Anda di halaman 1dari 149

Hope

HOPE
Prisca Primasari
Copyright©Noura Books, 2019
All rights reserved
Penyunting: Yuli Pritania
Penyelaras aksara: Nani
Penata Aksara: Rhay
Ilustrator Sampul: Priska Susanto/@pikapoppin
Desainer sampul: @platypo

Diterbitkan oleh Penerbit Noura Books


PT Mizan Publika (Anggota IKAPI)
Jln. Jagakarsa No.40 Rt.007/Rw.04, Jagakarsa-Jakarta Selatan
Telp: 021-78880556, Faks: 021-78880563
E-mail: redaksi@noura.mizan.com
www.nourabooks.co.id

E-ISBN:978-623-242-055-7

Ebook ini didistribusikan oleh: Mizan Digital Publishing


Jl. Jagakarsa Raya No. 40 Jakarta Selatan - 12620
Phone.: +62-21-7864547 (Hunting)
Fax.: +62-21-7864272
email: mizandigitalpublishing@mizan.com
email: nouradigitalpublishing@gmail.com
Instagram: @nouradigital Facebook page: nouraebook
Table of Contents
Luftschloss
Das Stern3
Der Garten7
Die Hoffnung8
Rooseveltplatz
Freunde9
Das Goldene Blut10
Blau11
Der Fallende Stern14
Der Hase15
Weinleseklavier16
Neapolitaner
Die Tränen17
Das Frühstück18
Der Bahnhof19
Der Vati20
Das Wunder22
Die Hochzeit26
Glück27
Tentang Penulis
Catatan Perjalanan
Thanks to

First of all, thanks to Allah who has given me more miracles than I deserve.
Dan, terima kasih kepada Mama, Papa, dan adik-adik karena telah banyak
sekali membantu saya untuk pergi ke tempat-tempat yang saya impikan.
Terima kasih untuk tim Noura yang sudah memberi saya kesempatan untuk
menulis novel ini.
Terima kasih juga untuk semua manusia baik yang saya temui di Wina,
Austria—mereka yang banyak menolong ketika saya sedang kesulitan di negara
tak terlupakan itu.
And, of course, thanks to you, my readers, who keep staying with me until
these days. I hope you can enjoy Anna’s journey in this story.
1
Luftschloss

Anna tidak terlalu sering membaca cerita misteri. Namun, laki-laki yang
dicintainya menyukai jenis karya demikian, dan salah satu favoritnya adalah
puisi berjudul “The Listeners” karangan Walter de la Mare. Singkatnya, puisi itu
memberikan kesan hantu-hantu di rumah yang lusuh dan tidak terawat, jika tidak
bisa dibilang mengerikan.
Bangunan di hadapan Anna sekarang, sepertinya, adalah bentuk visual yang
sepadan untuk rumah dalam puisi tersebut.
Hostel itu bertingkat tiga. Miring dan tampak bisa ambruk kapan saja.
Tembok-temboknya lapuk dan berlumut, dengan jendela-jendela kotor yang
tertutup gorden berwarna gelap. Plangnya oleng, dengan tulisan yang tadinya
jelas berbunyi “Luftschloss Hostel”, tetapi sekarang hanya bisa dibaca “loss
Hostel” saja. Pintunya berlubang di bagian bawah, alang-alang tumbuh tinggi di
halaman yang dipenuhi buah jeruk busuk dan pretelan mobil tua. Anna tidak
mau membayangkan bagaimana mobil tersebut bisa sampai hancur lebur begitu.
Di tengah suhu enam derajat dan hujan rintik dingin yang turun malam itu,
Anna bergidik ngeri.
Bukan ini yang dibayangkannya ketika memesan kamar lewat situs resmi
hostel di Wina ini. Seolah bentuknya belum cukup menakutkan, hostel ini
terletak di dataran tinggi Ottakring yang sangat sepi dan memiliki hutan lebat di
beberapa tempat. Lupakan gubahan indah Tales from the Vienna Woods karya
Strauss II. Vienna Woods yang sesungguhnya tidaklah seromantis itu.
Pikiran pertama Anna adalah cepat-cepat kabur dari sana dan memesan kamar
di hostel lain. Namun, dia sudah mentransfer 75 euro untuk uang muka
menginap selama tiga minggu. Setidaknya, dia harus mendapatkan uang itu
kembali sebelum pindah ke hostel lainnya.
Lagi pula, dia memilih hostel ini pun karena suatu alasan. Setidaknya, dia
harus masuk dulu untuk menemui resepsionis atau siapa pun—atau apa pun—
yang menjaga tempat tersebut.
Mengumpulkan semua nyali, Anna melangkah memasuki halaman hostel
sembari menarik koper, berhati-hati melewati alang-alang tinggi, dan berdoa
semoga tidak ada ular atau sesuatu semacam itu. Dia meremas tas selempangnya
kuat-kuat dengan kedua tangan, menarik napas ketika menaiki undakan depan.
Sambil mengernyitkan kening dan meyakinkan diri untuk bersikap berani, Anna
mengetuk pintu. Dia berusaha untuk tidak memperhatikan lubang di bagian
bawah pintu, tetapi bersiap-siap kalau-kalau ada entah-apa yang menyelinap
keluar dari sana.
Anna menunggu. Tidak ada jawaban. Tentu saja. Apa, sih, yang dia harapkan
dari hostel dengan wujud seperti ini?
Dia kembali menghirup udara dingin dalam-dalam, mengembuskannya.
Kemudian, dengan tangan gemetar karena kedinginan dan ketakutan, dia
mencoba menekan gagang pintu ke bawah.
Pintu itu terbuka, berayun ke dalam dengan suara deritan.
Hangat, adalah kata pertama yang terlintas di benak Anna. Dia bisa
merasakan sedikit hawa pemanas ruangan yang menguar dari celah pintu.
Didorongnya pintu hingga terbuka lebih lebar dan, untuk sesaat, dia hanya bisa
melihat gelap. Namun, kemudian, setelah dia memberanikan diri untuk masuk,
lampu berwarna kekuningan menyala secara otomatis. Anna melihat garis-garis
ruangan yang mirip foyer, meski biasanya foyer tidak akan terlihat acak-acakan
seperti ini. Karpetnya sudah bergeser ke sana kemari, kertas dindingnya yang
bermotif ulir merah hati sudah mengelupas. Vas bunga di atas meja terguling,
airnya tumpah. Di tembok di atas meja tersebut, Anna melihat tulisan “loss” lagi.
Dan, di sebelahnya, terdapat sebuah pintu tertutup dengan tulisan berbahasa
Jerman, yang artinya “RESEPSIONIS—TOLONG KETUK PINTU DULU”.
Anna mendekat dan mengetuk. Dia masih tidak mendengar apa pun, kecuali
mungkin suara dengkuran. Dia mengetuk lagi dengan putus asa. Akhirnya,
terdengar suara seorang lelaki yang menjawab dengan malas-malasan.
“Come in.”
Pintu itu mengeluarkan bunyi klik. Anna membukanya, dan disambut
pemandangan yang nyaris tidak membuatnya terkejut lagi. Jika halaman rumah
dan foyer saja sudah sekacau itu, wajar jika ruang resepsionis pun dipenuhi
sampah, tumpukan pakaian, dan sisa-sisa makanan yang berceceran di lantai.
Yang benar saja, batin Anna, mencoba memercayai sekali lagi bahwa dia kini
berada di Austria. Bayangan Anna tentang Austria adalah musik yang indah dan
Vienna bread dan The Sound of Music, bukan The Fall of the House of Usher
begini.
Mata Anna menangkap sosok seorang lelaki yang duduk di balik meja
resepsionis di sudut ruangan. Kepala lelaki itu rebah miring di meja, matanya
terpejam. Rambutnya cokelat dan rahangnya tegas. Dia berbalut selimut flanel
dan mendengkur dalam tidur ayamnya, seolah itu pekerjaan paling wajar yang
bisa dilakukan seorang resepsionis hostel.
“Pe … permisi,” kata Anna lirih dalam bahasa Inggris. Dia tidak pernah bisa
bersuara keras, yang dalam beberapa kesempatan bukan hal yang
menguntungkan. “Maaf, permisi,” panggil Anna lagi.
Lelaki itu bergerak dan membuka sebelah matanya.
Dia sontak bangun, mundur dengan terburu-buru bersama kursinya. Dia baru
mengembuskan napas keras setelah mengamati Anna dengan lebih saksama.
“Mein Gott1!” pekiknya pelan, kemudian bicara dalam bahasa Jerman yang
artinya kira-kira, “Kau membuatku takut setengah mati!”
Ucapan itu semakin membuat Anna gusar. Bukankah seharusnya dia yang
takut?
Namun, Anna kemudian teringat rambut panjang hitamnya hampir menyentuh
pinggang, dan dia juga mengenakan sweter hitam tebal dengan rok panjang
gelap serta sepatu bot berlumpur. Belum lagi wajahnya yang bernuansa pucat.
Tunangannya—bukan, mantan tunangannya, sesekali mengatakan bahwa dia
sangat cantik, tetapi terkadang penampilannya memang bisa menimbulkan
kesalahpahaman. Terlebih dalam bangunan gelap seperti ini.
Sesuatu yang pahit menyakiti tenggorokan dan hati Anna ketika dia teringat
lelaki itu. Mantan tunangannya, yang masih sangat dia cintai dan mencintainya,
alasan Anna pergi ke negara ini.
“Nah. Can I help you?” tanya si lelaki resepsionis, masih mengelus dada.
“Saya sudah membayar uang muka untuk menginap di sini,” ujar Anna,
berusaha terdengar tegas. “Tapi, sepertinya saya ingin pindah ke hostel lain saja.
Bisakah saya meminta uang muka saya kembali?”
“Tidak bisa,” lelaki itu langsung menjawab enteng. “Kalau mau menginap ke
hostel lain, silakan, tapi DP tidak bisa kembali.”
“Tapi,” sahut Anna sambil melebarkan mata tak percaya, “hostel ini sama
sekali tidak seperti yang saya lihat di foto-foto di website-nya. Saya tidak
mengira akan menginap di ….” Anna menelan ludah, berusaha keras untuk tidak
mengucapkan “rumah horor”. “Saya datang jauh-jauh dari Indonesia dan
berencana menginap di Austria selama tiga minggu, tapi kalau tempatnya seperti
ini ….”
“Sudah kubilang, kalau kau mau pindah hostel, silakan, Lady. Tapi, uang
muka tetap tidak bisa kembali. Itu risikomu memilih Luftschloss. Dan, kenapa
kau harus memilih hostel ini sedari awal kalau ada ratusan hostel lain di
Austria?”
“Itu ….” Anna ragu-ragu sejenak. Dia menimbang-nimbang bagaimana cara
menjelaskannya, tetapi lelaki itu sudah memotongnya lagi.
“Dan, oh, kami tidak memuat foto palsu, kok, di website,” katanya sambil
tersenyum masam. “Itu memang foto-foto hostel ini … eh, sekitar lima tahun
yang lalu.”
“Tetap saja penipuan. Yang terpampang di website bukan foto-foto yang
sekarang, karenanya—”
“Begini. Lihat ke luar.” Lelaki itu berdiri dan membuka gorden jendela di
sudut lain ruangan. Anna ikut menoleh ke sana, melihat jalanan gelap yang
sangat sepi dan berkabut, menandakan suhu telah turun satu atau dua derajat lagi
sejak dia tiba di sini. “Aku tidak menyarankanmu untuk mencari hostel lain
sekarang,” kata lelaki itu. “Kau sendirian, ‘kan? Nah, pusat distrik Ottakring
sekitar dua mil dari sini, bus yang lewat pun sudah jarang. Jadi, bagaimana kalau
kau menginap sehari dulu di sini dan lihat bagaimana pendapatmu setelahnya?
Hostel ini tidak buruk-buruk amat, kok,” lelaki itu mengucapkannya dengan
setengah hati. “Yah, setidaknya kamar untuk para tamu tidak akan seburuk yang
kau pikirkan.”
Anna mengernyit. Dia menatap lekat-lekat ke luar jendela. Dia tadi pergi dari
Bandara Schwechat menuju dataran tinggi ini dengan menaiki bus tiga kali—
tetapi sekarang, dia memang tidak melihat satu pun bus yang lewat, dan letak
stasiun kereta pun amat jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki.
Anna memandang sekeliling lagi. Dia tetap tidak menyukai tempat ini, tetapi
terlepas dari semuanya, hostel ini punya pemanas ruangan. Dan, terlepas dari
sikap menyebalkannya, si lelaki resepsionis itu pun tidak terlihat seperti jagal
manusia atau apa pun yang satu spektrum. Dan …, apa katanya tadi? Kamar
hostel tidak seburuk yang dia pikirkan?
“Boleh …,” gumam Anna, “boleh saya lihat kamarnya?”
Lelaki itu kembali ke meja resepsionis dengan ogah-ogahan setelah
menanyakan nama Anna dan memeriksa paspornya sejenak. Dia mengambil
kunci dari laci, membuka lemari tua di dekatnya, lalu meraih seprai, quilt cover,
dan sarung bantal putih. Dia mengisyaratkan Anna untuk mengikutinya menuju
koridor gelap, lalu membuka sebuah kamar yang juga gelap gulita. Lampu
temaram kamar itu kemudian menyala secara otomatis, mengungkap ruangan
lumayan bersih dengan enam tempat tidur susun bergorden bunga-bunga.
“Tidak menyeramkan, ‘kan?” tanya lelaki itu enteng. “Gerda tidak keberatan
membersihkan kamar untuk tamu, tapi untuk ruangan-ruangan lain, jangan
harap.”
“Apa ada tamu lain yang akan menginap di sini?” tanya Anna saat lelaki itu
menjejalkan seprai dan sebagainya ke kedua tangannya.
“Sementara ini, cuma kau saja. Oh, ada juga laki-laki tua yang menginap di
kamar male dorm di lantai tiga. Jarang keluar kamar—malah lima hari ini tidak
keluar sama sekali. Mungkin sudah mati. Nah, gute nacht2. Enjoy your stay.”
Lelaki itu pergi begitu saja, tidak memedulikan Anna yang membelalak
ketakutan di tempatnya.
Oke …, bisiknya dalam hati.
Sambil memeluk seprai dan menarik kopernya, Anna melangkah pelan
menuju salah satu tempat tidur susun. Dipasangnya seprai dan sebagainya di
tempat tidur bagian bawah, lalu setelah semuanya selesai, dia duduk di atas
kasur dan menaikkan kedua kaki ke tempat tidur, menekuk kedua lututnya.
Dia meraih tas tangan dan mengambil buku sketsa dari dalamnya. Dibukanya
halaman pertama sketsa itu, ditatapnya selembar foto ketika dia dan Bintang
masih bersama.
Lelaki itu berdarah Indonesia, Korea, dan Eropa. Karena itulah garis-garis
wajahnya tampak lembut, bahkan dengan tulang pipi tegas dan mata berwarna
kelabu jernih. Lesung pipinya timbul bersamaan dengan senyumnya. Di foto itu,
wajah Bintang yang pucat sudah semakin pucat, dan tubuhnya pun semakin
kurus.
Anna memeluk buku dan kedua lututnya, menelungkupkan wajahnya di atas
lutut.
Dia akan melakukan apa yang harus dilakukannya di Wina ini. Dan, setelah
itu, dia akan kembali ke sisi Bintang lagi.
Mereka pasti bisa kembali bersama seperti dulu.[]

-----------------------------
1 (Jerman) Ya Tuhan.
2 (Jerman) Selamat malam.
2
Das Stern3

Yang mengejutkan, Anna berhasil tidur dengan nyenyak. Selimutnya ternyata


hangat dan tempat tidurnya pun empuk, dan satu malam di Luftschloss Hostel
berhasil dilewatinya dengan selamat. Anna mulai berpikir mungkin dia akan
baik-baik saja di tempat ini, dan barangkali bisa menginap di sini beberapa hari
lagi.
Meski begitu, Anna kembali ragu saat masuk ke kamar mandi yang gelap dan
melihat pancurannya, yang membuat dia teringat film Psycho tersohor karya
Alfred Hitchcock.
Tubuh Anna sudah lengket dan dia tahu dirinya butuh mandi. Jadi, meskipun
ketakutan setengah mati, diputarnya keran pancuran itu, dan dia langsung
tersentak oleh sengatan dinginnya. Anna harus menunggu beberapa puluh detik
hingga pancuran tersebut mengeluarkan air hangat.
Tak ada film Psycho, tak ada darah, tak ada pembunuh gila yang mengintip
dari balik tirai pembatas. Kamar mandi ini normal, hanya butuh lebih banyak
penerangan saja. Anna berpikir demikian, seolah itu bisa menyelesaikan
persoalan.
Dia cepat-cepat memakai sweter tebal setelah mandi, kemudian mengeringkan
rambut menggunakan hair dryer butut di dekat wastafel. Membutuhkan waktu
lama karena panjang rambutnya hampir menyentuh pinggang. Setelah selesai,
dia mengamati wajah pucatnya sendiri di cermin. Matanya berbentuk almon
mungil, dengan bola mata hitam jernih, tetapi sudah dihiasi sedikit kantong mata
akibat kelelahan. Mungkin juga karena akhir-akhir ini dia sering menangis.
Postur tubuhnya sendiri termasuk tinggi untuk seorang wanita. Berat badannya
juga tidak pernah naik meski dia makan banyak sekalipun.
Dia mengambil pouch kosmetiknya, mencari-cari bedak, lalu
membubuhkannya sedikit di wajah dan bagian bawah mata. Dia tambahkan
lipgloss di bibir tipisnya yang berwarna merah muda, sebelum keluar dan
mengembalikan pouch-nya ke kamar. Saat dia keluar lagi untuk menuju restoran,
dia hanya mendapati pantri dan meja makan kosong. Tak ada sarapan apa pun,
padahal di situsnya jelas-jelas tertulis breakfast included.
Mengembuskan napas lelah, Anna berjalan ke ruang resepsionis untuk
menemui lelaki kemarin. Lelaki itu sudah bangun, sedang bermain game di
ponsel. Ruangannya masih sekacau sebelumnya. Sekarang bahkan ditambahi dua
kotak kebab yang sudah kosong.
“Maaf,” ujar Anna tak nyaman. “Sarapannya—”
“Oh, iya,” sahut lelaki itu, tanpa mengalihkan pandang dari ponsel. “Gerda
belum datang. Kau tunggu saja. Belum lapar-lapar amat, ‘kan?”
Anna sudah sangat lapar, tetapi dia hanya mengangguk dan menyilangkan
kedua tangan dengan canggung di belakang tubuh. Dia bertanya-tanya apakah
karyawan di hostel ini hanya lelaki ini dan gadis bernama Gerda itu saja. Dia
tidak heran kalaupun itu benar—yang membuatnya heran malah kenapa juga
masih ada orang yang mau bekerja di tempat seperti ini?
“Hmm, satu lagi,” Anna berkata, mengambil ponsel dari saku celana panjang
kain termalnya. Dia membuka aplikasi Notes, membaca ulang catatan-catatan
kecil yang sudah dibuatnya sebelum dia pergi ke negara ini. “Apa kau kenal
dengan Herr4 Gregoire?”
Lelaki itu mengerjap.
Untuk pertama kalinya, dia mendongak dari ponselnya. Lelaki itu ternyata
memiliki mata hijau muda cemerlang. Di bawah cahaya matahari pagi, rambut
acak-acakannya terlihat berwarna cokelat muda. Sepertinya dia masih kuliah
semester akhir—tipikal lelaki yang tidak terlalu peduli kepada dunia, tetapi jelas
agak terkejut saat Anna menyebutkan nama Herr Gregoire barusan.
“Entschuldigung5?” tanya lelaki itu.
“Herr Ilyusha Gregoire. Dia dulu pianis terkenal dan Ph.D. dalam Music
Theory, juga membuka usaha hostel di Wina,” Anna menambahkan.
“Luftschloss Hostel ini.”
“Ya, aku tahu siapa Ilyusha Gregoire. Kenapa kau tiba-tiba bertanya tentang
orang itu?”
“Kalau kau tahu di mana saya bisa menemuinya ….”
“Untuk?” Lelaki itu menyipitkan mata dengan curiga. Anna tidak sempat
menjawab, dan lega karena dia tidak perlu menjawab. Seorang gadis berambut
merah muncul dan memanggil, “Terry!” lalu memekik terkejut saat melihat
Anna.
“Aaargh! Oh …, maaf!” Gadis itu mengelus dada, seolah lega yang dilihatnya
ternyata bukan banshee berambut hitam panjang. Anna hanya tersenyum
canggung, sudah terbiasa dengan itu. “Bagaimana bisa aku mengira kau …,” ujar
gadis itu, lalu cepat-cepat menggeleng, “Padahal, kau sangat cantik. Nah,” dia
beralih kepada si lelaki resepsionis yang bernama Terry itu, “katamu gaji bulan
ini akan ditransfer kemarin. Aku belum menerimanya.”
“Oh iya! Sori, Gerda.” Terry sontak berdiri dan menyambar mantel dari
gantungan miring di dekatnya. “Aku akan ke ATM sekarang. Oh iya, omong-
omong, lady ini butuh sarapan,” katanya sambil mengerling Anna. “Dan, kalau
bisa, tolong cek si tua di lantai tiga itu juga. Dia tidak keluar, tidak jalan-jalan,
tidak nongkrong di lobi, tidak melakukan apa pun. Semoga dia masih hidup dan,
kalaupun tidak, kau bisa menelepon jasa pengangkutan mayat sekarang juga.”
Lelaki itu mengenakan mantelnya. Dia menendangi sampah-sampah dan
pakaian-pakaian di lantai, berkata “Auf wiedersehen6!” dengan asal sebelum
menghilang dari pandangan.
Gerda berdecak dan menggeleng jengkel. Dia mulai memunguti kotoran-
kotoran di atas karpet.
“Maaf, ya,” ujarnya. “Beginilah hostel kami. Kukira hari ini tidak akan ada
tamu seperti sebelum-sebelumnya. Atau ada tamu, tapi mereka langsung kabur
dan merelakan uang muka mereka begitu saja. Karena itulah aku tidak
menyiapkan makanan apa pun. Si tua di lantai tiga itu juga tidak pernah sarapan
di restoran hostel ini. Tunggu sekitar tiga puluh menit, oke? Aku akan
membelikanmu sarapan di Billa.”
“Mungkin tidak perlu. Saya akan ke sana sendiri saja,” ujar Anna.
“Aduh, aku jadi tidak enak.” Gadis itu mengernyit, menegakkan tubuh sambil
memegang banyak sampah di satu tangan, lalu membuka salah satu laci meja
dengan tangannya yang lain. Dia menarik selembar kantong besar dan
memasukkan semua sampah ke dalamnya. “Besok aku akan menyediakan
sarapan lengkap, tepat pukul enam pagi. Janji. Dan, besok lusa, akan kubuatkan
wafel dan jus jeruk juga untukmu. Kau masih akan menginap di sini, ‘kan?”
Sorot mata Gerda yang penuh harap itu membuat Anna tak tega. “Mmm …
hmm ….”
“Bagus sekali!” seru gadis itu bersemangat. Prospek mendapatkan satu tamu
saja sepertinya merupakan prestasi besar baginya. “Nah, dari mana kau berasal?”
tanya Gerda kemudian. “Jepang?” dia menebak.
Anna tersenyum dan menggeleng. “Indonesia.”
“Wow. Aku sejak dulu ingin ke sana. Teman-temanku bilang ada pulau yang
bagus sekali. Bilting atau Biltung—semacam itu.”
“Belitung.”
“Yup, itu dia. Dan, apa yang kau lakukan di Wina? Hanya liburan?”
Anna belum bisa menceritakan semuanya kepada orang yang baru dikenalnya,
jadi dia hanya mengiakan, sambil berharap bisa merasakan liburan yang
sebenarnya di negara ini.
“Semoga kau bisa menikmati Austria,” kata Gerda, masih membersihkan
ruangan dengan gesit. Separuh ruangan itu kini telah terbebas dari benda-benda
aneh, memperlihatkan karpet bermotif bunga-bunga dengan nuansa merah hati.
“Sebenarnya,” ujar Anna ragu, “saya tadi bertanya kepada lelaki itu soal Herr
Gregoire, pemilik hostel ini.”
Reaksi Gerda hampir sama seperti Terry. Gadis itu berhenti melakukan
pekerjaannya dan menoleh kepada Anna dengan pandangan bertanya-tanya.
“Apa kau tahu di mana saya bisa menemuinya?”
Setidaknya, Gerda jauh lebih membantu. Gadis itu tidak bertanya apa-apa dan
menjawab tepat pada intinya. “Sekarang hari Selasa, bukan? Herr Gregoire
biasanya pergi ke restoran Timur Tengah di pusat Distrik Ottakring untuk makan
siang. Aku dulu sempat menjadi pengatur jadwalnya, waktu dia masih bermain
piano, jadi masih hafal kebiasaan-kebiasaannya.”
“Oh, ya?”
“Orang yang sangat disiplin. Dan, sangat tertutup,” ujar Gerda lagi, dan Anna
bertanya-tanya bagaimana bisa orang yang “sangat disiplin” dan “sangat
tertutup” menelantarkan hostelnya sampai seperti ini.
“Memangnya kau kenal Herr Gregoire?” tanya gadis itu kemudian.
Anna menggeleng. “Saya cuma tahu dia dari beberapa album musiknya, dan
dari YouTube. Tapi, saya ingin menanyakan beberapa hal kepadanya. Tentang
piano … dan beberapa hal lain.”
“Hmm.” Wajah Gerda berubah khawatir. “Saranku, berhati-hatilah. Dia
sensitif dengan topik yang satu itu. Herr Gregoire sudah tidak bermain piano lagi
sejak lima tahun lalu. Aku bahkan punya kesan dia memang sengaja melupakan
fakta bahwa dia seorang pianis.”
Anna sudah memahami risikonya. Sejak dia berencana pergi ke Wina, dia
sudah menyiapkan diri untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi jika
bertemu pria itu. Dia pun mengangguk.
Dia berpamitan kepada Gerda setelah mereka mengobrol sejenak. Dia
mengambil mantel dari koper di kamarnya, dan keluar dari hostel, disambut
udara dingin yang menusuk tulang. Jalanan menurun di dataran tinggi itu sangat
sepi meski sudah pagi hari, dan kesannya hampa.
Meski begitu, Anna baru menyadari bahwa pemandangannya cantik. Deretan
rumah mungil bertaman berdiri di kedua sisi jalan, dan beberapa kindergarten
dipenuhi celoteh riang anak kecil. Bahkan, dalam kesenduannya, Anna
tersenyum melihat bangunan-bangunan mungil itu. Nuansanya cokelat muda,
kuning, dan putih, atapnya berbentuk segitiga atau trapesium. Rumah-rumah
yang ternyata juga ada di dunia nyata.
Anna melangkah sejauh dua kilometer hingga menemukan restoran Timur
Tengah yang dimaksud Gerda. Tempat itu masih tutup, jadi dia mampir dulu ke
Billa, membeli susu dan roti gandum untuk sarapan.
Saat dia keluar dari supermarket tersebut, ponselnya berdering. Telepon dari
Bintang.
“Hei,” sapa lelaki itu. “Baik-baik saja, ‘kan?”
Anna mengangguk, meskipun Bintang tidak bisa melihatnya.
“Bagaimana Wina?”
“Bagus,” jawab Anna, sengaja tidak memberitahunya tentang hostel The Fall
of the House of Usher tempatnya menginap. Anna merasakan embusan angin
yang menusuk kulit selagi dia berjalan, menatap pepohonan gundul yang dahan-
dahan hitamnya membelah langit. Ini sudah hampir musim semi, setidaknya
menurut kalender cuaca, tetapi Anna sama sekali belum melihat tanda-tandanya.
“Kamu sendiri baik-baik saja?”
Meski tidak melihatnya, Anna bisa merasakan Bintang tersenyum tipis di
seberang. Mata kelabu lelaki itu juga berbentuk almon, tetapi dengan lebih
banyak gurat senyum. Bibirnya tipis seperti Anna. Pembawaannya tenang dan
terkesan menjaga jarak, tetapi hanya terhadap orang-orang yang baru
dikenalnya. Kepada Anna, dia selalu hangat, meski tidak pernah mengucapkan
kalimat-kalimat manis layaknya kekasih pada umumnya. Anna masih ingat saat
dia resmi menganggap Bintang sebagai orang paling tidak romantis sedunia.
“Iya. Hari ini cuci darah lagi.”
Restoran itu sudah terlihat. Anna sedikit mempercepat langkah.
“Anna,” suara Bintang kini lebih pelan, tetapi tegas. “Dengar. Kamu tidak
perlu memaksakan diri kalau—”
“Istirahatlah,” bisik Anna, memutus sambungan telepon dan mengembuskan
napas dengan berat.
Dia tidak ingin mendengar apa-apa lagi.
Dia sudah berada di depan restoran tersebut, menatap menerawang ke arah
menu-menu yang terpampang di bagian depan. Doner 4 euro, durum 5 euro.
Ada penutup mulut juga—tiramisu halal.
Dia mendorong pintu restoran beberapa detik kemudian, mendapati belum ada
pengunjung di sana. Dia pun memesan satu cup tiramisu, memakannya dalam
suapan pelan sembari menunggu Herr Gregoire.
Namun, satu jam berlalu. Kemudian, dua jam. Dan, bahkan setelah lewat jam
makan siang pun, Anna belum juga melihat pria itu.
Dia akhirnya memutuskan untuk bertanya kepada pemilik restoran—
barangkali mereka tahu dan mengenal Herr Gregoire. Bahasa Inggris wanita
pemilik restoran itu terpatah-patah. Dia pun tidak bisa berbahasa Jerman. Anna
harus sedikit berusaha untuk memahaminya.
“Herr Gregoire … today ….” Wanita itu memberi isyarat dengan tanda
silang.
Herr Gregoire hari ini tidak ke sini.
“Next day ….” Wanita itu memberi isyarat dengan anggukan.
Besok baru ke sini lagi.
“Okay,” Anna berkata. “Thank you very much.”
Anna melangkah keluar setelah menghabiskan tiramisu keduanya.
Angin bersuhu enam derajat itu kembali menyambutnya. Dia bersedekap
sembari melangkah kembali ke Luftschloss Hostel.
Masih tersisa dua puluh hari untuk menemukan Herr Gregoire. Dia masih
punya banyak waktu.
Yang dia khawatirkan adalah Bintang. Anna selalu takut lelaki itu tidak punya
terlalu banyak waktu lagi.[]

-------------------------------
3 (Jerman) Bintang.
4 (Jerman) Sir.
5 (Jerman) Maaf.
6 (Jerman) Selamat tinggal.
3
Der Garten7

“Lalu, hari ini kau mau ke restoran itu lagi?” tanya Gerda esok paginya di depan
pantri.
Anna mengangguk.
Gerda menepati janjinya. Dia telah menyiapkan roti putih, roti gandum, selai
stroberi, yoghurt cup, keju, sereal, dan telur rebus di restoran hostel. Anna
menuang sereal cokelat ke mangkuk, menambahkan susu, dan membawanya ke
meja makan. Dia juga mengambil semua makanan dan minuman sedikit-sedikit,
lalu mencicipinya satu per satu. Selai stroberi itu terasa manis dan lezat, telur
setengah matangnya pun begitu lembut.
“Si laki-laki tua di lantai tiga itu masih hidup,” celetuk Gerda.
“Syukurlah,” ujar Anna lega.
“Tapi, dia tetap tidak mau turun. Aku tanya dia punya persediaan makanan
atau tidak, katanya sudah punya. Ya sudah.” Gerda mengangkat bahu,
mengambil dua lembar roti dan selai, lalu duduk di depan Anna. “Kau lapar
sekali, ya?”
Anna memegang setangkup roti dengan kedua tangan, menggigitnya dengan
malu. “Saya sering lupa makan malam,” ujarnya. “Kemarin, seharusnya saya
membungkus durum untuk malam hari.”
“Di sini juga jarang ada restoran. Ada kafe, tapi kau hanya bisa menemukan
macam-macam kopi dan keik. Durum pun tidak terlalu enak kalau dibawa
pulang dan dibiarkan sampai malam hari. Pilihan terbaik cuma pergi ke
supermarket untuk membeli bahan-bahan makanan, kemudian memasaknya di
sini. Kau boleh menggunakan dapur kapan pun kau mau.”
“Terima kasih.”
“Jadi, kau masih kuliah, sudah bekerja, atau ada hal lain yang kau lakukan?”
tanya Gerda sambil mengoleskan selai ke rotinya.
“Saya dulu bekerja di butik.”
“Wah. Sebagai apa?”
“Desainer. Tapi, mengundurkan diri bulan lalu. Saya berencana untuk
menginap selama tiga minggu di Austria ini.” Anna mengambil cangkir teh dan
menyesapnya pelan.
Dia menyukai pekerjaannya, menghiasi buku sketsa dengan pensil warna atau
cat minyak, dan mendengarkan arahan dari atasannya atau para customer butik.
Desain yang dikerjakan Anna adalah gaun pesta. Dia memiliki kebiasaan
mengamati pakaian para tokoh di buku-buku atau film-film bernuansa dongeng;
favoritnya akhir-akhir ini adalah kostum dari film Mary Poppins.
Meski begitu, Anna sebenarnya memiliki cita-cita lain. Cita-cita tersebut
begitu muluk dan konyol sehingga dia memutuskan untuk tidak
menceritakannya kepada siapa pun, termasuk Bintang.
“Kau berhenti dari pekerjaanmu hanya karena ingin pergi ke Austria?” tanya
Gerda sambil mengernyit heran.
“Bukan hanya itu. Ada yang harus saya lakukan di sini.”
“Termasuk bertemu Herr Gregoire?”
“Ya.” Anna menatap permukaan lembut yoghurt berry sebelum memakannya.
“Tunangan saya … mantan tunangan saya … menggemari permainan piano Herr
Gregoire.”
“Lalu?” Gerda sudah selesai melahap rotinya. Dia kini terlihat penasaran,
mata cokelatnya melebar di balik poni rambut merah lebatnya.
“Kalau ada hal yang paling diinginkannya dalam hidupnya, itu adalah
mendengar permainan piano Herr Gregoire lagi.” Anna meneruskan sarapannya.
Dia bisa merasakan Gerda sedang menghubung-hubungkan semua kalimatnya.
Dia hanya tersenyum kepada gadis itu sebelum mengalihkan pembicaraan.
“Kau sudah lama bekerja di sini?” tanya Anna.
“Lumayan. Sejak lima tahun lalu.” Gerda bangkit sejenak untuk mengambil
secangkir kopi. “Aku beralih dari bekerja sebagai asisten musik Herr Gregoire
menjadi pengurus hostel.”
“Kau bisa bermain musik?”
“Aku bisa bermain piano sedikit.” Dari senyum bangga gadis itu, Anna tahu
Gerda hanya bersikap rendah hati saat mengatakan “sedikit”. Gadis ini pasti
pianis yang hebat juga.
“Luftschloss Hostel tidak selalu seperti ini,” Gerda memandang sekeliling
dengan muram. “Dulu, banyak tamu yang datang. Para karyawan senang bekerja
di sini. Tapi, kemudian Herr Gregoire mulai terlambat memberikan gaji, dan satu
per satu dari mereka pun pergi. Yang tersisa sekarang hanyalah Terry dan aku.”
“Kau memutuskan untuk tetap bekerja di sini?”
“Aku tidak punya pilihan lain. Herr Gregoire sudah berjasa banyak dalam
hidupku. Aku tidak mau menjadi orang tidak tahu terima kasih dan pergi begitu
saja hanya karena hostelnya sudah tidak seramai dulu. Tapi, aku juga realistis,
kau tahu? Kalau aku cuma mengandalkan penghasilan dari bekerja di hostel ini,
aku tidak akan bisa hidup. Jadi, aku juga mengajar kursus piano di beberapa
tempat. Karena itulah kau akan jarang melihatku di sini.”
Anna mengangguk muram, sekarang memiliki lebih banyak pertanyaan.
“Dan, bagaimana dengan Terry?” tanyanya.
Gerda menggeleng sambil memandang ke arah lain. Anna tahu jenis ekspresi
itu. Bukan sekadar raut wajah seseorang yang memikirkan temannya, melainkan
ekspresi yang juga sering diberikan Anna kepada Bintang.
“Dia rumit,” jawab gadis itu.
“Ya, saking rumitnya, kau akan sakit kepala kalau mendengar apa pun
tentangku,” suara Terry terdengar. Dia tahu-tahu sudah berada di depan pantri,
mengambil piring serta semua makanan dan minuman dengan asal-asalan. “Jadi,
lebih baik kau tidak usah mendengarnya, Anna.”
“Tumben kau rapi,” sindir Gerda. Alih-alih mengenakan kaus oblong dan
celana belel, Terry kini memang memakai kemeja serta jins yang cukup rapi,
tubuhnya bahkan menguarkan aroma sandalwood.
“Kau seperti tidak tahu saja,” Terry menyahut, lalu keluar begitu saja bersama
makanan-makanannya.
“Masih pacaran, ternyata,” kata Gerda sambil tersenyum masam. “Kukira dia
dan Cate sudah putus lagi.”
“Cate?”
“Cewek punk. Menurutku tidak terlalu pantas untuk Terry.” Gerda berdiri.
Dia membereskan piringnya sendiri dan peralatan makan Anna yang sudah
kosong, membawanya ke wastafel, dan menaruhnya dengan agak terlalu keras di
sana. Anna langsung tahu suasana hati gadis itu kini memburuk dengan drastis.
Sadar bahwa Gerda barangkali sedang ingin sendiri, Anna berpamitan dan
kembali ke kamarnya. Dia bersiap-siap pergi ke restoran Timur Tengah itu lagi.
Setelah mengenakan jaket puffer putih dan mendobeli jinsnya dengan thermal
long john, dia keluar dari hostel, merasakan pergantian hawa pemanas ruangan
dengan udara dingin pagi hari. Sesaat, dia berdiri di undakan teras sambil
memandang sekeliling.
Dia membayangkan tempat ini pernah menjadi hostel yang ramai, seperti kata
Gerda tadi. Tamu-tamu banyak berdatangan, dan barangkali dulu tempat ini
tidak jauh berbeda—bahkan mungkin lebih baik—dari rumah-rumah mungil
bertaman di sepanjang jalan Johann-Staud-Strasse di dataran tinggi Ottakring ini.
Anna menuruni undakan, memunguti jeruk-jeruk busuk dari rerumputan.
Dibuangnya semua itu ke tempat sampah. Jika alang-alangnya dipotong,
halaman hostel ini barangkali akan terlihat jauh lebih rapi. Mungkin dia bisa
mengusulkan itu kepada Gerda atau Terry, nanti.

Herr Gregoire lagi-lagi tidak datang ke restoran tersebut.


Anna memesan durum yang porsinya terlalu besar untuknya, menunggu
hingga pukul empat sore. Begitu dia sadar Herr Gregoire tidak juga muncul, dia
berpikir apakah sebaiknya dia menanyakan alamat rumah Herr Gregoire kepada
Gerda saja, lalu mencoba menemui pria itu di sana. Kenapa dia baru terpikir soal
itu sekarang?
Anna berdiri sambil menyelempangkan tasnya, kemudian keluar dari restoran
itu dengan wajah muram. Dia akan mampir ke Billa sebentar untuk membeli
bahan makan malam sebelum kembali ke hostel. Dia tidak mau mengambil
risiko menyusuri Johann-Staud-Strasse selepas senja—saat hari masih terang
saja wilayah itu sudah sangat sepi.
Sesampainya di Luftschloss dan membuka pintu utama hostel, Anna langsung
berhadapan dengan Terry dan seorang gadis punk yang tampak sangat “sibuk” di
atas meja foyer.
Bukan public display affection pertama yang dilihat Anna di Austria. Dia
sudah melihat yang seperti itu juga di Bandara Schwechat—tetapi yang ini lebih
membuatnya jengah dan tak nyaman.
“Entschuldigung,” gumam Anna.
Dua sejoli itu memisahkan diri sambil menoleh ke arahnya. Wajah Terry
merah, rambutnya acak-acakan. Semua kancing kemejanya terbuka. Gadis punk
itu hanya mengenakan bra dan celana panjang kulit.
“Oh. Hai, Anna,” sapa Terry tenang. “Sori, kami akan pindah tempat—”
“Punya gunting taman, tidak?” tanya Anna tanpa ekspresi. “Yang tajam?”
Terry mengerjap.
“Hah?”
“Gunting taman.”
“Mmm …. Untuk?”
“Alang-alang di halaman perlu dipangkas. Seharusnya yang melakukannya
karyawan hostel, tapi saya tidak keberatan membantu memotongnya besok.”
Terry melompat turun dari meja, tanpa sengaja membuka sedikit laci di
bawahnya ketika kakinya menggeser pinggiran meja itu.
“Nanti aku cari dulu di gudang. Sepertinya ada.”
Mungkin dia terlalu jengah, sampai-sampai tidak menanyakan apa urusan
Anna ikut campur dengan alang-alang halaman hostel segala.
Lelaki itu kemudian melemparkan senyum sepintas sebelum menggandeng
pacarnya, mengajak gadis itu masuk ke ruang resepsionis, melanjutkan apa pun
yang ingin mereka lakukan di sana.
Anna menarik napas panjang. Dia baru bertemu Terry dan jelas tidak punya
perasaan apa pun terhadapnya—dan bukan berarti Anna anti dengan public
display affection juga. Dia menyukai film romantis, membaca buku-buku
romantis. Namun, entah apa yang membuat dia jengkel saat melihat lelaki itu
bercumbu dengan Cate barusan. Mungkin Anna hanya teringat Gerda—dia tidak
bisa membayangkan bagaimana perasaan Gerda jika Gerda-lah yang membuka
pintu dan langsung disuguhi pertunjukan semacam itu.
Anna hendak melangkah menuju koridor ke arah kamarnya. Lalu, matanya
menangkap sesuatu di dalam laci meja yang tidak sengaja Terry geser tadi.
Anna melangkah mendekati laci tersebut, mengambil wadah cakram yang
menarik perhatiannya itu dari sana.
Wajah Herr Gregoire terpampang di sampul depan cakram itu. Kepalanya
menunduk dengan karismatik, matanya terpejam. Rambut cokelatnya menyentuh
leher. Setelan hitam membalut tubuh tinggi besarnya dengan pas. Pria itu masih
sangat rupawan pada usia 50-an, dan dalam beberapa hal mengingatkan Anna
kepada Bintang. Rahangnya, warna rambutnya—
Tatapan Anna teralih ke arah pintu ruang resepsionis.
Dia kini merasa agak bingung.
Dia kemudian membalik wadah cakram itu, melihat daftar komposisi Mozart,
Haydn, Beethoven, dan Strauss, dan bahwa cakram itu sudah diproduksi tujuh
tahun yang lalu.
Tak ingin meminjam cakram ini tanpa izin, Anna memutuskan untuk mencari
album ini di Spotify saja. Dia memotret sampul cakram tersebut,
mengembalikannya ke laci, kemudian melangkah ke kamarnya.
Sebelum tidur, dia mungkin akan mendengarkan Piano Sonata in A Minor
gubahan Mozart yang diinterpretasikan Herr Gregoire, seperti yang sering
dilakukan Bintang.[]

-------------------------------
7 (Jerman) Taman.
4
Die Hoffnung8

Anna terbangun keesokan paginya dalam kondisi masih mendengarkan gubahan


Mozart tersebut. Setelah mencuci wajah sejenak di wastafel, Anna kembali
duduk di tempat tidur, menelepon Bintang lewat aplikasi ponsel, tubuhnya
bersandar di dinding dan kedua lututnya ditekuk di atas selimut.
“Sudah betah di tempat itu?” tanya Bintang. Waktu di Indonesia lebih cepat
enam jam. Anna bisa mendengarkan denting sendok dan garpu, yang berarti
Bintang pasti sedang makan siang di rumahnya. Sendirian, pada sebagian besar
waktu. Dua perawat dari rumah sakit akan menengoknya setiap dua hari sekali.
Saat masih sehat, Bintang biasa mengajar biola atau selo di berbagai tempat
kursus. Namun, sejak kondisinya menurun, dia mengalihkan ruang mengajarnya
ke rumahnya sendiri. Seingat Anna, sore ini juga jadwal Bintang mengajar.
“Belum,” Anna mengerling tempat-tempat tidur yang masih kosong. “Di sini
sepi, dan berantakan. Dan, resepsionisnya—”
“Kenapa?”
Anna tidak segera menjawab. Keningnya mengernyit samar, teringat lagi
momen ketika dia melihat Terry bercumbu dengan Cate di foyer kemarin. Jika
dipikir-pikir lagi, kejengkelannya itu ternyata bukan hanya karena public display
affection yang berlebihan.
Itu karena jika dilihat dari samping, wajah Terry tampak mirip sekali dengan
Bintang, dan Anna tanpa sadar malah membayangkan bahwa Bintang-lah yang
melakukan itu di hadapannya.
“Benarkah?” tanya Bintang setelah Anna bercerita. Suaranya terdengar geli.
“Kamu takut saya akan seperti itu dengan wanita lain?”
“Kamu seperti itu pun saya enggak akan bisa berbuat apa-apa, ‘kan? Kita
sudah bukan tunangan lagi.”
“Saya enggak—” Bintang memulai, tetapi kemudian hanya terdiam. Anna
mengenal nada suara itu. Barangkali Bintang ingin mengucapkan sesuatu yang
manis, semacam, “Saya enggak pernah berniat mencari orang lain, Anna,” tetapi
tidak jadi.
Jeda sejenak. Lantunan Mozart berganti dengan Strauss. Anna menunduk dan
memainkan seprai dengan ujung jarinya, rambut panjang halusnya jatuh ke
depan.
“Saya akan coba tanyakan alamat Herr Gregoire kepada Gerda. Mungkin saya
bisa bertemu dia di sana,” ujar Anna.
“Kalau orang itu tidak mau membicarakannya, cepatlah pulang.”
“Saya cuma ingin kamu sembuh dan enggak terus-terusan memikirkan itu
lagi.”
“Saya juga. Tapi selalu ada cara lain, Anna. Kamu enggak bisa memaksa
orang yang sudah lama melupakan masa lalunya.”
“Saya belum bertemu dia. Kita belum tahu.” Anna kembali mengembuskan
napas. “Saya mau sarapan dulu. Nanti saya telepon lagi.”
Dia menutup ponsel dan mengambil shower kit-nya sebelum pergi ke kamar
mandi. Dia tidak ingin mendengar Bintang atau siapa pun mengatakan bahwa
dirinya tidak bisa berusaha untuk ini. Jika masih ada kemungkinan, sekecil apa
pun, Anna akan mencobanya.
Setelah mandi, Anna berjalan ke ruang makan dan mendapati meja yang
dipenuhi menu sarapan, termasuk wafel dan jus jeruk. Gerda tersenyum tipis
kepadanya. Gadis itu mengambil wafel dan duduk di kursi ruang makan. Anna
bergabung setelah mengambil wafel, sereal, dan selai cokelat.
“Boleh saya membantu membersihkan hostel ini nanti?” tanya Anna sambil
mengoleskan selai pada wafelnya.
Gerda menelan wafel dengan mata membulat. “Sangat boleh!” serunya. “Kau
baik sekali.”
“Saya kemarin bertanya kepada Terry soal gunting taman, katanya ada di
gudang. Mungkin saya bisa mulai dari halaman dulu.”
“Kenapa kau mau repot-repot?”
“Tidak ada hal lain yang perlu saya kerjakan juga.” Anna tersenyum,
memakan potongan wafelnya, yang ternyata benar-benar lembut dan lezat.
“Sejak berhenti bekerja, saya tidak pernah mendesain gaun lagi. Mungkin saya
bisa sedikit melakukan sesuatu di sini.”
Terdengar suara ribut-ribut dari ruang resepsionis, membuat Anna dan Gerda
berhenti mengobrol dan menoleh ke arah sana. Gerda lekas menyesap kopinya
dan berdiri untuk melihat apa yang terjadi. Penasaran, Anna pun mengikutinya,
mendapati pintu ruang resepsionis terbuka. Terry sedang berdebat dengan dua
orang gadis asing—Cate sudah tidak ada di situ.
“Kami ingin DP kami kembali!” Seorang gadis dengan aksen Ukraina
membentak. “Kau memasang foto-foto yang palsu di website. Mustahil kami
bisa menginap di sini!”
“Memangnya kau tidak membaca terms of conditions sebelum membayar?”
potong Terry menyebalkan. “Down payment yang sudah dibayarkan tidak bisa
dikembalikan lagi.”
“Peduli amat dengan terms of conditions! Aku bisa menuntut hostelmu karena
menyebarkan info palsu di situs!”
“Itu bukan info palsu! Itu memang foto hostel ini—”
“Lima tahun lalu,” Gerda menggumam sambil memutar bola mata.
“Give our money back!”
“Tidak bisa.”
“Hostel ini tidak pantas untuk tempat menginap!”
“Maaf mengecewakan kalian, tapi aku sudah bilang. Kalian bisa pindah ke
hostel lain, tapi DP-nya tetap milik kami.”
“Aku benar-benar akan menuntutmu—”
Mereka terus saja berdebat dengan riuh, dan Gerda sudah hampir bergerak
untuk melerai mereka. Namun, kemudian, terdengar suara lain di belakang
Anna. Suara yang dalam, dingin, dan diliputi kemarahan samar. Suara tersebut
mampu membuat ruangan itu sunyi hanya dalam waktu sekejap.
“Ada apa ini?”
Anna menoleh ke belakang.
Matanya langsung melebar.
Gerda pun tampak terkejut. Dia cepat-cepat menggiring Anna untuk menepi,
memberi jalan kepada pria itu.
Pria itu sama tinggi dan besarnya dengan fotonya yang terpampang di wadah
cakram kemarin. Wajahnya tampak sangat muram. Kulitnya kecokelatan, dan
matanya berwarna kelabu gelap. Rambutnya menyentuh leher dan seolah
menempel ke kerah pakaiannya. Dia hanya mengenakan kemeja lusuh serta
celana panjang kain yang sudah pudar, seakan-akan dia sudah lama berhenti
peduli terhadap penampilannya.
Herr Ilyusha Gregoire. Anna sudah mencoba menemuinya selama dua hari
berturut-turut, tetapi tidak berhasil, dan sekarang pria itu malah muncul di sini.
Kehadirannya saja sudah membuat suasana terasa tegang. Anna melihat Terry
pun bungkam, tetapi kedua mata hijaunya memandang pria itu dengan tajam,
seolah dia siap untuk menantang Herr Gregoire kapan saja.
“Tidak ada apa-apa, kok,” kata Terry, suaranya penuh ironi. “Cuma tamu
yang tidak menyukai hostelmu, seperti biasa.”
“Kau mencuri DP mereka lagi?”
“Hostelmu tidak akan bisa berdiri lagi kalau aku mengembalikan semua DP
mereka.”
“Berapa yang sudah kalian bayar?” Herr Gregoire beralih kepada dua gadis
Ukraina tadi. Mereka menyebutkan angkanya. Pria itu pun mengambil dompet
dari saku jinsnya, mengeluarkan uang 40 euro dari sana, dan memberikannya
kepada mereka.
Si gadis Ukraina menerimanya tanpa kata. Dia dan temannya pun menarik
koper, kemudian keluar dari ruang resepsionis, menghilang dari tempat itu
selamanya.
Anna memandang Herr Gregoire dan Terry dengan canggung. Cara dua orang
itu menatap satu sama lain membuatnya merasa tidak nyaman dan ingin cepat-
cepat pergi dari sana. Namun, pria itu sudah berada di sini, konyol sekali jika
Anna menyia-nyiakan kesempatan seperti ini begitu saja.
“Berusaha bersikap baik?” Terry bicara dengan nada dingin kepada Herr
Gregoire. “Terlambat. Dan, mau apa kau ke sini?”
“Jaga bicaramu.”
Suara Herr Gregoire teramat rendah, dan Terry pun kembali bungkam. Gerda
bergerak-gerak tak nyaman di sebelah Anna.
“Aku masih ayahmu, Terry. Bukan seperti itu caramu bicara denganku.”
Anna mengerjap. Ayah …?
Kalau begitu berarti ….
“Yang agak kusesali,” potong Terry. “Ayah macam apa yang tidak bicara
dengan anaknya selama bertahun-tahun?”
Herr Gregoire mengeluarkan sebuah amplop dari saku jinsnya.
Dilemparkannya amplop itu ke meja resepsionis dengan keras.
“Surat peringatan ketiga dari kampusmu,” ujar pria itu. “Ini kesempatan
terakhirmu menyelesaikan tugas akhir. Kalau kau tidak menyelesaikannya
sampai bulan depan, kau akan dikeluarkan.”
“Jadi, sekarang kau peduli dengan masa depanku?”
“Gerda, tolong peringatkan anak ini,” Herr Gregoire berkata kepada gadis itu
seolah tidak mendengar ucapan Terry. “Percuma saja aku bicara dengannya.”
Dia pun berlalu, meninggalkan ruang resepsionis dan putranya yang
menatapnya dengan marah.
Anna ragu-ragu dan panik, terpecah antara membiarkan pria itu pergi atau
mengejarnya. Namun, tanpa pikir panjang lagi, Anna pun berlari untuk
menyusul pria itu, memanggilnya ketika pria itu menginjak halaman rumah.
Herr Gregoire berhenti, berbalik untuk memandang Anna.
Anna meremas-remas kedua tangannya gelisah.
“Kau ingin DP-mu kembali juga?” tanya Herr Gregoire.
“Ti-tidak. Saya—” Anna tidak mampu melanjutkan.
Mungkin seperti inilah bedanya membayangkan sesuatu dengan betul-betul
mengalaminya sendiri. Setelah berhadapan dengan pria itu, Anna malah tidak
tahu harus memulai dari mana. Semua kalimat yang sudah dia susun dengan rapi
di benaknya, buyar begitu saja.
Pria itu mendengkus.
Dia pun berbalik, dan kini benar-benar pergi meninggalkan hostel.
Anna terpaku di undakan.
Dia sadar baru saja membuang satu-satunya kesempatan yang dirinya dan
Bintang miliki.
e
Salah satu cara untuk melupakan masalah adalah bersih-bersih rumah.
Setidaknya, itulah yang pernah dikatakan ibu Anna dulu.
Anna benar-benar memotong alang-alang siang itu, memangkas semuanya
hingga halaman Luftschloss Hostel tampak cukup cerah dan layak dilihat. Masih
ada rongsokan mobil yang mengganggu, tetapi Anna berusaha untuk
menyingkirkannya satu per satu—mulai dari bumper, ban, sampai kacanya.
Ketika dia berjuang untuk mengangkat bagian pintu mobil, seseorang
membantunya.
Lelaki itu mengangkat pintu mobil tersebut dan menyandarkannya ke dinding
halaman. Anna menegakkan tubuh dengan napas pendek, melihat Terry
mengibaskan debu dari kedua tangannya.
“Ayahku yang baik menghancurkan mobil tuanya ini ketika ibuku
meninggal,” ujarnya. “Seiring waktu, dia pun meninggalkan pianonya,
mengabaikan Luftschloss Hostel yang dia rancang bersama ibuku, dan tidak
pernah bicara dengan anaknya lagi. Benar-benar ayah yang luar biasa.”
Anna menatapnya dengan muram. Lelaki itu memalingkan wajah dan menatap
ke kejauhan. Sekali lagi, Anna mengamati wajah Terry dari samping, dan dia
pun kembali sadar bahwa lelaki itu mirip dengan Bintang bukan hanya karena
kebetulan.
“Kau kuliah jurusan apa?” tanya Anna.
“Musik. Ironis sekali, ‘kan? Aku suka musik karena dia. Benci musik juga
gara-gara dia.”
“Dan, alat yang kau mainkan?”
“Piano.”
Hawa di sekeliling Anna masih terasa dingin, tetapi matahari sesekali terlihat,
membelai wajah Anna dengan hangat. Langit berwarna kelabu, seperti warna
mata Bintang.
“Tunangan saya … mantan tunangan saya, dulu kuliah di jurusan musik juga,
meski dia mengambil selo,” ujar Anna. “Kalau kau butuh bantuan untuk
mengerjakan tugas akhirmu, kau bisa menghubunginya.”
Terry menoleh, menatap Anna dengan ekspresi tidak bisa ditebak.
“Pertanyaanku dulu masih belum kau jawab,” ujarnya. “Kenapa kau ingin
menemui ayahku?”
Anna mengembuskan napas pelan. “Dia punya urusan yang belum selesai
pada masa lalu. Seharusnya Bintang-lah yang menemuinya, tapi dia tidak bisa.
Jadi, sayalah yang ke sini.”
“Urusan apa? Dan, siapa Bintang?”
“Nanti akan saya ceritakan. Itu … rumit. Bintang adalah orang yang saya
cintai.”
“Mantan tunanganmu?”
“Kalau semuanya berjalan baik, dia akan kembali menjadi tunangan saya.”
Anna tidak bisa menyembunyikan kepedihan dalam suaranya.
Dia akan selalu ingat hari ketika Bintang memutuskannya, setelah lelaki itu
tahu dirinya mengidap penyakit ginjal kronis. Dia meminta Anna untuk
melanjutkan hidup dan mencari laki-laki lain yang bisa membahagiakannya.
Permintaan yang sangat konyol.
“Pria beruntung. Dicintai dengan begitu tulus,” ujar Terry dan, untuk pertama
kalinya, Anna mendengar ketulusan dalam suaranya. “Kapan aku bisa seperti
itu?” Lelaki itu mengacak rambutnya dengan frustrasi.
“Mungkin gadis itu sudah ada di depan mata, tapi kau belum sadar.”
“Cate, maksudmu?” Terry mengayunkan tangan. “Kami hanya bersenang-
senang.”
“Bukan Cate.” Anna kembali membersihkan halaman, membiarkan Terry
mengira-ngira sendiri siapa gadis yang dia maksud. Anak itu seharusnya sadar
bahwa gadis yang tepat untuknya setiap hari bekerja menyiapkan sarapan di
dapur hostelnya. Laki-laki memang tidak pernah peka.
“Jadi, kau masih ingin bicara dengan ayahku atau apa?” tanya Terry. “Kau
cuma buang-buang waktu, Lady. Kau tadi lihat sendiri dia seperti apa, ‘kan?”
“Saya sudah berada di sini. Saya akan tetap bicara dengannya.”
“Dia tinggal di apartemen di Rooseveltplatz. Yah, setidaknya setahuku. Tidak
tahu apakah dia sudah pindah ke salah satu rumahnya yang lain. Dia punya
banyak rumah, tapi lebih suka tinggal di apartemen. Mungkin karena tidak mau
kesepian,” Terry berkata masam.
“Kenapa kau memberi tahu saya?” tanya Anna tanpa berkedip.
“Aku cuma ingin tahu seberapa lama kau bisa menghadapinya,” ujar Terry
terus terang. “Sudah tak terhitung lagi berapa banyak orang yang berusaha bicara
dengan ayahku. Aku, Gerda, teman-temannya, semua orang. Kau bilang dia
punya urusan yang belum selesai pada masa lalu?” Terry menggeleng dan
tersenyum masam. “Aku berani mempertaruhkan seluruh hostel ini, dia tidak
akan mau repot-repot menyelesaikannya.”
Lelaki itu pun berbalik, kembali ke dalam hostel, dan menutup pintunya
dengan pelan.
Anna menatap ke kejauhan.
Satu orang lagi yang secara tak langsung memintanya untuk menyerah.
Namun, dia datang ke Wina bukan untuk menyerah.
Dia ke sini untuk berjuang, dan itulah yang akan dia lakukan.[]

-----------------------------
8 (Jerman) Harapan.
5
Rooseveltplatz

Teman baik Anna sejak meninggalkan Indonesia adalah Google Maps. Pagi
itu, setelah sarapan dan membantu Gerda menyapu kamarnya, Anna mencari
tahu rute dari Johann-Staud-Strasse ke Rooseveltplatz di ponselnya. Dia berjalan
kaki terlebih dahulu ke Stasiun Ottakring untuk menghemat biaya, lalu
melanjutkan dengan trem, merasa agak kehilangan ketika memasukkan uang 2,4
euro ke dalam mesin tiket trem dan menghitung-hitung berapa jadinya jumlah
itu jika diubah ke rupiah.
Anna bukannya punya banyak uang. Isi tabungannya hanya cukup untuk
sekadar hidup sederhana di Austria, tanpa hotel mewah atau makan mewah
apalagi belanja mewah. Bintang sempat menawarkan untuk membayar sebagian
biaya perjalanannya, tetapi Anna menolak mentah-mentah, berkata bahwa lelaki
itu masih harus menyisihkan uang untuk biaya cuci darah dan macam-macam
lagi.
“Ini bukan kewajibanmu,” ujar Bintang ketika mereka berada di teras
belakang rumah Anna beberapa waktu lalu, saat Anna masih dalam proses
mengurus visa. Saat itu, Anna duduk di undakan teras. Bintang berdiri bersandar
di kusen pintu. Tatapan matanya hangat di bawah poninya. Rambutnya halus dan
tampak lembut. Cowok cantik dari serial cantik, Salena, adik Anna, biasa
bergurau tentang Bintang. Blasteran, kata Kessa, si sulung, yang menimpali
sambil tersenyum geli. Kalau enggak cantik, malah aneh.
“Seandainya saya enggak cerita tentang masa lalu saya ke kamu, kamu
mungkin enggak akan terpikir untuk pergi ke Austria segala.”
“Saya melakukan ini bukan cuma demi kamu,” ujar Anna ringan. “Mama dan
Papa dulu bercerai dan berpikir enggak ada lagi yang bisa mereka lakukan untuk
memperbaikinya. Saya enggak mau mengalami hal yang sama.”
“Keras kepala.” Bintang tersenyum, dan di matanya yang berkelip karena
sinar lampu, Anna bisa melihat kerinduan yang dalam. Bintang juga ingin
sembuh dan kembali kepadanya lagi, dan salah satu caranya kini berada di
sebuah apartemen di Rooseveltplatz.
Anna turun di perhentian Landesgerichsstrasse. Dia melangkah mencari
apartemen yang dimaksud Terry, mengamati Google Maps dan jalanan secara
bergantian. Wilayah ini tenang dan sepi, seperti halnya jalanan di Luftschloss
Hostel, tetapi letaknya di tengah kota. Alih-alih berukuran mungil dengan atap
segitiga, bangunan-bangunan di sekitar Rooseveltplatz sangat Austria. Tinggi
melebar, anggun, tua, penuh ulir, dan bernuansa putih seperti krim pada kue-kue
pernikahan.
Saat tiba di nomor apartemen yang ditujunya, Anna memeriksa interkom di
dekat gerbang. Dia mengamati daftar nama para penghuni apartemen dan
menemukan nama Herr Gregoire—lantai lima—lalu menekan interkom,
menunggu pria itu menjawab.
Dia bergeming saat mendengar suara berat dari sana.
“Hallo.”
“Ha-halo. Nama saya Anna.”
“Hallo?”
Suara Anna terlalu lirih. Dia menghela napas dan mengeraskan suaranya.
“Nama saya Anna, tamu dari Luftschloss Hostel. Saya ingin bicara sebentar.”
“Tentang DP?”
“Bukan. Tentang Indonesia.”
“Apa?”
“Indonesia.”Anna melantangkan suaranya lagi.
Suara di seberang sontak terdiam.
Anna meremas-remas tangan, mengira dia akan diusir. Namun, kemudian
terdengar suara klik dari gerbang. Kuncinya telah terbuka.
Anna menekan gagang gerbang tersebut. Dia memasuki sebuah lorong yang
sunyi dan berdebu, lift berdiri di tengah-tengah lorong itu. Dia menekan tombol,
masuk ke lift, sembari mengingat-ingat lagi apa saja yang harus disampaikannya
jika sudah bertemu pria itu nanti.
Herr Gregoire sendiri yang membukakan pintu unit apartemennya. Dia masih
terlihat sama seperti kemarin, menimbulkan perasaan canggung yang tidak
nyaman. Meski begitu, dia tetap mengisyaratkan Anna untuk masuk.
Tadinya, Anna mengira isi apartemen itu akan seberantakan Luftschloss
Hostel, tetapi rupanya tidak juga. Perabot-perabot yang tampak mahal dan tua
tertata dengan cukup rapi, terlihat lengkap. Hanya saja, tak ada tanda kenangan
apa pun. Tak ada foto atau benda lain yang menunjukkan bahwa pria itu punya
keluarga.
“Ada apa?” tanya pria itu. Dia menghampiri meja di sudut ruangan dan
menuang minuman untuk dirinya sendiri. Anna sempat khawatir itu minuman
beralkohol, tetapi sepertinya bukan. Lebih terlihat seperti rootbeer.
“Saya ingin bicara tentang Bintang,” Anna memutuskan untuk langsung
berterus terang. “Anak Anda.”
Herr Gregoire bergerak menuju jendela yang terbuka.
Dia terlihat memperhatikan ranting-ranting pohon gundul di luar. Ekspresinya
tidak bisa ditebak.
Anna meremas-remas tangannya, menyadari bahwa dia mungkin akan
terdengar lancang. Namun, semakin cepat dia mengungkapkan semuanya,
semakin baik. Bintang sudah tidak punya banyak waktu lagi.
“Saya dulu sempat bertunangan dengannya,” Anna memulai dengan lirih.
“Dia jarang bercerita tentang keluarganya, tapi ada saat-saat ketika dia akhirnya
menceritakannya.
“Ibunya meninggal saat dia masih berusia lima tahun. Sejak itu, Anda,
ayahnya memutuskan agar Bintang diasuh oleh bibinya, lalu Anda pun berhenti
bermain piano untuk sementara dan bertolak pulang ke Wina. Lama sekali
Bintang tidak mendengar kabar tentang Anda, sampai dia kuliah di jurusan
musik dan gurunya merekomendasikan album interpretasi musik yang Anda rilis
tahun itu, yang diumumkan sebagai album terakhir Anda.
“Bintang kemudian mulai mencari tahu tentang Anda. Saat itu, dia mendapati
Anda sudah menikah lagi dan mempunyai anak dari pernikahan itu. Tapi, saat
Terry bercerita kemarin, saya pun tahu istri kedua Anda juga sudah meninggal.
Saya … saya turut menyesal.”
Herr Gregoire menenggak minumannya. Dia masih memandang ke luar.
“Saya ingin bilang kalau …,” Anna menarik napas, menyiapkan diri untuk
menyampaikan kalimat selanjutnya, “… Bintang terkena penyakit gagal ginjal
kronis. Dia harus segera melakukan operasi pengangkatan ginjalnya.
“Karenanya … dia butuh donor.
“Dan, Anda-lah satu-satunya yang kemungkinan besar memenuhi syarat untuk
itu.
“Dia tidak meminta saya untuk menemui Anda. Ini ide saya sendiri karena
saya tahu Anda-lah satu-satunya orang yang bisa menolongnya ….”
Kesunyian yang panjang menyusul setelahnya. Anna tidak melihat perubahan
dalam ekspresi Herr Gregoire, meskipun pria itu terlihat mencengkeram
gelasnya dengan lebih erat.
Menyadari bahwa dia perlu bukti yang lebih kuat, Anna membuka tasnya dan
mengeluarkan map. Dia perlahan menghampiri pria itu, menunjukkan foto-foto
Bintang bersama dirinya dan keluarganya, juga berbagai fotokopi dokumen dari
rumah sakit.
Herr Gregoire hanya mengerlingnya sekilas, sebelum akhirnya berbicara.
“Kau butuh uang berapa?” tanyanya.
Anna bergeming.
“A … apa?”
“Orang asing tiba-tiba datang ke apartemen saya dan bicara panjang lebar
tentang masa lalu saya. Bukan pertama kalinya. Katakan, berapa banyak yang
kau inginkan? Lalu pergilah.”
Untuk sesaat, Anna tidak mampu mencerna ucapan itu.
Dia tidak sedang berhadapan dengan mesin, bukan …? Dia pasti salah dengar.
Dia berusaha untuk berbicara lagi.
“Bintang—”
“Dia cuma masa lalu,” potong Herr Gregoire, meletakkan gelasnya di meja
dengan keras. “Aku tidak bisa membantunya.”
Suaranya begitu dingin dan datar, sampai-sampai Anna mulai meragukan
dirinya sendiri. Mungkin dia datang ke tempat yang salah. Barangkali Bintang
pun salah orang—dia berpikir Herr Gregoire adalah ayahnya padahal bukan—
apakah begitu?
Namun, kemudian, Anna sadar Herr Gregoire tidak menatapnya sedikit pun
saat mengatakannya. Anna pun sempat melihat kepedihan yang melintas di
wajahnya. Dan, kemiripannya dengan Bintang tidak main-main. Belum lagi
salinan akta kelahiran dan kartu keluarga yang dibawanya. Itu saja sudah cukup
menjadi bukti.
Anna mengepalkan tangannya yang gemetar. Tenggorokannya tersekat. Dia
sebenarnya tidak sanggup bicara lagi, tetapi dia tetap memaksa diri. Dia tidak
datang ke sini hanya untuk dipermalukan lalu menerimanya mentah-mentah.
“Anda tahu,” ujarnya sementara Herr Gregoire memunggunginya dan kembali
bergeming di dekat jendela, “Bintang selalu memaafkan Anda …. Dia tetap
menghormati Anda dan mengerti mengapa Anda pergi. Dia mendengarkan
musik Anda setelah tahu Anda mengeluarkan album terakhir. Dia
mendengarkannya setiap hari.
“Dia tetap menyayangi Anda. Impiannya selama ini adalah bertemu Anda lagi
dan mendengarkan permainan piano Anda.” Anna membereskan dokumen-
dokumen serta foto-foto Bintang sebelum memasukkannya kembali ke tas.
“Saya tidak berani membayangkan apa yang akan dirasakannya kalau dia tahu
ayahnya ternyata seperti ini ….”
Anna menyelempangkan tas dengan mata memburam. Dia sudah hendak
berbalik pergi, tetapi kemudian terpaku saat melihat seseorang yang berdiri di
dekat pintu.
Terry.
Untuk sesaat, tak ada yang bersuara.
Lalu, lelaki itu bicara dengan suara tanpa intonasi.
“Tadi kebetulan ada yang membuka gerbang dari dalam, jadi aku bisa
masuk,” ujarnya.
Herr Gregoire menoleh. Ekspresinya tidak berubah.
“Jadi, ternyata aku punya kakak?” kata Terry lagi.
Setelah itu, dia tampak tidak berminat bicara kepada ayahnya lagi.
Dia sontak berbalik, melewati pintu, dan memelesat pergi dari sana.
Anna refleks mengejarnya, meninggalkan apartemen Herr Gregoire begitu
saja. Dia berusaha memanggil Terry dan menyusulnya, tetapi lelaki itu berlari
terlalu cepat. Anna sudah kehilangan sosoknya begitu sampai di lantai dasar.
Apakah sedari tadi Terry memang sengaja mengikutinya? Jika yang lelaki itu
inginkan adalah mengetahui tujuan Anna menemui Herr Gregoire, dia berhasil.
Dengan cara yang sangat menyedihkan.
Anna keluar dari apartemen itu dengan mati rasa.
Angin dingin langsung menusuk kulitnya. Dia berjalan tanpa tahu ke mana
kakinya membawa, benaknya hanya dipenuhi pikiran bahwa dia telah gagal.
Seolah satu-satunya pilar tempatnya bertumpu mendadak runtuh begitu saja.
Kalau bukan Herr Gregoire, siapa lagi …?
Anna sudah mencoba memeriksakan darah dan ginjalnya, tetapi hasilnya jelas
tidak cocok dengan Bintang. Mereka pun sudah mencoba mencari donor lain,
tetapi hasilnya sama saja. Kemungkinan terakhir hanyalah Terry. Namun, Terry
hanya saudara tiri Bintang, dan melihat sifat lelaki itu, Anna ragu Terry bahkan
akan terpikir menyumbangkan ginjal untuk seorang kakak yang tidak pernah dia
ketahui keberadaannya.
Bagaimana perasaan Terry setelah mengetahui ayahnya ternyata punya anak
lain? Anna bahkan tidak mau membayangkannya.
Dia mulai merasa lesu ketika melewati wilayah Mölker Bastei. Anna sadar
tadi dia tidak menyempatkan diri untuk sarapan, jadi dia masuk dulu ke Nordsee
untuk membeli fish and fries. Ditatapnya piring berisi potongan-potongan filet
ikan dan kentang itu dengan hampa.
Coba lagi, benaknya berkata.
Coba terus sampai Herr Gregoire luluh.
Namun, bahkan saat berpikir seperti itu pun, Anna malah semakin putus asa
dengan kemungkinan-kemungkinan yang menantinya. Bahkan, kalaupun Herr
Gregoire akhirnya mau membantu mereka, berapa persen kemungkinan organ
tubuh pria itu akan cocok dengan Bintang meskipun dia adalah ayah
kandungnya?
Apa sebenarnya yang Anna lakukan di sini?
Ponsel Anna bergetar. Dia menoleh ke arah benda itu. Nama Bintang muncul
di layar.
Anna tidak mengangkatnya.

Anna tiba di Luftschloss menjelang senja, setelah berputar-putar di Hofburg dan


Michaelerplatz dengan pikiran melayang-layang. Dia sudah hendak masuk ke
kamar ketika dia mendengar Gerda memanggilnya dari dalam lounge.
Anna menoleh ke tempat itu. Gerda sedang duduk di sofa penuh tambalan.
Terry di sebelahnya.
Lelaki itu menekuk kedua lutut di atas sofa, tatapannya terpancang kepada
Anna.
Anna melangkah masuk dengan muram.
Dia melewati bantal-bantal dan beberapa bungkus kosong wafer Manner yang
tergeletak di lantai, kemudian duduk di single couch dekat sofa tersebut. Kedua
tangannya saling tangkup, matanya memandang karpet. Mereka bertiga hanya
terdiam untuk beberapa jenak.
“Jelaskan,” ujar Terry akhirnya.
Anna pun menjelaskan.
Dengan suara lirih, dia memulai dari bagaimana dia dan Bintang bertemu.
Bahwa Bintang lebih muda setahun darinya, tetapi jauh lebih dewasa dan lebih
tegar. Anna juga menceritakan semua tentang Bintang, pun memberi tahu Terry
tentang penyakit lelaki itu, dan bahwa hanya ayah merekalah satu-satunya orang
yang bisa menyelamatkan Bintang.
Terry tidak berkata apa-apa. Ekspresinya begitu mirip dengan Herr Gregoire,
dingin dan tidak bisa ditebak. Anna bahkan tidak berani menanyakan bagaimana
pendapatnya tentang semua ini.
Untunglah Gerda membantunya.
“Jadi,” ujar gadis itu dengan muram kepada Terry, “kau tidak ingin bilang
‘hai’ atau apalah kepada kakak barumu?”
Terry mengembuskan napas.
“Aku akan meneleponnya untuk minta bantuan soal tugas akhir, seperti kata
Anna. Tapi, tidak sekarang.”
Anna mengerjap.
“Kau …,” ujarnya tertahan, “kau tidak marah?”
“Aku marah kepada ayahku karena tidak pernah bicara soal ini.”
“Kau marah kepada ayahmu setiap hari,” ralat Gerda.
“Yeah, well, sekarang lebih marah.” Terry mengernyit gusar ke arahnya.
“Tapi, tetap saja. Anaknya yang lain itu tidak bersalah. Dia sama sepertiku.”
Di balik sikap serampangannya, ternyata lelaki itu bisa juga berpikir seperti
ini. Anna merasakan sedikit kehangatan menyelusup ke hatinya, lega karena
Terry tidak bersikap seperti yang dia takutkan.
“Anaknya yang lain itu punya nama …,” ujar Anna pelan. “Namanya
Bintang.”
“Namanya susah dilafalkan.”
“Das Stern,” jelas Anna.
“Stern,” Terry menaikkan alis. “Baiklah, kusebut dia begitu saja.
“Tapi, maaf, perkara penyakitnya, aku tidak bisa membantu apa-apa,” kata
Terry, masih menatap Anna dengan tajam. “Kau bisa terus membujuk ayahku,
tapi jangan harap dia mau berubah pikiran dengan cepat. Saranku, tunggu
sampai beberapa waktu dulu, baru temui dia lagi.”
“Beberapa waktu itu tepatnya berapa lama?” Gerda menyahut dan menoleh ke
arah Anna. “Berapa banyak waktu yang kau butuhkan, Anna?”
“Lebih cepat lebih baik. Bintang kuat sekali, tapi paling tidak, bulan depan dia
harus sudah mendapatkan donor.”
“Kau bisa mencari ke tempat lain juga sambil menunggu keputusan ayahku.
Untuk berjaga-jaga,” sahut Terry.
“Di mana? E-bay?” Gerda menaikkan alis.
“Mirip seperti itu, tapi tidak legal.”
“Kau menyarankan pasar gelap,” Anna berkata tanpa intonasi. Pikiran itu
bukannya tidak pernah terlintas di benaknya, meskipun dia segera
mengenyahkannya jauh-jauh. Pasar gelap sama sekali bukan solusi yang tepat
untuk kasus seperti ini. Dan, tentu saja, dalam kasus Bintang, mustahil.
“Pilihan apa lagi yang kau punya, Anna?” tanya Terry.
“Saya akan mencoba berkonsultasi kepada dokter-dokter di sini dulu. Siapa
tahu mereka punya saran selain transplantasi ginjal,” kata Anna akhirnya, baru
terpikir tentang itu sekarang. Dia sedang berada di Austria. Pastinya banyak
dokter ahli yang bisa dia tanyai di sini.
“Terserah kau saja,” ujar Terry sambil berdiri dari duduknya. “Tapi, aku ingin
memberitahumu satu hal, Anna. Kalau dokter-dokter di sini tidak bisa
membantu, dan ayahku tidak bisa membantu, aku pun tidak bisa. Pertama, aku
ragu saudara tiri akan punya ginjal yang cocok. Kedua, aku tidak mengenalnya.
Jadi, sebaiknya kau tidak menaruh harapan apa-apa kepadaku.”
Anna memandang mata hijau lelaki itu.
Dia mengangguk, menangkupkan tangan, dan menatap karpet dengan
gamang.
Terry menggeleng frustrasi, kemudian keluar dari lounge dan menutup pintu.
Anna mengembuskan napas berat. Meski begitu, dia berterima kasih dalam
hati saat Gerda menepuk bahunya untuk menenangkan.
Dukungan sekecil apa pun sangat berarti baginya sekarang.[]
6
Freunde9

Lubang yang menganga di bagian bawah pintu hostel itu menyeramkan.


Selama ini, Gerda atau Terry hanya menyandarkan papan di depannya—papan
yang langsung roboh setiap kali tertiup angin atau ada kucing yang menyelinap
masuk. Jika lubang itu sudah terlihat, Anna akan mulai membayangkan yang
tidak-tidak—gerombolan ular yang melata ke dalam hostel atau portal ke dunia
lain. Sesuatu yang tidak masuk akal dan hanya tersembunyi di bagian paling
belakang otaknya dalam situasi biasa-biasa saja, tetapi akan menyeruak keluar
jika dia melihat kejanggalan-kejanggalan semacam itu.
Maka, pagi itu, Anna meneruskan lagi operasi perbaikan Luftschloss Hostel-
nya. Dia mengambil peralatan pertukangan sederhana dari gudang, lalu mulai
memaku tripleks baru untuk menutupi lubang itu. Selama bekerja, dia tak henti-
hentinya membatin, kenapa tak ada satu pun karyawan hostel yang bersedia
memperbaiki pintu ini? Toh bukan pekerjaan sulit. Anna memaku, mengecat,
dan merapikan, sampai kemudian terdengar suara ketukan.
Anna membukakan pintu. Dua gadis berwajah kaukasoid tersenyum lelah
kepadanya, sepertinya baru datang dari tempat yang jauh. Masing-masing
membawa koper ukuran kabin. Anna membalas senyum itu dengan sedih. Pasti
akan terjadi drama kembalikan-DP-ku lagi.
Dia mengantarkan dua tamu itu ke ruang resepsionis dan menunggu di dekat
pintu—kalau-kalau nanti mereka dan Terry bertengkar. Harus ada yang melerai,
tentu saja.
“So, this is all you’ve got?” tanya salah satu dari mereka, si gadis berambut
kemerahan, kepada Terry.
“Unfortunately, yes,” Terry menjawab dengan nada tak peduli seperti biasa.
Dua gadis itu saling bicara dalam bahasa Inggris dengan nada pelan dan rendah,
sebelum kembali memandang lelaki itu.
“Alright, then. Please guide us to the room.”
Anna mengerjap. Terry juga mengerjap.
Mereka mau menginap di sini?
“… mmm,” kata Terry, tampak bingung sesaat. “Okay.”
Lelaki itu mengambil seprai beserta perlengkapannya dari lemari, lalu
memberikannya kepada dua gadis tersebut. Dua gadis itu menerimanya dengan
wajah pasrah. Terry memeriksa paspor mereka—paspor Inggris—menerima sisa
pembayaran, dan mengantar dua gadis itu ke kamar dormitori berlabel Cloud.
Anna mengembuskan napas lega. Terry memberi mereka kamar yang sama
dengannya, yang berarti dia tidak akan sendirian lagi.
Anna pergi ke lounge setelah pekerjaan menambal pintu selesai. Dia tidak
pergi keluar, sibuk mem-browsing Internet dan menelepon dokter-dokter
Bintang di Jakarta untuk menanyakan daftar dokter ginjal terbaik di Austria. Dia
mendapatkan beberapa nama. Saat Anna sedang mencatat di buku sketsanya,
ponselnya berdering. Bintang menelepon lagi.
Anna akhirnya menerima panggilan itu. Lelaki itu toh harus tetap mengetahui
semuanya, cepat atau lambat.
“Hei,” sapanya pelan.
“Tidak berjalan baik, ‘kan?” tanya Bintang.
Anna tidak menjawab. “Saya ingin konsultasi dulu dengan dokter-dokter
ginjal di sini,” ujarnya. “Mungkin mereka punya alternatif selain transplan—”
“Ayah mengingat saya atau tidak …?”
Hati Anna mencelus.
Selama ini …, Bintang tidak pernah sekali pun menunjukkan sikap menaruh
harapan terhadap ayahnya. Lelaki itu selalu terlihat tenang jika membicarakan
masa lalunya, bahkan terkesan tidak peduli. Namun, sekarang Bintang
menanyakan soal ini, dan Anna pun sadar bahwa masalah ginjal itu akan tetap
menjadi persoalan kesekian bagi Bintang.
Yang terpenting bagi Bintang hanyalah apakah ayahnya mengingatnya atau
tidak.
“Ya,” jawab Anna lirih. “Dia ingat.” Anna tidak berbohong. Herr Gregoire
memang jelas mengingat Bintang meskipun berkata bahwa Bintang hanya masa
lalunya.
“Syukurlah.” Anna bisa merasakan senyum Bintang di seberang. “Sekarang,
pulanglah.”
“Saya sudah bilang—”
“Saya yakin dokter mana pun akan menyarankan hal yang sama, Anna.”
“Tapi, saya ingin memastikan lagi.”
“Kalau begitu bersenang-senanglah dulu. Jalan-jalan. Kamu sekarang
sedang di Eropa.” Anna kembali mendengar senyum dalam suara lelaki itu. Dia
bisa membayangkan mata Bintang yang redup itu masih memiliki kerlip yang
sangat murni di dalamnya, seolah Bima Sakti sendiri terselip di sana. Itu mata
orang yang memandang kehidupan dengan indah, mata orang yang dicintai alih-
alih yang ditinggalkan orangtuanya sejak kecil. Anna bertanya-tanya, kata-kata
lembut apa yang mungkin diucapkan ibu Bintang saat lelaki itu masih kecil dulu,
yang berhasil membentuk Bintang sampai seperti sekarang. Dan, kata-kata indah
apa yang mungkin saja pernah diucapkan ayahnya.
Mata Anna menerawang, pikirannya bekerja dengan lebih keras. Bintang
tumbuh menjadi lelaki yang baik dan tidak terpengaruh oleh masa lalunya. Herr
Gregoire sedikit banyak pasti punya andil untuk itu.
“Yah, kamu di Eropa, tetapi pikiranmu sepertinya sudah sampai ke bintang,”
Bintang melanjutkan. Sepertinya tadi dia sempat bicara, tetapi Anna tidak
mendengarkan.
“Sori,” gumamnya, kembali mengambil pulpen dan melanjutkan catatannya.
“Mampirlah ke negara lain,” ujar Bintang lagi.
“Masih belum ingin.”
“Esslingen sudah lumayan dekat. Kalau kamu ke sana, saya titip magnet
resin.”
“Iya, kalau ke sana. Ngomong-ngomong, saya sudah suruh adik kamu telepon
kamu.”
“Adik?”
Anna mengusap kepalanya. Dia baru ingat belum menceritakan bagian itu.
“Oh. Si public display affection,” ujar Bintang setelah Anna memberitahunya.
“Ternyata dia adik saya?” Dia bertanya dengan tenang, seolah hanya bicara soal
menu makan malam.
“Dia sepertinya butuh bantuan soal tugas akhir.”
“Enggak masalah.”
Mereka bicara tentang hal lain selama beberapa saat. Anna sudah hendak
memutuskan sambungan ketika Bintang memanggilnya lagi. “Anna.”
“Mmm?”
“Bersenang-senanglah. Kamu sejak dulu ingin pergi ke Eropa, ‘kan? Jangan
cuma memikirkan saya di sana.”
“Saya enggak pernah mikirin kamu.”
“Bagus,” lelaki itu berkata ringan. Anna pun memutus sambungan
teleponnya.
Pergi ke Eropa memang merupakan salah satu keinginannya sejak kecil.
Namun, sekarang Anna bahkan tidak ingat lagi Eropa mana tepatnya yang ingin
dia kunjungi, dan hal menyenangkan apa saja yang bisa dilakukannya selama
berada di sini.

Malam itu, Gerda membuat piza kalkun untuk disantap bersama-sama di ruang
makan. Anna mengobrol dengan Audrey dan Collette, dua tamu dari Inggris tadi,
yang baru pulang berjalan-jalan dari Schönbrunn Palace. Mereka kakak beradik
yang sangat ramah dan pelancong sejati, sudah mengunjungi banyak negara
selama bertahun-tahun.
“Yah, kami capek sekali,” ujar Collette si rambut merah, saat Anna bertanya
apa yang membuat mereka setuju-setuju saja menginap di Silent Hill ini. “Kami
baru dari Spanyol, pesawat murah kami turbulensi hebat selama kira-kira seumur
hidup. Lalu, aku sempat kecopetan di Schwechat.”
“Menyebalkan,” sahut Audrey, si cantik berambut hitam dan berkacamata
tipis. Dia mengangguk-angguk sambil menyesap latte-nya. “Kami sudah terlalu
menderita untuk mencari hostel baru. Lagi pula, tempat ini tidak buruk-buruk
amat, kok. Sedikit lebih bagus daripada yang pernah kami tempati di Buenos
Aires.”
“Paling-paling hanya ada hantu,” Collette berkata santai. “Orang Inggris
sudah terbiasa dengan yang begitu.”
“Sebenarnya, hostel ini terlihat cukup lumayan setelah Anna merapikannya.”
Gerda menghampiri meja, meletakkan sepiring piza yang sangat harum dan
duduk di sebelah Anna. “Coba kalian datang sebelum itu.”
“Tapi, kau ini tamu, kan?” tanya Audrey kepada Anna dengan heran. “Untuk
apa kau ikut-ikutan bersih-bersih di sini?”
“Hanya mencari kesibukan.” Anna tersenyum.
“Apa pekerjaanmu di Indonesia?” Collette bertanya dengan mulut penuh piza.
“Dulu, saya desainer gaun pesta.”
“Serius?” Mata dua gadis itu mendadak berbinar. Mereka saling pandang
seolah sedang berbagi rahasia, lalu kembali menatap Anna. “Audrey sedang
kebingungan mencari pola gaun yang cocok untuk pesta pertunangannya dengan
pacarnya bulan depan.”
“Mungkin kau punya ide?” tanya Audrey.
“Mungkin,” Anna menjawab. Dia membuka buku sketsanya, yang di
dalamnya sudah terselip beberapa pensil warna. “Kau ingin gaun seperti apa?”
“Aku tidak yakin. Pokoknya yang cocok untuk pesta kebun pada musim
semi.”
Saat itu, Cate masuk ke ruang makan. Gadis itu mengenakan tank top dan
celana panjang kulit, rambut cepaknya ditata berdiri seperti paku-paku. Dia
membawa sepiring makanan yang kemudian dia panaskan di microwave. Dia
tampak bosan, tetapi terlihat tertarik ketika bergabung dengan mereka dan
melihat Anna yang sedang menggambar. Di sebelah Anna, Gerda mendelik ke
arah gadis punk itu.
“Oh, kau suka menggambar gaun?” tanya Cate. “Aku sempat bicara soal
pernikahan dengan Terry. Mungkin kau bisa menggambarkan gaun untukku
juga?”
Gerda mendengkus menahan tawa. Cate menaikkan alis ke arahnya.
“Apa?” tanya gadis itu.
“Tidak. Ingin tahu saja, apa reaksi Terry waktu kau menyebut kata
‘pernikahan’ di depannya.”
“Dia mendengarkanku dengan cukup baik, kok.”
“Sambil muntah di dalam, aku yakin,” gumam Gerda. Untungnya, Cate tidak
mendengar.
“Hei, besok kami mau ke Krakow dan menginap dua hari di sana,” ujar
Collette, membuat Anna lega karena dia berhasil mencairkan situasi.
“Tidak!” pekik Gerda lirih. “Kalian besok sudah check out?”
“Belum. Kami akan kembali ke sini. Kalau kalian mau ikut, pasti lebih seru.”
“Aku sejak dulu ingin ke sana,” ujar Gerda. “Aku orang Austria, tapi
pengalamanku ke negara-negara tetangga sama bagusnya dengan Early Man.
Kebetulan besok dan besok lusa aku libur. Aku ikut.”
“Aku juga,” Cate menyahut, membuat senyum Gerda langsung padam.
“Katanya nightlife di sana oke. Aku akan mengajak Terry.”
“Terry harus menjaga hostel,” Gerda mendelik lagi. “Memangnya kau tidak
bisa pergi tanpa ada pacar di sebelahmu?”
“Tentu saja bisa. Tak masalah. Aku bisa berpura-pura tak punya pacar
sepertimu, kok.”
“Bagaimana denganmu, Anna?” tanya Audrey sebelum Gerda sempat
menendang kaki Cate di bawah meja.
Anna tercenung sejenak. Pensil warnanya menggoreskan gambar bunga plum
blossom dengan lembut. Dia melihat wajah Bintang di benaknya. Bersenang-
senanglah.
“Baiklah,” ujar Anna akhirnya. Dia tersenyum kepada Audrey dan Collette
yang berseri-seri, dan bahkan Gerda pun sepertinya telah lupa akan keikutsertaan
Cate.
Meski hanya akan ke Krakow dan tidak ke Esslingen, Anna tetap akan
membelikan magnet resin untuk lelaki itu.[]

------------------------------
9 (Jerman) Teman/sahabat.
7
Das Goldene Blut10

Pilihannya hanya cuci darah selamanya—yang tidak benar-benar selamanya,


karena dokter sudah bilang bahwa ginjal Bintang tidak akan bertahan selama itu
—atau transplantasi ginjal.
Itulah yang dikatakan semua dokter Bintang di Indonesia. Itu pula yang
disarankan semua dokter yang keesokan harinya ditemui Anna di Wina.
Salah satu dari mereka menyarankan Anna untuk datang ke transplant center
demi mencari tahu apakah ada ginjal yang cocok untuk Bintang di negara ini,
tetapi dokter itu langsung ragu saat mengetahui golongan darah Bintang.
“Rh-null,” ujar dokter itu. “Golden blood. Golongan darah paling langka di
dunia. Saya tidak yakin kau akan menemukan donor untuk golongan darah ini di
transplant center. Kau sudah mencoba bertanya kepada orangtuanya?”
Anna tidak tahu harus menjawab apa, tetapi akhirnya dia hanya bilang bahwa
latar belakang keluarga Bintang sangat rumit. Dokter itu tidak bertanya lebih
jauh.
Pemilik golongan darah Rh-null, atau golden blood, konon hanya sekitar 43
orang di seluruh dunia. Golongan darah itu tidak memiliki antigen Rh, sementara
hampir semua golongan darah memilikinya. Karena alasan itu pula pemilik
golden blood tidak bisa menerima darah atau organ dari donor yang memiliki
antigen Rh. Dengan kata lain, nyaris tidak ada donor yang sesuai.
Dan, karena donor ginjal harus memiliki golongan darah yang sama dengan
penerimanya, ginjal yang dibutuhkan oleh pemilik golden blood pun akan sangat
sulit—bahkan nyaris mustahil—dicari.
Saat dokter Bintang memberitahukan tentang hal itu dulu, lelaki itu sama
sekali tidak terlihat khawatir, dan malah berkata bahwa dirinya bangga karena
memiliki “darah emas”. Anna hanya bisa memelototinya, kemudian kabur dan
menangis di kamar mandi saat lelaki itu tidak melihat. Dia terus berpikir siapa
kira-kira yang bisa memiliki Golden Blood seperti Bintang? Dari situlah Anna
akhirnya mulai membuat rencana untuk pergi ke Austria.
Anna tidak akan sampai pergi ke negara ini untuk menemui ayah Bintang jika
punya pilihan lain.
Petang hari, setelah menemui para dokter, Anna kembali ke Luftschloss
dengan hati hampa. Setibanya di hostel, dia mendapati Gerda dan yang lain telah
siap untuk pergi ke Krakow dengan ransel di bahu dan tangan masing-masing.
Anna buru-buru pergi ke kamarnya, memasukkan pakaian seadanya ke tote bag
kain Nanu Nana yang tempo hari dibelinya di Westbahnhof, kemudian
bergabung dengan gadis-gadis itu. Cate tampak “sibuk” sekali bersama Terry,
dan Gerda sepertinya pura-pura tidak melihat.
Bus FlixBus tujuan Krakow, Polandia, menunggu di pangkalan bus di dekat
Stasiun Erdberg, yang terletak beberapa perhentian dari Stasiun Ottakring.
Jadwalnya sekitar pukul sepuluh malam. Anna terus melamun sepanjang
perjalanan ke stasiun dan, setibanya di sana, dia malah terpisah dari teman-
temannya ketika menyusuri platform yang ramai. Satu hal yang dia pahami sejak
tiba di Austria: jangan pernah mengharapkan orang Eropa untuk memberikan
rambu atau petunjuk apa pun tentang sistem transportasi. Letak pangkalan bus
bisa sangat membingungkan meski di dekat stasiun kereta dan, untuk sesaat,
Anna hanya bisa diam kebingungan tanpa tahu harus melangkah ke mana.
“Excuse me, can I help you?” Seorang wanita Austria yang membawa koper
besar menghampirinya.
“I need to go to the FlixBus shelter,” jawab Anna buru-buru.
“I’m going there too. Follow me.”
Anna mengikutinya dengan penuh terima kasih. Wanita itu mengantar Anna
ke dalam sebuah lift tua, menekan tombol ke lantai yang tidak mungkin bisa
diingat Anna, berbelok-belok hingga tiba di pangkalan bus. Anna yakin dia akan
benar-benar tersesat jika tidak ada orang yang membantunya.
“Thank you,” Anna berkata dengan suara bergetar. “Thank you very much.”
“No problem,” wanita itu tersenyum sebelum berlalu. Anna melihat Gerda di
kejauhan—gadis itu menghambur menghampirinya dengan wajah khawatir.
“Kau ke mana saja?” tanyanya gusar. “Kenapa kau terpisah dari kami?”
“Maaf.” Air mata Anna hampir jatuh. Udara dingin menusuk-nusuk kulitnya,
tetapi dia nyaris tidak bisa merasakannya. Dia begitu ingin menelepon Bintang,
hanya demi mendengar suaranya, tetapi sekarang masih pukul empat pagi di
Indonesia. Dia tidak ingin mengganggu tidur lelaki itu.
“Busnya sudah datang. Ayo.”
Anna mengikuti Gerda yang melangkah cepat menuju sebuah bus hijau
bertingkat dua. Setelah menunjukkan paspor, mereka naik dan langsung
disambut penghangat ruangan di dalam bus. Anna duduk di dekat jendela, Gerda
di sebelahnya.
“Mana yang lain?” tanya Anna. Kondektur dan sopir bus itu mondar-mandir
di gang, dan para penumpang masih berdatangan.
“Audrey dan Collette lebih suka di lantai atas. Cate, aku tidak peduli.” Gerda
mengeluarkan selimut dari ransel, menyampirkannya ke tubuh. Kedua kakinya
ditekuk naik ke atas kursi. “Nah, bagaimana? Kau sudah menemui dokter-dokter
itu?”
Anna mengangguk pelan. “Tidak ada cara selain transplantasi. Dan, semakin
sulit karena golongan darah Bintang Rh-null.”
“Aku lupa apa golongan darah Terry. Yang jelas, seingatku bukan Rh-null.
Aku bahkan baru tahu ada golongan darah seperti itu.”
Setelah hiruk pikuk yang melibatkan pemeriksaan paspor dan sebagainya, bus
pun mulai melaju. Anna menatap ke luar jendela untuk sejenak, memandangi
bangunan bergaya tua dan modern yang berdiri berselang-seling.
“Gerda, kau dulu asisten Herr Gregoire, ‘kan?” tanya Anna. “Bagaimana
pendapatmu tentangnya?”
Gerda menggeleng sedih. “Yah. Dia tidak selalu seperti ini. Bersikap seolah-
olah tidak peduli, maksudku,” ujarnya. Gadis itu menerawang sesaat. “Tunggu.
Kau bilang nama tunanganmu berarti das Stern?”
“Ya. Mantan tunangan, lebih tepatnya.”
“Waktu aku kecil,” sahut Gerda, tak memedulikan kata-kata Anna, “dan Herr
Gregoire masih menjadi guru musikku, lagu yang pertama kali diajarkannya
kepadaku adalah ciptaannya sendiri. Judulnya Das Stern.”
“Benarkah?” tanya Anna tanpa berkedip. Gerda mengangguk sambil memeluk
lutut. “Lagu itu indah sekali, bahkan di telingaku yang masih kecil. Aku ingat
bertanya, ‘Anda suka bintang?’ Dan aku ingat Herr Gregoire menjawab sambil
tersenyum. Senyum Herr Gregoire sangat mahal dan langka, omong-omong,
mungkin sama langkanya dengan golongan darahnya. ‘Ya, saya
menyayanginya,’ katanya. Kau biasanya bilang ‘ich liebe es’ kalau menyukai
sesuatu. Tapi, Herr Gregoire menggunakan kalimat ‘ich liebt ihn’. Itu lebih
ditujukan untuk seseorang alih-alih sesuatu.”
Anna tercenung, mencoba memahami penjelasan itu.
“Ayah mana yang tidak menyayangi anaknya, Anna?” ujar Gerda sambil
mengembuskan napas. “Herr Gregoire selalu menyayangi Bintang, aku yakin.
Seharusnya dia tidak keberatan kalau harus menyumbangkan ginjal untuk
putranya sendiri.”
“Tapi, bagaimana caranya supaya dia mau menunjukkan bahwa dia
menyayangi anaknya alih-alih menyangkal …?” tanya Anna lirih.
“Pertanyaan bagus. Aku punya ide sebenarnya, tapi ide ini gila.”
“Apa?”
“Suruh Bintang ke sini untuk menemuinya.”
“Kondisinya tidak memungkinkan.”
“Ya, aku tahu. Kalau begitu, suruh Bintang meneleponnya.”
“Itu bukannya tidak terpikirkan oleh saya. Tapi, saya takut Herr Gregoire
malah akan menolaknya. Dan, barangkali Bintang pun belum siap.”
“Berarti kita hanya bisa menunggu.” Gerda memperbaiki posisi duduknya.
“Begini. Aku akan menemanimu kalau kau berencana menemui Herr Gregoire
lagi. Kalau perlu, akan kuseret juga Terry. Kita bicara kepadanya bersama-
sama.”
Anna mengangguk penuh terima kasih.
Ketika Gerda mulai tidur di sebelahnya, Anna kembali menoleh ke jendela.
Menatap bintang.[]

------------------------------
10 (Jerman) Golden blood.
8
Blau11

Satu hal yang paling diingat Terry tentang ibunya adalah, beliau sangat
menyukai cat kuku.
Saat masih kecil, Terry sering memperhatikan ibunya bereksperimen dengan
kuteks-kuteks beraneka warna dan kemasan. Ibunya sesekali akan mengecup
rambutnya sambil tersenyum hangat di tengah aktivitas itu, sembari bertanya
kepada Terry warna apa yang paling cocok untuknya. Yang sering Terry
pilihkan adalah biru. Biru apa pun—biru langit, azure, safir, navy, kobalt.
Namun, anehnya, setiap kali Terry memilihkan warna tersebut, wajah ibunya
akan berubah sendu. Dan, Terry pun harus buru-buru memilihkan warna lain
yang mungkin beliau sukai—cokelat atau hijau atau merah muda. Setelah itu,
ibunya pun akan kembali tersenyum ceria, dan baru beberapa tahun kemudianlah
Terry memahami apa arti warna biru bagi beliau.
Ibunya menderita kelainan jantung. Penyakit itu membuat hemoglobin sulit
bersirkulasi di sekujur tubuhnya, dan menjadikan warna kukunya biru, alih-alih
merah muda seperti kuku orang dengan jantung normal. Memilihkan dia kuteks
berwarna biru berarti mempertegas keberadaan penyakit itu, dan Terry pun
menyesali setiap detik yang dia habiskan untuk memilih warna tersebut.
Pemakaman ibunya di Johann-Staud-Strasse berlangsung sunyi. Waktu itu
hujan deras, ayahnya menggandeng tangannya di bawah payung berwarna gelap.
Terry tidak ingat bagaimana raut wajah ayahnya saat itu. Yang dia ingat
hanyalah impresi sosok bertubuh tinggi besar yang berdiri kaku di tengah hujan,
seolah-olah kehangatan dirinya telah terserap habis oleh udara dingin dan luka.
Itu terakhir kalinya Terry merasakan tangan ayahnya menggenggamnya.
Terry kini duduk bersandar di ruang resepsionis, kakinya terjulur di atas meja,
sebelah tangannya memainkan botol kuteks yang isinya sudah mengering selama
bertahun-tahun. Setelah ibunya meninggal, ayahnya memutuskan untuk
menyumbangkan semua barang beliau tanpa kecuali, tetapi Terry berhasil
mencuri botol kuteks berwarna pink keemasan ini. Warna yang paling disukai
ibunya.
Tangan Terry yang lain memegang ponsel. Nomor telepon kakak barunya
tertera di sana. Terry tanpa sadar telah berlatih melafalkan nama tunangan Anna
itu di benaknya. Bin-tang. Bintang. Bintang. Namun, dia tidak mau bersusah
payah juga. Jika nanti dia kesulitan, dia tinggal memanggil lelaki itu Stern saja.
Dia mengatakan yang sebenarnya saat berkata bahwa dia tidak marah akan
fakta bahwa dia ternyata memiliki kakak. Lagi pula, bagaimana mungkin dia
marah kepada orang yang bahkan tidak pernah dia kenal? Terry jelas lebih
marah kepada ayahnya, karena orang itu tidak pernah sedikit pun bercerita
tentang ini—bahwa dia pernah menikah sebelumnya dan punya anak dari
pernikahan itu. Kebencian Terry terhadap Gregoire tidak pernah sampai sebesar
ini.
Saat Terry berkata akan menelepon Bintang, dia bukannya bermaksud untuk
beramah-tamah atau bahkan membicarakan tugas akhir. Dia hanya ingin tahu
apakah kakaknya itu juga memiliki perasaan sama sepertinya—membenci ayah
mereka—dan Terry akan senang jika itu benar. Berarti dia akan punya sekutu
untuk diajak mencaci maki ayah mereka. Itulah gunanya kakak, bukan? Gerda
sangat mengagumi ayah Terry; gadis itu bukan sekutu yang baik. Dan, memang
tidak pernah ada sekutu yang baik. Rasanya menyiksa setiap kali Terry melihat
betapa semua orang sepertinya memiliki ayah yang sempurna, yang hadir saat
anaknya mengikuti lomba atau resital atau hal-hal konyol semacam itu. Pernah,
salah satu teman Terry bertanya, “Mana orangtuamu?”
“Tidak datang.”
“Ayahku selalu menontonku saat aku ada resital.”
Detik berikutnya, Terry sudah menonjok muka anak itu sampai giginya patah.
Dia diskors dari sekolah selama tiga hari gara-gara itu.
Terry mengembuskan napas dan mengerling arloji. Pukul sembilan pagi.
Berarti pukul tiga siang di Indonesia. Dia menekan tombol telepon, menunggu
panggilannya diangkat.
Terdengar sebuah suara di seberang.
Terry sudah melihat foto-foto Bintang yang ditunjukkan oleh Anna, dan suara
lelaki itu ternyata memang sesuai dengan penampakannya. Ringan, sopan,
terkesan berjarak. Mirip suara ayah mereka saat lebih muda dulu. Ada beberapa
lantunan alat-alat musik strings di latar belakang.
“Halo?”
“Hallo. Ich heiße Terry12,” sahut Terry tanpa basa-basi, sengaja menggunakan
bahasa Jerman. Jika orang ini memang kakaknya, dia pasti akan memahaminya.
“Mungkin kau tidak mengenalku,” lanjutnya.
Suara itu terdiam sejenak. Terry mendengarnya berbicara dalam bahasa
Indonesia, mungkin ditujukan kepada para pemain strings di sana. Beberapa
detik kemudian, tak ada suara musik lagi. Mungkin lelaki itu meminta izin
keluar ruangan untuk bicara dengan Terry.
Baik sekali, pikir Terry.
“Anna hatte mir alles erzählt13,” ujar Bintang. Bahasa Jerman-nya, tanpa
diduga, sangat lancar. “Kau ingin bicara tentang tugas akhir?”
Biasanya, dalam pohon keluarga, jika ada satu anak yang serampangan, anak
lainnya akan kalem dan ramah. Begitu bukan teorinya? Namun, mungkin itu
tidak berlaku dalam kasus mereka. Bintang sepertinya sama dengan Terry,
dingin dan berjarak, hanya saja mungkin dengan cara yang lebih lembut. Mereka
dan ayah mereka akan menjadi tamu menyenangkan dalam kuis Family Feud.
Terry menunggu lelaki itu bicara lagi. Atau, mungkin lelaki itu yang
menunggu Terry bicara duluan, entahlah. Pada akhirnya, Bintang-lah yang
memecah keheningan.
“Jadi,” ujarnya, “tugas akhirmu tentang apa?”
“Pertanyaan bagus. Aku tidak tahu.”
“Bahkan, judul pun tidak tahu?”
“Sulit membuat judul kalau kau bahkan tidak terlalu menyukai kampusmu
lagi.”
“Masuk akal.”
“Kau sendiri dulu menulis tentang apa?”
“Pengaruh Air on the G Strings dalam musik kontemporer.”
“Bagaimana kalau kau kirimkan kepadaku, dan aku akan menyalinnya? Hanya
saja, Air on the G Strings akan kuganti dengan komposisi piano.”
“Langkahi dulu mayatku.”
“Gampang. Tinggal sebentar lagi, ‘kan?”
Jeda.
“Sori,” Terry berkata sambil mengusap pelipisnya. Mengapa dia berkata
begitu? “Itu keterlaluan. Kadang kalau bercanda aku memang—”
“Kau tidak cocok meminta maaf.”
Tanpa Terry duga, Bintang tertawa. Bukan tawa sarkastis atau sedih seperti
yang seharusnya dilontarkan orang-orang yang mendengarkan kalimat ngawur
seperti itu, melainkan tawa geli, dan mungkin juga senang. Terry menjauhkan
ponsel dari telinganya, memandang benda itu dengan tidak percaya. Orang ini
sebenarnya sakit ginjal atau sakit jiwa?
“Selera humormu parah sekali, tapi itu lebih baik daripada belas kasihan,”
ujar Bintang kemudian.
“Harusnya tadi aku mengasihanimu, kalau begitu.”
“Terlambat. Dan, kau jelas tak pantas mengasihani orang juga. Nah, kurasa
aku tidak akan memberikan tugas akhirku untuk kau salin. Jadi, bagaimana
kalau kau mencari ide sendiri, dan aku akan mencelamu habis-habisan karena
idemu pasti sama parahnya dengan selera humormu?”
“Pengaruh Nocturne dalam United States of Eurasia milik Muse.”
“Tak jauh beda dengan tulisanku.”
“Kau mengambil spektrum yang terlalu luas. Musik kontemporer. Bikin
pusing dan hanya menambah-nambah masalah. Aku cuma mengambil Muse.”
Bintang terdengar mengembuskan napas. “Okelah,” ujarnya. “Jadi, United
States of Eurasia kenapa?”
“Outtro-nya adaptasi dari Nocturne in E Flat Major.”
Mereka membicarakan topik itu sampai mendetail, terkadang disisipi celaan
seperti sebelumnya, sementara tangan Terry menulis di atas kertas. Ketika Terry
menyadarinya, sudah nyaris pukul sebelas. Dia dan Bintang mengobrol nyaris
dua jam. Jika tidak ada peringatan baterainya tinggal lima persen, Terry
mungkin akan terus mengoceh.
“Hei, bateraiku mau habis,” ujarnya. “Lanjut lagi besok, oke?”
“Besok aku harus cuci darah.”
“… Oh.”
“Besok lusa aku yang telepon,” ujar Bintang. Lucu bagaimana dia terdengar
biasa saja, sementara suasana hati Terry mendadak berubah drastis. “Oh, ya,
titip salam untuk Anna. Bilang kalau aku—” Bintang tidak melanjutkan, tetapi
Terry tahu dia tersenyum tipis di seberang. Suara orang yang tersenyum
terdengar berbeda. Lebih hangat. “Yah, pokoknya salam untuknya.”
“Oke.” Sebelum Bintang memutuskan sambungan, Terry buru-buru berkata,
“Tunggu.”
“Ya?” Bintang menyahut cepat.
Terry ragu-ragu sejenak. Dia bertanya-tanya apakah menyebutkan soal ayah
mereka sekarang adalah ide yang bagus dan tidak akan merusak suasana.
Bintang membantunya.
“Kita bicara soal tugas akhirmu dulu, baru bicara soal itu,” ujarnya.
“Ide bagus.”
Telepon pun ditutup.
Terry menyambungkan charger pada ponselnya, lalu kembali memainkan
botol cat kuku milik ibunya. Sesaat, dia merasa linglung, seolah sedang berada
di alam mimpi.
Dia baru bicara dengan kakak tiri yang sebelumnya tidak pernah dikenalnya,
dan kakak tirinya itu berkata akan meneleponnya lagi esok lusa.
Seumur hidup, tak pernah dia membayangkan akan mengalami hal seaneh ini.

Bintang memang benar-benar meneleponnya dua hari kemudian, dan bahkan


lebih mengejutkan karena dilanjutkan dengan video call. Itu membuat Terry
kalang kabut—dia sama sekali belum melakukan apa pun dengan Pengaruh-
Nocturne-United-States-of-Sesuatu-Itu. Saat Bintang menanyainya, Terry hanya
bergumam tak jelas sambil cepat-cepat menulis di kertasnya.
“Kau belum mengerjakannya,” ujar Bintang datar. Lelaki itu sedang berada di
rumah sakit, dan sekilas Terry merasa melihat dirinya sendiri di layar ponsel,
hanya saja dengan beberapa pengecualian. Wajah Bintang lebih pucat, tulang
pipinya lebih tegas. Matanya berwarna kelabu. Dia jelas dinamai “Bintang”
bukan tanpa alasan. Kedua matanya seolah-olah memang ada bintangnya, dan itu
bukan pujian. Tak seharusnya laki-laki punya mata seperti itu. Tak seharusnya
punya lesung pipi juga.
“Sori, aku banyak kerjaan,” ujar Terry. “Luftschloss harus ada
resepsionisnya.”
“Kau tahu apa artinya Luftschloss?”
“Tentu saja tahu. Aku orang Austria sepenuhnya, tidak seperti kau.”
“Mm-hmm.”
“Ayahku yang menamai hostel ini seperti itu.”
“Ya, sudah kubaca di situsnya.”
Terry melanjutkan menulis pendahuluan tugas akhirnya.
“Maksudku,” dia menambahkan, “Dia bukan cuma ayahku.”
“Tahu.”
Sebenarnya, Terry tidak ingin melihat ke layar ponsel, tetapi dia penasaran.
Jadi, dia mengerling layar itu sejenak, berharap Bintang sedang melihat ke arah
lain. Namun, lelaki itu tengah memandang lurus ke arahnya. Dia tidak
tersenyum, tetapi juga tidak tidak tersenyum. Entah apa maksudnya itu.
“Dengar. Membicarakan orang itu bukan ide bagus,” ujar Terry datar.
“Memperburuk suasana. Kau sendiri yang bilang kita akan membicarakan tugas
akhir sialan ini dulu.”
“Kau yang mulai. Aku cuma tanya apa kau tahu artinya Luftschloss, lalu kau
menyebut-nyebut dia.”
“Kau benar-benar menyebalkan. Sama seperti dia.”
“Kau tidak menyukainya?”
“Lebih dari itu. Aku membencinya. Kau pasti juga begitu.”
“Aku ingin. Tapi, tidak bisa.”
Terry mengembuskan napas. Mendadak, dia merasa amat marah. Hilang
sudah harapannya untuk memiliki sekutu.
Dia membanting pulpennya ke atas meja dan menatap gusar ke layar ponsel.
“Kau tidak usah sok baik!” bentaknya. “Dia meninggalkanmu waktu kau
masih lima tahun, menikah lagi dengan ibuku, punya anak aku. Kalau kau tidak
marah, entah kau ini tidak normal atau hanya berpura-pura.”
“Aku divonis gagal ginjal dan akan mati kalau tidak segera mendapat donor.
Aku tidak punya waktu untuk membenci orang.”
Sorot mata kakak tirinya menajam dan, saat itu, Bintang terlihat seperti sosok
yang sangat berbeda. Seolah dari wajah lembut itu muncul wajah lain—bukan
lagi bintang yang bercahaya terang, melainkan bintang mati. Wajahnya kini
lebih mirip lagi dengan Terry, hanya saja lebih menakutkan.
“Oke,” kata Terry kemudian. “Kau tidak bisa membencinya karena kau butuh
ginjalnya.”
Wajah Bintang tiba-tiba hilang dari layar.
Terry mengerjap.
Dia mengambil ponselnya, mendapati sambungan video call telah terputus.
Dahinya mengernyit tak percaya—dia salah bicara lagi? Namun, memangnya
dia bicara apa? Dia kan hanya bilang—
Oke …, itu memang bukan kalimat yang menyenangkan, tetapi tidak
melampaui batas, bukan? Dibandingkan olok-oloknya dua hari yang lalu, kata-
kata itu—
Mata Terry terpejam. Dia mengembuskan napas dengan frustrasi.
Ucapannya memang keterlaluan.
Apa dia harus mengirim pesan dan meminta maaf? Tidak usah, pikirannya
langsung berkata gengsi. Orang itu pasti akan segera meneleponnya lagi. Terry
pun menunggu sambil kembali melanjutkan bab pendahuluannya. Namun, lima
belas menit berlalu, dan Bintang belum juga menelepon. Terry mulai gelisah
memikirkan apa sebaiknya yang harus dia lakukan ketika ponselnya kembali
bergetar.
Panggilan video call. Terry menerimanya lebih cepat daripada yang dia
inginkan.
Wajah Bintang muncul. Dia terlihat tenang, tetapi raut bintang mati itu tidak
berubah.
“Kau lebih berengsek dari yang kukira,” adalah kalimat pertamanya.
“Aku lebih suka kau memukulku, sebenarnya. Walaupun, yah, kuakui aku
memang berengsek,” ujar Terry, pura-pura sibuk menulis. “Barangkali faktor
keturunan,” tambahnya.
“Dia tidak selalu seperti itu.”
“Ya, aku juga ingat, kok. Dia tidak seperti itu kira-kira kapan, ya? Seribu
tahun yang lalu?”
“Apa yang kau inginkan, Terry?”
“Apa yang kuinginkan.” Suara Terry meninggi. “Hal yang sangat besar. Aku
cuma ingin ayahku tidak meninggalkan anaknya saat sang anak sangat
membutuhkannya. Aku sudah kehilangan ibu—aku tidak ingin kehilangan ayah
juga. Yang kuinginkan sama sepertimu.”
“Aku tahu.”
“Lalu, untuk apa kau bertanya?”
“Cuma memastikan.”
Terry mendengkus dan menulis dengan serampangan di bukunya. Punya
kakak tiri ternyata sangat merepotkan. Dia benar-benar tak paham apa
sebenarnya yang lelaki itu inginkan.
Dia kemudian mendengar Bintang tertawa sepintas.
“Kita menginginkan hal yang sama, tapi menyikapinya dengan cara
berbeda,” katanya.
“Kau boleh terus menjadi anak baik. Aku akan tetap menjadi diriku sendiri.
Toh, orang itu tidak akan peduli.” Terry kembali mengembuskan napas.
“Bisakah kita bicara soal lain?”
“Bisa,” Bintang menjawab ringan. “Siapa itu? Kekasihmu?” Dia akhirnya
mengubah topik pembicaraan. Terry menoleh ke arah yang dimaksud Bintang.
Fotonya bersama Gerda yang tergantung di dinding di belakangnya. Keduanya
berangkulan dan tertawa. Mereka waktu itu bermain ski di Zurich, pengalaman
pertama Gerda menginjakkan kakinya di negeri tetangga. “Bukan. Dia teman
bermain musik sejak kecil.” Terry mengeluarkan foto Cate dari lacinya dan
menunjukkannya kepada Bintang. “Pacarku yang ini.”
“Dua-duanya cantik, tapi yang di pigura di dinding itu lebih cantik.”
“Dia sepertinya memang tipemu. Sifatnya tak jauh berbeda dengan Anna.”
“Kau tak suka yang seperti itu?”
“Aku tidak pantas untuk mereka,” sahut Terry. Suaranya tanpa dia sadari
terdengar hampa.
Dia sebenarnya menyukai Gerda sejak kecil. Namun, seperti yang dia bilang
tadi, dia tidak pantas untuk gadis itu—hanya karena gadis itu begitu baik, cerah.
Terlalu indah untuk menjadi kekasih lelaki bermasalah sepertinya.
“Omong-omong, bagaimana kau dan Anna bertemu?” tanyanya kemudian.
“Dia sudah cerita, tapi mungkin versimu berbeda.”
“Dia kakak kelasku. Jurusan kami berbeda, tapi waktu itu ada mata kuliah
yang dihadiri semua jurusan,” jawab Bintang. “Kami sekelas. Dia duduk
sendirian, aku mengambil tempat di sebelahnya.” Wajah Bintang kini kembali
seperti semula, bintang yang bercahaya.
“Sama dengan yang dia ceritakan,” ujar Terry.
“Dia cantik sekali.”
“Mungkin karena rambutnya, tapi aku sempat mengira dia hantu dari Jepang
waktu kali pertama melihatnya. Tapi, ya, dia memang sangat cantik.” Terry
mengambil air mineral dan meneguknya. “Kenapa kalian putus?” tanyanya,
tetapi segera melanjutkan, “Oh, sudahlah, tidak perlu kau jawab. Pasti alasan
konyol seperti di drama-drama murahan.”
“Seperti apa drama-drama murahan itu? Aku tidak pernah nonton. Selera
kita sepertinya berbeda.”
“Aku juga tidak akan nonton kalau tidak dipaksa Gerda.”
“Aku sudah menyukai Gerda.”
“Kapan-kapan kukenalkan. Nah,” Terry menaruh pulpen dengan lega dan
menunjukkan bab pendahuluannya ke arah layar ponsel, “aku sudah selesai
bagian ini.”
“Kau serius menyuruhku membaca tulisan tangan sampah itu?”
“Dengarkan baik-baik. Akan kubacakan.”
“Kenapa kau menulis dengan tangan? Kau punya laptop, ‘kan?”
“Aku tidak bisa langsung menulis di komputer. Harus tulis tangan dulu.”
“Sama.”
“Orang bilang aku aneh dan ketinggalan zaman.”
“Ayah juga biasa menulis apa pun dengan tangan.”
Terry menatap catatannya. Dia terdiam sebelum kembali mendongak ke layar.
Kakaknya juga memandangnya dan, sesaat, mereka tidak berkata apa-apa.
“Aku tidak bisa membencinya bukan karena butuh ginjalnya,” ujar Bintang
kemudian. Sorot matanya berubah pedih, dan hal itu mendadak menoreh hati
Terry lebih daripada yang bisa dilakukan pisau mana pun. “Aku tidak bisa
membencinya karena aku hanya mengingat kenangan menyenangkan
tentangnya. Sampai sekecil-kecilnya.”
“Apa yang paling kau ingat?” tanya Terry tanpa intonasi.
“Dia pernah membawaku ke Wina, membelikanku wafer yang lezat sekali.
Dia mengajariku bermain piano vintage. Dia menggendongku sewaktu aku
masih lima tahun, sebelum dia pergi. Membawaku berkeliling toko musik. Dia
memberitahuku, ‘Ayah mencintai musik lebih dari apa pun. Tapi, Ayah lebih
mencintaimu.’ Klise, sentimental. Tapi, sangat berarti.”
“Itulah bedanya kita,” sahut Terry. “Dia tidak pernah bilang begitu
kepadaku.”
“Mungkin pernah. Kau cuma lupa. Karena kau hanya ingin mengingat yang
buruk-buruk tentangnya.”
“Kalau kau memang memujanya sampai seperti itu, kenapa tidak
menghubunginya? Mengobrol penuh haru biru dengannya?” tanya Terry, lalu dia
mengangguk penuh ironi. “Benar. Karena kau takut. Kau takut idealisme yang
kau bangun dengan indah itu runtuh begitu saja. Kau tidak menyayangi Ayah.
Kau hanya menyayangi impresimu tentangnya.”
Suasana hening setelah itu. Bintang tampak menatap ke arah lain, ke titik yang
tidak bisa dijangkau Terry.
“Ini memang menyedihkan, tapi terimalah kenyataan, Stern,” ujar Terry.
“Ayah meninggalkan kita. Dia tidak menyayangi kita sebesar yang kita
inginkan.”
“Dia pasti punya alasan.”
Terry memegang pelipisnya dengan putus asa. Rasanya, dia ingin sekali
membanting ponselnya sampai hancur berkeping-keping, tetapi segera
mengepalkan tangan untuk menahan diri.
“Yah, oke, terserah kau,” ujarnya dengan suara rendah. “Silakan terus
berharap. Sementara itu, mari ingat bahwa kau butuh ginjal, dan aku masih
bertahan pada pendapatku bahwa kecil kemungkinan Ayah sudi memberikan
ginjal berharganya untukmu. Jadi, bagaimana kalau kita mulai mencari alternatif
lain?”
“Jadi, sekarang kau mau membantuku?”
“Aku tidak bilang begitu.”
Bintang tersenyum tipis.
“Yah,” ujar Bintang, “cukup mencari orang lain yang bergolongan darah Rh-
null.”
“Berengsek!” Terry menghantam meja dengan marah. “Itu cuma Ayah yang
punya!”
“Tidak juga. Ada sekitar 41 orang lain di dunia.”
“Itu menyelesaikan persoalan, terima kasih.”
“Kau tidak perlu khawatir. Aku sudah mulai melakukan riset. Dari 41 orang
itu, ada 9 donor darah aktif dan datanya tercatat di database bank donor. Aku
ingin segera menyelesaikan ini agar Anna juga bisa segera pulang.”
“Bagus. Bagaimana caramu menemukan database-nya?”
“Oh, ada saja caranya,” kata Bintang tenang, “kalau kau punya teman yang
mampu meretas komputer.”
“Jadi, siapa saja sembilan orang itu? Kita akan menelepon mereka satu per
satu dan bilang, ‘Maaf, kami butuh ginjal,’ atau bagaimana?”
“Aku akan mengabarimu lagi. Aku juga masih berkonsultasi dengan dokter.”
“Oke.”
“Oh, tadi kita membicarakan pendahuluan tugas akhirmu, kan?
Teruskanlah.”
“Akan kuketik dan kirimkan kepadamu saja besok.”
“Solusi terbaik darimu hari ini.”
Terdengar suara-suara di latar belakang Bintang. Lelaki itu memandang
sejenak ke arah lain. “Yah,” ujarnya, “aku disuruh tidur.”
“Oke.”
“Besok kau bisa meneleponku.”
“Ya, kalau Wi-Fi-nya tidak bermasalah.”
“Senang mengobrol denganmu. Punya adik ternyata tidak buruk.”
“Kalau kau ingin aku terharu mendengar kata-katamu, kau hanya mimpi. Auf
wiedersehen.” Terry mematikan sambungan telepon.
Namun, sebenarnya dia memang terharu, dan dia lega video call sialan itu
sudah mati sebelum Bintang sempat memergoki kilau di matanya.
Padahal, dia baru mengenal kakak tirinya itu. Tidak seharusnya
tenggorokannya tersekat gara-gara hal kecil seperti ini. Dia tidak menyangka
istilah darah lebih kental dari air itu ternyata benar.
Terry menghela napas dalam-dalam sebelum mengambil laptop dan mulai
mengetikkan bab pendahuluannya. Dia juga mulai mencari tahu tentang
golongan darah Rh-null.
Setidaknya, masih ada orang lain yang memiliki golongan darah tersebut.
Yang berarti masih ada harapan.[]

-----------------------------
11 (Jerman) Biru.
12 (Jerman) Namaku Terry.
13 (Jerman) Anna sudah memberitahuku semuanya.
9
Der Fallende Stern14

Anna merangkup cangkir latte-nya yang sudah tersaji di konter, kemudian


melangkah ke bagian paling nyaman di chain café di Krakow itu.
Sementara senja itu Gerda dan yang lain berbelanja dan bersenang-senang di
HardRock, Anna malah memilih mengunjungi kafe kecil ini untuk
menghabiskan waktu. Untuk kota yang sempat mengalami efek parah pada
Perang Dunia II, Krakow tidak terlalu seperti bayangan Anna. Dia tadinya
berpikir kota ini akan suram dan sendu, tetapi nyatanya auranya lebih ingar
bingar daripada Wina. Banyak anak muda yang sedang berlibur kemari,
beberapa lumayan bising. Hanya berada di tengah keramaian seperti itu saja,
Anna merasa lelah. Jadi, dia pamit kepada yang lain dengan alasan ingin
meneruskan sketsa gaun pertunangan Audrey.
Anna mengeluarkan buku sketsanya dan lanjut menggambar. Audrey
memiliki tubuh tinggi semampai dan kulit indah yang tidak terlalu terang. Gaun
berpola mermaid dengan warna peach akan cocok untuknya.
Dia sedang menggoreskan payet-payet bunga-bunga plum blossom di rok
gaun tersebut ketika ponselnya berdering. Anna mengangkatnya. Kalimat
pertama yang diucapkan Bintang kepadanya adalah, “Jadi, orang yang bikin
kamu kesal gara-gara public display affection ternyata seperti itu?”
“Oh,” Anna tersenyum. “Dia sudah telepon?”
“Ya. Lalu kami video call. Sama sekali tidak mirip saya.”
“Dari samping mirip,” ralat Anna, meneruskan menggambar. “Kalau sifat,
memang tidak terlalu.”
“Bukan tidak terlalu. Memang sama sekali tidak.”
Anna tertawa lirih. “Gimana rasanya punya adik?” tanyanya.
“Masih belum terbiasa.” Lelaki itu pun mulai berbicara panjang lebar tentang
obrolannya dengan Terry. Anna berhenti menggambar karena tidak ingin
terlewat mendengarkannya. Bintang biasanya tidak banyak bicara, tetapi
sekarang berbeda. Dan, ada sesuatu dari suaranya yang mengingatkan Anna
kepada percikan kembang api yang sudah lama tidak menyala. Percikan itu
membuat hati Anna menghangat.
“Kok diam?” tanya Bintang. “Enggak mau jelek-jelekin dia juga?”
“Kamu aja. Saya sudah, kemarin-kemarin,” ujar Anna sambil tersenyum.
Mereka kemudian membicarakan hal-hal lain, termasuk liburan Anna ke
Krakow, sebelum akhirnya menutup telepon.
Ketika Gerda dan yang lain menjemput, sudah pukul setengah sebelas malam.
Mereka kembali ke Bubble Hostel tempat mereka menginap, menuju lantai lima
menggunakan lift—yang sepertinya akan cocok muncul di film-film horor tua.
Anna, Gerda, Audrey, dan Collette menempati kamar dengan empat bunk bed.
Cate tidur di kamar single karena Gerda tidak mau sekamar dengannya.
Jendela kamar mereka langsung menghadap ke arah menara jam yang tinggi
di luar, juga langit malam yang cerah. Anna duduk di bunk bed bagian atas,
menatap pemandangan indah berbintang itu, sebelum memejamkan mata untuk
tidur.

Mereka kembali ke Wina esok paginya, menempuh tujuh jam perjalanan lagi dan
tiba pukul dua siang. Collette dan Audrey tidak punya rasa lelah, langsung naik
kereta ke distrik The Hofburg untuk berjalan-jalan. Gerda sudah ingin pulang ke
rumahnya, tetapi akhirnya memutuskan untuk ke Luftschloss dulu bersama
Anna, dan tentu saja Cate—yang masih tidak digubrisnya. Gadis punk itu sama
sekali tidak keberatan dengan sikap Gerda. Dia terus mendengarkan Panic at the
Disco dari Spotify-nya dengan suara yang terdengar sampai ke luar headset.
Begitu mereka tiba di hostel, dia langsung menghambur ke arah Terry.
Sayang sekali. Gerda langsung masuk ke lounge. Dia tidak melihat Terry yang
menjauhkan kedua lengan Cate dengan halus, mencegah gadis itu memeluknya.
“Kau dingin sekali,” ujar Cate sambil mengerucutkan bibir. “Aku baru pulang
dan ingin bersenang-senang denganmu, tapi sikapmu malah begini. Ayo—”
“Sori, Cate, aku harus ke kampus,” Terry menyahut dan menyelempangkan
ranselnya. “Selagi aku tidak malas mengerjakan tugas akhir bodoh ini.”
“Kau biasanya tidak peduli dengan tugas kuliahmu.”
“Yah, memang. Ini terpaksa,” ujarnya. “Anna, nanti suruh Gerda menjaga
ruang resepsionis. Atau kau saja tidak masalah, kalau mau.”
“Baik,” kata Anna ringan.
Lelaki itu kemudian melangkah ke luar, meninggalkan Cate yang masih
terlihat jengkel dan tidak percaya.
“Dia habis kena sambar petir atau bagaimana, sih?” rutuknya.
“Mungkin cuma kena bintang jatuh,” gumam Anna.
“Ck. Kalau tahu begini lebih baik tadi aku pulang saja. Percuma buang-buang
ongkos kereta ke sini.” Cate dengan serampangan mengambil ranselnya yang
tadi dia jatuhkan, dan pergi dari hostel itu juga.
Anna berjalan ke kamar untuk meletakkan semua barangnya. Dia kemudian
pergi ke lounge untuk memberi tahu Gerda dia perlu menjaga ruang resepsionis.
“Terry ke mana?” Gadis itu langsung membelalak karena naik pitam. “Dia
kabur begitu saja dengan cewek itu dan tidak mau menjaga hostel?! Akan ku—”
“Dia pergi ke kampus,” sahut Anna cepat-cepat. “Dia tidak bersama Cate.”
Rahang Gerda jatuh ke bawah.
“Tunggu,” ujarnya lambat-lambat. “Terry? Ke kampus?”
Anna mengangguk. Dia mulai berkeliling lounge, memunguti setiap bungkus
keripik kentang dan Manner yang bisa dilihatnya.
“Dia kerasukan apa?” tanya Gerda penasaran.
“Dia baru mengobrol dengan Bintang.” Anna menceritakan semuanya.
Setelah itu, Gerda terlihat termangu. Gadis itu menerawang sambil memilin-
milin ujung baju sabrina yang baru kemarin dia beli di outlet Zara di Krakow.
“Mereka baru kenal, tapi bisa memengaruhi satu sama lain secepat itu,”
gumamnya. “Benar-benar kakak beradik. Mungkin juga karena mereka merasa
senasib.”
Anna mengangguk pelan.
“Selama ini, Terry tidak pernah punya teman bicara,” Gerda melanjutkan.
“Yah, aku pun tidak bisa sepenuhnya memahami apa yang dirasakannya karena,
kau tahu, ayahku tidak seperti Herr Gregoire. Ayahku menyebalkan, tapi selalu
berada di sisiku sejak aku kecil.”
Anna kembali mengangguk, bisa memahaminya. Bintang pun tidak pernah
memiliki orang yang benar-benar mengerti keadaannya. Dia memang punya
Anna, tetapi Anna tidak bisa sepenuhnya menempatkan diri pada posisinya.
Meski orangtua Anna bercerai, ayah Anna tidak pernah melupakannya, dan
Anna pun masih punya kakak dan adik yang bisa dijadikan tempat mengeluh.
Saat dia tadi mengatakan bahwa Terry mendapatkan bintang jatuh, dia tidak
bercanda. Itu memang benar, secara harfiah dan kiasan.
Setelah Gerda pergi ke ruang resepsionis dan Anna membuang semua sampah
yang bisa ditemukan, Anna mengambil penyedot debu, sapu, dan sekop, lalu
naik ke lantai dua yang belum pernah dipijaknya. Dia bertekad untuk
membersihkan lantai itu dan meneruskan misinya untuk membuat hostel ini
lebih layak huni.
Lantai dua yang khusus kamar mixed-dorm dan double room itu tata letaknya
tidak jauh berbeda dengan lantai satu. Hanya terdiri dari lorong dan deretan
pintu di kedua sisinya. Berkali-kali Anna harus bersin karena banyaknya debu;
belum lagi lampu temaramnya sudah banyak yang mati. Khawatir ada entah-apa
yang mungkin mengintainya dari sudut-sudut gelap koridor, Anna
membersihkan lorong dan kamar-kamar secepat mungkin, lalu meneruskan naik
ke lantai tiga.
Dia langsung menyesali keputusannya. Di lorong lantai tiga itu, hanya ada
satu lampu yang menyala. Selebihnya gelap. Anna teringat perkataan Terry
tentang kakek tua yang menginap di salah satu kamar di sini, dan tubuhnya
langsung merinding.
Dicengkeramnya peralatan bersih-bersih di tangannya kuat-kuat. Dia ingin
kabur dari sana, tetapi akal sehatnya menyuruhnya untuk mengecek kamar pria
tua itu, memastikan apakah orang itu baik-baik saja. Gerda sempat bilang pria itu
menginap di kamar berlabel “Milky Way”, yang letaknya paling ujung.
Sambil menelan ludah, Anna mengeluarkan ponsel dari saku jinsnya dan
mengaktifkan flashlight. Dia sedikit terlonjak ketika sesuatu melintas di lantai—
yang ternyata cuma kumbang. Dia mengelus dada, menyandarkan sapu dan
peralatan lainnya di dinding, melangkah hati-hati ke kamar paling ujung.
“Entschuldigung?” sapanya. “Halo?” Dia berhenti di depan pintu. Hiasan
kayu ukir tipis bertuliskan “Milky Way” menggantung miring di sana. Anna
mengangkat tangan dan bersiap mengetuk.
Pintu itu keburu terbuka.
Anna melompat dan memekik. Si pembuka pintu itu pun terkesiap kaget.
Butuh waktu beberapa detik sampai Anna yakin dia berhadapan dengan manusia
hidup, alih-alih makhluk apa pun yang dipikirkannya tadi.
“Oooh, Nak!” seru pria tua itu sambil menepuk-nepuk dadanya sendiri. “Kau
mengejutkanku!”
“Ma-maaf!” sahut Anna, masih berusaha mengatur napasnya. Bodohnya dia
…. Pria tua ini benar-benar terlihat baik hati. Tampak ringkih, berkacamata, dan
kemeja serta celana panjangnya kedodoran, penampilan yang sedikit
mengingatkan Anna kepada Stan Lee. Tak seharusnya dia tadi berteriak dan
mengagetkan pria itu.
“Nah, biar kutebak,” kata pria tua itu sambil berdeham. “Gerda atau Terry
memintamu untuk menyuruhku turun?”
“Ti-tidak,” Anna merepet. “Saya hanya tamu dan ingin membersihkan hostel
ini.”
“Tamu yang ingin membersihkan hostel.” Pria itu melebarkan mata. “Menarik
sekali. Ayo, masuk saja.”
Anna bergeming. Dia tahu pria tua ini bukan tipe orang yang akan tega
mengulitinya hidup-hidup atau apa …, tetapi dia juga tidak ingin mengambil
risiko masuk ke kamar orang yang tidak dikenalnya.
“Ah, kau tidak percaya kepadaku.” Pria itu membuka pintunya lebih lebar.
Yang pertama kali dilihat Anna di dalam kamar itu adalah kanvas. Banyak
sekali kanvas, dan matanya seketika berbinar saat menangkap lukisan-lukisan
ceria di sana.
Semuanya adalah tokoh kartun. Paddington, Belle, Cinderella, Minions, Peter
Pan. Pria tua itu kembali mengisyaratkannya untuk masuk dan, kali ini, Anna
mengiakan. Dia melangkah pelan ke dalam, menghampiri lukisan Belle dan
menyentuh catnya yang sudah kering.
“Ini semua untuk cucuku,” ujar si kakek, menghampiri Anna dengan langkah
ringan. “Minggu depan dia berulang tahun. Semuanya untuk dipajang di
kamarnya. Aku butuh tempat yang tenang untuk melukis, dan pilihanku tentu
saja hostel milik Ilyusha ini.”
Anna menoleh. “Anda kenal Herr Gregoire?”
“Oh, sangat kenal. Ayahnya veteran perang juga sepertiku. Kami satu
angkatan.” Pria itu duduk di stool di depan lukisan yang belum rampung. Warna-
warnanya masih dasar, membentuk karakter Bugs Bunny. “Ah, ya, siapa
namamu, Lady?”
“Anna. Anda?”
“Orang-orang memanggilku Franz. Pelukis amatir, tapi anak-anak dan cucu-
cucuku membuatku merasa menjadi Monet. Mereka suka berlebihan memujiku.”
Dia tertawa pelan. Suaranya seperti daun yang bergemeresik menyenangkan.
Anna menghampiri lukisan demi lukisan, tersenyum lebar mendapati warna-
warna yang terang dan optimistis itu. Orang-orang selalu bilang gambar Anna
sendiri terkesan sendu, banyak menggunakan warna seperti tisu. Lukisan Franz
bisa membuat siapa pun merasa bersemangat.
“Kenapa Anda tidak pernah turun?” tanya Anna kemudian.
“Biar kutebak lagi. Anak muda itu bicara ngawur lagi tentangku, hmm?” kata
Franz sambil menyipitkan mata, membuat Anna salah tingkah.
“Jangan khawatir. Sejak kecil dia memang begitu, meski dulu dia
serampangan dengan cara yang lucu. Sekarang dia membuatku gatal ingin
menyapukan kuas di wajahnya.” Franz mengerucutkan bibir dengan kesal. “Aku
tidak pernah turun karena itu akan memengaruhi suasana hatiku. Cahaya di sini
bagus.” Dia mengerling jendela yang terbuka lebar. Sinar matahari menerobos
ranting-ranting pohon plum blossom di luar, yang bunganya masih mekar
sebagian. Langit begitu biru seperti gaun Cinderella yang dilukis Franz. Setelah
memperhatikan lebih saksama, Anna sadar ruangan ini lebih bersih dari tempat
mana pun yang dilihatnya di hostel ini. Dia juga melihat banyak persediaan
makanan di sudut ruangan.
“Di bawah lebih gelap,” ujar Anna mengerti. “Itu akan memengaruhi rencana
pemilihan warna.”
“Tepat sekali.” Pria itu berseri-seri. “Kau suka melukis juga, Nak?”
“Saya dulu mendesain gaun pesta.”
“Terdengar menyenangkan.” Franz mengambil palet dan kuas, meneruskan
sapuannya di kanvas. “Sayang sekali cucuku sudah memesan gaun untuk hari
ulang tahunnya. Aku sudah menyia-nyiakan bakatmu. Dari mana kau berasal?”
“Indonesia.”
“Hmm. Tempat Ilyusha meninggalkan anaknya yang satu lagi.”
Anna tertegun. Rupanya Franz mengenal Herr Gregoire sampai sejauh itu.
“Ya …,” ujar Anna pelan. “Anak Herr Gregoire … adalah mantan tunangan
saya.”
“Wah. Aku jadi tertarik mendengar cerita lengkapnya.”
Anna duduk di stool lain setelah dipersilakan. Dia pun mulai menceritakan
semuanya. Franz terus mengangguk-angguk dengan cara yang biasa dilakukan
orang seusianya. Dia tidak terkejut saat mendengar bahwa Herr Gregoire
menolak membantu Bintang, seolah sudah tahu bahwa memang hal seperti itulah
yang akan dilakukan pria tersebut.
“Dan, sekarang saya tidak yakin apa lagi yang harus saya lakukan,” Anna
mengakhiri.
“Teruslah mencoba,” ujar Franz. “Itu pasti cuma reaksi awal Ilyusha. Dia
melakukan hal pertama yang terlintas di benaknya untuk mempertahankan diri.
Itu sangat diperlukan dalam perang.” Dia membubuhkan cat berwarna lembut di
latar lukisan Bugs Bunny. “Ilyusha orang yang baik. Dia hanya rapuh. Mungkin
juga mencintai dengan terlalu dalam. Pertama ibu Bintang, lalu ibu Terry.
Terkadang, satu-satunya jalan yang sanggup untuk diambil orang yang terluka
adalah pergi.”
Suasana hening sementara Anna termenung dan Franz terus bekerja dengan
kelinci berwarna kelabu itu.
“Aku tidak mau menjadi orang kesekian yang meragukan Ilyusha,” Franz
melanjutkan. “Harus ada setidaknya satu orang yang optimistis. Terry terlalu
marah kepada ayahnya untuk itu. Orang lain cenderung melihat segala sesuatu
hanya dari permukaan. Aku—aku sahabat ayah Ilyusha dan ayah baptisnya. Aku
melihat segalanya dengan lebih objektif.”
Anna mengangguk pelan, menyerap semua perkataan itu.
“Jangan menyerah dulu, Lady,” ucap Franz mantap.
Setelah beberapa saat, Anna pun akhirnya memutuskan bahwa dia akan
mencoba lagi.
Besok, dia akan kembali ke Rooseveltplatz.[]

------------------------------
14 (Jerman) Bintang jatuh.
10
Der Hase15

Votivpark selalu sangat nyaman bagi orang-orang yang ingin membaca buku,
merenung, mendengarkan musik, atau bermain Frisbee. Taman itu besar, bundar
dan hijau, dengan deretan lamp post berbentuk segi enam. Di tengahnya, berdiri
Gereja Votive penuh ukiran gotik rumit yang didominasi warna putih tulang,
puncak-puncak menaranya yang berbentuk kerucut mencakar langit dengan
angkuh.
Anna sudah duduk di taman itu selama tiga jam.
Dia akhirnya pergi sendirian karena Gerda mendadak ada permintaan
mengajar piano, dan Terry harus kembali ke kampus. Anna sudah mendatangi
apartemen Herr Gregoire—tetapi pria itu tidak menjawab interkomnya, dan
Anna pun sempat mengira pria itu tidak mau menemuinya lagi. Namun,
kemudian, seorang penghuni lain keluar dari gerbang, bertanya kepada Anna
ingin menemui siapa. Setelah Anna menjawabnya, wanita itu bilang sempat
melihat Herr Gregoire keluar rumah.
Anna memutuskan untuk menunggu di salah satu bench di Votivpark. Cuaca
hari itu sedang bagus. Matahari bersinar, para remaja melepas jaket mereka,
berjemur di rerumputan. Beberapa yang lain bermain Frisbee. Apartemen Herr
Gregoire bisa terlihat dari sana. Sambil mendengarkan Sunrise gubahan Haydn,
Anna menunggu pria itu kembali.
Namun, dua jam berlalu tanpa hasil. Anna mulai gelisah dan merapatkan
syalnya ketika matahari bersembunyi lagi dan suhu udara menurun drastis.
Orang-orang kembali mengenakan jaket masing-masing. Anna mencoba
menghabiskan waktu dengan menyelesaikan sketsa gaun Audrey. Namun,
bahkan setelah sketsa itu selesai satu jam kemudian pun, Herr Gregoire belum
juga muncul.
Sesuatu memburamkan pandangan Anna. Kepalanya terasa berat, tubuhnya
agak pegal ketika digerakkan. Tidak, pikirnya getir. Dia tidak boleh jatuh sakit
juga. Anna pun membuka tas, mencari-cari vitamin C atau obat flu untuk
diminum, tetapi baru ingat dia meninggalkan pouch obatnya di hostel.
Dia mencoba menunggu lagi. Setelah menerima dengan terpaksa bahwa Herr
Gregoire mungkin tidak akan muncul, Anna pun beranjak sambil bersedekap.
Dia sempat berpapasan dengan tetangga Herr Gregoire tadi, yang menanyakan
apakah Anna sudah menemui pria itu, tetapi Anna hanya menjawab sambil
tersenyum getir dan menggeleng.
Setibanya di Luftschloss, Anna buru-buru masuk dan bersyukur merasakan
hawa pemanas ruangan yang langsung menyelubunginya. Dia mendengar Terry
bicara dengan seseorang di lounge, dan Anna membuka pintu lounge itu saat
mendengar kata “stern”.
Terry menoleh. Dengan gaya flamboyan, lelaki itu menghadapkan layar
ponselnya kepada Anna. Wajah Bintang bertemu dengannya.
“Hei,” sapa Anna dengan suara serak.
“Sakit?” tanya Bintang, dahinya mengernyit.
“Tidak,” Anna berbohong.
“Biar kutebak,” sahut Terry. “Ayah tidak mau menemuimu dan kau
menunggunya entah sampai berapa jam di luar.”
“Dia tidak ada di apartemen. Dan, ya, saya menunggunya, tapi—”
“Anna, berhentilah memaksakan diri begini,” potong Bintang tegas. Dia
berbicara menggunakan bahasa Jerman karena Terry juga ada di sana. “Sudah
saya bilang kamu tidak perlu mencoba menemui Ayah lagi. Saya dan Terry
sedang bicara soal kemungkinan donor-donor lain—”
“Cuma semenit,” potong Terry sambil melirik arlojinya. “Empat puluh
sembilan menit selebihnya membicarakan not balok dan bagaimana cara paling
efektif untuk menyelesaikan tugas akhirku.”
“Ya, karena kau tidak kunjung menemukan solusi,” sahut Bintang datar. “Aku
yang harus memikirkannya untukmu.”
“Saya baik-baik saja,” Anna berusaha tersenyum. “Saya ke kamar dulu.”
“Tidur dan istirahat,” ujar Bintang pelan.
Anna berbalik, melangkah ke kamarnya. Saat dia hendak membuka pintu
kamar, dia melihat sebuah amplop yang terselip di bawah pintu, bertuliskan
namanya. Anna pun membuka amplop itu. Dia tersenyum melihat sebuah karton
seukuran kartu pos yang bergambar kelinci dari Alice in Wonderland.
Untuk mencerahkan hatimu, Lady. Dan, besok aku akan sarapan di ruang
makan—Franz.
Anna memasukkan kartu itu kembali ke amplopnya.
Dia sudah melihat Bintang dan mendapat kartu kejutan yang menghangatkan
hati. Dia tidak akan membiarkan dirinya bersedih atau jatuh sakit, dan bertekad
untuk tidur dengan nyenyak malam ini.[]

------------------------------
15 (Jerman) Kelinci.
11
Weinleseklavier16

Tidur Anna sangat nyaman. Dia membuka mata keesokan paginya dengan
perasaan lebih baik. Matanya tidak terasa perih lagi, dan pegal di tubuhnya pun
sudah berkurang. Dia hanya perlu mandi dengan air hangat untuk melemaskan
otot-ototnya.
Dia bangkit, mengambil travel kit, lalu pergi ke kamar mandi yang terletak di
ujung koridor. Dia membuat catatan dalam benaknya untuk meminta tambahan
bohlam kepada Terry—kamar mandi ini masih terasa seperti latar film Alfred
Hitchcock.
Audrey dan Collette baru bangun saat Anna kembali ke kamar. Mereka
kemarin pulang sangat larut.
“Pagi,” sapa Anna sambil tersenyum. Keduanya hanya mengangguk-angguk
mengantuk. Anna meletakkan travel kit-nya, kemudian mengambil buku
sketsanya dan memberikannya kepada Audrey. “Sketsanya sudah selesai. Saya
membuat beberapa pilihan, semoga kau suka.”
Audrey menatap buku itu sejenak, seolah berusaha menafsirkan buku macam
apa itu. Dia kemudian membukanya dengan pelan. Matanya membelalak, dan
kantuknya sontak hilang begitu saja saat dia melihat sketsa Anna.
“Whoaaa!” serunya. “Collette, lihat ini!”
Sementara Audrey dan Collette sibuk berkutat dengan sketsa gaun-gaun itu,
terdengar suara-suara sayup yang tidak biasanya di luar sana. Anna mengernyit
selagi berpakaian dan merapikan diri. Dia pun berjalan ke luar untuk melihat apa
yang terjadi.
Suara-suara marah yang dilontarkan dalam bahasa Jerman itu terdengar
semakin dekat.
Perasaan Anna semakin tidak enak. Dia membuka pintu hostel, disambut
udara dingin yang menusuk dan sosok Terry serta Herr Gregoire yang menjulang
di halaman segera terlihat olehnya. Bertengkar seperti yang sudah lazim terjadi.
“… kau tidak punya hak untuk menjualnya!” bentak Terry dengan suara
tinggi.
“Benda ini milikku. Dan aku punya hak untuk melakukan apa pun yang
kuinginkan.” Suara Herr Gregoire, sebaliknya, terdengar jauh lebih rendah,
tetapi justru karena itulah lebih menakutkan. Butuh beberapa detik hingga Anna
memahami apa yang sedang mereka bicarakan.
Di halaman itu, terdapat piano upright yang sepertinya baru dipindahkan dari
suatu tempat di dalam hostel. Terlihat tua tetapi indah. Warnanya hijau min,
sengaja disepuh kasar supaya menimbulkan kesan tua yang anggun. Ada ukiran
berulir di beberapa bagiannya, dan tuts-tutsnya sudah menguning di beberapa
tempat, tetapi dengan cara yang lembut.
“Ini piano yang dulu sering kumainkan bersama Ibu,” geram Terry. “Kalau
kau memang butuh uang, kenapa kau tidak menjual barangmu yang lain?”
“Aku tidak menjualnya demi uang,” sahut Herr Gregoire marah. “Kau
sepertinya lupa berapa banyak jumlah uang yang kupunya. Benda ini sudah
terlalu lama berada di loteng dan sudah waktunya dipindahkan. Ada orang yang
mau membelinya—”
“Aku tidak pernah minta apa pun darimu!” seru Terry. “Selama ini kau tidak
pernah ada dan bahkan tidak peduli kepada hostel sialanmu ini, tapi aku
berusaha—”
“Sudahlah, jangan mulai lagi, Terry. Ini cuma piano.”
“Ini bukan cuma piano! Sampai kapan kau akan terus menyakiti orang lain?!
Kalau kau bahkan tidak becus menjadi ayah, kenapa kau bahkan repot-repot
membiarkanku dan kakakku lahir—”
Terry tidak melanjutkan kata-katanya. Herr Gregoire menamparnya dengan
keras.
Anna menekap mulutnya. Gerda, yang baru tiba dan hendak mendorong
pagar, terkesiap dan terpaku di tempat.
Terry memegangi pipinya. Ekspresinya tidak terbaca. Sorot matanya tetap
tajam, meskipun kini dia tidak memandang ayahnya lagi. Dia tidak terlihat
terpukul, atau kalaupun iya, dia menyembunyikannya dengan baik.
“Kau sebelumnya tidak pernah menyakitiku lebih parah dari ini, Terry.” Herr
Gregoire bicara setelah keheningan yang menyesakkan.
Dia berkata demikian tanpa intonasi, tetapi selama sepersekian detik, Anna
bisa melihat kepedihan di mata kelabunya, yang sempat meluruhkan cangkang
keras yang membungkus wajahnya.
Namun, hanya itu. Anna bahkan tidak yakin apakah dia benar-benar
melihatnya atau sekadar berkhayal.
“Wah, wah, ada apa ini?” Terdengar suara ringkih dari pintu hostel. Franz
muncul, memandang wajah-wajah tegang di sana secara bergantian. Dia berhenti
pada Herr Gregoire, lalu menggeleng-geleng ke arahnya.
“Ah, Ilyusha. Ada apa lagi?”
“Tidak ada, Franz,” sahut Herr Gregoire. Dia akhirnya berbalik dan
melangkah pergi. Dia sempat berkata, “Piano ini akan tetap dijual. Ada orang
yang akan mengambilnya siang nanti,” sebelum menghilang dari pandangan.
Rasa dingin yang ditinggalkannya masih tersisa.
Gerda segera tersadar dan buru-buru menghampiri Terry.
“Ayo, kukompres dengan air dingin,” ujarnya sambil menggamit tangan lelaki
itu.
Terry tidak menghindar. Dia mengikuti Gerda dengan langkah kosong,
matanya tidak memandang siapa pun.
Anna mengembuskan napas, baru sadar dia menahannya sejak tadi. Dia
meremas-remas tangan, menatap piano itu dengan gelisah.
Sesuatu pada piano itu tiba-tiba menarik perhatiannya, sebuah detail yang
berbeda dari ulir-ulir yang menghiasinya. Anna, juga Franz, melangkah lebih
dekat ke benda tersebut.
“Piano yang indah,” kata si lelaki tua, menekan salah satu tuts. Anna
memperhatikan tulisan yang sepertinya digoreskan dengan pensil warna jingga
di ujung piano tersebut.
Hati Anna mencelus.
Itu tulisan anak kecil, sangat tipis sehingga mudah luput dari pandangan mata.
Bunyinya “Bintang”.
Pikiran Anna melayang-layang. Dia berusaha menghubung-hubungkan semua
yang dilihatnya pada piano ini. Anna ingat, Bintang dulu sempat bercerita bahwa
ayahnya pernah mengajaknya pergi ke Wina dan mengajarinya bermain piano
vintage. Rupanya, Bintang pun sempat meninggalkan kenangan di piano itu.
Sama halnya seperti Terry dan ibunya.
Anna bersedekap. Dia mengembuskan napas dengan pedih.
Terry benar. Ini bukan cuma piano.
Dan, benda yang bukan cuma piano ini akan menghilang, bersamaan dengan
entah berapa banyak lagi kenangan yang sudah dilenyapkan Herr Gregoire dari
hidupnya.

Piano itu dibawa pergi sekitar pukul satu siang.


Gerda dan Terry berada di lounge sepanjang waktu. Anna berbaring di
dipannya, menerawang menatap motif bunga-bunga di gorden bunk bed.
Yang dipikirkannya sekarang tidak terlalu penting. Dia hanya mencoba
mengingat-ingat bunga di gorden itu biasa disebut apa, dan dia pun akhirnya
mengingatnya. Namanya forget-me-not. Namun, warna bunga di gorden tersebut
bukan biru, melainkan pink keemasan, membuat Anna bertanya-tanya. Bunga
forget-me-not biasanya berwarna biru, bukan?
Lalu, Anna mencoba menjawabnya sendiri. Mungkin yang memasang gorden
ini lebih menyukai warna pink keemasan alih-alih biru. Sesederhana itu.
Setelah menghitung berapa banyak jumlah bunga forget-me-not di gorden,
Anna memutuskan untuk beranjak dari dipannya. Dia sebenarnya tidak dalam
suasana hati yang baik untuk meninggalkan tempat tidur, tetapi dia bisa
kehilangan akal sehat jika terus-menerus mengunci diri di hostel yang
menyesakkan ini. Meskipun dengan berat hati, Anna pun mulai bersiap-siap dan
mengenakan jaket serta syal untuk segera pergi ke luar hostel.
Ibunya dulu pernah bilang, jika sedang kalut, berjalan-jalanlah. Hirup udara
segar. Efeknya akan menenangkan, dan lebih bermanfaat ketimbang hanya
melamun sendirian di tempat tidur. Anna pun keluar dari Luftschloss dan
melangkah menuruni jalanan sepi Johann-Staud-Strasse.
Keheningan di sana terasa nyaman, damai. Udaranya sangat bersih. Anna
tidak tahu harus pergi ke mana, tetapi dia berencana untuk berjalan ke stasiun
kereta terlebih dahulu dan memikirkan tujuannya di sana.
Di pusat distrik Ottakring, seperti biasa Anna melewati Billa, toko-toko kecil
dengan gaya Timur Tengah, dan kedai-kedai durum. Saat dia melewati kedai
tempat dia dulu mencari Herr Gregoire, dia otomatis menoleh—hanya karena
alasan familier. Namun, langkahnya perlahan terhenti saat dia melihat Herr
Gregoire dari balik pintu kaca.
Pria itu duduk sendirian di kedai. Ada durum dan segelas soda di depannya,
tidak tersentuh. Kepalanya sedikit tertunduk, sorot matanya hampa.
Anna tiba-tiba merasakan sakit di hatinya, perasaan yang begitu mendadak
sampai-sampai dirinya terkejut. Dia sekonyong-konyong teringat ayahnya
sendiri, dan betapa menyedihkan seandainya Anna melihatnya dalam kondisi
yang serupa.
Herr Gregoire mungkin tidak seperti ayah-ayah pada umumnya. Namun, dia
tetaplah seorang ayah.
Mungkin karena merasa diperhatikan, pria itu menoleh ke arah pintu kaca.
Anna yakin sekali akan diusir, tetapi ternyata Herr Gregoire malah menyuruhnya
masuk.
“Di luar dingin,” suara pria itu terdengar dari tempat Anna berdiri.
“Masuklah.”
Anna memastikan dirinya tidak salah dengar, sebelum membuka pintu kedai.
Dia melangkah masuk dengan canggung. Tangannya bersedekap.
“Pesanlah sesuatu,” ujar pria itu.
Lagi-lagi, Anna merasa linglung. Ini pria yang sama dengan yang tadi
menampar anaknya sendiri di Luftschloss Hostel, dan sekarang dia menawari
Anna untuk memesan makanan di sebuah kedai Timur Tengah?
“Tetanggaku bilang, kau kemarin menungguku berjam-jam,” ujar Herr
Gregoire, seolah bisa membaca pikiran Anna. “Aku sedang ada urusan.”
Anna berusaha mencerna ucapan itu. Apakah ini cara Herr Gregoire untuk
meminta maaf? Namun, kenapa? Padahal dia terang-terangan menolak waktu
Anna pertama kali datang menemuinya.
Namun, Anna kemudian teringat kata-kata Franz waktu itu. Itu pasti cuma
reaksi awal Ilyusha. Dia melakukan hal pertama yang terlintas di benaknya
untuk mempertahankan diri.
Meskipun masih tidak benar-benar mengerti, Anna akhirnya mengangguk dan
menurutinya.
“Ba-baik. Terima kasih,” gumamnya.
Dia berjalan ragu ke arah konter, memesan pita bread dan soda. Dia berharap
pria Turki yang membuat kebab itu akan butuh waktu lama, tetapi pita bread-
nya siap hanya semenit kemudian, lengkap dengan sodanya. Anna menerimanya
dan berbalik.
“Duduklah,” Herr Gregoire menunjuk kursi di depannya.
Anna kembali menurut. Dia duduk, tidak berani memandang wajah pria itu.
Perhatian Anna terus tertuju ke pita bread yang dipegangnya. Wanginya sangat
pekat, sarat rempah-rempah. Dia menggigitnya, merasakan daging-daging tipis
berlimpah dan sayuran yang segar, saus yoghurt, serta mayo yang lembut. Pita
bread di Eropa itu tidak ada tandingannya. Sangat lezat, dan Anna baru sadar dia
ternyata sangat lapar. Dia menggigit dan mengunyah, menelan dengan mantap.
Mau tak mau, dia merasa iba kepada durum besar yang masih saja tergeletak
diam di meja.
Anna memberanikan diri untuk mendongak. Herr Gregoire masih menatap
meja, tidak memperlihatkan tanda-tanda ingin mengajaknya bicara. Anna
mengambil kesempatan itu untuk memperhatikan pria itu dengan lebih saksama.
Wajah Herr Gregoire tampak pucat, mata kelabunya redup. Garis-garis wajahnya
tidak sekeras biasanya. Dia dan Terry bagai pinang dibelah dua dan, jika dilihat
lebih jeli lagi, pria ini bahkan lebih rupawan daripada kedua putranya, yang
sudah sangat memikat. Warna mata Herr Gregoire terdiri dari gradasi warna
yang sama persis dengan mata Bintang. Anna membayangkan dimensi lain di
mana ketiganya bisa menjadi grup ayah dan anak yang hangat, tidak terpisah-
pisah seperti sekarang.
“Aku ingin kau berhenti,” ujar Herr Gregoire sesaat kemudian.
“Ya. Saya tahu,” ujar Anna tenang. Dia sepertinya sudah mulai terbiasa
mendengar kalimat itu.
“Ada alasan mengapa aku tidak bisa membantumu. Dan, aku yakin kau tidak
akan mengerti,” Herr Gregoire menambahkan.
“Jadi, alasannya bukan karena Bintang hanyalah masa lalu Anda?” tanya
Anna, tak bisa menahan diri.
Herr Gregoire memalingkan wajah ke arah lain, kemudian menggeleng.
Anna menggigit pita bread-nya lagi, mengunyah dan menelan. Kali ini agak
sulit. Rasanya ada sesuatu yang menggumpal di tenggorokannya, yang
membuatnya sakit.
“Aku tahu kau mencintainya,” ujar Herr Gregoire sambil mengembuskan
napas. “Tapi—”
“Bagaimana dengan Anda?” bisik Anna. “Anda mencintai Bintang juga atau
tidak?”
Herr Gregoire menatapnya.
“Golongan darah Rh-null sulit sekali dicari,” ucap Anna.
“Tapi, bukannya tidak ada,” sahut Herr Gregoire, kali ini lebih tegas.
“Kalaupun Anda tidak bisa membantu, setidaknya … setidaknya temuilah dia.
Kalian ayah dan anak, dan Bintang—”
“Aku tidak bisa.”
“Kenapa?”
Anna tahu itu pertanyaan yang egois, jika bukan menuntut. Selalu ada alasan
mengapa orang mengatakan “tidak bisa”, dan Anna merasa tidak memiliki hak
untuk tahu. Namun, dia lagi-lagi tidak bisa menahan diri untuk bertanya.
Bagaimanapun, pria ini adalah ayah Bintang. Mengapa orangtua tidak bisa
menemui anaknya sendiri?
“Ada hal-hal yang tidak akan kau mengerti. Kau, Terry,” ujar Herr Gregoire.
Dia membuka mulutnya untuk menambahkan, tetapi kemudian kembali terdiam.
Dia bahkan tidak bisa menyebut nama Bintang.
Anna bergeming, tidak tahu lagi bagaimana harus menanggapi. Dia sadar
dirinya tidak punya hak untuk ikut campur lebih jauh.
Yang dia tahu hanyalah, Herr Gregoire sudah membuat keputusan. Pria itu
sudah menyiratkan bahwa dia tidak akan membantu Bintang.
Dia juga tidak akan menemui Bintang.
Herr Gregoire berdiri. Dia melangkah ke konter untuk membayar makanannya
dan Anna, kemudian berbalik dalam diam. Meskipun begitu, dia masih sempat
berhenti di ambang pintu, seolah masih ada yang mengganjal. Anna menunggu.
“Kau gadis yang baik,” ujar pria itu. “Teruslah berada di sisinya.” Kemudian,
dia membuka pintu dan pergi.
Anna menunduk. Pita bread-nya masih di tangan, belum habis.
Selera makannya sudah hilang.[]

----------------------------
16 (Jerman) Piano vintage.
12
Neapolitaner

Bagi Bintang, sosok ibunya dulu bagaikan selalu diselubungi kabut tipis.
Atau, mungkin beliau adalah wujud dari kabut itu sendiri. Kelabu, buram,
tidak bisa disentuh. Bintang ingat dia adalah wanita yang cantik, memiliki darah
Korea dan dominan Indonesia. Namun, sosoknya selalu terasa begitu jauh.
Bintang awalnya tidak tahu bagaimana ayah dan ibunya bertemu, bagaimana
dua orang yang berbeda ras dan negara bisa menikah dan melahirkannya.
Namun, almarhumah bibi Bintang bilang, Ilyusha Gregoire dulu pernah menjadi
pianis tamu untuk konser musik klasik di Jakarta, lalu bertemu ibu Bintang—
yang menggemari musik klasik—di sana. Foto-foto pernikahan mereka masih
disimpan oleh Bintang dan dijaganya baik-baik, dan di semua foto itu, mata
ibunya sering melihat melampaui kamera, bukannya menatap langsung ke sana.
Sebenarnya, di mana pun ibunya berada, dia tampak seperti melayang-layang
di tempat lain, alih-alih lantai mana pun yang dipijaknya. Dan, mungkin karena
alasan itulah Bintang bisa mengingat semua hal tentang ayahnya, tetapi nyaris
tidak mampu mengingat apa pun tentang ibunya.
Bintang ingat ayahnya dulu pernah mengajaknya ke Wina, ketika dia baru
berulang tahun yang kelima. Dia pun ingat pernah merasakan wafer rasa
Neapolitan lezat yang beliau belikan, juga cokelat Jerman berisi praline. Bintang
juga memainkan piano berwarna hijau min milik ayahnya dan menggoreskan
namanya di sana. Dia sama sekali tidak mengingat orang lain dalam perjalanan
itu—yang berarti ibunya mungkin tidak ikut bersama mereka.
Ketika dia dan ayahnya kembali ke rumah mereka di Indonesia, Bintang
mendapati suasana di sana begitu bising. Banyak orang berkerumun dan
bertampang gelisah. Bintang tidak tahu waktu itu ada apa—dia hanya ingat
bahwa tepat setelah itu, dia tidak pernah melihat ibunya lagi, bahwa ayahnya
meninggalkan banyak sekali deposito tabungan untuknya dan meninggalkannya
beberapa waktu kemudian. Bintang pun akhirnya diasuh oleh bibinya.
Bibi Bintang bilang, ibu Bintang meninggal akibat serangan jantung. Namun,
bibinya tidak pernah benar-benar menatap mata Bintang saat mengatakan itu—
dan karena itulah Bintang langsung sadar bahwa mungkin ada yang tidak beres
dengan seluruh lini masa tersebut.
Maka, ketika akhirnya Bintang memiliki kesempatan, dia berusaha untuk
mencari tahu semuanya seorang diri. Setelah berminggu-minggu melakukan
penelusuran, pencarian, dan kunjungan ke rumah sakit yang tidak ada habisnya,
Bintang pun akhirnya mengerti.
Ibunya bukan meninggal akibat serangan jantung. Beliau meninggal karena
bunuh diri.
Depresi. Penyakit yang egois, memikat penderitanya ke dalam kegelapan
yang tidak memiliki jalan keluar. Menurut psikiater ibunya—Bintang baru
menemukannya setelah perjuangan yang panjang—ibunya bukannya tidak
mencintai ayah Bintang atau dirinya. Bahkan, ayah Bintang membuatnya sangat
bahagia. Namun, depresi itu seperti oli yang bersembunyi di sudut-sudut hati.
Sewaktu-waktu bisa mengalir dan merembes, membuat segalanya menghitam,
dan menggiring penderitanya kepada ... apa pun cara yang tersedia saat itu. Bisa
tali gantungan, pisau, tempat yang tinggi, atau jalanan dengan banyak mobil.
Dalam kasus ibu Bintang, beliau menggores nadinya sendiri dengan pisau.
Lupakan perkataan, “Tapi, dia punya suami dan anak.” Depresi tidak
memiliki ampun untuk pernyataan macam itu. Kata kunci untuk penyakit itu
adalah “aku”. “Aku menderita, aku sampah, aku tidak pantas hidup, aku ….”
Tak ada suami atau anak di sana.
Bintang tidak pernah menceritakan soal ini kepada siapa pun, bahkan Anna.
Hanya karena dia tidak ingin Anna merasa sedih. Namun, dia sendiri mencoba
melihat semua itu lewat sudut pandang lain alih-alih memikirkan kesedihannya
sendiri. Dia berusaha mengerti betapa beratnya hal itu bagi ayahnya, bahwa tetap
tinggal di Indonesia pasti akan sangat menyakitkan bagi beliau, bahkan melihat
Bintang pun pasti rasanya tidak tertahankan. Karena dalam beberapa hal,
Bintang begitu mirip dengan ibunya. Garis-garis wajah mereka sama lembutnya,
kulit mereka sama cerahnya. Warna mata Bintang sama persis dengan mata
ayahnya, tetapi bentuknya yang mungil adalah milik sang ibu. Bagi ayahnya,
melihat Bintang barangkali berarti mengulangi semua kepahitan itu sekali lagi.
Tetap saja, ada bagian dari diri Bintang yang khawatir itu hanya teori naifnya
saja. Mungkin dia hanya ingin membenarkan tindakan ayahnya, ingin
memercayai bahwa ayahnya sebenarnya masih menyayanginya, alih-alih
sebaliknya.
Kata-kata Terry waktu itu bergema lagi dalam pikirannya.
Kalau kau memang memujanya sampai seperti itu, kenapa tidak
menghubunginya? Mengobrol penuh haru biru dengannya? Benar. Karena kau
takut. Kau takut idealisme yang kau bangun dengan indah itu runtuh begitu saja.
Bintang bersandar di tempat tidur di rumahnya, menatap ponsel.
Sudah beberapa hari ini dia menimbang-nimbang untuk menelepon ayahnya,
tetapi tidak kunjung dia lakukan. Dia membuat-buat alasan bahwa dirinya belum
ada waktu untuk itu, bahwa dia harus menghubungi kesembilan pemilik
golongan darah Rh-null yang datanya sudah dia temukan dengan bantuan
seorang teman genius yang kuliah di Jurusan Informatika. Bintang sudah
mencoba berbicara dengan kesembilan orang tersebut lewat telepon. Dia jelas
tidak bisa mengunjungi mereka satu per satu karena mereka tinggal di Amerika
Serikat, Afrika Selatan, dan Skandinavia.
Hasilnya sudah bisa ditebak. Tak satu pun dari mereka yang berminat untuk
menjadi Good Samaritan demi Bintang, untuk alasan yang wajar. Karena mereka
juga memikirkan kesehatan mereka sendiri. Pemilik golongan darah golden
blood tidak boleh sakit, seperti halnya penderita hemofilia tidak boleh
mengeluarkan darah. Sejak awal pun Bintang tahu idenya ini bodoh, tetapi dia
tetap ingin mencobanya.
Barangkali juga karena dia berpikir menghubungi kesembilan orang itu lebih
mudah daripada menelepon ayahnya sendiri.
Dan, jika ayahnya juga tidak bisa membantu, nasib Bintang sudah jelas.
Meski begitu, dia tidak ingin mati dengan sia-sia. Setidaknya, dia ingin bicara
dengan ayahnya dulu sebelum itu terjadi.
Dia menatap kata “Ayah” di ponselnya. Sebutan yang biasa saja bagi
kebanyakan orang, tetapi Bintang menganggapnya sebagai sesuatu yang begitu
jauh. Jaraknya tidak bisa diukur hanya dengan tiket pesawat dari Jakarta ke
Wina.
Bintang menekan tombol “call”.
Dia merasakan tangannya langsung dingin, tetapi ternyata teleponnya
tersambung ke mesin penjawab telepon.
Terdengar rekaman suara ayahnya yang berbicara dalam bahasa Jerman.
“Aku sedang tidak di rumah. Tinggalkan pesan saja.”
Suara itu dalam. Berwibawa. Suara yang hanya diingat Bintang secara sayup-
sayup dari masa lalunya. Dia baru mendengarnya lagi sekarang, setelah dua
puluh tahun.
Untuk alasan yang sudah jelas, Bintang lega hanya perlu berbicara dengan
mesin. Benda mati selalu lebih mudah dihadapi. Bintang menarik napas sejenak,
menimbang-nimbang apa yang sebaiknya dia ucapkan.
Dia memulai dengan sapaan yang biasa-biasa saja.
“Halo, Ayah.
“Ini Bintang. Semoga Ayah tidak lupa. Tapi, kalaupun Ayah lupa, wajar.”
Dia langsung menyesali pilihan kalimatnya. Entah kenapa, dia jadi terdengar
seperti Terry.
“Dengar,” ujarnya sambil membenahi posisi duduknya, “mungkin Ayah sudah
tahu semuanya dari Anna, tapi sepertinya aku harus memberi tahu Ayah sendiri.
“Aku sedang sakit. Kupersingkat saja, aku menderita gagal ginjal. Ya,
menyebalkan, memang. Dan, aku tidak bisa menemukan donor untuk ginjalku
karena kau mewariskan golongan darah yang sangat istimewa kepadaku.
“Jadi, mungkin tidak akan lama lagi sampai aku ….” Bintang mencari istilah
yang lebih halus. “Mati” rasanya terlalu lugas.
“… bertemu dengan Mozart, kalau beruntung,” ujarnya.
Dia berdeham sejenak.
“Omong-omong soal Mozart, aku suka sekali interpretasi Piano Sonata yang
Ayah mainkan, terutama bagian Andante. Tidak bermaksud menjilat,” dia
menambahkan dengan tenang.
Dia terdengar seperti Terry lagi. Mungkin karena dia tahu ini satu-satunya
kesempatannya untuk merajuk kepada ayahnya, setelah dua puluh tahun.
“Aku memang menyukainya. Ayah menggunakan terlalu banyak efek pedal,
tapi justru itulah yang membuatnya berbeda. Terry bilang dia tidak terlalu suka.
Yah, aku tidak kaget. Aku sendiri tidak tahu dia itu sebenarnya suka apa.”
Lalu, hening. Bintang tidak yakin harus berkata apa lagi. Dia tidak berminat
menceritakan dua puluh tahun hidupnya yang tidak pernah disaksikan ayahnya.
Itu berlebihan dan, lagi pula, tak ada peristiwa yang menarik dalam rentang itu,
kecuali pertemuannya dengan Anna. Dan, ketika tahu dia punya adik tiri.
“Yah, mungkin itu saja,” ujar Bintang akhirnya. “Aku benar-benar ingin ikut
ke Wina bersama Anna, tapi dokter-dokter itu melarangku. Aku juga tidak yakin
Ayah ingin bertemu denganku.
“Tapi, misalnya, misalnya saja, ada bintang jatuh atau apa, dan Ayah
berencana untuk kemari, aku ingin dibawakan wafer yang pernah kumakan
waktu Ayah mengajakku ke Wina dulu. Aku lupa namanya. Cuma ingat rasanya
Neapolitan. Aku juga ingin mendengar Piano Sonata-mu lagi.
“Cuma itu yang kuminta.”
Terjemahannya: aku ingin bertemu Ayah. Namun, Bintang tidak bisa
mengucapkannya. Itu kalimat yang berbahaya, yang pasti mengancamnya untuk
kehilangan kendali dan emosinya. Dia sudah menangis sepuas-puasnya dua
puluh tahun yang lalu, setiap malam, saat dia dengan bodohnya menunggu-
nunggu ayah dan ibunya pulang. Dia berjanji tidak akan mengeluarkan setitik air
mata pun lagi untuk kedua orang itu. Saat kondisinya sedang buruk-buruknya
pun, dia tidak pernah menangis.
Terkadang, Bintang tidak memahami orang-orang yang sengaja membaca
cerita-cerita sedih atau menonton film sendu hanya agar bisa menangis. Apakah
mereka begitu kekurangan peristiwa sedih dalam hidup mereka sehingga
mencari-cari gantinya dalam bentuk fiksi? Atau, sebaliknya—mereka sudah
mengalami begitu banyak peristiwa sedih, dan ingin melihat orang lain
mengalami hal yang sama?
Saat Bintang menceritakan soal itu kepada Terry, adiknya bilang, “Suruh
mereka bertukar tempat dengan kita. Kalau mereka sampai mau, akan kujilat sol
sepatu mereka.”
“Sampai jumpa, Ayah,” ujar Bintang.
Dia menutup telepon.
Diliriknya jam dinding. Hari ini jadwalnya untuk check-up dan dia sudah
terlambat sepuluh menit. Bintang segera beranjak, bersiap-siap, dan pergi ke
dapur sejenak untuk meminum segelas air. Setelah itu, dia memesan taksi online
untuk pergi ke rumah sakit. Dia berjalan menuju pintu rumah untuk menunggu
di teras.
Sayangnya, dia tidak pernah sampai di sana.
Mendadak, perutnya terhantam rasa sakit hebat.
Seolah sesuatu yang tajam dilemparkan ke ginjalnya, lalu perutnya seperti
ditusuk-tusuk dari dalam menggunakan benda tajam tersebut. Tatapan matanya
mengabur, kepalanya seolah berpusar seperti cairan teh yang diaduk-aduk
dengan serampangan.
Yang selanjutnya Bintang tahu, dia roboh ke lantai, tepat saat klakson taksi itu
menggema di depan rumah.
Ah, batinnya saat kesadarannya mulai pudar.
Orang-orang biasanya bersikap sentimental ketika nyawa mereka dalam
bahaya, merasa melihat orang yang paling dicintai atau apalah yang bisa
membuat orang lain tersentuh—jika mereka selamat dan punya waktu untuk
menceritakannya kepada orang lain. Namun, sebagai orang yang sejak kecil
terlatih untuk berpikir menggunakan akal alih-alih hati, yang terlintas di pikiran
Bintang sama sekali bukan orang-orang yang dicintainya.
Dia memikirkan segelintir pemilik golongan darah Rh-null lain, berharap
dengan sangat agar orang-orang itu selalu sehat dan bahagia.
Supaya tidak repot sepertinya.[]
13
Die Tränen17

“Halo, Ayah. Ini Bintang. Semoga Ayah tidak lupa ….


“… cuma ingat rasanya Neapolitan. Aku juga ingin mendengar Piano Sonata-
mu lagi.
“Cuma itu yang kuminta.”
Ilyusha Gregoire sudah mendengarkan rekaman itu puluhan kali, dalam
rentang 24 jam.
Nama wafer itu Manner. Wafer yang sama dengan yang disukai Terry. Dan
ibu Terry. Dan ibu … Bintang.
Pria itu tidak tidur semalaman, seperti biasa. Karena itulah matanya sembap
sekali.
Kini bahkan lebih sembap dari biasanya. Dan, itu bukan hanya karena dia
kurang tidur.[]

---------------------------------
17 (Jerman) Tetes air mata.
14
Das Frühstück18

Luftschloss biasa diterjemahkan menjadi “castle in the sky” dalam bahasa


Inggris. Istilah itu bisa terdengar sangat indah, bisa juga sangat putus asa,
tergantung sudut pandang masing-masing orang yang mendengarnya.
Orang romantis akan membayangkan istana indah di atas awan yang
menggumpal-gumpal seperti marshmallow, dengan hiasan lampu-lampu fairy
atau sulur tanaman.
Orang skeptis akan memikirkan angan-angan kosong. Hanya bisa
dibayangkan, tetapi tidak bisa terwujud.
Anna—dan siapa pun di restoran hostel yang bersedia mendengarkan—
memperhatikan Collette menjelaskan istilah itu dengan bersemangat saat
sarapan. Restoran itu kini lebih ramai karena tadi malam ada beberapa tamu
yang datang, dan syukurlah tidak ada yang meminta DP mereka dikembalikan.
Mereka bahkan bersedia menginap di tempat yang luar biasa ini. Masih jauh
sebelum tempat ini benar-benar menjadi luftschloss dalam bayangan Anna—
istana cantik di atas awan, karena Anna seorang romantis—tetapi penampilan
hostel ini jelas sudah lebih baik daripada dulu.
“Dan, bagaimana denganmu?” tanya Yan, seorang gadis China yang blak-
blakan tetapi ramah, yang baru kemarin sekamar dengan Anna, Collette, dan
Audrey.
“Aku?” tanya Collette sambil menunjuk dirinya sendiri.
“Kau orang Inggris. Jadi, apa arti luftschloss bagimu? Meski sudah bisa
kutebak, sih.”
“Well, memang mengejutkan,” Collette tersenyum lebar, “tapi aku berada di
tengah-tengah. Kadang, aku akan membayangkan istana yang indah kalau ingin.
Tapi, kalau sedang kesal, sifat Inggris-ku kambuh—dan aku hanya akan
menganggapnya angan-angan kosong. Adikku, sebaliknya, akan selalu
membayangkan istana di atas awan.” Dia mengangguk penuh semangat ke arah
Audrey.
“Aku sudah bicara dengan tunanganku,” kata Audrey kepada Anna. Mata
gadis itu berbinar-binar di balik kacamatanya. “Dia bilang gaunnya tidak buruk.
Nah, kau sudah merancangkannya untukku. Berapa yang harus kubayar?”
“Tidak,” Anna menyahut dengan terkejut. “Tidak perlu. Sungguh, aku senang
melakukannya.”
“Ayolah,” erang Audrey. “Kami orang Eropa tidak terbiasa mendapatkan
sesuatu secara cuma-cuma.”
Audrey jelas-jelas tidak bermaksud buruk, tetapi entah mengapa Anna merasa
tersindir sebagai orang Indonesia. Dia berdeham pelan.
“Kau sudah menghabiskan waktu dan pensil warna untuk ini,” kata Audrey
sementara Collette dan yang lain tertawa riang saat mendengarkan lelucon
Franz.
“Ah …,” ujar Anna tidak enak. “Terserah kau saja, Audrey ….”
“Jangan menghargai dirimu sendiri dengan kata ‘terserah’.” Terry muncul dan
masuk ke restoran, diikuti Gerda. Wajah gadis itu bersemu merah, tangannya
bergandengan dengan tangan Terry. Bahasa tubuh mereka sudah berbeda, dan
jika apa yang Anna pikirkan tentang dua sahabat itu benar, dia merasa begitu
senang karenanya.
Terry sendiri bersikap biasa-biasa saja, seolah telah melupakan masalah
dengan ayahnya kemarin. Atau, hanya terlihat demikian.
“Itu namanya merendahkan standar,” lanjut Terry, berjalan ke pantri dan
mengambil dua cangkir untuk membuat kopi. “Kalau kau menghargai dirimu
murah, orang lain juga akan begitu. Standar desainer gaun di Eropa sekitar 15
euro per jam, Anna. Kalau kau mengerjakannya selama tiga hari, berarti sekitar
1000 euro. Berikan invoice-nya.”
“Tidak!” Anna kembali menyahut ngeri, meski Audrey sudah mengeluarkan
dompet dari pouch-nya. “Tidak, Audrey, setengahnya saja cukup.”
“Tapi, itu terlalu murah,” kata Audrey tak percaya.
“Bagiku tidak. Itu standar di Indonesia.”
Terry memutar bola mata. “Pantas saja negaramu terus-menerus menjadi
negara dunia ketiga,” gumamnya.
“Jangan menghina,” sahut Anna gusar. “Kakakmu berasal dari sana.”
“Oh, ya, dia harusnya menelepon lagi untuk mengobrolkan bab … entah bab
berapa tugas akhirku,” kata Terry sambil mengerling arlojinya. “Dia belum
menelepon.”
Audrey mengeluarkan lima lembar uang lima ratus euro dari dompetnya, lalu
memberikannya kepada Anna. “Kali ini aku mengalah,” senyumnya. “Kalau kita
bertemu lagi, aku tidak mau membayar kurang dari standar Eropa.”
Anna menerima uang itu penuh terima kasih. Dia masih tidak percaya bisa
mendapatkan keberuntungan yang begitu menyenangkan di sini, sesuatu yang
pasti tidak akan dialaminya jika menginap di hotel besar alih-alih hostel. Dia
tersenyum kepada Audrey, dan tersenyum lebih lebar saat melihat Terry
memberikan latte kepada Gerda.
Momen itu tidak berlangsung lama. Cate tiba-tiba muncul, menghambur ke
dalam ruang makan, membelalak saat melihat mereka.
Ah, pikir Anna, nyaris tidak berani melihat. Masalah ternyata belum selesai.
“Kau tidak pernah membuatkan latte untukku,” kata gadis itu kepada Terry
dengan suara rendah.
“Kau berkata begitu seolah-olah kau tidak bisa membuat minumanmu
sendiri.” Gerda mendelik ke arah Cate.
“Mmm. Begini,” Terry terlihat salah tingkah. “Sebenarnya—”
“Sudah cukup, Terry!” bentak Cate. “Selama bersamaku, kau tidak pernah
sekali pun berhenti bicara soal cewek ini, dan sekarang kau pun bersikap sangat
manis kepadanya!”
“Kalau kau mau juga—”
“Aku tidak butuh latte-mu!” teriak Cate, tampak tidak peduli meskipun
berpasang-pasang mata kini lebih tertarik memandangnya alih-alih yoghurt dan
roti panggang mereka.
“Cate, dengar,” Terry memotong, terdengar lebih serius. “Kita dulu sudah
pernah membicarakan ini, ‘kan? Kita cuma ingin bersenang-senang. Kau baru
putus dari—siapa pun nama pemain skateboard sialan itu—dan kau ingin
melupakannya. Kau sendiri tidak pernah berhenti membicarakannya.”
“Kau bilang kau tidak keberatan!”
“Kau menyebut namanya keras-keras saat—” Terry menyebutkan istilah
tersensor yang membuat semua orang terkesiap.
“Itu …,” ujar Cate kemudian, dengan wajah merah padam, “itu sama sekali
bukan sesuatu yang bisa kukendalikan—”
“Hubungan kita tidak sehat,” sahut Terry tegas. “Kau ingin melupakan mantan
pacarmu. Aku ingin mencari pelampiasan karena kesal kepada ayahku. Kalau
kau memang masih suka kepada si pemain skateboard, kembalilah kepadanya.
Aku sudah bicara kepadanya juga waktu ke kampus. Dia juga masih
memikirkanmu. Katanya waktu putus denganmu dia berbuat bodoh atau apalah,
aku lupa. Tapi, dia juga ingin kembali kepadamu.”
Cate bicara lagi, tetapi kini ucapannya nyaris tidak bisa ditangkap karena dia
melontarkannya dengan histeris. Terry berdecak frustrasi. Dia menyuruh Gerda
untuk menunggu sebentar, lalu menarik tangan Cate dan mengajaknya keluar
dari sana untuk berbicara baik-baik dengannya.
Gerda mengembuskan napas kesal sambil menyesap latte-nya. Anna berdiri,
menghampirinya, sementara yang lain kembali makan atau mengobrol—
membahas drama mini yang mereka tonton barusan, tepatnya.
“Kau baik-baik saja?” tanya Anna.
Gerda mengangkat bahu. “Ya, tak masalah. Tadinya kukira reaksinya akan
lebih parah daripada ini.”
“Kau dan Terry ….”
“Kami cuma berciuman,” Gerda berkata pelan. “Yah, meski itu bukannya
tidak berarti apa-apa ….” Suaranya melirih. Dia bersandar di konter sambil
menatap lantai, seolah masih mencoba memercayai apakah yang dialaminya ini
nyata. “Dia pun sepertinya masih butuh waktu untuk memproses perubahan ini,”
ujar Gerda lagi. “Kau tahu, dari sahabat menjadi … apa pun sebutan kami
sekarang.”
“Terry juga menyukaimu,” Anna tersenyum, ikut bersandar di konter. “Kau
dengar sendiri apa kata Cate tadi. Terry pasti juga memiliki perasaan yang sama
denganmu.”
Gerda memandang Anna dengan tatapan lucu. “Perasaanku sejelas itu, ya?”
tanyanya.
“Kau mudah sekali dibaca.”
“Semudah itu? Menyedihkan,” kata Gerda sambil meringis. “Pasti aku
kelihatan tolol sekali setiap melihatnya bersama Cate.”
“Tidak. Itu wajar,” Anna berkata sambil tersenyum. “Terry … baik-baik saja,
bukan?”
“Soal kemarin, maksudmu?” Gerda mengembuskan napas dengan berat.
“Tidak juga. Dia memang tidak menunjukkannya, tapi dia sangat sedih. Ini
pertama kalinya aku melihat Terry bersikap seperti itu.”
Anna terdiam, merenung di sebelah Gerda yang memutar-mutar cangkir latte-
nya dengan muram. Dia baru akan berinisiatif untuk membantu Gerda mencuci
piring agar ada sesuatu yang bisa dia kerjakan, ketika mendadak pintu menjeblak
terbuka dan Terry kembali menghambur ke dalam. Dia tidak bersama Cate—
yang berarti, dia mungkin sudah berhasil menenangkan gadis itu dan
menjelaskan semuanya.
Namun, wajah lelaki itu pucat pasi.
“Anna,” ujarnya.
Dan, tubuh Anna langsung lemas seketika.[]

--------------------------------
18 (Jerman) Sarapan.
15
Der Bahnhof19

Bintang dirawat di unit intensif rumah sakit di Jakarta.


Dia tadinya hendak pergi ke sana untuk check up, tetapi tiba-tiba roboh karena
komplikasi ginjal yang cukup serius. Sopir taksi online yang menjemputnya
melihat tubuhnya tergeletak di dekat pintu yang terbuka, dan langsung
membawanya ke rumah sakit terdekat terlebih dahulu, sebelum kemudian
dialihkan ke rumah sakit yang selama ini merawatnya.
Pikiran pertama Anna setelah mendengar kabar itu adalah langsung pulang ke
Indonesia. Namun, dia tahu prosesnya tidak semudah itu. Uang tabungannya
sudah sangat menipis, dan meskipun dia sudah mendapatkan beberapa ratus euro
dari Audrey, dia harus menunggu sampai beberapa hari lagi untuk mendapatkan
tiket yang bisa dibayarnya.
Anna berjalan mondar-mandir dengan kalut di lounge, tempat Terry
mengajaknya dan Gerda berkumpul bertiga saja. Gerda duduk di sofa sambil
merangkupkan tangannya dengan cemas. Terry sedang menelepon dokter
Bintang di Indonesia, menggunakan bahasa Inggris, mendengarkan
penjelasannya dan terus saja bertanya apakah Bintang baik-baik saja. Entah apa
yang dokter itu katakan, tetapi semakin Terry mendengarkan, wajahnya
bukannya tampak lega, malah semakin keruh.
Anna berusaha tidak terpengaruh. Dia berkali-kali meyakinkan diri bahwa
Bintang lelaki yang sangat kuat, dan dia pasti bisa melalui itu semua.
Terry menutup ponsel dan membantingnya ke sofa.
Dia menyapu rambutnya ke belakang dengan sebelah tangan, terlihat begitu
putus asa.
“Dokter itu terus-menerus menyebutkan kata-kata yang sama,” ujarnya.
“Bintang bisa selamat. Tapi dia tidak punya banyak waktu. Dia harus segera
mendapatkan donor ginjal.”
“Siapa yang menjaganya di Indonesia, Anna?” tanya Gerda.
“Saya bisa minta tolong keluarga saya untuk menjenguknya. Tapi ….”
“Begini. Aku punya sedikit tabungan,” sahut Gerda segera. “Aku bisa
meminjamkannya kepadamu, dan kau bisa segera pulang.”
Mata Anna berkaca-kaca. “Tapi, Gerda—”
“Tak masalah,” Gerda membuka ponsel. “Aku akan mengecek saldoku dulu.
Setelah itu aku akan ke ATM sebentar, kembali ke sini, lalu kau bisa langsung
membeli tiket.”
Mendadak, Terry berjalan cepat ke arah pintu lounge dan membukanya.
“Mau ke mana?” tanya Gerda sambil mengerjap.
“Menemui ayahku.”
“Untuk?”
Terry tidak menjawab. Dia sudah memelesat keluar.
Seluruh alarm di tubuh Anna sontak berdering.
Apa yang akan dia lakukan …?
Gerda tampak sama paniknya. Gadis itu berkata, “Pergilah bersamanya dulu,
Anna. Harus ada yang menjaga hostel.”
Anna segera menurut. Dia ikut berlari ke luar, memanggil Terry dan
menyuruhnya kembali ke dalam. Meski begitu, saat Anna sampai di luar pagar,
dia melihat lelaki itu sudah menaiki bus yang lewat di halte yang tak jauh dari
situ, dan bus itu melaju pergi sebelum Anna sempat menyusulnya.
Tidak, batin Anna panik. Menunggu bus selanjutnya butuh waktu entah berapa
lama lagi. Anna memutuskan untuk berlari, berpikir dia pasti bisa menemukan
bus lain ke Stasiun Ottakring di suatu titik di distrik ini—dia tidak mungkin
hanya diam saja dan menunggu. Hatinya terus berharap Terry tidak akan berbuat
bodoh.
Mengapa anak itu tiba-tiba ingin menemui Herr Gregoire? Mengingat
pertengkaran keduanya kemarin, yang bisa dipikirkan Anna hanyalah hal-hal
mengerikan.
Bus lain lewat saat dia sudah setengah jalan. Anna menaikinya. Dalam
perjalanan, dia mengeluarkan ponsel dan menghubungi adiknya, Salena,
memberitahunya bahwa Bintang masuk rumah sakit dan meminta tolong kepada
adiknya untuk menjenguk lelaki itu.
“Hah? Iya, Kak, aku lagi di sekolah, nih. Habis ini, yah.”
“Kabari kalau ada apa-apa, ya. Tolong kabari Kak Kessa juga.” Anna
menutup ponsel. Dia memandang ke luar jendela dengan gamang. Luftschloss
Hostel dan Stasiun Ottakring tidak terlalu jauh jika ditempuh menggunakan bus,
tetapi perjalanannya kali ini terasa terlalu lama.
Begitu sampai di depan stasiun, Anna memelesat keluar, mencari-cari Terry.
Lelaki itu masih tidak kelihatan di mana pun. Dia segera menghambur ke mesin
tiket kereta dan membeli tiket menuju Landesgerichsstrasse, lalu naik ke lantai
dua untuk menghampiri platform yang ditujunya. Anna berharap bisa
menemukan Terry di platform itu, tetapi lagi-lagi Anna terlambat.
Anak itu … cepat sekali.
Anna segera naik ketika keretanya tiba, memilih untuk berdiri meskipun ada
tempat duduk yang kosong. Benda ini bergerak sama lambannya seperti bus tadi.
Rasanya seperti selamanya ketika akhirnya dia tiba di Stasiun
Landesgerichsstrasse. Dengan amat terburu-buru, Anna menghambur menuju
apartemen Herr Gregoire di Rooseveltplatz, dan akhirnya bisa melihat Terry di
luar gerbang apartemen itu, sedang menekan-nekan tombol interkom dengan
marah.
Anna berlari ke arahnya. Jika Terry tiba lebih dulu daripada Anna tetapi
belum bisa masuk, entah interkom itu rusak atau Herr Gregoire memang tidak
mau menemuinya.
“Terry!” panggil Anna tersengal.
“Benda ini mati,” rutuk Terry. “Kita harus menunggu ada yang keluar dulu,
baru bisa masuk.”
“Kau ini sebenarnya mau apa?” tanya Anna tak sabar. “Kalau kau berencana
marah-marah lagi kepada ayahmu—”
Tepat saat Anna berkata begitu, pintu gerbang dibuka oleh seorang pria yang
hendak keluar. Terry sontak menyelinap masuk, tak sabar menunggu lift dan
memilih menaiki tangga menuju unit apartemen ayahnya. Anna mengikutinya
meski sudah kehabisan napas. Begitu sampai di lantai lima, Terry langsung
menghambur menuju pintu ayahnya dan menggedornya keras-keras. Anna
berdoa semoga Herr Gregoire tidak berada di dalam.
Doanya tidak terkabul.
Herr Gregoire membuka pintu.
Terry menjatuhkan diri.
Berlutut di hadapan ayahnya.
Anna bergeming.
Herr Gregoire tampak terkejut. Dia menunduk menatap Terry, yang juga
menundukkan kepalanya.
“Aku tidak pernah minta apa pun darimu,” kata Terry, lama kemudian.
Suaranya agak bergetar. “Yang kuminta sekarang mungkin keterlaluan, tapi
tidak ada cara lain. Cuma kau yang bisa menyelamatkannya.
“Kumohon, Ayah.”
Raut wajah Herr Gregoire berubah.
Dia kini terlihat sangat terluka. Dahinya berkerut, dan matanya terpejam
selama beberapa saat.
Perlahan, dia ikut berlutut. Kedua tangannya memegang bahu Terry,
mengisyaratkan putranya itu untuk menatapnya. Terry mendongak ke arahnya.
“Dengar, Terry,” ujar pria itu. Ini pertama kalinya Anna mendengar Herr
Gregoire bicara dengan begitu lirih, pada titik di mana suaranya terdengar
menyakitkan.
“Ayah ingin,” ujarya. “Ayah ingin sekali. Tapi ….” Dia kembali memejamkan
mata dan menunduk.
Tangisnya tumpah.
Terry menatapnya, bergeming dan terpaku, menunggu pria itu menjelaskan.
Namun, Herr Gregoire tidak kunjung bicara. Air matanya terus mengalir,
membuat sosoknya kini tampak begitu rapuh. Dan, kesepian.[]

---------------------------------
19 (Jerman) Stasiun kereta.
16
Der Vati20

Kanker darah itu …


… biasanya cuma ada di dalam cerita fiksi, bukan?
Anna bahkan pernah ragu penyakit itu ada. Para penulis skrip dan novel biasa
menjadikannya jalan keluar untuk semua masalah, ketika mereka ingin
membunuh seorang tokoh atau menghadirkan kisah cinta yang sedih.
Namun, penyakit itu ternyata sungguh-sungguh ada.
Keadaan di mana sel-sel darah putih jumlahnya lebih berlimpah daripada sel
darah merah, kemudian menggerogotinya.
Dan, ayah Bintang dan Terry ternyata mengidap penyakit itu.
Dan ..., karena itulah dia tidak bisa mendonorkan ginjalnya kepada Bintang
…, karena ginjal yang sudah digerogoti kanker jelas tidak akan bisa
menyelamatkan penderita gagal ginjal, bahkan mungkin bisa membunuhnya
dengan lebih cepat.
Satu lagi ungkapan yang, bagi Anna, tadinya hanya ada di dalam cerita-cerita.
Berbunyi, “Dunia seolah berhenti berputar.” Karena dunia mustahil berhenti
berputar.
Namun, nyatanya itulah yang Anna rasakan sekarang. Bahwa dunia sudah
berhenti melakukan apa yang biasa dilakukannya.
Terry sedang berada di balkon bertaman, duduk di teras sambil menatap langit
kelabu di depannya. Herr Gregoire berada di kamar. Anna di dapur, berinisiatif
untuk membuatkan teh, tetapi dia tidak bisa berhenti menangis—dan karenanya
teh itu tidak kunjung jadi. Setiap kali Anna mengaduk teh, air mata akan jatuh ke
dalamnya. Dia pun harus membuang dan mengganti teh itu dengan yang baru.
Dia belum pernah menangis lagi sejak pergi ke Wina. Ini pertama kalinya.
Satu-satunya yang membuat hati Anna lebih tenang adalah, Kessa dan Salena
baru meneleponnya, mengatakan bahwa Bintang sudah dipindahkan dari ruang
intensif ke ruang rawat inap. Kondisinya sudah mulai membaik, setidaknya
untuk sementara.
Anna mencuci cangkir-cangkir, kemudian mengeringkannya dan menyiapkan
daun teh baru. Dia hendak mengangkat teko, tetapi kemudian sebuah tangan
yang kokoh mencegahnya, lalu menggantikan dirinya membuat teh.
Anna menyingkir, menempel di sudut pantri sambil menghapus air matanya
hingga kering. Dia mengamati Herr Gregoire menyeduh teh earl grey itu dengan
tenang, kendati mata pria itu merah dan wajahnya masih terlihat pedih. Ketika
menatap pria itu dalam keadaan dan sikap seperti ini ..., sekonyong-konyong
Anna mengerti mengapa di dalam hidup pria itu ada dua wanita yang begitu
mencintainya dan pada akhirnya bersedia menikah dengannya dan melahirkan
anak-anaknya.
Anna pernah mendengar dari Bintang ketika lelaki itu bercerita tentang sebuah
film. Blade Runner 2049, jika tidak salah. Terkadang, untuk menyelamatkan
orang yang kau cintai, kau harus menjadi orang asing.
Dan, itulah yang dilakukan pria ini.
Herr Gregoire memberikan secangkir teh kepada Anna dalam diam. Untuk
alasan yang tidak bisa dipahaminya, mata Anna berkaca-kaca lagi saat dia
menerima cangkir tersebut. Pria itu kemudian memanggil Terry, menyuruh
anaknya itu masuk. Terry versi belum-tahu-ayahnya-mengidap-kanker mungkin
akan membangkang. Namun, Terry yang sudah-tahu-ayahnya-mengidap-kanker,
beranjak, melangkah masuk dengan pelan, kemudian bergabung bersama Herr
Gregoire dan Anna di ruang duduk.
Karena ingin menghormati Herr Gregoire, Anna menyesap tehnya dengan
pelan meski masih terlalu sedih untuk meminum apa pun. Herr Gregoire
meminum tehnya sendiri. Terry tidak melakukan apa-apa dan hanya menatap
cangkir itu dengan hampa.
“Kau masih menyimpannya,” ujar Terry.
“Menyimpan apa?” tanya Herr Gregoire.
“Cangkir-cangkir ini,” Terry menyahut. “Kesukaan Ibu.”
“Tentu saja aku masih menyimpannya.”
“Siapa yang lebih kau cintai?” tanya Terry tajam. “Ibuku, atau ibu Bintang?”
Pada saat-saat seperti ini, anak itu masih saja berani bicara sembarangan.
Anna memelotot kepadanya, menatapnya dengan gusar; tetapi kemudian dia
melihat sorot mata Terry meredup, dan mata lelaki itu sedikit berkaca-kaca.
Anna jadi bertanya-tanya apa sebenarnya arti pertanyaan itu baginya.
Tanpa sedikit pun mereka duga, Herr Gregoire menjawab dengan singkat.
“Ibumu.”
Mata Terry melebar. Anna tidak berkedip.
“Aku belum bisa memaafkan ibu Bintang karena apa yang dilakukannya,”
Herr Gregoire berkata sambil menatap lantai.
“Apa …,” ujar Anna dengan suara kecil, “apa yang dia lakukan …?”
“Bintang belum bercerita?” tanya pria itu. “Ibunya meninggal karena bunuh
diri.”
Sunyi sejenak.
“Yah,” Terry bicara dengan suara lebih pelan, “kau tidak bisa menyalahkan
orang karena bunuh diri.”
“Aku tahu.”
“Dan, bukan salah Bintang juga ibunya bunuh diri.”
“Aku tahu, Terry.”
“Lalu, kenapa kau meninggalkannya?”
“Bisakah kita tidak membicarakan itu?”
“Tidak, Ayah!” bentak Terry dengan suara tinggi. “Aku butuh penjelasan.
Kami semua butuh penjelasan, dan kau terus saja diam dan merahasiakan
semuanya, bahkan tidak pernah bercerita kepada siapa pun tentang penyakitmu.
Kau punya keluarga—kenapa kau harus menyimpan semuanya sendirian?”
Sunyi lagi. Herr Gregoire mengembuskan napas. Keningnya berkerut. Sesaat,
Anna mengira dia akan kehilangan kendali dirinya lagi. Namun, dia berhasil
menahan air matanya, memejamkan mata, dan, setelah beberapa lama, dia
akhirnya mulai memberanikan diri untuk bercerita.
“Bintang begitu mirip dengan ibunya,” ujar pria itu, tatapannya menerawang.
“Setiap kali aku melihatnya, aku akan teringat peristiwa itu lagi. Saat ibunya
berlumuran darah di lantai.
“Dan, setiap kali teringat hal itu, aku berpikir apakah semuanya akan berbeda
kalau aku dulu bisa lebih meyakinkannya untuk berlibur ke Wina bersamaku dan
Bintang. Apakah itu semua tidak akan terjadi seandainya aku lebih tegas dan
tidak menyetujui keinginannya untuk tinggal sendirian di rumah.
“Setiap kali aku teringat hal itu, satu-satunya yang kupikirkan hanyalah
menyusulnya pergi untuk selamanya.”
Anna merangkup cangkir tehnya. Matanya kembali berkaca-kaca.
“Tapi, aku tahu aku tidak boleh mati,” ujar Herr Gregoire. “Aku mengidap
depresi karena kehilangan ibu Bintang, tapi aku berusaha melawannya. Aku
ingat masih punya anak. Meski begitu, saat itu tak ada cara lain bagiku selain
melarikan diri ke kampung halamanku.
“Ibumu menyelamatkanku,” ujarnya kepada Terry. “Kami bertemu di aula
resital. Dia wanita yang begitu baik dan cantik, penyabar. Dia jatuh cinta
kepadaku, aku pun demikian. Dia membuat segalanya menjadi bercahaya lagi.
“Aku memintanya untuk menikah denganku. Dia begitu bahagia, tapi dari
sisiku … tidak sepenuhnya. Aku selalu teringat Bintang, dan aku baru berani
bercerita kepada ibumu tentang masa laluku setelah kau berumur empat tahun.
Aku baru berani mengatakannya saat itu karena aku memikirkan penyakitnya.
“Tak ada orang sebaik ibumu di dunia ini, Terry. Dia bilang semua itu bukan
salahku. Dia memintaku untuk pulang ke Indonesia dan menjenguk Bintang, tapi
aku masih terlalu pengecut. Aku sudah memiliki ibumu, dan memilikimu, dan
aku sempat takut semua itu akan hancur lagi karena masa laluku.”
Ekspresi Terry terlihat seolah ayahnya baru menamparnya lagi.
“Aku tak percaya …,” ujarnya, nyaris tidak terdengar. “Kau sengaja ingin
melupakan Bintang untuk selamanya?”
Herr Gregoire memandangnya tajam, dengan tatapan khas seorang ayah.
Dengarkan aku dulu.
Terry langsung diam.
“Pada akhirnya, aku sadar bahwa ibumu benar,” ujar pria itu kemudian. “Aku
tahu aku harus menyelesaikan semuanya, terlebih aku juga sangat ingin bertemu
Bintang lagi. Aku mulai membuat persiapan untuk kembali ke Indonesia,
membeli tiket, bertekad untuk mengajak Bintang kemari dan mengenalkannya
kepada kau dan ibumu. Aku juga sudah memutuskan untuk mengajaknya tinggal
di sini.”
Raut wajah Herr Gregoire kemudian berubah, seperti bohlam redup yang
mendadak kehilangan dayanya, dan padam sepenuhnya.
“Lalu, ibumu meninggal,” ujarnya.
Keheningan yang menyusul bahkan lebih menyesakkan.
Hanya sampai di situ saja, Anna mengerti …. Dia memahaminya, dan tiba-
tiba jadi tidak ingin mendengar apa pun lagi.
Bayangkan bangunan kokoh yang ambruk. Kemudian berdiri kembali.
Kemudian ambruk lagi hingga pondasi paling mendasar.
Seperti itu.
Terry tampak terpaku. Wajahnya memucat, dan tak butuh waktu lama sampai
dia menyesali semua sikapnya. Kepalanya tertunduk, keningnya berkerut,
tubuhnya condong ke depan. Kedua tangannya tertangkup erat.
“Aku berpikir … apakah ibumu meninggal karena salahku?” ujar Herr
Gregoire sambil menundukkan kepalanya. “Apakah mungkin dia sebenarnya
tidak bisa menanggung semua yang kuceritakan kepadanya, dan itu membuat
kondisinya memburuk?”
Terry terdiam, menerawang. Lalu, dia menggeleng pelan.
“Ibu bukan orang seperti itu,” ujarnya, lirih tetapi tegas. “Dia sangat tegar, dan
aku yakin dia bisa menerimamu sepenuhnya. Dia meninggal karena memang
sudah waktunya.”
Sederhana sekali.
Herr Gregoire memandang putranya, dan tatapannya seolah berkata bahwa
selama puluhan tahun ini, dia hanya perlu mendengar itu saja dari Terry. Kalimat
yang membuatnya bisa bangkit kembali.
“Aku berusaha bertahan dengan meneruskan mengelola hostel yang sudah
kubangun bersama ibumu. Aku juga meyakinkan diriku untuk kembali bermain
piano,” ujar Herr Gregoire lama kemudian. Jemarinya memegang pelipis, posisi
duduknya sama persis seperti Terry. “Kupikir itu bisa menyembuhkanku. Tapi,
semakin lama, aku malah semakin terluka. Aku tidak bisa tidak teringat
kepadanya ketika melihat hostel itu. Dia berada di semua tempat …. Di lounge-
nya, di sudut ruangan, di salah satu kamar yang pernah kami tempati di sana.
“Aku pun berakhir mengabaikan hostel itu, seperti halnya aku mengabaikan
Bintang, kau, dan pianoku. Kuputuskan untuk mengeluarkan album terakhir dan
berhenti.”
Sunyi kembali. Anna dan Terry memberikan waktu kepada Herr Gregoire
untuk menguasai dirinya, sampai pria itu bisa kembali berbicara.
“Aku tahu aku sudah membuatmu dan kakakmu menderita,” ujarnya.
“Pertahanan pertamaku ketika mendengar nama Bintang adalah menolaknya.
Ketika berhadapan denganmu, aku membangun dinding yang tinggi. Melihat
kalian membuatku teringat dua wanita yang sangat kucintai, yang tidak bisa
kuselamatkan. Dan, pikiran itu terus menghantuiku selama bertahun-tahun.”
“Tapi, aku bukan Ibu,” ujar Terry tegas. “Dan, Bintang bukan ibunya. Ada ibu
kami masing-masing dalam diri kami, tapi kami bukan mereka.”
“Aku tahu.” Herr Gregoire menekan kelopak matanya yang terpejam.
“Maafkan aku.”
Anna menunduk, menekuk-nekuk jemarinya dengan pedih sementara air
matanya mengalir. Dia tahu dua lelaki itu pun kini sedang menangis, dan Anna
tidak berani mendongak sebelum salah satunya berbicara.
“Jadi, sebenarnya kau mencintai keduanya sama besarnya.” Suara Terry
akhirnya terdengar. “Ibuku dan ibu Bintang. Tidak bisa memaafkan itu berbeda
dengan tidak mencintai.”
“Kau benar-benar sudah dewasa.”
Anna mendongak, melihat Terry tersenyum tipis meski kepalanya masih
tertunduk. Ayahnya pun demikian.
“Jadi,” ujar Terry sambil mengembuskan napas, “ibuku sudah meninggal. Dan
sepertinya aku akan punya dua anggota keluarga lagi yang menyusulnya.” Dia
berusaha mengucapkannya dengan santai.
“Tidak, Terry,” ujar Herr Gregoire sambil mengusap matanya. Dia sudah
berhenti menangis, dan wajahnya kini terlihat lebih tegar, jika bukan penuh
tekad. “Aku sudah mendapatkan donor untuk Bintang.”
Anna dan Terry membelalak.
“Apa?”
“Kalian sudah menghubungi sembilan donor darah aktif itu.” Herr Gregoire
mengangguk pelan.
“Ya, cuma sembilan orang yang—”
“Sepuluh,” ujar Herr Gregoire. “Aku berhasil menemukan satu donor lagi di
tempat yang dingin dan jauh.”
Anna terpaku, tidak memercayai pendengarannya.
“Jangan main-main.” Terry sekarang tampak sangat khawatir. “Kau dapat info
dari mana, Ayah …?”
“Kau tidak akan bisa membayangkannya. Aku mulai mencari tahu tentang itu
… sejak Anna datang kemari.” Herr Gregoire memalingkan wajah, seolah malu
untuk mengakuinya. Dia dulu terlihat begitu dingin di depan Anna. Siapa yang
menyangka ….
“Tidak semua donor darah aktif itu tercatat di bank donor,” ujar Herr
Gregoire. “Pasti ada satu atau dua yang luput.”
“Jadi, maksudmu, kau berhasil menemukan satu orang itu di antara tujuh
miliar manusia di dunia?” tanya Terry tak percaya.
Herr Gregoire mengangguk dengan tenang, seolah itu hanya pertanyaan sepele
tentang bagaimana cara menemukan cokelat Ritter Sport rasa Alpenmilch di
stasiun kereta. “Tidak tercatat di bank donor, bukan berarti tidak tercatat di
database lain. Golden blood itu istimewa, Terry. Banyak ilmuwan yang
melakukan penelitian dan memburu pemilik golongan darah ini, lalu menyimpan
data mereka. Percayalah, menemukan info itu tidak mudah, bahkan dengan
semua koneksiku. Tapi, semuanya sudah berakhir. Aku sudah berhasil
bernegosiasi dengan rumah sakit dan lelaki pemilik golongan darah itu, juga
keluarganya.”
“Mereka bersedia?” bisik Anna.
“Syukurlah. Ya.”
“Bagaimana—”
“Dengan uang,” Herr Gregoire memotong ucapan Terry. “Banyak sekali
uang.”
Terry membuka mulut, lalu menutupnya lagi.
“Oh,” hanya itu yang dia katakan. Dia terlihat merasa bodoh sekali sudah
bertanya.
“Mereka tinggal di Reykjavík,” ujar Herr Gregoire. “Aku akan menemui
mereka lagi dan para dokter di sana besok.”
Reykjavík. Islandia. Pemilik golongan darah paling langka di dunia, di salah
satu tempat paling terpencil di dunia.
Terkadang, Anna begitu heran melihat bagaimana takdir bekerja.
“Bintang—” Anna berkata lirih.
“Aku akan berusaha secepat mungkin,” sahut Herr Gregoire. “Karena itulah
kau tidak bisa bertemu denganku tempo hari. Aku sedang berada di Islandia.”
Dia menggeleng dan kembali memegang pelipisnya. “Aku sebenarnya ingin
menyimpan ini semua. Aku ingin keluarga itu sendiri yang datang ke Indonesia
dan membicarakan soal transplantasi itu dengan Bintang. Tapi—”
“Tidak ada rahasia-rahasiaan lagi, Ayah!” potong Terry marah. “Dan, kau
tidak akan menyuruh-nyuruh orang untuk pergi ke Indonesia. Kau sendiri yang
harus menyampaikannya kepada Bintang di sana. Berhentilah merasa takut
kepada anakmu sendiri! Aku tidak menyukai caramu—jadi, sekarang, kau harus
bersedia untuk menggunakan caraku.”
“Apa yang kau sukai?” tanya Herr Gregoire tenang.
“Gerda,” Anna menjawab sambil tersenyum tipis. “Dan, wafer Manner.
Banyak sekali bungkusnya di lounge hostel.”
Herr Gregoire tampak merenung. Sorot matanya melembut dengan cara yang
samar, seperti bintang yang diselimuti kabut.
“Manner,” ujarnya. “Tentu saja.”
“Dan,” ujar Terry, wajahnya masih menyala-nyala, “aku tidak suka saat kau
menjual piano—”
“Itu bagian dari negosiasi,” sahut Herr Gregoire tegas. “Aku menginginkan
ginjal dari anak suami-istri Islandia itu. Mereka menginginkan benda paling
berharga yang dimiliki anak-anakku.”
Anna langsung merinding.
Rahang Terry jatuh ke bawah.
“Seperti perjanjian occult21?” kata Terry sambil menelan ludah.
“Bukan. Aku lebih suka menyebutnya tradisi. Agar kami bisa terus mengingat
satu sama lain.”
“Oke,” Terry berkata sambil menyapu rambutnya ke belakang. “Masalah
Bintang berarti selesai. Sekarang kita membicarakan tentang kau, Ayah.”
“Yah, soal itu,” Herr Gregoire berkata muram. “Ini masih stadium tiga.”
Terry menatapnya seolah berkata, “Lalu?”
“Aku tidak akan mati terlalu cepat.”
“Definisikan terlalu cepat.”
“Kalau aku masih bisa bertahan sampai lima tahun lagi, itu bagus.”
Anna menutupi wajah dengan kedua tangan.
Lima tahun. Lima tahun itu sebentar sekali.
Terry terlihat seperti dipukul lagi.
“Lalu?” tanyanya hampa.
“Lalu, aku akan mencoba lima tahun lagi. Dan lima tahun selanjutnya. Begitu
terus.” Herr Gregoire kembali mengembuskan napas panjang. “Aku baik-baik
saja, Terry. Jangan khawatir.”
Suasana kembali hening. Namun, kali ini, itu bukan keheningan yang
menyesakkan. Keheningan yang menyusul terasa lebih hangat, diliputi harapan.
Terry menatap ayahnya dengan cara yang tidak pernah dilihat Anna dalam diri
lelaki itu sebelumnya; tatapan seorang anak. Terkadang bisa membenci ayahnya,
terkadang merutukinya—tetapi di atas semua itu, perasaan cintalah yang paling
besar.
Meskipun terluka, Anna berusaha memercayai ucapan Herr Gregoire. Karena
di dalam ucapan itu, ada harapan.
Dan, itulah yang membuat dirinya, Bintang, dan Terry mampu bertahan.[]
-----------------------------
20 (Jerman) Ayah.
21 Perjanjian yang berhubungan dengan kepercayaan terhadap hal-hal supernatural seperti ilmu sihir.
17
Das Wunder22

Bintang baru diperbolehkan keluar dari kamar rawat inapnya lima hari
kemudian.
Memang hanya sebatas taman rumah sakit, tetapi dia langsung
memanfaatkannya. Kamar serbaputih itu benar-benar membuatnya gila.
Dia membawa infus, melangkah menuju taman luas yang terletak di tengah-
tengah bangunan besar itu. Perutnya sudah tidak terlalu sakit lagi. Entah apa
yang para dokter itu lakukan, tetapi Bintang merasa kondisinya sekarang jauh
lebih baik, setidaknya untuk sementara. Dia juga sudah memberikan banyak tip
lewat aplikasi kepada sopir taksi online itu, bersyukur bahwa pada saat-saat
seperti itu, masih ada orang baik yang bersedia menolongnya.
Bintang jadi bertanya-tanya apakah itu berarti dia diizinkan untuk hidup lebih
lama.
Udara tidak terlalu panas. Sedikit mendung, dan pagi itu beraroma embun. Dia
berdiri di tengah taman, mengambil ponselnya dengan satu tangan, dan kembali
mengirim pesan kepada Anna, memberi tahu bahwa Kessa dan Salena sudah
pulang. Seperti sebelumnya, Anna hanya membalasnya singkat-singkat, seolah
sedang terburu-buru. Bintang penasaran apa yang sedang dilakukan gadis itu
sekarang.
Dia memandang ke kejauhan untuk beberapa saat, merasa beruntung taman ini
sedang sepi, dan hanya dia seorang diri yang berada di sini. Namun, sepertinya
tidak terlalu lama. Tatapannya pun teralih ketika dia menyadari ada orang lain
yang sedang melangkah pelan dan berhenti di taman itu.
Seorang pria. Tinggi, besar, berambut cokelat menyentuh leher. Bermata
kelabu, yang menyerupai perak atau awan mendung.
Dia bahkan lebih rupawan daripada dua puluh tahun yang lalu, pikir
Bintang. Melalui waktu dengan cara yang sendu, tetapi indah.
Bintang tersenyum, mengerjap.
Sudah cukup dia berkhayal.
Namun, ayahnya masih ada di sana.
Bintang bergeming saat pria itu berjalan pelan menghampirinya. Mata Bintang
mengikuti setiap gerakannya, sampai pria itu benar-benar berhenti di depannya.
Tinggi Bintang 178 sentimeter, tetapi dia masih harus mendongak untuk bisa
memandang pria itu.
Ayahnya terlihat berusaha menahan kepedihannya. Bintang, sementara itu,
masih terus bertanya-tanya apakah yang dia lihat ini sungguhan.
“Pesananmu,” ujar ayahnya pelan, memberikan tas kertas indah bertuliskan
Manner. Bintang memandangi tas itu sejenak sebelum menerimanya. Di
dalamnya, terdapat tumpukan wafer berbentuk hampir bujur sangkar, tebal,
dengan bungkus halus berwarna peach.
Bintang punya banyak sekali pertanyaan, tetapi yang dikatakannya hanya,
“Banyak sekali.”
“Kau bisa menyimpannya untuk dimakan nanti,” ayahnya berkata. “Tidak
mudah leleh dan hancur. Pilihan yang bagus.”
Bintang kembali mendongak. Mata kelabu ayahnya tidak pernah
meninggalkannya. Pria itu menghela napas sejenak sebelum menunduk dan
kembali bicara.
“Kalau kau bersedia mendengarkan penjelasanku ….”
“Aku tidak mau dengar,” sahut Bintang.
Ayahnya memandangnya.
Bintang mengalihkan perhatiannya kepada wafer-wafer itu, mengambil
sebungkus. “Boleh kumakan?” tanyanya.
“Tentu saja.”
Bintang merobek bungkus wafer tersebut, mengambil satu ruas, dan
memakannya. Terasa manis dan sangat renyah, hazelnut dan cokelat bercampur
menjadi satu.
“Lebih manis dari yang kuingat,” ujar Bintang.
“Kurasa kita akan semakin menyukai makanan yang lebih pahit seiring
waktu,” ujar ayahnya. “Rasa wafer itu sama. Hanya sudut pandangmu yang
berbeda.”
“Masuk akal.”
Bintang mengambil satu ruas wafer lagi, memakannya kembali. Selama
beberapa waktu, tak ada yang berbicara. Lalu, ponsel ayahnya berdering singkat.
Bintang mengamatinya memeriksa pesan di ponsel tersebut.
“Doktermu ingin bicara denganku,” ujar ayahnya kemudian. “Aku akan ke
sana dulu.”
“Kau baru datang dan sudah akan pergi lagi?”
Mendadak, Bintang merasakan sesuatu menggumpal di tenggorokannya.
Kini, dia kesulitan menelan.
Ini … perasaan kosong ini. Dia mengenalinya. Perasaan hendak ditinggalkan.
Dan, baru saat itulah Bintang sadar bahwa ayahnya benar-benar berada di sini,
bahwa sosoknya nyata. Dan, wafer ini pun bukan hanya imajinasinya.
Ayahnya menggeleng pelan. “Tidak. Begini …, sebenarnya aku sudah
menemukan donor untukmu. Aku sudah memberi tahu doktermu, dan ….”
Ayahnya berhenti bicara. Dia menatap mata Bintang, yang mulai digenangi
air.
Ayahnya akhirnya mendekat dan memeluknya, begitu erat.
Bintang bisa merasakan air mata ayahnya jatuh satu per satu di bahunya.
“Maafkan aku,” bisik ayahnya beberapa lama kemudian. “Kupikir kau masih
butuh waktu.”
“Ya, aku sudah menunggu Ayah selama dua puluh tahun. Itu masih kurang,”
Bintang berkata sarkastis, meski suaranya nyaris tidak keluar.
Dia memejamkan mata, dan untuk pertama kalinya sejak tahun-tahun yang
sepi ini, air matanya mengalir.
Waktu kecil dulu …, dia tidak terlalu menyadarinya. Baru sekaranglah dia
tahu bahwa dipeluk orangtua itu rasanya begitu indah, menenangkan, meski
awalnya terasa canggung. Ayahnya melepas pelukannya sejenak, menatapnya
dengan wajah lembap dan merangkup pipi Bintang dengan satu tangan. Bintang
mengira dia akan mengucapkan kalimat klise seperti, “Kau sudah dewasa,” “Kau
sekarang tinggi sekali,” atau semacamnya. Namun, ayahnya tidak
mengatakannya. Barangkali, jika dipikir-pikir, ucapan itu menyakitkan.
Menunjukkan bahwa ayahnya tidak di sana untuk melihatnya tumbuh hingga
seperti sekarang.
Saat ayahnya memeluknya lagi, Bintang akhirnya bisa membalas. Bahkan
dengan kedua tangan yang memegang infus dan tas kertas berisi wafer.
Dia merasa menjadi anak kecil lagi.
Dan, dia tidak keberatan.

Kejutannya belum selesai. Setelah ayahnya mengantarnya ke kamar dan


menemaninya di sana, Anna masuk, bersama seorang lelaki yang langsung
dikenalinya. Mereka bertiga berbicara sahut-menyahut menggunakan campuran
bahasa Inggris dan Jerman, tidak ada pangkal ujungnya, sementara ayahnya
duduk di single couch di sudut, menyilangkan kaki dan sesekali tersenyum tipis.
Hanya dalam waktu beberapa jam, Bintang bertemu ayahnya yang
menghilang selama dua puluh tahun, bertemu adik tiri yang baru dikenalnya, dan
kembali bertemu gadis yang dicintainya.
Dia butuh minum.
“Tiket kemari tidak murah,” ujar Terry selagi Bintang meminum air
mineralnya. “Untunglah Ayah kaya raya.”
“Ya, tapi semua hal di sini sangat murah,” sahut Bintang. “Bahkan, kau pun
bisa menjadi turis kaya. Nah, karena kau sudah di sini, kau tidak punya alasan
lagi untuk tidak mengerjakan tugas akhirmu.”
“Yang benar saja!” Mata hijau Terry membelalak. “Kau sedang di rumah
sakit, dan sebentar lagi akan pergi ke Reykjavík untuk ditransplantasi ginjal—
masih sempat-sempatnya memikirkan tugas akhirku!”
“Sepertinya begitu.”
Bintang kemudian menoleh kepada Anna sementara Terry mengomel-ngomel
tidak jelas. Gadis itu tersenyum kepadanya, tampak lelah, tetapi lega, dan sorot
matanya yang lembut memantulkan cahaya lampu.
Jika bukan karena Anna, ini semua mungkin tidak akan terjadi. Mengucapkan
terima kasih saja rasanya tidak sebanding. Jadi, Bintang hanya meraih
tangannya, menatap tangan itu sambil sesekali mengusapnya.
“Nah,” ujar Terry, kini terdengar lebih santai, “kalian resmi bertunangan
lagi?”
“Aku belum tahu operasinya akan berhasil atau tidak,” Bintang berkata pelan.
“Lagi pula, kalian jangan terlalu senang dulu. Transplantasi ginjal hanya
memperpanjang umur selama, yah, kira-kira lima belas tahun. Lalu, harus
diperbarui lagi.”
“Kau pikir aku tidak memikirkannya sampai ke sana?” tanya ayahnya, dan
semua orang menoleh ke arahnya. “Aku sudah mendaftarkanmu ke semua
Transplant Center. Mereka memang belum memiliki donor Rh-null untuk
sekarang, tapi kalau mereka sudah mendapatkannya—yang mungkin butuh
waktu belasan tahun—mereka akan langsung menghubungimu.”
“Ayah kamu sudah berusaha sejauh ini,” sahut Anna. “Sekarang semua
bergantung kepada kamu.”
Bintang menatap ayahnya, yang juga memperhatikannya dari tempatnya
duduk.
“Soal kanker itu,” ujar Bintang hampa. “Kemoterapi di Austria pasti lebih
baik daripada di sini.”
“Kau bilang kau tidak mau aku pergi lagi,” ujar ayahnya sambil tersenyum
tipis.
“Yah, itu sebelum aku tahu soal penyakit Ayah.”
“Selagi semuanya ada di sini, mari kita langsung bicarakan saja pengaturan-
pengaturannya,” Terry menyahut tidak sabar. “Setelah mengantarmu ke
Reykjavík, Stern, aku dan Ayah akan kembali ke Wina. Dan kau ikut.”
“Dan, Anna?” sahut Bintang datar.
“Anna ikut, tentu saja.”
Terry mengatakannya seolah-olah itu menyelesaikan semua persoalan.
“Bukankah kalian akan menikah? Kau pasti akan ikut ke mana pun Stern
pergi, bukan, Anna? Lagi pula, kurasa Anna bisa menjadi manajer kebersihan
yang baik di Luftschloss Hostel.”
“Aku di sini punya pekerjaan,” ujar Bintang mengingatkan.
“Austria itu negeri musik, Sobat,” Terry menekankan. “Bagiku sih biasa saja.
Bagimu, itu surga. Cellist sepertimu akan sangat mudah mendapatkan pekerjaan
di sana. Kau juga bisa pergi ke rumah Joseph Haydn setiap hari dan duduk-
duduk di taman belakangnya sampai bosan.”
Bintang kembali menatap ayahnya. Dia ingin selalu berada di sisi sang ayah,
sekarang setelah dia kembali …. Namun, dengan keadaan beliau, bisakah dia
membiarkan ayahnya yang terkena kanker stadium tiga untuk berada jauh dari
kampung halamannya? Belum lagi masih ada terlalu banyak kepahitan untuk
ayahnya di negara ini. Terlalu banyak luka.
Terry benar. Jika Bintang ingin keluarga ini utuh lagi, dialah yang harus
mengalah. Jika ayahnya tinggal di sini, selain menurunkan standar untuk
pengobatannya, Terry pun juga harus terpisah dengannya. Mungkin tidak perlu,
jika Terry mau pindah kemari. Namun, melihat sifat adik tirinya itu, Bintang
yakin sampai sejuta tahun pun Terry tidak akan bisa dibujuk untuk pindah
apalagi tinggal di Indonesia.
Bintang menoleh kepada Anna.
“Bagaimana?” tanyanya pelan.
Wajah gadis itu terlihat sedih, dan Bintang mengerti. Anna memiliki keluarga
di sini, utuh, meskipun orangtuanya sudah bercerai. Dia punya ayah, ibu, dan
dua saudari. Memikirkan harus berada belasan ribu kilometer dari mereka pasti
tidak tertahankan.
Namun, Anna kemudian mengembuskan napas, lalu mengangguk, membuat
Bintang menatapnya dengan terpana.
“Saya ikut,” gadis itu berkata lirih.
“Wah, kau ini benar-benar pacar yang baik, ya,” kata Terry senang. “Bersedia
memperjuangkan segalanya demi Bintang.”
“Kalau boleh jujur, saya tidak menyukai pilihan kalimatmu itu,” Anna
menyahut dengan tenang. “Kesannya kau cuma menganggapku pelayan untuk
Bintang.”
“Aku tidak bilang begitu,” sahut Terry cepat-cepat. “Aku cuma—”
“Aku ingin pindah bukan hanya demi Bintang. Tapi, demi kalian semua.
Karena aku yang paling sehat di sini, jadi—”
“Tunggu, kau menganggapku tidak sehat?” potong Terry gusar.
“Bukan secara fisik,” jawab Anna.
“Anna!”
Gadis itu tidak memedulikan protes Terry dan menatap Bintang serta ayahnya.
“Bukannya meninggikan diri. Tapi, saya merasa bisa mengelola Luftschloss
dengan baik. Lampu kamar mandi di sana belum diganti, dan saya juga belum
membersihkan loteng. Kalau bisa …, saya ingin tetap berada di sana. Itu kalau
kalian mengizinkan.”
Ayah Bintang mengangguk satu kali.
“Silakan,” ujarnya.
“Kamu sudah betah di tempat itu?” tanya Bintang setengah geli, mengulang
pertanyaannya yang dulu.
“Secara garis besar,” jawab Anna.
“Ya sudah,” sahut Terry. “Segera menikah dan urus permanent resident sana.”
Seorang suster kemudian masuk, memanggil ayah Bintang dan menyuruhnya
pergi ke ruang dokter untuk membicarakan transplantasi ginjal Bintang, juga
pengaturan-pengaturan kepergian mereka semua ke Islandia nanti. Herr Gregoire
melirik Bintang, seolah meminta izin kepadanya untuk keluar sejenak.
Bintang mengangguk, mendadak merasa malu. Dia benar-benar bersikap
seperti anak kecil.
Sebelum keluar, ayahnya sempat melangkah pelan ke arah Bintang dan
menggenggam bahunya, juga Terry. Hanya itu, tetapi itu saja sudah cukup. Dia
kemudian keluar dan menutup pintu.
“Bagaimana pendapatmu tentangnya?” tanya Terry, mengedikkan kepala ke
arah pintu.
“Aku kaget,” jawab Bintang. “Dia rupawan sekali. Maksudku, dua puluh
tahun lalu masih masuk akal, tapi sekarang?”
“Aku tidak pernah benar-benar memperhatikan, tapi mungkin kau benar,”
sahut Terry sambil mengangguk. “Lalu, apa kau berniat mencarikan dia istri lagi
atau bagaimana?”
“Itu terserah dia,” ujar Bintang ringan.
“Dia terlalu mencintai ibu kalian,” Anna berkata sambil tersenyum. “Kurasa,
dia tidak akan menikah lagi.”
“Anna diam-diam sudah jadi fangirl-nya. Seperti Gerda.” Terry menyeringai.
Bintang menaikkan alis dan tertawa saat melihat wajah Anna yang memerah.
“Punya ayah tampan ternyata merepotkan,” ujar Bintang sambil menggeleng.
“Yang penting dia sudah kembali,” ucap Anna. “Itu yang paling kamu
inginkan, bukan?”
“Ya. Mission accomplished.” Bintang menatap gadis itu. “Terima kasih.” Dia
akhirnya mengatakannya juga. “Yah, mungkin danke schön23 lebih baik.”
“Apa bedanya?” tanya Anna.
“Ungkapan itu lebih mahal bagi orang Austria, Jerman, dan Swiss,” jelas
Terry santai. “Karena kami orang-orang yang tidak punya perasaan, jadi kami
lebih sering mengucapkan achtung24 alih-alih danke schön.”
“Oh,” Anna mengangguk-angguk. “Bitte25, kalau begitu,” balasnya.
Bintang bersandar, menatap gadis itu, juga adiknya.
Hidup tidak pernah terasa lebih baik daripada ini.[]

-----------------------------
22 (Jerman) Keajaiban.
23 (Jerman) Terima kasih banyak.
24 (Jerman) Awas.
25 (Jerman) Sama-sama.
18
Die Hochzeit26

Operasi Bintang dilakukan beberapa minggu kemudian di Reykjavík.


Tepatnya setelah kondisinya benar-benar membaik dan ada kepastian bahwa
dirinya dan ayahnya akan cukup sehat untuk melakukan perjalanan sejauh itu.
Semuanya pun berjalan dengan lancar.
Butuh waktu sampai ginjal barunya bisa sepenuhnya bersinergi dengan
tubuhnya, tetapi Bintang sejak dulu pasien yang patuh dan selalu menuruti apa
pun yang disarankan pihak dokter sehingga pemulihannya pun berjalan dengan
cukup cepat. Istirahat yang teratur. Minum obat dengan benar. Menyantap
makanan hambar dan tidak enak yang disediakan rumah sakit. Satu-satunya
makanan luar yang tetap dinikmati Bintang hanya wafer pemberian ayahnya,
yang tidak masalah jika hanya dimakan sesekali. Terry sering menggodanya
dengan fast food, tetapi Bintang membalas santai bahwa Terry sudah mulai ter-
Amerikanisasi, dan bahwa dia tidak pernah tertarik dengan fast food.
“Ini kubeli hanya karena praktis,” sungut Terry. “Bukan karena produk
Amerika.”
“Itulah idenya. Praktis sama dengan Amerika,” Bintang berkata riang.
Ayahnya bersama mereka sepanjang waktu, dan Bintang tanpa sadar
memperhatikan beliau lebih sering daripada yang dia inginkan, begitu pula Terry
dan Anna. Meski berusaha bersikap biasa saja, mereka khawatir kondisi beliau
bisa memburuk secara tiba-tiba atau semacamnya. Namun, tampaknya
kekhawatiran itu tidak perlu—untuk ukuran orang yang sempat hancur lebur
setelah ditinggal mati oleh kedua istrinya, dia ternyata sangat tegar dalam hal
fisik. Herr Gregoire yakin bisa menjadi satu dari sedikit penyintas kanker, dan
Bintang, Terry, serta Anna pun memercayainya. Untuk sementara, beliau
ditangani oleh dokter spesialis di Reykjavík, meminum obat dan menjalani
kemoterapi di sana.
Herr Gregoire dan Terry baru kembali ke Austria setelah dokter mengizinkan.
Bintang dan Anna kembali ke Indonesia—ditemani oleh beberapa perawat—
untuk mengurus permanent resident mereka di Wina kelak. Anna sedikit
mendapat masalah saat menyampaikan kepada orangtuanya tentang rencana
kepindahannya ke Wina. Meski begitu, dia berusaha meyakinkan mereka dengan
menceritakan tentang Luftschloss, bahwa udara di Austria lebih bersih, dan
bunga-bunga cherry blossom mulai tumbuh dengan indah menjelang musim
semi. Dia mengatakan mulai menyukai negara itu, meskipun itu bukan berarti
dia akan melupakan negara atau rumahnya sendiri. Mereka masih bisa
mengobrol lewat aplikasi ponsel atau komputer, dan Anna bukannya tidak akan
pulang ke Indonesia untuk menjenguk mereka.
Ditambah lagi, dia tidak akan pernah bisa jatuh cinta kepada lelaki selain
Bintang. Pilihannya hanyalah mengikuti calon suaminya pergi ke negara lain,
atau tetap tinggal di Indonesia dan tidak akan menikah dengan siapa-siapa.
Orangtua itu sederhana. Sampaikan sedikit pilihan soal pernikahan, dan
mereka pun akan luluh.
Karena ginjal Bintang harus terus dimonitor dan dia harus terus meminum
obat—seumur hidup, tepatnya—meski dia sudah dioperasi, urusan dengan
rumah sakit masih belum selesai. Bintang dan Anna tak pernah lepas dari semua
itu di sela pengajuan permanent resident dan persiapan pernikahan mereka.
Pengaturan-pengaturan itu membutuhkan waktu sekitar dua bulan dan, pada
hari keberangkatan mereka ke Wina, Anna dan Bintang sudah menikah, tugas
akhir Terry sudah selesai, kondisi Bintang sudah jauh lebih baik, dan ayahnya
sehat. Tak ada masalah saat Anna dan Bintang tiba di bandara Schwechat dan
Herr Gregoire menjemput mereka.
Herr Gregoire telah menyiapkan unit apartemen untuk Bintang dan Anna di
Rooseveltplatz. Mereka naik kereta bersamanya ke sana. Saat itu sudah musim
panas, udaranya nyaman, dan bunga-bunga sudah banyak bermekaran. Setelah
turun dari kereta, Bintang melewati Votivpark dan semua hal di sana dengan
perasaan campur aduk.
“Ada apa?” tanya ayahnya, berhenti di dekat taman itu dan menatap Bintang.
Bintang menggeleng, tersenyum sepintas, mengisyaratkan bahwa dia baik-
baik saja.
“Cuma berusaha memproses apakah ini memang kehidupanku dan bukan
milik orang lain,” ujarnya.
Jika mengingat dirinya sendiri enam bulan lalu saja, kejadian hari ini memang
seolah berada di atas awan. Begitu jauh, bahkan mungkin berada di luar sistem
tata surya sendiri.
“Dulu, kukira bintang yang indah juga tak terhitung jaraknya dari sini,” ujar
ayahnya, seolah mampu membaca pikirannya. “Tapi, sekarang dia berada di
depanku.”
“Hmm.” Bintang mengangguk, tidak memandang ke mana-mana. Dia tahu
Anna sekarang sedang tersenyum penuh arti di sampingnya, mungkin juga
dengan geli. Bintang tidak pernah pandai menanggapi kalimat yang dirangkai
secantik itu. Ayahnya seorang romantis, sama seperti Anna. Kombo mertua dan
menantu yang pas.
Saat Bintang masuk ke unit apartemen tempatnya tinggal, dia mendekat ke
arah jendela, melihat Votivpark serta Votivkirche dari tempatnya berdiri. Dia
tersenyum saat Anna merangkul dan menyandarkan tubuh kepadanya.
Bintang tidak menyesali apa pun. Seluruh hidupnya, semua kepahitan yang
dialaminya. Seandainya ayahnya dulu tidak meninggalkannya di Indonesia dan
membawanya ke Austria, Bintang sudah pasti tidak akan pernah bisa bertemu
dengan Anna.
Dan, Anna adalah salah satu hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidupnya.[]

------------------------------
26 (Jerman) Pernikahan.
19
Glück27

Senja itu, Anna dan Bintang duduk di teras belakang Luftschloss Hostel.
Gerda dan Terry menyiapkan makanan di meja yang telah dipindahkan di kebun,
bercanda tanpa henti, dan sesekali mengatur fairy lights yang disampirkan begitu
saja di pepohonan. Franz sedang berdiri mengobrol dengan beberapa turis,
memperdebatkan apakah cokelat Lindt berasal dari Jerman atau Swiss.
Herr Gregoire memainkan piano yang baru dibelinya, melantunkan Piano
Sonata yang lembut dan indah dari Mozart yang sangat disukai Bintang. Pria itu
sudah kembali memainkan instrumen kesayangannya. Rambutnya sudah sedikit
rontok karena kemoterapi, tetapi dia jelas terlihat lebih hangat daripada ketika
Anna pertama kali bertemu dengannya dulu.
Anna menggeser layar ponsel, memeriksa pesan yang baru masuk. Dia
tersenyum saat melihat foto Audrey, Collette, dan seorang pria muda yang
tertawa lebar sekali bersama keduanya, kepala mereka dihiasi topi-topi kerucut.
Audrey pun mengenakan gaun yang didesain Anna waktu itu. Anna berharap
bisa bertemu lagi dengan mereka, barangkali dalam perjalanan mereka
selanjutnya.
“Saya masih penasaran,” kata Bintang. Anna menoleh, melihat suaminya itu
tersenyum memandang seisi taman, sebelah tangannya menggenggam tangan
Anna. “Selama ini kamu selalu lebih memikirkan orang lain, Anna,” lanjutnya.
“Kamu sendiri, apa yang paling kamu inginkan?”
Anna meredupkan ponselnya setelah membalas pesan gadis-gadis itu. Dia
kembali menatap Bintang.
“Saya ingin membuka hostel,” ujarnya.
Bintang menoleh kepadanya sambil menaikkan alis.
“Hostel dengan konsep asrama, seperti yang pernah saya baca di buku-buku
traveling punya Ayah.”
“Kamu enggak pernah cerita.”
“Karena cita-cita itu konyol sekali,” kata Anna sambil tertawa lirih. “Saya
ingin hostelnya dibuka di negara lain, bukan di Indonesia. Hanya karena saya
ingin hostel itu dihiasi salju atau cherry blossom kalau sudah musimnya. Itu
impian yang muluk, dan saya pasti akan ditertawakan kalau bercerita kepada
orang lain. Makanya saya cerita kalau saya cuma ingin pergi ke Eropa alih-alih
membuka hostel.” Dia menatap Bintang, merapikan poni lelaki itu. “Orang-
orang bilang, saya berjuang untuk menyelamatkan kamu. Tapi, kamulah yang
membawa saya ke sini. Impian itu terwujud dengan cara yang tidak pernah saya
bayangkan.”
“Dan, kebetulan juga nama hostelnya Luftschloss,” ujar Bintang sambil
tersenyum. Anna membalas senyumnya, mengangguk dengan perasaan hangat.
Dia kemudian kembali menatap ke arah taman, mendengarkan interpretasi
Mozart Herr Gregoire, dan sesekali tertawa memandang Terry dan Gerda yang
sekarang sedang berebut mengoleskan krim di sebuah kue tar besar. Keduanya
kemudian menghampiri Herr Gregoire, dan Gerda dengan riang meminta pria itu
untuk bergabung bersama mereka di meja makan. Terry sesekali masih tampak
canggung saat bicara di depan ayahnya, tetapi setidaknya dia sudah cukup sering
mengulas senyum kepada pria itu, begitu pula sebaliknya.
Herr Gregoire pun beranjak, mengikuti keduanya, dan mengisyaratkan agar
Anna dan Bintang bergabung juga.
Sebelum menghampiri mereka, Anna masih sempat menoleh ke arah papan
kayu ukir yang sudah ditambahkan di bagian belakang hostel itu. Bertuliskan
Luftshcloss Hostel, sama seperti papan di bagian depan hostel, yang sudah
dilukis ulang dan diperbaiki olehnya dan Bintang.
Bagi Anna dan mereka semua, luftschloss akan selalu menjadi istana yang
cantik di atas awan.
Sulit sekali diraih, tetapi kini sudah terwujud nyata.[]

--------------------------------
27 (Jerman) Keberuntungan, kebahagiaan.
Tentang Penulis

Prisca Primasari lahir tanggal 22 Februari. Seorang Pisces yang selalu percaya
akan keajaiban. Novel-novelnya yang telah terbit antara lain Love Theft, Lovely
Heist, dan Purple Eyes. Prisca bisa dihubungi di Instagram @priscaprimasari.[]
Catatan Perjalanan

Hope adalah salah satu dari sedikit novel saya yang latar tempatnya benar-
benar pernah saya kunjungi, sekalipun begitu jauh. Novel ini mengambil tempat
di Wina, Austria, di sebuah dataran tinggi yang begitu sepi. Rumah-rumah yang
saya lewati di sana jarang dan mungil, tetapi cantik. Dari situlah, saya berpikir
bahwa akan menarik jika di sini terdapat hostel seperti Luftschloss, tempat fiktif
yang memang secara khusus dituju oleh Anna.
Beberapa waktu setelah saya pulang dari Eropa, saya ingat sempat
menghabiskan waktu seharian di sebuah resto fast food 24 jam hanya untuk
meneruskan novel ini. Saya ingin mendapatkan mood yang bagus saat
menuliskannya, dan tidak ingin kenangan di Austria itu menjauh dari pikiran
saya. Dan, karena novel ini pun memiliki unsur perjalanan di dalamnya,
sebagian besar isinya saya tulis di luar rumah. Saya merasa bahwa dengan cara
itulah saya bisa lebih dekat dengan Anna.
Untuk novel ini, saya masih tetap bertahan dengan tema-tema favorit saya.
Mimpi, realisme magis, kehilangan, kesendirian, dan penantian yang begitu
panjang. Namun, ada hal lain yang membedakannya dengan novel-novel saya
sebelumnya, yaitu tema sicklit. Saya jarang sekali mengulas tentang topik ini,
tetapi dalam Hope, unsur tersebut sangat krusial. Saya berharap, saya bisa
menyajikannya dengan baik.
Seperti halnya tokoh-tokoh kesayangan saya yang lain, Anna pun adalah
sebagian dari diri saya. Beberapa hal yang dia rasakan dan lewati di Austria,
saya pun merasakannya. Semoga teman-teman pun bisa ikut berjalan-jalan,
mencari, dan menanti seperti Anna. Dan, tentu saja, tak henti percaya pada
mimpi dan harapan sepertinya.[]

Anda mungkin juga menyukai