Anda di halaman 1dari 39

Meningkatnya perkapita GNP (melebihi 800 dolar AS pada tahun 1985).

Tingkat hubungan berada


di luar tingkat survital yang tinggi (bagab 4.1)terdapat variasi yang penting tentang kecenderungan
rata-rata. Negara-negara yang memiliki perkapita GNP yang sama umumnya mencapai tingkat cohort
survival yang besar dengan angka survival sebesar 85% di Sri langka disbanding 40% Laos, dan 68%
di Cina disbanding 37% di India. Perbandingan ini menunjukan bahwa tingkat kemakmuran negara
bukan satu-satunya faktor yang bertanggung jawab atas rendahnya tingkat retensi, akan tetapi
mungkin disebabkan oleh kebijakan dalam pendidikan dasar yang berbeda-beda.

Rendahnya tingkat retensi menjadi perhatian karena siswa dropout munkin kurang
memperoleh pendidikan yang berkesinambungan. Implikasinya ialah rendahnya tingkat
pendidikan orang dewasa di masa depan, dan adanya dampak pertumbuhan ekonomi yang
berbeda-beda. Analisis regresi menunjukan hubungan statistik yang signifikan dan negatif
antara pendidikan orang dewasa pada waktu tertentu dan tingkat retensi pada tingkat pendidikan
dasar 10 sampai 15 tahun lebih awal. Hubungan ini cukup baik : peningkatan tingkat cohort
survival sebesar 25% (besarnya kemajuan negara di asia mungkin perlu di perkirakan)
menghasilkan peningkatan tingkat melek hurup sebesar 7,5% di masa depan. Dengan demikian,
apabila tingkat melek hurup yang di harapkan dapat tercapai maka hal ini akan memperkuat
kohort pendidikan dasar yang merupakan komponen kebijakan umum yang sangat di perlukan.

Rendahnya tingkat survival yang disebabkan dampak selektifitas sosial yang berbeda
juga perlu mendapat perhatian. Dropout semakin sering terjadi terhadap siswa dari kelompok
yang kurang beruntung, sebagai contoh data menunujukan bahwa kontribusi peserta didik
wanita pada jenjang sekolah dasar dan menengah secara negatif berhubungan dengan tingkat
survival pada tingkat pendidikan dasar (bagian 5.11). titik pola itu menunjukan kemampuan
sistem pendidikan untuk mempertahankan siswa cukup lemah, korbannya akan tampak lebih
besar lagi bila peserta didik wanita dibandingkan dengan kaum pria. Apabila tingkat survival di
bawah 50% maka kedua penyimpingan menurut jenis kelamin dalam pertisipasi pendidikan
akan kelihatan sangat jelas. Hal ini di sesuaikan dengan pertimbangan kebijakan untuk
meningkatkan partisipasi kaum wanita dalam pendidikan dasar.

Kapan seharusnya intervensi untuk meningkatkan tingkat survival pada kaum wanita
ditargetkan ? membuat kebijakan untuk meningkatkan tingkat retensi kaum wanita dapat
dilakukan apabila adanya penyimpangan terhadap kaum wanita. Tetapi situasi ini pasti terjadi
apabila seluruh tingkat retensi sistem pendidikan sangat rendah, katakan kurang dari 50%. Pada
jenjang ini efesiensi internal begitu lemah sehingga efesiensi memerlukan interfensi untuk
meningkatkan seluruh tingkat servival secara tidak langsung kaum wanita akan mendapat
keuntungan dari intervensi ini, caranya adalah dengan meningkatkan angka partisipasi kaum

81
wanita yang untuk sementara ini tingkat retensinya meningkat hampir di atas 50%. Apabila
tingkat survival mencapai 75 atau 80%, maka peningkatkan efesiensi internal tetap merupakan
tujuan kebijakan penting dalam pendidikan dasar. Tingginya tingkat retensi ini akibat target
intervinsi terhadap kaum wanita pada umumnya, hasilnya tidak dapat diharapkan, karena
perwakilan kaum wanita pada sistem pendidikan mendekati 50%

Karena intervensi menuingkatka tingkat cohort survival, masalahnya adalah apakah


dengan uang sedikit akan mencapai hasil yang lebih baik? Data di Asia menunujukan bahwa
negara-negara yang memiliki pengeluaran pendidikan per siswa lebih tinggi akan mencapai
tingkat cohort survival yang lebih baik (bagan 4.2). tetapi banyak variasi tentang pola rata-rata
yang menyatakan bahwa,walaupun besarnya keuangan per siswa pada umumnya untuk
meningkatkan daya tahan (retentiveness) system, namun tidak menjamin dapat menahan laju
angka drop –out yang tinggi.

Meskipun banyak studi yang menjelaskan tentang pembelanjaan sumber-sumber


keuangan dan bagaimana suatu sistem diorganisir agar meningkatkan tingkat retensi, akan tetapi
jumlah data tidak memberikan dukungan yang maksimal. Oleh karena itu, perlu dilakukuan
pengkajian khusus. Beberapa kesimpulan barangkali dapat tergambar dari rasio guru/siswa,
tingkat survival menunjukan keterkaitan negatif yang lemah dengan rasio guru/siswa (bagan
4.3). Naiknya biaya persiswa dalam bebtuk rasio guru/siswa yang rendah mungkin cocok di
negara_negara seperti Bangladesh dan India, dimana angka retensinya sangat rendah dan rasio
guru/siswa sangat besar. Namun di negara-negara dimana rata-rata rasio guru/siswa tidak terlalu
tinggi, misalnya tidak lebih dari 40% menunjukan bahwa strategi itu bukan yang terbaik.
Kesimpulan ini memerlukan perbaikan lebih lanjut terutama pada kondisi Negara tertentu,
khususnya karena data tidak menyatakan keadaan yang sebenarnya pada setiap tempat.

C. tantangan kebijakan pendidikan di Asia

Prospek perkembangan pndidikan di negara-negara Asia terlihat cerah. Hambatan


penduduk pada sector pendidikan menurut rasio ketergantungan (rasio penduduk usia sekolah
dengan penduduk yang bekerja) di perkirakan semakin menurun dari rata-rata 0,42 pada tahun
1985 menjadi 0,36 menjelang akhir abad 20. Namun demikian rasio itu tetap saja tinggi di
Negara Bangladesh, Laos dan Papua New Guinea dan bahkan semakin meningkat di Bhutan
dan Nepal.

82
Perekonomian Asia diperkirakan meningkat dari pertengahan menjadi tingkat tinggi,
dengan rata-rata 5% per tahun anatara tahun 1999 dan tahun 2000. sementara jumlah penduduk
usia saekolah diperkirakan meningkat lamban dengan rata-rata 1,3% per tahun. Dengan
demikian, apabila pengeluaran belanja pemerintah di bidang pendidikan menerut kontribusi
GNP tetep tidak berubah, maka sumber-sumber keuangan negara akan tersedia tidak hanya
untuk memepertahankan rasio peserta didik, tetapi juga untuk memperluas dan meningkatkan
pelayanan pendidikan, namun prospeknya agak suram di negara-negara seperti Nepal apalagi di
Papua New Guinean (di Negara-negara ini kesenjangan antara tingkat ekonomi dan
pertumbuhsn penduduk relative sedikit).

Sumber keuangan tanbahan yang betul-betul terwujud untuk memperluas dan


meningkatkan pendidikan tergantung pada perubahan biaya pendidikan di masa depan.
Kesulitan dalam mempekirakan di sebabkan bukti antar bidang menunjukan tidak ada
keterkaitan antara biaya pendidikan dengan pekapita GNP Negara. Ekstrimnya ada
kemungkinan bahwa biaya tetap tidak berubah pada saat perekonomian meningkat, atau biaya
bisa meningkat pad saat GNP meningkat. Apabila biaya pendidikan tetap tidak berubah maka
sumber-sumber keuangan yang dapat di andalkan untuk perluasan pendidikan akan tersedia
melampaui sumber yang diperlukan untuk mempertahankan tingkat rasio enrolmen saat ini,
namun apabila biaya pendidikan meningkat/mendekati peningkatan GNP,tidak akan mtejadi
perluasan pendidikan karena semua simber-sumber keuangan akan terserap oleh kenaikan biaya.

Pilihan kebijakan yang tepat pada sektor pendidikan sangat penting bagi negara-negara
Asia yang penduduk dan kondisi ekonomi makronya sulit (Bangladesh, Bhutan, Laos, Nepal,
dan Papua New Guinea). Pilihan kebijakan yang salah mungkin akan memburuk
ketidakmerataan saat ini dan bisa membalikan pencapaian di masa lalu. Misalnya, kebijakan
yang tetap akan menaikan biaya pendidikan yang tinggi, akan mengurangi jumlah sumber
keuangan efektif yang tersedia untuk jenjang pendidikan, di negara-negara ini prospeknya
memprihatinkan terutama karena pendidikan dasarnya masih menderita yang di sebabkan oleh
kurangnya pemberitaan yang menyeluruh (incomplete coverage), tingginya tingkat drop-out,
dan tidak cukupnyasumber-sumber keuangan.

Di Negara-negara Asia dimana hambatan pendidikan dari luar (eksogenus) mungkin


tidak berarti,tantangannya adalah menghindari perasaan puas diri, sulitnya konsolidasi untuk
mempertahankan kemajuan di masa lalu. Sektor pendidikan di negara-negara ini masih
menunjukan ketidak merataan dan ketidakefisienan yang menyolok dalam penggunaan dan
distibusi sumber-sumber keuangan.

83
Kebijakan pendidikan harus menjawab kondisikhusus dan realitas politik negara.tiga
pilihan perlu segera mendapat perhatian. Pilihan kebijakan (1), semakin di tingkatkan
pengeluaran biaya pendidikan di negara-negara tertentu karaena pilihan kebijakan ini hanya
terbatas sebagai pengungkit kebijakan maka harus diterapkan secara selektif dan seksama. Salah
satu keterbatasan adalah persaingan yang tajam antar sektoral dibanding sumber keuangan
(faktor ini mungkin dapat menjelaskan kecenderungan yang relatif stabil dalam pengeluaran
anggaran belanja pendidikan di negara-negara Asia menurut alokasi GNP). Keterbatasan kedua
mungkn lebih penting yaitu tentang analisis yang berdasarkan data antarsektoral yang ada pada
suatu negara yang menunjukan bahwa variasi yang cukup besar dalam hasil-hasil pendidikan,
hnya menimbulkan sedikit perbedaan dalam jumlah tingkat pengeluaran belanja pendidikan.
Dengan kata lain, Negara-negara yang banyak mengeluarkan biaya bioaya pendidikan belum
tentu mencapai pendidikan yang lebiah baik.

Pelayanan pendidikan dilakukan menurut aturan organisasi yang berbeda-beda sesuai


dengan perbedaan dalam efesiensi pendidikan. Di Negara-negara Asia, untuk peningkatan
kemajuan pada umumnya terletak pada pemilihan kebijakan di sektor pendidikan. Di Negara
seperti Bangladesh, Nepal, dan Sri Langka (hingga Philipina), tingkat pengeluaran biaya
pendididkan jauh di bawah rata-rata Asia, maka upaya untuk meningkatkan biaya pendidikan
lebih berat, lebih dari itu kebijakan di bidangpendidikan tetap penting.

Pilihan kebijakan (2), peningkatan pendidikan dasar memperluas cakupan pendidikan


dan memperkecil angka drop-out pendidikan dasar, kebijakan yang menghasilkan keuntungan
eksternal yang cukup berarti yaitu menghasilkan orang dewasa yang terdidik yang dapat
memeberikan implikasi pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan pemerataan pendidikan. Di
Negara miskin kaum wanita merupakan kelompok yang tidak tersentuh pendidikan dan tingkat
retensinya rendah.

Di beberapa Negara Asia (Bhutan, Cina, India, Nepal, dan Papua New Guinea) dua
pendidikan diperlukan karena tidak semua anak usia sekolah mendaftarkan diri di kelas I dan
banyak drop-out sebelum akhir masa studi. Di negara Asia lainnya yang memasuki sekolah
dasar sudah merupakan kelayakan umum, maka perhatian utama harus mengurangi terjadinya
tidak selesai sekolah. Singapura dan Malaysia adalah contoh Negara yang tidak memiliki
masalah dengan tingginya drop-out pendidikan dasar dan masalah tidak lengkapnya cakupan
pendidikan (Hongkong dan Taiwan pun mungkin termasuk dalam kelompok ini tetapi tidak ada
data yang terkumpuldalam studi ini).

84
Hasil analisis menegaskan bahwa dengan dinaikannya tingkat biaya pendidikan per
siswa pada pendidikan dasar dapat meningkatkan daya tarik sekolah dan memperkuat daya
tahan melalui peningkatan kualitas pendidikan. Namun pengarahan dana sekolah secara teknis,
bukanlah cara terbaik untuk mengupayakan peningkatan karena Negara-negara yang memiliki
tingkat intensitas sumber keuangan per siswa sama ternyata mencapai hasil yang sangat berbeda
dalam tingkat masukan dan penyelesayan studi; dan sebaliknya suatu Negara mencapai hasil
yang sama, tetapi konkisi sekolahnya berbeda. Dengan demikian muncul adanya kebijaksanaan
yang bersifat umum yaitu memperbesar sumber keuangan pendidika dasar. Persoaalan
berikutnya yang mungkin lebih penting adalah mencari cara-cara pemanpaatan sumber-sumber
keuangan yang paling efektif. Masalah ini bukan hanya cocok dengan Negara-negara yang saat
ini memberikan biaya yang sedikit pada pendidikan dasar melainkan juga di Negara-negara
yang tingkat pembiayaan pendidikannya sudah cukup tetapi masih memperoleh hasil yang tidah
layak.

Tidak ada kesimpulan khusus tentang pengalokasian dana pendidikan dasar yang dapat
dijelaskan di sini. Tidak ada angka masuk sekolah dan angka drop-out yang disebabkan oleh
faktor-faktor yang beragam di tiap Negara dan mungkin di wilayah Asia. oleh karena itu, tidak
mungkin satu pendekatan atau intervensi akan efektif dalam semua kondisi. Layaknya informasi
tentang pendidikan dari kebijakan alternatif yang baik mempersulit pembentukan mutu strategi
intervensi yang efektif. Apabila pemerintah bermakasud mengatasi lemahnya kondisi
pendidikan dasar, analisis berikutnya tentang topik bahasan ini harus diberi prioritas.

Kebijakan (3); membebaskan sumber keuangan pendidikan dasar. Orientasi kebijakaan


umum dalam pendidikan dasar memerlukan perubahan yang selaras pada subsektor lain.
Dengan semakin meningkatnya efisiensi, khususnya pada pendidikan menengah dan tinggi
dimana biaya oprasionalnya pada umumnya lebih besar dibandingkan pendidikan dasar,hal ini
akan menyebabkan meningkatnya jumlah sumber keuangan yang ada secara efektif untuk
perluasan pendidikan. Pilihan kebijakan untuk meningkatan efisiensi meliputi penggabungan
input-input sekolah; penyusunan pola mengajar meliputi jenjang ( tingkat ); pengalokasian tugas
mengajar dan jadwal kelas; penggunaan manajemen responsive, gaya mengajar, dan
penggunaan instrument evaluasi; aturan administratif dan pengaturan dengan mengabaikan
kualifikasi guru, gaji guru, dan kriteria kenaikan pangkat guru.

Kekurangan data karena banyaknya pilihan ini,sebagian disebabkan adanya perbedaan


hasil pendidikan pada kondisi Negara yang berbeda-beda. Adanya keterangan yang tersedia
hanyalah organisasi fisik bagi pelayanan pendidikan seperti tercermin dalam pendistribusian
ukuran kelembagaan. Di beberapa Negara, pada umumnya pendirian lembaga pendidikan baru

85
(biasanya pada pendidikan menengah dan tinggi) jumlahnya hanya sedikit, hal ini menunjukan
bahwa tingkat ekonomi mungkin tidak sepenuhnya dimanfaatkan penyebabnya barangkali
adalah penghematan biaya dan tingkat konsolidasi dalam mengelola sumber-sumber keuangan
untuk pelaksanaan pendidikan, tingkat efesinnya bervariasi di tiap-tiap Negara.

Secara keseluruhan, pengurangan penyimpangan terhadap pendidikan tinggi dalam


kebijakan umum, mungkin merupakan perubahan penting yang diperlukan. Di semua Negara,
pengeluaran dana pendidikan pemerintah cenderung menguntungkan kelompk Negara maju
secara tidak seimbang. Yang paling banyak menikmati, khususnya merka-mereka yang
termasuk dalam kelompok orang-orang yang paling terdidik. Namun penyimpangannya tidak
terlalu besar di beberapa Negara di bandingkan di Negara lain, karena adanya perbedaan dalam
kebijakan. Sebagai contoh, Negara-negara yang menunjukan penyimpangan yang sedang saja
terhadap pendidikan tinggi adalah Negara yang melakukanpengaturan administrative dalam
mengelola dana pendidikan tinggi, tetapi mencari cara untuk mengurangi dana pendidikan
tingggi negeri.

Tiga strategi telah digunakan dengan berhasil untuk mengurangi penyimpangan


pengeluaran biaya pendidikan tinggi; peningkatan dana swasta pada lembaga pendidikan tinggi
Negara; peningkatan pembiayaan sendiri lembaga-lembaga pendidikan tinggi swasta; dan
system pendidikan jarak jauh yang murah. Beberapa Negara mengandalkan pada tiga strategi
(Korea), sementara yang lain memilih satu atau dua dari tiga strategi (Pilipina dengan
pendidikan swasta dan Thailand dengan universitas terbuka dan lembga pendidikan swasta),
walaupun dalam pelaksanaan dari ketiga strategi tersebut berbeda-beda di setiap Negara.
Pengalaman selama ini menunjukan bahwa pemilihan strategi itu mengarah pada hasil yang
lebih sreagam dibandingkan dengan system pendidikan dimana pendidikan tinggi terdiri dari
lembaga-lembaga konvensional yang dijalankan dan dibiayai pemerintah.

Hjasil positif dari dana swasta yang di naikan pada pendidikan tinggi, baik yang
dihasilakn dari pembayaran dana lembaga pendidikan negeri ataupun dari dukungan
pertumbuhan lembaga pendidikan swasta, sebagian meningkat dengan hasil positif itu
membantu meningkatkan efesiensi dalam lembaga-lembaga pendidikan negeri. Hasil itu
memungkinka pemerintah melakukan dua hal sekaligus yaitu memperkecil seluruh dana
operasional dan memperkecil kontribusi pemerintah dalam membiayai dana operasional.
Penghematan tersebut memungkinkan meningkatnya alokasi pembiayaan Negara terhadap
jenjang pendidikan dasar yang polanya terungkap melalui analisis kajian ini. Dan keuntungan
dana pendidikan jarak jauh telah dikenal baik dan sangat menarik, namun bidang studi melalui
pendidkan jarak jauh yang menawarkan alternative yang efiktif bagi pengajaran konvensional

86
kurang di kenal. Evaluasi pilihan kebijakan yang memberi harapan ini mungkin memerlukan
pengukuran tambahan, khususnya suatu perbandinagn tentang penampilan.

Keseluruhan temuan menunjukan bahwa terdapat kesempatan untuk melakukan


intervensi kebijakan untuk meningkatkan hasil pendidikan yang merata dan efisien walaupun
kondisi eksogen akan terus meningkat. Pebedaan di Asia yang terdapat pada strategi yang
dipilih oleh pemerintah dan pada hasil pendidikan, memberikan dasar untuk mengiddentifikasi
pilihan kebijakan yang potensial. Pengurangan kemiskinan melalui pendidikan merupakan
tujuan kebijakan, analisis ini mengemukakan suatu paket kebijakan efektif akan semakin
memfokuskan pada pendidikan dasar dan mengurangi keuangan pendidikan tinggi negeri.
Rancangan paket kebijakan yang tepat ini harus menjawab membaiknya kondisi Negara, namun
arahnya mungkin sesuai dengan di semua keadaan.

D. prioritas Pendidikan di Masa Depan

Dengan adanya hakekat studi yang luas ini, kesengajaan yang terhindarkan tetap dalam
dokumen mengenai kondisi dan kebijakan pendidikan. Penelitian tambahan mungkin tepat
dalam dua bidang:

1. kemampuan system pendidikan untuk mempertahankan siswa yang umumnya masih


lemah, khususnya pada jenjang pendidikan dasar, dan

2. system pelaksanaan pendidikan tinggi yang dapat memenuhi kebutuhan yanpa


mengalihkan suber-sumber pendidikan keluar dari pendidikan dasar dan tetap
memperhatikan pola pemerataan dan efisiensi dalam investasi di dalam sub sector
pendidikan

Penelitian berikutnya tentang dua persoalan ini akan memperkecil analisis analog kebijakan.

Studi 1: Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat retensi dalam pendidikan dasar

Angka retensi dalam pendidikan dasar sangat bervariasi di tiap Negara dan rata-rata
regional sekitar 60%. Pola ini berarti ruang lingkup yang substansional untuk
peningkatan ada, khususnya untuk meningkatkan efisiensi dan pemerataan dalam system
pendidikan. Namun pengetahuan tentang intervensiyang secara potensional efektif
masih terbatas. Apa yang kita ketahui dari data yang ada ialah bahwa tingkat retensi
yang rendah terjadi karena kondisi sekolah yang sangat berbeda.

87
Tujuan dari regional ini adalah untuk menemukan faktor-faktor penting di sekolah dan
di luar sekolah, yang mempengaruhi peluang siswa berhenti sekolah sebelum waktunya.
Dengan mempertimbangkan rencana intervensi kebijakan, penting untuk membedakan antara
factor-faktor yang dapat dimanipulasi,dan factor-faktor yang harus diperlukan secara eksogenus.
Diantara factor-faktor yang dapat dimanipulasi, persoalan selanjutnya adalah untuk
mengidentifikasi intervensi biaya yang paling efektif di Negara-negara yang kondisinya
berbeda. Pebedaan ini penting karena intervensi yang di lakukan dengan baik di sekolah-
sekolah pedesaan, misalnya, mungkin tidak mengikuti pembiayaan yang efektif seperti di
sekolah-sekolah perkotaan; selain itu juga pebedaan kota-desa dan pebedaan regional yang juga
di perlukan untuk intervensi-intervensi yang di sesuaikan dengan kondisi local.

Kondisi Negara yang memungkinkan untuk dilaksanakannya studi ini meliputi


Bangladesh, India, Nepal, Papua New Guinea dan Pilipina.

Studi 2:Cara-cara alternatif membantu pendidikan tinggi

Pendidikan tinggi dapat dibantu melalui universitas dan sekolah tinggi yang sudah ada
(konvensional) baik milik swasta maupun pemerintah, pendidikan jarak jauh, dan universitas
terbuka. Negara-negara Asia telah melaksanakan strategi yang berbeda-beda dalam membantu
pendidikan tinggi. Pada umumnya, system pendidikan jarak jauh merupakan cara pelayanan
pendidikan yang penting, dengan keuntungan hasil yang berbeda dan aksesibilitas yang luas. Di
Negara-negara lain, strateginya melalui pendidikan swasta.

Bebagai jenis lembaga pendidikan tinggi mempunyai banyak perbedaan dalam cara,
terutama dalam pembiayaan dan kriteria masukan. Tedapat beberapa pengetahuan tentang
efisiensi internal relative dan karakteristik mahasiswanya, keterangan itu bersifat tentative dan
tidak lengkap. Lebih serius lagi adalah kekurangan pengetahuan mengenai kemampuan lulusan
perguruan tinggi dalam pasar kerja ( dalam melaksanakan pekerjaan). Hasil kemampuan pada
umumnya tergantung pada akademik siswa dan latar belakang social serta karakteristik lembaga
yang ditempati. Pemisahaan hubungan yang komplek antara karakteristik
kelembagaan,karakteristik mahasiswa, dan kemampuan pasar kerja akan (1) membantu
mengklasifikasikan peranan berbagai jenis lembaga, dan (2) memperkuat basis factual untuk
dialog kebijakan tentang pengembngn pendidikan tinggi.

Kondisi Negara ynag memungkinkan untuk studi ini meliputi Cina, Korea, Myanmar,
Sri Langka, Thailand, serta India dan Indonesia.

88
Table 2.1

Pencapaian Pendidikan Bangsa-bangsa di Dunia

Tahun 1980-an

wilayah Penduduk dewasa


Yang tdk buta hurup Rata-rata tahun sekolah
(percent) Laki-laki Peremuan L+P

Asia 64.6 (14) 5.9 4.7 5.3 (9)


Afrika 47.8 (20) 3.5 2.6 3.1 (12)
Eropa. Timur Tengah 48.2 (11) 5.1 3.7 4.4 (12)
Dan Afrika Utara

Amerika Latin 80.2 (12) 5.7 5.4 5.6 (16)


Negara Berkembang 58.6 (50) 5.2 4.3 4.8 (56)
Negara maju … … 10.3 9.7 10.0 (12)
… data tidak tersedia

Catatan : Angka-angka dalam menyatakan jumlah Negara

Sumber : Data persen dari UNICEF 1988

Data Rata-rata tahun sekolah dari Horn dan Arriagada (1986)

Tabel 2.2

Angka Partisipasi tiap Jenjang Pendidikan di Dunia

Tahun 1985

Wilayah Jumlahnegara yang


Jenjang Pendidikan melaporkan
Dasar Menengah Tinggi
Asia 9.2 42.9 11.1 16
Afrika 77.8 19.5 1.5 30
Eropa. Timur Tengah 2.9 46.9 14.2 16
Dan afrika Utara
Amerika Latin 101.8 48.5 16.5 21
Negara Berkembang 89.5 36.7 9.5 83
Negara Maju 102.7 85.9 29.6 16
Sumber : World Bank BESD database

89
Table 2.3

Pengeluaran Negara untuk Pendidikan di Sebagian Dunia

Tahun 1985

Persentase
wilayah Pengeluaran Negara Jumlah Negara
Untuk Pendidikan Yang melapor
TerhadapGNP
Asia* 3.1 16
Afrika 4.1 32
Eropa. Timur Tengah dan Afrika Utara 5.3 18
Amerika Latin 3.5 21
Negara Berkembang 4.0 91
Negara Maju 5.7 21
*Angka sedikit berbeda dari data pada table 1.1 dan 2.8 karena berbeda sumber data

Sumber : Unesco (1987)

90
Table 2.4

Komposisi Peserta Didik pada Sektor Swasta di Dunia

Tahun 1985

Komposisi
Wilayah Peserta Didik Swasta Jumlah Negara yang
Melapor
Dasar Menengah Tinggi Dasar Menengah Tinggi
Asia* 3.9 26.0 28.6 10 9 13
Afrika 15.4 26.4 … 2 31 ..
Eropa. Timur Tengah 8.8 8.1 3.3 15 17 15
dan Afrika Utara
Amerika Latin 17.7 29.1 3.6 19 19 7
Negara Berkembang 13.1 21.8 17.0 77 77 31
Negara Maju 17.3 19.3 .. 20 20 …
*Rata-rata regional untuk pendidikan tinggi berada dari appendik

Table B1.4 karena pada table ini Laos PDR tidak di sertakan. Lihat juga table 2.9

Sumber : data di ambil dari Unesko, untuk Asia dilengkapi dari sumber yang dikemukakan

Pada appendik table B1.4: Eropa, Timur Tengah, dan Afrika Utara (pendidikan Tinggi)

Oleh Za’roir (1988); Amerika Latin (pendidikan tinggi) oleh Winkler (1988b)

91
Tabel 2.5

Pencapaian Pendidikan Orang Dewasa di beberapa Negara Asia

Tahun 1970-1985

Tingkat Melek Hurup (persen) Rata-rata Tahun Sekolah


Tahun 1980
Negara 1970 1985 Kenaikan Laki-laki Perempuan L+P
Bangladesh 23 33 43 2.6 1.0
Bhutan … 15 … … … 1.8
Cina … 69 … 6.1 3.8 5.0
india 34 43 26 … … …
Indonesia *) 54 84.40 56.30 4.9 4.3 4.6
Korea 88 92 5 9.5 7.3 8.4
Laos PDR 33 44 33 … … …
Malaysia 60 74 23 6.5 4.9 5.7
Myanmar 71 … … … … …
Nepal 14 26 86 … … …
Papua New 32 45 41 … … …
Guinea
Philipina 82 86 5 7.0 6.9 6.9
Singapura 69 86 25 6.0 4.9 5.5
Sri Langka 77 87 13 6.1 5.5 5.8
Thailand 79 91 15 4.6 3.8 4.2
Sumber : Untuk semua Negara, data di ambil dai literature UNICEF (1988a)

kecuali, data tahun1985 Laos PDR berasal dar UNICEF (1987)

data rata-rata lamanya bersekolah berasal dari Horn dan Arriagada (1986)

*) menunjukan data untuk Indonesia di-up date dengan menggunakan data tahun

1992/93

92
Tabel 2.6

Angka Partisipasi Kasarmenurut Tingkat Pendidikan di beberapa Negara Asia

Tahun 1970-85

Pend. Dasar Pend. menengah Pend. tinggi


Negara 1970 1985 1970 1985 1970 1985 (a)
Bangladesh 54 60 … 18 … 5.2
Bhutan 6 25 1 4 … 0.1
Cina 89 118 24 39 0.6 1.7
india 73 92 26 41 8.6 9.0
Indonesia *) 64.60 93.60 14.20 44.40 1.90 8.90
Korea (b) 103 96 42 75 10.3 31.6
Laos PDR 53 94 3 19 … 1.5
Malaysia 87 99 34 53 2.8 6.0
Myanmar 83 107 21 23 2.1 5.4
Nepal (c) 22 82 10 25 2.3 4.6
Papua New Guinea 52 70 8 13 2.5 2.0
Philipina 108 106 46 65 18.4 38.0
Singapura 105 115 46 71 9.0 11.8
Sri Langka 99 103 47 63 1.3 4.6
Thailand 83 97 17 30 3.4 19.6
Rata-rata perkembangan (d) 76 94 26 42 4.9 10.1
(a) Angka dalam kurung menunjukan angka perkiraan partsipasi jika murid asing ikut
Diperhitungkan. Keadaan ini hanya ditunjukan oleh Malaysia dan Sri Langka, Negara-
negaradenag populasi murid asing cukup besar; lihat juga tabel 3.7
(b) Data pendidikan menengah pada tahun 1985 lebih rendah dari pada yang di laporkan
dalam UNESCO(1987) karena kelebihan rata-rata dari kedua bagian siklus pendidikan
menengah. Data UNESCO hanya mengacu pada siklus bagian pertama.
(c) Statistic pendidikan dasar untuk tahun 1985 kemungkinan diramalkan terlalu tinggi,
karena ketidak akuratan petugas untuk meramalkan umur sekolah penduduk yang
relevan; untuk dtailnya lihat Smith (1988)
(d) Tanpa memasukan Bangladesh, Bhutan, dan Laos karena datauntuk Negara-negara ini
tidak lengkap. Akibat dari dikeluarkannya Negara-negara tersebut, mungkinrata-rata
untuk wilayah ini agak berbeda dengan rata-rata Asia seperti dalam tabel 2.2

*) menunjukan data untuk Indonesia di-up date dengan data tahun 1973 dan 1992/93

Sumber : lihat Appendix tabel B1.2

93
Tabel 2.7

Pengeluaran Negara untuk Biaya PEndidikan (% terhadap Anggaran

Belanja Negara) di beberapa negara Asia, Tahun 1970-1985

Data Terakhir
Negara 1970 1975 1980 1985 Pengeluaran Tahun
Bangladesh … 11.8 8.5 10.3 11.3 1988
Bhutan … … … 7.3 8.6 1987
Cina 2.9 4.2 6.1 7.8 … …
india … 14.5 14.5 13.7 13.8 1988
Indonesia *) 5.5 5.4 5.0 5.4 5.8 1992/1993
Korea … 13.1 14.6 16.6 16.7 1987
Malaysia … 19.4 13.2 16.0 18.5 1987
Myanmar 11.3 14.1 10.1 10.9 … …
Nepal … 12.0 9.5 9.6 10.4 1988
Papua New Guinea … … … 17.9 15.4 1988
Philipina … … 11.1 11.5 … …
Sri Langka 14.4 11.0 7.8 8.1 7.3 1988
Thailand … 20.1 19.8 19.4 19.1 1986
Perkembangan Rata-rata (a) … 13.4 11.6 12.5 … …
(a) Perkembangan rata-rata menggambarkan tingkat rata-rata Menggambarkan tingkat rata-
rata dari 9negara yang untuk yahun 1970, 1975, 1980, dan 1985 datanya tersedia.

*) menunjukan data Indonesia berturut-turut di-up date dengan data tahun 1969, 1974,
1979, dan 1984.

Sumber : sama seperti appendiks tabel B3.6 dan B3.8.

94
Pengeluaran Negara untuk Biaya Pendidikan (%GNP) di beberapa Negara Asia

Tahun 1970-1980

Tabel 2.8

Data Terakhir
Negara 1970 1975 1980 1985 Pengeluaran Tahun
Bangladesh … 1.1 1.3 1.5 1.9 1988
Bhutan … … … 3.8 4.0 1986
Cina 1.5 2.3 3.2 3.3 3.2 1987
india … 2.7 2.7 3.0 3.3 1988
Indonesia *) … … … 3.7 2.4 1992/1993
Korea 2.9 2.2 3.1 3.4 3.1 1987
Malaysia … 6.1 5.4 6.0 7.3 1987
Myanmar 11.3 1.7 1.3 1.8 … …
Nepal … 1.4 1.4 1.8 2.1 1987
Papua New Guinea … … … 6.9 … …
Philipina … … 1.7 1.8 2.8 1988
Sri Langka 4.2 2.7 2.8 2.8 2.2 1988
Thailand 3.5 3.9 3.7 3.6 … …
Rata-rata (a) … 2.7 2.7 3.0 … …
(a) Rata-rata menggambarkan rata-rata pengeluaran dari 9 negara di Asia yang data untuk
tahun 1975, 1980, 1985 tersedia. Rata-rata untuk 13 negara pada tahun 1985 adalah
3.3%

*) menunjukan dat untuk Indonesia di-up date dengan data tahun 1992/1993

Sumber : sama dengan appendiks tabel B3.6 dan B3.8

95
Tabel 2.9

Persentase Peserta Didik Sekolah Swasta di beberapa Negara Asia

Tahun 1970-1985

Pend. dasar Pend. menengah Pend. Tinggi


Negara 1970 1975 1980 1985 1975 1980 1985 1970 1975 1980 1985
Bangladesh … 4.1 14.6 11.0 … … 93.0 … … … 58.7
Bhutan … … … … … … … … … … 0.0
Cina … … … 0.0 … … 0.0 … … … 0.0
india … … 15.9 … … 68.2 …. … … … 57.6
Indonesia *) 13.2 15.0 10.4 7.4 … 49.1 42.1 … … … 71.0
Korea 1.1 1.2 1.3 1.5 45.4 46.4 39.9 … … … 66.1
Laos PDR 11.3 … 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 … … … …
Malaysia … … … 0.3 … … 1.7 … … … 11.0
Myanmar … … … … … … … … … … 0.0
Nepal … … … 5.3 … … 10.4 … … … 23.8
Papua New Guinea 63.0 … 2.0 0.5 … … … … … … 6.3
Philipina 4.9 5.3 5.2 6.0 54.7 46.2 42.4 89.8 86.2 84.8 83.2
Sri Langka 7.3 6.0 1.3 1.4 … 2.3 2.4 … … … 0.0
Thailand 14.2 11.1 8.4 9.0 31.7 18.9 20.0 … 8.6(b) 5.1 6.4

Rata-rata Regional (c)

Dengan Bangladesh
dan India … … … 3.9 … … … 26.0 … … 28.6
Tanpa Bangladesh 23.2
dan India … … … 3.2 … … … 18.5 … …
(a) Data untuk pendidikan dasar dan menengah or primary and secondary education refer
to the shere in aided and unaided private schools as a percentage of all schools; the
number for higher sducation refers to the shere of privatclymanaged institutions.
(b) No overall trend average is calculated here due to the small number of countries for
wich the relevan data are available. Recall that private education in Bangladesh India,
and Indonesia are subsidized by the government, the subsidies being particulary large
in the first two countries.

*) menunjukan data tahun 1985 untuk Indonesia di-up date dengan data tahun 1992/93

Sumber : lihat appendiks tabel B1.4.

96
Tabel 2.10

Tingkat dan Kecenderungan Rasio Ketergantungan di beberapa Negara Asia

Tahun 1970-200

Persentasi Penduduk Perubahan Rasio


Usia 5-14 th Ketergantungan
Negara Terhadap Penduduk Usia (persen)
15-65 th (a)
1970 1975 1980 1985 2000 1970-85 1985-00
Bangladesh 55 56 46 49 42 -11 -14
Bhutan 46 47 44 44 47 -4 7
Cina 44 39 44 33 26 -25 -21
india 49 48 45 44 35 10 -20
Indonesia *) 50 50 48 60 47 -8 -24
Korea 52 43 37 31 24 -40 -23
Laos PDR 45 46 60 53 49 18 -8
Malaysia 56 53 44 41 33 -27 -20
Myanmar 44 45 47 47 35 7 -26
Nepal 46 48 49 49 51 7 4
Papua New Guinea 47 48 53 50 40 6 -20
Philipina 53 55 48 47 37 -11 -21
Singapura 48 37 30 26 20 -46 -23
Sri Langka 49 47 42 36 31 -27 -14
Thailand 56 55 47 41 29 -27 -29
Rata-rata 49 48 46 42 36 -13 -17
(a) Studi statistic ini merupakan studi tentang rasio ketergantungan

*) menunjukan data tahun 1985 untuk Indonesia di-up date dengan data 1992/93

Sumber : BESD database dan Zachariah and Vu (1988)

97
Tabel 2.11

Jumlah Penduduk dan Angka Pertumbuhan Ekonomi Rill (persen per tahun) di

beberapa Negara Asia, tahun 1975-2000

Penduduk usia 5-14 th Pertumbuhan Ekonomi Rill


Negara 1975-85 1985-2000 (a) 1975-85 1985-2000 (a)
Bangladesh 1.8 2.0 4.4 4.9
Bhutan 1.6 3.0 6.1 …
Cina 0.2 0.4 7.8 6.6
india 1.6 1.3 4.4 4.8
Indonesia *) 1.8 1.0 6.1 3.9
Korea -0.8 0.3 7.4 6.8
Malaysia 0.8 1.4 6.3 5.0
Myanmar 2.4 1.0 5.8 3.5
Nepal 2.7 3.1 3.1 3.8
Papua New Guinea 2.6 2.0 1.5 5.1
Philipina 2.1 1.5 2.5 5.3
Sri Langka 0.1 1.1 4.9 4.8
Thailand 0.6 0.5 5.8 6.0
Rata-rata Regional 1.4 1.4 5.1 5.0
(a) angka proyeksi

sumber : Dihitung dari data jumlah penduduk dan GNP yang ada di database
BESD,(UNESCOED dan SOCIND); proyeksi tingkat pertumbuhan ekonomi dari database
ADREX

98
Tabel 2.12

Pencapaian Angka Regresi menggunakan Kuadrat Terkecil dengan Jumlah

Penduduk Sebagai Variabel Tergantung (persen per tahun) pada Pertengahan

Tahun 1980-an di Dunia

I II
Rasio ketergantungan -11.6(a) -13.85
(4.55) (2.01)
PDRB 1.16(a) 1.86
(4.10) (2.49)
Sumbangan Sektor Pendidikan pada PDB 0.23(b) -0.17
(1.86) (0.37)
Rata-rata sumbangan sector swasta serhadap jumlah murid -0.01 …
(0.30)
Asia 1.47(a) 0.34
(2.21) (0.37)
Eropa, Timur Tengah, dan Afrika Utara 0.42 …
(0.57)
Amerika Latin 1.83(a) …
(2.97)
Negara-negara berkembang 1.78(A) …
(1.76)
Intercept 11.47(b) 15.05(b)
7.52 (3.65)
N 82 15

R-Kuadrat 0.66 0.48

Catatan: Definisi Variabel mengikuti rata-rata pencapaian yang dihitung dengan proporsi
bobot murid yang masuk system pendidikan di tingkat SD, SLTP, dan SLTA berdasarkan
lamanya bersekolah pada setiap tingkat; rasio ketergantungan adalah rasio penduduk usia 5-
14 terhadap penduduk usia 15-64 PDRB adalah log regresi dari residu PDB perkapita
ditambah rasio ketergantungan; Sumbangan sector pendidikan terhadap PDB adalah
pengeluaran masyarakat pada pendidikan tahun 1985 yang dinyatakan dalam persen dari
PDB; rata-rata sumbangan sector swasta terhadap murid, adalah rata-rata yang mudah
khususnya Diknas, Dikmen dan Dikti. Sisanya adalah regional dummy variable yang
diambil nilai satu jika Negara tersebut masuk dalam pilihan, dan nilai kosong untuk lainnya.
Wilayah yang diabaikan dalam regresi Iadalah Afrika dan regresi II adalah Amerika Latin.

99
(a) Tingkat signifikasi statistic yang digunakan adalah 5 persen
(b) Tingkat signifikasi statistic yang digunakan adalah 10 persen

Sumber : Didasarkan atas data rasio partisipasi pendidikan dari Bank Dunia, database,

BESD, rasio ketergantungan, PDB; appendix tabel B1.1 untuk siklus lamanya waktu
bersekolah; dan sumber dalam appendix tabel B1.4 untuk jumlah murid pada sekolah
swasta.

100
Tabel 3.1

Tingkat dan Distribusi Pengeluaran Biaya Pendidikan di beberapa Negara Asia

Tahun 1985

Total pengeluaran Distribusi pengeluaran negara Pengeluaran Negara


menurut
Menurut
Negara untuk Tingkat pendidikan Tingkat pendidikan
(% GNP)
Negara Pendidikan (%GNP) dasar menenga atas lainny dasar menengah atas
h a
Bangladesh 1.5 49.0 34.0 15.0 2.0 0.7 0.5 0.2
Cina 3.3 41.0 42.0 18.0 0.0 1.3 1.4 0.6
india 3.0 27.0 47.0 19.0 6.0 0.8 1.4 0.6
Indonesia *) 2.4 2.8 44.6 18.7 66.1 0.07 1.07 0.45
Korea 3.4 57.0 34.0 9.0 0.0 1.9 1.1 0.3
Malaysia 6.0 36.0 34.0 26.0 4.0 2.2 2.1 1.5
Nepal 1.8 41.0 21.0 35.0 3.0 0.7 0.4 0.6
Papua New Guinea 6.9 45.0 18.0 28.0 10.0 3.1 1.2 1.9
Philipina 1.8 64.0 16.0 20.0 0.0 1.2 0.3 0.4
Sri Langka 2.8 43.0 41.0 16.0 0.0 1.2 1.2 0.5
Thailand 3.6 58.0 24.0 12.0 6.0 2.1 0.8 0.4

Rata-rata Regional 3.0 48.0 31.0 19.0 3.0 1.6 1.0 0.7
a. Figures may not add up to 100 percent because of rounding errors.see also footnote 2 in
text
b. Figures includes expenditure on universitas, colleges, polytechnics, and tehnical
institutes
c. For India, the data on the distribusi of spending refer to 1980

*) menunjukan data tahun 1985 untuk Indonesia di-up date dengan data tahun 1992/93 dan
datanya merupakan data pengeluaran Depdikbud saja

Sumber : lihat appendix saja

101
Tabel 3.2

Biaya Pelaksanaan per Unit dari Pendidikan Negeri di Negara-negara Asia Terpilih

Pertengahan Tahun 1980

Satuan biaya oprasional RASIO Satuan Biaya


Pendidikan
Pendidikan (% per capita GNP) dari rata-rata regional

Negara Dasar Menengah Tinggi Dasar Menengah Tinggi


Bangladesh 6.4 30 284.6 0.65 1.62 1.91
Cina 6.7 22.6 199.2 0.68 1.22 1.34
india 6 17.3 231.1 0.61 0.94 1.35
Indonesia 12.6 23.3 91.1 1.28 1.26 0.61
Korea 16.5 23.4 70.6 1.67 1.27 0.47
Malaysia 14.1 21.3 109.3 1.43 1.15 1.28
Nepal 9 13.5 249 0.91 0.73 1.67
Papua New Guinea 29 65 1050 2.94 3.52 7.05
Philipina 5.8 8.6 50 0.59 0.47 0.34
Sri Langka 6.1 9.3 83.3 0.62 0.5 0.56
Thailand 15.5 15.3 39.9 1.57 0.83 0.27

Rata-rata regional

Tanpa Papua New Guinea 9.9 18.5 148.9 … … …


Dengan Papua New 11.6 22.7 230.8 … … …
Guinea
a. In countries with distense system, unit costs of higher education is the average for public
regular and distance education, weighted by their respective enrollment shares and
distance education, weighted by their respective enrollment shares.
b. Figure refers to unit costs in Universities
c. The unit costs of education in Papua New Guinea (PNG) are exceptionally higj raising
the average for Asia considerably. In comparing individual countries to an Asian
average (last three coloemns of this table) the relevant denominator is the average that
excludes data for PNG

Sumber : lihat appendix tabel B3.8

102
Tabel 3.3

Biaya Pelaksanaan per Unit dari Pendidikan Tinggi Negeri

Di Beberapa Negara Asia, Tahun 1980

Rasio biaya satuan


PT Biasa Pendidikan jarak
Negara Biaya Biaya Jauh/terbuka terhadap
satuan
(US$) (%per capita GNP) PT biasa
Bangladesh 453 284.6 “
Cina 900 329.8 “
india 599 231.1 “
Indonesia 497 105.7 0.35
Korea 2132 104.5 0.10
Malaysia 3540 190.3 “
Nepal 354 249 “
Papua New Guinea 6521 1050 “
Philipina 291 50 “
Sri Langka 416 111.2 0.20
Thailand 1267 177.9 0.08
Rata-rata regional
Dengan Papua New Guinea 1045 183.4 0.18
Tanpa Papua New Guinea 1543 262.2 “
Sumber : lihat appendix tabel B4.1. units costs are converted to U>S dollars using
exchange ratcs for 1985, reported in Unesco (1987)

103
Tabel 3.4

Indeks Keseluruhan Biaya Pendidikan Tinggi Negeri

Di Negara-negara Asia Terpilih, Tahun 1980

Negara indeks
Bangladesh 1.39
Cina 1.08
india 1.03
Indonesia 1.05
Korea 1.14
Malaysia 1.29
Nepal 1.11
Papua New Guinea 4.50
Philipina 0.46
Sri Langka 0.56
Thailand 0.89
Sumber : data menyatakan rata-rata dari tiga kolom

terakhir dari, tabel 3.2

104
Tabel 3.5

Gaji Guru per TAhun dan Rasio Guru Siswa pad Sekolah Dasar dan Menengah di
Beberapa Negara, Tahun 1980

Teacher remuneration as
Negara Ratio to per capita GNP Murid/Guru
Pend. Pend. Pend.
Dasar Menengah Pend. Dasar Menengah
Bangladesh 2.2 ….. 47 26.2
Bhutan ….. ….. 38.5 10.1
Cina 1.6 2.8 24.9 17.2
Hong Khong ….. ….. 27.3 25.1
india 2.9 3.1 57.6 20.2
Indonesia *) 2.5 3.2 22.8 13.7
Laos PDR 5 5.5 38.3 34.3
korea ….. ….. 24.9 11.2
Malaysia 2.4 3.1 24.1 22.1
Myanmar ….. ….. 46.4 28.5
Nepal 2.8 5 35.5 27.5
Papua New Guinea 6.8 10 31 25.4
Philipina 1.6 1.7 30.9 32.2
Singapura ….. ….. 27.1 20.4
Sri Langka 1.6 2.1 31.7 26.1
Thailand 2.5 2.9 19.3 19.6

Rata-rata regional
Dengan Papua New Guinea 2.5 3.3 ….. …..
Tanpa Papua New Guinea 2.9 3.9 33.1 22.6
a. Teacher remuneration includes basic pay and alloanccs
b. Data on remuncration are cstimates based on unit costs and pupil teacher ratio

*) menunjukan data tahun 1980 untuk Indonesia di-update dengan data tahun 1992/93

Sumber : lihat appendik tabel B2.4,B2.5, dan B4.2

105
Tabel 3.6

Rasio Dosen per Mahasiswa Perguruan Tinggi,

Di Beberapa Negara Asia, Tahun 1985

Perguruan tinggi PT terbuka/


Negara Negeri Swasta Jarak jauh
Bangladesh 15.9 … …
Bhutan 10.9 … …
Cina 5.2 … 36
india 15.7 … 776.5
Indonesia *) 11.5 36.3 365.1
Korea 42.2 41.1 414.7
Laos PDR 10.1 … …
Malaysia 11.4 … …
Myanmar 30.3 … …
Nepal 13.2 … …
Papua New Guinea 7.7 … …
Philipina 16 48 …
Sri Langka 10.7 … 84.9
Thailand 8.3 17.6 618.8

Rata-rata 13.9 … …
a. Refers only to Andhra Pradesh Open University
b. Data includes pupils in correspondence courses
c. Data for Myanmar excluded in calculating the average for the reason given in
footnote a above

*) menunjukan data untuk Indonesia dengan data tahun 1992/93

Sumber : lihat appendix tabel B2.6

106
Tabel 3.7

Distribusi Peserta Didik PT Menurut Status/Jenis di Beberapa Negara Asia,

Tahun 1980

Peserta didik sesuai dengan


Negara Jumlah Jenis/status lembaga Peserta didik di
Peserta didik (% total peserta didik) Benua lain
(ribuan) Negeri Terbuka/JJ Swasta (% total peserta didik)
Bangladesh 811.4 40.5 0.6 58.4 0.5
Bhutan 1.1 95.8 0 0 4.2
Cina 3470.6 68.6 30.2 0 1.2
india 3314.5 37.4 4.8 57.3 0.5
Indonesia *) 1,794.00 17.60 11.40 71.00 1.00
Korea 1478.5 21.4 12 65.1 1.5
Malaysia 131.2 60.5 1 7.6 30.9
Myanmar 185.1 54.4 45.4 0 0.2
Nepal 74.3 73.3 1.3 23.4 2
Papua New Guinea 11.4 82.6 8.8 6.1 2.5
Philipina 1549.6 16.7 0 83 0.3
Sri Langka 34.5 62 28.5 0 9.5
Thailand 724 14.5 77.9 6.3 1.3

a. Data in this column differ slightly from those in the last column of table 2.9 since
operseas enrollments are includes in yhe denominator in this table, but nit in table 2.9.
the discrepancy in wide only for Malaysia because of the large number of Malaysian
student abroad
b. Data include enrollment un privately managed institution

*) menunjukan data untuk Indonesia di-update dengan data tahun 1992/93

Sumber : lihat appendix tabel B1.6

107
Tabel 3.8

Dana Pendidikan Sekolah Negeri Menurut Persentase Satuan Biaya

Operasional di Negara-negara Asia Terpilih Pada Pertengahan Tahun 1980

Pendidikan Tinggi
Negara Pend. Dasar Pend. Menengah Biasa Terbuka
Bangladesh 7.4 4 0.1
Cina 4.8 3.2 0.3
india 0 11.6 4.5 59.0
Indonesia 7.1 27.4 18.9
Korea 0 34.2 45.9 32.0
Malaysia 3.7 4 5.8
Nepal 0 40.7 10.4
Papua New Guinea 8.7 39.8 0
Philipina 0 9.3 15.3
Sri Langka 3.1 3.1 3.4 57.7
Thailand 0.1 18.3 5 27.5
Rata-rata regional 3.2 17.8 10
a. Hanya meliputi Universitas Terbuka Andhara Pradesh

Sumber : lihat appendix tabel B4.3

108
Tabel 3.9

Angka Perkiraan Pembiayaan Swasta pada Perguruan Tinggi

Di beberapa Negara Asia, Tahun 1985

Cost recovery Indeks dari


Negara In private Keseluruhan
sector Keuangan swasta
Bangladesh 28 16.5
Bhutan
Cina 0.3
india 5 7.1
Indonesia 70 48.7
Korea 95 76.6
Malaysia 90 15.1(35.1)
Myanmar
Nepal 100 31.8
Papua New Guinea 100 6.3
Philipina 100 85.8
Sri Langka 20.5
Thailand 100 26.9
a. Reflacets the rate of cost recovery across institutions types, weighted by their share of
total enrollments. Figure in parentheses for Malaysia denotes the rate of private
financing if privately, overseas education were included.

Sumber : authors’ estimates based on table 3.8 and on appendix tables B1.6 ang B4.3 and
on data, discussions, and estimations in King (1988) for Bangladesh; ACU
(1988),for India;world Bank Indonesia (1988b); korea (1987); Malaysia (1988);
Timilsina (1988), for Nepal: world Bank-Papua New Guinea (1987); and
mingat and tan (1988)and James (1988), for Philippines.

109
Tabel 4.1

Pola Interansional tentang Keuntungan Sosial terhadap Pendidikan di Dunia

(persen)

Sosial Swasta
Tipe Wilayah/Negara Dikdas Dikmen Dikti Dikdas Dikmen Dikti
Afrika 26 17 13 45 26 32
Asia 27 15 13 31 15 18
Latin Amerika 26 18 16 32 23 23

Negara Berkembang 27 16 13 29 19 24
Negara Menengah 16 14 10 17 13 13
Negara Maju … 10 9 … 14 12
Catatan : tabel menggambarkan data tentang 16 negara di Afrika,10 negara di Asia, dan 10
negara di Amerika Latin. Tiga puluh Negara berkembang, 7 negara sedang
membangun dan 15 negara maju. Data diambil dari tahun 1960-1980.

Sumber : Psacharopoulus (1981) dan (1985)

110
Tabel 4.2

Rates of retrun to education (%), selected Asia countries, Selected Years, 1987-85

Sosial Swasta
Pend. Pend. Pend. Pend. Pend. Pend.
Negara Tahun Dasar Menenga Tinggi Dasar Menengah Tinggi
h
India 1978 29.3 13.7 10.8 33.4 19.8 13.2
Indinesia 1982 18.0 15.0 10.0 … … …
(14.5) … … … … …
Korea 1982 … 10.9 13.0 … … …
Malaysia 1983 … … 7.6 … ... 12.2
Papua New Guinea 1982 19.9 12.0 2.8 29.4 14.7 8.1
Philipina 1985 11.9 12.9 13.3 18.2 13.8 14.0
(94.4) (9.3) (11.6) (7.2) (102) (12.5)
Thailand 1975 12 24 12.8 … … …
1985 … … 13.3 … … 17.4
Catatan : tanda kurunguntuk menyatakan angka of retrun education yang tidak komplit.

Sumber : Psacharopoulus (1985) for India; USAID (1986) for Indonesia KEDI (1983) for korea;
Mehmet and Yip (1986) for Malaysia; Gannicot (1987) for Papua New Guinea; Tan
and Paquco (1989) for Philipina, abd Thailand (1987a) and suppachai (1976)for
Thailand.

111
Tabel 4.3

Bukti Internasional tentang Keuntungan Sosial untuk Program

Sekolah Menengah dan Universitas

(persen)

Program Rate of retrun


Sekolah Menengah (a)
Umum, akademik 16
Kejuruan, teknik 12

Universitas (b)
Ekonomi 13
Hukum 12
Ilmu-ilmu Sosial 11
Kesehatan/Obat-obatan 12
Engineering 12
Sains, matematika, fisika 8
Pertanian 8
(a) Untuk program sekolah menengah meliputi Negara-negara, Columbia,
Siprus, Prancis, Indonesia, Liberia, Taiwan, and Tanzania. Dalam
psacharopoulos 1985 data tak disajikan
(b) Untuk program universitas meliputi Belgia, Brazil, Canada, Columbia,
Denmark, Prancis, Inggris, Yunani, India, Iran, Malaysia, Norwegia, the
Philipina, Swedia. Data

Sumber : Psacharopoulos (1985)

112
Tabel 4.4

Regresi Kwadrat Terkecil Biasa tentang Diterminan Angka Penduduk


Dewasa

Terdidik di Dunia, tahun 1985

Koefisien Rata- Standard


rata
Determinants of literacy rates regresi Statistic-t sampel deviasi
Primary enrollment ratio, 1975 0.70(a) 8.90 79.7 27.3
Percent surviving to end
Of primary education, 1975 0.30(a) 2.74 68.3 20.6
Length of primary cycle, 1975 9.43(a) 3.19 6.2 0.8
Constant -75.64(a) 3.37 … …
Dependent variable: adult
Literacy, 1985 59.3 25.5 … …
Number of observations 46
R2 0.7
(a) The coefficient is stastistically significant at the 5 percent level of confidence

Sumber : Data on literacy raetes are from UNICEF (1987); data on primary enrollment ratios
in 1975 and length of primary cycle in 1975 are from unesco (1987);data on per
capita GNP in 1985 are from World Bank (1986); and data on precent Surviving to
and of primary cycle in 1975 are from World Bank (1986).

113
Tabel 4.5

Pola Keberlangsungan (daya tinggal) Peserta Didik pada Pendidikan Dasar dan

Menengah di Negara-negara Asia Terpilih,pada pertengahan tahun 1980

Percentage Chort survival


Rates at
Angka percentage of entrants Primary and
Secondary levels
Parisipasi of surviving (percentage of
population Gradei entrants)
Negara Kotor SD,entering to end of Lower secondary Upper secondary
1985 Grade i premary 1 st Last year 1 st year Last
year year
Bangladesh 60 100 24 22 11 5 4
Bhutan 25 54 17 8 7 3 3
Cina 118 90 68 41 31 7 6
india 92 83 37 31 22 17 11(a)
Indonesia *) 93.60 100 78 50 41 30 26
Korea 96 100 97 95 93 46 44
Laos PDR 94 100 40 30 20 11 7
Malaysia 99 100 97 78 70 42 40
Nepal 79 75 33 32 28 25 21
Papua New Guinea 69 74 67 25 16 2 2
Philipina 106 100 66 56 41 … …
Singapura 115 100 100 75 75 20 20
Sri Langka 103 100 85 76 57 19 19
Thailand 97 100 80 32 29 15 13
Rata-rata regional 91 91 62 46 38 18 16

(a) Some enrollment in teritiary education in fact correspond to the last two years of the four-
years upper secondary cycle. For this reason data from school show a much smaller
number reching the end of upper secondary. The data from Unesco have Been adjusted
Accordingly.

*) menunjukan data untuk di Indonesia di-update dengan data APM tahun 1992/93

Sumber : lihat appendix tabel B2.2

114
Tabel 4.6

Interseksi Intra dan Antar Masa Studi (jenjang) pada Pendidikan Dasar dan

Menengah di Negara-negara Asia Terpilih pada Pertengahan Tahun 1980

Percentage of first year entrants Index of


Negara Surviving to last year in cycle (a) Intercycle
SD SLTP SLTA Selection (b)
Bangladesh 24 48 80 8
Bhutan 17 83 88 13
Cina 68 76 81 54
india 37 72 65 15
Indonesia *) 80 85 87 26
Korea 97 98 95 87
Laos PDR 40 65 68 21
Malaysia 97 90 96 79
Nepal 33 89 81 5
Papua New Guinea 67 63 95 57
Philipina 66 74 … 18
Singapura 100 100 97 99
Sri Langka 85 75 100 58
Thailand 80 91 87 72
Rata-rata regional 62 80 87 45
(a) The dominator for each column is the number of entrants to the corespoding cycle.
(b) The index is defined as the ratio between the pproportion of grade I contrabts eliminated
at the transition between cycle of education to the total proportion climinated from the
system by the end of secondry schooling. It ranges from 0 to 100; the larger it is, the
more efficient the sesection process in the education system.

*) menunjukan data untuk Indonesia di up-date dengan data tahun 1992/93

Sumber : lihat appendix tabel B2.2

115
Tabel 4.7

Science achievement in Asia and other countries, mid-1980s

10-year-old population 14-year-old populations


Normalized Normalized
Negara Deviation Deviation
skore Roh (a) From skore Roh (a) From
Mean (b) Mean (b)
Negara-negara Asia
Hongkong 11.2 … -1.1 16.4 0.29 -0.6
Korea 15.4 0.16 1.4 18.1 0.15 0.2
Philipina 9.5 0.56 -2.1 11.5 0.48 -2.9
Singapura 11.2 0.39 -1.1 16.5 0.56 -0.5
Thailand … … … 16.5 0.24 -0.5

Negara-negara maju yang


dipilih
Jepang 15.4 0.04 1.4 20.2 0.04 1.2
Finland 15.3 0.07 1.3 18.5 0.05 0.4
Swedia 14.7 0.03 0.9 18.4 0.08 0.4
Amerika Serikat 13.2 0.14 0.1 16.5 0.09 -0.5

Rata-rata skore keseluruhan


Negara-negara yang diteliti(c) 13.1 … … 17.6 … …
Standar deviasi dari rata-rata 1.7 … … 2.1 … …
Skore
Skore maximum 24.0 … … 30.0 … …
(a) The roh stistic indicates the proporation of the total variance in achievement score that is
accounted for by between school differences in achievement.
(b) The normalized deviation from mean is calculated by diving by the sample standard
deviation, the difference between a country’s mean score and the mean score for all
countries in the sample
(c) In addition to the above countries, the other were Australia, Canada, England, Hungaria,
Italia, Belanda, Norwegia, and Polandia; for the 10-year-old population,data for 15
countries (excluding Netherland and Thailand) were available; for the 14-year-old
population data for 17 countries were available.

Source : IEA (1988)

116
Tabel 4.8

Distribusi Ukuran Sekolah-sekolah Menengah Negeri Philipina,tahun 1986

(persen)

Sekolah National
Ukuran Individu Sekolah Nasional Capita area Other regions
Kurang dari sekolah 0.2 0.0 4.9
100-200 3.6 1.1 26.8
200-300 9.8 3.3 27.2
300-500 16.1 8.8 24.0
500-1000 32.7 13.2 12.4
1000-2500 23.9 33.0 3.1
2500-5000 11.4 34.1 1.2
>5000 2.4 6.7 0.4
Semua Sekolah 100 100 100
Total peserta didik (ribuan) 716 196 946

Rata-rata ukuran sekolah 1145 2150 373

Sumber : Mingat dan Tan 1988

117
Tabel 4.9

Skala Ekonomi di Pendidikan Tinggi China, Tahun 1980

Perkiraan biaya satuan per lembaga


jurusan Referensi (% referensi biaya satuan)
Biaya satuan Jumlah peserta didik
(a)
(yuan) 1000 2000 4000 6000
Pertanian 1.789 100 73 59 55
Sains dan Teknologi 1.751 100 72 59 54
Ilmu-ilmu social 1.321 100 63 45 39
Comprehensive 1.490 100 68 51 46
Pendidikan dan Keguruan 1.498 100 68 52 46
(a) Data ini menunjukan biaya satuan untuk lembaga dengan 1000 murid yang merupakan
hasil prediksi dan analisis regresi

Sumber : tabel 3:3, World Bank-Cina (1986b)

118
Tabel 4.10

Distribusi Ukuran Institusi Tertier di China Menurut Jurusan (persen)

Tahun 1987

Semua Pertanian Sains dan Pendidikan Ilmu-ilmu Compre-


Ukuran institusi jurusan Dan Kehutanan Teknologi(a) Dan Keguruan sosial Hensive Lainnya(b)
Kurang dari 300 7.2 1.4 3.3 1.5 8.8 2.1 27.0
301-500 8.1 5.6 3.8 4.2 12.4 0.0 23.6
501-1000 23.6 21.1 18.5 26.5 30.1 6.4 32.0
1001-1500 19.7 22.5 20.3 29.2 19.5 2.1 7.9
1501-2000 13.7 11.3 16.5 18.1 12.4 6.4 5.1
2001-3000 12.6 28.2 18.0 7.3 10.6 12.8 3.4
3001-4000 5.6 9.9 8.4 2.7 4.4 10.6 1.1
4001-5000 3.2 0.0 3.8 4.6 1.8 10.6 0.0
>5000 6.3 0.0 7.4 5.8 0.0 48.9 0.0

Semua institusi 100 100 100 100 100 100 100


Jumlah institusi 1.063 71 349 260 113 47 178

119

Anda mungkin juga menyukai