Anda di halaman 1dari 28

"Anda akan menemukan keasyikan bermain puzzle, tentunya yang tak

terlalu rumit, apalagi puzzle berisi pembunuhan, intrik sosial, dan


latar belakang sejarah dan peradaban Islam, yang diramu secara
romantis dengan cinta, seks, dan drama. My Name is Red menjadi
novel tebal yang asyik dibaca lebih dari sekali, hanya untuk menguji,
seobjektif apa kita meningkahi argumentasi."
PIKIRAN RAKYAT

"Reputasi internasional Pamuk makin mencorong ketika ia


memublikasikan Benim Adim Kirmizi (My Name is Red) pada 2000.
Novel ini campuran misteri, roman, dan teka-teki filosofis dengan
setting Istanbul abad ke-16."
KORAN TEMPO

"My Name is Red mendapat pujian dari para pengamat sastra dunia.
Novel-novel Pamuk banyak mengemukakan pertikaian antara
kelompok muslim dan sekuler yang hidup di Turki, yang ditulis
dengan cukup teliti, termasuk lokasi kejadian."
MEDIA INDONESIA

"Fenomena Estetik Orhan Pamuk memang pantas mendapat Hadiah


Nobel. My Name is Red memang hebat. Beda dengan Eco yang hanya
punya satu kisah, yaitu kisah detektif, Pamuk menampilkan kisah
cinta, ditambah lagi kisah penggalan sejarah Turki di abad silamnya
serta diskusi tentang estetika seni hias buku."
IKRANEGARA

"Yang puitik, yang 'aneh', yang tak harus seratus persen dipahami,
memang hadir dalam prosa Pamuk yang bisa halus, bisa kocak,
bisa cemerlang, dan bisa mengejutkan itu. Dalam My Name is Red,
pelbagai karakter bicara dalam sebuah cerita pembunuhan
pada abad ke-16—termasuk si korban ('Aku sebuah mayat'),
si pembunuh yang tak bernama, dan seekor anjing. Dan dari gaya
yang mula-mula realistis kita langsung masuk ke kisah si Hitam
yang melakukan apa saja dalam waktu sepekan: menyeberangi
Bosphorus, cerai lewat pengadilan, kawin secara meriah,
memandikan mayat, dan potong rambut . . . "
GOENAWAN MUHAMAD
menghidangkan kisah-kisah pilihan, fiksi maupun
nonfiksi, yang cerdas sekaligus melipur
sebuah novel
eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.
nurulkariem@yahoo.com

Hanya Menerbitkan Buku


© Orhan Pamuk, 2001

Diferjemahkan dari My Name is Red (terjemahan Erdao M.


Goknar dari Benim Adim Kirmizi, 1 998), karangan Orhan Pamuk,
terbitan Faber and Faber, London, 2002

Hak terjemahan Indonesia pada Serambi


Dilarang mereproduksi atau memperbanyak seluruh maupun
sebagian dari buku ini dalam bentuk atau cara apa pun
tanpa izin tertulis dari penerbit

Penerjemah: Atta Verin


Penyunting: Anton Kurnia
Perwajah Isi: Fadly & Nana

PT SERAMBI ILMU SEMESTA


Anggota IKAPI
Jln. Kemang Timur Raya No. 16, Jakarta 12730
www.serambi.co.id; info@serambi.co:id

Cetakan II: Desember 2006


Cetakan I: Desember 2006

ISBN: 979-1112-40-1

Dicetak oleh Percetakan PT SUN, Jakarta


Isi di luar tanggung jawab Percetakan
Orang yang buta dan orang yang melihat tidaklah sama.
(Fatir: 19)

Dan kepunyaan Allahlah Timur dan Barat.


(Al-Baqarah: 115)
TENTANG PENGARANG

ORHAN PAMUK lahir pada 7 Juni 1952 di


Istanbul, Turki. la adalah pengarang tujuh novel.
Karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam
lebih dari 40 bahasa, lima di antaranya telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. The
White Castle (Beyaz Kale, 1985) memenangkan
Independent Award for Foreign Fiction pada
1990, dan penerbitan The New Life (Yeni Hayat,
1995—) menyebabkan sebuah sensasi di tanah
airnya, sekaligus menjadi buku yang paling cepat
terjual habis dalam sejarah Turki. My Name is
Red (Benim Adim Kirmizi, 1998—Namaku Merah
Kirmizi) telah terjual ratusan ribu eksemplar.
Novel ini meraih berbagai penghargaan, antara
lain Prix du Meilleur Livre Etranger (Prancis,
2002), Premio Grinzane Cavour (Italia, 2002),
dan International IMPAC Dublin Literary Award
(Irlandia, 2003). Pamuk juga merupakan peraih
Peace Prize of the German Book Trade (Jerman,
2005) dan Prix Medicis Etranger (Prancis, 2005)
untuk novel terakhirnya, Snow (Kar, 2002—Salju).
Kini ia menetap di Istanbul.
KISAH MEMUKAU TENTANG BENTURAN
DUA PERADABAN
Catatan Penyunting

Benim Adim Kirmizi (1998)—judul asli buku ini—tak pelak


merupakan sebuah novel yang mengukuhkan nama pengarang-
nya, Orhan Pamuk, sebagai salah satu novelis terbaik dunia saat
ini. Novel ini secara cemerlang menggabungkan teka-teki misteri,
kisah cinta, dan renungan filsafati yang berlatar masa kekuasaan
Sultan Murat III di Kesultanan Utsmaniyah dalam sembilan hari
musim salju 1591, sekaligus mengajak para pembacanya untuk
mengalami ketegangan antara Timur dan Barat dari perspektif
yang sangat memukau.
Kisah indah dan memikat ini bermula di Istanbul—simbol
tonggak kejayaan Islam yang terakhir—di ujung abad keenam
belas, saat sang Sultan secara diam-diam menugaskan pem-
buatan sebuah buku tak biasa untuk merayakan kejayaannya,
dihiasi ilustrasi para seniman terkemuka saat itu. Ketika seorang
seniman yang mengerjakan buku itu dibunuh secara misterius,
seorang lelaki muram dengan masa silam sekelam namanya
ditugasi untuk mengungkap misteri pembunuhan yang pada
akhirnya menguak jejak benturan peradaban Timur (Turki-Islam)
dan Barat (Eropa-Kristen)—dua cara pandang dunia berbeda
yang pada akhirnya memicu konflik tak berkesudahan, bahkan
hingga saat ini.
Dalam sebuah wawancara tentang novel yang ditulisnya se-
lama enam tahun ini, Pamuk menegaskan pandangannya tentang

9
ORHAN PAMUK

betapa perbedaan hendaknya tidak dijadikan alasan untuk ber-


tikai dan saling membunuh, "Dua cara yang berbeda dalam
melihat dunia dan bercerita ini tentu saja berkaitan dengan
kebudayaan kita, sejarah kita, dan apa yang kini secara luas
disebut identitas. Seberapa dalam rriereka terlibat dalam konflik?
Dalam novel saya, mereka bahkan saling membunuh karena
pertentangan antara Timur dan Barat ini. Namun, tentu saja,
Saya berharap para pembaca menyadari bahwa saya tidak percaya
pada konflik ini. Karya seni yang baik muncul dari perpaduan
beragam hal yang berasal dari aneka akar dan budaya, dan
semoga novel ini mampu menggambarkannya."
Benim Adim Kirmizi (diterjemahkan ke bahasa Inggris se-
bagai My Name Is Red pada 2001, dan kini diterjemahkan ke
bahasa Indonesia oleh Atta Verin, seorang wartawati dan penulis,
dengan judul Namaku Merah Kirmizi) paling tidak telah diter-
jemahkan ke dalam 25 bahasa dan memenangkan sejumlah ha-
diah sastra internasional terkemuka, antara lain Prix du Meilleur
Livre Etranger 2002 (Prancis), Premio Grinzane Cavour 2002
(Italia), dan International IMPAC Dublin Literary Award 2003
(Irlandia).
Ketika ditanya, apakah pengaruh kemenangan hadiah IMPAC
(nilainya sekitar 1,2 miliar rupiah) itu atas kehidupan dan karya-
nya, dengan santai Pamuk yang telah berkali-kali dicalonkan
sebagai pemenang Hadiah Nobel Sastra menjawab, "Tiada yang
berubah dalam hidup saya karena saya bekerja sepanjang waktu.
Saya telah menghabiskan 30 tahun untuk menulis karya sastra.
Selama 10 tahun pertama, saya khawatir soal uang dan tak
seorang pun bertanya berapa banyak uang yang saya hasilkan.
Dalam 10 tahun kedua, saya menghabiskan banyak uang dan
tak seorang pun bertanya tentang hal itu. Kini, saya telah meng-
habiskan 10 tahun terakhir dan setiap orang ingin tahu bagai-
mana saya menggunakan uang itu ..."

10
My Name is Red

Siapakah sesungguhnya Orhan Pamuk? la dilahirkan sebagai


Ferit Orhan Pamuk di Istanbul pada 7 Juni 1952 dari sebuah
keluarga berada—ayahnya adalah CEO pertama IBM Turki.
Pamuk menghabiskan sebagian besar hidupnya di -Istanbul,
diselingi masa tiga tahun di New York saat ia menjadi dosen
tamu di Universitas Columbia dari 1985 hingga 1988. Setelah
sempat kuliah arsitektur selama tiga tahun di Universitas Teknik
Istanbul karena tekanan keluarganya yang ingin agar ia menjadi
insinyur, ia memutuskan keluar untuk menjadi penulis penuh
waktu dan berkonsentrasi menulis novel pertamanya—walaupun
kemudian ia menyelesaikan kuliahnya di jurusan jurnalistik
Universitas Istanbul pada 1977. Pamuk pernah menikah dengan
Aylin Turegen pada 1982, tetapi mereka bercerai sembilan belas
tahun kemudian. Keduanya memiliki seorang anak perempuan,
Ruya (untuknya novel Benim Adim Kirmizi dipersembahkan).
Pamuk yang awalnya lebih tertarik pada seni rupa mulai
menulis secara serius pada 1974. Novel pertamanya, Karanlik ve
Isik (Gelap dan Terang) memenangi sayembara penulisan novel
Milliyet Press 1979. Novel ini kemudian diterbitkan dengan judul
Cevdet Bey ve Ogullari (Tuan Cevdet dan Anak-anaknya) pada
1982, dan memenangkan Hadiah Sastra Orhan Kemal pada 1983.
Novel ini berkisah tentang tiga generasi sebuah keluarga Istanbul
kaya yang hidup di Nisantasi, sebuah kawasan makmur di Istan-
bul tempat Pamuk dibesarkan.
Pilihan tepat atas jalan hidupnya ditandai dengan sejumlah
penghargaan yang diraih Pamuk untuk karya-karya awalnya,
termasuk Hadiah Madarali 1984 untuk novel keduanya Sessiz
Ev (Rumah yang Sunyi) dan Prix de la Decouverte Europ£enne
1991 untuk terjemahan bahasa Prancis novel ini. Novel historis-
nya, Beyaz Kale (Kastil Putih, 1985—diterjemahkan ke bahasa
Inggris sebagai White Castle pada 1990), memenangkan Inde-
pendent Foreign Fiction Prize di Inggris pada 1990 dan mem-

11
ORHAN PAMUK

perluas reputasinya di luar negeri. The New York Times Book


Review yang berwibawa itu bahkan menulis tentang Pamuk
dengan pujian setinggi langit, "Bintang baru telah terbit di
Timur: Orhan Pamuk, seorang penulis Turki."
Novel Pamuk berikutnya, Kara Kitap (Buku Hitam, 1990),
menjadi salah satu bacaan paling kontroversial dalam sastra
Turki karena kompleksitas dan kekayaannya. Pada 1992, ia me-
nulis naskah untuk film Gizli Yuz (Wajah Rahasia) berdasarkan
novel Kara Kitap yang disutradarai oleh sineas Turki terkemuka,
Omer Kavur. Novel keempatnya, Yeni Hayat (Hidup Baru), me-
nimbulkan sensasi di Turki saat terbit pada 1995 dan sempat
menjadi buku terlaris dalam sejarah negeri itu. Reputasi Pamuk
kian melambung seiring terbitnya novel Benim Adim Kirmizi
ini pada 1998.
Novel paling mutakhir Pamuk adalah Kar (Salju, 2002—
diterjemahkan ke bahasa Inggris sebagai Snow, 2004), yang mem-
bahas konflik antara Islam dan Barat di Turki modern. The
New York Times mencatat Snow sebagai salah satu dari Sepuluh
Buku Terbaik 2004. Sementara itu, terjemahan bahasa Prancis
novel ini, Neige, meraih Prix Medicis 2005. Pamuk juga me-
nerbitkan karya nonfiksi, antara lain sebuah catatan perjalanan,
Istanbul—Hatiralar ve Sehir (Istanbul—Kenangan dan Kota,
2003).
Karya-karya Pamuk umumnya bercirikan kegamangan atau
hilangnya identitas yang sebagian ditimbulkan oleh benturan
antara nilai-nilai Eropa dan Islam. Karya-karyanya kerap meng-
ganggu dan menggelisahkan, dengan alur yang rumit dan me-
mikat, serta penokohan yang kuat.
Di negerinya sendiri yang penduduknya mayoritas muslim,
ia dianggap pemberontak karena menentang fatwa hukuman
mati terhadap Salman Rushdie dan membela hak-hak etnis mi-
noritas Kurdi. Ia juga bicara lantang tentang hak-hak asasi

12
My Name is Red

manusia, hak-hak perempuan, reformasi demokratis, dan isu-


isu lingkungan hidup.
Akibat keberaniannya dalam menyuarakan kebenaran walau-
pun getir, pada 2005 pemerintah Turki menjeratnya dengan
tuduhan kriminal setelah ia membuat pernyataan keras dalam
wawancara dengan Das Magazin, sebuah majalah terbitan Swiss
pada Februari 2005. Dalam wawancara itu Pamuk menyatakan,
"Tiga puluh ribu orang Kurdi dan sejuta orang Armenia di-
bunuh di negeri ini dan tak seorang pun yang berani berbicara
tentang hal ini, kecuali saya." Bila dinyatakan bersalah dalam
sidang pengadilan, Pamuk bisa dipenjarakan hingga tiga tahun.
Pada Oktober 2005, Orhan Pamuk memenangkan Hadiah
Perdamaian dalam Pameran Buku Jerman untuk karya-karya
sastranya yang dianggap berhasil mengemukakan konflik nilai
antara peradaban Eropa dan Turki-Islam. Ini adalah hadiah buku
paling bergengsi di Jerman. Walaupun tengah menghadapi
ancaman serius di negerinya sendiri, dalam pidato yang di-
sampaikannya pada upacara pemberian hadiah itu, Pamuk mene-
gaskan kembali kesaksiannya, "Saya ulangi, saya katakan dengan
jelas bahwa sejuta orang Armenia dan tiga puluh ribu orang
Kurdi telah dibunuh di Turki."
Tuduhan dan ancaman terhadap Pamuk mengundang reaksi
internasional. Pada 1 Desember 2005, Amnesti Internasional
menyerukan agar Pamuk dibebaskan. Dalam bulan itu juga,
delapan pengarang terkemuka dunia—Jose Saramago (Portugal),
Gabriel Garcia Marquez (Kolombia), Gunter Grass (Jerman),
Umberto Eco (Italia), Carlos Fuentes (Meksiko), Juan Goytisolo
(Spanyol), John Updike (Amerika Serikat), dan Mario Vargas
Llosa (Peru)—mengumumkan pernyataan bersama yang menge-
cam tuduhan-tuduhan terhadap Pamuk sebagai pelanggaran atas
hak-hak asasi manusia.

13
ORHAN PAMUK

Namun, ironisnya, di saat yang sama sebagian rekan se-


bangsanya justru menyerang Pamuk karena ia dianggap terlalu
memusatkan kritiknya terhadap "Turki dan orang Turki", tetapi
tidak bersuara keras terhadap pemerintah-pemerintah lain yang
juga berbuat kejahatan serupa—baik di masa lalu maupun di
masa kini. Selain itu, sebagian pengamat mencurigai pernyataan
kerasnya itu hanyalah siasat agar ia memenangkan Hadiah Nobel
Sastra 2005 yang kemudian dianugerahkan kepada sastrawan
Inggris, Harold Pinter.
Terlepas dari segala kontroversi yang melingkupi penulisnya,
bagi khalayak pembaca di Indonesia, novel ini tentu merupakan
sebuah bacaan bermutu yang layak disimak. Melalui karya ce-
merlang yang diramu dengan intrik politik, dongeng klasik, dan
kisah cinta bercabang yang getir ini, Orhan Pamuk membukti-
kan diri sebagai salah satu sastrawan terkemuka dunia masa
kini.

Salam dan selamat membaca.

Anton Kurnia

14
Untuk Ruya
KINI AKU hanyalah sesosok mayat, sesosok tubuh di
dasar sebuah sumur. Walaupun sudah lama sekali aku
mengembuskan napas terakhirku dan jantungku telah
berhenti berdetak, tak seorang pun tahu apa yang terjadi pada-
ku, selain pembunuh keji itu. Sementara bajingan itu, ia merasa-
kan detak nadiku dan mendengarkan desah napasku untuk me-
mastikan apakah aku sudah mati. Setelah itu, ia menendang
bagian depan tubuhku, menyeretku ke mulut sumur, mengang-
kat tubuhku, dan menjatuhkannya ke dalam sumur. Begitu jatuh,
kepalaku, yang telah ia hantam dengan sebongkah batu, pecah
terbelah. Wajahku, keningku, dan kedua pipiku hancur, tulang-
tulangku berantakan, dan mulutku penuh darah.
Selama hampir empat hari aku menghilang: Istri dan anak-
anakku pasti mencari-cariku; putriku menangis habis-habisan,
dan dia pasti akan memandangi gerbang halaman rumah de-
ngan cemas. Ya, aku tahu mereka semua akan berada di jendela,
mengharapkan kepulanganku.
Tetapi, apakah mereka sungguh-sungguh menantiku? Aku
bahkan tidak terlalu yakin ten tang hal itu. Mungkin saja mereka
sudah mulai terbiasa dengan ketiadaanku—betapa menyedihkan!
Karena di sini, di sisi lain, seseorang merasakan kehidupan

17
ORHAN PAMUK

terdahulunya terus bertahan. Sebelum aku lahir, ada suatu masa


yang tak terbatas, dan setelah aku mati, terbentang masa yang
tiada terhingga. Tak pernah kupikirkan sebelumnya: Aku telah
menjalani kehidupan yang gemilang di antara dua kegelapan
yang abadi.
Aku sangat bahagia. Aku sadar sekarang bahwa aku pernah
bahagia. Aku membuat hiasan-hiasan terbaik di dalam bengkel
kerja Sultan kami. Tak seorang pun mampu menandingi ke-
ahlianku. Melalui pekerjaan yang kulakukan secara pribadi, aku
menghasilkan sembilan ratus keping rak sebulan yang hanya
membuat semua ini semakin berat untuk kutanggung.
Aku bertanggung jawab melukisi dan menghiasi buku-buku.*
Aku menghiasi pinggiran halamannya, mewarnai ujung-ujungnya
dengan corak-corak dedaunan, kuntum-kuntum mawar, bebu-
ngaan, dan burung-burung yang paling tampak hidup. Aku
melukis awan bergaya Cina, sekelompok pepohonan cemara yang
lebat, dan hutan berwarna-warni yang menyembunyikan kijang,
perahu, para sultan, pepohonan, istana-istana, kuda, dan para
pemburu. Waktu aku masih muda, aku menghiasi piring, atau
bagian belakang cermin, atau sebuah meja, atau kerap kali
langit-langit atau seluruh bagian rumah megah bangsawan
Bosphorus**, atau bahkan hanya menggambari sebuah sendok
kayu. Di tahun-tahun berikutnya, aku hanya berkarya di atas
lembaran-lembaran manuskrip, karena Sultan kami membayar-

*Pada sekitar abad keenam belas itu para penguasa kerap menugaskan
para seniman terkemuka untuk menghiasi buku-buku pesanan istana dengan
dekorasi berukuran kecil pada pinggiran buku dan memberi ilustrasi pada
manuskrip-manuskrip cerita. Para seniman yang masing-masing memiliki ke-
ahlian khusus ini disebut miniaturis, iluminator, dan ilustrator.
**Para bangsawan Turki yang tinggal di sekitar Selat Bosphorus, sebuah
selat yang menghubungkan Laut Hitam dan Laut Marmara dan memisahkan
daratan Eropa dengan benua Asia. Dekat ujung sebelah selatan selat sepanjang
31 km itu terdapat Golden Horn, pelabuhan Istanbul.

18
My Name is Red

nya dengan sangat dermawan. Tak bisa kukatakan bahwa hal


itu tidak penting lagi sekarang. Kau bisa menakar nilai uang
bahkan setelah kau mati.
Setelah mendengar keajaiban suaraku, kau mungkin akan
berpikir, "Siapa yang peduli pada yang kauperoleh saat kau
masih hidup? Katakan padaku apa yang kaulihat. Benarkah ada
kehidupan setelah mati? Di manakah sukmamu? Bagaimana
dengan surga dan neraka? Bagaimana rasanya mati? Apakah kau
merasa sakit?" Kau benar, mereka yang masih hidup sangat
penasaran mengenai kehidupan sesudah mati. Mungkin kau
pernah mendengar kisah tentang seorang lelaki yang dikuasai
oleh keingintahuannya sehingga ia menjelajah di antara para
serdadu di medan perang. Ia mencari orang yang sudah mati
yang hidup kembali di antara orang-orang terluka yang sedang
mencOba bertahan hidup di kubangan darah, seorang serdadu
yang bisa menceritakan padanya tentang rahasia-rahasia dunia
lain. Namun, salah seorang tentara Timurleng*, yang meng-
anggap si pencari itu sebagai musuh, membelah tubuhnya men-
jadi dua dengan satu ayunan lembut pedang scimitar** miliknya,
membuat laki-laki itu menyimpulkan bahwa di kehidupan sete-
lah mati manusia terbelah menjadi dua.
Omong kosong! Justru sebaliknya, aku bahkan bisa mengata-
kan bahwa jiwa-jiwa yang terbagi dalam kehidupan berpadu
dalam alam kubur. Kebalikan dari pernyataan orang-orang kafir
pendosa yang telah terbuai rayuan Iblis, syukurlah, ternyata

*Timurleng (1336-1405), atau Tamerlane bagi lidah orang Barat, seorang


penguasa dan penakluk bangsa Turki kelahiran Samarkand—kota tertua di
Asia Tengah yang terletak di sebuah lembah di jantung Uzbekistan—yang
juga masih keturunan bangsa Mongol. Ia merupakan salah seorang penglima
militer terbesar sepanjang sejarah yang pernah menguasai India hingga Laut
Tengah.
**Pedang khas Turki, dengan bentuk yang agak melengkung dan melebar
di bagian ujungnya.

19
ORHAN PAMUK

kehidupan setelah mati itu memang ada, dan buktinya aku kini
sedang berbicara padamu dari sini. Aku sudah mati, tetapi se-
perti yang bisa kaukatakan, aku belum sirna. Harus kuakui,
bahwa aku memang belum menyusuri sungai-sungai yang mengalir
di tepi istana-istana surga yang terbuat dari perak dan emas,
pepohonan berdaun lebar yang menjuntaikan buah-buah prem,
serta perawan-perawan jelita, sebagaimana yang disebutkan di
dalam Alquran—meskipun aku ingat dengan baik, betapa sering
dan bersemangatnya aku membuat lukisan bidadari-bidadari
bermata lebar yang dikisahkan dalam surat "Al-Waqi'ah."* Di
sana juga tidak ada jejak tentang sungai-sungai susu, anggur,
air segar, dan madu, yang diceritakan dengan sangat indah,
bukan di dalam Alquran, melainkan oleh para pengkhayal cerdas
seperti Ibnu Arabi. Namun, aku sama sekali tidak berniat meng-
goda iman mereka yang hidup lurus dalam melewati harapan-
harapan dan pandangan hidupnya tentang kehidupan setelah
mati. Maka, izinkan aku menyatakan bahwa semua yang kulihat
hanya berkaitan dengan keadaan pribadiku sendiri. Orang yang
beriman meskipun hanya memiliki sedikit pengetahuan tentang
kehidupan setelah mati, akan tahu bahwa ketidakpuasanku ter-
letak pada tidak kulihatnya sungai-sungai di surga.
Secara singkat, aku yang dikenal sebagai Elok Effendi, telah
mati. Tetapi, aku belum dikuburkan, oleh karenanya sukmaku
belum sepenuhnya meninggalkan ragaku. Situasi yang luar biasa
ini, meskipun bukan yang pertama, telah menimbulkan pen-
deritaan yang amat mengerikan pada bagian diriku yang baka.
Meskipun aku tidak mampu lagi merasakan hancurnya tulang
belulangku, atau tubuhku yang membusuk terbungkus luka-luka,
dengan tulang-tulang yang remuk dan setengah terbenam di

*"Dan (di dalam surga mereka memperoleh) bidadari-bidadari yang


bermata jeli (menyejukkan pandangan mata)." (Q.S. 56 : 22).

20
My Name is Red

dalam air sedingin es, aku tetap merasakan siksaan di dalam


jiwaku yang dengan putus asa berjuang untuk keluar dari inti
raganya yang fana. Rasanya seperti jika seluruh dunia ini, ber-
sama tubuhku, sedang mengerut menjadi sebongkah kepiluan.
Aku hanya bisa membandingkan pengerutan ini dengan
perasaan lega yang mengejutkan yang kurasakan pada saat ke-
matianku. Ya, aku langsung paham bahwa bajingan itu ingin
membunuhku, ketika tiba-tiba saja ia menghantamku dengan
sebongkah batu yang meremukkan tengkorak kepalaku, tetapi
aku tidak percaya ia melakukannya. Seketika aku tersadar bahwa
aku adalah seseorang yang penuh harapan, sesuatu yang tidak
kusadari saat aku masih menjalani kehidupanku dalam bayang-
bayang bengkel kerja dan rumahku. Aku berjuang memper-
tahankan hidupku, lewat kuku-kukuku, lewat jari jemariku dan
gigi geligiku, yang kubenamkan ke dalam kulitnya. Aku tidak
akan membuatmu bosan dengan rincian menyakitkan dari hantam-
an-hantaman yang kuterima sesudahnya.
Ketika aku merasakan kepedihan ini, ketika aku tahu bahwa
aku akan mati, sebentuk perasaan lega menyeruak dalam diriku.
Aku merasakan kelegaan ini di saat-saat kematianku; kedatangan-
ku ke sisi lain dunia ini begitu menyejukkan, bagaikan bermimpi
melihat seseorang yang jatuh tertidur. Sepatu pembunuhku yang
tertutup salju dan lumpur adalah hal terakhir yang kulihat. Aku
mengatupkan kedua mataku seakan-akan aku sedang memejam-
kan mata menjelang tidur, dan perlahan-lahan aku pun mati.
Keluhanku saat ini bukan karena gigi-gigiku yang rompal
seperti butiran kacang ke dalam rongga mulutku yang penuh
darah, juga bukan wajahku yang hancur tak bisa dikenali lagi,
ataupun mengenai diriku yang ditinggalkan di dasar sebuah
sumur—melainkan karena semua orang mengira aku masih hidup.
Sukmaku yang gundah kini merana memikirkan keluargaku dan
orang-orang terdekatku yang, tentu saja, kerap memikirkanku,

21
ORHAN PAMUK

membayangkan diriku terlibat urusan-urusan sepele di suatu


tempat di Istanbul, atau bahkan dianggap sedang mengejar pe-
rempuan lain. Cukup! Temukan jenazahku, jangan ditunda lagi,
doakan aku, dan kuburkanlah ragaku. Dan yang lebih penting
lagi, temukanlah pembunuhku! Karena meski kau menguburku
di makam yang paling agung sekalipun, selama bajingan itu tetap
bebas berkeliaran, aku akan menggeliat-geliat resah di dalam
kuburku, menanti dan merasuki kalian semua dengan ketidak-
percayaan. Temukan pembunuh laknat itu, dan aku akan men-
ceritakan padamu secara terperinci tentang apa yang kulihat di
alam kubur. Tetapi ketahuilah, setelah ia berhasil ditangkap, ia
harus disiksa perlahan-lahan dengan membengkokkan delapan
atau sepuluh ruas tulangnya—aku lebih suka tulang rusuknya—
dengan sebuah penjepit, sebelum melubangi kulit kepalanya
dengan ganco yang dibuat khusus untuk menyiksanya, dan men-
cabuti rambut berminyaknya yang menjijikkan, helai demi helai,
agar ia memekik kesakitan setiap kali dicabut.
Siapakah si pembunuh ini? Mengapa ia membunuhku dengan
cara yang begitu mengejutkan? Bertanya-tanyalah, dan pikirkan
baik-baik masalah ini. Kau bilang bahwa dunia ini dipenuhi
penjahat-penjahat tengik yang tak berguna? Mungkinkah yang
satu-ini berguna, mungkinkah orang ini lain dari mereka? Jika
demikian, izinkan aku memperingatkanmu: Kematianku menyem-
bunyikan sebuah persekongkolan dahsyat terhadap agama kita,
tradisi kita, dan cara kita memandang dunia ini. Bukalah mata-
mu, temukan alasannya, mengapa musuh-musuh kehidupan yang
kauyakini, musuh-musuh kehidupan yang sedang kaujalani, dan
musuh-musuh Islam, telah menghancurkanku. Pelajarilah bahwa
suatu hari mereka mungkin akan melakukan hal yang sama
kepadamu. Satu persatu, semua yang diperkirakan oleh ulama
besar Nusret Hoja dari Erzurum, yang ajarannya kusimak sambil
berlinangan air mata, akan terjadi. Biar kukatakan juga bahwa

22
My Name is Red

jika situasi yang sedang kita hadapi ini digambarkan di dalam


sebuah buku, ilustrator yang paling ahli sekalipun tidak akan
mampu menggambarkannya. Sementara di dalam Alquran—
ampuni aku ya Allah jika aku salah memahaminya—kekuatan
dahsyat sebuah buku muncul dari ketidakmungkinannya di-
ungkapkan dalam bentuk gambar. Aku meragukan dirimu bisa
sepenuhnya memahami fakta ini.
Dengarkan aku baik-baik. Ketika aku masih menjadi seorang
anak didik, aku juga merasa ketakutan, dan karenanya aku meng-
abaikan kebenaran-kebenaran yang sesungguhnya, serta suara-
suara dari alam sana. Aku akan menertawakan hal-hal semacam
itu. Namun, kini aku malah berakhir di dasar sumur jahanam
ini! Ini juga bisa terjadi pada dirimu, berhati-hatilah. Sekarang,
tak ada lagi yang bisa kulakukan, selain berharap diriku akan
membusuk sepenuhnya, agar mereka bisa menemukanku dengan
menelusuri bau busukku. Tak ada lagi yang bisa kulakukan
selain berharap—dan membayangkan siksaan yang akan dilaku-
kan oleh seseorang yang baik hati terhadap pembunuh biadab
itu setelah ia tertangkap.[]

SETELAH MENGHILANG selama dua belas tahun, aku


memasuki Istanbul seperti seseorang yang berjalan da-
lam tidur. "Bumi memanggilnya," itu yang mereka kata-
kan tentang orang yang sekarat, dan dalam kasusku, kematianlah
yang menyeretku kembali ke kota tempat aku dilahirkan dan
dibesarkan. Saat pertama kali aku kembali, kukira yang ada

23
ORHAN PAMUK

hanya kematian, tetapi kemudian aku juga menemukan cinta.


Cinta, entah bagaimana, berada amat jauh dan menjadi sesuatu
yang terlupakan, seperti kenanganku tentang hidup di kota besar.
Kota itu adalah Istanbul, dua belas tahun yang lalu, tempat aku
jatuh cinta setengah mati pada adik sepupuku.
Empat tahun setelah aku meninggalkan Istanbul untuk per-
tama kali, ketika aku mengelanai stepa-stepa tak berujung, gunung-
gunung berselimut salju, dan kota-kota melankolis di Persia,
sambil mengantar surat dan mengumpulkan pajak, aku berjanji
pada diriku sendiri bahwa aku perlahan-lahan akan melupakan
cinta masa kecilku yang kutinggalkan itu. Dengan panik, aku
berusaha mengenangnya dengan putus asa, hanya agar aku sadar
bahwa selain cinta, seraut wajah yang lama tak kujumpai pada
akhirnya akan memudar. Selama enam tahun yang kuhabiskan
di Timur, saat berkelana atau bekerja sebagai seorang sekretaris
untuk seorang pejabat daerah, aku tahu bahwa wajah yang ku-
bayangkan bukan lagi wajah orang yang kucintai. Kemudian,
dalam waktu delapan tahun, aku melupakan apa yang telah
kucamkan secara salah di benakku pada saat aku berumur enam
tahun, dan sekali lagi aku membayangkan seraut wajah yang
sepenuhnya berbeda. Dengan cara ini, di tahun kedua belas,
ketika aku kembali ke kotaku pada usia tiga puluh enam tahun,
aku menjadi terpukul saat menyadari bahwa wajah orang yang
kucintai sudah lama meninggalkanku.
Banyak teman dan kerabat yang meninggal dalam waktu
dua belas tahun pelarianku. Aku mengunjungi kompleks pe-
makaman yang menghadap ke Golden Horn, dan berdoa untuk
ibuku, juga untuk paman-pamanku yang sudah meninggal dunia
selama aku pergi. Aroma tanah berlumpur berbaur dengan ke-
nanganku. Seseorang telah memecahkan bejana tanah Hat di
samping makam ibuku. Entah karena apa, begitu aku menatap
bejana yang terbelah itu, aku mulai menangis. Apakah aku

24
My Name is Red

menangis karena kematian ibuku, atau aku menangisi kenyataan


bahwa diriku ternyata masih saja berada di awal kehidupanku
setelah bertahun-tahun berlalu? Atau apakah karena aku tiba di
ujung perjalanan hidupku? Sebongkah salju jatuh. Aku terpukau
melihat kepingan salju beterbangan di sana-sini. Aku menjadi
sedemikian tersesat ke dalam perubahan tak terduga dari ke-
hidupanku, sehingga aku tidak memerhatikan seekor anjing hitam
menatapku dari sebuah sudut gelap pemakaman itu.
Hujan air mataku mereda. Aku menyeka hidungku. Aku
melihat anjing hitam itu menggoyang-goyangkan ekornya ber-
sahabat saat aku melangkah pergi dari pemakaman itu. Berapa
waktu kemudian aku sudah menetap di lingkungan kami, me-
nyewa salah satu rumah yang pernah ditinggali salah satu ke-
rabatku dari pihak ayah. Sepertinya aku telah mengingatkan
nyonya pemilik rumah pada putranya yang dibunuh oleh ser-
dadu-serdadu Persia dari dinasti Safawiyah* sehingga dia ber-
sedia membersihkan rumah itu dan memasak untukku.
Aku memutuskan untuk berjalan-jalan sepuas hati melewati
jalanan, seakan-akan aku bukan sedang berdiam di Istanbul,
melainkan tinggal sementara di salah satu kota di Arab, di ujung
lain dunia ini. Jalanan menjadi lebih sempit, atau begitulah yang
kurasakan. Di beberapa wilayah tertentu, di mana jalanan terjepit
di antara rumah-rumah yang saling menyandar, aku terpaksa
bergesekan dengan tembok dan pintu, untuk menghindari ter-
jangan kuda-kuda pengangkut beban yang sarat muatan. Tidak
ada lagi orang-orang kaya, setidaknya begitulah yang kulihat.
Aku menyaksikan sebuah kereta yang dipenuhi hiasan, sebuah
kereta kencana yang ditarik oleh kuda-kuda yang sombong,
seperti yang bisa ditemui di Arab atau Persia. Di dekat "Pilar

*Sebuah dinasti yang berkuasa di Persia pada 1500-1722 dan berasal dari
sebuah suku nomaden di Turki. Dinasti ini menyatakan mazhab Syiah sebagai
agama negara.

25
ORHAN PAMUK

Terbakar", aku menyaksikan pengemis-pengemis menjengkelkan


yang berpakaian compang-camping, berkerumun saat aroma
jeroan melayang keluar dari pasar penjual ayam. Salah satu dari
mereka yang tampaknya buta, tersenyum saat ia mengamati salju
yang berjatuhan.
Aku pernah mendengar cerita tentang betapa Istanbul pernah
menjadi kota yang lebih miskin, lebih kecil, dan lebih bahagia.
Aku mungkin tidak memercayainya, tetapi itulah kata hati nurani-
ku. Meskipun rumah kekasihku selalu berada di antara pe-
pohonan limau dan kastanye, tetapi kini ada orang lain yang
mendiaminya. Aku mengetahuinya saat aku mengingat pintunya.
Aku jadi tahu bahwa ibunda kekasihku, bibiku dari pihak ibu,
telah meninggal dunia, sementara suaminya, Enishte-ku dan
putrinya telah pindah dari tempat itu. Dari sinilah aku tahu
bahwa ayah dan anak perempuannya itu menjadi korban sebuah
kesialan. Ada orang asing yang membukakan pintu, yang dalam
situasi seperti itu bisa dipastikan terjadi, tanpa sedikit pun me-
nyadari betapa mereka sudah dengan kejam membuatmu patah
hati, atau betapa hal itu telah menghancurkan mimpi-mimpimu.
Aku tidak akan menceritakan semua ini padamu sekarang, tetapi
izinkanlah aku berkata bahwa saat aku mengingat hari-hari di
musim panas yang cerah, hijau, dan hangat di kebun tua itu,
aku juga memerhatikan. untaian es yang menggantung sebesar
jari kelingkingku di cabang-cabang pohon limau. Di sebuah
tempat yang menyimpan penderitaan, salju dan pengabaian hanya
bisa membangkitkan kematian.
Aku sudah mengetahui apa yang terjadi pada kerabat-ke-
rabatku dari surat yang dikirimkan Enishte-ku padaku di Tabriz.
Dalam suratnya itu, ia mengundangku kembali ke Istanbul. Ia
juga menjelaskan bahwa ia sedang menyiapkan sebuah kitab
rahasia untuk Sultan kami, dan bahwa ia membutuhkan ban-
tuanku. Ia mendengar, pada suatu masa saat aku berada di

26
My Name is Red

Tabriz, aku pernah membuat buku-buku untuk para bangsawan


Utsmaniyah*, gubernur, dan orang-orang terkemuka di Istanbul.
Yang kulakukan kemudian adalah menggunakan uang panjar
dari para klien yang telah menata susunan manuskrip di Istanbul
untuk mencari para ilustrator dan penulis kaligrafi yang frustasi
karena perang dan kehadiran para serdadu Utsmaniyah. Namun,
aku tidak juga meninggalkan Kazin, ataupun kota Persia lainnya,
dan para empu inilah—yang mengeluhkan kemiskinan dan peng-
abaian—yang kutugaskan untuk menuliskan, memberi ilustrasi,
dan menjilid halaman-halaman manuskrip yang akan kukirim-
kan kembali ke Istanbul itu. Kalau bukan karena kecintaan
terhadap ilustrasi dan buku-buku bermutu yang ditanamkan
Enishte-ku padaku di masa mudaku, aku tidak akan pernah
melibatkan diri dalam pencarian semacam ini.
Di pasar di ujung jalan, tempat Enishte-ku pernah tinggal,
aku menemukan seorang tukang cukur, seorang ahli, di kedai
cukurnya, di antara jejeran cermin, pisau-pisau silet yang lurus,
bejana-bejana air, sabun, dan sikat. Aku bersirobok pandang
dengannya, tetapi aku tidak yakin ia mengenaliku. Menyenang-
kan rasanya melihat baskom tempat keramas yang digantungkan
dari langit-langit dengan sebuah rantai masih saja menunjukkan
kemiringan yang sama, berayun ke depan dan ke belakang saat
ia mengisinya dengan air panas.
Lingkungan sekitar dan jalanan yang sama yang sering ku-
lewati di masa kecilku telah menghilang ditelan debu dan asap,

*Kesultanan Utsmaniyah (orang-orang Barat menyebutnya Ottoman) yang


sebagian besar wilayahnya kini menjadi bagian Republik Turki didirikan oleh
seorang pejuang Turki Muslim bernama Utsman. Pada 1299 ia memimpin
serangan terhadap pemukiman orang-orang Kristen Byzantium di bagian barat
Anatolia. Ia lalu mendirikan sebuah kerajaan kecil berbatasan dengan Ke-
kaisaran Byzantium. Setelah kematiannya pada 1324, para keturunannya mem-
perluas kerajaannya hingga menjelma menjadi salah satu imperium terkuat
sepanjang sejarah sampai kejatuhannya pada 1923.

27
ORHAN PAMUK

berganti dengan puing-puing reruntuhan, di mana anjing-anjing


liar berkeliaran dan para pendatang gila menakut-nakuti anak-
anak setempat. Di wilayah lainnya yang juga dihancurkan api,
rumah-rumah orang kaya yang megah dan luas telah didirikan,
dan aku terpana melihat kemegahannya, terpukau oleh jendela-
jendela yang dihiasi kaca patri Venesia yang paling mahal, dan
rumah-rumah dua lantai dengan jendela-jendela yang menonjol
tergantung pada dinding-dinding tinggi menjulang.
Seperti juga di kota-kota lainnya, uang tidak lagi bernilai
di Istanbul. Di saat aku kembali dari Timur, para tukang roti
yang dulu menjual sekeping roti yang amat besar senilai seratus
drachma dengan harga satu keping koin perak, kini memang-
gang roti dengan ukuran setengahnya untuk dijual dengan harga
yang sama, dan roti-roti itu tidak lagi selezat di masa kecilku.
Pernah almarhumah ibuku ketika dia terpaksa membelanjakan
tiga keping perak untuk selusin telur, lalu berkata, "Kita harus
segera pergi sebelum ayam-ayam jadi sedemikian manja, se-
hingga mereka berak di atas tubuh kita, bukan di tanah." Namun,
aku tahu masalah berkurangnya nilai uang itu terjadi juga di
mana-mana. Kabar burung beredar bahwa kapal-kapal dagang
Flanders* dan Venesia sudah dipenuhi berpeti-peti koin palsu.
Di pabrik uang logam istana, di mana lima ratus keping uang
dibuat sekaligus dari seratus drachma perak, kini, setelah dikeruk
habis untuk perang tak berkesudahan dengan orang-orang Persia,
delapan ratus keping uang dibuat dari jumlah yang sama. Ketika
para tentara Turki menemukan koin-koin yang mereka bayarkan
sesungguhnya mengambang di Golden Horn bagaikan biji-bijian
kering yang berjatuhan di dok kapal para pedagang sayuran,

*Sebuah wilayah di bagian barat laut Eropa yang sepenuhnya merdeka


sekitar abad kesebelas hingga abad keempat belas. Saat ini wilayah tersebut
sama dengan gabungan propinsi-propinsi Flanders di Belgia, wilayah Nord di
Prancis, dan sebagian provinsi Zeeland di Belanda.

28
My Name is Red

mereka rusuh, mengepung istana Sultan Kami seolah-olah tempat


itu adalah benteng musuh mereka.
Seorang ulama bernama Nusret yang berdakwah di Masjid
Bayazid dan mengaku memiliki hubungan keluarga dengan Nabi
Muhammad, telah membuat namanya masyhur dalam masa
kehancuran moral, inflasi, kejahatan, dan pencurian ini. Hoja
ini, yang berasal dari sebuah kota kecil Erzurum, menganggap
semua bencana yang menimpa Istanbul di sepuluh tahun terakhir
ini—terrriasuk kebakaran di distrik Bahcekapi dan Kazanjilar,
wabah penyakit yang memakan korban puluhan ribu jiwa, perang
tak berkesudahan dengan Persia yang harus dibayar oleh nyawa
yang tak terhitung jumlahnya, dan kehilangan atas sebuah benteng
Utsmaniyah kecil di bagian barat karena dirampas orang-orang
Kristen dalam revolusi—disebabkan kami sudah melangkah terlalu
jauh dari jalan yang dicontohkan oleh Nabi kami, karena kami
mengabaikan ajaran Alquran, karena kami bertoleransi pada
orang Kristen, karena kami membiarkan perdagangan anggur,
dan karena kami memainkan alat-alat musik di rumah-rumah
para pengikut ajaran sufi.
Penjual acar yang dengan penuh semangat memberitahuku
tentang ulama dari Erzurum itu berkata bahwa koin-koin palsu—
ducat baru, koin-koin Inggris yang bergambar singa, dan koin-
koin Utsmaniyah yang terbuat dari perak yang bisa luntur—
yang mengalir di pasar dan bazar-bazar, seperti koin-koin Sirkasia,
Abkhazia, Mingaria, Bosnia, Georgia, dan Armenia, yang beredar
di jalanan, telah menyeret kami pada kemunduran, karena akan
sulit sekali melepaskan diri dari keadaan tersebut. Aku diberi
tahu bahwa berandal-berandal dan para pemberontak itu ber-
kumpul di kedai-kedai kopi, dan melakukan pemurtadan sampai
fajar menyingsing; orang-orang melarat berwatak peragu, orang-
orang yang kecanduan opium, dan para pengikut tarekat sufi
Kalenderi yang mengaku berada di jalan Allah dan menghabis-

29
ORHAN PAMUK

kan malam mereka di rumah sufi, menari-nari diiringi musik,


melubangi tubuh mereka dengan besi dan melakukan segala
perbuatan bejat, sebelum akhirnya bersanggama dengan ganas
dengan sesama mereka sendiri dan sembarang bocah laki-laki
yang mereka temui.
Aku tak tahu apakah suara merdu sitar yang menggerakkan-
ku mengikuti melodinya, atau apakah dalam kekacauan ke-
nangan-kenangan dan gairah-gairahku, aku jadi merasa tak tahan
pada si penjual acar yang licik ini dan mengikuti suara musik
sebagai jalan untuk terlepas dari percakapan tersebut. Meskipun
demikian, aku mengetahui satu hal: Saat kau mencintai sebuah
kota, dan sering menjelajahinya dengan berjalan kaki, tubuhmu,
apa lagi jiwamu, akan mengenal segala sudut jalannya dengan
baik setelah beberapa tahun merasakan semacam kesedihan yang
akan terbangkitkan hanya oleh segumpal kecil salju yang jatuh.
Kau akan menemukan tungkai-tungkai kakimu menyeret tubuh-
mu dengan sendirinya ke salah satu sudut dunia kesukaanmu.
Begitulah yang terjadi saat aku meninggalkan Pasar Farrier
dan berakhir dengan mengamati salju yang jatuh ke Golden
Horn dari satu sudut di samping Masjid Sulaiman: salju telah
mulai menggunung di atas atap yang menghadap ke utara, dan
di bagian kubah yang terkena embusan angin timur laut. Se-
buah kapal mendekat, tiang-tiang layarnya sudah diturunkan,
menyapaku dengan kibaran kanvasnya. Layarnya berwarna kelabu
seperti kabut di permukaan Golden Horn. Pepohonan cemara,
atap-atap rumah, kepiluan di senja hari, suara-suara yang ter-
dengar dari lingkungan perumahan di bawah sana, pekikan
burung-burung elang dan jeritan anak-anak yang bermain di
halaman masjid, bercampur baur dalam kepalaku, seakan-akan
mengumumkan dengan penuh empati bahwa pada akhirnya, aku
tidak bisa hidup di mana pun kecuali di kota mereka. Aku
merasakan sensasi di mana wajah orang yang kucintai, yang

30

Anda mungkin juga menyukai