Rendahnya tingkat retensi menjadi perhatian karena siswa dropout munkin kurang
memperoleh pendidikan yang berkesinambungan. Implikasinya ialah rendahnya tingkat
pendidikan orang dewasa di masa depan, dan adanya dampak pertumbuhan ekonomi yang
berbeda-beda. Analisis regresi menunjukan hubungan statistik yang signifikan dan negatif
antara pendidikan orang dewasa pada waktu tertentu dan tingkat retensi pada tingkat pendidikan
dasar 10 sampai 15 tahun lebih awal. Hubungan ini cukup baik : peningkatan tingkat cohort
survival sebesar 25% (besarnya kemajuan negara di asia mungkin perlu di perkirakan)
menghasilkan peningkatan tingkat melek hurup sebesar 7,5% di masa depan. Dengan demikian,
apabila tingkat melek hurup yang di harapkan dapat tercapai maka hal ini akan memperkuat
kohort pendidikan dasar yang merupakan komponen kebijakan umum yang sangat di perlukan.
Rendahnya tingkat survival yang disebabkan dampak selektifitas sosial yang berbeda
juga perlu mendapat perhatian. Dropout semakin sering terjadi terhadap siswa dari kelompok
yang kurang beruntung, sebagai contoh data menunujukan bahwa kontribusi peserta didik
wanita pada jenjang sekolah dasar dan menengah secara negatif berhubungan dengan tingkat
survival pada tingkat pendidikan dasar (bagian 5.11). titik pola itu menunjukan kemampuan
sistem pendidikan untuk mempertahankan siswa cukup lemah, korbannya akan tampak lebih
besar lagi bila peserta didik wanita dibandingkan dengan kaum pria. Apabila tingkat survival di
bawah 50% maka kedua penyimpingan menurut jenis kelamin dalam pertisipasi pendidikan
akan kelihatan sangat jelas. Hal ini di sesuaikan dengan pertimbangan kebijakan untuk
meningkatkan partisipasi kaum wanita dalam pendidikan dasar.
Kapan seharusnya intervensi untuk meningkatkan tingkat survival pada kaum wanita
ditargetkan ? membuat kebijakan untuk meningkatkan tingkat retensi kaum wanita dapat
dilakukan apabila adanya penyimpangan terhadap kaum wanita. Tetapi situasi ini pasti terjadi
apabila seluruh tingkat retensi sistem pendidikan sangat rendah, katakan kurang dari 50%. Pada
jenjang ini efesiensi internal begitu lemah sehingga efesiensi memerlukan interfensi untuk
meningkatkan seluruh tingkat servival secara tidak langsung kaum wanita akan mendapat
keuntungan dari intervensi ini, caranya adalah dengan meningkatkan angka partisipasi kaum
81
wanita yang untuk sementara ini tingkat retensinya meningkat hampir di atas 50%. Apabila
tingkat survival mencapai 75 atau 80%, maka peningkatkan efesiensi internal tetap merupakan
tujuan kebijakan penting dalam pendidikan dasar. Tingginya tingkat retensi ini akibat target
intervinsi terhadap kaum wanita pada umumnya, hasilnya tidak dapat diharapkan, karena
perwakilan kaum wanita pada sistem pendidikan mendekati 50%
82
Perekonomian Asia diperkirakan meningkat dari pertengahan menjadi tingkat tinggi,
dengan rata-rata 5% per tahun anatara tahun 1999 dan tahun 2000. sementara jumlah penduduk
usia saekolah diperkirakan meningkat lamban dengan rata-rata 1,3% per tahun. Dengan
demikian, apabila pengeluaran belanja pemerintah di bidang pendidikan menerut kontribusi
GNP tetep tidak berubah, maka sumber-sumber keuangan negara akan tersedia tidak hanya
untuk memepertahankan rasio peserta didik, tetapi juga untuk memperluas dan meningkatkan
pelayanan pendidikan, namun prospeknya agak suram di negara-negara seperti Nepal apalagi di
Papua New Guinean (di Negara-negara ini kesenjangan antara tingkat ekonomi dan
pertumbuhsn penduduk relative sedikit).
Pilihan kebijakan yang tepat pada sektor pendidikan sangat penting bagi negara-negara
Asia yang penduduk dan kondisi ekonomi makronya sulit (Bangladesh, Bhutan, Laos, Nepal,
dan Papua New Guinea). Pilihan kebijakan yang salah mungkin akan memburuk
ketidakmerataan saat ini dan bisa membalikan pencapaian di masa lalu. Misalnya, kebijakan
yang tetap akan menaikan biaya pendidikan yang tinggi, akan mengurangi jumlah sumber
keuangan efektif yang tersedia untuk jenjang pendidikan, di negara-negara ini prospeknya
memprihatinkan terutama karena pendidikan dasarnya masih menderita yang di sebabkan oleh
kurangnya pemberitaan yang menyeluruh (incomplete coverage), tingginya tingkat drop-out,
dan tidak cukupnyasumber-sumber keuangan.
83
Kebijakan pendidikan harus menjawab kondisikhusus dan realitas politik negara.tiga
pilihan perlu segera mendapat perhatian. Pilihan kebijakan (1), semakin di tingkatkan
pengeluaran biaya pendidikan di negara-negara tertentu karaena pilihan kebijakan ini hanya
terbatas sebagai pengungkit kebijakan maka harus diterapkan secara selektif dan seksama. Salah
satu keterbatasan adalah persaingan yang tajam antar sektoral dibanding sumber keuangan
(faktor ini mungkin dapat menjelaskan kecenderungan yang relatif stabil dalam pengeluaran
anggaran belanja pendidikan di negara-negara Asia menurut alokasi GNP). Keterbatasan kedua
mungkn lebih penting yaitu tentang analisis yang berdasarkan data antarsektoral yang ada pada
suatu negara yang menunjukan bahwa variasi yang cukup besar dalam hasil-hasil pendidikan,
hnya menimbulkan sedikit perbedaan dalam jumlah tingkat pengeluaran belanja pendidikan.
Dengan kata lain, Negara-negara yang banyak mengeluarkan biaya bioaya pendidikan belum
tentu mencapai pendidikan yang lebiah baik.
Di beberapa Negara Asia (Bhutan, Cina, India, Nepal, dan Papua New Guinea) dua
pendidikan diperlukan karena tidak semua anak usia sekolah mendaftarkan diri di kelas I dan
banyak drop-out sebelum akhir masa studi. Di negara Asia lainnya yang memasuki sekolah
dasar sudah merupakan kelayakan umum, maka perhatian utama harus mengurangi terjadinya
tidak selesai sekolah. Singapura dan Malaysia adalah contoh Negara yang tidak memiliki
masalah dengan tingginya drop-out pendidikan dasar dan masalah tidak lengkapnya cakupan
pendidikan (Hongkong dan Taiwan pun mungkin termasuk dalam kelompok ini tetapi tidak ada
data yang terkumpuldalam studi ini).
84
Hasil analisis menegaskan bahwa dengan dinaikannya tingkat biaya pendidikan per
siswa pada pendidikan dasar dapat meningkatkan daya tarik sekolah dan memperkuat daya
tahan melalui peningkatan kualitas pendidikan. Namun pengarahan dana sekolah secara teknis,
bukanlah cara terbaik untuk mengupayakan peningkatan karena Negara-negara yang memiliki
tingkat intensitas sumber keuangan per siswa sama ternyata mencapai hasil yang sangat berbeda
dalam tingkat masukan dan penyelesayan studi; dan sebaliknya suatu Negara mencapai hasil
yang sama, tetapi konkisi sekolahnya berbeda. Dengan demikian muncul adanya kebijaksanaan
yang bersifat umum yaitu memperbesar sumber keuangan pendidika dasar. Persoaalan
berikutnya yang mungkin lebih penting adalah mencari cara-cara pemanpaatan sumber-sumber
keuangan yang paling efektif. Masalah ini bukan hanya cocok dengan Negara-negara yang saat
ini memberikan biaya yang sedikit pada pendidikan dasar melainkan juga di Negara-negara
yang tingkat pembiayaan pendidikannya sudah cukup tetapi masih memperoleh hasil yang tidah
layak.
Tidak ada kesimpulan khusus tentang pengalokasian dana pendidikan dasar yang dapat
dijelaskan di sini. Tidak ada angka masuk sekolah dan angka drop-out yang disebabkan oleh
faktor-faktor yang beragam di tiap Negara dan mungkin di wilayah Asia. oleh karena itu, tidak
mungkin satu pendekatan atau intervensi akan efektif dalam semua kondisi. Layaknya informasi
tentang pendidikan dari kebijakan alternatif yang baik mempersulit pembentukan mutu strategi
intervensi yang efektif. Apabila pemerintah bermakasud mengatasi lemahnya kondisi
pendidikan dasar, analisis berikutnya tentang topik bahasan ini harus diberi prioritas.
85
(biasanya pada pendidikan menengah dan tinggi) jumlahnya hanya sedikit, hal ini menunjukan
bahwa tingkat ekonomi mungkin tidak sepenuhnya dimanfaatkan penyebabnya barangkali
adalah penghematan biaya dan tingkat konsolidasi dalam mengelola sumber-sumber keuangan
untuk pelaksanaan pendidikan, tingkat efesinnya bervariasi di tiap-tiap Negara.
Hjasil positif dari dana swasta yang di naikan pada pendidikan tinggi, baik yang
dihasilakn dari pembayaran dana lembaga pendidikan negeri ataupun dari dukungan
pertumbuhan lembaga pendidikan swasta, sebagian meningkat dengan hasil positif itu
membantu meningkatkan efesiensi dalam lembaga-lembaga pendidikan negeri. Hasil itu
memungkinka pemerintah melakukan dua hal sekaligus yaitu memperkecil seluruh dana
operasional dan memperkecil kontribusi pemerintah dalam membiayai dana operasional.
Penghematan tersebut memungkinkan meningkatnya alokasi pembiayaan Negara terhadap
jenjang pendidikan dasar yang polanya terungkap melalui analisis kajian ini. Dan keuntungan
dana pendidikan jarak jauh telah dikenal baik dan sangat menarik, namun bidang studi melalui
pendidkan jarak jauh yang menawarkan alternative yang efiktif bagi pengajaran konvensional
86
kurang di kenal. Evaluasi pilihan kebijakan yang memberi harapan ini mungkin memerlukan
pengukuran tambahan, khususnya suatu perbandinagn tentang penampilan.
Dengan adanya hakekat studi yang luas ini, kesengajaan yang terhindarkan tetap dalam
dokumen mengenai kondisi dan kebijakan pendidikan. Penelitian tambahan mungkin tepat
dalam dua bidang:
Penelitian berikutnya tentang dua persoalan ini akan memperkecil analisis analog kebijakan.
Angka retensi dalam pendidikan dasar sangat bervariasi di tiap Negara dan rata-rata
regional sekitar 60%. Pola ini berarti ruang lingkup yang substansional untuk
peningkatan ada, khususnya untuk meningkatkan efisiensi dan pemerataan dalam system
pendidikan. Namun pengetahuan tentang intervensiyang secara potensional efektif
masih terbatas. Apa yang kita ketahui dari data yang ada ialah bahwa tingkat retensi
yang rendah terjadi karena kondisi sekolah yang sangat berbeda.
87
Tujuan dari regional ini adalah untuk menemukan faktor-faktor penting di sekolah dan
di luar sekolah, yang mempengaruhi peluang siswa berhenti sekolah sebelum waktunya.
Dengan mempertimbangkan rencana intervensi kebijakan, penting untuk membedakan antara
factor-faktor yang dapat dimanipulasi,dan factor-faktor yang harus diperlukan secara eksogenus.
Diantara factor-faktor yang dapat dimanipulasi, persoalan selanjutnya adalah untuk
mengidentifikasi intervensi biaya yang paling efektif di Negara-negara yang kondisinya
berbeda. Pebedaan ini penting karena intervensi yang di lakukan dengan baik di sekolah-
sekolah pedesaan, misalnya, mungkin tidak mengikuti pembiayaan yang efektif seperti di
sekolah-sekolah perkotaan; selain itu juga pebedaan kota-desa dan pebedaan regional yang juga
di perlukan untuk intervensi-intervensi yang di sesuaikan dengan kondisi local.
Pendidikan tinggi dapat dibantu melalui universitas dan sekolah tinggi yang sudah ada
(konvensional) baik milik swasta maupun pemerintah, pendidikan jarak jauh, dan universitas
terbuka. Negara-negara Asia telah melaksanakan strategi yang berbeda-beda dalam membantu
pendidikan tinggi. Pada umumnya, system pendidikan jarak jauh merupakan cara pelayanan
pendidikan yang penting, dengan keuntungan hasil yang berbeda dan aksesibilitas yang luas. Di
Negara-negara lain, strateginya melalui pendidikan swasta.
Bebagai jenis lembaga pendidikan tinggi mempunyai banyak perbedaan dalam cara,
terutama dalam pembiayaan dan kriteria masukan. Tedapat beberapa pengetahuan tentang
efisiensi internal relative dan karakteristik mahasiswanya, keterangan itu bersifat tentative dan
tidak lengkap. Lebih serius lagi adalah kekurangan pengetahuan mengenai kemampuan lulusan
perguruan tinggi dalam pasar kerja ( dalam melaksanakan pekerjaan). Hasil kemampuan pada
umumnya tergantung pada akademik siswa dan latar belakang social serta karakteristik lembaga
yang ditempati. Pemisahaan hubungan yang komplek antara karakteristik
kelembagaan,karakteristik mahasiswa, dan kemampuan pasar kerja akan (1) membantu
mengklasifikasikan peranan berbagai jenis lembaga, dan (2) memperkuat basis factual untuk
dialog kebijakan tentang pengembngn pendidikan tinggi.
Kondisi Negara ynag memungkinkan untuk studi ini meliputi Cina, Korea, Myanmar,
Sri Langka, Thailand, serta India dan Indonesia.
88
Table 2.1
Tahun 1980-an
Tabel 2.2
Tahun 1985
89
Table 2.3
Tahun 1985
Persentase
wilayah Pengeluaran Negara Jumlah Negara
Untuk Pendidikan Yang melapor
TerhadapGNP
Asia* 3.1 16
Afrika 4.1 32
Eropa. Timur Tengah dan Afrika Utara 5.3 18
Amerika Latin 3.5 21
Negara Berkembang 4.0 91
Negara Maju 5.7 21
*Angka sedikit berbeda dari data pada table 1.1 dan 2.8 karena berbeda sumber data
90
Table 2.4
Tahun 1985
Komposisi
Wilayah Peserta Didik Swasta Jumlah Negara yang
Melapor
Dasar Menengah Tinggi Dasar Menengah Tinggi
Asia* 3.9 26.0 28.6 10 9 13
Afrika 15.4 26.4 … 2 31 ..
Eropa. Timur Tengah 8.8 8.1 3.3 15 17 15
dan Afrika Utara
Amerika Latin 17.7 29.1 3.6 19 19 7
Negara Berkembang 13.1 21.8 17.0 77 77 31
Negara Maju 17.3 19.3 .. 20 20 …
*Rata-rata regional untuk pendidikan tinggi berada dari appendik
Table B1.4 karena pada table ini Laos PDR tidak di sertakan. Lihat juga table 2.9
Sumber : data di ambil dari Unesko, untuk Asia dilengkapi dari sumber yang dikemukakan
Pada appendik table B1.4: Eropa, Timur Tengah, dan Afrika Utara (pendidikan Tinggi)
Oleh Za’roir (1988); Amerika Latin (pendidikan tinggi) oleh Winkler (1988b)
91
Tabel 2.5
Tahun 1970-1985
data rata-rata lamanya bersekolah berasal dari Horn dan Arriagada (1986)
*) menunjukan data untuk Indonesia di-up date dengan menggunakan data tahun
1992/93
92
Tabel 2.6
Tahun 1970-85
*) menunjukan data untuk Indonesia di-up date dengan data tahun 1973 dan 1992/93
93
Tabel 2.7
Data Terakhir
Negara 1970 1975 1980 1985 Pengeluaran Tahun
Bangladesh … 11.8 8.5 10.3 11.3 1988
Bhutan … … … 7.3 8.6 1987
Cina 2.9 4.2 6.1 7.8 … …
india … 14.5 14.5 13.7 13.8 1988
Indonesia *) 5.5 5.4 5.0 5.4 5.8 1992/1993
Korea … 13.1 14.6 16.6 16.7 1987
Malaysia … 19.4 13.2 16.0 18.5 1987
Myanmar 11.3 14.1 10.1 10.9 … …
Nepal … 12.0 9.5 9.6 10.4 1988
Papua New Guinea … … … 17.9 15.4 1988
Philipina … … 11.1 11.5 … …
Sri Langka 14.4 11.0 7.8 8.1 7.3 1988
Thailand … 20.1 19.8 19.4 19.1 1986
Perkembangan Rata-rata (a) … 13.4 11.6 12.5 … …
(a) Perkembangan rata-rata menggambarkan tingkat rata-rata Menggambarkan tingkat rata-
rata dari 9negara yang untuk yahun 1970, 1975, 1980, dan 1985 datanya tersedia.
*) menunjukan data Indonesia berturut-turut di-up date dengan data tahun 1969, 1974,
1979, dan 1984.
94
Pengeluaran Negara untuk Biaya Pendidikan (%GNP) di beberapa Negara Asia
Tahun 1970-1980
Tabel 2.8
Data Terakhir
Negara 1970 1975 1980 1985 Pengeluaran Tahun
Bangladesh … 1.1 1.3 1.5 1.9 1988
Bhutan … … … 3.8 4.0 1986
Cina 1.5 2.3 3.2 3.3 3.2 1987
india … 2.7 2.7 3.0 3.3 1988
Indonesia *) … … … 3.7 2.4 1992/1993
Korea 2.9 2.2 3.1 3.4 3.1 1987
Malaysia … 6.1 5.4 6.0 7.3 1987
Myanmar 11.3 1.7 1.3 1.8 … …
Nepal … 1.4 1.4 1.8 2.1 1987
Papua New Guinea … … … 6.9 … …
Philipina … … 1.7 1.8 2.8 1988
Sri Langka 4.2 2.7 2.8 2.8 2.2 1988
Thailand 3.5 3.9 3.7 3.6 … …
Rata-rata (a) … 2.7 2.7 3.0 … …
(a) Rata-rata menggambarkan rata-rata pengeluaran dari 9 negara di Asia yang data untuk
tahun 1975, 1980, 1985 tersedia. Rata-rata untuk 13 negara pada tahun 1985 adalah
3.3%
*) menunjukan dat untuk Indonesia di-up date dengan data tahun 1992/1993
95
Tabel 2.9
Tahun 1970-1985
Dengan Bangladesh
dan India … … … 3.9 … … … 26.0 … … 28.6
Tanpa Bangladesh 23.2
dan India … … … 3.2 … … … 18.5 … …
(a) Data untuk pendidikan dasar dan menengah or primary and secondary education refer
to the shere in aided and unaided private schools as a percentage of all schools; the
number for higher sducation refers to the shere of privatclymanaged institutions.
(b) No overall trend average is calculated here due to the small number of countries for
wich the relevan data are available. Recall that private education in Bangladesh India,
and Indonesia are subsidized by the government, the subsidies being particulary large
in the first two countries.
*) menunjukan data tahun 1985 untuk Indonesia di-up date dengan data tahun 1992/93
96
Tabel 2.10
Tahun 1970-200
*) menunjukan data tahun 1985 untuk Indonesia di-up date dengan data 1992/93
97
Tabel 2.11
Jumlah Penduduk dan Angka Pertumbuhan Ekonomi Rill (persen per tahun) di
sumber : Dihitung dari data jumlah penduduk dan GNP yang ada di database
BESD,(UNESCOED dan SOCIND); proyeksi tingkat pertumbuhan ekonomi dari database
ADREX
98
Tabel 2.12
I II
Rasio ketergantungan -11.6(a) -13.85
(4.55) (2.01)
PDRB 1.16(a) 1.86
(4.10) (2.49)
Sumbangan Sektor Pendidikan pada PDB 0.23(b) -0.17
(1.86) (0.37)
Rata-rata sumbangan sector swasta serhadap jumlah murid -0.01 …
(0.30)
Asia 1.47(a) 0.34
(2.21) (0.37)
Eropa, Timur Tengah, dan Afrika Utara 0.42 …
(0.57)
Amerika Latin 1.83(a) …
(2.97)
Negara-negara berkembang 1.78(A) …
(1.76)
Intercept 11.47(b) 15.05(b)
7.52 (3.65)
N 82 15
Catatan: Definisi Variabel mengikuti rata-rata pencapaian yang dihitung dengan proporsi
bobot murid yang masuk system pendidikan di tingkat SD, SLTP, dan SLTA berdasarkan
lamanya bersekolah pada setiap tingkat; rasio ketergantungan adalah rasio penduduk usia 5-
14 terhadap penduduk usia 15-64 PDRB adalah log regresi dari residu PDB perkapita
ditambah rasio ketergantungan; Sumbangan sector pendidikan terhadap PDB adalah
pengeluaran masyarakat pada pendidikan tahun 1985 yang dinyatakan dalam persen dari
PDB; rata-rata sumbangan sector swasta terhadap murid, adalah rata-rata yang mudah
khususnya Diknas, Dikmen dan Dikti. Sisanya adalah regional dummy variable yang
diambil nilai satu jika Negara tersebut masuk dalam pilihan, dan nilai kosong untuk lainnya.
Wilayah yang diabaikan dalam regresi Iadalah Afrika dan regresi II adalah Amerika Latin.
99
(a) Tingkat signifikasi statistic yang digunakan adalah 5 persen
(b) Tingkat signifikasi statistic yang digunakan adalah 10 persen
Sumber : Didasarkan atas data rasio partisipasi pendidikan dari Bank Dunia, database,
BESD, rasio ketergantungan, PDB; appendix tabel B1.1 untuk siklus lamanya waktu
bersekolah; dan sumber dalam appendix tabel B1.4 untuk jumlah murid pada sekolah
swasta.
100
Tabel 3.1
Tahun 1985
Rata-rata Regional 3.0 48.0 31.0 19.0 3.0 1.6 1.0 0.7
a. Figures may not add up to 100 percent because of rounding errors.see also footnote 2 in
text
b. Figures includes expenditure on universitas, colleges, polytechnics, and tehnical
institutes
c. For India, the data on the distribusi of spending refer to 1980
*) menunjukan data tahun 1985 untuk Indonesia di-up date dengan data tahun 1992/93 dan
datanya merupakan data pengeluaran Depdikbud saja
101
Tabel 3.2
Biaya Pelaksanaan per Unit dari Pendidikan Negeri di Negara-negara Asia Terpilih
Rata-rata regional
102
Tabel 3.3
103
Tabel 3.4
Negara indeks
Bangladesh 1.39
Cina 1.08
india 1.03
Indonesia 1.05
Korea 1.14
Malaysia 1.29
Nepal 1.11
Papua New Guinea 4.50
Philipina 0.46
Sri Langka 0.56
Thailand 0.89
Sumber : data menyatakan rata-rata dari tiga kolom
104
Tabel 3.5
Gaji Guru per TAhun dan Rasio Guru Siswa pad Sekolah Dasar dan Menengah di
Beberapa Negara, Tahun 1980
Teacher remuneration as
Negara Ratio to per capita GNP Murid/Guru
Pend. Pend. Pend.
Dasar Menengah Pend. Dasar Menengah
Bangladesh 2.2 ….. 47 26.2
Bhutan ….. ….. 38.5 10.1
Cina 1.6 2.8 24.9 17.2
Hong Khong ….. ….. 27.3 25.1
india 2.9 3.1 57.6 20.2
Indonesia *) 2.5 3.2 22.8 13.7
Laos PDR 5 5.5 38.3 34.3
korea ….. ….. 24.9 11.2
Malaysia 2.4 3.1 24.1 22.1
Myanmar ….. ….. 46.4 28.5
Nepal 2.8 5 35.5 27.5
Papua New Guinea 6.8 10 31 25.4
Philipina 1.6 1.7 30.9 32.2
Singapura ….. ….. 27.1 20.4
Sri Langka 1.6 2.1 31.7 26.1
Thailand 2.5 2.9 19.3 19.6
Rata-rata regional
Dengan Papua New Guinea 2.5 3.3 ….. …..
Tanpa Papua New Guinea 2.9 3.9 33.1 22.6
a. Teacher remuneration includes basic pay and alloanccs
b. Data on remuncration are cstimates based on unit costs and pupil teacher ratio
*) menunjukan data tahun 1980 untuk Indonesia di-update dengan data tahun 1992/93
105
Tabel 3.6
Rata-rata 13.9 … …
a. Refers only to Andhra Pradesh Open University
b. Data includes pupils in correspondence courses
c. Data for Myanmar excluded in calculating the average for the reason given in
footnote a above
106
Tabel 3.7
Tahun 1980
a. Data in this column differ slightly from those in the last column of table 2.9 since
operseas enrollments are includes in yhe denominator in this table, but nit in table 2.9.
the discrepancy in wide only for Malaysia because of the large number of Malaysian
student abroad
b. Data include enrollment un privately managed institution
107
Tabel 3.8
Pendidikan Tinggi
Negara Pend. Dasar Pend. Menengah Biasa Terbuka
Bangladesh 7.4 4 0.1
Cina 4.8 3.2 0.3
india 0 11.6 4.5 59.0
Indonesia 7.1 27.4 18.9
Korea 0 34.2 45.9 32.0
Malaysia 3.7 4 5.8
Nepal 0 40.7 10.4
Papua New Guinea 8.7 39.8 0
Philipina 0 9.3 15.3
Sri Langka 3.1 3.1 3.4 57.7
Thailand 0.1 18.3 5 27.5
Rata-rata regional 3.2 17.8 10
a. Hanya meliputi Universitas Terbuka Andhara Pradesh
108
Tabel 3.9
Sumber : authors’ estimates based on table 3.8 and on appendix tables B1.6 ang B4.3 and
on data, discussions, and estimations in King (1988) for Bangladesh; ACU
(1988),for India;world Bank Indonesia (1988b); korea (1987); Malaysia (1988);
Timilsina (1988), for Nepal: world Bank-Papua New Guinea (1987); and
mingat and tan (1988)and James (1988), for Philippines.
109
Tabel 4.1
(persen)
Sosial Swasta
Tipe Wilayah/Negara Dikdas Dikmen Dikti Dikdas Dikmen Dikti
Afrika 26 17 13 45 26 32
Asia 27 15 13 31 15 18
Latin Amerika 26 18 16 32 23 23
Negara Berkembang 27 16 13 29 19 24
Negara Menengah 16 14 10 17 13 13
Negara Maju … 10 9 … 14 12
Catatan : tabel menggambarkan data tentang 16 negara di Afrika,10 negara di Asia, dan 10
negara di Amerika Latin. Tiga puluh Negara berkembang, 7 negara sedang
membangun dan 15 negara maju. Data diambil dari tahun 1960-1980.
110
Tabel 4.2
Rates of retrun to education (%), selected Asia countries, Selected Years, 1987-85
Sosial Swasta
Pend. Pend. Pend. Pend. Pend. Pend.
Negara Tahun Dasar Menenga Tinggi Dasar Menengah Tinggi
h
India 1978 29.3 13.7 10.8 33.4 19.8 13.2
Indinesia 1982 18.0 15.0 10.0 … … …
(14.5) … … … … …
Korea 1982 … 10.9 13.0 … … …
Malaysia 1983 … … 7.6 … ... 12.2
Papua New Guinea 1982 19.9 12.0 2.8 29.4 14.7 8.1
Philipina 1985 11.9 12.9 13.3 18.2 13.8 14.0
(94.4) (9.3) (11.6) (7.2) (102) (12.5)
Thailand 1975 12 24 12.8 … … …
1985 … … 13.3 … … 17.4
Catatan : tanda kurunguntuk menyatakan angka of retrun education yang tidak komplit.
Sumber : Psacharopoulus (1985) for India; USAID (1986) for Indonesia KEDI (1983) for korea;
Mehmet and Yip (1986) for Malaysia; Gannicot (1987) for Papua New Guinea; Tan
and Paquco (1989) for Philipina, abd Thailand (1987a) and suppachai (1976)for
Thailand.
111
Tabel 4.3
(persen)
Universitas (b)
Ekonomi 13
Hukum 12
Ilmu-ilmu Sosial 11
Kesehatan/Obat-obatan 12
Engineering 12
Sains, matematika, fisika 8
Pertanian 8
(a) Untuk program sekolah menengah meliputi Negara-negara, Columbia,
Siprus, Prancis, Indonesia, Liberia, Taiwan, and Tanzania. Dalam
psacharopoulos 1985 data tak disajikan
(b) Untuk program universitas meliputi Belgia, Brazil, Canada, Columbia,
Denmark, Prancis, Inggris, Yunani, India, Iran, Malaysia, Norwegia, the
Philipina, Swedia. Data
112
Tabel 4.4
Sumber : Data on literacy raetes are from UNICEF (1987); data on primary enrollment ratios
in 1975 and length of primary cycle in 1975 are from unesco (1987);data on per
capita GNP in 1985 are from World Bank (1986); and data on precent Surviving to
and of primary cycle in 1975 are from World Bank (1986).
113
Tabel 4.5
Pola Keberlangsungan (daya tinggal) Peserta Didik pada Pendidikan Dasar dan
(a) Some enrollment in teritiary education in fact correspond to the last two years of the four-
years upper secondary cycle. For this reason data from school show a much smaller
number reching the end of upper secondary. The data from Unesco have Been adjusted
Accordingly.
*) menunjukan data untuk di Indonesia di-update dengan data APM tahun 1992/93
114
Tabel 4.6
Interseksi Intra dan Antar Masa Studi (jenjang) pada Pendidikan Dasar dan
115
Tabel 4.7
116
Tabel 4.8
(persen)
Sekolah National
Ukuran Individu Sekolah Nasional Capita area Other regions
Kurang dari sekolah 0.2 0.0 4.9
100-200 3.6 1.1 26.8
200-300 9.8 3.3 27.2
300-500 16.1 8.8 24.0
500-1000 32.7 13.2 12.4
1000-2500 23.9 33.0 3.1
2500-5000 11.4 34.1 1.2
>5000 2.4 6.7 0.4
Semua Sekolah 100 100 100
Total peserta didik (ribuan) 716 196 946
117
Tabel 4.9
118
Tabel 4.10
Tahun 1987
119