Zulfahmi
zulfahmi.prandes@gmail.com
I. PENDAHULUAN
Proses reformasi militer sudah berlangsung lebih dari satu dekade sejak
jatuhnya Presiden Suharto di tahun 1998. Dalam perjalanannya, proses
mereformasi TNI (ABRI) yang saat itu begitu kental nuansa politik, bisnis, dan
independensi-nya dari pemerintah dipenuhi dengan banyak dinamika, melibatkan
banyak aktor, dan telah menunjukkan baik keberhasilan maupun kegagalan di
beberapa bidang. Kendati demikian, hanya sedikit sekali literatur yang mengulas
secara sistematis capaian proses reformasi militer dalam sedekade terakhir dan
mengidentifikasi beberapa bidang kebijakan baru sebagai langkah ke depan.1
Tulisan ini berusaha menambah kekurangan dalam literatur dengan
melihat ke belakang, mengkaji capaian-capaian reformasi militer secara sistematis
dan memberikan berbagai pilihan-pilihan langkah ke depan. Tulisan ini akan
menunjukan bahwa selama berjalannya proses reformasi sektor kemanan, capaian-
capaian signifikan dalam reformasi TNI lebih terfokus pada persoalan peran
sosio-politik militer, legislasi pertahanan, perluasan agenda keamanan (hingga
reformasi Polri dan intelijen). Sementara itu, sebagian besar aspek-aspek
kebijakan personil, pendidikan dan pelatihan, ekonomi pertahanan, basis
teknologi dan inovasi, postur dan Tata Yudha (Orders of Battle) serta persoalan
doktrinal, operasional, dan kepangkatan masih hampir belum tersentuh. Padahal,
dalam skema transformasi pertahanan ideal yang dikembangkan berdasarkan
pengalaman negara-negara lain, persoalan-persoalan tersebut adalah langkah-
langkah penting yang tidak bisa dilompati begitu saja.2
1
Alexandra R. Wulan, ed. Satu Dekade Reformasi Militer Indonesia, Jakarta: Pacivis dan FES,
2008.
2
Kontras, Satu Dekade: Keberhasilan Reformasi TNI Terbebani Paradigma Orde Baru (1998-
2008), Jakarta: Kontras, 2008.
1
Sebagai tambahan, tulisan ini juga akan mengajukan argumen bahwa
sudah saatnya proses ‘reformasi militer’ dialihkan menjadi proses ‘transformasi
pertahanan’. Menjadi penting karena bila kita bicara ‘reformasi militer’, fokus kita
cenderung tertuju pada peran-peran sosio-politik dan kegiatan bisnis militer,
persoalan transparansi dan akuntablitas aktor sektor keamanan, serta supremasi
sipil dan hubungan sipil-militer demokratis berbasis hukum. Hal ini semua
merupakan “warisan” masa lalu agenda reformasi 1998. Sementara itu, proses
“transformasi pertahanan” dalam konteks Indonesia dapat diartikan sebagai
“perubahan paradigma dan institusional mengenai cara pandang militer terhadap
dirinya sendiri, bagaimana ia melatih dan mendidik anggotanya, bagaimana ia
memperlengkapi dirinya, dan bagaimana ia berniat untuk menjalankan tugasnya.”3
Selain itu, penggunaan kata ‘pertahanan’, dan bukan lagi ‘militer’, menyarankan
bahwa aktor-aktor yang terlibat dan isu-isu yang disentuh tidak murni militer tapi
juga melibatkan misalnya, proses akuisi di kementerian pertahanan, sumbangsih
kalangan universitas untuk meningkatkan inovasi pertahanan, atau pengawasan
komunitas pertahanan sipil.
Dengan kata lain, beralih dari “reformasi militer” (yang sering dipandang
sebagai reposisi dan refungsionalisasi TNI keluar dari peran dan pola piker dwi-
fungsi) menuju ke “transformasi pertahanan” (yang merombak sistem pendidikan
dan pelatihan, kinerja dan struktur institusi militer dan non-militer seperti
Kementerian Pertahanan) adalah langkah berikut dari evolusi proses pembentukan
sistem pertahanan yang tidak hanya sesuai dengan “alam demokratis”, tapi juga
efektif, efisien, dan tepat-guna untuk menghadapi rumitnya tantangan strategis
Indonesia ke depan.
Untuk menjelaskan argumen-argumen tersebut lebih lanjut, tulisan ini
akan dibagi ke dalam beberapa bagian. Pertama, penulis akan memulai dengan
peninjauan makna dari reformasi dan rasionalitas yang melatar belakanginya.
Kemudian interpretasi reformasi dalam sektor keamanan yang dilandasi legalitas
internasional, selanjutnya merupakan identifikasi sektor keamanan Indonesia
3
Laksmana, Evan A., “Defense and leaders transformation,” The Jakarta Post, 13 March 2010,
dapat diakses melalui https://www.thejakartapost.com/news/2010/05/12/defense-and-leaders-
transformation.html, diakses pada 18 Januari 2019.
2
selama masa Orde Baru dan masa Reformasi. Sebagai bagian akhirnya berupa
kesimpulan.
II. PEMBAHASAN
Reformasi
4
Kahar, Rahmawaty, "Tinjauan Politik Ekonomi Pembangunan dan Aspek Hukum Terhadap
Pembangunan PT. Semen Indonesi di Rembang Jawa Tengah, dalam "Ekonomi Politik
Pembangunan: Kajian Isu Ekonomi Politik Pembangunan di Indonesia", Sidoarjo: Uwais Inspirasi
Indonesia, 2018, hal. 64.
5
Surya negara, Ahmad Mansyur, Menemukan Sejarah, Cet IV, Bandung: Mizan, 1998, hal. 90.
3
mendorong atau menyebabkan lahirnya gerakan reformasi adalah kesulitan warga
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokok. Harga-harga sembilan bahan
pokok (sembako), seperti beras, terigu, minyak goreng, minyak tanah, gula, susu,
telur, ikan kering, dan garam mengalami kenaikan yang tinggi. Bahkan, warga
masyarakat harus antri untuk membeli sembako itu.
Sementara, situasi politik dan kondisi ekonomi Indonesia semakin tidak
menentu dan tidak terkendali. Harapan masyarakat akan perbaikan politik dan
ekonomi semakin jauh dari kenyataan. Keadaan itu menyebabkan masyarakat
Indonesia semakin kritis dan tidak percaya terhadap pemerintahan Orde Baru.
Dengan semangat reformasi, rakyat Indonesia menghendaki adanya pergantian
kepemimpinan nasional sebagai langkah awal. Pergantian kepemimpinan nasional
diharapkan dapat memperbaiki kehidupan politik, ekonomi, hukum, sosial, dan
budaya.6 Semua itu merupakan jalan menuju terwujudnya kehidupan yang aman,
tenteram, dan damai. Rakyat tidak mempermasalahkan siapa yang akan pemimpin
nasional, yang penting kehidupan yang adil dalam kemakmuran dan makmur
dalam keadilan dapat segera terwujud (cukup pangan, sandang, dan papan).
Namun demikian, rakyat Indonesia mengharapkan agar orang yang terpilih
menjadi pemimpin nasional adalah orang yang peduli terhadap kesulitan
masyarakat kecil dan krisis sosial.
6
Ibid., hal. 92.
4
atas lembaga-lembaga keamanan swasta (Private Military Companies, PMC dan
Private Security Companies, PSC).7
7
DCAF, Developing a Security Sector Reform: Concept for United Nations, 2006.
5
Sektor Keamanan Indonesia Pasca Orde Baru
6
Nasional (DPN) yang fungsinya merumuskan kebijakan-kebijakan
strategis bidang pertahanan.
ii. UU TNI no. 34 Tahun 2004 mengatur independensi TNI yang
antara lain mengatur tentang ketidakmandirian TNI dan
tersentralisasi, TNI tidak melakukan bisnis dan tidak berpolitik
praktis. TNI harus tunduk kepada Kementerian Pertahanan yang
berwenang membantu presiden dalam mengembangkan kebijakan
pertahanan negara secara umum dan dalam rangka mengambil
keputusan politik dalam kaitannya dengan fungsi pertahanan
negara untuk menegakkan kedaulatan dan keutuhan NKRI serta
keselamatan segenap warna negara dari ancaman bersenjata.
iii. Pemisahan peran dan fungsi ini berpotensi menimbulkan masalah,
diantaranya kebingungan dalam menangani kejahatan transnasional
dan potensi konfl ik antara POLRI dan TNI di lapangan. UU No. 2
tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
mengatur secara normatif bahwa polisi bertanggungjawab kepada
legislatif dan eksekutif, pasal 8 ayat 2 menyatakan bahwa
Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin oleh Kapolri,
yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggungjawab kepada
Presiden sesuai dengan peraturan perundangan. Ketentuan tersebut
memberikan dua implikasi: 1) menempatkan Kapolri sebagai
pejabat politik setingkat Menteri, dan 2) tidak ada pemisahan
pertanggungjawaban politik dan operasional.
7
keadilan bagi korban maupun keluarga korban4. Kondisi ini juga
berpotensi melahirkan impunitas bagi pelaku.
UU dan Inpres ini pun tidak memuat penanganan ada kemungkinan
penyelesaian konfl ik tidak menyeluruh dan tidak tuntas. Di samping itu,
peran serta masyarakat dalam UU Penanganan Konflik Sosial (PKS)
difokuskan pada pembiayaan, bantuan teknis, penyediaan kebutuhan dasar
minimal bagi korban konfl ik; dan/atau bantuan tenaga dan pikiran.
Undanga-undang ini tidak melibatkan masyarakat dalam penanganan konfl
ik sosial pada tahap membangun sistem peringatan dan tanggap dini, serta
sistem pemulihan yang bertujuan agar konflik sosial tidak berulang.
Meskipun demikian, Pasal 47 UU PKS tentang Pemantauan kinerja Satuan
Tugas Penyelesaian Konflik mencantumkan unsur pemerintah dan
masyarakat serta memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-
kurangnya 30%, sebagai implementasi Rencana Aksi Nasional tentang
Pencegahan, Perlindungan dan Pemberdayaan perempuan di Daerah Konfl
ik (RAN P4DK), merujuk pada paragraf 5 Resolusi PBB 1325 tentang
Perempuan, Perdamaian dan Keamanan.
c) Doktrinal
8
Alexandra R. Wulan, ed. Satu Dekade Reformasi Militer Indonesia, Jakarta: Pacivis dan FES,
2008, hal. 82.
8
Doktrin Pertahanan Doktrin ABRI “Tjatur Doktrin TNI “Tri Dharma
Rakyat Total (Sejak Dharma Eka Karma” Eka Karma” (Sejak 2007)
1945) (Sejak 1966)
Fungsi TNI sebagai alat Fungsi ABRI sebagai Fungsi TNI sebagai
perjuangan mencapai dan kekuatan Hankam : kekuatan pertahanan:
mempertahankan
kemerdekaan dan 1. Penindak dan 1. Penangkal, kekuatan
kesatuan wilayah penyanggah awal setiap TNI harus mampu
(periode revolusi ancaman musuh dari mewujudkan daya
kemerdekaan) dalam maupun dari luar tangkal terhadap setiap
negeri. bentuk ancaman militer
Fungsi TNI sebagai alat 2. Pengaman, penertib, dan non militer dari
perjuangan melawan dan penyelamat dalam dan luar negeri
kolonialisme dan masyarakat serta penegak terhadap kedaulatan,
imperialisme (periode hukum negara. keutuhan wilayah dan
demokrasi terpimpin) 3. Pelatih dan keselamatan bangsa.
pembimbing rakyat bagi 2. Penindak, kekuatan
penyelenggaraan tugas TNI harus mampu
Hankamneg dalam digerakkan untuk
mewujudkan kemampuan menghancurkan kekuatan
dan kekuatan perlawanan musuh yang mengancam
rakyat semesta terhadap kedaulatan,
4. Pembina kemampuan keutuhan wilayah
dan kekuatan Hankamneg 3. dan keselamatan
dalam pembinaan bangsa.
Hankamneg dengan 4. Pemulih, kekuatan TNI
memelihara dan bersama dengan instansi
meningkatkan pemerintah membantu
kemampuan dan fungsi pemerintah untuk
kekuatan Hankam di mengembalikan kondisi
darat, laut dan udara serta keamanan negara
kamtibmas keamanan akibat
kekacauan perang
Sumber : Andi Widjajanto, “Evolusi Doktrin Pertahanan Indonesia, 1945 – 1998,”
Prisma, Vol. 29, No. 1 (2010): hal. 3-20; “Validasi organisasi dan revisi doktrin telah
selesai,” Situs Tentara Nasional Indonesia, dapat diakses melalui
http://www.tni.mil.id/news.php?q= dtl&id=113012006113140, diakses pada 16 Januari
2019.
9
langkah maju dengan dihapuskannya peranan sos-pol TNI. Selain itu,
diterbitkannya dua Buku Putih Pertahanan tahun 2003 dan 2008
merupakan langkah maju untuk makin mendorong kultur keterbukaan dan
meningkatkan usaha-usaha pembangunan rasa percaya di kalangan
internasional (confidence building measures).
Akhirnya, disahkannya tiga dokumen strategis pendamping Buku
Putih Pertahanan 2008 (Postur Pertahanan Negara, Doktrin Pertahanan
Negara, Analisa Lingkungan Strategis) juga patut diapresiasi sebagai
langkah sistematisasi dan institusionalisasi reformasi doktrinal. Dalam hal
ini, perubahan-perubahan awal ini menjadi penting bila kita letakkan
dalam konteks pembangunan sistem pertahanan dan keamanan nasional.
9
Alexandra, Lina, “Telaah Regulasi TNI: Beberapa Agenda Tersisa,” dalam Sistem Keamanan
Nasional Indonesia: Aktor, Regulasi, dan Mekanisme Koordinasi, eds. Dwi Ardhanariswari dan
Yandry K. Kasim, Jakarta: Pacivis dan FES, 2008, hal. 10-27.
10
3) pembagian tugas pokok TNI melalui Operasi Militer Perang dan Operasi
Militer Selain Perang, yang masih membuka jendela masuknya TNI ke
ranah persoalan dalam negeri dan ancaman internal non-militer.
Masih terdapat beberapa kekurangan yang perlu kita hadapi dalam proses
reformasi sektor keamanan di Indonesia. Dari sisi aktor, salah satu penyebab
utamanya bukan hanya ketidakmampuan (atau kurangnya political will) dari pihak
pemerintah dan DPR, tapi juga kurang berkembangnya komunitas pertahanan sipil
(civilian defense community)—sekelompok orang dengan latar belakang
pendidikan teknis ilmu kemiliteran yang fokus pada kebijakan-kebijakan
pertahanan dalam arti sempit—sebagai “jembatan penengah” antara tuntutan-
tuntutan publik dan CSOs dengan kalangan pemerintah dan DPR.10
Selain itu, paradigma “lama” kita cenderung berpikir bahwa kekurangan-
kekurangan tersebut merupakan tanggung jawab pemerintah (Kemhan) dan TNI.
Padahal, di alam demokrasi (dan di Indonesia yang menganut Sishanta), tanggung
jawab juga ada di DPR dan komunitas masyarakat sipil.11 Sayangnya, baik DPR
maupun CSO cenderung berjalan di tempat. DPR di satu sisi belum dapat
sepenuhnya menjalankan fungsi kontrol dan oversight yang jelas dan objektif,
terutama karena masih lemahnya kemampuang anggota DPR dalam persoalan
pertahanan dan masih kentalnya ke-engganan mereka untuk “menyinggung” TNI
yang dianggap masih berpotensi mempengaruhi dinamika politik di lapangan.
Sementara itu, kalangan CSO sendiri juga cenderung masih mengusung “bendera”
reformasi 1998 yang mengedepankan demokrasi dan HAM tanpa mampu
memberikan alternatifalternatif kebijakan terkait operasionalisasi militer.
Akibatnya, terjadi “lompatan pilar” dari proses penyelesaian persoalan
politik reformasi militer menuju ke ranah teknologi tanpa menyelesaikan pilar-
pilar transformasi institusional dan intelektual dan kultural sebelumnya. Hal ini
menyebabkan kebijakan-kebijakan personil dan sistem pendidikan dan pelatihan
TNI misalnya, menjadi tidak tersentuh. Padahal, penambahan anggaran berapapun
10
Laksmana, Evan A., “Post-Suharto Indonesia: Can a Military Coup Happen?” RSIS Commentary
No. 120, 19 November 2008, dapat diakses melalui
http://www.rsis.edu.sg/publications/Perspective/RSIS1202008.pdf, diakses pada 15 Januari 2019.
11
Laksmana, Evan A., “Re-interpreting the Total Defense System”, The Jakarta Post, 19 Mei 2010,
dapat diakses melalui https://www.thejakartapost.com/news/2010/05/19/reinterpreting-total-
defense-system.html, diakses pada 18 Januari 2019.
11
dan pembelian alutsista secanggih apapun tidak akan berguna dan sustainable
tanpa peningkatan kualitas personil yang mengawaki dan merawatnya. Absennya
faktor-faktor “humanis” dan tingginya faktor “material”, seperti misalnya terkait
kebijakan pensiun, tunjangan kesehatan dan pendidikan, persoalan kepangkatan
dan penugasan, menyebabkan arah transformasi teknologi pertahanan kita
menjadi “setengah jadi.”12
Selain itu, lemahnya sumber daya dan dukungan terhadap fungsi litbang
juga menyebabkan terhambatnya kapabilitas inovasi lokal. Sementara itu, bila kita
hanya fokus pada revitalisasi industri Persoalan lalu muncul ketika sumber daya
masyarakat sipil, selaku pengawal proses reformasi sektor keamanan, pada
dasarnya terbatas. Terutama dari segi kemampuan teknis dan pembuataan
kebijakan. Akibat “bergesernya” fokus masyarakat sipil ke persoalan-persoalan di
luar tubuh militer, proses reformasi militer yang notabene belum tuntas, menjadi
terbengkalai. Konsekuensinya, kebijakan-kebijakan reformasi TNI secara
keseluruhan mulai muncul dari dalam tubuh TNI sendiri dengan dibantu segelintir
orang yang masih fokus pada persoalan pertahanan (dalam arti sempit).
III. PENUTUP
Kesimpulan
12
Laksmana, Evan A., “Defense reform 2010-14: Men over materiel?”, The Jakarta Post, 3 Januari
2010, dapat diakses melalui https://www.thejakartapost.com/news/2010/01/03/defense-
reforms-201014-men-over-materiel.html, diakses pada 18 Januari 2019.
12
menerima asumsi dan kesimpulan di poin sebelumnya, kita harus memulai
memikirkan proses dan agenda perubahan berikutnya.
Dalam hal ini, agenda transformasi pertahanan sebagai proses merubah
berbagai paradigma mendasar bagaimana militer memandang dirinya sendiri,
bagaimana ia harus berlatih, dan bagaimana ia harus menjalankan tugas—dan
tidak hanya menyentuh TNI saja, tapi juga pengguatan komunitas sipil pertahanan
dan DPR dirasa sebagai jawaban. Ketiga, model transformasi pertahanan di atas
sebenarnya sudah cukup sebagai kerangka awal untuk memulai memetakan
berbagai area kebijakan perubahan dan perbaikan TNI sebagai langkah
berikutnya. Sayangnya, tidak adanya visi yang jelas dari pemerintah (terutama
Presiden selaku Panglima tertinggi) menyebabkan TNI harus “mendorong sendiri”
proses kebijakan reformasi militer menuju transformasi pertahanan.
Padahal, tidak hanya DPR masih dirasa kurang mampu mengawal proses
ini, tapi keterbatasan kapabilitas (baik dari segi kualitas maupun kuantitas) dari
kalangan masyarakat sipil malah mengurangi pengawasan publik dan kurang
dapat membantu TNI dalam proses ini. Akhirnya, proses transformasi pertahanan
harus dipandang sebagai “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” dengan
konsekuensi bahwa kalangan sipil, baik pemerintah, DPR, maupun komunitas
pertahanan sipil, juga harus berbesar hati untuk menerima kritikan dan berbenah
diri sebelum mendorong dan mengawal proses transformasi TNI.
Reformasi sektor keamanan (SSR) di Indonesia masih pada tahap
reformasi generasi pertama dan belum masuk pada generasi kedua di mana
tingkah laku institusi dan anggota TNI, Polri dan Intelijens sudah benar-benar
sesuai dengan kerangkat kerja demokratik. Semua para pemangku kepentingan
menyadari bahwa reformasi sektor keamanan merupakan suatu keniscayaan agar
ada kesesuaian langkah antara reformasi politik dan reformasi sektor keamanan.
Ini semua ditujukan agar Indonesia menjadi negara demokrasi yang normal.
13
DAFTAR PUSTAKA
BUKU :
JURNAL :
14
SUMBER ONLINE :
15