan aktivitas fisik, serta membatasi waktu anak di depan layar
televisi bermanfaat dalam menurunkan berat badan anak dan remaja dengan
obesitas.1,2,13 Terapi obat-obatan untuk menurunkan berat badan anak masih
terbatas dan hingga saat ini hanya orlistat dengan penambahan multivitamin
yang aman digunakan pada remaja dengan obesitas.14 Obat lain yaitu metformin
bermanfaat diberikan pada remaja obesitas dengan hiperinsulenemia.15 Dua
jenis operasi bariatrik yang pada saat ini sering dilakukan untuk menurunkan
berat badan pada anak adalah operasi rounx-en-Y gastric bypass (RYGB) dan
vertical banded gastroplasty (VBG).4,16
Penurunan berat badan pada anak harus dilakukan dengan hati-hati dan
disesuaikan dengan usia agar tidak mengganggu proses tumbuh kembang anak.1,2
Penurunan berat badan yang terlalu cepat dapat menimbulkan berbagai risiko
pada anak. Hal inilah yang akan menjadi topik bahasan dalam makalah ini.

Definisi obesitas
Obesitas merupakan keadaan akumulasi lemak tubuh secara berlebihan.1,2
Diagnosis obesitas pada anak dapat ditentukan dengan pengukuran indeks
massa tubuh (IMT) terhadap umur. Menurut center of disease control (CDC)
dan American Academy of Paediatrics (AAP), anak dikatakan gizi lebih jika
memiliki IMT antara persentil 85-95 dan dikatakan obesitas jika memiliki
IMT lebih dari atau sama dengan persentil 95.1,2,4,17

Table 1. Klasifikasi IMT pada anak dan remaja1


Status Persentil IMT Terhadap Berat Badan Sesuai Umur
< Persentil 5 Gizi kurang
Persentil 5-85 Normal
Persentil 85-94 Gizi lebih
≥ Persentil 95 Obesitas

102
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

Prevalensi obesitas
Obesitas merupakan salah satu masalah kesehatan besar pada berbagai negera.
Tidak hanya pada orang dewasa, prevalensi obesitas juga terus meningkat pada
anak. Di negara berkembang, obesitas tidak hanya meningkat pada masyarakat
kalangan atas, namun juga pada masyarakat dengan sosio-ekonomi rendah.3,4,10
Di Amerika Serikat, prevalensi anak dengan gizi lebih atau obesitas pada usia
2-19 tahun hampir mencapai 32%.5 Di Indonesia, berdasarkan RISKESDAS
tahun 2013, prevalensi gizi lebih dan obesitas pada anak usia 5-12 tahun
sebanyak 18,8% (10,8% gizi lebih dan 8% obesitas), untuk usia 13-15 tahun
sebanyak 10,8% (8,3% gizi lebih dan 2,5% obesitas), dan 7,3% pada anak
usia 16-18 tahun (5,7% gizi lebih dan 1,6% obesitas). DKI Jakarta merupakan
provinsi dengan prevalensi gizi lebih dan obesitas tertinggi di Indonesia untuk
anak usia 5-12 tahun yaitu mencapai 30,1%.18

Patofisiologi dan etiologi obesitas


Pengaturan napsu makan terjadi melalui umpan balik dari jaringan lemak dan
saluran pencernaan ke sistem saraf pusat. Hormon saluran cerna, termasuk
kolesistokinin, glucagon-like peptide-1, peptide YY (PYY), dan umpan balik
neuronal vagal memberikan rasa kenyang, sementara ghrelin memicu napsu

Gambar 1. Pengaturan napsu makan dalam tubuh1

103
Risiko Penurunan Berat Badan Terlalu Cepat pada Anak Obesitas

makan. Jaringan lemak memberikan umpan balik terkait tingkat penyimpanan


energi ke otak melalui pelepasan hormon leptin dan adiponektin. Berbagai
neuropeptida pada otak termasuk neuropeptida Y, orexin, dan agouti gene-related
peptide berperan dalam stimulasi napsu makan, sementara melanokortin dan
hormon α-melanokortin berperan dalam rasa kenyang. Kontrol neuroendokrin
pada napsu makan dan berat badan adalah pada sistem umpan balik negatif
dan keseimbangan antara kontrol napsu makan jangka pendek (ghrelin, PYY)
dan kontrol jangka panjang jaringan lemak (leptin).1,2
Secara umum, gizi lebih dan obesitas dihasilkan dari disregulasi asupan
kalori dengan pengeluaan energi. Faktor endogen, lingkungan, dan gaya hidup
merupakan faktor utama penyebab obesitas pada anak.1,2,4
Peran gen dalam menentukan set poin berat badan dan defek genetik
pada sistem kontrol nafsu makan berdampak pada obesitas. Mutasi pada gen
leptin dapat menyebabkan obesitas berat.Berbagai kelainan genetik mendelian
juga menyebabkan obesitas seperti sindrom Prader-Willi dan Bardet-Biedl.
Lebih dari 600 gen, marker, dan regio kromosom terkait dengan obesitas pada
manusia.1,2,4
Peningkatan aktivitas sedentari dan kurangnya olahraga berkontribusi
pada peningkatan prevalensi obesitas. Aktivitas saat anak masih berkurang
pada berbagai negara dan kebiasaan menonton TV, bermain komputer, atau
videogame meningkat. Hubungan antara prevalensi obesitas dan jumlah
waktu di depan layar telah dibuktikan dalam berbagai penelitian. Pajanan
terhadap berbagai makanan komersial dengan tinggi kalori, lemak, karbohidrat
sederhana, sodium, dan rendah serat serta makanan ringan yang mengandung
lemak atau gula dengan kadar yang tinggi juga terjadi dalam beberapa dekade
terakhir dan berkontribusi terhadap peningkatan prevalensi obesitas pada
anak. 1,2,4,19

Dampak obesitas
Obesitas pada anak dapat menimbulkan berbagai dampak kesehatan pada
masa anak hingga dewasa. 4,5 Risiko jangka pendek obesitas pada anak
adalah masalah psikologis, penurunan performa disekolah, komplikasi
muskuloskeletal, asma, sleep apnea, sindrom ovarium polikistik, perlemakan
hati, batu empedu, pubertas dini, serta berbagai masalah metabolik seperti
peningkatan tekanan darah, dislipidemia, gangguan toleransi glukosa, diabetes
melitus, dan hiperinsulinemia.1,2,4,6,20-23 Sindrom metabolik ini memberikan
dampak peningkatan risiko penyakit kardiovaskular.24

104
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

Tiga puluh persen obesitas dewasa mengalamai obesitas pada masa anak
dan 50% mengalami obesitas pada saat remaja. Oleh karena itu obesitas pada
anak memiliki risiko jangka panjang peningkatan morbiditas dan mortalitas,
masalah psikologis, dan masalah diskriminasi yang kerap terjadi pada usia
dewasa.4

Tata laksana obesitas


Berbagai pendekatan terapi dilakukan untuk menangani masalah obesitas pada
anak. Kombinasi dari modifikasi pola diet, perubahan kebiasaan, olahraga,
obat-batan, dan operasi dapat dilakukan untuk menurunkan berat badan pada
anak dengan obesitas. 1,2,4,25,26 Peran keluarga, sekolah, dan lingkungan sangat
membantu keberhasilan terapi obesitas pada anak. 9,10

Terapi nutrisi
Ada beberapa pendekatan pola diet yang dilakukan untuk menurunkan
berat badan anak dan remaja. Diet makronutrien seimbang, diet perubahan
komposisi kadar karbohidrat, dan diet perubahan komposisi kadar protein
merupakan beberapa pola diet yang paling popular untuk anak dan remaja
dengan obesitas.4 Namun demikian, belum banyak bukti data mengenai pola
diet untuk anak dengan obesitas.27

Diet makronutrien seimbang


Diet makronutrien seimbang sejauh ini masih merupakan diet yang paling
aman dan dianjurkan untuk menurunkan berat badan pada anak usia pra-
remaja. Prinsip utamanya adalah pengurangan jumlah kalori dengan komposisi
makronutrien seimbang. Diet makronutrien seimbang disebut juga metode
traffic light diet atau stoplight diet. Pada diet ini, jenis makanan diberikan kode
warna hijau, kuning, dan merah. Makanan yang bebas dikonsumsi diberikan
kode hijau (makanan dengan kepadatan kalori yang rendah), sementara kode
kuning untuk konsumsi sedang (makanan dengan kepadatan kalori sedang),
dan kode merah diberikan untuk makanan dengan konsumsi yang sangat
terbatas (makanan dengan kepadatan kalori tinggi dan/atau mengandung gula
atau lemak).4,11,28 Dengan metode ini, penurunan jumlah kalori 900 - 1200
kkal/hari efektif menurunkan berat badan jangka panjang dan jangka pendek
pada anak usia 6-12 tahun.29,30

105
Risiko Penurunan Berat Badan Terlalu Cepat pada Anak Obesitas

Tabel 2. Rancangan traffic light diet1


Warna Hijau Kuning Merah
Kualitas Rendah kalori, tinggi Padat nutrisi, namun tinggi Tinggi kalori, gula, dan lemak
serat, rendah lemak, kalori dan lemak
padat nutrisi
Jenis Makanan Sayuran dan buah Daging bebas lemak, produk Daging berlemak, gula, makanan
susu, tepung, biji-bijian digoreng
Kuantitas Tidak terbatas Terbatas Jarang atau dihindari

Diet perubahan komposisi karbohidrat


Ada dua jenis diet perubahan komposisi karbohidrat yaitu diet rendah glikemik
dan rendah karbohidrat. Diet makanan rendah glikemik bertujuan untuk
mengurangi pelepasan insulin dan peningkatan gula darah secara tajam. Studi
telah melaporkan diet rendah glikemik dapat menurunkan kadar jaringan
lemak pada anak obesitas secara signifikan.12,31 Sementara itu, diet rendah
karbohidrat merupakan pola diet dengan konsumsi karbohidrat di bawah
angka kecukupan harian yang dianjurkan. Jenis diet ini dapat menurunkan
berat badan dalam jangka waktu singkat, namun belum ada data yang cukup
untuk membuktikan efektivas dan keamanan jangka panjangnya. Oleh karena
itu, diet rendah karbohidrat masih belum direkomendasikan pada anak secara
umum.11,13,32

Diet perubahan komposisi protein


Diet perubahan komposisi protein sering juga disebut dengan diet “protein
sparing modified fast”. Diet ini mengandung protein bebas lemak berkualitas
tinggi dengan jumlah kalori yang sangat terbatas. Diet ini bermanfaat pada
saat perlu penurunan berat badan dalam waktu singkat sangat dibutuhkan.4,11
Namun demikian, belum ada data yang jelas mengenai efektivitas dan
keamanan penurunan berat badan jangka panjang. Jenis diet ini masih
belum terbukti jelas lebih baik daripada diet makronutrien seimbang dalam
menurunkan berat badan pada anak usia pra-remaja.33,34

Perubahan kebiasaan dan olahraga


Penurunan aktivitas sedentari penting untuk mencapai kontrol berat badan.19,26
Menghindari mengonsumsi makanan cepat saji yang mengandung tinggi kalori,
lemak, karbohidrat sederhana, sodium, dan kurang serat serta makanan ringan
yang tinggi gula dan lemak bermanfaat dalam menurunkan berat badan anak
dan remaja. American Academic of Pediatric (AAP) merekomendasikan untuk
membatasi waktu anak di depan TV, komputer, atau video game kurang dari
2 jam sehari. Aktivitas fisik diluar rumah yang digemari bermanfaat dalam

106
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

mengontrol berat badan anak. Kombinasi dari perubahan pola makan,


kebiasaan, dan peningkatan aktivitas terbukti dapat menurunkan berat badan
anak dengan obesitas.1,2,13

Terapi obat-obatan
Terapi obat-obatan untuk menurunkan berat badan pada anak masih terbatas.
Sibutramin bekerja untuk menekan nafsu makan secara sentral, namun
demikian penelitian belum dapat menetapkan efektivitas dan keamanan
sibutramin pada anak dan remaja.35-38 Orlistat bekerja menghambat pencernaan
dan penyerapan lemak hingga 30%. Obat ini dapat diberikan pada remaja,
namun harus ditambahkan dengan pemberian multivitamin karena obat ini
menghambat penyerapan vitamin yang larut dalam lemak.14,39 Metformin
dapat digunakan untuk meningkatkan sensitivitas insulin dan menurunkan
berat badan.40,41dan terapi ini bermanfaat diberikan pada remaja dengan
hiperinsulinemia.15,42,43

Terapi operatif
Terapi operatif dilakukan pada remaja obesitas dengan komorbid atau memiliki
IMT yang sangat tinggi (≥ 50 kg/m2). Dua jenis operasi bariatrik yang pada saat
ini sering dilakukan untuk menurunkan berat badan pada anak adalah operasi
rounx-en-Y gastric bypass (RYGB) dan vertical banded gastroplasty (VBG) yang
bertujuan untuk menurunkan kapasitas lambung sehingga dapat membatasi
asupan kalori serta menurunkan kadar ghrelin sehingga dapat menurunkan
nafsu makan.4,16,44 Jenis operasi ini tidak menimbulkan malabsorbsi yang
signifikan dengan profil keamanan yang lebih baik daripada jenis operasi
lainnya jika dilakukan pada pasien yang tepat dan oleh ahli bedah yang baik.
Namun demikian, terdapat risiko komplikasi pasca operasi sebesar 10%.16,45,46

Target penurunan berat badan pada anak obesitas.


Anak memiliki aspek tumbuh kembang, sehingga tata laksana penurunan
berat badan pada anak harus hati-hati agar tidak mengganggu proses tumbuh
kembang dan disesuaikan dengan usia anak. Rumatan (Maintenance) berat
badan lebih diutamakan dibandingkan penurunan berat badan karena seiring
dengan pertambahan tinggi anak nilai IMT akan menurun.1,2
Penurunan berat badan hanya dilakukan pada anak obesitas di atas 6
tahun atau pada anak obesitas usia 2- 5 tahun yang memiliki komplikasi obesitas
yang serius.2 Penurunan berat badan pada anak obes terbukti bermanfaat dalam
menurunkan kadar insulin, trigliserida, kolesterol LDL, peningkatan HDL,
serta menurunkan tekanan darah.40,47,48 Akan tetapi, penurunan berat badan

107
Risiko Penurunan Berat Badan Terlalu Cepat pada Anak Obesitas

dilakukan secara perlahan (≤ 0.5-1 kg per minggu sesuai usia).1 Target awal
penurunan berat badan adalah 10% dari berat badan awal. Setelah target awal
tercapai, berat badan harus dipertahankan selama 3-6 bulan sebelum dimulai
program penurunan berat badan kembali.1,49,50

Risiko penurunan berat badan terlalu cepat pada anak obesitas


Penurunan berat badan terlalu cepat biasanya terjadi melalui metode diet
sangat rendah kalori atau dengan operasi bariatrik. Penurunan berat badan
yang terlalu cepat dapat menimbulkan berbagai risiko pada anak. Namun
demikian, belum banyak data efek samping penurnan berat badan terlalu cepat
pada anak obes. Berikut adalah beberapa gangguaan yang dapat disebabkan
oleh penurunan berat badan yang terlalu cepat pada anak obes.

Gangguan tumbuh kembang


Obesitas pada anak sering dikaitkan dengan postur tinggi walaupun
tinggi akhir dewasanya sama dengan anak yang tidak memiliki obesitas.51
Penelitian menunjukkan penurunan berat badan terlalu cepat pada anak
dapat menyebabkan terjadinya pertambahan tinggi badan di bawah
perkiraan. Sementara itu, anak obes yang mengalami penurunan berat
badan secara perlahan atau tidak mengalami penurunan berat badan
memiliki pertambahan tinggi badan di atas perkiraan.52 Penelitian lain
menunjukkan pada anak dengan obesitas berat, penurunan berat badan
terlalu cepat tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan gangguan
pertumbuhan, pubertas, dan gangguan makan pada anak.53
1. Peningkatan kadar asam urat dan penurunan kadar protein total darah
Di Vienna telah dilakukan penelitian mengenai efek metabolik pada diet
sangat rendah kalori pada anak dan remaja obes dengan referensi khusus
keseimbangan nitrogen. Hasilnya menunjukkan terjadinya peningkatan
kosentrasi asam urat. Tiga dari 8 pasien memiliki kadar asam urat lebih
dari 8 mg/dl sehingga diterapi dengan alopurinol. Selain itu, kadar protein
serum total juga mengalami penurunan.54

2. Penurunan kepadatan mineral tulang


Sebuah penelitian di AS mengobservasi terjadinya penurunan kepadatan
mineral tulang secara signifikan dan peningkatan ekskresi kalsium melalui
urin pada remaja obes dengan komorbid yang menjalankan diet ketogenik
dengan penurunan berat badan yang cepat walaupun telah diberikan
suplementasi kalsium dan vitamin D.55

108
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

Selanjutnya, dibandingkan dengan studi pada anak, data mengenai


efek samping penurunan berat badan secara drastis lebih banyak
didapatkan pada obesitas dewasa. Berikut beberapa dampak yang
ditimbulkan oleh penurunan berat badan terlalu cepat pada dewasa obes.

3. Gangguan hemodinamik
Penurunan berat badan yang terlalu cepat dapat menyebabkan dampak
terhadap hemodinamik. Sebuah studi menunjukkan penurunan berat
badan terlalu cepat menyebabkan hipovolemia pada pasien obesitas dewasa
yang akan menjalani operasi. Penilaian pada venuos return dan tekanan
pengisian ventrikel kiri diperiksa sebelum operasi. Hasil menunjukkan
71,4% pasien obesitas yang menjalani penurunan berat badan terlalu
cepat mengalami hipovolemia.56 Selain itu, juga didapatkan berat badan
yang terlalu cepat dapat menurunkan tekanan darah. Penurunan awal
tekanan darah pada minggu pertama kemungkinan disebabkan oleh
keseimbangan negatif garam dan cairan, selanjutnya penurunan tekanan
darah disebabkan oleh mekanisme anti-hipertensif akibat penurunan berat
badan.57

4. Penyakit batu empedu


Penurunan berat badan yang telalu cepat dapat mengubah saturasi
kolesterol dan lithogenitas dari empedu sehingga dapat memicu
pembentukan batu empedu.58 Lebih kurang 10% hingga 25%
individu mengalami penurunan berat badan terlalu cepat melalui
diet kalori sangat rendah mengalami batu empedu.59,60 Beberapa
penelitian melaporkan pada pasien obes yang dilakukan operasi
bypass lambung terjadi peningkatan insiden batu empedu sebanyak
38-52% dalam 1 tahun setelah operasi akibat penurunan berat
badan secara drastis.60,61

5. Penurunan kadar besi


Penelitian di AS melaporkan terjadi perubahan signifikan status
besi pada pasien yang menjalani diet sangat rendah kalori. Terjadi
penurunan kosentrasi besi di plasma, peningkatan kadar feritin,
dan penurnan saturasi transferin pada pasien yang menjalani diet
sangat rendah kalori walaupun kadar hemoglobin dan hematrokrit
tidak mengalami penurunan signifikan.62

109
Risiko Penurunan Berat Badan Terlalu Cepat pada Anak Obesitas

6. Pankreatitis akut
Penelitian di AS melaporkan dalam sebuah studi kohort bahwa pasien
yang mengalami penurunan berat badan terlalu cepat pada pasien obes
yang mendapatkan terapi operasi bariatrik memiliki risiko yang lebih besar
mendapatkan pankreatitis akut. Insiden pankreatitis akut terjadi pada
1.04% pada pasien yang mengalami penurunan berat badan drastis. Angka
ini lebih tinggi dibandingkan insiden pankreatitis akut pada populasi
normal yaitu 0.017%. 63

Ringkasan
Obesitas pada anak merupakan masalah kesehatan yang terjadi diberbagai
negara di belahan dunia, termasuk di Indonesia. Berbagai dampak kesehatan
jangka panjang dan jangka pendek dapat ditimbulkan oleh obesitas pada
anak dan remaja. Oleh karena itu, penangaan yang tepat harus dilakukan.
Strategi penurunan berat badan pada anak meliputi terapi nutrisi, perubahan
kebiasaan, olahraga, obat-obatan, dan bedah. Tata laksana obesitas pada
anak harus disesuaikan dengan usia dan faktor komorbid. Penurunan berat
badan harus dilakukan secara bertahap sesuai target. Penurunan berat badan
berlebihan harus dihindari karena berpotensi menganggu proses tumbuh
kembang, peningkatan kadar asam urat, penurunan kadar protein total darah,
penurunan kepadatan massa tulang, gangguan hemodinamik, penyakit batu
empedu, penurunan kadar besi dalam darah, dan pankreatitis akut. Oleh
karena itu, anak dengan obesitas berat harus dirujuk ke pusat penanganan
obesitas anak yang memiliki akses tim multidisiplin yang ahli dalam menangani
obesitas pada anak.

Daftar pustaka
1. 1. Skelton JA, Rudolph CD. Gizi lebih and obesity. Dalam: Kliegman RM,
Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics.
Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders; 2007. h.232-241
2. 2. Styne DM, Warden NS. Obesity. Dalam: Rudolph CD, Rudolph AM,
penyunting. Rudolph’s pediatrics. Edisi ke-21. McGraw-Hill; 2003. h.2137-42.
3. 3. Livingstone MBE. Childhood obesity in Europe: a growing concern. Public
Health Nutr. 2001;4:109-16.
4. 4. Bresson JL. Obesity and energy balance. Dalam: Duggan C, Watkins JB,
Walker WA, penyunting. Nutrition in pediatric. Edisi ke-4. Ontario: BC Decker
Inc; 2008. h.418-69.
5. 5. Whitea RO, Thompsonc JR, Rothmand RL, McDougald AM, William SJ.
Evan HC, dkk. A health literate approach to the prevention of childhood gizi
lebih and obesity. Patient Educ Couns. 2013;93:612–8.

110
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

6. 6. Dietz WH. Prevention of childhood obesity. Pediatr Clin North Am.


1986;33:823-33.
7. 7. Serdula MK, Ivery D, Coates RJ. Do obese children become obese adult? a
review of the literature. Prev Med. 1993;22:167-77.
8. 8. Whitaker RC, Wright JA, Pepe MS. Predicting obesity in young adulthood
from childhood and parental obesity. N Eng J Med. 1997;337:869-73.
9. 9. Williams AJ, Henley WE, Williams CA, Hurst AJ, Logan S, Wyatt KM.
Systematic review and meta-analysis of the association between childhood
gizi lebih and obesity and primary school diet and physical activity policies.
International Journal of Behavioral Nutrition and Physical Activity. 2013;10:1-
22.
10. 10. Hillier-Brown FC, Bambra CL, Cairns J-M, Kasim A, Moore HJ, Summerbell
CD. A systematic review of the effectiveness of individual, community and
societal level interventions at reducing socioeconomic inequalities in obesity
among children. BMC Public Health. 2014;14:1-18.
11. 11. Association AD. Evidence-based nutrition practice guideline on pediatric
weight management. diunduh dari www.adaveidencelibrary.com. Tanggal 25
Maret 2015.
12. 12. Ebbelinng CB, Leidig MM, Sinclair KB. Effect of ad libitum low-glisemic load
diet on cardiovascular disease risk factor in obese young adults. Am J Clin Nutr.
2005;81:976-82.
13. 13. Klirk S, Scott B, Daneiels S. Pediatric obesity epidemic: treatment option. J
Am Diet Assoc. 2005;105:44-51.
14. 14. Heck AM, Yanovski JA, Calis KA. Orlistat, a new lipase inhibitor for the
management of obesity. Pharmacotherapy. 2000;20:270-9.
15. 15. Freemark M, Bursey D. The effect of metformin on body mass index and
glucose tolerance in obese adolescent with fasting hiperinsulinemia and family
history of type 2 diabetes. Pediatrics. 2001;107:E55.
16. 16. Kellum JM, Demaria EJ, Sugerman HJ. The surgical treatment of morbid
obesity. Curr Probl Surg. 1998;35:791-858.
17. 17. Kurchmazki RJ, Ogden CL, Guo SS. 2000 CDC growth chart for the united
states: Methods and development. Vital Health Stat. 2002;11:1-190.
18. 18. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
Riset Kesehatan Dasar 2013: Kementrian Kesehatan RI; 2013. h.212-23
19. 19. Liao Y, Liao J, Durand CP, F G, Dunton. Which type of sedentary behavior
intervention is more effective at reducing body mass index in children? a meta-
analytic review. Obes Rev. 2014;15:159–68.
20. 20. Verbeeten KC, Elks CE, Daneman D, Ong KK. Association between
childhood obesity and subsequent type 1 diabetes: a systematic review and meta-
analysis. Diabet Med. 2011;28:10-8.
21. 21. Deniet JE, Naiman DI. Psychosocial aspects of childhood obesity. Minerva
Pediatr. 2011;63:491-505.

111
Risiko Penurunan Berat Badan Terlalu Cepat pada Anak Obesitas

22. 22. Smith SM, Sumar B, Dixon KA. Musculoskeletal pain in gizi lebih and obese
children. Int J Obes (Lond). 2014;38:11-5.
23. 23. Lavine JE, Schwimmer JB. Nonalcoholic fatty liver disease in the pediatric
population. Clin Liver Dis. 2004;8:549-58.
24. 24. Halvon N, Verhoef PA, Kuo AA. Childhood antecedents to adult
cardiovascular disease. Pediatr Rev. 2012;33:51-60.
25. 25. Oude LH, Baur L, Jansen H. Interventions for treating obesity in children.
Cochrane Database sistematic review. 2009;21.
26. 26. Whitlock EP, O’Conner EA, Williams SB, Beil TL, Lutz KW. Effectiveness of
primary care interventions for weight management in children and adolescents.
Rockville: Agency for Healthcare Research and Quality. 2010. h.1-24.
27. 27. Gibson LJ, Peto J, Warren JM, Silva IdS. Lack of evidence on diets for
obesity for children: a systematic review. International Journal of Epidemiology.
2006;35:1544–52.
28. 28. Eipsten LH, Suquires S. The stoplight diet for children. Toronto: Little, Brown
and Company. 1988; h.4-16.
29. 29. Chen W, Chen SC, Hsu HS. Counseling clinic for pediatric weight reduction:
Program formulation and follow up. J Formos Med Assoc. 1997;96:59-62.
30. 30. Eliakim A, Kaven G, Berger I. The effect of a combined intervension on body
mass index and fitness in obese children and adolescents- a clinical experience.
Eur J Pediatr. 2002;161:449-54.
31. 31. Ebbeling CB, Leidig MM, Sincalir KB. A reduce glisemic load diet in the
treatment of adolescent obesity. Arch Pediatr Adolesc Med. 2003;157:773-9.
32. 32. Sondike SB, Copperman N, Jacobson MS. Effect of a low-carbohydrate diet
on weight loss and cardiovascular risk factor in gizi lebih adolescents. J pediatr.
2003;142:253-8.
33. 33. Sothern M, Lotfin M, Udall J. Safety, feasibility and efficacy of a resistance
training program in preadolescent obese children Am J Med Sci. 2002;319:370-5.
34. 34. Southern M, Schumacher H, Von AT. Committed to kids: an integrated, four
level team approach to weight management in adolescents. J Am Diet Assoc.
2002;102:S81-5.
35. 35. Yanovski SZ, Yanovski JA. Obesity. N Eng J Med. 2002;346:591-602.
36. 36. Berkowitz RI, Fujioka K, Daniel SR. Effect of sibutramine treatment in obese
adolescents: A randomized trial Ann Intern Med. 2006;145:81-90.
37. 37. Ryan DH. Use of sibutramine and other noradrenergic and serotonergic drugs
in the management of obesity. Endocrine. 2000;13:193-9.
38. 38. Fanghanel G, Cortinas L, Sanchez-Reyes L, Berber A. A clinical trial of the
use of sibutramin for the treatment of patients suffering essential obesity. int J
obes Relat Metab Disord. 2000;24:144-50.
39. 39. Davidson MH, Hauptman J, DiGirolamo M. Weight control and risk factor
reduction in obese subjects treated for 2 years with orlistat: a randomized control
trial. JAMA. 1999;281:25-42.
40. 40. Ho M, Garnett SP, Baur LA. Impact of dietary and exercise interventions
on weight change and metabolic outcomes in obese children and adolescents:
a systematic review and meta-analysis of randomized trials. JAMA Pediatr.
2013;167:759-68.

112
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

41. 41. McDonagh MS, Ozpinar A, Foley C. Systematic review of the benefits and
risks of metformin in treating obesity in children aged 18 years and younger.
JAMA Pediatr. 2014;168:178-84.
42. 42. Srinivasan S, Ambler GR, Baul LA. Randomized, control trial of metformin
for obesity and insulin resistence in children and adolescent: Improvement in
body composition and fasting insulin. . J Clin Endocrinol Metab. 2006;91:2074-
80.
43. 43. Lee A, Morley JE. Metformin decreases food consumption non-insulin-
dependent diabetes. Obes Res. 1998;6:47-53.
44. 44. Cummings DE, Weigle DS, Frayo RS. Plasma ghrelin levels after diet-induce
weight loss gastric bypass surgery. N Eng J Med. 2002;346:1623-30.
45. 45. Strauss RS, Bradley LJ, Brolin RE. Gastric bypass surgery in adolescents with
morbid obesity. J Pediatr. 2001;138:499-504.
46. 46. Keidar A, Hecht L, Weiss R. Bariatric surgery in obese adolescents. Curr
Opin Clin Nutr Metab Care. 2011;14:286-90.
47. 47. Walker SE, Smolkin ME, O’Leary MLL. Predictors of retention and BMI loss
or stabilization in obese youth enrolled in a weight loss intervention. Obes Res
Clin Pract. 2012;6:330–9.
48. 48. Cai L, Wu Y, Wilson RF, Segal JB, Kim MT, Wang Y. Effect of childhood obesity
prevention programs on blood pressure: a systematic review and meta-analysis.
Circulation. 2014;129:1832-9.
49. 49. Nackers LM, Ross KM, Perri MG. The Association between rate of initial
weight loss and long-term success in obesity treatment: does slow and steady win
the race? Int J Behav Med. 2010;17:161–7.
50. 50. Fitch A, Fox C, Bauerly K. Prevention and management of obesity for children
and adolescents: institute for clinical systems improvement; 2013. h. 1-18.
51. 51. Fennoy I. Effect of obesity on linear growth. Curr Opin Endocrinol Diabetes
Obes. 2013;20:44–9.
52. 52. Wollf OH. Obesity in childhood and its effect. Postgrand Med J. 1962;38:629-
32.
53. 53. Valerio G, Licenziati, Tanas R. Management of children and adolescents with
severe obesity. Minerva Pediatr. 2012;64:413-31.
54. 54.Widhalm KM, Zwiauer KF. Metabolic effects of a very low calorie diet in obese
children and adolescents with special reference to nitrogen balance. J Am Coll
Nutr. 1987;6:467-74.
55. 55. Willi SM, Oexmann MJ, Wright NM, Collop NA, Key LL. The effects of a
high-protein, low-fat, ketogenic diet on adolescents with morbid obesity: body
composition, blood chemistries, and sleep abnormalities. Pediatics. 1998;101:61-7.
56. 56. Poso T, Kesek D, Arich R, Wonso O. Rapid weight loss is associated with
preoperative hypovolemia in morbidly obese patients. Obes Surg. 2013;23:306-
13.
57. 57. Maxwell MH, Kushiro T, Dornfeld LP, Tuck ML, Waks AU. BP changes in
obese hypertensive subjects during rapid weight loss. Comparison of restricted v
unchanged salt intake. Arch Intern Med. 1984;144:1581-4.

113
Risiko Penurunan Berat Badan Terlalu Cepat pada Anak Obesitas

58. 58. Hellerstein MK. Obesity and gizi lebih. Dalam: Gardner DG, Shoback D,
penyunting. Greenspan’s basic and clinical endocrinology. Edisi ke-8. Mc Graw
Hill; 2007. h. 1023-65.
59. 59. Vezina WC, Grace DM, Hutton LC. Similarity in gallstone formation from
900 kcal/day diets containing 16 g vs 30 g of daily fat: evidence that fat restriction
is not the main culprit of cholelithiasis during rapid weight reduction. Dig Dis
Sci. 1998;43:554-61.
60. 60. Miller K, Hell E, Lang B, Lengauer E. Gallstone formation prophylaxis after
gastric restrictive procedures for weight loss. Annals of Surgery. 2003;238:697-
702.
61. 61. Brethaurer SA, Chand B, Schauer PR. Risks and benefits of bariatric surgery:
Current evidence. Cleveland Clinic Journal of Medicine. 2006;73:1-13.
62. 62. Berard J, Borel M, Peterson FJ. Changes in iron status during weight loss with
very-low-energy diets. Am J Clin Nutr. 1997;66:104-10.
63. 63. Kumarevel A, Zelisko A, Schauer P, Lopez R, Kroh M, Stevens T. Acute
pancreatitis in patients after bariatric surgery: incidence, outcomes, and risk
factors. Obes Surg. 2014;24:2023-30.

114
Kedaruratan pada Tindakan Imunisasi
Soedjatmiko

Tujuan
1. Mengetahui gejala klinis awal yang berpotensi menjadi kedaruratan
2. Mengetahui kedaruratan yang dapat terjadi pada tindakan imunisasi
3. Mengetahui tata laksana kedaruratan pada tindakan imunisasi
4. Mengetahui upaya pencegahan kejadian darurat pada tindakan
imunisasi

Kejadian ikutan pasca imunisasi dan kedaruratan


Kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) dapat terjadi segera setelah imunisasi
sampai beberapa hari, minggu bahkan beberapa bulan kemudian, dengan gejala
klinis ringan sampai berat, dengan angka kejadian sangat jarang sampai sering,
dan bervariasi antara berbagai jenis vaksin1. Kedaruratan dalam makalah ini
dimaksudkan sebagai KIPI yang terjadi segera, mendadak dan memerlukan
penanggulangan segera.
Kedaruratan pada tindakan vaksinasi sangat jarang terjadi dan belum
tentu akibat vaksin. Menurut WHO 2013 klasifikasi kausalitas KIPI terjadi
1. Berhubugan dengan produk vaksin, 2. Dipicu karena defek kualitas vaksin,
3. Dipicu pemberian vaksin tidak sesuai prosedur. 4. Berhubungan dengan
kecemasan. 5. Diluar sebab kesalahan program atau kecemasan1.
Untuk menyimpulkan klasifikasi KIPI suatu kasus tidaklah mudah karena
dibutuhkan informasi lengkap tentang kasus, pengetahuan tentang angka
kejadian dan gejala KIPI suatu vaksin dan kajian mendalam oleh tim ahli
dalam Komite Nasional (Komnas) atau Komite Daerah (Komda) Pengkajian
dan Penanggulangan KIPI1.

Gejala klinis
Kedaruratan pada KIPI mulai terjadi dalam beberapa menit setelah
penyuntikan. sebanyak 98% terjadi dalam 30 menit setelah penyuntikan vaksin,
dengan gejala ringan sampai berat2. Oleh karena itu dokter, perawat atau bidan
yang melakukan imunisasi harus mampu mengenali tanda kedaruratan, selalu

115
Kedaruratan pada Tindakan Imunisasi

siap dengan alat dan obat pertolongan kedaruratan, dan mampu menangani
kedaruratan pada layanan imunisasi. Orangtua, pengantar pasien, guru dan
anak besar harus diberitahu kemungkinan terjadi hal tersebut, dan sebaiknya
dianjurkan tetap berada di sekitar tempat imunisasi selama 15 – 30 menit2, 3.
Kedaruratan yang dapat terjadi pada layanan imunisasi adalah reaksi
anafilaksis (dengan atau tanpa didahului gejala ringan gatal, urtikatia,
atau mual muntah), reaksi vasovagal (pingsan, sinkop), reaksi hipotonik
hiporesponsife, reaksi panik dan serangan menahan nafas (breath holding spell)2-7

Reaksi anafilaksis
Reaksi anafilaksis dapat terjadi dalam 5 menit pertama pasca imunisasi,
dengan gejala 3:
yy kulit dan mukosa (kemerahan, gatal, urtikaria, bengkak) pada 80% sampai
90% kasus,
yy pernapasan (batuk, sesak, edema jalan nafas, bronkospasme) pada 70%
kasus,
yy gastrointestinal (mual, muntah, sakit perut, diare) pada 45% kasus,
yy sistem kardiovaskular (nyeri dada, palpitasi, hipotensi, denyut nadi karotis
lemah) pada 45% kasus
yy sistem saraf pusat (gelisah, bingung, pusing, penurunan kesadaran) pada
15% kasus
Pasca imunisasi bila dijumpai reaksi gatal, kulit kemerahan, urtikaria
harus diamati selama minimal 30 menit. Jika ada gejala lain muncul, walau
ringan (misalnya, bersin, hidung tersumbat, batuk, kemerahan pada wajah),
atau keluhan meluas ke bagian lain dari tubuh, adrenalin harus segera
diberikan, karena bisa merupakan gejala awal reaksi anafilaksis. Jika keluhan
tersebut kemudian menghilang dalam waktu 30 menit, pengamatan lebih
lanjut tidak diperlukan. 8,9

Tata laksana reaksi anafilaksis 9-14


Pada prinsipnya sama dengan penanganan anafilaksis secara umum.
yy Bila pasien muntah atau tidak sadar, baringkan pada sisi kiri dan posisikan
agar jalan napas tetap bebas. Bila pasien sadar, baringkan pasien dalam
posisi terlentang, kaki ditinggikan.
yy Periksa apakah ada pembengkakan bibir, lidah dan tenggorokan yang
dapat menghalangi jalan nafas.
yy Bila terdapat gejala saluran napas atau kardiovaskular, suntikkan
adrenalin dengan konsentrasi 1:1000 dosis 0,01 mL/kg berat badan sampai

116
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

dosis maksimal 0,5 mL, intramuskular (IM) pada paha anterolateral. Otot
deltoid lengan tidak seefektif paha dalam menyerap adrenalin. Celana
panjang harus dilepas, digunting atau dirobek untuk memudahkan
penyuntikan di paha. Jika tidak bisa, maka boleh diberikan suntikan
menembus celana dengan risiko infeksi yang dapat diatasi setelah stabil 8,9
yy Adrenalin mencapai kadar puncak plasma dan konsentrasi jaringan
dengan cepat, sehingga cepat mengurangi pembengkakan saluran napas
bagian atas, hipotensi, syok, meningkatkan denyut jantung, kekuatan
kontraksi jantung, bronkodilatasi, penurunan pelepasan histamin dan
mediator peradangan lainnya 8,9
yy Reaksi lokal seperti urtikaria, angioedema yang tidak menyebabkan
obstruksi jalan napas tidak diperlu diberikankan adrenalin. Bila ragu
apakah KIPI ini adalah reaksi anafilaksis atau bukan adrenalin dapat
diberikan.8,9
yy Antihistamin dan kortikosteroid tidak disarankan pada tata laksana
kegawatdaruratan anafilaksis, walaupun beberapa penulis menggunakan
antihistamin untuk mengurangi rasa gatal.
yy Berikan oksigen dengan masker
yy Pastikan anak tetap berbaring, jangan duduk atau berdiri mendadak
setelah penyuntikan adrenalin.
yy Dapat terjadi efek sementara yaitu pucat, tremor, kecemasan, palpitasi,
sakit kepala dan pusing yang terjadi dalam beberapa menit setelah suntikan
adrenalin.
yy Siapkan rujukan segera ke rumah sakit, jangan tinggalkan pasien sendirian
yy Bila kondisi belum membaik setelah 5 menit, suntikan adrenalin dapat
diulang tiap 5 menit sampai perbaikan
yy Reaksi anafilaksis dapat terulang kembali setelah reaksi awal (anafilaksis
bifasik) pada 23% kasus dewasa dan pada 11% kasus anak.3,14 Oleh
karena itu semua kasus anafilaksis, harus segera dirujuk ke rumah sakit
yang dapat menangani lebih lanjut karena dan dianjurkan rawat inap
dianjurkan untuk pemantauan.
yy Catat dengan lengkap kejadian anafilaksis termasuk waktu dan dosis
adrenalin yang diberikan

Vaksin campak dilaporkan dapat menimbulkan anafilaksis 1–50 kasus per


1 juta dosis, DPT 20 kasus per 1 juta dosis, MMR 10 per 1 juta dosis, Tetanus
dan TD 1-6 per 1 juta dosis, HPV di Australia per Juni 2010 terjdi 2,6 episode
anafilaksis per juta dosis vaksin, hepatitis B terjadi 1 dari 1,1 juta dosis. Polio
dan BCG tidak ada laporan reaksi anafilaksis. 1

117
Kedaruratan pada Tindakan Imunisasi

Tabel 1. Dosis adrenalin untuk tata laksana anafilaksis berdasarkan usia 2,6
Perkiraan usia dan berat badan Dosis adrenalin
<1 tahun (±5-10 kg) 0,05-0,1 mL
1-2 tahun (±10 kg) 0,1 mL
2-3 tahun (±15 kg) 0,15 mL
4-6 tahun (±20 kg) 0,2 mL
7-10 tahun (±30 kg) 0,3 mL
10-12 tahun (±40 kg) 0,4 mL
>12 tahun dan dewasa (> 50 kg) 0,5 mL

Pencegahan
Sebelum melakukan imunisasi harus ditanyakan riwayat adanya KIPI imunisasi
sebelumnya. Bila ada riwayat reaksi anafilaksis sebaiknya tidak diberikan vaksin
tersebut, atau bila vaksin tersebut dianggap penting, maka diberikan di rumah
sakit yang dilengkapi sistem dan alat penanganan kedaruratan yang lengkap.
Reaksi anafilaksis dapat terjadi pada anak tanpa riwayat KIPI sebelumnya

Pingsan, sinkop (reaksi vasovagal)


Gejala ini dapat terjadi sebelum, selama dan sesudah imunisasi, umumnya
terjadi dalam 5 menit sekitar imunisasi, dengan gejala pucat tiba-tiba, mengeluh
pusing, kepala terasa melayang, berkurangnya respon terhadap rangsang, dapat
disertai bradikardia, atau tiba-tiba terjatuh, kadang-kadang disertai gerakan
menyerupai kejang, tetapi denyut nadi karotis teraba kuat 2-4

Tabel 2. Gejala klinis untuk membedakan reaksi vasovagal dan anafilaksis2


Episode vasovagal Reaksi anafilaksis
Awitan Segera, dalam beberapa menit, Dalam 15 menit, tetapi dapat muncul
atau saat pemberian vaksin hingga beberapa jam setelah pembe-
rian vaksin
Gejala/tanda Respirasi Respirasi normal, bisa dangkal, Batuk, mengi, serak, stridor, atau
tetapi tidak ada peningkatan usaha sesak napas (takipnea, sianosis)
napas Edema saluran napas atas (lidah,
tenggorokan, uvula, laring)
Kardiovaskular Bradikardia, denyut nadi perifer Takikardia, nadi perifer dan karotis
lemah, nadi karotis kuat lemah
Hipotensi transien, dan menghilang Penurunan kesadaran, tidak perbaikan
dengan posisi supine dengan perubahan posisi supine
Kesadaran, membaik dengan posisi
supine atau kepala di bawah
Kulit Pucat, dingin, lembab Gatal, eritema luas, urtikaria, atau
angioedema
Gastrointestinal Mual, muntah Nyeri perut, diarea, mual, muntah
Neurologis Melayang Cemas

118
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

Anak yang tiba-tiba kehilangan kesadaran setelah imunisasi dan


denyut karotis tak teraba sebaiknya dianggap sebagai reaksi anafilaksis. Jika
denyut nadi karotis teraba kuat umumnya karena pingsan. Jika dicurigai
reaksi anafilaksis maka penatalaksanaan anafilaksis harus segera dilakukan.
Penatalaksaan anafilaksis yang tidak memadai lebih berbahaya, dan berpotensi
mengancam nyawa, daripada penanganan berlebihan pada reaksi alergi atau
sinkop 2,8,9
Untuk membedakan antara reaksi anafilaksis dan reaksi vasovagal dapat
dilihat pada tabel 2.

Tatalaksana reaksi vaso-vagal


Reaksi vasovagal disebabkan oleh berkurangnya aliran darah ke otak secara
mendadak umumnya terjadi pada anak usia sekolah dan remaja. Hal ini dapat
disebabkan oleh ketakutan, ketegangan, kecemasan sebelum-imunisasi atau
dicetuskan oleh rasa nyeri akibat suntikan. Oleh karena itu bila anak mengeluh
pusing sebelum atau sesudah imunisasi segera dianjurkan berbaring. Gejala
tersebut mengalami perbaikan bila pada posisi terlentang tungkai diangkat
lebih tinggi dari kepala. Perbaikan klinis terjadi dalam 1-5 menit, mungkin
masih agak pucat, berkeringnat dan agak hipotensi selama beberapa menit
maka perlu dipantau selama 15 – 30 menit.
Pingsan dilaporkan setelah vaksin HPV dan H1N1, dan bukan merupakan
kontraindikasi untuk imunisasi berikutnya.15,16

Pencegahan
Kejadian pingsan dapat dicegah dengan mengurangi waktu tunggu, suhu
ruangan yang nyaman, anak tidak melihat proses penyiapan vaksin dan tidak
melihat proses penyuntikan anak lain. Untuk mengurangi cedera akibat
terjatuh karena pingsan, sebaiknya imunisasi dilakukan dengan posisi anak
duduk. Bagi mereka yang ada riwayat pingsan, sebaiknya imunisaai dalam
posisi berbaring telentang. Selesai imunisasi sebaiknya anak tetap berada
disekitar layanan imunisasi selama 15–30 menit, tidak boleh memanjat tangga,
mengendarai kendaraan bermotor dan aktifitas fisik lain.

Reaksi hipotonik hiporesponsif


Reaksi hipotonik-hiporesponsif (RHH) dapat terjadi dalam 1–48 jam (median
3-4 jam) sesudah imunisasi berupa pucat tiba-tiba atau sianosis, hipotonia
otot, berkurangnya respon terhadap rangsang yang berlangsung selama 6 -30
menit dengan tekanan darah tetap normal. Tidak ada terapi khusus, cukup
anak dibaringkan, dengan sirkulasi udara yang cukup, suhu udara nyaman,

119
Kedaruratan pada Tindakan Imunisasi

longgarkan pakaian atau aksesoris yang dapat mengganggu pernafasan dan


aliran darah, tanyakan apa yang dirasakan, serta diajak berbicara yang
menenangkan 19-21
Vaccine Adverse Event Reporting System (VAERS) Amerika Serikat
melaporkan reaksi ini lebih sering terjadi pasca-vaksinasi pertama dan pada
anak perempuan.21 Patogenesis RHH masih belum diketahui, beberapa peneliti
melaporkan menyerupai reaksi vasovagal yang muncul terlambat. Tidak ada
pemeriksaan penunjang tambahan yang dapat dilakukan untuk menegakkan
diagnosis.. Tidak ada perubahan signifikan pada kadar insulin atau gula darah.14
Penelitian yang memantau lebih lanjut pasien EHH tidak melaporkan adanya
sekuele jangka panjang..19-21
Kejadian EHH dilaporkan pasca-imunisasi DTPa, HiB, dan hepatitis B,
tetapi sebagian besar terjadi pasca vaksin yang mengandung pertusis. Angka
kejadian bervariasi antara 36-250 episode per 100.000 dosis DTPw dan 4-140
episode per 100.000 dosis DTPa21. Di Australia selama tahun 2009, 3,2 kasus
dilaporkan per 100.000 dosis vaksin DTPa pada anak umur <1 tahun.4
.
Serangan panik
Biasanya terjadi pada anak besar dan remaja yang ketakutan dengan gejala
seperti pucat, berkeringat, mengeluh pusing, melayang, kesemutan pada wajah
dan ekstremitas, bernafas cepat, tetap sadar, tekanan darah normal, tidak ada
gejala sumbatan jalan nafas. Baringkan anak dengan posisi telentang, suhu
dan aliran udara lingkungan nyaman, tenangkan dan di hibur 2-4

Serangan menahan nafas (breath holding spell)


Biasanya terjadi pada bayi dan anak kecil ketika menangis keras karena
ketakutan, kesakitan atau marah. Bayi atau anak menangis keras kemudian
tidak bersuara dan tidak bernafas tetapi masih dengan ekspresi menangis, dapat
disertai kemerahan wajah atau sianosis perioral. Tenangkan orangtua, gendong
bayi atau anak dalam posisi mendatar, atau baringkan bayi dan anak dalam
posisi telentang tanpa bantal Beberapa detik kemudian akan kembali menangis
dan bernapas seperti biasa. Tidak ada pengobatan khusus yang diperlukan.2-4

Obat dan alat kedaruratan yang harus disediakan pada


layanan imunisasi
Selain rutin menyediakan stetoskop, pengukur tekanan darah dan senter,
sediakan juga 2 ampul adrenalin 1: 1000, minimal 4 spuit sekali pakai 1 ml
dengan panjang jarum berbeda (untuk bayi, balita, anak usia sekolah dan

120
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

remaja) dan alkohol swab. Periksa tanggal kadaluarsa secara periodik. Lebih
baik dilengkapi penahan lidah, pipa oro-faring, oksigen dalam tabung, selang
dan masker ukuran bayi, anak dan remaja untuk pemberian oksigen, disertai
set infus dan cairan infus 10-14

Simpulan
yy Semua vaksin kecuali BCG dan OPV dilaporkan dapat menyebabkan
terjadinya kedaruratan, berupa reaksi anafilaksis yang berbahaya tetapi
sangat jarang terjadi. Kedarutan lain berupa reaksi vasovagal (pingsan,
sinkop), hipotonus –hiporesponsif, reaksi panik dan serangan menahan
nafas (breath holding spell)
yy Sebelum melakukan imunisasi perlu anamnesis riwayat KIPI sebelumnya.
Keluarga pasien harus diberitahu pentingnya dan manfaat imunisasi serta
kemungkinan terjadinya KIPI walaupun sangat jarang terjadi.
yy Vaksin yang pernah menimbulkan reaksi anafilaksis sebaiknya tidak
diberikan lagi pada pasien tersebut. Bila harus diberikan, imunisasi
dilakukan di rumah sakit dengan sarana penanggulangan gawat darurat
yang memadai.
yy Di tempat layanan imunisasi harus ada obat dan alat untuk menangani
kedaruratan. Dokter, perawat atau bidan yang melakukan imunisasi harus
mengenali tanda awal kedaruratan dan mampu memberikan pertolongan
segera mengatasi kedaruratan tersebut.
yy Penanganan kedaruratan anafilaksis pada imunisasi sama dengan
anafilaksis pada umumnya yaitu baringkan dengan posisi miring ke kiri
bila tidak sadar atau terdapat muntah, perhatikan jalan napas kemudian
suntikan adrenalin 1 : 1000 dosis 0,01 mL/kg berat badan i.m. di paha
anterolateral, pemberian oksigen, evaluasi, berikan suntikan adrenalin
ulang bila diperlukan, rujuk dan rawat ke rumah sakit.
yy Penanganan reaksi vasovagal (pingsan, sinkop), hipotonik-hiporesponsif,
serangan panik atau menahan nafas (breath holding spell) umumnya
dengan suportif yaitu tenangkan keluarga, baringkan bayi atau anak
posisi telentang, longgarkan pakaian dan asesoris yang dapat mengganggu
pernafasan, aliran darah atau kenyamanan, suasana lingkungan yang
nyaman. Pada reaksi vasovagal mengangkat kaki lebih tinggi akan
mempercepat pemulihan.
yy Catat dan laporkan kejadian kedaruratan ke Komda atau Komnas
Pengkajian dan Penanggulangan KIPI.

121
Kedaruratan pada Tindakan Imunisasi

Daftar pustaka
1. Akib AP, Purwanti A. Kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI). Dalam : Ranuh
IGN dkk, editor. Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi 5. Satgas Imunisasi IDAI
: Badan Penerbit IDAI ; 2014. hal. 211-38.
2. National Health and Medical Research Council. Australian immunisation
handbook. Edisi 9. Canberra: NHMRC. 2008. Diunduh dari http://www.health.
gov.au/internet/immunise/ publishing.nsf/Content/Handbook-home. Diunduh
pada 10 Maret 2015.
3. Office of the Chief Medical Officer of Health Communicable Disease Control Unit
New Brunswick Canada. Adverse events following immunization: interpretation
and clinical definitions guide. 2011. Diunduh dari http://www2.gnb.ca/content/
dam/gnb/Departments/h-s/pdf/en/CDC/HealthProfessionals/AEFIs interpretation
and clinical definitions guide.pdf. Diunduh pada tanggal 18 Maret 2015.
4. Mahajan D, Cook J, McIntyre PB, Macartney K, Menzies RI. Annual report:
surveillance of adverse events following immunisation in Australia, 2010.
Communicable Diseases Intelligence. 2011;35:263-80.
5. Erlewyn-Lajeunesse M, Hunt L, Heath PT, Finn A. Anaphylaxis as an adverse
event following immunisation in the UK and Ireland. Arch Dis Child.
2012;97:487-90.
6. Campbell RL, Hagan JB, Manivannan V et al. Evaluation of the National Institute
of Allergy and Infectious Diseases/Food Allergy and Anaphylaxis Network criteria
for the diagnosis of anaphylaxis in emergency department patients. J Allergy Clin
Immunol. 2012;129:748-52.
7. National Health Service (NHS). Symptoms of anaphylaxis. 2011. Diunduh dari:
www.nhs.uk/Conditions/Anaphylaxis/Pages/Symptoms. aspx . Diunduh tanggal
15 Maret 2015.
8. Simons KJ, Simons FE. Epinephrine and its use in anaphylaxis: current issues.
Curr Opin Allergy Clin Immunol. 2010;10:354-361.
9. Sheikh A, Shehata YA, Brown SG, Simons FE. Adrenaline (epinephrine) for the
treatment of anaphylaxis with and without shock. Cochrane Database Systematic
Rev. 2008;4:CD006312.
10. Simons FE, Arudusso LR, Bilo MB et al. World Allergy Organization Guidelines
for the assessment and management of anaphylaxis. Curr Opin Allergy Clin
Immunol. 2012;12:389-99.
11. Kim H, Fischer D. Anaphylaxis. Allergy Asthma Clin Immunol 2011;7:S6.
12. Simons FE. Anaphylaxis pathogenesis and treatment. Allergy. 2011;66:31-34.
13. Simons FE, Arudusso LR, Bilo MB et al. World Allergy Organization guidelines
for the assessment and management of anaphylaxis. J Allergy Clin Immunol.
2011;127:593e1-22.
14. Waserman S, Chad Z, Francoeur, MJ et al. Management of anaphylaxis in primary
care: Canadian expert consensus recommendations. Allergy 2010;65:1082-92.
15. Crawford NW, Clothier HJ, Elia S, Lazzaro T, Royle J, Buttery JP. Syncope and
seixures following human papillomavirus vaccination: a retrospective case series.
Med J Aust. 2011: 194:16-8.

122
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

16. Nakada H, Narimatsu H, Tsubokura M, Murashige N, Matsumura T, Kodama Y,


dkk. Risk of fatal adverse events after H1N1 influenza vaccination. Clin Infect
Dis. 2010;50:1548-9.
17. Pharmaceutical and Food Safety Bureau, Ministry of Health, Labour and Welfare
Japan. Safety review results of pneumococcal conjugate vaccine and haemophilus
influenzae type b (Hib) vaccine for paediatrics. 2011. Diunduh dari www.pmda.
go.jp/english/service/pdf/mhlw/ 20110615-2_reference.pdf. Diunduh pada tanggal
18 Maret 2015.
18. Bonhoeffer J, Gold MS, Heijbel H, Vermeer P, Blumberg D, Braun M, dkk.
Hypotonic-hyporesponsive Episode (HHE) as an adverse event following
immunization: case definition and guidelines for data collection, analysis, and
presentation. Vaccine. 2004;22: 563–8.
19. Gold R, Scheiffele D, Halperin S, Dery P, Law B, Lebel M. Hypotonic-
Hyporesponsive eoisodes in children hospitalized at 10 Canadian pediatric
tertiary-care centers, 1991–1994. Can Commun Dis Rep. 1997;23:73–6.
20. Goodwin H, Nash M, Gold M, Heath TC, Burgess MA. Vaccination of children
following a previous hypotonic-hyporesponsive episode. J Paediatr Child Health.
1999;35:549–52.
21. Baraff LJ, Shields WD, Beckwith L, et al. Infants and children with convulsions
and hypotonic-hyporesponsive episodes following diphtheria-tetanus-pertussis
immunization: follow-up evaluation. Pediatrics. 1988;81:789-94.

123
Hipoglikemia pada Neonatus dan Bayi
Aman B Pulungan

Tujuan:
1. Mengetahui definisi hipoglikemia pada neonates dan bayi
2. Mengetahui homeostasis glukosa pada neonates dan bayi
3. Mengetahui gejala, tanda dan penyebab hipoglikemia pada bayi dan
anak
4. Mengetahui tata laksana hipoglikemia pada neonates dan bayi

Hipoglikemia merupakan abnormalitas metabolik paling sering dijumpai pada


bayi dan berhubungan dengan berbagai kelainan neurologik dan kematian.
Anak sangat rentan mengalami hipoglikemia jika mengalami berbagai jenis
penyakit dan seringkali sulit terdeteksi secara klinis.1
Pada neonatus, tidak mendapatkan air susu ibu (ASI) atau berat badan
< 2.500 g dapat mengakibatkan hipoglikemia. Mortalitas neonatus dengan
hipoglikemia mencapai 45.2% dibandingkan dengan neonatus normoglikemia
19,6% (p < 0.001).1 Sebuah penelitian potong lintang terhadap 578 neonatus
cukup bulan usia 0 sampai 48 jam di Kathmandu menunjukan bahwa 41%
neonatus mengalami hipoglikemia ringan (glukosa kurang dari 2,6 mmol/l)
dan 11% mengalami hipoglikemia sedang (glukosa kurang dari 2,0 mmol/l).2
Waktu merupakan faktor terpenting yang mempengaruhi terjadinya
hipoglikemia simtomatik dan kejang mempunyai prognosis buruk untuk terjadi
kerusakan permanen pada sistem saraf pusat (SSP), sementara hipoglikemia
asimtomatik tanpa kejang cenderung tidak menimbulkan patologi SSP.3 Pola
kerusakan yang berkaitan dengan hipoglikemia neonatal simtomatik lebih
bervariasi dari yang sebelumnya diketahui, yaitu white matter injury tidak
hanya terbatas pada regio posterior, perdarahan, infark arteri serebri media,
serta kelainan pada ganglia basal, talamus, dan kortikal.4
Neonatus atau bayi dengan hipoglikemia memerlukan diagnosis dan
tindakan segera. Gambaran klinis harus segera dinilai dan rencana tindakan
disusun berdasarkan usia bayi, riwayat maternal dan partus, berat dan lamanya
keadaan hipoglikemik, serta berbagai tanda klinis yang relevan.5,6

124
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

Definisi hipoglikemia
Definisi hipoglikemia yang bermakna klinis masih menjadi salah satu
topik yang diperdebatkan dalam bidang neonatologi saat ini. Hipoglikemia
dikatakan simtomatik bila memenuhi triad Whipple, yaitu gejala, tanda, atau
keduanya sejalan dengan hipoglikemia, konsentrasi glukosa plasma rendah,
serta perbaikan gejala/tanda setelah konsentrasi glukosa plasma ditingkatkan.
Hipoglikemia didefinisikan sebagai glukosa darah < 2.2 mmol/l (< 40 mg/dl)
tanpa memandang usia.1,7-9

Homeostasis glukosa
Metabolisme glukosa bertanggung-jawab terhadap hampir separuh kebutuhan
energi harian basal tubuh dan merupakan sumber energi metabolik utama otak
manusia. Glukosa dapat disimpan dalam bentuk glikogen dan lemak, sementara
karbonnya dapat dimanfaatkan dalam sintesis protein dan berbagai komponen
struktural (misalnya membran sel). Oksidasi aerobik glukosa menghasilkan
energi tinggi dengan menghasilkan 36 mol adenosin trifosfat (ATP) untuk
setiap mol glukosa. Seluruh glukosa yang diekstraksi oleh otak akan dioksidasi
sehingga utilisasi glukosa serebral sejalan dengan asupan oksigen serebral.5,10
Pertahanan tubuh untuk mencegah hipoglikemia diintegrasikan oleh
sistem saraf otonom dan beberapa hormon yang bekerja secara terpadu untuk
meningkatkan produksi glukosa melalui modulasi enzimatik glikogenolisis dan
glukoneogenesis yang secara simultan juga membatasi utilisasi glukosa periferal.
Hipoglikemia mencerminkan adanya defek pada satu atau beberapa interaksi
kompleks yang seharusnya mengintegrasikan homeostasis glukosa saat makan
dan lapar. Proses ini terutama penting pada neonatus sebab mengalami transisi
mendadak dari lingkungan intrauterin, ketika masih bergantung pada asupan
glukosa transplasental, ke lingkungan ekstrauterin yang mengharuskan adanya
kemampuan untuk mempertahankan euglikemia. Prematuritas atau insufisiensi
plasenta dapat membatasi deposit nutrien jaringan serta kemungkinan adanya
berbagai abnormalitas enzim atau hormon pada neonatus maka hipoglikemia
sering terjadi pada periode neonatal.
Diperkirakan bahwa 80% dari energi fetal berasal dari glukosa dan 20%
berasal dari metabolisme laktat dan asam amino. Berbagai penelitian tentang
kehamilan pada manusia maupun spesies lain menunjukkan bahwa glukosa
diperoleh seluruhnya dari ibu melalui transfer plasental.5,10,11
Dalam kondisi tanpa kelainan, glukosa fetal seluruhnya tersedia dari ibu
melalui transfer plasental. Oleh karena itu, konsentrasi glukosa fetal biasanya
sebanding atau sedikit lebih rendah dari kadar glukosa maternal. Pelepasan
katekolamin, yang terjadi pada fetus dengan kelainan seperti hipoksia,

125
Hipoglikemia pada Neonatus dan Bayi

akan memobilisasi glukosa dan free fatty acids (FFAs) melalui mekanisme
β-adrenergik, yang merefleksikan aktivitas β-adrenergik pada hati dan
jaringan adiposa fetal. Katekolamin juga dapat menghambat insulin fetal dan
menstimulasi pelepasan glukagon.
Terhentinya transfer glukosa maternal secara akut ke fetus saat kelahiran
menyebabkan perlunya mobilisasi glukosa endogen segera. Ada tiga mekanisme
yang saling berkaitan dalam memfasilitasi transisi ini, yaitu berbagai perubahan
hormonal, reseptor hormon, serta aktivitas enzim esensial. Setelah lahir,
terjadi peningkatan mendadak 3 – 5 kali lipat konsentrasi glukagon dalam
beberapa menit atau jam. Kadar insulin biasanya turun pada awalnya dan
tetap dalam rentang basal selama beberapa hari tanpa terjadinya respon cepat
seperti biasa terhadap stimuli fisiologik seperti glukosa. Sekresi katekolamin
spontan juga khas terjadi pada masa ini. Epinefrin juga dapat meningkatkan
sekresi hormon pertumbuhan yang kadarnya meningkat saat kelahiran melalui
mekanisme α-adrenergik. Melalui mekanisme yang sejalan, berbagai perubahan
hormonal saat kelahiran ini akan memobilisasi glukosa melalui glikogenolisis
dan glukoneogenesis, mengaktivasi lipolisis serta meningkatkan ketogenesis.
Sebagai hasil dari proses ini, konsentrasi glukosa plasma akan stabil setelah
penurunan sementara pada awal kelahiran, simpanan glikogen hati mengalami
deplesi cepat dalam beberapa jam setelah kelahiran, serta glukoneogenesis dari
alanin, yang merupakan asam amino glukoneogenik utama, menghasilkan
hampir 10% dari turnover glukosa pada neonatus dalam beberapa jam kelahiran.
Konsentrasi asam lemak bebas juga meningkat tajam sejalan dengan
peningkatan glukagon dan epinefrin yang diikuti dengan peningkatan benda
keton. Pada masa pasca-natal awal, respon endokrin pankreas mempermudah
sekresi glukagon sehingga konsentrasi glukosa darah dapat dipertahankan.
Perubahan-perubahan adaptif dalam sekresi hormon ini sejalan dengan
terjadinya berbagai perubahan adaptif reseptor hormonal. Enzim esensial
yang terlibat dalam produksi glukosa juga berubah drastis selama masa
perinatal.5,6,11,12
Sangat dianjurkan agar neonatus yang memerlukan glukosa intravena
untuk yang mempertahakan kadar > 3,3 mmol/L (60 mg/dL) pada usia
berapapun, atau kadar glukosa < 2,8 mmol/L (50 mg/dL) setelah usia 48
jam. Penyebab kelainan metabolisme glukosa harus teridentifikasi sebelum
diizinkan pulang.5
Tiga sistem metabolik yang mengatur respon fisiologik terhadap puasa,
yaitu glikogenolisis hepatik, glukoneogenesis hepatik dan ketogenesis hepatik.5
Efek hipoglikemik insulin berlawanan dengan kerja berbagai hormon yang
konsentrasinya dalam plasma meningkat saat glukosa darah menurun.
Hormon counter-regulatory ini, yaitu glukagon, growth hormone (GH), kortisol
dan epinefrin, bekerja sama meningkatkan konsentrasi glukosa darah melalui

126
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

aktivasi enzim glikogenolitik (glukagon, epinefrin); menginduksi enzim


glukoneogenik (glukagon, kortisol); menghambat asupan glukosa oleh
otot (epinefrin, GH, kortisol); memobilisasi asam amino dari otot untuk
glukoneogenesis (kortisol); mengaktivasi lipolisis sehingga tersedia gliserol
untuk glukoneogenesis dan asam lemak untuk ketogenesis (epinefrin, kortisol,
GH, glukagon); menghambat pelepasan insulin dan meningkatkan sekresi GH
dan sekresi glukagon (epinefrin).5,6,11,12

Gejala dan tanda klinis hipoglikemia


Gambaran klinis hipoglikemia pada bayi berkaitan dengan berbagai komponen
neurogenik dan neuroglikopenik. Gejala biasanya tidak jelas dan tidak spesifik
sehingga kecurigaan klinis harus diterapkan dengan cermat.5,6,11

Tabel 1. Gejala-gejala Hipoglikemia pada Bayi5


Neurogenik Neuroglikopenik
Akibat aktivasi sistem saraf outonom Akibat turunnya kadar glukosa serebral dan penggunaan
(adrenergik atau kolinergik) oksigen
Gemetar Letargi
Takikardi Gelisah
Lapar Asupan makan sulit (poor feeding)
Pucat Kejang
Hipotermi Sianosis
Takipnea
Episode apnu
Lemah, high-pitched cry
Floppiness
Eyerolling
Lip smacking

Tabel 2. Nilai ambang hipoglikemia5


Nilai Ambang Berbagai Gejala Hipoglikemia
Glukosa darah, mmol/L (mg/dL) Akibat
3,9 – 5,6 (70 – 100) Sekresi insulin meningkat
4,4 – 4,7 (80 – 85) Sekresi insulin menurun
3,6 – 3,9 (65 – 70) Sekresi glukagon, epinefrin, kortisol, dan GH meningkat
Reaction time auditorik dan visual memanjang
< 3,3 (59) Fungsi kognitif mulai menurun
Gejala-gejala neuroglikopenia
< 2,5 – 3,5 (45 – 63)
1,1 – 1,7 (20 – 30)

127
Hipoglikemia pada Neonatus dan Bayi

Klasifikasi penyebab hipoglikemia pada neonatus dan bayi


Tabel 3. Klasifikasi Penyebab Hipoglikemia pada Neonatus dan Bayi5
1. Hipoglikemia transien neonatal
Prematuritas
Kecil untuk masa kehamilan
Ibu diabetik
Discordant twin
Asfiksia
Ibu mengalami toksemia
2. Hipoglikemia persisten neonatus atau infantil
Gangguan hormonal
Hiperinsulinemia (HI)
Recessive adenosine triphosphate (ATP)-dependent potassium (KATP) channel HI
Focal KATP channel HI
Dominant KATP channel HI
Dominant glucokinase (GCK) HI
Dominant glutamate dehydrogenase (GDH) HI/HA (hyperinsulinism/hyperammonemia
syndrome)
Acquired islet adenoma
Sindrom Beckwith-Wiedemann
Munchausen syndrome by proxy
Pemberian sulfonilurea
Kelainan glikosilasi kongenital
Counter-regulatory hormone deficiency
Panhypopituitarism
Isolated growth hormone deficiency
Defisiensi hormon adrenokortikotropik (ACTH)
Addison disease
Defisiensi adrenalin
Gangguan glikogenolisis dan glukoneogenesis
Glucose-6-phosphatase deficiency (GSD tipe 1)
Glucose-6-phosphate translocase deficiency (GSD 1b)
Amylo-1,6-glucosidase (debranching enzyme) deficiency (GSD 3)
Liver phosphorylase deficiency (GSD 6)
Phosphorylase kinase deficiency (GSD 9)
Glycogen synthetase deficiency (GSD 0)
Fructose-1,6-diphosphatase deficiency
Pyruvate carboxylase deficiency
Galaktosemia
Hereditary fructose intolerance
Gangguan lipolisis
Gangguan oksidasi asam lemak
Carnitine transporter deficiency (primary carnitine deficiency)
Carnitine palmitoyltransferase-1 deficiency
Carnitine translocase deficiency
Carnitine palmitoyltransferase-2 deficiency
GSD, glycogen storage disease; HI, hyperinsulinemia; KATP, regulated potassium channel.
Secondary carnitine deficiencies
Very long, long-, medium-, short-chain acyl CoA dehydrogenase deficiency
3. Penyebab lainnya
Ketotic hypoglycemia
Keracunan
Salisilat
Alkohol
Obat hipoglikemi oral
Insulin
Propranolol
Pentamidin
Quinine
Disopyramide
Trimethoprim-sulfamethoxazole

128
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

Hipoglikemia transisional
Konsentrasi glukosa plasma rendah pada neonatus normal selama periode
hipoglikemia transisional biasa terjadi, maka sering sulit untuk mengidentifikasi
bayi baru lahir yang mengalami suatu kelainan hipoglikemia patologik. Pada
neonatus yang memilki risiko mengalami masalah hipoglikemia patologik
(yaitu risiko genetik untuk neonates besar masa kehamilan, intrauterine
growth restriction (IUGR), bayi dari ibu diabetik atau stres perinatal), harus
mendapat pengawasan kadar glukosa dengan ketat dan tidak hanya mendapat
penanganan saat hipoglikemia terjadi. Penanganan hipoglikemia pada 24 jam
pertama penting dengan memperhatikan 2 sudut pandang, yaitu rencana
penanganan harus menghindarkan bayi yang tidak memerlukan penanganan
dan penanganan harus mencakup untuk mereka yang berisiko mengalami
kelainan hipoglikemik permanen. 5,6

Bayi dari ibu diabetik


Diabetes gestasional terjadi pada sekitar 2% wanita hamil, sementara 1/1.000
wanita hamil mengalami insulin-dependent diabetes. Saat kelahiran, bayi dari
ibu diabetik biasa besar dan phletoric, dengan cadangan glikogen, protein dan
lemak berlebih.
Hipoglikemia pada bayi dari ibu diabetik paling sering berhubungan
dengan hiperinsulinemia dan sebagian dengan sekresi glukagon rendah. Terjadi
hipertrofi dan hiperplasia islets yang, menghasilkan respons insulin terhadap
glukosa yang cepat, bifasik dan matur. Respon seperti ini tidak ditemukan
pada bayi normal. Bayi yang lahir dari ibu diabetik juga mengalami gelombang
subnornal glukagon plasma segera setelah lahir. Sekresi glukagon subnormal
merupakan respon terhadap stimuli yang dimulai dengan aktivitas simpatik
berlebihan yang dapat menimbulkan kelainan adrenomedular yang terlihat
dari penurunan sekresi epinefrin dalam urin.5,6

Hipoglikemia hiperinsulinemik persisten (hhp) pada


bayi
Supresi terhadap sekresi insulin merupakan faktor penting untuk
mempertahankan keadaan euglikemia selama puasa melalui aktivasi
glikogenolisis hepatik, glukoneogenesis dan oksidasi asam lemak. Kegagalan
untuk menekan sekresi insulin merupakan penyebab paling sering dari
hipoglikemia persisten pada bayi dan anak. Penanda biokimiawi dan klinis
pada neonatus adalah: (1) peningkatan berat lahir karena efek peningkatan

129
Hipoglikemia pada Neonatus dan Bayi

pertumbuhan (growth-promoting effects) insulin in utero, (2) peningkatan


utilisasi glukosa, (3) supresi lipolisis dan ketogenesis ( free fatty acids dan keton
rendah saat hipoglikemia), dan (4) respon glikemik terhadap glukagon saat
hipoglikemia tidak sesuai (peningkatan > 30 mg/dL).
Bentuk familial HHP sering ditemukan pada populasi tertentu, yaitu
Arab dan Yahudi, dengan insidens 1/2.500, dibanding insidens populasi umum
sekitar 1/50.000. Bentuk resesif autosomal HHP biasanya diketahui segera
pada bayi besar dengan berat lahir > 4 kg dan hipoglikemia berat rekuren atau
persisten yang bermanifestasi beberapa jam atau hari setelah lahir.
Infus glukosa 15–20 mg/kg/min dan pemberian makan sering gagal
mempertahankan euglikemia. Diazoxide, yang bekerja membuka KATP channels,
gagal mengontrol hipoglikemia secara memadai. Somatostatin, yang juga
membuka KATP dan menghambat calcium flux, efektif pada sekitar 50%
pasien. Calcium channel blocking agents tidak memberikan efek konsisten.
Bila pasien tidak memberikan respons terhadap penanganan tersebut maka
dianjurkan pankreatektomi untuk menghindari dampak neurologik akibat dari
hipoglikemia. Bila aman dilakukan pembedahan, CT atau MRI pra-operatif
kadang menunjukkan adanya isolated adenoma yang dapat direseksi lokal.5,6

Pendekatan diagnostik pasien dengan hipoglikemia


Diagnosis harus didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisis, hasil
laboratorium, serta yang paling penting, respon hormonal saat hipoglikemia
puasa.5,11,16
Analisis sampel darah selama hipoglikemia dan 30 menit setelah
pemberian glukagon:
yy Substrat : glukosa, free fatty acids (FFA), keton, laktat, asam urat, ammonia
yy Hormon: insulin, kortisol, GH, tiroksin, thyroid-stimulating hormone, insulin-
like growth factor binding protein–1 (IGFBP-1).

Riwayat
Anamnesis dengan cermat dilakukan untuk mengetahui gejala sampai
waktu dan tipe makanan, dengan mempertimbangkan usia pasien. Dinilai
kemungkinan injeksi insulin, salt craving, kecepatan pertumbuhan dan patologi
intrakranial. Hipoglikemia yang terjadi 12-18 jam akibat asupan oral yang
kurang mungkin berkaitan dengan gangguan fatty acid oxidation (FAO). Riwayat
lahir besar untuk masa kehamilan dan mengalami hipoglikemia saat periode
neonatal kemungkinan suatu hiperinsulinemia (HI).

130
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

Pemeriksaan fisis
Pemeriksaan fisis untuk mencari adanya hepatomegali (kelainan penyimpanan
glikogen, defek dalam glukoneogenesis); pigmentasi (kegagalan adrenal);
perawakan dan status neurologik (pituitary disease). Bayi harus diamati dengan
seksama untuk melihat adanya gambaran dismorfik yang menunjukkan
kemungkinan suatu sindrom yang menyebabkan hipoglikemia. Status
pertumbuhan dan gizi harus ditetapkan dengan garis persentil berdasarkan
pengukuran tinggi badan, lingkar kepala, serta berat badan.
yy Jika didapatkan makrosomia dan hepatomegali dapat dipikirkan suatu HI.
Gambaran makroglosia, hemihipertrofi, berbagai abnormalitas umbilikal
dan lipatan telinga dapat sesuai dengan sindrom Beckwith-Wiedemann
sebagai salah satu penyebab HI.
yy Berbagai abnormalitas linea medialis skeleton kraniofasial, ikterus
neonatus, gangguan penglihatan atau atrofi optik dan genitalia yang
tidak sempurna, seperti mikropenis dapat merupakan bagian dari
hipopituitarisme.
yy Peningkatan pigmentasi kulit, hipotensi atau ambigus genitalia dapat
berkaitan dengan insufikuensi adrenal primer.
yy Hepatomegali dapat merupakan bagian dari inborn errors of metabolism
termasuk GSD.

Pemeriksaan laboratorium
Langkah pertama adalah menilai apakah terdapat asidosis yang berhubungan
dengan hipoglikemia, kemudian harus ditentukan apakah merupakan
ketoasidosis atau asidosis laktat.5,6,11,16
yy Ambil sampel darah sebelum dan pada 30 menit setelah pemberian
glukagon
yy Ambil urin sesegera mungkin. Lakukan uji keton; bila keton tidak
ditemukan dan terdapat hipoglikemia maka dicurigai hiperinsulinemia
atau fatty acid oxidation defect; sedangkan bila terdapat keton maka
dicurigai ketotik, defisiensi hormon, kelainan lahir metabolisme glikogen
atau glukoneogenesis defektif.
yy Uji glukosa pada sampel darah pertama. Bila ada hipoglikemia maka
dilanjutkan dengan pengukuran substrat hormon.
yy Bila glikemik meningkat melampaui 40 mg/dL di atas nilai basal setelah
pemberian glukagon maka dicurigai hiperinsulinemia.
yy Bila kadar insulin saat hipoglikemia dipastikan mencapai >5 μU/mL,
dicurigai hiperinsulinemia endogen, dan bila >100 μU/mL, dicurigai
factitious hyperinsulinemia (injeksi insulin eksogen). Segera kirim ke rumah
sakit untuk mendapat penanganan puasa terawasi (supervised fast).

131
Hipoglikemia pada Neonatus dan Bayi

yy Bila kortisol <10 μg/dL atau growth hormone <5 ng/mL, atau keduanya,
dicurigai insufisiensi adrenal atau pituitary disease, atau keduanya. Kirim
ke rumah sakit untuk uji hormonal dan neuroimaging.

Pemeriksaan lain
Pemeriksaan oftalmologi, computed tomography (CT scan) atau Magnetic
Resonance Imaging (MRI) dan Positron Emission Tomography (PET scan).

Gambar 1. Algoritma Pendekatan Hipoglikemig

Respons bahan Asidosis laktat Ketoasidosis FFA Low FFA


bakar tubuh Low ketones Low ketones
Kemungkinan G-6-Pase deficiency Normal ketotic FAO disorders Hiperinsulinemia
kelainan FDPase deficiency Hipoglikemia Neonatus normal Panhipopituitarisme
Pyruvate carboxylase GSD 3,6,9,10 SGA, asfiksia lahir
deficiency
Neonatus normal GH deficiency
Cortisol deficiency
Uji selanjutnya Prekursor Uji fungsi pituitary dan Acyl-carnitine Uji stimulasi glukagon
glukoneogenik adrenal profile Uji fungsi pitutary,
Uji stimulasi Uji stimulasi glukagon adrenal, tiroid
glukagon Insulin assay
Uji lain untuk
hiperinsulinemia

FDPase, fructose-1,6-diphosphatase; FFA, free fatty acids; G-6-Pase, glucose 6-phosphatase; GH, growth
hormone; GSD, glycogen storage disorder; SGA, small for gestational age.

Tata laksana
Tujuan terapi adalah mempertahankan glukosa plasma 70 mg/dL. Untuk bayi
setelah periode transisional, penanganan dimulai segera bila nilai glukosa
plasma < 2,8 mmol/L (50 mg/dL). Bila bayi mengalami gejala hipoglikemia
atau keadaan umum tidak baik dan glukosa < 2,8 mmol/L (50 mg/dL), maka
glukosa IV harus diberikan untuk menjaga kadar glukosa > 3,3 mmol/L (60
mg/dL). Dosis lazim glukosa adalah 200 mg/kg (2 ml/kg dekstrosa 10%) dibolus
setelah diberi glucose infusion rate (GIR) 4 sampai 6 mg/kg/min (60 to 90 ml,

132
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

dekstrosa 10%/kg/hari). Rate ini mendekati tingkat produksi hepatik glukosa


normal pada neonantus dan anak kecil kemudian ditingkatkan dengan GIR 1,6
mg/kg/min (1 ml/kg dekstrosa 10%/jam) sampai kadar glukosa mencapai > 3,3
mmol/L (60 mg/dL). Kadar glukosa harus diperiksa setiap 15 menit dan GIR
ditingkatkan sampai kadar plasma yang diinginkan tercapai. Bila setelah dua
dosis peningkatan 1,6 mg/kg/min (1 ml/kg dekstrosa 10%/jam) kadar glukosa
plasma tetap < 3,3 mmol/L (60 mg/dL), maka dianjurkan ditingkatkan menjadi
3,2 mg/kg/min (2 ml/kg dekstrosa 10%/jam) setiap 15 menit.
Untuk bayi asimtomatik usia < 2 jam, glukosa IV diberikan bila kadar
glukosa < 1,7 mmol/L (30 mg/dL) dengan tujuan menaikkan kadar glukosa
ke > 3,3 mmol/L (60 mg/dL). Untuk bayi asimtomatik usia 2 sampai 24
jam, glukosa IV diberikan bila kadar glukosa < 2,2 mmol/L (40 mg/dL) dan
tujuannya adalah meningkatkan glukosa ke kadar > 3,3 mmol/L (60 mg/
dL). Bila bayi tetap mengalami konsentrasi glukosa asimtomatik < 50 mg/
dL setelah 24-48 jam maka dipertimbangkan pemberian IV dekstrosa dengan
tujuan mencapai glukosa > 3,9 mmol/L (70 mg/dL).5,6
Bila diperlukan dari lebih dari 10 mg/kg/menit perlu dipertimbangkan
untuk intervensi farmakologik pada kasus dengan hipoglikemia berat, persisten
atau rekuren.5,6,15

Tabel 4. Tata Laksana Farmakologik pada Hipoglikemia Neonatal


Bahan & Efek Dosis Pemberian Efek samping
Diazoxide 10-15 mg/kg/hari Oral (sekali tiap 8 jam) Hirsutisme, gagal jantung,
(Menghambat sekresi retensi cairan, nausea,
insulin) vomiting
Glukagon Bolus: 200 mcg/kg, Infus intermitten Hiponatremia,
(Stimulasi 1 mg/hari Infus kontinyu thrombositopenia
glikogenolisis)
Glukokortikoid Growth suppression,
(Menurunkan utilisasi Hipertensi`
glukosa periferal)
-Deksametason 0.25 mg/kg IV (sekali tiap 12 jam)
1-2.5 mg/kg IV (sekali tiap 6 jam)
-Hidrokortison 50 mg/m2/hari
Nifedipin Initial: 0.25-0.3 mg/kg/hr Oral (sekali tiap 8 jam) Tidak dilaporkan
Final: 0.5-0.8 mg/kg/hr
Octreotide 7-12 mcg/kg/hari Subkutan (setiap 4-6 Kolelitiasis
(Menghambat (maks: 40 mcg/kg/hari) jam)
pelepasan insulin Dapat diberikan sebagai
dan GH) IV kontinyu
Pankreatektomi Partial atau near-total
(Menurunkan sekresi pancreatectomy
insulin)
hr, hours; IV, intravenous; max, maximum

133
Hipoglikemia pada Neonatus dan Bayi

Simpulan
Hipoglikemia merupakan kelainan yang sering ditemukan, dapat terjadi pada
berbagai kondisi neonatal, termasuk prematuritas, retardasi pertumbuhan, serta
diabetes maternal. Skrining hipoglikemia dianjurkan pada keadaan tertentu
yang berisiko tinggi.
Diagnosis dan tata laksana hipoglikemia yang tepat dapat mempertahankan
fungsi intelektual tetap normal. Hipoglikemia yang berlangsung lama, rekuren
dan berat berkaitan dengan terjadinya berbagai kelainan neurologic. Untuk
mempertahankan fungsi intelektual tetap harus normal sebab hipoglikemia
simptomatik lama, rekuren, berat, berkaitan dengan terjadinya berbagai
kelainan neurologik.

Daftar pustaka
1. Osier FHA, Berkley JA, Ross A, Sanderson F, Mohammed S, Newton CRJC.
Abnormal blood glucose concentrations on admission to a rural Kenyan district
hospital: prevalence and outcome. Arch Dis Child. 2003;88:621–5.
2. Pal DK, Manandhar DS, Rajbhandari S, Land JM, Patel N, de L Costello AM.
Neonatal hypoglycaemia in Nepal 1. Prevalence and risk factors. Arch Dis Child
Fetal Neonatal Ed. 2000;82:F46–F51.
3. Koivisto M, Blaco-Sequeiros M, Krause U. Neonatal symptomatic hypoglycaemia:
a follow-up study of 151 children. Dev Med. Child Neurol. 1972;14:603-14.
4. Burns CM, Rutherford MA, Boardman JP, Cowan FM. Patterns of cerebral injury
and neurodevelopmental outcomes after symptomatic neonatal hypoglycemia.
Pediatrics. 2008;122-65.
5. De Leon DD, Thornton PS, Stanley CA, Sperling MA. Hypoglycemia in the
Newborn and Infant. Dalam: Sperling MA. Pediatric Endocrinology, Edisi ke-4.
Philadelphia: Elsevier Saunders 2014; 157-81.
6. Sperling MA. Hypoglycemia. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB,
Stanton BF. Nelson Textbook of Pediatrics, Edisi ke 18. Philadelphia: Elsevier
Saunders 2007.
7. Achoki R, Opiyo N, English M. Mini-review: Management of Hypoglycaemia in
Children Aged 0–59 Months. J Trop Pediatr. 2010;56:227–34.
8. Canadian Paediatric Society. Screening guidelines for newborns at risk for low
blood glucose. Paediatr Child Health. 2004; 723-9.
9. Cornblath M, Hawdon JM, Williams AF, Aynsley-Green A, Ward-Platt MP, et
al. Controversies Regarding Definition of Neonatal Hypoglycemia: Suggested
Operational Thresholds. Pediatrics 2000;105:1141-5.
10. Fernandez BA, Perez IC. Neonatal Hypoglycemia - Current Concepts. Diunduh
dari: http://www.intechopen.com/books/hypoglycemia-causes-and occurrences/
neonatalhypoglycemia-current-concepts. Diunduh tanggal 10 Oktober 2011.
11. Thornton PS. Hypoglycemia. Dalam: Moshang T. Pediatric Endocrinology, Edisi
ke 1. Philadelphia: Elsevier Mosby; 2005 37-58.

134
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

12. Sweet CB, Grayson S, Polak M. Management Strategies for Neonatal


Hypoglycemia. J Pediatr Pharmacol Ther 2013;18:199–208.
13. Newborn Care Committee. Newborn Hypoglycemia Guidelines. Michigan:
WHBC Clinical Practice Council 2008; 1-4.
14. Jain A, Aggarwal R, Jeevasanker M, Agarwal R, Deorari AK, Paul VK.
Hypoglycemia in the Newborn. Indian J Pediatr 2008; 75: 63-7.
15. Maternity and Neonatal Clinical Guideline. Newborn Hypoglycemia. Queensland
Clinical Guidelines 2013: 2-22.
16. Gregory J. Hypoglycemia. Dalam: Zacharin M. Practical Pediatric Endocrinology.
Melbourne: National Library of Australia 2011: 232-9.

135
Newborn Emergency Tranport Service (NETS) :
Moving intensive care for kids
Rinawati Rohsiswatmo

Tujuan:
1. Memahami indikasi neonatus risiko tinggi yang memerlukan
transportasi
2. Memahami kriteria kendaraan, personil dan peralatan yang diperlukan
dalam transportasi neonatus secara aman
3. Memahami risiko yang mungkin terjadi pada neonatus selama proses
transportasi

Dalam menghadapi kelahiran bayi, perlu diperhatikan risiko dari bayi yang
akan dilahirkan. Hal ini berkaitan dengan fasilitas yang diperlukan untuk
perawatan bayinya. Perawatan untuk bayi risiko rendah atau sehat, cukup
di rawat gabung bersama ibunya. Bayi risiko menengah atau tinggi perlu
mendapat perawatan di unit perawatan khusus atau intensif. Bidan atau dokter
kandungan, sebaiknya sudah menentukan dimana tempat melahirkan yang
paling sesuai bagi si ibu. Apabila fasilitas tidak sesuai dengan kebutuhan ibu
maupun bayinya, sebaiknya ibu dan janinnya dirujuk ke fasilitas yang lebih
lengkap. Transpor neonatus risiko tinggi saat masih di kandungan merupakan
gold standard dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas.1
Ada kalanya transpor in utero tidak memungkinkan sehingga dibutuhkan
transpor neonatus ke rumah sakit lain. Selama proses tranportasi, neonatus
dapat terpapar dengan rangsangan bahaya seperti, kebisingan, getaran,
perubahan suhu, gravitasi, gerakan serta gaya percepatan atau perlambatan
kendaraan. Hal tersebut diatas dapat mengakibatkan cedera, neonatus harus
berjuang untuk mempertahankan homeostatis.1
Transpor neonatus risiko tinggi ke rumah sakit rujukan sebaiknya
dikerjakan oleh tim transpor khusus, bukan oleh keluarga ataupun tim yang
tidak berpengalaman. Tindakan merujuk oleh tim transpor yang terlatih
dapat memperbaiki kesintasan neonatus jika dibandingkan dengan tindakan
merujuk oleh yang kurang berpengalaman (96,2% vs. 89%;P=0,03). Kumar
et al melaporkan tiga masalah besar yang dijumpai dalam melakukan transpor
neonatus, yaitu dampak yang ditimbulkan oleh tim transpor yang kurang
berpengalaman, gangguan instabilitas suhu, dan gangguan biokimiawi.2

136
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

Persyaratan trasnportasi neonatus yang baik


Transportasi neonatus dapat dilakukan intrahospital maupun interhospital.
Yang dimaksud intrahospital adalah bayi di transpor dari tempat dilahirkan ke
ruang perawatan lanjutan yaitu ruang perawatan khusus atau intensif rumah
sakit yang sama. Transpor interhospital yaitu transpor antar rumah sakit.
Konsep transpor neonatus tidak boleh dilakukan sebelum bayi STABLE.
Program STABLE ini disusun berdasarkan prinsip prioritas resusitasi ketika
menghadapi kondisi kritis, yakni ABC (Airway, Breathing, dan Circulation).
STABLE merupakan singkatan dari SUGAR and SAFE care (kadar gula
darah dan keselamatan bayi), TEMPERATURE (suhu), AIRWAY (jalan
napas), BLOOD PRESSURE (tekanan darah), LAB WORK (pemeriksaan
laboratorium), EMOTIONAL SUPPORT (dukungan emosional).1 Program
STABLE juga mengupayakan kondisi bayi menjadi “warm, pink, and sweet”
secepatnya dalam kurun waktu 1 jam.1,3
Stabilisasi pra–tranportasi dapat meminimalkan risiko yang dapat
berkontribusi pada kesakitan maupun kematian. 1 Sebelum dilakukan
pemindahan pasien, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan tenaga
medis, yaitu: pastikan jalan napas terbuka dan ventilasi yang adekuat, usaha
napas, kulit dan bibir berwarna merah muda, laju denyut jantung 120-160 kali
per menit, suhu rectum 37 ºC atau suhu aksila 36.5-37ºC, saturasi, gangguan
metabolik teratasi, gangguan khusus tertangani.4 Transportasi bayi bukan
berarti memindahkan kematian ke tempat lain. Agar menghasilkan luaran
bayi baru lahir baik dikenal kaidah The First Golden Hour.
The First Golden Hour merupakan waktu satu jam pertama yang sangat
kritis pada kehidupan neonatus yang baru lahir. Tata laksana yang tepat
oleh tenaga yang kompeten akan memberi dampak yang sangat berarti dari
kehidupan neonatus itu di masa mendatang. 5
Di negara maju transportasi neonatus risiko tinggi umumnya dikelola
secara profesional oleh rumah sakit rujukan tertinggi dan dibiayai oleh negara.
Akronim dari transportasi neonatal adalah NETS (Newborn Emergency
Transport Service). Sejak tahun 1995 di negara bagian New South Wales,
Australia ,tanggung jawab NETS diperluas menjadi Newborn Pediatric
Emergency Transport Service. Filosofi NETS adalah moving intensive care for kids.
NETS berupaya menghindari pasien anak kritis dibawa tergopoh-gopoh ke
rumah sakit rujukan oleh keluarga atau tim yang tidak berpengalaman. Para
profesional yang bekerja di NETS siap melakukan diskusi / nasehat terkait
penanganan kegawatan bayi maupun anak sebelum penjemputan. Mereka yang
bekerja di NETS harus mampu menangani, menstabilisasi dan mentranspor
pasien kritis dengan aman. Tugas lain yang harus dilakukan oleh NETS adalah
melakukan diskusi dan atau memberikan informasi kepada rumah sakit rujukan
yang akan dituju. 6 Beberapa informasi yang perlu disampaikan ke unit atau

137
Pemberian Transfusi Darah pada Anemia Berat

rumah sakit rujukan seperti riwayat kelahiran bayi, riwayat antenatal, tindakan
yang telah diberikan, serta perkembangan kondisi bayi selama proses transpor.
Tim transpor neonatus diharapkan mampu menjelaskan dengan baik keadaan
bayi, perawatan yang diperlukan, prognosis, rencana tata laksana serta sistem
transportasi yang digunakan dan unit rujukan kepada orang tua.7,8
Tim transpor neonatus merupakan tim pelayanan multidisplin yang
terdiri dari dokter umum, perawat pelaksana, staf keperawatan neonatus,
respiratory therapists, tenaga paramedis, supir ambulan dan penyedia pelayanan
kesehatan.9 Penting mempertimbangkan kualitas kemampuan dan pengalaman
anggota tim transpor termasuk supir ambulan dalam bekerja di lapangan.
Supir ambulan diharapkan mengenal lokasi yang akan dituju dan mampu
mengantarkan neonatus ke tempat rujukan interhospital dengan aman.10 Tim
transpor sebaiknya memiliki ketrampilan minimal dalam menangani bayi risiko
tinggi baik keadaan akut maupun kritis selama proses transpor. Kemampuan
minimal yang harus dimiliki tim transpor diantaranya kemampuan dalam
pemasangan pipa endotracheal / intubasi, chest tube insertion, pemasangan jarum
intraosseous, pemasangan kateter umbilikal, pemberian surfaktan, pengunaan
ventilasi mekanik termasuk High-Frequency Ventilation.11 Selain itu tim transpor
juga harus mempunyai keterampilan komunikasi interpersonal, keterampilan
berpikir kritis, keterampilan kepemimpinan.12
Setiap tim transpor sebaiknya memiliki koordinator transpor yang
ditunjuk. Koordinator tim transpor dapat dijabat seorang perawat yang
minimal memiliki pengalaman dua tahun di bidang keperawatan neonatus
dan transpor neonatus risiko tinggi. Koordinator tim transpor bertugas untuk
mengawasi pelatihan, penjadwalan, pendidikan dan kinerja klinis dari setiap
anggota tim. Tanggung jawab tambahan mencakup mengumpulkan data yang
berkaitan dengan transpor, merekomendasikan pembelian peralatan untuk
transportasi dan berkomunikasi masalah yang dialami pada transportasi kepada
direktur medis dari tim transportasi.12 Tim transpor bertugas mengecek seluruh
kelengkapan kendaraan transportasi dan obat obatan yang telah digunakan.13
Komposisi anggota tim transpor umumnya terdiri dari satu orang
neonatologis, staf perawat neonatus serta supir ambulan yang siap membantu
tenaga medis. Ada kalanya tim transpor tidak didampingi oleh dokter karena
kasusnya sangat ringan. Jika salah satu tenaga medisnya seorang wanita,
maka dibutuhkan tambahan seseorang biasanya mahasiswa kedokteran yang
dapat membantu membawa stretcher apabila lift tidak tersedia. Komposisi tim
transpor harus tersedia dalam 24 jam sehari atau 7 hari seminggu agar siap
saat diperlukan.13
Berdasarkan derajat kegawatannya terdapat 3 pembagian transpor
neonatus, yaitu: keadaan emergency, urgent dan elective. Pada keadaan
emergency maka waktu kritis yang diperlukan untuk sampai ke unit rujukan

138
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

kurang dari 30 menit, penggunaan sirene ambulan disarankan dan kecepatan


mengemudi ambulan tergantung indikasi. Pada keadaan urgency, waktu yang
diperlukan untuk sampai ke unit rujukan dapat ditolerir sampai dengan 4
jam. Penggunaan sirene atas indikasi dan kecepatan mengemudi normal. Pada
keadaan elective waktu kritis yang diperlukan untuk sampai ke unit rujukan 1-2
hari, penggunaan sirene tidak diperlukan, dan kecepatan mengemudi normal.14

Tabel 1. Kategori tim transpor yang dibutuhkan sesuai dengan kegawatan bayi7. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada Tabel I.
Transportasi oleh • Bayi yang memerlukan perawatan intensif
dokter dan perawat • Bayi dengan berat < 1000 gram
• Bayi dengan usia gestasi < 28 minggu dan usia postnatal <48 jam
• Bayi dengan CPAP nasal pasca ekstubasi ≤ 48 jam
• Bayi dengan ketergantungan tinggi dan tidak stabil
• Bayi dengan masalah jantung kompleks ataau membutuhkan obat untuk
memertahankan lesi duct dependent
• Bayi dengan masalah bedah kompleks
• Bayi dengan masalah neurologis yang membutuhkan
• pemantauan dan terapi untuk memertahankan stabilitas
• Bayi yang dirujuk untuk intervensi, misal
• terapi retinopati terkait prematuritas atau pemeriksaan jalan napas
Transportasi oleh • Bayi perawatan khusus yang stabil
perawat saja • Bayi dengan ketergantungan tinggi yang telah stabil selama 48 jam tanpa pen-
ingkatan kebutuhan oksigen dan tanpa bradikardia atau desaturasi signifikan
• Bayi dengan CPAP nasal yang telah stabil selama 48 jam tanpa peningkatan
oksigen dan tidak mengalami bradikardia atau desaturasi signifikan dalam
waktu singkat
• Bayi yang dirujuk untuk pembedahan, dalam kondisi stabil sebelum transpor
dan tidak membutuhkan intervensi untukmemertahankan stabilitas
• Bayi dengan kelainan neurologi yang telah stabil selama 48 jam
• Bayi yang telah diekstubasi selama 24 jam. Alasan intubasi hanya untuk pembe-
dahan (elektif) dan bayi stabil sebelum intervensi pembedahan
• Bayi stabil yang melakukan konsultasi rawat jalan (bukan intervensi) dan waktu
tunggu tidak melebihi 1 jam

Sumber: UKK Neonatologi Ikatan Dokter Anak Indonesia . Resusitasi Neonatus

Kendaraan yang dibutuhkan selama transportasi


neonatus
Kendaraan transpor yang digunakan sebaiknya dapat menjamin keamanan
bayi, keluarga serta tenaga medis yang mendampingi. Kendaraan transpor
harus mampu memuat peralatan transportasi bayi seperti inkubator transpor
dengan atau tanpa ventilator transpor (pada fasilitas lengkap), monitor
kardiovaskular, tabung oksigen, alat suction, serta dapat memberi ruang bagi
tenaga medis untuk melakukan tindakan yang diperlukan (misal memasang
pipa endotrakeal). Peralatan yang terdapat dalam kendaraan transpor sebaiknya

139
Pemberian Transfusi Darah pada Anemia Berat

bersifat tahan benturan dan dipastikan aman bagi bayi, keluarga dan tim
transpor selama perjalanan.7
Transpor neonatus dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu transpor melalui
udara, transpor melalui darat atau transpor melalui air. Pada praktiknya,
transpor neonatus melalui darat lebih sering digunakan dibandingkan yang
lainnya. Transpor melalui darat merupakan pelayanan transpor door to door
jarak dekat yang lebih memungkinkan digunakan dalam kota. Salah satu
pertimbangan transpor melalui udara apabila kondisi jalan yang akan dilalui
sangat buruk sehingga menghambat transportasi darat. Transpor melalui udara
lebih disukai jika perkiraan jarak antar unit rujukan 50 – 150 kilometer dan
lebih efisien jika jaraknya melebihi 150 kilometer.7
Derajat keparahan seperti cedera dan kematian dapat ditimbulkan
akibat kemacetan lalu lintas. Bentuk dinamis seperti paparan getaran dan
bising lebih sering ditemui pada transpor melalui darat dibandingkan transpor
melalui udara. Penelitian menyebutkan transpor melalui darat, dapat terjadi
pengereman mendadak yang dapat menghasilkan gravitasi tekanan negatif
yang berbahaya bagi perkembangan otak neonatus. Selama dalam ambulan
tercatat terdapat 5 kali guncangan impulsif, yaitu posisi telentang neonatus
(kepala terletak dibagian belakang kendaraan), matras kaku yang digunakan
neonatus dalam inkubator, inkubator tidak dilengkapi dengan peredam,
roda kendaraan serta jalan tidak rata. 15 Transpor melalui udara perlu
memerhatikan faktor getaran, gaya gravitasi selama akselerasi dan deselerasi,
bising berlebihan, perubahan temperatur dan penurunan kelembaban yang
berhubungan ketinggian di atas permukaan laut. Ketinggian dari permukaan
laut dapat memengaruhi sistem respiratori neonatus menyebabkan tekanan
barometer meningkat, bertambahnya volume gas dalam paru sehingga memicu
pneumothoraks pada neonatus.7
Standarisasi kelengkapan serta keamanan lingkungan harus dipenuhi
baik transpor neonatus melalui darat maupun udara. Beberapa yang perlu
diperhatikan dalam transpor neonatus melalui udara diantaranya penggunaan
sabuk pengaman dan helm, perubahan iklim, jam terbang pilot, kelengkapan
peralatan penerbangan, peraturan penerbangan dan kacamata penglihatan
malam. Transpor melalui darat perlu memerhatikan batas kecepatan
kendaraan. 7
Sampai saat ini alat transportasi neonatus yang sering digunakan adalah
ambulan dan persawat udara (kecil) yang dapat terbang rendah. Tidak banyak
negara yang melakukan transportasi melalui air. Khusus untuk beberapa
wilayah kepulauan di Indonesia yang sulit dijangkau dengan ambulan dan
persawat, transportasi air merupakan pilihan yang paling tepat.

140
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

Peralatan yang dibutuhkan saat transportasi neonatus


Dukungan peralatan sangat dibutuhkan dalam keberhasilan tranportasi
neonatus.7 Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel II.

Tabel II. Peralatan yang dibutuhkan tranportasi neonatus:


Dukungan termal • Inkubator transpor (pada fasilitas lengkap)/transpor secara skin to skin (pada
fasilitas terbatas)
• Termometer dan/ atau monitor suhu disertai probes
• Plastik, selimut insulator, pelindung panas
Dukungan respi- • Tabung oksigen 1 m3 dan udara dengan indikator tekanan dan kandungan gas
ratori: yang sesuai
• Flowmeter 1 Lpm (termasuk regulator tabung)
• Sungkup dan kanul nasal neonatus
• Oxygen analyzer
• Balon tekanan positif
• Peralatan continuous positive airway pressure (CPAP): nasal prong dan pipa
endotrakeal
• Infant blending resuscitator Mixsafe Forte®
• Resuscitation Bag
• Ventilator mekanik
• Pipa endotrakeal ukuran 2,5;3,0;3,5;4,0 mm
• Laringoskop neonatus dengan blade ukuran 00, 0, dan 1 dilengkapi dengan fiber
optic
• Baterai dan lampu cadangan untuk laringoskop
• Stilet dan plester untuk fiksasi pipa endotrakea
Perangkat suction: • Kateter suction (ukuran 5, 6, 8, 10, 12 Fr)
• Alat suction dengan batas tekanan < 100 mmHg
• Suction pump
• Syringe pump
• Feeding Tube (8 Fr) dan spuit 20 mL untuk dekompresi oro-gastrik
• Sarung tangan steril, air steril untuk irigasi
Perangkat peman- • Stetoskop, monitor jantung, pulse oxymeter
tuan: • Alat pantau gula darah
• Blood gas analyzer portable
Peralatan infus • Kateter intravena (24, 26 G)
parenteral: • Spuit (2, 5, 10, 20, 50 mL)
• Spalk, dressing transparan atau micropore three way stopcock, set infus (diusa-
hakan kompatibel dengan syringe pump/ infusion pump
Obat-obatan • Kalsium glukonas 10%
• Epinefrin (1:10000) diisi dalam spuit, sodium bikarbonat
• Dopamin, Dobutamin, Morfin, Midazolam, Normal salin, Fenobarbital, Surfaktan,
Prostaglandin E1 (PGE1) / alprostadil®
Sumber: UKK Neonatologi Ikatan Dokter Anak Indonesia . Resusitasi Neonatus

Transportasi neonatus di Indonesia


Sampai saat ini transportasi neonatus di Indonesia belum terorganisir dengan
baik, masih dilakukan terkotak-kotak oleh mereka yang peduli atau yang
membutuhkan. Masih banyak keluarga atau tenaga medis yang kurang

141
Pemberian Transfusi Darah pada Anemia Berat

kompeten membawa sendiri pasiennya dengan kendaraan dan peralatan


yang kurang terstandarisasi. Rumah sakit rujukan seringkali menolak karena
memang pada kenyataanya tidak ada tempat tersisa untuk merawat pasien
tersebut. Banyak pasien yang meninggal atau hampir meninggal saat datang
di rumah sakit rujukan
Dalam hal mengantisipasi instabilitas suhu neonatus sakit saat dirujuk,
metode skin to skin contact atau metode kanguru merupakan pilihan yang sangat
tepat. Inkubator transpor selain mahal, kurang dapat meredam goncangan
saat diperjalanan. Metode kanguru sangat tepat digunakan untuk transpor
bayi > 1200 gram yang relatif stabil dan hanya memerlukan Continuous
Positive Airway Pressure (CPAP). Skin to skin contact diharapkan mampu
mempertahankan suhu tubuh neonatus relatif stabil selama di perjalanan.1
Gambar 1 memerlihatkan bagaimana melakuakan transpor neonatus dengan
CPAP dan metode kanguru.

Gambar (a) Gambar (b)

Gambar 1. Metode transportasi bayi baru lahir

(a) metode kontak kulit dengan kulit (metode kanguru)


(b) metode kanguru untuk menjamin suhu bayi tetap hangat di perjalanan

Simpulan
Transpor neonatus atau anak ke rumah sakit rujukan seringkali berisiko fatal
bila tidak dipersiapkan dengan matang. Kondisi neonatus atau anak sangat
berbeda dengan pasien dewasa. Untuk itulah transpor hanya dilakukan apabila
pasien akan mendapat manfaat yang lebih besar untuk kesembuhan maupun
keselamatannya di tempat rujukan. Tim transpor harus mampu menjembatani
komunikasi antara klinisi ditempat semula dengan klinisi di rumah sakit

142
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXVIII

rujukan. Komunikasi per telepon terjalin baik sebelum dirujuk maupun selama
transpor sampai tiba dengan selamat di tempat rujukan.
Tim transpor tidak pernah ditugaskan untuk memindahkan kematian
dari tempat semula ke rumah sakit rujukan. Tim transpor harus mampu
berkoordinasi secara sigap dan tanggap dengan semua pihak terkait dalam hal
penanganan pasien anak kritis, sakit berat, bahkan mengalami cedera. Atas
dasar itulah NETS, Newborn and Pediatrics Transpor Service dapat diartikan
sebagai networked emergency triage service, moving intensive care for kids.

Daftar pustaka
1. Mears M dan Chalmers S. Neonatal pre-transport stabilisation –caring for infants
the STABLE way. 2005;1:1.
2. Kumar PP, Kumar CD, Venkatlakshmi A. Long distance neonatal trasport—the
need of the hour. Indian Pediatr 2008;45:920-2.
3. Karlsen K. The S.T.A.B.L.E program, post-resuscitation / pre-transport
stabilization care of sick infants. Utah: March of Dimes; 2006.
4. Veronica RM, Gallo LL, Medina DR, Gutierrez MD, Mancilla JS, Amezcua MM,
Safe neonatal transport in the state of Jalisco: impact of the S.T.A.B.L.E.program
on morbidity and mortality. Bol Med Hosp Infant Mex 2011;68:31-35.
5. Barkemeyer BM. Critical Concepts NICU. [diakses pada: 24 Maret 2014].
Diunduh dari : URL: www.medschool.lsuhsc.edu.
6. NETS. About NETS. [online] [diakses pada: 24 Maret 2014]. Diunduh dari :
URL http://www.nets.org.au/About-NETS.aspx.
7. UKK Neonatologi. Stabilisasi dan Transportasi Pasca Resusitasi. Dalam:
Rohsiswatmo R dan Rundjan L, penyunting. Resusitasi neonatus. Jakarta: UKK
neonatologi IDAI; 2014.
8. Martin RJ dan Crowley MA. Recognition, Stabilization, and Transport of The
High-Risk Newborn. Dalam: Fanaroff AA dan Fanaroff JM, penyunting. Klaus
and Fanaroff’s care of the high risk neonate. Edisi ke-6. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2012.
9. Mancones GA. Stabilization and transport of the high-risk infant. Dalam: Taeusch
HW, Ballard RA, dan Gleason CA, penyunting. Avery’s diseases of the newborn.
Edisi ke-8. Missouri: Elsevier Saunders; 2004.
10. Noone D, Bowden A, Twomey A. National neonatal transport programme. Ir
Med J. 2011; 104 (8) : 232 – 4.
11. Karlsen KA, Trautman M, Douglas WP, Smith S. National Survey of Neonatal
Transport Teams in theUnited States. Pediatrics. 2011;128:685.
12. Barrentine MJ, Browne P, Simpson R, Spencer M, Grant JH, Guima EL. Core
Requirements and Recommended Guidelines for Designated Regional Perinatal
Centers. Maternal and Neonatal Transport. 2013;29.
13. G.A. Woodward, Zs. Somogyvári: The Hungarian (Budapest) neonatal
interfacility transport system:Insight into program development and results.
Pediatric Emergency Care 1997 13:290-293.

143
Pemberian Transfusi Darah pada Anemia Berat

14. Advanced Life Support Group. Practical aspects of paediatric and neonatal
transfer medicine. Dalam: John Wiley dan Sons (penyunting). Paediatric and
Neonatal Safe Transfer and Retrieval: The Practical Approach. Edisi ke-3. 2009.
15. Bouchu Jct, Lancker EV, Chritin V, Gueugniaud PY. Physical Stressors during
Neonatal Transport: Helicopter Compared with Ground Ambulance. Air Medical
Journal Associates. 2010; 30:3.

144

Anda mungkin juga menyukai