HOPE
Prisca Primasari
Copyright©Noura Books, 2019
All rights reserved
Penyunting: Yuli Pritania
Penyelaras aksara: Nani
Penata Aksara: Rhay
Ilustrator Sampul: Priska Susanto/@pikapoppin
Desainer sampul: @platypo
E-ISBN:978-623-242-055-7
First of all, thanks to Allah who has given me more miracles than I deserve.
Dan, terima kasih kepada Mama, Papa, dan adik-adik karena telah banyak
sekali membantu saya untuk pergi ke tempat-tempat yang saya impikan.
Terima kasih untuk tim Noura yang sudah memberi saya kesempatan untuk
menulis novel ini.
Terima kasih juga untuk semua manusia baik yang saya temui di Wina,
Austria—mereka yang banyak menolong ketika saya sedang kesulitan di negara
tak terlupakan itu.
And, of course, thanks to you, my readers, who keep staying with me until
these days. I hope you can enjoy Anna’s journey in this story.
1
Luftschloss
Anna tidak terlalu sering membaca cerita misteri. Namun, laki-laki yang
dicintainya menyukai jenis karya demikian, dan salah satu favoritnya adalah
puisi berjudul “The Listeners” karangan Walter de la Mare. Singkatnya, puisi itu
memberikan kesan hantu-hantu di rumah yang lusuh dan tidak terawat, jika tidak
bisa dibilang mengerikan.
Bangunan di hadapan Anna sekarang, sepertinya, adalah bentuk visual yang
sepadan untuk rumah dalam puisi tersebut.
Hostel itu bertingkat tiga. Miring dan tampak bisa ambruk kapan saja.
Tembok-temboknya lapuk dan berlumut, dengan jendela-jendela kotor yang
tertutup gorden berwarna gelap. Plangnya oleng, dengan tulisan yang tadinya
jelas berbunyi “Luftschloss Hostel”, tetapi sekarang hanya bisa dibaca “loss
Hostel” saja. Pintunya berlubang di bagian bawah, alang-alang tumbuh tinggi di
halaman yang dipenuhi buah jeruk busuk dan pretelan mobil tua. Anna tidak
mau membayangkan bagaimana mobil tersebut bisa sampai hancur lebur begitu.
Di tengah suhu enam derajat dan hujan rintik dingin yang turun malam itu,
Anna bergidik ngeri.
Bukan ini yang dibayangkannya ketika memesan kamar lewat situs resmi
hostel di Wina ini. Seolah bentuknya belum cukup menakutkan, hostel ini
terletak di dataran tinggi Ottakring yang sangat sepi dan memiliki hutan lebat di
beberapa tempat. Lupakan gubahan indah Tales from the Vienna Woods karya
Strauss II. Vienna Woods yang sesungguhnya tidaklah seromantis itu.
Pikiran pertama Anna adalah cepat-cepat kabur dari sana dan memesan kamar
di hostel lain. Namun, dia sudah mentransfer 75 euro untuk uang muka
menginap selama tiga minggu. Setidaknya, dia harus mendapatkan uang itu
kembali sebelum pindah ke hostel lainnya.
Lagi pula, dia memilih hostel ini pun karena suatu alasan. Setidaknya, dia
harus masuk dulu untuk menemui resepsionis atau siapa pun—atau apa pun—
yang menjaga tempat tersebut.
Mengumpulkan semua nyali, Anna melangkah memasuki halaman hostel
sembari menarik koper, berhati-hati melewati alang-alang tinggi, dan berdoa
semoga tidak ada ular atau sesuatu semacam itu. Dia meremas tas selempangnya
kuat-kuat dengan kedua tangan, menarik napas ketika menaiki undakan depan.
Sambil mengernyitkan kening dan meyakinkan diri untuk bersikap berani, Anna
mengetuk pintu. Dia berusaha untuk tidak memperhatikan lubang di bagian
bawah pintu, tetapi bersiap-siap kalau-kalau ada entah-apa yang menyelinap
keluar dari sana.
Anna menunggu. Tidak ada jawaban. Tentu saja. Apa, sih, yang dia harapkan
dari hostel dengan wujud seperti ini?
Dia kembali menghirup udara dingin dalam-dalam, mengembuskannya.
Kemudian, dengan tangan gemetar karena kedinginan dan ketakutan, dia
mencoba menekan gagang pintu ke bawah.
Pintu itu terbuka, berayun ke dalam dengan suara deritan.
Hangat, adalah kata pertama yang terlintas di benak Anna. Dia bisa
merasakan sedikit hawa pemanas ruangan yang menguar dari celah pintu.
Didorongnya pintu hingga terbuka lebih lebar dan, untuk sesaat, dia hanya bisa
melihat gelap. Namun, kemudian, setelah dia memberanikan diri untuk masuk,
lampu berwarna kekuningan menyala secara otomatis. Anna melihat garis-garis
ruangan yang mirip foyer, meski biasanya foyer tidak akan terlihat acak-acakan
seperti ini. Karpetnya sudah bergeser ke sana kemari, kertas dindingnya yang
bermotif ulir merah hati sudah mengelupas. Vas bunga di atas meja terguling,
airnya tumpah. Di tembok di atas meja tersebut, Anna melihat tulisan “loss” lagi.
Dan, di sebelahnya, terdapat sebuah pintu tertutup dengan tulisan berbahasa
Jerman, yang artinya “RESEPSIONIS—TOLONG KETUK PINTU DULU”.
Anna mendekat dan mengetuk. Dia masih tidak mendengar apa pun, kecuali
mungkin suara dengkuran. Dia mengetuk lagi dengan putus asa. Akhirnya,
terdengar suara seorang lelaki yang menjawab dengan malas-malasan.
“Come in.”
Pintu itu mengeluarkan bunyi klik. Anna membukanya, dan disambut
pemandangan yang nyaris tidak membuatnya terkejut lagi. Jika halaman rumah
dan foyer saja sudah sekacau itu, wajar jika ruang resepsionis pun dipenuhi
sampah, tumpukan pakaian, dan sisa-sisa makanan yang berceceran di lantai.
Yang benar saja, batin Anna, mencoba memercayai sekali lagi bahwa dia kini
berada di Austria. Bayangan Anna tentang Austria adalah musik yang indah dan
Vienna bread dan The Sound of Music, bukan The Fall of the House of Usher
begini.
Mata Anna menangkap sosok seorang lelaki yang duduk di balik meja
resepsionis di sudut ruangan. Kepala lelaki itu rebah miring di meja, matanya
terpejam. Rambutnya cokelat dan rahangnya tegas. Dia berbalut selimut flanel
dan mendengkur dalam tidur ayamnya, seolah itu pekerjaan paling wajar yang
bisa dilakukan seorang resepsionis hostel.
“Pe … permisi,” kata Anna lirih dalam bahasa Inggris. Dia tidak pernah bisa
bersuara keras, yang dalam beberapa kesempatan bukan hal yang
menguntungkan. “Maaf, permisi,” panggil Anna lagi.
Lelaki itu bergerak dan membuka sebelah matanya.
Dia sontak bangun, mundur dengan terburu-buru bersama kursinya. Dia baru
mengembuskan napas keras setelah mengamati Anna dengan lebih saksama.
“Mein Gott1!” pekiknya pelan, kemudian bicara dalam bahasa Jerman yang
artinya kira-kira, “Kau membuatku takut setengah mati!”
Ucapan itu semakin membuat Anna gusar. Bukankah seharusnya dia yang
takut?
Namun, Anna kemudian teringat rambut panjang hitamnya hampir menyentuh
pinggang, dan dia juga mengenakan sweter hitam tebal dengan rok panjang
gelap serta sepatu bot berlumpur. Belum lagi wajahnya yang bernuansa pucat.
Tunangannya—bukan, mantan tunangannya, sesekali mengatakan bahwa dia
sangat cantik, tetapi terkadang penampilannya memang bisa menimbulkan
kesalahpahaman. Terlebih dalam bangunan gelap seperti ini.
Sesuatu yang pahit menyakiti tenggorokan dan hati Anna ketika dia teringat
lelaki itu. Mantan tunangannya, yang masih sangat dia cintai dan mencintainya,
alasan Anna pergi ke negara ini.
“Nah. Can I help you?” tanya si lelaki resepsionis, masih mengelus dada.
“Saya sudah membayar uang muka untuk menginap di sini,” ujar Anna,
berusaha terdengar tegas. “Tapi, sepertinya saya ingin pindah ke hostel lain saja.
Bisakah saya meminta uang muka saya kembali?”
“Tidak bisa,” lelaki itu langsung menjawab enteng. “Kalau mau menginap ke
hostel lain, silakan, tapi DP tidak bisa kembali.”
“Tapi,” sahut Anna sambil melebarkan mata tak percaya, “hostel ini sama
sekali tidak seperti yang saya lihat di foto-foto di website-nya. Saya tidak
mengira akan menginap di ….” Anna menelan ludah, berusaha keras untuk tidak
mengucapkan “rumah horor”. “Saya datang jauh-jauh dari Indonesia dan
berencana menginap di Austria selama tiga minggu, tapi kalau tempatnya seperti
ini ….”
“Sudah kubilang, kalau kau mau pindah hostel, silakan, Lady. Tapi, uang
muka tetap tidak bisa kembali. Itu risikomu memilih Luftschloss. Dan, kenapa
kau harus memilih hostel ini sedari awal kalau ada ratusan hostel lain di
Austria?”
“Itu ….” Anna ragu-ragu sejenak. Dia menimbang-nimbang bagaimana cara
menjelaskannya, tetapi lelaki itu sudah memotongnya lagi.
“Dan, oh, kami tidak memuat foto palsu, kok, di website,” katanya sambil
tersenyum masam. “Itu memang foto-foto hostel ini … eh, sekitar lima tahun
yang lalu.”
“Tetap saja penipuan. Yang terpampang di website bukan foto-foto yang
sekarang, karenanya—”
“Begini. Lihat ke luar.” Lelaki itu berdiri dan membuka gorden jendela di
sudut lain ruangan. Anna ikut menoleh ke sana, melihat jalanan gelap yang
sangat sepi dan berkabut, menandakan suhu telah turun satu atau dua derajat lagi
sejak dia tiba di sini. “Aku tidak menyarankanmu untuk mencari hostel lain
sekarang,” kata lelaki itu. “Kau sendirian, ‘kan? Nah, pusat distrik Ottakring
sekitar dua mil dari sini, bus yang lewat pun sudah jarang. Jadi, bagaimana kalau
kau menginap sehari dulu di sini dan lihat bagaimana pendapatmu setelahnya?
Hostel ini tidak buruk-buruk amat, kok,” lelaki itu mengucapkannya dengan
setengah hati. “Yah, setidaknya kamar untuk para tamu tidak akan seburuk yang
kau pikirkan.”
Anna mengernyit. Dia menatap lekat-lekat ke luar jendela. Dia tadi pergi dari
Bandara Schwechat menuju dataran tinggi ini dengan menaiki bus tiga kali—
tetapi sekarang, dia memang tidak melihat satu pun bus yang lewat, dan letak
stasiun kereta pun amat jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki.
Anna memandang sekeliling lagi. Dia tetap tidak menyukai tempat ini, tetapi
terlepas dari semuanya, hostel ini punya pemanas ruangan. Dan, terlepas dari
sikap menyebalkannya, si lelaki resepsionis itu pun tidak terlihat seperti jagal
manusia atau apa pun yang satu spektrum. Dan …, apa katanya tadi? Kamar
hostel tidak seburuk yang dia pikirkan?
“Boleh …,” gumam Anna, “boleh saya lihat kamarnya?”
Lelaki itu kembali ke meja resepsionis dengan ogah-ogahan setelah
menanyakan nama Anna dan memeriksa paspornya sejenak. Dia mengambil
kunci dari laci, membuka lemari tua di dekatnya, lalu meraih seprai, quilt cover,
dan sarung bantal putih. Dia mengisyaratkan Anna untuk mengikutinya menuju
koridor gelap, lalu membuka sebuah kamar yang juga gelap gulita. Lampu
temaram kamar itu kemudian menyala secara otomatis, mengungkap ruangan
lumayan bersih dengan enam tempat tidur susun bergorden bunga-bunga.
“Tidak menyeramkan, ‘kan?” tanya lelaki itu enteng. “Gerda tidak keberatan
membersihkan kamar untuk tamu, tapi untuk ruangan-ruangan lain, jangan
harap.”
“Apa ada tamu lain yang akan menginap di sini?” tanya Anna saat lelaki itu
menjejalkan seprai dan sebagainya ke kedua tangannya.
“Sementara ini, cuma kau saja. Oh, ada juga laki-laki tua yang menginap di
kamar male dorm di lantai tiga. Jarang keluar kamar—malah lima hari ini tidak
keluar sama sekali. Mungkin sudah mati. Nah, gute nacht2. Enjoy your stay.”
Lelaki itu pergi begitu saja, tidak memedulikan Anna yang membelalak
ketakutan di tempatnya.
Oke …, bisiknya dalam hati.
Sambil memeluk seprai dan menarik kopernya, Anna melangkah pelan
menuju salah satu tempat tidur susun. Dipasangnya seprai dan sebagainya di
tempat tidur bagian bawah, lalu setelah semuanya selesai, dia duduk di atas
kasur dan menaikkan kedua kaki ke tempat tidur, menekuk kedua lututnya.
Dia meraih tas tangan dan mengambil buku sketsa dari dalamnya. Dibukanya
halaman pertama sketsa itu, ditatapnya selembar foto ketika dia dan Bintang
masih bersama.
Lelaki itu berdarah Indonesia, Korea, dan Eropa. Karena itulah garis-garis
wajahnya tampak lembut, bahkan dengan tulang pipi tegas dan mata berwarna
kelabu jernih. Lesung pipinya timbul bersamaan dengan senyumnya. Di foto itu,
wajah Bintang yang pucat sudah semakin pucat, dan tubuhnya pun semakin
kurus.
Anna memeluk buku dan kedua lututnya, menelungkupkan wajahnya di atas
lutut.
Dia akan melakukan apa yang harus dilakukannya di Wina ini. Dan, setelah
itu, dia akan kembali ke sisi Bintang lagi.
Mereka pasti bisa kembali bersama seperti dulu.[]
-----------------------------
1 (Jerman) Ya Tuhan.
2 (Jerman) Selamat malam.
2
Das Stern3
-------------------------------
3 (Jerman) Bintang.
4 (Jerman) Sir.
5 (Jerman) Maaf.
6 (Jerman) Selamat tinggal.
3
Der Garten7
“Lalu, hari ini kau mau ke restoran itu lagi?” tanya Gerda esok paginya di depan
pantri.
Anna mengangguk.
Gerda menepati janjinya. Dia telah menyiapkan roti putih, roti gandum, selai
stroberi, yoghurt cup, keju, sereal, dan telur rebus di restoran hostel. Anna
menuang sereal cokelat ke mangkuk, menambahkan susu, dan membawanya ke
meja makan. Dia juga mengambil semua makanan dan minuman sedikit-sedikit,
lalu mencicipinya satu per satu. Selai stroberi itu terasa manis dan lezat, telur
setengah matangnya pun begitu lembut.
“Si laki-laki tua di lantai tiga itu masih hidup,” celetuk Gerda.
“Syukurlah,” ujar Anna lega.
“Tapi, dia tetap tidak mau turun. Aku tanya dia punya persediaan makanan
atau tidak, katanya sudah punya. Ya sudah.” Gerda mengangkat bahu,
mengambil dua lembar roti dan selai, lalu duduk di depan Anna. “Kau lapar
sekali, ya?”
Anna memegang setangkup roti dengan kedua tangan, menggigitnya dengan
malu. “Saya sering lupa makan malam,” ujarnya. “Kemarin, seharusnya saya
membungkus durum untuk malam hari.”
“Di sini juga jarang ada restoran. Ada kafe, tapi kau hanya bisa menemukan
macam-macam kopi dan keik. Durum pun tidak terlalu enak kalau dibawa
pulang dan dibiarkan sampai malam hari. Pilihan terbaik cuma pergi ke
supermarket untuk membeli bahan-bahan makanan, kemudian memasaknya di
sini. Kau boleh menggunakan dapur kapan pun kau mau.”
“Terima kasih.”
“Jadi, kau masih kuliah, sudah bekerja, atau ada hal lain yang kau lakukan?”
tanya Gerda sambil mengoleskan selai ke rotinya.
“Saya dulu bekerja di butik.”
“Wah. Sebagai apa?”
“Desainer. Tapi, mengundurkan diri bulan lalu. Saya berencana untuk
menginap selama tiga minggu di Austria ini.” Anna mengambil cangkir teh dan
menyesapnya pelan.
Dia menyukai pekerjaannya, menghiasi buku sketsa dengan pensil warna atau
cat minyak, dan mendengarkan arahan dari atasannya atau para customer butik.
Desain yang dikerjakan Anna adalah gaun pesta. Dia memiliki kebiasaan
mengamati pakaian para tokoh di buku-buku atau film-film bernuansa dongeng;
favoritnya akhir-akhir ini adalah kostum dari film Mary Poppins.
Meski begitu, Anna sebenarnya memiliki cita-cita lain. Cita-cita tersebut
begitu muluk dan konyol sehingga dia memutuskan untuk tidak
menceritakannya kepada siapa pun, termasuk Bintang.
“Kau berhenti dari pekerjaanmu hanya karena ingin pergi ke Austria?” tanya
Gerda sambil mengernyit heran.
“Bukan hanya itu. Ada yang harus saya lakukan di sini.”
“Termasuk bertemu Herr Gregoire?”
“Ya.” Anna menatap permukaan lembut yoghurt berry sebelum memakannya.
“Tunangan saya … mantan tunangan saya … menggemari permainan piano Herr
Gregoire.”
“Lalu?” Gerda sudah selesai melahap rotinya. Dia kini terlihat penasaran,
mata cokelatnya melebar di balik poni rambut merah lebatnya.
“Kalau ada hal yang paling diinginkannya dalam hidupnya, itu adalah
mendengar permainan piano Herr Gregoire lagi.” Anna meneruskan sarapannya.
Dia bisa merasakan Gerda sedang menghubung-hubungkan semua kalimatnya.
Dia hanya tersenyum kepada gadis itu sebelum mengalihkan pembicaraan.
“Kau sudah lama bekerja di sini?” tanya Anna.
“Lumayan. Sejak lima tahun lalu.” Gerda bangkit sejenak untuk mengambil
secangkir kopi. “Aku beralih dari bekerja sebagai asisten musik Herr Gregoire
menjadi pengurus hostel.”
“Kau bisa bermain musik?”
“Aku bisa bermain piano sedikit.” Dari senyum bangga gadis itu, Anna tahu
Gerda hanya bersikap rendah hati saat mengatakan “sedikit”. Gadis ini pasti
pianis yang hebat juga.
“Luftschloss Hostel tidak selalu seperti ini,” Gerda memandang sekeliling
dengan muram. “Dulu, banyak tamu yang datang. Para karyawan senang bekerja
di sini. Tapi, kemudian Herr Gregoire mulai terlambat memberikan gaji, dan satu
per satu dari mereka pun pergi. Yang tersisa sekarang hanyalah Terry dan aku.”
“Kau memutuskan untuk tetap bekerja di sini?”
“Aku tidak punya pilihan lain. Herr Gregoire sudah berjasa banyak dalam
hidupku. Aku tidak mau menjadi orang tidak tahu terima kasih dan pergi begitu
saja hanya karena hostelnya sudah tidak seramai dulu. Tapi, aku juga realistis,
kau tahu? Kalau aku cuma mengandalkan penghasilan dari bekerja di hostel ini,
aku tidak akan bisa hidup. Jadi, aku juga mengajar kursus piano di beberapa
tempat. Karena itulah kau akan jarang melihatku di sini.”
Anna mengangguk muram, sekarang memiliki lebih banyak pertanyaan.
“Dan, bagaimana dengan Terry?” tanyanya.
Gerda menggeleng sambil memandang ke arah lain. Anna tahu jenis ekspresi
itu. Bukan sekadar raut wajah seseorang yang memikirkan temannya, melainkan
ekspresi yang juga sering diberikan Anna kepada Bintang.
“Dia rumit,” jawab gadis itu.
“Ya, saking rumitnya, kau akan sakit kepala kalau mendengar apa pun
tentangku,” suara Terry terdengar. Dia tahu-tahu sudah berada di depan pantri,
mengambil piring serta semua makanan dan minuman dengan asal-asalan. “Jadi,
lebih baik kau tidak usah mendengarnya, Anna.”
“Tumben kau rapi,” sindir Gerda. Alih-alih mengenakan kaus oblong dan
celana belel, Terry kini memang memakai kemeja serta jins yang cukup rapi,
tubuhnya bahkan menguarkan aroma sandalwood.
“Kau seperti tidak tahu saja,” Terry menyahut, lalu keluar begitu saja bersama
makanan-makanannya.
“Masih pacaran, ternyata,” kata Gerda sambil tersenyum masam. “Kukira dia
dan Cate sudah putus lagi.”
“Cate?”
“Cewek punk. Menurutku tidak terlalu pantas untuk Terry.” Gerda berdiri.
Dia membereskan piringnya sendiri dan peralatan makan Anna yang sudah
kosong, membawanya ke wastafel, dan menaruhnya dengan agak terlalu keras di
sana. Anna langsung tahu suasana hati gadis itu kini memburuk dengan drastis.
Sadar bahwa Gerda barangkali sedang ingin sendiri, Anna berpamitan dan
kembali ke kamarnya. Dia bersiap-siap pergi ke restoran Timur Tengah itu lagi.
Setelah mengenakan jaket puffer putih dan mendobeli jinsnya dengan thermal
long john, dia keluar dari hostel, merasakan pergantian hawa pemanas ruangan
dengan udara dingin pagi hari. Sesaat, dia berdiri di undakan teras sambil
memandang sekeliling.
Dia membayangkan tempat ini pernah menjadi hostel yang ramai, seperti kata
Gerda tadi. Tamu-tamu banyak berdatangan, dan barangkali dulu tempat ini
tidak jauh berbeda—bahkan mungkin lebih baik—dari rumah-rumah mungil
bertaman di sepanjang jalan Johann-Staud-Strasse di dataran tinggi Ottakring ini.
Anna menuruni undakan, memunguti jeruk-jeruk busuk dari rerumputan.
Dibuangnya semua itu ke tempat sampah. Jika alang-alangnya dipotong,
halaman hostel ini barangkali akan terlihat jauh lebih rapi. Mungkin dia bisa
mengusulkan itu kepada Gerda atau Terry, nanti.
-------------------------------
7 (Jerman) Taman.
4
Die Hoffnung8
-----------------------------
8 (Jerman) Harapan.
5
Rooseveltplatz
Teman baik Anna sejak meninggalkan Indonesia adalah Google Maps. Pagi
itu, setelah sarapan dan membantu Gerda menyapu kamarnya, Anna mencari
tahu rute dari Johann-Staud-Strasse ke Rooseveltplatz di ponselnya. Dia berjalan
kaki terlebih dahulu ke Stasiun Ottakring untuk menghemat biaya, lalu
melanjutkan dengan trem, merasa agak kehilangan ketika memasukkan uang 2,4
euro ke dalam mesin tiket trem dan menghitung-hitung berapa jadinya jumlah
itu jika diubah ke rupiah.
Anna bukannya punya banyak uang. Isi tabungannya hanya cukup untuk
sekadar hidup sederhana di Austria, tanpa hotel mewah atau makan mewah
apalagi belanja mewah. Bintang sempat menawarkan untuk membayar sebagian
biaya perjalanannya, tetapi Anna menolak mentah-mentah, berkata bahwa lelaki
itu masih harus menyisihkan uang untuk biaya cuci darah dan macam-macam
lagi.
“Ini bukan kewajibanmu,” ujar Bintang ketika mereka berada di teras
belakang rumah Anna beberapa waktu lalu, saat Anna masih dalam proses
mengurus visa. Saat itu, Anna duduk di undakan teras. Bintang berdiri bersandar
di kusen pintu. Tatapan matanya hangat di bawah poninya. Rambutnya halus dan
tampak lembut. Cowok cantik dari serial cantik, Salena, adik Anna, biasa
bergurau tentang Bintang. Blasteran, kata Kessa, si sulung, yang menimpali
sambil tersenyum geli. Kalau enggak cantik, malah aneh.
“Seandainya saya enggak cerita tentang masa lalu saya ke kamu, kamu
mungkin enggak akan terpikir untuk pergi ke Austria segala.”
“Saya melakukan ini bukan cuma demi kamu,” ujar Anna ringan. “Mama dan
Papa dulu bercerai dan berpikir enggak ada lagi yang bisa mereka lakukan untuk
memperbaikinya. Saya enggak mau mengalami hal yang sama.”
“Keras kepala.” Bintang tersenyum, dan di matanya yang berkelip karena
sinar lampu, Anna bisa melihat kerinduan yang dalam. Bintang juga ingin
sembuh dan kembali kepadanya lagi, dan salah satu caranya kini berada di
sebuah apartemen di Rooseveltplatz.
Anna turun di perhentian Landesgerichsstrasse. Dia melangkah mencari
apartemen yang dimaksud Terry, mengamati Google Maps dan jalanan secara
bergantian. Wilayah ini tenang dan sepi, seperti halnya jalanan di Luftschloss
Hostel, tetapi letaknya di tengah kota. Alih-alih berukuran mungil dengan atap
segitiga, bangunan-bangunan di sekitar Rooseveltplatz sangat Austria. Tinggi
melebar, anggun, tua, penuh ulir, dan bernuansa putih seperti krim pada kue-kue
pernikahan.
Saat tiba di nomor apartemen yang ditujunya, Anna memeriksa interkom di
dekat gerbang. Dia mengamati daftar nama para penghuni apartemen dan
menemukan nama Herr Gregoire—lantai lima—lalu menekan interkom,
menunggu pria itu menjawab.
Dia bergeming saat mendengar suara berat dari sana.
“Hallo.”
“Ha-halo. Nama saya Anna.”
“Hallo?”
Suara Anna terlalu lirih. Dia menghela napas dan mengeraskan suaranya.
“Nama saya Anna, tamu dari Luftschloss Hostel. Saya ingin bicara sebentar.”
“Tentang DP?”
“Bukan. Tentang Indonesia.”
“Apa?”
“Indonesia.”Anna melantangkan suaranya lagi.
Suara di seberang sontak terdiam.
Anna meremas-remas tangan, mengira dia akan diusir. Namun, kemudian
terdengar suara klik dari gerbang. Kuncinya telah terbuka.
Anna menekan gagang gerbang tersebut. Dia memasuki sebuah lorong yang
sunyi dan berdebu, lift berdiri di tengah-tengah lorong itu. Dia menekan tombol,
masuk ke lift, sembari mengingat-ingat lagi apa saja yang harus disampaikannya
jika sudah bertemu pria itu nanti.
Herr Gregoire sendiri yang membukakan pintu unit apartemennya. Dia masih
terlihat sama seperti kemarin, menimbulkan perasaan canggung yang tidak
nyaman. Meski begitu, dia tetap mengisyaratkan Anna untuk masuk.
Tadinya, Anna mengira isi apartemen itu akan seberantakan Luftschloss
Hostel, tetapi rupanya tidak juga. Perabot-perabot yang tampak mahal dan tua
tertata dengan cukup rapi, terlihat lengkap. Hanya saja, tak ada tanda kenangan
apa pun. Tak ada foto atau benda lain yang menunjukkan bahwa pria itu punya
keluarga.
“Ada apa?” tanya pria itu. Dia menghampiri meja di sudut ruangan dan
menuang minuman untuk dirinya sendiri. Anna sempat khawatir itu minuman
beralkohol, tetapi sepertinya bukan. Lebih terlihat seperti rootbeer.
“Saya ingin bicara tentang Bintang,” Anna memutuskan untuk langsung
berterus terang. “Anak Anda.”
Herr Gregoire bergerak menuju jendela yang terbuka.
Dia terlihat memperhatikan ranting-ranting pohon gundul di luar. Ekspresinya
tidak bisa ditebak.
Anna meremas-remas tangannya, menyadari bahwa dia mungkin akan
terdengar lancang. Namun, semakin cepat dia mengungkapkan semuanya,
semakin baik. Bintang sudah tidak punya banyak waktu lagi.
“Saya dulu sempat bertunangan dengannya,” Anna memulai dengan lirih.
“Dia jarang bercerita tentang keluarganya, tapi ada saat-saat ketika dia akhirnya
menceritakannya.
“Ibunya meninggal saat dia masih berusia lima tahun. Sejak itu, Anda,
ayahnya memutuskan agar Bintang diasuh oleh bibinya, lalu Anda pun berhenti
bermain piano untuk sementara dan bertolak pulang ke Wina. Lama sekali
Bintang tidak mendengar kabar tentang Anda, sampai dia kuliah di jurusan
musik dan gurunya merekomendasikan album interpretasi musik yang Anda rilis
tahun itu, yang diumumkan sebagai album terakhir Anda.
“Bintang kemudian mulai mencari tahu tentang Anda. Saat itu, dia mendapati
Anda sudah menikah lagi dan mempunyai anak dari pernikahan itu. Tapi, saat
Terry bercerita kemarin, saya pun tahu istri kedua Anda juga sudah meninggal.
Saya … saya turut menyesal.”
Herr Gregoire menenggak minumannya. Dia masih memandang ke luar.
“Saya ingin bilang kalau …,” Anna menarik napas, menyiapkan diri untuk
menyampaikan kalimat selanjutnya, “… Bintang terkena penyakit gagal ginjal
kronis. Dia harus segera melakukan operasi pengangkatan ginjalnya.
“Karenanya … dia butuh donor.
“Dan, Anda-lah satu-satunya yang kemungkinan besar memenuhi syarat untuk
itu.
“Dia tidak meminta saya untuk menemui Anda. Ini ide saya sendiri karena
saya tahu Anda-lah satu-satunya orang yang bisa menolongnya ….”
Kesunyian yang panjang menyusul setelahnya. Anna tidak melihat perubahan
dalam ekspresi Herr Gregoire, meskipun pria itu terlihat mencengkeram
gelasnya dengan lebih erat.
Menyadari bahwa dia perlu bukti yang lebih kuat, Anna membuka tasnya dan
mengeluarkan map. Dia perlahan menghampiri pria itu, menunjukkan foto-foto
Bintang bersama dirinya dan keluarganya, juga berbagai fotokopi dokumen dari
rumah sakit.
Herr Gregoire hanya mengerlingnya sekilas, sebelum akhirnya berbicara.
“Kau butuh uang berapa?” tanyanya.
Anna bergeming.
“A … apa?”
“Orang asing tiba-tiba datang ke apartemen saya dan bicara panjang lebar
tentang masa lalu saya. Bukan pertama kalinya. Katakan, berapa banyak yang
kau inginkan? Lalu pergilah.”
Untuk sesaat, Anna tidak mampu mencerna ucapan itu.
Dia tidak sedang berhadapan dengan mesin, bukan …? Dia pasti salah dengar.
Dia berusaha untuk berbicara lagi.
“Bintang—”
“Dia cuma masa lalu,” potong Herr Gregoire, meletakkan gelasnya di meja
dengan keras. “Aku tidak bisa membantunya.”
Suaranya begitu dingin dan datar, sampai-sampai Anna mulai meragukan
dirinya sendiri. Mungkin dia datang ke tempat yang salah. Barangkali Bintang
pun salah orang—dia berpikir Herr Gregoire adalah ayahnya padahal bukan—
apakah begitu?
Namun, kemudian, Anna sadar Herr Gregoire tidak menatapnya sedikit pun
saat mengatakannya. Anna pun sempat melihat kepedihan yang melintas di
wajahnya. Dan, kemiripannya dengan Bintang tidak main-main. Belum lagi
salinan akta kelahiran dan kartu keluarga yang dibawanya. Itu saja sudah cukup
menjadi bukti.
Anna mengepalkan tangannya yang gemetar. Tenggorokannya tersekat. Dia
sebenarnya tidak sanggup bicara lagi, tetapi dia tetap memaksa diri. Dia tidak
datang ke sini hanya untuk dipermalukan lalu menerimanya mentah-mentah.
“Anda tahu,” ujarnya sementara Herr Gregoire memunggunginya dan kembali
bergeming di dekat jendela, “Bintang selalu memaafkan Anda …. Dia tetap
menghormati Anda dan mengerti mengapa Anda pergi. Dia mendengarkan
musik Anda setelah tahu Anda mengeluarkan album terakhir. Dia
mendengarkannya setiap hari.
“Dia tetap menyayangi Anda. Impiannya selama ini adalah bertemu Anda lagi
dan mendengarkan permainan piano Anda.” Anna membereskan dokumen-
dokumen serta foto-foto Bintang sebelum memasukkannya kembali ke tas.
“Saya tidak berani membayangkan apa yang akan dirasakannya kalau dia tahu
ayahnya ternyata seperti ini ….”
Anna menyelempangkan tas dengan mata memburam. Dia sudah hendak
berbalik pergi, tetapi kemudian terpaku saat melihat seseorang yang berdiri di
dekat pintu.
Terry.
Untuk sesaat, tak ada yang bersuara.
Lalu, lelaki itu bicara dengan suara tanpa intonasi.
“Tadi kebetulan ada yang membuka gerbang dari dalam, jadi aku bisa
masuk,” ujarnya.
Herr Gregoire menoleh. Ekspresinya tidak berubah.
“Jadi, ternyata aku punya kakak?” kata Terry lagi.
Setelah itu, dia tampak tidak berminat bicara kepada ayahnya lagi.
Dia sontak berbalik, melewati pintu, dan memelesat pergi dari sana.
Anna refleks mengejarnya, meninggalkan apartemen Herr Gregoire begitu
saja. Dia berusaha memanggil Terry dan menyusulnya, tetapi lelaki itu berlari
terlalu cepat. Anna sudah kehilangan sosoknya begitu sampai di lantai dasar.
Apakah sedari tadi Terry memang sengaja mengikutinya? Jika yang lelaki itu
inginkan adalah mengetahui tujuan Anna menemui Herr Gregoire, dia berhasil.
Dengan cara yang sangat menyedihkan.
Anna keluar dari apartemen itu dengan mati rasa.
Angin dingin langsung menusuk kulitnya. Dia berjalan tanpa tahu ke mana
kakinya membawa, benaknya hanya dipenuhi pikiran bahwa dia telah gagal.
Seolah satu-satunya pilar tempatnya bertumpu mendadak runtuh begitu saja.
Kalau bukan Herr Gregoire, siapa lagi …?
Anna sudah mencoba memeriksakan darah dan ginjalnya, tetapi hasilnya jelas
tidak cocok dengan Bintang. Mereka pun sudah mencoba mencari donor lain,
tetapi hasilnya sama saja. Kemungkinan terakhir hanyalah Terry. Namun, Terry
hanya saudara tiri Bintang, dan melihat sifat lelaki itu, Anna ragu Terry bahkan
akan terpikir menyumbangkan ginjal untuk seorang kakak yang tidak pernah dia
ketahui keberadaannya.
Bagaimana perasaan Terry setelah mengetahui ayahnya ternyata punya anak
lain? Anna bahkan tidak mau membayangkannya.
Dia mulai merasa lesu ketika melewati wilayah Mölker Bastei. Anna sadar
tadi dia tidak menyempatkan diri untuk sarapan, jadi dia masuk dulu ke Nordsee
untuk membeli fish and fries. Ditatapnya piring berisi potongan-potongan filet
ikan dan kentang itu dengan hampa.
Coba lagi, benaknya berkata.
Coba terus sampai Herr Gregoire luluh.
Namun, bahkan saat berpikir seperti itu pun, Anna malah semakin putus asa
dengan kemungkinan-kemungkinan yang menantinya. Bahkan, kalaupun Herr
Gregoire akhirnya mau membantu mereka, berapa persen kemungkinan organ
tubuh pria itu akan cocok dengan Bintang meskipun dia adalah ayah
kandungnya?
Apa sebenarnya yang Anna lakukan di sini?
Ponsel Anna bergetar. Dia menoleh ke arah benda itu. Nama Bintang muncul
di layar.
Anna tidak mengangkatnya.
Malam itu, Gerda membuat piza kalkun untuk disantap bersama-sama di ruang
makan. Anna mengobrol dengan Audrey dan Collette, dua tamu dari Inggris tadi,
yang baru pulang berjalan-jalan dari Schönbrunn Palace. Mereka kakak beradik
yang sangat ramah dan pelancong sejati, sudah mengunjungi banyak negara
selama bertahun-tahun.
“Yah, kami capek sekali,” ujar Collette si rambut merah, saat Anna bertanya
apa yang membuat mereka setuju-setuju saja menginap di Silent Hill ini. “Kami
baru dari Spanyol, pesawat murah kami turbulensi hebat selama kira-kira seumur
hidup. Lalu, aku sempat kecopetan di Schwechat.”
“Menyebalkan,” sahut Audrey, si cantik berambut hitam dan berkacamata
tipis. Dia mengangguk-angguk sambil menyesap latte-nya. “Kami sudah terlalu
menderita untuk mencari hostel baru. Lagi pula, tempat ini tidak buruk-buruk
amat, kok. Sedikit lebih bagus daripada yang pernah kami tempati di Buenos
Aires.”
“Paling-paling hanya ada hantu,” Collette berkata santai. “Orang Inggris
sudah terbiasa dengan yang begitu.”
“Sebenarnya, hostel ini terlihat cukup lumayan setelah Anna merapikannya.”
Gerda menghampiri meja, meletakkan sepiring piza yang sangat harum dan
duduk di sebelah Anna. “Coba kalian datang sebelum itu.”
“Tapi, kau ini tamu, kan?” tanya Audrey kepada Anna dengan heran. “Untuk
apa kau ikut-ikutan bersih-bersih di sini?”
“Hanya mencari kesibukan.” Anna tersenyum.
“Apa pekerjaanmu di Indonesia?” Collette bertanya dengan mulut penuh piza.
“Dulu, saya desainer gaun pesta.”
“Serius?” Mata dua gadis itu mendadak berbinar. Mereka saling pandang
seolah sedang berbagi rahasia, lalu kembali menatap Anna. “Audrey sedang
kebingungan mencari pola gaun yang cocok untuk pesta pertunangannya dengan
pacarnya bulan depan.”
“Mungkin kau punya ide?” tanya Audrey.
“Mungkin,” Anna menjawab. Dia membuka buku sketsanya, yang di
dalamnya sudah terselip beberapa pensil warna. “Kau ingin gaun seperti apa?”
“Aku tidak yakin. Pokoknya yang cocok untuk pesta kebun pada musim
semi.”
Saat itu, Cate masuk ke ruang makan. Gadis itu mengenakan tank top dan
celana panjang kulit, rambut cepaknya ditata berdiri seperti paku-paku. Dia
membawa sepiring makanan yang kemudian dia panaskan di microwave. Dia
tampak bosan, tetapi terlihat tertarik ketika bergabung dengan mereka dan
melihat Anna yang sedang menggambar. Di sebelah Anna, Gerda mendelik ke
arah gadis punk itu.
“Oh, kau suka menggambar gaun?” tanya Cate. “Aku sempat bicara soal
pernikahan dengan Terry. Mungkin kau bisa menggambarkan gaun untukku
juga?”
Gerda mendengkus menahan tawa. Cate menaikkan alis ke arahnya.
“Apa?” tanya gadis itu.
“Tidak. Ingin tahu saja, apa reaksi Terry waktu kau menyebut kata
‘pernikahan’ di depannya.”
“Dia mendengarkanku dengan cukup baik, kok.”
“Sambil muntah di dalam, aku yakin,” gumam Gerda. Untungnya, Cate tidak
mendengar.
“Hei, besok kami mau ke Krakow dan menginap dua hari di sana,” ujar
Collette, membuat Anna lega karena dia berhasil mencairkan situasi.
“Tidak!” pekik Gerda lirih. “Kalian besok sudah check out?”
“Belum. Kami akan kembali ke sini. Kalau kalian mau ikut, pasti lebih seru.”
“Aku sejak dulu ingin ke sana,” ujar Gerda. “Aku orang Austria, tapi
pengalamanku ke negara-negara tetangga sama bagusnya dengan Early Man.
Kebetulan besok dan besok lusa aku libur. Aku ikut.”
“Aku juga,” Cate menyahut, membuat senyum Gerda langsung padam.
“Katanya nightlife di sana oke. Aku akan mengajak Terry.”
“Terry harus menjaga hostel,” Gerda mendelik lagi. “Memangnya kau tidak
bisa pergi tanpa ada pacar di sebelahmu?”
“Tentu saja bisa. Tak masalah. Aku bisa berpura-pura tak punya pacar
sepertimu, kok.”
“Bagaimana denganmu, Anna?” tanya Audrey sebelum Gerda sempat
menendang kaki Cate di bawah meja.
Anna tercenung sejenak. Pensil warnanya menggoreskan gambar bunga plum
blossom dengan lembut. Dia melihat wajah Bintang di benaknya. Bersenang-
senanglah.
“Baiklah,” ujar Anna akhirnya. Dia tersenyum kepada Audrey dan Collette
yang berseri-seri, dan bahkan Gerda pun sepertinya telah lupa akan keikutsertaan
Cate.
Meski hanya akan ke Krakow dan tidak ke Esslingen, Anna tetap akan
membelikan magnet resin untuk lelaki itu.[]
------------------------------
9 (Jerman) Teman/sahabat.
7
Das Goldene Blut10
------------------------------
10 (Jerman) Golden blood.
8
Blau11
Satu hal yang paling diingat Terry tentang ibunya adalah, beliau sangat
menyukai cat kuku.
Saat masih kecil, Terry sering memperhatikan ibunya bereksperimen dengan
kuteks-kuteks beraneka warna dan kemasan. Ibunya sesekali akan mengecup
rambutnya sambil tersenyum hangat di tengah aktivitas itu, sembari bertanya
kepada Terry warna apa yang paling cocok untuknya. Yang sering Terry
pilihkan adalah biru. Biru apa pun—biru langit, azure, safir, navy, kobalt.
Namun, anehnya, setiap kali Terry memilihkan warna tersebut, wajah ibunya
akan berubah sendu. Dan, Terry pun harus buru-buru memilihkan warna lain
yang mungkin beliau sukai—cokelat atau hijau atau merah muda. Setelah itu,
ibunya pun akan kembali tersenyum ceria, dan baru beberapa tahun kemudianlah
Terry memahami apa arti warna biru bagi beliau.
Ibunya menderita kelainan jantung. Penyakit itu membuat hemoglobin sulit
bersirkulasi di sekujur tubuhnya, dan menjadikan warna kukunya biru, alih-alih
merah muda seperti kuku orang dengan jantung normal. Memilihkan dia kuteks
berwarna biru berarti mempertegas keberadaan penyakit itu, dan Terry pun
menyesali setiap detik yang dia habiskan untuk memilih warna tersebut.
Pemakaman ibunya di Johann-Staud-Strasse berlangsung sunyi. Waktu itu
hujan deras, ayahnya menggandeng tangannya di bawah payung berwarna gelap.
Terry tidak ingat bagaimana raut wajah ayahnya saat itu. Yang dia ingat
hanyalah impresi sosok bertubuh tinggi besar yang berdiri kaku di tengah hujan,
seolah-olah kehangatan dirinya telah terserap habis oleh udara dingin dan luka.
Itu terakhir kalinya Terry merasakan tangan ayahnya menggenggamnya.
Terry kini duduk bersandar di ruang resepsionis, kakinya terjulur di atas meja,
sebelah tangannya memainkan botol kuteks yang isinya sudah mengering selama
bertahun-tahun. Setelah ibunya meninggal, ayahnya memutuskan untuk
menyumbangkan semua barang beliau tanpa kecuali, tetapi Terry berhasil
mencuri botol kuteks berwarna pink keemasan ini. Warna yang paling disukai
ibunya.
Tangan Terry yang lain memegang ponsel. Nomor telepon kakak barunya
tertera di sana. Terry tanpa sadar telah berlatih melafalkan nama tunangan Anna
itu di benaknya. Bin-tang. Bintang. Bintang. Namun, dia tidak mau bersusah
payah juga. Jika nanti dia kesulitan, dia tinggal memanggil lelaki itu Stern saja.
Dia mengatakan yang sebenarnya saat berkata bahwa dia tidak marah akan
fakta bahwa dia ternyata memiliki kakak. Lagi pula, bagaimana mungkin dia
marah kepada orang yang bahkan tidak pernah dia kenal? Terry jelas lebih
marah kepada ayahnya, karena orang itu tidak pernah sedikit pun bercerita
tentang ini—bahwa dia pernah menikah sebelumnya dan punya anak dari
pernikahan itu. Kebencian Terry terhadap Gregoire tidak pernah sampai sebesar
ini.
Saat Terry berkata akan menelepon Bintang, dia bukannya bermaksud untuk
beramah-tamah atau bahkan membicarakan tugas akhir. Dia hanya ingin tahu
apakah kakaknya itu juga memiliki perasaan sama sepertinya—membenci ayah
mereka—dan Terry akan senang jika itu benar. Berarti dia akan punya sekutu
untuk diajak mencaci maki ayah mereka. Itulah gunanya kakak, bukan? Gerda
sangat mengagumi ayah Terry; gadis itu bukan sekutu yang baik. Dan, memang
tidak pernah ada sekutu yang baik. Rasanya menyiksa setiap kali Terry melihat
betapa semua orang sepertinya memiliki ayah yang sempurna, yang hadir saat
anaknya mengikuti lomba atau resital atau hal-hal konyol semacam itu. Pernah,
salah satu teman Terry bertanya, “Mana orangtuamu?”
“Tidak datang.”
“Ayahku selalu menontonku saat aku ada resital.”
Detik berikutnya, Terry sudah menonjok muka anak itu sampai giginya patah.
Dia diskors dari sekolah selama tiga hari gara-gara itu.
Terry mengembuskan napas dan mengerling arloji. Pukul sembilan pagi.
Berarti pukul tiga siang di Indonesia. Dia menekan tombol telepon, menunggu
panggilannya diangkat.
Terdengar sebuah suara di seberang.
Terry sudah melihat foto-foto Bintang yang ditunjukkan oleh Anna, dan suara
lelaki itu ternyata memang sesuai dengan penampakannya. Ringan, sopan,
terkesan berjarak. Mirip suara ayah mereka saat lebih muda dulu. Ada beberapa
lantunan alat-alat musik strings di latar belakang.
“Halo?”
“Hallo. Ich heiße Terry12,” sahut Terry tanpa basa-basi, sengaja menggunakan
bahasa Jerman. Jika orang ini memang kakaknya, dia pasti akan memahaminya.
“Mungkin kau tidak mengenalku,” lanjutnya.
Suara itu terdiam sejenak. Terry mendengarnya berbicara dalam bahasa
Indonesia, mungkin ditujukan kepada para pemain strings di sana. Beberapa
detik kemudian, tak ada suara musik lagi. Mungkin lelaki itu meminta izin
keluar ruangan untuk bicara dengan Terry.
Baik sekali, pikir Terry.
“Anna hatte mir alles erzählt13,” ujar Bintang. Bahasa Jerman-nya, tanpa
diduga, sangat lancar. “Kau ingin bicara tentang tugas akhir?”
Biasanya, dalam pohon keluarga, jika ada satu anak yang serampangan, anak
lainnya akan kalem dan ramah. Begitu bukan teorinya? Namun, mungkin itu
tidak berlaku dalam kasus mereka. Bintang sepertinya sama dengan Terry,
dingin dan berjarak, hanya saja mungkin dengan cara yang lebih lembut. Mereka
dan ayah mereka akan menjadi tamu menyenangkan dalam kuis Family Feud.
Terry menunggu lelaki itu bicara lagi. Atau, mungkin lelaki itu yang
menunggu Terry bicara duluan, entahlah. Pada akhirnya, Bintang-lah yang
memecah keheningan.
“Jadi,” ujarnya, “tugas akhirmu tentang apa?”
“Pertanyaan bagus. Aku tidak tahu.”
“Bahkan, judul pun tidak tahu?”
“Sulit membuat judul kalau kau bahkan tidak terlalu menyukai kampusmu
lagi.”
“Masuk akal.”
“Kau sendiri dulu menulis tentang apa?”
“Pengaruh Air on the G Strings dalam musik kontemporer.”
“Bagaimana kalau kau kirimkan kepadaku, dan aku akan menyalinnya? Hanya
saja, Air on the G Strings akan kuganti dengan komposisi piano.”
“Langkahi dulu mayatku.”
“Gampang. Tinggal sebentar lagi, ‘kan?”
Jeda.
“Sori,” Terry berkata sambil mengusap pelipisnya. Mengapa dia berkata
begitu? “Itu keterlaluan. Kadang kalau bercanda aku memang—”
“Kau tidak cocok meminta maaf.”
Tanpa Terry duga, Bintang tertawa. Bukan tawa sarkastis atau sedih seperti
yang seharusnya dilontarkan orang-orang yang mendengarkan kalimat ngawur
seperti itu, melainkan tawa geli, dan mungkin juga senang. Terry menjauhkan
ponsel dari telinganya, memandang benda itu dengan tidak percaya. Orang ini
sebenarnya sakit ginjal atau sakit jiwa?
“Selera humormu parah sekali, tapi itu lebih baik daripada belas kasihan,”
ujar Bintang kemudian.
“Harusnya tadi aku mengasihanimu, kalau begitu.”
“Terlambat. Dan, kau jelas tak pantas mengasihani orang juga. Nah, kurasa
aku tidak akan memberikan tugas akhirku untuk kau salin. Jadi, bagaimana
kalau kau mencari ide sendiri, dan aku akan mencelamu habis-habisan karena
idemu pasti sama parahnya dengan selera humormu?”
“Pengaruh Nocturne dalam United States of Eurasia milik Muse.”
“Tak jauh beda dengan tulisanku.”
“Kau mengambil spektrum yang terlalu luas. Musik kontemporer. Bikin
pusing dan hanya menambah-nambah masalah. Aku cuma mengambil Muse.”
Bintang terdengar mengembuskan napas. “Okelah,” ujarnya. “Jadi, United
States of Eurasia kenapa?”
“Outtro-nya adaptasi dari Nocturne in E Flat Major.”
Mereka membicarakan topik itu sampai mendetail, terkadang disisipi celaan
seperti sebelumnya, sementara tangan Terry menulis di atas kertas. Ketika Terry
menyadarinya, sudah nyaris pukul sebelas. Dia dan Bintang mengobrol nyaris
dua jam. Jika tidak ada peringatan baterainya tinggal lima persen, Terry
mungkin akan terus mengoceh.
“Hei, bateraiku mau habis,” ujarnya. “Lanjut lagi besok, oke?”
“Besok aku harus cuci darah.”
“… Oh.”
“Besok lusa aku yang telepon,” ujar Bintang. Lucu bagaimana dia terdengar
biasa saja, sementara suasana hati Terry mendadak berubah drastis. “Oh, ya,
titip salam untuk Anna. Bilang kalau aku—” Bintang tidak melanjutkan, tetapi
Terry tahu dia tersenyum tipis di seberang. Suara orang yang tersenyum
terdengar berbeda. Lebih hangat. “Yah, pokoknya salam untuknya.”
“Oke.” Sebelum Bintang memutuskan sambungan, Terry buru-buru berkata,
“Tunggu.”
“Ya?” Bintang menyahut cepat.
Terry ragu-ragu sejenak. Dia bertanya-tanya apakah menyebutkan soal ayah
mereka sekarang adalah ide yang bagus dan tidak akan merusak suasana.
Bintang membantunya.
“Kita bicara soal tugas akhirmu dulu, baru bicara soal itu,” ujarnya.
“Ide bagus.”
Telepon pun ditutup.
Terry menyambungkan charger pada ponselnya, lalu kembali memainkan
botol cat kuku milik ibunya. Sesaat, dia merasa linglung, seolah sedang berada
di alam mimpi.
Dia baru bicara dengan kakak tiri yang sebelumnya tidak pernah dikenalnya,
dan kakak tirinya itu berkata akan meneleponnya lagi esok lusa.
Seumur hidup, tak pernah dia membayangkan akan mengalami hal seaneh ini.
-----------------------------
11 (Jerman) Biru.
12 (Jerman) Namaku Terry.
13 (Jerman) Anna sudah memberitahuku semuanya.
9
Der Fallende Stern14
Mereka kembali ke Wina esok paginya, menempuh tujuh jam perjalanan lagi dan
tiba pukul dua siang. Collette dan Audrey tidak punya rasa lelah, langsung naik
kereta ke distrik The Hofburg untuk berjalan-jalan. Gerda sudah ingin pulang ke
rumahnya, tetapi akhirnya memutuskan untuk ke Luftschloss dulu bersama
Anna, dan tentu saja Cate—yang masih tidak digubrisnya. Gadis punk itu sama
sekali tidak keberatan dengan sikap Gerda. Dia terus mendengarkan Panic at the
Disco dari Spotify-nya dengan suara yang terdengar sampai ke luar headset.
Begitu mereka tiba di hostel, dia langsung menghambur ke arah Terry.
Sayang sekali. Gerda langsung masuk ke lounge. Dia tidak melihat Terry yang
menjauhkan kedua lengan Cate dengan halus, mencegah gadis itu memeluknya.
“Kau dingin sekali,” ujar Cate sambil mengerucutkan bibir. “Aku baru pulang
dan ingin bersenang-senang denganmu, tapi sikapmu malah begini. Ayo—”
“Sori, Cate, aku harus ke kampus,” Terry menyahut dan menyelempangkan
ranselnya. “Selagi aku tidak malas mengerjakan tugas akhir bodoh ini.”
“Kau biasanya tidak peduli dengan tugas kuliahmu.”
“Yah, memang. Ini terpaksa,” ujarnya. “Anna, nanti suruh Gerda menjaga
ruang resepsionis. Atau kau saja tidak masalah, kalau mau.”
“Baik,” kata Anna ringan.
Lelaki itu kemudian melangkah ke luar, meninggalkan Cate yang masih
terlihat jengkel dan tidak percaya.
“Dia habis kena sambar petir atau bagaimana, sih?” rutuknya.
“Mungkin cuma kena bintang jatuh,” gumam Anna.
“Ck. Kalau tahu begini lebih baik tadi aku pulang saja. Percuma buang-buang
ongkos kereta ke sini.” Cate dengan serampangan mengambil ranselnya yang
tadi dia jatuhkan, dan pergi dari hostel itu juga.
Anna berjalan ke kamar untuk meletakkan semua barangnya. Dia kemudian
pergi ke lounge untuk memberi tahu Gerda dia perlu menjaga ruang resepsionis.
“Terry ke mana?” Gadis itu langsung membelalak karena naik pitam. “Dia
kabur begitu saja dengan cewek itu dan tidak mau menjaga hostel?! Akan ku—”
“Dia pergi ke kampus,” sahut Anna cepat-cepat. “Dia tidak bersama Cate.”
Rahang Gerda jatuh ke bawah.
“Tunggu,” ujarnya lambat-lambat. “Terry? Ke kampus?”
Anna mengangguk. Dia mulai berkeliling lounge, memunguti setiap bungkus
keripik kentang dan Manner yang bisa dilihatnya.
“Dia kerasukan apa?” tanya Gerda penasaran.
“Dia baru mengobrol dengan Bintang.” Anna menceritakan semuanya.
Setelah itu, Gerda terlihat termangu. Gadis itu menerawang sambil memilin-
milin ujung baju sabrina yang baru kemarin dia beli di outlet Zara di Krakow.
“Mereka baru kenal, tapi bisa memengaruhi satu sama lain secepat itu,”
gumamnya. “Benar-benar kakak beradik. Mungkin juga karena mereka merasa
senasib.”
Anna mengangguk pelan.
“Selama ini, Terry tidak pernah punya teman bicara,” Gerda melanjutkan.
“Yah, aku pun tidak bisa sepenuhnya memahami apa yang dirasakannya karena,
kau tahu, ayahku tidak seperti Herr Gregoire. Ayahku menyebalkan, tapi selalu
berada di sisiku sejak aku kecil.”
Anna kembali mengangguk, bisa memahaminya. Bintang pun tidak pernah
memiliki orang yang benar-benar mengerti keadaannya. Dia memang punya
Anna, tetapi Anna tidak bisa sepenuhnya menempatkan diri pada posisinya.
Meski orangtua Anna bercerai, ayah Anna tidak pernah melupakannya, dan
Anna pun masih punya kakak dan adik yang bisa dijadikan tempat mengeluh.
Saat dia tadi mengatakan bahwa Terry mendapatkan bintang jatuh, dia tidak
bercanda. Itu memang benar, secara harfiah dan kiasan.
Setelah Gerda pergi ke ruang resepsionis dan Anna membuang semua sampah
yang bisa ditemukan, Anna mengambil penyedot debu, sapu, dan sekop, lalu
naik ke lantai dua yang belum pernah dipijaknya. Dia bertekad untuk
membersihkan lantai itu dan meneruskan misinya untuk membuat hostel ini
lebih layak huni.
Lantai dua yang khusus kamar mixed-dorm dan double room itu tata letaknya
tidak jauh berbeda dengan lantai satu. Hanya terdiri dari lorong dan deretan
pintu di kedua sisinya. Berkali-kali Anna harus bersin karena banyaknya debu;
belum lagi lampu temaramnya sudah banyak yang mati. Khawatir ada entah-apa
yang mungkin mengintainya dari sudut-sudut gelap koridor, Anna
membersihkan lorong dan kamar-kamar secepat mungkin, lalu meneruskan naik
ke lantai tiga.
Dia langsung menyesali keputusannya. Di lorong lantai tiga itu, hanya ada
satu lampu yang menyala. Selebihnya gelap. Anna teringat perkataan Terry
tentang kakek tua yang menginap di salah satu kamar di sini, dan tubuhnya
langsung merinding.
Dicengkeramnya peralatan bersih-bersih di tangannya kuat-kuat. Dia ingin
kabur dari sana, tetapi akal sehatnya menyuruhnya untuk mengecek kamar pria
tua itu, memastikan apakah orang itu baik-baik saja. Gerda sempat bilang pria itu
menginap di kamar berlabel “Milky Way”, yang letaknya paling ujung.
Sambil menelan ludah, Anna mengeluarkan ponsel dari saku jinsnya dan
mengaktifkan flashlight. Dia sedikit terlonjak ketika sesuatu melintas di lantai—
yang ternyata cuma kumbang. Dia mengelus dada, menyandarkan sapu dan
peralatan lainnya di dinding, melangkah hati-hati ke kamar paling ujung.
“Entschuldigung?” sapanya. “Halo?” Dia berhenti di depan pintu. Hiasan
kayu ukir tipis bertuliskan “Milky Way” menggantung miring di sana. Anna
mengangkat tangan dan bersiap mengetuk.
Pintu itu keburu terbuka.
Anna melompat dan memekik. Si pembuka pintu itu pun terkesiap kaget.
Butuh waktu beberapa detik sampai Anna yakin dia berhadapan dengan manusia
hidup, alih-alih makhluk apa pun yang dipikirkannya tadi.
“Oooh, Nak!” seru pria tua itu sambil menepuk-nepuk dadanya sendiri. “Kau
mengejutkanku!”
“Ma-maaf!” sahut Anna, masih berusaha mengatur napasnya. Bodohnya dia
…. Pria tua ini benar-benar terlihat baik hati. Tampak ringkih, berkacamata, dan
kemeja serta celana panjangnya kedodoran, penampilan yang sedikit
mengingatkan Anna kepada Stan Lee. Tak seharusnya dia tadi berteriak dan
mengagetkan pria itu.
“Nah, biar kutebak,” kata pria tua itu sambil berdeham. “Gerda atau Terry
memintamu untuk menyuruhku turun?”
“Ti-tidak,” Anna merepet. “Saya hanya tamu dan ingin membersihkan hostel
ini.”
“Tamu yang ingin membersihkan hostel.” Pria itu melebarkan mata. “Menarik
sekali. Ayo, masuk saja.”
Anna bergeming. Dia tahu pria tua ini bukan tipe orang yang akan tega
mengulitinya hidup-hidup atau apa …, tetapi dia juga tidak ingin mengambil
risiko masuk ke kamar orang yang tidak dikenalnya.
“Ah, kau tidak percaya kepadaku.” Pria itu membuka pintunya lebih lebar.
Yang pertama kali dilihat Anna di dalam kamar itu adalah kanvas. Banyak
sekali kanvas, dan matanya seketika berbinar saat menangkap lukisan-lukisan
ceria di sana.
Semuanya adalah tokoh kartun. Paddington, Belle, Cinderella, Minions, Peter
Pan. Pria tua itu kembali mengisyaratkannya untuk masuk dan, kali ini, Anna
mengiakan. Dia melangkah pelan ke dalam, menghampiri lukisan Belle dan
menyentuh catnya yang sudah kering.
“Ini semua untuk cucuku,” ujar si kakek, menghampiri Anna dengan langkah
ringan. “Minggu depan dia berulang tahun. Semuanya untuk dipajang di
kamarnya. Aku butuh tempat yang tenang untuk melukis, dan pilihanku tentu
saja hostel milik Ilyusha ini.”
Anna menoleh. “Anda kenal Herr Gregoire?”
“Oh, sangat kenal. Ayahnya veteran perang juga sepertiku. Kami satu
angkatan.” Pria itu duduk di stool di depan lukisan yang belum rampung. Warna-
warnanya masih dasar, membentuk karakter Bugs Bunny. “Ah, ya, siapa
namamu, Lady?”
“Anna. Anda?”
“Orang-orang memanggilku Franz. Pelukis amatir, tapi anak-anak dan cucu-
cucuku membuatku merasa menjadi Monet. Mereka suka berlebihan memujiku.”
Dia tertawa pelan. Suaranya seperti daun yang bergemeresik menyenangkan.
Anna menghampiri lukisan demi lukisan, tersenyum lebar mendapati warna-
warna yang terang dan optimistis itu. Orang-orang selalu bilang gambar Anna
sendiri terkesan sendu, banyak menggunakan warna seperti tisu. Lukisan Franz
bisa membuat siapa pun merasa bersemangat.
“Kenapa Anda tidak pernah turun?” tanya Anna kemudian.
“Biar kutebak lagi. Anak muda itu bicara ngawur lagi tentangku, hmm?” kata
Franz sambil menyipitkan mata, membuat Anna salah tingkah.
“Jangan khawatir. Sejak kecil dia memang begitu, meski dulu dia
serampangan dengan cara yang lucu. Sekarang dia membuatku gatal ingin
menyapukan kuas di wajahnya.” Franz mengerucutkan bibir dengan kesal. “Aku
tidak pernah turun karena itu akan memengaruhi suasana hatiku. Cahaya di sini
bagus.” Dia mengerling jendela yang terbuka lebar. Sinar matahari menerobos
ranting-ranting pohon plum blossom di luar, yang bunganya masih mekar
sebagian. Langit begitu biru seperti gaun Cinderella yang dilukis Franz. Setelah
memperhatikan lebih saksama, Anna sadar ruangan ini lebih bersih dari tempat
mana pun yang dilihatnya di hostel ini. Dia juga melihat banyak persediaan
makanan di sudut ruangan.
“Di bawah lebih gelap,” ujar Anna mengerti. “Itu akan memengaruhi rencana
pemilihan warna.”
“Tepat sekali.” Pria itu berseri-seri. “Kau suka melukis juga, Nak?”
“Saya dulu mendesain gaun pesta.”
“Terdengar menyenangkan.” Franz mengambil palet dan kuas, meneruskan
sapuannya di kanvas. “Sayang sekali cucuku sudah memesan gaun untuk hari
ulang tahunnya. Aku sudah menyia-nyiakan bakatmu. Dari mana kau berasal?”
“Indonesia.”
“Hmm. Tempat Ilyusha meninggalkan anaknya yang satu lagi.”
Anna tertegun. Rupanya Franz mengenal Herr Gregoire sampai sejauh itu.
“Ya …,” ujar Anna pelan. “Anak Herr Gregoire … adalah mantan tunangan
saya.”
“Wah. Aku jadi tertarik mendengar cerita lengkapnya.”
Anna duduk di stool lain setelah dipersilakan. Dia pun mulai menceritakan
semuanya. Franz terus mengangguk-angguk dengan cara yang biasa dilakukan
orang seusianya. Dia tidak terkejut saat mendengar bahwa Herr Gregoire
menolak membantu Bintang, seolah sudah tahu bahwa memang hal seperti itulah
yang akan dilakukan pria tersebut.
“Dan, sekarang saya tidak yakin apa lagi yang harus saya lakukan,” Anna
mengakhiri.
“Teruslah mencoba,” ujar Franz. “Itu pasti cuma reaksi awal Ilyusha. Dia
melakukan hal pertama yang terlintas di benaknya untuk mempertahankan diri.
Itu sangat diperlukan dalam perang.” Dia membubuhkan cat berwarna lembut di
latar lukisan Bugs Bunny. “Ilyusha orang yang baik. Dia hanya rapuh. Mungkin
juga mencintai dengan terlalu dalam. Pertama ibu Bintang, lalu ibu Terry.
Terkadang, satu-satunya jalan yang sanggup untuk diambil orang yang terluka
adalah pergi.”
Suasana hening sementara Anna termenung dan Franz terus bekerja dengan
kelinci berwarna kelabu itu.
“Aku tidak mau menjadi orang kesekian yang meragukan Ilyusha,” Franz
melanjutkan. “Harus ada setidaknya satu orang yang optimistis. Terry terlalu
marah kepada ayahnya untuk itu. Orang lain cenderung melihat segala sesuatu
hanya dari permukaan. Aku—aku sahabat ayah Ilyusha dan ayah baptisnya. Aku
melihat segalanya dengan lebih objektif.”
Anna mengangguk pelan, menyerap semua perkataan itu.
“Jangan menyerah dulu, Lady,” ucap Franz mantap.
Setelah beberapa saat, Anna pun akhirnya memutuskan bahwa dia akan
mencoba lagi.
Besok, dia akan kembali ke Rooseveltplatz.[]
------------------------------
14 (Jerman) Bintang jatuh.
10
Der Hase15
Votivpark selalu sangat nyaman bagi orang-orang yang ingin membaca buku,
merenung, mendengarkan musik, atau bermain Frisbee. Taman itu besar, bundar
dan hijau, dengan deretan lamp post berbentuk segi enam. Di tengahnya, berdiri
Gereja Votive penuh ukiran gotik rumit yang didominasi warna putih tulang,
puncak-puncak menaranya yang berbentuk kerucut mencakar langit dengan
angkuh.
Anna sudah duduk di taman itu selama tiga jam.
Dia akhirnya pergi sendirian karena Gerda mendadak ada permintaan
mengajar piano, dan Terry harus kembali ke kampus. Anna sudah mendatangi
apartemen Herr Gregoire—tetapi pria itu tidak menjawab interkomnya, dan
Anna pun sempat mengira pria itu tidak mau menemuinya lagi. Namun,
kemudian, seorang penghuni lain keluar dari gerbang, bertanya kepada Anna
ingin menemui siapa. Setelah Anna menjawabnya, wanita itu bilang sempat
melihat Herr Gregoire keluar rumah.
Anna memutuskan untuk menunggu di salah satu bench di Votivpark. Cuaca
hari itu sedang bagus. Matahari bersinar, para remaja melepas jaket mereka,
berjemur di rerumputan. Beberapa yang lain bermain Frisbee. Apartemen Herr
Gregoire bisa terlihat dari sana. Sambil mendengarkan Sunrise gubahan Haydn,
Anna menunggu pria itu kembali.
Namun, dua jam berlalu tanpa hasil. Anna mulai gelisah dan merapatkan
syalnya ketika matahari bersembunyi lagi dan suhu udara menurun drastis.
Orang-orang kembali mengenakan jaket masing-masing. Anna mencoba
menghabiskan waktu dengan menyelesaikan sketsa gaun Audrey. Namun,
bahkan setelah sketsa itu selesai satu jam kemudian pun, Herr Gregoire belum
juga muncul.
Sesuatu memburamkan pandangan Anna. Kepalanya terasa berat, tubuhnya
agak pegal ketika digerakkan. Tidak, pikirnya getir. Dia tidak boleh jatuh sakit
juga. Anna pun membuka tas, mencari-cari vitamin C atau obat flu untuk
diminum, tetapi baru ingat dia meninggalkan pouch obatnya di hostel.
Dia mencoba menunggu lagi. Setelah menerima dengan terpaksa bahwa Herr
Gregoire mungkin tidak akan muncul, Anna pun beranjak sambil bersedekap.
Dia sempat berpapasan dengan tetangga Herr Gregoire tadi, yang menanyakan
apakah Anna sudah menemui pria itu, tetapi Anna hanya menjawab sambil
tersenyum getir dan menggeleng.
Setibanya di Luftschloss, Anna buru-buru masuk dan bersyukur merasakan
hawa pemanas ruangan yang langsung menyelubunginya. Dia mendengar Terry
bicara dengan seseorang di lounge, dan Anna membuka pintu lounge itu saat
mendengar kata “stern”.
Terry menoleh. Dengan gaya flamboyan, lelaki itu menghadapkan layar
ponselnya kepada Anna. Wajah Bintang bertemu dengannya.
“Hei,” sapa Anna dengan suara serak.
“Sakit?” tanya Bintang, dahinya mengernyit.
“Tidak,” Anna berbohong.
“Biar kutebak,” sahut Terry. “Ayah tidak mau menemuimu dan kau
menunggunya entah sampai berapa jam di luar.”
“Dia tidak ada di apartemen. Dan, ya, saya menunggunya, tapi—”
“Anna, berhentilah memaksakan diri begini,” potong Bintang tegas. Dia
berbicara menggunakan bahasa Jerman karena Terry juga ada di sana. “Sudah
saya bilang kamu tidak perlu mencoba menemui Ayah lagi. Saya dan Terry
sedang bicara soal kemungkinan donor-donor lain—”
“Cuma semenit,” potong Terry sambil melirik arlojinya. “Empat puluh
sembilan menit selebihnya membicarakan not balok dan bagaimana cara paling
efektif untuk menyelesaikan tugas akhirku.”
“Ya, karena kau tidak kunjung menemukan solusi,” sahut Bintang datar. “Aku
yang harus memikirkannya untukmu.”
“Saya baik-baik saja,” Anna berusaha tersenyum. “Saya ke kamar dulu.”
“Tidur dan istirahat,” ujar Bintang pelan.
Anna berbalik, melangkah ke kamarnya. Saat dia hendak membuka pintu
kamar, dia melihat sebuah amplop yang terselip di bawah pintu, bertuliskan
namanya. Anna pun membuka amplop itu. Dia tersenyum melihat sebuah karton
seukuran kartu pos yang bergambar kelinci dari Alice in Wonderland.
Untuk mencerahkan hatimu, Lady. Dan, besok aku akan sarapan di ruang
makan—Franz.
Anna memasukkan kartu itu kembali ke amplopnya.
Dia sudah melihat Bintang dan mendapat kartu kejutan yang menghangatkan
hati. Dia tidak akan membiarkan dirinya bersedih atau jatuh sakit, dan bertekad
untuk tidur dengan nyenyak malam ini.[]
------------------------------
15 (Jerman) Kelinci.
11
Weinleseklavier16
Tidur Anna sangat nyaman. Dia membuka mata keesokan paginya dengan
perasaan lebih baik. Matanya tidak terasa perih lagi, dan pegal di tubuhnya pun
sudah berkurang. Dia hanya perlu mandi dengan air hangat untuk melemaskan
otot-ototnya.
Dia bangkit, mengambil travel kit, lalu pergi ke kamar mandi yang terletak di
ujung koridor. Dia membuat catatan dalam benaknya untuk meminta tambahan
bohlam kepada Terry—kamar mandi ini masih terasa seperti latar film Alfred
Hitchcock.
Audrey dan Collette baru bangun saat Anna kembali ke kamar. Mereka
kemarin pulang sangat larut.
“Pagi,” sapa Anna sambil tersenyum. Keduanya hanya mengangguk-angguk
mengantuk. Anna meletakkan travel kit-nya, kemudian mengambil buku
sketsanya dan memberikannya kepada Audrey. “Sketsanya sudah selesai. Saya
membuat beberapa pilihan, semoga kau suka.”
Audrey menatap buku itu sejenak, seolah berusaha menafsirkan buku macam
apa itu. Dia kemudian membukanya dengan pelan. Matanya membelalak, dan
kantuknya sontak hilang begitu saja saat dia melihat sketsa Anna.
“Whoaaa!” serunya. “Collette, lihat ini!”
Sementara Audrey dan Collette sibuk berkutat dengan sketsa gaun-gaun itu,
terdengar suara-suara sayup yang tidak biasanya di luar sana. Anna mengernyit
selagi berpakaian dan merapikan diri. Dia pun berjalan ke luar untuk melihat apa
yang terjadi.
Suara-suara marah yang dilontarkan dalam bahasa Jerman itu terdengar
semakin dekat.
Perasaan Anna semakin tidak enak. Dia membuka pintu hostel, disambut
udara dingin yang menusuk dan sosok Terry serta Herr Gregoire yang menjulang
di halaman segera terlihat olehnya. Bertengkar seperti yang sudah lazim terjadi.
“… kau tidak punya hak untuk menjualnya!” bentak Terry dengan suara
tinggi.
“Benda ini milikku. Dan aku punya hak untuk melakukan apa pun yang
kuinginkan.” Suara Herr Gregoire, sebaliknya, terdengar jauh lebih rendah,
tetapi justru karena itulah lebih menakutkan. Butuh beberapa detik hingga Anna
memahami apa yang sedang mereka bicarakan.
Di halaman itu, terdapat piano upright yang sepertinya baru dipindahkan dari
suatu tempat di dalam hostel. Terlihat tua tetapi indah. Warnanya hijau min,
sengaja disepuh kasar supaya menimbulkan kesan tua yang anggun. Ada ukiran
berulir di beberapa bagiannya, dan tuts-tutsnya sudah menguning di beberapa
tempat, tetapi dengan cara yang lembut.
“Ini piano yang dulu sering kumainkan bersama Ibu,” geram Terry. “Kalau
kau memang butuh uang, kenapa kau tidak menjual barangmu yang lain?”
“Aku tidak menjualnya demi uang,” sahut Herr Gregoire marah. “Kau
sepertinya lupa berapa banyak jumlah uang yang kupunya. Benda ini sudah
terlalu lama berada di loteng dan sudah waktunya dipindahkan. Ada orang yang
mau membelinya—”
“Aku tidak pernah minta apa pun darimu!” seru Terry. “Selama ini kau tidak
pernah ada dan bahkan tidak peduli kepada hostel sialanmu ini, tapi aku
berusaha—”
“Sudahlah, jangan mulai lagi, Terry. Ini cuma piano.”
“Ini bukan cuma piano! Sampai kapan kau akan terus menyakiti orang lain?!
Kalau kau bahkan tidak becus menjadi ayah, kenapa kau bahkan repot-repot
membiarkanku dan kakakku lahir—”
Terry tidak melanjutkan kata-katanya. Herr Gregoire menamparnya dengan
keras.
Anna menekap mulutnya. Gerda, yang baru tiba dan hendak mendorong
pagar, terkesiap dan terpaku di tempat.
Terry memegangi pipinya. Ekspresinya tidak terbaca. Sorot matanya tetap
tajam, meskipun kini dia tidak memandang ayahnya lagi. Dia tidak terlihat
terpukul, atau kalaupun iya, dia menyembunyikannya dengan baik.
“Kau sebelumnya tidak pernah menyakitiku lebih parah dari ini, Terry.” Herr
Gregoire bicara setelah keheningan yang menyesakkan.
Dia berkata demikian tanpa intonasi, tetapi selama sepersekian detik, Anna
bisa melihat kepedihan di mata kelabunya, yang sempat meluruhkan cangkang
keras yang membungkus wajahnya.
Namun, hanya itu. Anna bahkan tidak yakin apakah dia benar-benar
melihatnya atau sekadar berkhayal.
“Wah, wah, ada apa ini?” Terdengar suara ringkih dari pintu hostel. Franz
muncul, memandang wajah-wajah tegang di sana secara bergantian. Dia berhenti
pada Herr Gregoire, lalu menggeleng-geleng ke arahnya.
“Ah, Ilyusha. Ada apa lagi?”
“Tidak ada, Franz,” sahut Herr Gregoire. Dia akhirnya berbalik dan
melangkah pergi. Dia sempat berkata, “Piano ini akan tetap dijual. Ada orang
yang akan mengambilnya siang nanti,” sebelum menghilang dari pandangan.
Rasa dingin yang ditinggalkannya masih tersisa.
Gerda segera tersadar dan buru-buru menghampiri Terry.
“Ayo, kukompres dengan air dingin,” ujarnya sambil menggamit tangan lelaki
itu.
Terry tidak menghindar. Dia mengikuti Gerda dengan langkah kosong,
matanya tidak memandang siapa pun.
Anna mengembuskan napas, baru sadar dia menahannya sejak tadi. Dia
meremas-remas tangan, menatap piano itu dengan gelisah.
Sesuatu pada piano itu tiba-tiba menarik perhatiannya, sebuah detail yang
berbeda dari ulir-ulir yang menghiasinya. Anna, juga Franz, melangkah lebih
dekat ke benda tersebut.
“Piano yang indah,” kata si lelaki tua, menekan salah satu tuts. Anna
memperhatikan tulisan yang sepertinya digoreskan dengan pensil warna jingga
di ujung piano tersebut.
Hati Anna mencelus.
Itu tulisan anak kecil, sangat tipis sehingga mudah luput dari pandangan mata.
Bunyinya “Bintang”.
Pikiran Anna melayang-layang. Dia berusaha menghubung-hubungkan semua
yang dilihatnya pada piano ini. Anna ingat, Bintang dulu sempat bercerita bahwa
ayahnya pernah mengajaknya pergi ke Wina dan mengajarinya bermain piano
vintage. Rupanya, Bintang pun sempat meninggalkan kenangan di piano itu.
Sama halnya seperti Terry dan ibunya.
Anna bersedekap. Dia mengembuskan napas dengan pedih.
Terry benar. Ini bukan cuma piano.
Dan, benda yang bukan cuma piano ini akan menghilang, bersamaan dengan
entah berapa banyak lagi kenangan yang sudah dilenyapkan Herr Gregoire dari
hidupnya.
----------------------------
16 (Jerman) Piano vintage.
12
Neapolitaner
Bagi Bintang, sosok ibunya dulu bagaikan selalu diselubungi kabut tipis.
Atau, mungkin beliau adalah wujud dari kabut itu sendiri. Kelabu, buram,
tidak bisa disentuh. Bintang ingat dia adalah wanita yang cantik, memiliki darah
Korea dan dominan Indonesia. Namun, sosoknya selalu terasa begitu jauh.
Bintang awalnya tidak tahu bagaimana ayah dan ibunya bertemu, bagaimana
dua orang yang berbeda ras dan negara bisa menikah dan melahirkannya.
Namun, almarhumah bibi Bintang bilang, Ilyusha Gregoire dulu pernah menjadi
pianis tamu untuk konser musik klasik di Jakarta, lalu bertemu ibu Bintang—
yang menggemari musik klasik—di sana. Foto-foto pernikahan mereka masih
disimpan oleh Bintang dan dijaganya baik-baik, dan di semua foto itu, mata
ibunya sering melihat melampaui kamera, bukannya menatap langsung ke sana.
Sebenarnya, di mana pun ibunya berada, dia tampak seperti melayang-layang
di tempat lain, alih-alih lantai mana pun yang dipijaknya. Dan, mungkin karena
alasan itulah Bintang bisa mengingat semua hal tentang ayahnya, tetapi nyaris
tidak mampu mengingat apa pun tentang ibunya.
Bintang ingat ayahnya dulu pernah mengajaknya ke Wina, ketika dia baru
berulang tahun yang kelima. Dia pun ingat pernah merasakan wafer rasa
Neapolitan lezat yang beliau belikan, juga cokelat Jerman berisi praline. Bintang
juga memainkan piano berwarna hijau min milik ayahnya dan menggoreskan
namanya di sana. Dia sama sekali tidak mengingat orang lain dalam perjalanan
itu—yang berarti ibunya mungkin tidak ikut bersama mereka.
Ketika dia dan ayahnya kembali ke rumah mereka di Indonesia, Bintang
mendapati suasana di sana begitu bising. Banyak orang berkerumun dan
bertampang gelisah. Bintang tidak tahu waktu itu ada apa—dia hanya ingat
bahwa tepat setelah itu, dia tidak pernah melihat ibunya lagi, bahwa ayahnya
meninggalkan banyak sekali deposito tabungan untuknya dan meninggalkannya
beberapa waktu kemudian. Bintang pun akhirnya diasuh oleh bibinya.
Bibi Bintang bilang, ibu Bintang meninggal akibat serangan jantung. Namun,
bibinya tidak pernah benar-benar menatap mata Bintang saat mengatakan itu—
dan karena itulah Bintang langsung sadar bahwa mungkin ada yang tidak beres
dengan seluruh lini masa tersebut.
Maka, ketika akhirnya Bintang memiliki kesempatan, dia berusaha untuk
mencari tahu semuanya seorang diri. Setelah berminggu-minggu melakukan
penelusuran, pencarian, dan kunjungan ke rumah sakit yang tidak ada habisnya,
Bintang pun akhirnya mengerti.
Ibunya bukan meninggal akibat serangan jantung. Beliau meninggal karena
bunuh diri.
Depresi. Penyakit yang egois, memikat penderitanya ke dalam kegelapan
yang tidak memiliki jalan keluar. Menurut psikiater ibunya—Bintang baru
menemukannya setelah perjuangan yang panjang—ibunya bukannya tidak
mencintai ayah Bintang atau dirinya. Bahkan, ayah Bintang membuatnya sangat
bahagia. Namun, depresi itu seperti oli yang bersembunyi di sudut-sudut hati.
Sewaktu-waktu bisa mengalir dan merembes, membuat segalanya menghitam,
dan menggiring penderitanya kepada ... apa pun cara yang tersedia saat itu. Bisa
tali gantungan, pisau, tempat yang tinggi, atau jalanan dengan banyak mobil.
Dalam kasus ibu Bintang, beliau menggores nadinya sendiri dengan pisau.
Lupakan perkataan, “Tapi, dia punya suami dan anak.” Depresi tidak
memiliki ampun untuk pernyataan macam itu. Kata kunci untuk penyakit itu
adalah “aku”. “Aku menderita, aku sampah, aku tidak pantas hidup, aku ….”
Tak ada suami atau anak di sana.
Bintang tidak pernah menceritakan soal ini kepada siapa pun, bahkan Anna.
Hanya karena dia tidak ingin Anna merasa sedih. Namun, dia sendiri mencoba
melihat semua itu lewat sudut pandang lain alih-alih memikirkan kesedihannya
sendiri. Dia berusaha mengerti betapa beratnya hal itu bagi ayahnya, bahwa tetap
tinggal di Indonesia pasti akan sangat menyakitkan bagi beliau, bahkan melihat
Bintang pun pasti rasanya tidak tertahankan. Karena dalam beberapa hal,
Bintang begitu mirip dengan ibunya. Garis-garis wajah mereka sama lembutnya,
kulit mereka sama cerahnya. Warna mata Bintang sama persis dengan mata
ayahnya, tetapi bentuknya yang mungil adalah milik sang ibu. Bagi ayahnya,
melihat Bintang barangkali berarti mengulangi semua kepahitan itu sekali lagi.
Tetap saja, ada bagian dari diri Bintang yang khawatir itu hanya teori naifnya
saja. Mungkin dia hanya ingin membenarkan tindakan ayahnya, ingin
memercayai bahwa ayahnya sebenarnya masih menyayanginya, alih-alih
sebaliknya.
Kata-kata Terry waktu itu bergema lagi dalam pikirannya.
Kalau kau memang memujanya sampai seperti itu, kenapa tidak
menghubunginya? Mengobrol penuh haru biru dengannya? Benar. Karena kau
takut. Kau takut idealisme yang kau bangun dengan indah itu runtuh begitu saja.
Bintang bersandar di tempat tidur di rumahnya, menatap ponsel.
Sudah beberapa hari ini dia menimbang-nimbang untuk menelepon ayahnya,
tetapi tidak kunjung dia lakukan. Dia membuat-buat alasan bahwa dirinya belum
ada waktu untuk itu, bahwa dia harus menghubungi kesembilan pemilik
golongan darah Rh-null yang datanya sudah dia temukan dengan bantuan
seorang teman genius yang kuliah di Jurusan Informatika. Bintang sudah
mencoba berbicara dengan kesembilan orang tersebut lewat telepon. Dia jelas
tidak bisa mengunjungi mereka satu per satu karena mereka tinggal di Amerika
Serikat, Afrika Selatan, dan Skandinavia.
Hasilnya sudah bisa ditebak. Tak satu pun dari mereka yang berminat untuk
menjadi Good Samaritan demi Bintang, untuk alasan yang wajar. Karena mereka
juga memikirkan kesehatan mereka sendiri. Pemilik golongan darah golden
blood tidak boleh sakit, seperti halnya penderita hemofilia tidak boleh
mengeluarkan darah. Sejak awal pun Bintang tahu idenya ini bodoh, tetapi dia
tetap ingin mencobanya.
Barangkali juga karena dia berpikir menghubungi kesembilan orang itu lebih
mudah daripada menelepon ayahnya sendiri.
Dan, jika ayahnya juga tidak bisa membantu, nasib Bintang sudah jelas.
Meski begitu, dia tidak ingin mati dengan sia-sia. Setidaknya, dia ingin bicara
dengan ayahnya dulu sebelum itu terjadi.
Dia menatap kata “Ayah” di ponselnya. Sebutan yang biasa saja bagi
kebanyakan orang, tetapi Bintang menganggapnya sebagai sesuatu yang begitu
jauh. Jaraknya tidak bisa diukur hanya dengan tiket pesawat dari Jakarta ke
Wina.
Bintang menekan tombol “call”.
Dia merasakan tangannya langsung dingin, tetapi ternyata teleponnya
tersambung ke mesin penjawab telepon.
Terdengar rekaman suara ayahnya yang berbicara dalam bahasa Jerman.
“Aku sedang tidak di rumah. Tinggalkan pesan saja.”
Suara itu dalam. Berwibawa. Suara yang hanya diingat Bintang secara sayup-
sayup dari masa lalunya. Dia baru mendengarnya lagi sekarang, setelah dua
puluh tahun.
Untuk alasan yang sudah jelas, Bintang lega hanya perlu berbicara dengan
mesin. Benda mati selalu lebih mudah dihadapi. Bintang menarik napas sejenak,
menimbang-nimbang apa yang sebaiknya dia ucapkan.
Dia memulai dengan sapaan yang biasa-biasa saja.
“Halo, Ayah.
“Ini Bintang. Semoga Ayah tidak lupa. Tapi, kalaupun Ayah lupa, wajar.”
Dia langsung menyesali pilihan kalimatnya. Entah kenapa, dia jadi terdengar
seperti Terry.
“Dengar,” ujarnya sambil membenahi posisi duduknya, “mungkin Ayah sudah
tahu semuanya dari Anna, tapi sepertinya aku harus memberi tahu Ayah sendiri.
“Aku sedang sakit. Kupersingkat saja, aku menderita gagal ginjal. Ya,
menyebalkan, memang. Dan, aku tidak bisa menemukan donor untuk ginjalku
karena kau mewariskan golongan darah yang sangat istimewa kepadaku.
“Jadi, mungkin tidak akan lama lagi sampai aku ….” Bintang mencari istilah
yang lebih halus. “Mati” rasanya terlalu lugas.
“… bertemu dengan Mozart, kalau beruntung,” ujarnya.
Dia berdeham sejenak.
“Omong-omong soal Mozart, aku suka sekali interpretasi Piano Sonata yang
Ayah mainkan, terutama bagian Andante. Tidak bermaksud menjilat,” dia
menambahkan dengan tenang.
Dia terdengar seperti Terry lagi. Mungkin karena dia tahu ini satu-satunya
kesempatannya untuk merajuk kepada ayahnya, setelah dua puluh tahun.
“Aku memang menyukainya. Ayah menggunakan terlalu banyak efek pedal,
tapi justru itulah yang membuatnya berbeda. Terry bilang dia tidak terlalu suka.
Yah, aku tidak kaget. Aku sendiri tidak tahu dia itu sebenarnya suka apa.”
Lalu, hening. Bintang tidak yakin harus berkata apa lagi. Dia tidak berminat
menceritakan dua puluh tahun hidupnya yang tidak pernah disaksikan ayahnya.
Itu berlebihan dan, lagi pula, tak ada peristiwa yang menarik dalam rentang itu,
kecuali pertemuannya dengan Anna. Dan, ketika tahu dia punya adik tiri.
“Yah, mungkin itu saja,” ujar Bintang akhirnya. “Aku benar-benar ingin ikut
ke Wina bersama Anna, tapi dokter-dokter itu melarangku. Aku juga tidak yakin
Ayah ingin bertemu denganku.
“Tapi, misalnya, misalnya saja, ada bintang jatuh atau apa, dan Ayah
berencana untuk kemari, aku ingin dibawakan wafer yang pernah kumakan
waktu Ayah mengajakku ke Wina dulu. Aku lupa namanya. Cuma ingat rasanya
Neapolitan. Aku juga ingin mendengar Piano Sonata-mu lagi.
“Cuma itu yang kuminta.”
Terjemahannya: aku ingin bertemu Ayah. Namun, Bintang tidak bisa
mengucapkannya. Itu kalimat yang berbahaya, yang pasti mengancamnya untuk
kehilangan kendali dan emosinya. Dia sudah menangis sepuas-puasnya dua
puluh tahun yang lalu, setiap malam, saat dia dengan bodohnya menunggu-
nunggu ayah dan ibunya pulang. Dia berjanji tidak akan mengeluarkan setitik air
mata pun lagi untuk kedua orang itu. Saat kondisinya sedang buruk-buruknya
pun, dia tidak pernah menangis.
Terkadang, Bintang tidak memahami orang-orang yang sengaja membaca
cerita-cerita sedih atau menonton film sendu hanya agar bisa menangis. Apakah
mereka begitu kekurangan peristiwa sedih dalam hidup mereka sehingga
mencari-cari gantinya dalam bentuk fiksi? Atau, sebaliknya—mereka sudah
mengalami begitu banyak peristiwa sedih, dan ingin melihat orang lain
mengalami hal yang sama?
Saat Bintang menceritakan soal itu kepada Terry, adiknya bilang, “Suruh
mereka bertukar tempat dengan kita. Kalau mereka sampai mau, akan kujilat sol
sepatu mereka.”
“Sampai jumpa, Ayah,” ujar Bintang.
Dia menutup telepon.
Diliriknya jam dinding. Hari ini jadwalnya untuk check-up dan dia sudah
terlambat sepuluh menit. Bintang segera beranjak, bersiap-siap, dan pergi ke
dapur sejenak untuk meminum segelas air. Setelah itu, dia memesan taksi online
untuk pergi ke rumah sakit. Dia berjalan menuju pintu rumah untuk menunggu
di teras.
Sayangnya, dia tidak pernah sampai di sana.
Mendadak, perutnya terhantam rasa sakit hebat.
Seolah sesuatu yang tajam dilemparkan ke ginjalnya, lalu perutnya seperti
ditusuk-tusuk dari dalam menggunakan benda tajam tersebut. Tatapan matanya
mengabur, kepalanya seolah berpusar seperti cairan teh yang diaduk-aduk
dengan serampangan.
Yang selanjutnya Bintang tahu, dia roboh ke lantai, tepat saat klakson taksi itu
menggema di depan rumah.
Ah, batinnya saat kesadarannya mulai pudar.
Orang-orang biasanya bersikap sentimental ketika nyawa mereka dalam
bahaya, merasa melihat orang yang paling dicintai atau apalah yang bisa
membuat orang lain tersentuh—jika mereka selamat dan punya waktu untuk
menceritakannya kepada orang lain. Namun, sebagai orang yang sejak kecil
terlatih untuk berpikir menggunakan akal alih-alih hati, yang terlintas di pikiran
Bintang sama sekali bukan orang-orang yang dicintainya.
Dia memikirkan segelintir pemilik golongan darah Rh-null lain, berharap
dengan sangat agar orang-orang itu selalu sehat dan bahagia.
Supaya tidak repot sepertinya.[]
13
Die Tränen17
---------------------------------
17 (Jerman) Tetes air mata.
14
Das Frühstück18
--------------------------------
18 (Jerman) Sarapan.
15
Der Bahnhof19
---------------------------------
19 (Jerman) Stasiun kereta.
16
Der Vati20
Bintang baru diperbolehkan keluar dari kamar rawat inapnya lima hari
kemudian.
Memang hanya sebatas taman rumah sakit, tetapi dia langsung
memanfaatkannya. Kamar serbaputih itu benar-benar membuatnya gila.
Dia membawa infus, melangkah menuju taman luas yang terletak di tengah-
tengah bangunan besar itu. Perutnya sudah tidak terlalu sakit lagi. Entah apa
yang para dokter itu lakukan, tetapi Bintang merasa kondisinya sekarang jauh
lebih baik, setidaknya untuk sementara. Dia juga sudah memberikan banyak tip
lewat aplikasi kepada sopir taksi online itu, bersyukur bahwa pada saat-saat
seperti itu, masih ada orang baik yang bersedia menolongnya.
Bintang jadi bertanya-tanya apakah itu berarti dia diizinkan untuk hidup lebih
lama.
Udara tidak terlalu panas. Sedikit mendung, dan pagi itu beraroma embun. Dia
berdiri di tengah taman, mengambil ponselnya dengan satu tangan, dan kembali
mengirim pesan kepada Anna, memberi tahu bahwa Kessa dan Salena sudah
pulang. Seperti sebelumnya, Anna hanya membalasnya singkat-singkat, seolah
sedang terburu-buru. Bintang penasaran apa yang sedang dilakukan gadis itu
sekarang.
Dia memandang ke kejauhan untuk beberapa saat, merasa beruntung taman ini
sedang sepi, dan hanya dia seorang diri yang berada di sini. Namun, sepertinya
tidak terlalu lama. Tatapannya pun teralih ketika dia menyadari ada orang lain
yang sedang melangkah pelan dan berhenti di taman itu.
Seorang pria. Tinggi, besar, berambut cokelat menyentuh leher. Bermata
kelabu, yang menyerupai perak atau awan mendung.
Dia bahkan lebih rupawan daripada dua puluh tahun yang lalu, pikir
Bintang. Melalui waktu dengan cara yang sendu, tetapi indah.
Bintang tersenyum, mengerjap.
Sudah cukup dia berkhayal.
Namun, ayahnya masih ada di sana.
Bintang bergeming saat pria itu berjalan pelan menghampirinya. Mata Bintang
mengikuti setiap gerakannya, sampai pria itu benar-benar berhenti di depannya.
Tinggi Bintang 178 sentimeter, tetapi dia masih harus mendongak untuk bisa
memandang pria itu.
Ayahnya terlihat berusaha menahan kepedihannya. Bintang, sementara itu,
masih terus bertanya-tanya apakah yang dia lihat ini sungguhan.
“Pesananmu,” ujar ayahnya pelan, memberikan tas kertas indah bertuliskan
Manner. Bintang memandangi tas itu sejenak sebelum menerimanya. Di
dalamnya, terdapat tumpukan wafer berbentuk hampir bujur sangkar, tebal,
dengan bungkus halus berwarna peach.
Bintang punya banyak sekali pertanyaan, tetapi yang dikatakannya hanya,
“Banyak sekali.”
“Kau bisa menyimpannya untuk dimakan nanti,” ayahnya berkata. “Tidak
mudah leleh dan hancur. Pilihan yang bagus.”
Bintang kembali mendongak. Mata kelabu ayahnya tidak pernah
meninggalkannya. Pria itu menghela napas sejenak sebelum menunduk dan
kembali bicara.
“Kalau kau bersedia mendengarkan penjelasanku ….”
“Aku tidak mau dengar,” sahut Bintang.
Ayahnya memandangnya.
Bintang mengalihkan perhatiannya kepada wafer-wafer itu, mengambil
sebungkus. “Boleh kumakan?” tanyanya.
“Tentu saja.”
Bintang merobek bungkus wafer tersebut, mengambil satu ruas, dan
memakannya. Terasa manis dan sangat renyah, hazelnut dan cokelat bercampur
menjadi satu.
“Lebih manis dari yang kuingat,” ujar Bintang.
“Kurasa kita akan semakin menyukai makanan yang lebih pahit seiring
waktu,” ujar ayahnya. “Rasa wafer itu sama. Hanya sudut pandangmu yang
berbeda.”
“Masuk akal.”
Bintang mengambil satu ruas wafer lagi, memakannya kembali. Selama
beberapa waktu, tak ada yang berbicara. Lalu, ponsel ayahnya berdering singkat.
Bintang mengamatinya memeriksa pesan di ponsel tersebut.
“Doktermu ingin bicara denganku,” ujar ayahnya kemudian. “Aku akan ke
sana dulu.”
“Kau baru datang dan sudah akan pergi lagi?”
Mendadak, Bintang merasakan sesuatu menggumpal di tenggorokannya.
Kini, dia kesulitan menelan.
Ini … perasaan kosong ini. Dia mengenalinya. Perasaan hendak ditinggalkan.
Dan, baru saat itulah Bintang sadar bahwa ayahnya benar-benar berada di sini,
bahwa sosoknya nyata. Dan, wafer ini pun bukan hanya imajinasinya.
Ayahnya menggeleng pelan. “Tidak. Begini …, sebenarnya aku sudah
menemukan donor untukmu. Aku sudah memberi tahu doktermu, dan ….”
Ayahnya berhenti bicara. Dia menatap mata Bintang, yang mulai digenangi
air.
Ayahnya akhirnya mendekat dan memeluknya, begitu erat.
Bintang bisa merasakan air mata ayahnya jatuh satu per satu di bahunya.
“Maafkan aku,” bisik ayahnya beberapa lama kemudian. “Kupikir kau masih
butuh waktu.”
“Ya, aku sudah menunggu Ayah selama dua puluh tahun. Itu masih kurang,”
Bintang berkata sarkastis, meski suaranya nyaris tidak keluar.
Dia memejamkan mata, dan untuk pertama kalinya sejak tahun-tahun yang
sepi ini, air matanya mengalir.
Waktu kecil dulu …, dia tidak terlalu menyadarinya. Baru sekaranglah dia
tahu bahwa dipeluk orangtua itu rasanya begitu indah, menenangkan, meski
awalnya terasa canggung. Ayahnya melepas pelukannya sejenak, menatapnya
dengan wajah lembap dan merangkup pipi Bintang dengan satu tangan. Bintang
mengira dia akan mengucapkan kalimat klise seperti, “Kau sudah dewasa,” “Kau
sekarang tinggi sekali,” atau semacamnya. Namun, ayahnya tidak
mengatakannya. Barangkali, jika dipikir-pikir, ucapan itu menyakitkan.
Menunjukkan bahwa ayahnya tidak di sana untuk melihatnya tumbuh hingga
seperti sekarang.
Saat ayahnya memeluknya lagi, Bintang akhirnya bisa membalas. Bahkan
dengan kedua tangan yang memegang infus dan tas kertas berisi wafer.
Dia merasa menjadi anak kecil lagi.
Dan, dia tidak keberatan.
-----------------------------
22 (Jerman) Keajaiban.
23 (Jerman) Terima kasih banyak.
24 (Jerman) Awas.
25 (Jerman) Sama-sama.
18
Die Hochzeit26
------------------------------
26 (Jerman) Pernikahan.
19
Glück27
Senja itu, Anna dan Bintang duduk di teras belakang Luftschloss Hostel.
Gerda dan Terry menyiapkan makanan di meja yang telah dipindahkan di kebun,
bercanda tanpa henti, dan sesekali mengatur fairy lights yang disampirkan begitu
saja di pepohonan. Franz sedang berdiri mengobrol dengan beberapa turis,
memperdebatkan apakah cokelat Lindt berasal dari Jerman atau Swiss.
Herr Gregoire memainkan piano yang baru dibelinya, melantunkan Piano
Sonata yang lembut dan indah dari Mozart yang sangat disukai Bintang. Pria itu
sudah kembali memainkan instrumen kesayangannya. Rambutnya sudah sedikit
rontok karena kemoterapi, tetapi dia jelas terlihat lebih hangat daripada ketika
Anna pertama kali bertemu dengannya dulu.
Anna menggeser layar ponsel, memeriksa pesan yang baru masuk. Dia
tersenyum saat melihat foto Audrey, Collette, dan seorang pria muda yang
tertawa lebar sekali bersama keduanya, kepala mereka dihiasi topi-topi kerucut.
Audrey pun mengenakan gaun yang didesain Anna waktu itu. Anna berharap
bisa bertemu lagi dengan mereka, barangkali dalam perjalanan mereka
selanjutnya.
“Saya masih penasaran,” kata Bintang. Anna menoleh, melihat suaminya itu
tersenyum memandang seisi taman, sebelah tangannya menggenggam tangan
Anna. “Selama ini kamu selalu lebih memikirkan orang lain, Anna,” lanjutnya.
“Kamu sendiri, apa yang paling kamu inginkan?”
Anna meredupkan ponselnya setelah membalas pesan gadis-gadis itu. Dia
kembali menatap Bintang.
“Saya ingin membuka hostel,” ujarnya.
Bintang menoleh kepadanya sambil menaikkan alis.
“Hostel dengan konsep asrama, seperti yang pernah saya baca di buku-buku
traveling punya Ayah.”
“Kamu enggak pernah cerita.”
“Karena cita-cita itu konyol sekali,” kata Anna sambil tertawa lirih. “Saya
ingin hostelnya dibuka di negara lain, bukan di Indonesia. Hanya karena saya
ingin hostel itu dihiasi salju atau cherry blossom kalau sudah musimnya. Itu
impian yang muluk, dan saya pasti akan ditertawakan kalau bercerita kepada
orang lain. Makanya saya cerita kalau saya cuma ingin pergi ke Eropa alih-alih
membuka hostel.” Dia menatap Bintang, merapikan poni lelaki itu. “Orang-
orang bilang, saya berjuang untuk menyelamatkan kamu. Tapi, kamulah yang
membawa saya ke sini. Impian itu terwujud dengan cara yang tidak pernah saya
bayangkan.”
“Dan, kebetulan juga nama hostelnya Luftschloss,” ujar Bintang sambil
tersenyum. Anna membalas senyumnya, mengangguk dengan perasaan hangat.
Dia kemudian kembali menatap ke arah taman, mendengarkan interpretasi
Mozart Herr Gregoire, dan sesekali tertawa memandang Terry dan Gerda yang
sekarang sedang berebut mengoleskan krim di sebuah kue tar besar. Keduanya
kemudian menghampiri Herr Gregoire, dan Gerda dengan riang meminta pria itu
untuk bergabung bersama mereka di meja makan. Terry sesekali masih tampak
canggung saat bicara di depan ayahnya, tetapi setidaknya dia sudah cukup sering
mengulas senyum kepada pria itu, begitu pula sebaliknya.
Herr Gregoire pun beranjak, mengikuti keduanya, dan mengisyaratkan agar
Anna dan Bintang bergabung juga.
Sebelum menghampiri mereka, Anna masih sempat menoleh ke arah papan
kayu ukir yang sudah ditambahkan di bagian belakang hostel itu. Bertuliskan
Luftshcloss Hostel, sama seperti papan di bagian depan hostel, yang sudah
dilukis ulang dan diperbaiki olehnya dan Bintang.
Bagi Anna dan mereka semua, luftschloss akan selalu menjadi istana yang
cantik di atas awan.
Sulit sekali diraih, tetapi kini sudah terwujud nyata.[]
--------------------------------
27 (Jerman) Keberuntungan, kebahagiaan.
Tentang Penulis
Prisca Primasari lahir tanggal 22 Februari. Seorang Pisces yang selalu percaya
akan keajaiban. Novel-novelnya yang telah terbit antara lain Love Theft, Lovely
Heist, dan Purple Eyes. Prisca bisa dihubungi di Instagram @priscaprimasari.[]
Catatan Perjalanan
Hope adalah salah satu dari sedikit novel saya yang latar tempatnya benar-
benar pernah saya kunjungi, sekalipun begitu jauh. Novel ini mengambil tempat
di Wina, Austria, di sebuah dataran tinggi yang begitu sepi. Rumah-rumah yang
saya lewati di sana jarang dan mungil, tetapi cantik. Dari situlah, saya berpikir
bahwa akan menarik jika di sini terdapat hostel seperti Luftschloss, tempat fiktif
yang memang secara khusus dituju oleh Anna.
Beberapa waktu setelah saya pulang dari Eropa, saya ingat sempat
menghabiskan waktu seharian di sebuah resto fast food 24 jam hanya untuk
meneruskan novel ini. Saya ingin mendapatkan mood yang bagus saat
menuliskannya, dan tidak ingin kenangan di Austria itu menjauh dari pikiran
saya. Dan, karena novel ini pun memiliki unsur perjalanan di dalamnya,
sebagian besar isinya saya tulis di luar rumah. Saya merasa bahwa dengan cara
itulah saya bisa lebih dekat dengan Anna.
Untuk novel ini, saya masih tetap bertahan dengan tema-tema favorit saya.
Mimpi, realisme magis, kehilangan, kesendirian, dan penantian yang begitu
panjang. Namun, ada hal lain yang membedakannya dengan novel-novel saya
sebelumnya, yaitu tema sicklit. Saya jarang sekali mengulas tentang topik ini,
tetapi dalam Hope, unsur tersebut sangat krusial. Saya berharap, saya bisa
menyajikannya dengan baik.
Seperti halnya tokoh-tokoh kesayangan saya yang lain, Anna pun adalah
sebagian dari diri saya. Beberapa hal yang dia rasakan dan lewati di Austria,
saya pun merasakannya. Semoga teman-teman pun bisa ikut berjalan-jalan,
mencari, dan menanti seperti Anna. Dan, tentu saja, tak henti percaya pada
mimpi dan harapan sepertinya.[]