Banyak orang yang telah menawari Bagong pekerjaan. Bahkan ada pula yang
ingin mencalonkannya jadi Bupati karena hanya ia yang pernah kuliah di Jerman.
Namun ia memilih menjadi petani cokelat. Ayahnya pun terperanjat ketika mengetahui
anaknya memilih bertani. Seandainya kau bilang dari dulu, ayah tak perlu repot
menjual tanah untuk biaya kuliahmu.
Perlahan Anwar mulai bercerita. Ia dipukuli lantaran tak naik kelas. Sudah dua
tahun ia duduk di kelas satu sekolah menengah. Katanya, ia mempermalukan nama
besar ayahnya yang juga sudah dua tahun tak diganti sebagai Kepala Desa. Bukankah
itu juga prestasi. Ayah tak diganti selama dua tahun, aku pun tak tergantikan di kelas
satu dengan tahun yang sama, ucapnya sambil tersedu-sedu. Bagong bingung harus
memberi saran macam apa. Namun, Anwar berjanji kepada Bagong bahwa ia akan
memanggil lagi temannya untuk mendengarkan cerita Bagong sebagai hadiah karena
Bagong telah sudi mendengar keluhannya.
Bagong sedih mendengar pertanyaan itu. Selama ia di Jerman, tak ada satu pun
yang ia rindukan selain kampung halaman. Di Jerman, ia pernah melihat rumah yang
dibongkar hanya karena rumah itu akan dipindahkan ke suatu tempat yang jaraknya tak
sampai lima puluh meter dari rumah tersebut. Melihat itu, ia menyayangkan rumah kayu
yang dibongkar itu, karena selama di Enrekang, ia pernah melihat ayahnya bersama
pemuda desa mengangkat rumah yang bahkan akan dipindahkan sejauh dua ratus meter.
Juga kehidupan malamnya. Sama seperti kebanyakan kota-kota di seluruh dunia, di sana
jam dua belas malam masih banyak mobil yang lalu-lalang. Pernah ia memimpikan
Enrekang menjadi kota seperti itu. Namun menurutnya, itu semua tak berguna. Terlebih
masyarakatnya. Di sana terlalu bebas. Orang bisa melakukan apapun. Di Enrekang,
anak yang berkeliaran jam sembilan akan dicari orang tuanya di tempat persembunyian
yang paling sulit ditemukan sekalipun.
Anak-anak, ia menjelaskan. Tak ada yang lebih nyaman dari pada di rumah
sendiri, kalian mengerti maksudku bukan? Di Jerman, aku bahkan memuntahkan
makananku setiap saat. Tak ada yang enak di sana. Lebih enak dangke.
Seakan tak mau beranjak dari lapangan, Anwar terus memaksa Bagong bercerita.
Bagong bercerita kembali. Kali ini ia bercerita tentang mitos Gunung Bambapuang,
bahwa gunung itu dahulu menjulang tinggi. Saking tingginya, gunung tersebut runtuh,
lalu penduduk yang bermukim di kaki gunung sontak berlari menghindari reruntuhan
gunung tersebut. Konon, orang yang berlari akan menjadi batu ketika menoleh ke
belakang melihat reruntuhan itu.
Jadi, batu yang ada di sepanjang jalan menuju Anggeraja itu manusia? Kata
Anwar takjub.
Aku pernah ke Baraka. Di pinggir jalan, aku melihat ada gambar orang di batu
tidak jauh dari Gunung Bambapuang. Apa ia juga dikutuk?