Anda di halaman 1dari 51

FILSAFAT DAN TEORI PENDIDIKAN

JILID 1
FILSAFAT PENDIDIKAN

Editor:
Drs. Madjis Noor, M.A. ( Ketua )
Drs. Dady Kusbada ( Anggota )
Drs. J.M. Daniel ( Anggota )
Drs. Oong Komar ( Anggota )

SUB COORDINATOR MATA KULIAH FILSAFAT DAN TEORI PENDIDIKAN


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN IKIP BANDUNG
1987
KATA PENGANTAR

Buku ini terdiri atas dua jilid, yaitu jilid I mengenai filsafat pendidikan, dan jilid
II mengenai teori pendidikan.
Perlu dijelaskan tentang judul buku ini sebagai berikut : kita dapat membedakan
perbuatan mendidik ( proses pendidikan ) di satu pihak, dan pemikiran tentang
pendidikan pihak lain. Pemikiran tentang pendidikan yang merupakan hasil renungan
spekulatif dikenal sebagai filsafat pendidikan. Sedangkna pemikiran sistematis yang diuji
melalui penelitian, baik penelitian kuantitatif maupun penelitian kualitatif, menghasilkan
teori pendidikan. Demikianlah kedua jilid buku ini membicarakan filsafat dan teori
pendidikan.
Dalam jilid I ini pembahasan filsafat pendidikan dimulai dengan uraian singkat
mengenai filsafat, kemudian mengenai seluk-beluk filsafat pendidikan, dilanjut dengan
uraian tentang beberapa mazhab filsafat pendidikan, dan akhitnya uraian mengenai
filsafat pendidikan pancasila.
Buku ini dimaksudkan sebagai buku pegangan bagi mahasiswa yang mengikuti
mata kuliah filsafat dan teori pendidikan ( FSP-402 ) di Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP
Bandung. Mata kuliah tersebut adalah mata kuliah dasar fakultas artinya mata kuliah
yang harus diikuti oleh semua mahasiswa di fakultas tersebut. Walaupun demikian kami
yakin buku ini juga bermanfaat bagi para peminat pendidikan lainnya.
Akhirnya, penghargaaan yang setinggi - tingginya dan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kami sampaikan kepada semua rekan, para dosen dan asisten, jurusan
filsafat dan sosiologi pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Bandung atas
sumbangan karangan, sumbangan pikiran dan tenaga sehingga buku ini dapat diterbitkan.
Bandung, 17 Agustus 1987 Editor dan Sub Coordinator
Mata Kuliah Filsafat dan
Teori Pendidikan,

Drs. Madjid Noor, M.A.


Ketua
DAFTAR ISI
Halaman
Kata pengantar..................................................................................................... iii
I. Pengertian Filsafat ....................................................................................... 1
Drs. Dady Kusbada
Drs. Oong Komar

II. Seluk-Beluk Fisafat Pendidikan..................................................................... 20


Drs. Redja Mudyahardjo
Drs. Dede Somarya

III. Beberapa Mazhab Filsafat Pendidikan ........................................................ 55


Drs. Madjid Noor, M.A.
Drs. Muhammad Salim H.
Drs. Uyoh Sadulloh
Drs. Dharma Kusuma

IV. Filsafat Pendidikan Pancasila ...................................................................... 104


Drs. Waini Rasyidin, M. Ed.
Drs. Y. Suyitno
BAB I
PENGERTIAN FILSAFAT
Oleh : Drs. Dady Kusbada, dan
Drs. Oong Komar

A. Apakah Filsafat

Berdasarkan etimologinya kata filsafat atau philosophy berasal dari bahasa


yunani “filosofia”, yaitu berasal dari kata filare atrinya cinta, dan sophia artinya
kebijaksanaan atau kebenaran. Jadi filsafat atau philosophy itu berarti cinta akan
kebijaksanaan atau cinta kebenaran.
Rumusan tadi adalah suatu definisi atau sekedar pembatasan. Seseorang berusaha
untuk merenungkan sedalam - dalamnya tentang prinsip yang mendasari kejadian sehari -
hari, tentang hakekat benda yang dapat kita amati, tentang ada dan tidak adanya rokhani,
bahkan tentang ada itu sendiri.
Renungan filosofi seperti itu didasarkan kepada pengalaman filosof itu sendiri
maupun pengalaman orang lain, dari buku - buku, dari diskusi sesama filosof, dari
percakapan seorang filosof dengan ilmuan atau dengan orang awam, dan sebagainya.
Dengan cara - cara demikian seorang filosof berusaha memahami terutama
menghayati keseluruhan masalah - masalah yang dihadapi manusia ( Madjid Noor,
Landasan Pendidikan, 1979 ).
Dari penghayatan dan pemahamannya filosof berusaha menyusun dasar - dasar
kebijaksanaan, keadilan, kebenaran dan kebaikan yang berguna sebagai pedoman dan
pegangan hidup manusia, agar manusia dapat hidup pada tingkat kemanusiaan yang lebih
tinggi.
Filsafat yang dihasilkan oleh para filosof dapat dijadikan sebagai fundasi bagi
segala lapangan kehidupan tertentu, sedangkan filsafat mempelajari secara keseluruhan
kehidupan tersebut. Filsafat mencakup keseluruhan pengetahuan manusia, berusaha
melihat alam semesta sebagai satu keseluruhan dan memahami tempat manusia dalam
keseluruhan tersebut.
Karena itu filsafat merupakan “mother of science” yaitu induk daripada ilmu.
Flim menyebutkan sebagai “Scientia Scientiarium” yaitu ilmu daripada ilmu -
ilmu.
Ilmu berasal daripada filsafat, atau dengan kata lain ilmu merupakan anak
daripada filsafat.
Dalam pendekatannyapun mereka mempunyai cara yang berbeda.
Filsafat menggunakan pendekatan synopsis, sedangkan ilmu pengetahuan
pendekatan analitis.
Ilmu dimulai dengan asumsi, tapi asumsi ini dipertanyakan dan diselidiki.
Filsafat berfikir secara radikal yaitu berfikir secara mendalam sampai keakar -
akarnya ( radix = akar ).
Berfilsafat adalah berfikir, tetapi tidak semua berfikir adalah berfilsafat, maka
berfikir yang ditetapkan sebagai berfilsafat ialah apabila berfikir tersebut mengandung
tiga ciri, yaitu : radikal, sistematik, dan universal, seperti yang dikutip oleh U. Sadulloh
dari karya Sidi Gazalba (1973 : 43) sebagai berikut :

“……. Berfikir radikal, berfikir sampai ke akar-akarnya, tidak tanggung-


tanggung, sampai kepada konsekwensinya yang terakhir. Berfikir itu tidak
separuh separuh, tidak berakhir di jalan, tetapi terus sampai ke ujungnya.
Berfikir sistematik ialah berfikir logis, yang bergerak selangkah demi
selangkah dengan penuh kesadaran dengan urutan yang bertangung jawab dan
saling hubungan yang teratur. Berifkir universal tidak berfikir khusus, terbatas
pada bagian-bagian tertentu, tapi mencakup keseluruhan”
Berfilsafat adalah berfikir dengan sadar, yang mengandung pengertian secara teliti
dan teratur, sesuai dengan aturan - aturan dan hukum - hukum yang ada.
Berfikir secara filsafat harus dapat menyerap secara keseluruhan apa yang ada
pada alam semesta, tidak sepotong sepotong.
Metafisika, Epistemology, Aksiologi
Filsafat sebagai suatu system berfikir memiliki cabang - cabangnya, atau bagian -
bagian yang saling berhubungan satu sama lainnya, sehingga merupakan suatu kesatuan,
tidak berdiri sendiri. Bagian - bagian filsafat itu merupakan lapangan penelitian dari
filsafat, yang meliputi : 1) metafisika, 2) epistemology, 3) aksiologi.
1. Metafisika
Metafisika merupakan bagian atau cabang dari filsafat yang mempelajari masalah
hakekat, yang tersimpul dibelakang dunia fenomena. Metafisika terlepas, atau di luar
pengalaman, objeknya di luar dari hal yang dapat dijangkau oleh panca indra. Metafisika
mempersoalkan hakekat dunia, hakekat manusia, termasuk hakekat anak.
2. Epistemology
Epistemology merupakan cabang dari filsafat yang mempersoalkan atau
menyelidiki tentang asal, susunan, metode, serta keabsahan pengetahuan.
Epistemology membahas masalah - maslah pengetahuan dan teori pengetahuan.
Mungkinkah pengetahuan diperoleh atau tidak, atau dengan kata lain dapatkah kita
memiliki pengetahuan yang benar.
Kita menginginkan pengetahuan yang benar bukan pengetahuan yang khilaf, yang
hanya mendasarkan kepada khayalan.
3. Aksiologi
Aksiologi merupakn cabang atau bagian dari filsafat yang mempelajari masalah
nilai, atau merupakan teori tentang nilai, mencakup : hakekat, tipe, criteria dan status
metafisika daripada nilai.
Mengenai hakekat nilai, banyak teori-teori yang mengemukanakan, di antaranya
menurut voluntarisme bahwaa hakekat nilai adalah merupakan pamuasan terhadap
keinginan atau kemauan; kaum hedonisme mengatakan bahwa hakekat nilai adalah
“pleasure” atau kesenangan; menurut formalisme adalah kemauan yang bijaksana, yang
berdasarkan akal yang rasional; menurut Pragmatisme nilai itu baik apabila memenuhi
kebutuhan dan memiliki nilai instrumental.
Mengenai tipe nilai dapat dibedakan dengan instrinsik dan nilai instrumental.
Instrumental merupakan suatu alat atau sebab daripada nilai instrinsik. Nilai instrinsik
merupakan nilai akhir yang menjadi tujuan, sedangkan nilai instrumental adalah sebagai
alat ( meaus ) untuk mencapai nilai intrinsic.
Yang dimaksud dengan criteria nilai, ialah suatu ukuran daripada nilai, misalnya
kaum hedonisme menemukan ukuran nilai di dalam sejumlah kesenangan yang dicapai
oleh individu maupun masyarakat; bagi kaum rasional ukuran nilainya ialah “biological
survival” bagi kaum pragmatis adalah kegunaannya dalam kehidupan, baik bagi
individual maupun bagi masyarakat.
Yang dimaksud dengan status metafisika daripada nilai ialah, apakah atau
bagaimanakah hubungan nilai - nilai itu dengan kenyataan.
Dalam hal ini U. Sadulloh berdasarkan kutipannya dari Dagobert Runes ( 1963 :
33 ) mengemukakan sebagai berikut :
a) Subjectivisme : value is entirely dependent on and relative to human
experience of it.
b) Logical objektivisme : value are logical essences or subsistences,
independent of their being known, yet not existensial status or action in
reality.
c) Metaphysical objectivisme : values or norm or ideals are integral,
objective, an active constituents of the metaphysically real.

Menurut subjektivisme, nilai itu tidak berdiri sendiri, tergantung dan berhubungan
dengan pengalaman manusia. Menurut objektivisme logis, nilai itu suatu wujud atau
penghidupan yang logis, yang tidak terikat kepada kehidupan yang dikenalnya, tetapi
tidak memiliki status dan gerak di dalam kenyataan.

Menurut obyektivisme metafisis, nilai itu adalah sesuatu yang lengkap, obyektif
dan merupakan bagian yang aktif dari kenyataan metafisis.

B. Hubungan Antara Filsafat, Ilmu, Religi, dan, Seni


Di muka telah dijelaskan tentang filsafat dan hubungannya dengan ilmu, yaitu
filsafat merupakan induk daripada ilmu. Sekarang akan kita bicarakan bersama tentang
ilmu atau istilah asingnya Science.
Harold Titus mengemukakan bahwa ilmu diartikan sebagai suatu common sence
yang diatur dan diorganisasikan, mengadakan penyelidikan terhadap benda-benda atau
kejadian - kejadian dengan menggunakan observasi yang teliti dan kritis ( Titus, 1959 :
73 ).
Prof. Sikun Pribadi mengemukakan tentang ilmu pengetahun mungkin istilah ini
dimaksudkan untuk menerangkan tentang science sebagai berikut :
Objek ilmu pengetahuan ialah dunia fenomenal dan metode
pendekatannya ialah berdasarkan pengalaman ( experience ) dengan
mempergunakan berbagai kasus dan sebagainya.
Pengalaman - pengalaman itu diolah oleh fikiran atas dasar hukum logika yang
tertib. Data yang dikumpulkan diolah dengan cara analitis, induktif, kemudian
ditentukan relasi - relasi antara data, di antaranya relasi kausalitas, konsepsi -
konsepsi dan relasi - relasi disusun menurut suatu system tertentu yang
merupakan suatu keseluruhan yang integfatif. Keseluruhan integrative ini kita
sebut ilmu pengetahuan ( Sikun Pribadi 1972 : 1-2 ).

Ilmu diartikan sebagai metode berfikir secara objektif ( objective thinking ),


tujuannya untuk menggambarkan dan mengartikan dunia. Semua yang dihasilkan dengan
ilmu, diperoleh melalui observasi, eksperimen, klasifikasi, dan analisis. Ilmu itu obyektif
dan mengenyampingkan unsur - unsur pribadi dan netral.
Dimaksudkan melalui netral ialah, tidak dipengaruhi oleh sesuatu yang bersifat
kedirian, karena dimulai dengan fakta, dioleh di atas fakta, dan disimpulkan di atas fakta
pula.
Jadi ilmu berhubungan dan mempersoalkan fakta - fakta yang diperoleh dengan
eksperimen, dan observasi, dan melakukan verifikasi, serta hanya berhubungan dengan
sebagian dari aspek kehidupan atau atau kejadian yang ada di dunia ini.

Titik temu filsafat dan ilmu


Ada beberapa titik pertemuan antara filsafat dan ilmu seperti yang dikemukakan
oleh Titus ( 1959 : 98 ) :
a) Banyak ahli filsafat yang termasyhur, telah memberikan sumbangannya
dalam pengembangan ilmu, misalnya Leibniz menemukan “deferensial
kalkulus”, Whitehead dan Bertrand Russel dengan teori metematika yang
terkenal.
b) Filsafat dan ilmu keduanya menggunakan metode - metode reflective thinking
di dalam menghadapi fakta fakta dunia dan hidup ini.
c) Filsafat dan ilmu keduanya menunjukan sikap kritis dan terbuka, dan
memberikan perhatian yang tidak berat sebelah terhadap kebenaran.
d) Keduanya tertarik terhadap pengetahuan yang terorganisir dan tersusun
secara sistematis.
e) Ilmu memberi kepada filsafat sejumlah bahan - bahan deskriptif dan factual
serta esensial bagi pemikiran filsafat.
f) Ilmu mengoreksi filsafat dengan jalan menghilangkan sejumlah ide - ide yang
bertentangan dengan pengetahuan yang ilmiah.
g) Filsafat merangkum ilmu yang terpotong - potong, yang menjadikan
bermacam - macam ilmu dan berbeda - beda, dan menyusun bahan - bahan
tersebut ke dalam suatu pendangan tentang hidup dan dunia yang lebih
menyeluruh dan terpadu.

Selanjutnya untuk mempelajari hubungan antara filsafat, ilmu ( sains ), religi dan seni,
mari kita pelajari tulisan hasil karya M.T.ZEN dalam bukunya “Sains, Teknologi dan Hari
Depan Manusia”.
Beliau membedakan antara theoretical science dan aplead sciece ( teknologi ).
“Pada halaman - halaman sebelumnya dikatakan bahwa sains itu bersifat bebas nilai,
obyektif dan netral”.
Teknologi sebaliknya, sekalipun pada dasarnya netral, dalam situasi tertentu dapat tidak
netral lagi, karena mengandung potensi merusak dan potensi kekuasaan”.
Di sinilah perbedaan besar antara sains dan teknologi sains dan teknologi saling
membutuhkan, karena sains tanpa teknologi bagaikan pohon tak berbuah, sedangkan
teknologi tanpa sains bagaikan pohon tak berakar ( science without technology has no
fruit, technology without science has no root ).
Sebagaimana dikatakan sebelumnya sains hanya mampu mengajarkan fakta dan
non fakta kepada manusia. Ia tidak dapat mengajarkan apa yang seharusnya atau yang
jangan dilakukan orang.
Fungsi sains menurut Einstein ( Holton, 1958 ) ialah mengkoordinasikan semua
pengalaman - pengalaman manusia dan menempatkannya ke dalam satu sistem yang
logis, sedangkan fungsi kesenian menurut Whithead ( Holton, 1958 ) ialah untuk
memberi manusia semacam persepsi mengenai suatu keberaturan dalma hidup dengan
menempatkan suatu keberaturan ( order ) padanya.
Memang benarlah, memalui sains, kesenian maupun filsafat usaha intelektual kita
diarahkan untuk mencari dan menemukan suatu pola, orde, system, maupun struktur
tertentu. Ia dapat menemukan suatu peubahan musim yang bersifat sangat primitive, atau
suatu sintesa kosmologi yang menawan hati ( Holton, 1958 ).
Ajaran - ajaran seperti yang tercantum pada kitab suci tidak diperoleh dari Sains.
Ajaran - ajaran semacam itu yang menyangkut nilai - nilai moral berada pada wewenang
teologi, filsafat atau ajaran - ajaran keagamaan.
Hubungan antara Sains dan Agama, ialah bahwa sains dan teknologi
membutuhkan bimbingan moral ( moral guidance ) Science without religion is blind , and
religion without science is lame.
Melalui kesenian manusia mencari identitas dirinya, untuk akhirnya memberi
jawaban pada pertanyaan : siapa dia, siapa engkau dan siapa aku.
Dalam hal ini, unsuk - unsur estetik yang diperolah melalui kesenian merupakan
pelengkap yang mutlak. Tanpa unsur - unsur kesenian, hidup hanyalah gurun belaka,
suatu oasis tanpa air. Satu sama lain keempat unsure tersebut harus berhubungan dan
terpadu dalam seorang manusia ( M.T.Zan hal. 10-11 ).
Kesenian Mencari keindahan
untuk mengenal apa dan
siapa saya / engkau

( Filsafat/ Teologi/
Agama)

Mengetahui apa yang


harus dan apa yang
jangan dilakukan
Sains Teoritis Sains Terapan
atau atau
Theoretical Applied
Science Science Tech.
( Mengetahui kenapa ) ( Mengetahui bagaimana
melakukan sesuatu )
Mari kita pelajari gambar yang dikutip dari bukunya M.T.Zen hal 11 sebagai
berikut ini :

Gambar. Diagram segi tiga menggambarkan hubungan antara ilmu dasar, ilmu terapan
dan kesenian yang satu sama lain berkaitan dengan filsafat / teologi atau ajaran-
ajaran keagamaan.

Dari diagram di atas maka jelaslah bagi kita bahwa antara filsafat, ilmu ( science ), religi
dan seni satu sama lain dapat saling berhubungan, ditandai dengan anak panah dengan
arahnya masing - masing.

C. Mazhab / Aliran Filsafat


Ada beberapa mazhab / aliran filsafat yang akan kita bahas pada bagian berikut
ini :
1. Idealisme
Tokoh daripada Idealisme ialah Plato ( 427 – 347 BC ).
Idealisme disebut juga spiritualisme yang pada dasarnya memendang bahwa
realitas terakhir adalah bersifat rokhani yang pada hakekatnya tak bersifat kebendaan.
Menurut Plato dunia ini hanya bayang - bayang daripada dunia idea itu.
Plato merupakan tokoh Idealisme Klasik jadi Metafisika Plato disebut juga
metafisika idealistic.
Menurut Plato hakekat daripada dunia, atau alam semesta ini adalah dunia idea.
Dunia sekarang yang kita alami adalah dunia baying - bayang daripada dunia idea
tersebut. Dunia idea merupakan dunia mutlak dan abadi, sedangkan dunia sekarang yang
dialami manusia penuh dengan ketidakpastian.
Kebenaran dan nilai dipandang sebagai hal yang mutlak dan berlaku umum.
Pengetahuan sebenarnya sudah berada dalam mind ( jiwa ) kita, hanya
membutuhkan untuk dibawa ke tingkat kesadaran lewat suatu proses yang disebut
introspeksi.
Mengetahui ialah berfikir kembali tentang idea - idea terpendam yang sebenarnya
sudah di dalam jiwa kita.
Pengetahuan yang benar ini diperselisihkan oleh dua orang tokoh yaitu herakleitos
( 535 – 475 BC ) dan Parmenides ( 540 - 475 BC ).
Herakleitos menyatakan dalam kesimpulannya, bahwa alam itu tidak tetap,
berubah selalu ( becoming ); oleh karena itu sesungguhnya di dalam alam tidak terdapat
ada ( being ).
Yang terdapat disana, hanyalah gerak atau perubahan semata, sehingga gerakanlah
yang merupakan kesungguhan, gerak itulah satu - satunya realitas.
Ia menggunakan istilah “panta rhei”, diumpamakan air mengalir, maksudnya air
yang lewat di kaki kita di masa yang akan datang.
Lain halnya dengan pandangan dari Parmenides ( 540 – 475 BC ), ia menyatakan,
bahwa gerak atau perubahan tidak ada. Ada itu sungguh - sungguh ada atau being. Di luar
ada hanya tiada, dan ini tentu tidak dapat dikenal, karena hanya ada sajalah yang dapat
dikenal.
Perubahan tidak mungkin terjadi, karena perubahan ialah peralihan dari tiada
kepada ada. Ia menganggap satu - satunya realitas aialah ada. Ada itu tidak berubah dan
hanya satu ada. Seandainya ada itu hanya satu, maka ia tak berawal, sebab dari manakah
kiranya asalnya, jika ia harus timbul ? bagi ada ini tak terdapat dulu dan kemudian. Ada
itu hanya ada balaka.
Pertentangan antara dua tokoh filsafat di atas tidak hanya mengenai ada dan
perubahan, melainkan juga mengenai hal tahu. Parmenides mengatakan bahwa tahu dan
ada itu sama. Kalau pengetahuan yang benar itu pengetahuan yang sesuai dengan realitas
yang diketahui, maka menurutnya hanya pengetahuan mengenai yang tetap saja yang
benar, sebab yang merupakan realitas itu hanya ada, yang sifatnya tetap. Parmenides
hanya mengakui kebenaran pengetahuan budi, yang memunculkan putusan - putusan
yang pasti dan tetap, sedangkan pengetahuan indera yang mencapai sesuatu yang
bergerak dan berubah - ubah itu tidak benar. Pengetahuan indera itu disebutnya
pengetahuan semu.
Menurut Herakleitos harus sebaliknya, yaitu yang benar hanyalah pengetahuan
mengenai perubaan dan bergerak.
Dengan demikian, pengetahuan yang benar adalah indera dan bukan pengetahuan
budi ( D.A.Wila Huky, 71 s/d 72 ).
Plato ingin mencari jalan tengan di antara kedua pendapat yang berbeda ini.
Plato mengakui pengetahuan indera yang berubah - ubah dan bermacam - macam
itu benar seperti yang kita indrai ini karena ada subyek yang berubah - ubah dan
bermacam - macam itu akan tetapi walaupun demikian pengetahuan budi yang bersifat
tetap itupun benar, karena subyeknya sungguh ada, yaitu idea yang ada dengan
sesungguhnya, terdapat pada dunianya sendiri, dunia idea.
Jadi menurut Plato, memang terdapat dua dunia, yaitu dunia pengamat dengan
gerak dan permacamannya, dan dunia idea yang tetap.
Semua dunia yang bermacam - macam ini dikembalikan kepada dunia idea tadi.
Oleh sebab itu filsafat Plato bersifat dualisme yang monistis.
2. Realisme
Tokoh dan Realisme adalah Aristoteles ( 384-322 BC ).
Ia menyelesaikan pendidikannya di Athena dan ia dikenal sebagai murid Plato.
Setelah Plato meninggal ia mendirikan sekolah di Assus, tetapi kemudian
ditinggalkannya untuk kemudian kembali ke Athena.
Selanjutnya ia dipanggil oleh filosof dari Macedonia, maksudnya agar ia menjadi
pangajar dari puteranya yang bernama Alexander atau yang kemudian dikenal namanya
Iskandar yang Agung. Ia menjadi guru sekaligus pengasuh pribadi Alexander.
Alexander kemudian banyak berperang untuk menaklukan negara - negara yang
berada di daerah Timur dan Selatan Laut Tengah. Maka kembalilah Aristoteles ke
Athena. Banyak sumbangan filsafat dan ilmunya kepada kita.
Pada dasarnya filsafat realisme dari Aristoteles merupakan filsadat yang
memandang realitas ini secara dualistis dan berbeda dengan Idealisme yang bersifat
monitis.
Pada prinsipnya realisme berpendapat bahwa hakekat realitas adalah terdiri dari
dunia fisik dan dunia rokh.
Aristoteles sebagai tokoh realisme memandang dunia serba dua atau dualistis.
Aristoteles membagi dunia menjadi dua bagian, yaitu subyek yang menyadari dan
mengetahui pada satu fihak, dan pada fihak lainnya ialah adanya realitas di luar manusia,
yang merupakan obyek pengetahuan.
Aristoteles sangat berjasa pada kita, berkat banyak hasil karyanya yang ditulis
dalam bentuk buku - buku. Warisan hasil karyanya yang terutama adalah :
a. Logika
b. Biologi
c. Metafisika
Disamping ketiga hasil karya tersebut di atas sebetulnya ia menghasilkan juga
hasil karya lain yang berupa ilmu - ilmu praktis seperti : Politica ( Ketata Negaraan ),
Ethica, Aesthetica, Poetica. Tentang hal ini mari kita ikuti penjelasan dari Prof. Slamet
Imam Santoso ( 1977 : 41 ) :
a. Logika : dijelaskan dalam buku Socrates yang bernama logika, bahwa
analisa bahaasa yang didasarkan kepada silogisme ( syllogisme ). Pada
dasarnya silogisme terdiri dari tiga kalimat :
Kalimat pertama mengutarakan soal yang umum, dan disebut premis
mayor, sedangkan kalimat kedua mengenai soal khusus dan disebut
premisse minor. Berdasarkan kedua premis tersebut ditarik kesimpulan
atau conclusion. Contohnya :
Premis mayor : semua manusia bersifat fana ( umum )
Premis minor : Socrates seorang manusia ( khusus )
Conclusion : Socrates akan mati ( kesimpulan )
Jadi ligika pada silogisme merupakan jalan pemikiran yang deduktif.
b. Biologi
Hasil - hasil observasi dalam lapangan empiris menunjukan kemampuan
pengamatannya yang sangat tajam.
Terutama dalam lapangan biolodi, hasil pengamatannya baik sekali dan
sangat penting. Antara lain dapat disebutkan karyanya tentang
embriologi, khususnya perkembangan dari telur ayam sampai terbentuk
kepala ayam.
Pun pemeriksaan anatomi badan hewan sudah dipelopori oleh sarjana
ini, antara lain bentuk urogenital apparatus beberapa hewan.
Pekerjaannya sebagai naturalist, yang hanya didasarkan pengamatan
oleh panca indra saja, memang sudah merupakan bukti yang sangat
penting berkenaan dengan kemampuannyauntuk mengamati alam
sekitarnya. Oleh karena pengamatannya meliputi seluruh alam
disekitarnya, maka sebenarnya tulisan-tulisannya menyerupai sebuah
ensiklopedia.
c. Metafisika
Karya lainnya, yang memelopori pemikiran tentang adaanya alam
semesta beserta isinya dan yang hingga saat ini tetap terpelihara, adalah
tulisannya yang berjudul metafisika. Sebenarnya nama ini bukan judul
yang diberikan Aristoteles sendiri.
Pada saat pengarangnya meninggal dunia, buku itu belum mempunyai judul. Oleh
Karena dalam urut - urutan buku yang ditulis judul terakhir adalah fisika ( physica ),
maka sekretarisnya memberi nama buku yang belum berjudul itu metaphisica, yang
sebenarnya berarti “sesudah fisika”. Tetapi kalau buku itu diteliti maka judul tadi tepat :
daam metafisika banyak sekali dibahas soal keagamaan ( thelogi ) serta pokok - pokok
yang berhubungan dengan nasalah adanya bermacam - macam hal di dunia ini, dalam
bahasa filsafat sekarang dikenal sebagai persoalan being.
Tepatnya pemberian judul metafisika pada karya Aristoteles yang terakhir ini
dapat ditunjukan dengan contoh sebagai berikut :
Ilmu fisika yang memeriksa benda - benda sebenarnya bertolak dari keyakinan
bahwa benda - benda itu ada. Oleh karena benda - benda itu ada, maka fisika memeriksa
sifat - sifat benda-benda tersebut.
Dengan kata lain, sebagai ilmu pengetahuan fisika sebenarnya hanya berlandas
pada sifat - sifat yang berasal dan memancar dari benda - benda tersebut.
Bendanya sendiri serta sifat - sifat yang berasal dari benda itu tidaklah diketahui
dan tidak diperiksa.
Sebaliknya metafisika mencoba memberi jawaban tentang adanya benda, sifat -
sifanya, dan hubungannya. “adanya ini di luar ( meta ) dari materinya yang digarap oleh
fisika karena itu judul metafisika memang tepat.
Contoh lain yang dapat dikemukakan sebagai persoalan yang dibicarakan dalam
metafisika adalah sebagai berikut :
Di dunia ini terbukti bahwa tiap kejadian didahului oleh suatu sebab. Tetapi sebab
itu sendiri merupakan akibat dari penyebab yang mendahuluinya.
Soal serupa kita hadapi dalam usaha menjawab teka - teki “siapakah yang lebih
dahulu ada, ayam atau telur ayam?”. Dalam menjawab dilemma yang tidak dapat
diselesaikan atas dasar logika ini, maka agama memberikan jawaban untuk mengakhiri
rangkaian yang tak berkeputusan ini, yaitu “tuhan adalah penyebab pertama, yang dengan
sendirinya tidak memerlukan penyebab.” ( Slamet Amam Santoso, 1977 : 44 ).
Selanjutnya Aristoteles selain membahas logika , biologi dan metafisika, ia juga
mengolah: politica, ethica, aesthetica dan poetica. Karena tulidannya itu semua disajikan
dengan cukup mengesankan dan sangat teliti, maka karyanya telah menjadi bahan baku
untuk waktu yang lama sekali. Secara umum dapat dikatakan bahwa pengaruhya dapat
bertahan sampai sekitar tahun 1500 sesudah masehi, bahkan logikanya masih dapat
dipakai sampai sekarang. Otoritas Aristoteles sedemikian besarnya, sehingga
menghambat pengetahuan baru yang lebih baik. Misalnya prinsip heliosentritisme ditolak
karena dalam astronominya Aristoteles telah menetapkan prinsip geosentritisme sebagai
tata surya.

3. Neoplatonisme
Tokoh daripada Neoplatonisme ialah Plotinos ( 204-270 ). Ajaran dari Plato
tentang idea tertinggi diperbaharui dan diperdalam oleh Plotinos. Ia sangat tertarik oleh
idea tertinggi dari Plato sebagai dasar segala yang ada.
Wila Huky ( 1981 : 73-74 ) mengemukakan dalam bukunya tentang faham
Plotinos itu sebagai berikut:
“Idea tertinggi sebagai dasar segala yang ada, oleh karena itu ada itu satu, sehingga
semuanya ikut serta dengan dia dalam adanya. Selain itu di dunia ini didapatkan juga hal
mengadakan ini, mahluk hidup misalnya mulai mengadakan bila ia sudah dewasa.”
Artinya baik manusia, binatang maupun tumbuh - tumbuhan semuanya menurunkan yang
sama dengan dia tanpa mengurangi dirinya sedikitpun. Jika ada yang terbatas ini saja
sudah dapat demikian, apalagi ada yang sempurna, yang memiliki segala kesempurnaan.
Kesempurnaan ini berlimpah - limpah, meluap - luap.
Dari yang Esa itu meluaplah yang bermacam - macam sehingga apa yang disebut
orang dengan ciptaan tidak lain daripada peluapan / emanasi. Bagi Plotinos tuhan yang
maha esa ini tidak terpisahkan dari dunia. Ia tidak mengatasi dunia, tuhan tidak
transendensi.
Tuhan tidak di dunia, melainkan dunia ada pada tuhan; seperti peluapan terdapat
pada yang meluap, seperti aliran terdapat pada yang mengalir., seperti panas terdapat
pada api. Tegasnya tuhan sama dengan dunia; dunia pada prinsipnya sama dengan tuhan (
Wila Huky, 1981 : 74 ).
Menurut Plotinos pada intinya dan pada hakekatnya ada itu hanya satu belaka.
Tuhan dan semua lainnya berhakekat sama : ajaran yang menyatakan semuanya itu
berhakekat tuhan yang disebut panteisme atau serba tuhan.
Pengaruh dari faham Platonisme ini meluas ke dunia Eropa dan Asia Barat, juga
kepada kalangan agama Kristen maupun Islam.
Plotinos banyak menggunakan istilah - istilah Plato dan menggunakan juga dasar
fikirannya, akan tetapi ia memajukan banyak hal yang sebelumnya tidak diselidiki oleh
filsafat yunani, jadi hal yang baru.
Oleh Plotinos pikir diarahkan kepada Tuhan dan Tuhan-lah yang menjadi dasar
segala sesuatunya. Lain dari Plato dengan tegas idea tertinggi itu disebutnya Tuhan atau
yang esa. (Poedjawijatma, 1966 : 51).

4. Pragmatisme
Pragmatisme kadang - kadang disebut juga instrumentalisme atau
ekperimentalisme.
Filsafat ini dikatakan instrumentalisme karena mempunyai anggapan bahwa suatu
tujuan bukan merupakan final goal, melainkan merupakan alat untuk mencapai tujuan
berikutnya.
Disebut eksperimentalisme karena menggunakan metode eksperiment untuk mendapat
kebenaran.
Ada beberapa tokoh aliran ini, yaitu William James ( 1824-1910 , John Dewey
( 1859-1952 ), dan Ch.S. Peirce ( 1858-1952 ). Pragmatisme ini tumbuh subur di
Amerika, tetapi orang Eropa pun mengikutinya. Ada beberapa tokoh yang dapat dianggap
pengikut Pragmatisme seperti Hans Vaihinger, Ferdinand Schiller, George Santayana.
Menurut Pragmatisme teori itu benar apabila berfungsi Pragmatisme berasal dari
kata yunani ”pragma” yang berarti guna.
Pandangannya tentang realita dan dunia, menganggap bahwa dunia tidak bebas dari dan
tidak terikat kepada idea manusia.
Realita merupakan interaksi manusia dengan lingkungannya manusia dan lingkungannya
berdampingan, dan memiliki tanggung jawab yang sama terhadap realitas. Dunia akan
bermakna sejauh manusia mempelajari makna yang ada di dalamnya. Perubahan
merupakan esens realitas, dan kita harus siap merubah cara - cara yang akan kita
kerjakan. Manusia pada hakekatnya plastis dan dapat berubah ( kutipan U.Sadulloh dari
Kneller, 1971 : 13 ).
Mengenai teori kebenaran, William James mengemukakan bahwa teori
merupakan alat yang kita pergunakan untuk memecahkan masalah dalam pengetahuan
kita. Karena itu suatu teori harus dinilai dalam pengertian mengenai keberhasilannya
menjalankan fungsinya.
Kebenaran bukan sesuatu yang statis, melainkan tumbuh berkembang dari wktu
ke waktu.
Selanjutnya U.Sadulloh mengutip dari Harun Hadiwiyono ( 1980 ) tentang teori
kebenaran sebagai berikut : menurut Wiliiam James tidak ada kebenaran yang mutlak,
yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari pada akal yang
mengenal. Sebab pengalaman kita berjalan terus dan segala yang kita anggap benar
dalam pengalaman itu senantiasa berubah, karena di dalam prakteknya apa yang kita
anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya; oleh karena itu tidak ada
kabenaran yang mutlak. Yang ada hanya kebenaran, yaitu yang benar dalam pengalaman
- pengalaman yang khusus, yang setiap kali dapat diubah oleh pengalaman berikutnya.
Setelah James, muncul John Dewey dengan suatu pandangan yang disebut
“instrumentalisme”. Mungkin Dewey merupakan pemikir yang sangat berpengaruh pada
zamannya; sehingga ia dapat memberikan corak kebudayaan bangsa Amerika sampai
sekarang. Ia mengemukakan sebuah teori pengetahunan dari sudut peranan biologis dan
psikologis. Konsep - konsepnya merupakan bimbingan untuk mengarahkan kegiatan
intelektual manusia ke arah masalah social yang timbul pada waktu itu. Menurut Dewey (
Hadiwitono, 1980 : 133-134 ), tugas filsafat ialah memberikan garis - garis pengarahan
bagi perbuatan dalam kenyataan hidup, oleh karena itu filsafat tidak boleh tenggelam
dalam pemikiran - pemikiran metafisis yang tidak ada faedahnya. Filsafat harus berpijak
pada pengalaman dan menyelidiki serta mengolah pengalaman tersebut secara kritis.
Penyelidikan berkaitan dengan penyusunan kembali pengalaman yang dilakukan
dengan sengaja. Oleh karena itu penyelidikan dengan penilaiannya merupakan alam
( instrument ).
Jadi filsafat Dewey disebut instrumentalisme, karena berusaha untuk menyusun
suatu teori yang logis dan tepat dari konsep - konsep, pertimbangan - pertimbangan,
penyimpulan - penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam - macam itu, dengan cara
pertama - tama menyelidiki bagaimana pikiran berfungsi dalam penentuan - penentuan
yang berdasarkan pengalaman, yang mengenai konsekwensi - konsekwensi di masa
depan.
Menurut Dewey, yang benar ialah apa yang pada akhirnya disetujui oleh semua
orang yang menyeligikinya.
Pandangan tentang nilai, Pragmatisme berpendapat bahwa nilai itu relative.
Kaidah - kaidah noral dan etika tidak tetap, tetapi harus berubah seperti perubahan
kebudayaan dan masyarakat. Pragmatisme menyarankan untuk menguji kualitas nilai
dengan cara yang sama seperti kita menguji kebenaran idea kita. Kita harus
mempertimbangkan perbuatan manusia dengan tidak memihak, dan secara ilmiah
memilih nilai - nilai yang tampaknya memungkinkan untuk memecahkan masalah -
masalah nilai yang dihadapinya. Nilai - nilai itu tidak akan dipaksakan dengan kekuatan
apapun kepada kita, untuk diterimnya.
Nilai - nilai itu akan disetujui setelah diadakan diskudi secara terbuka yang
didasarkan atas bukti obyektif.
Demikian pandangan nilai Pragmatisme, yang dikumukakan oleh U.Sadulloh
sebagai kutipan dari Kneller ( 1971 : 37 ).

5. Existensialisme
Eksistensialisme adalah filsafat yang memandang segala gejala dengan
berpangkal kepada eksistensi. Eksistensi adalah cara manusia berada di dalam dunia.
Cara berada manusia di dunia, berbeda dengan cara beradanya benda - benda material.
Tokoh dari aliran Eksistensialisme ialah Soren Kierkegaard ( 1813-1855 ).
Kierkegaard sebenarnya bukan ahli filsafat tetapi seorang ahli theology.
Menurut aliran Eksistensialisme keberadaan benda - benda tidak sadar akan
dirinya sendiri, juga tidak ada komunikasi satu sama lainnya.
Tidak demikian keberadaan manusia di dunia. Manusia berada bersama manusia
lain, dan benda - benda itu akan berarti karena manusia.
Inti masalahnya ialah : “Apa itu kehidupan manusia?” “Apa tujuan dari kegiatan
manusia?” Bagaimana kita menyatakan keberadaan manusia?”.
Ia menggunakan istilah ekstensi dalam istilah theology. Poedjawijatna ( 1966 : 156-157 )
mengemukakan bahwa : Kierkegaard mempunyai konsep tentang 3 tingkatan hidup
( stadia ) : stadium aestetis, etis, dan religious. Tiga tingkatan ini bukanlah merupakan
peralihan yang tak terasa, melainkan ada merupakan pertentangan, sehingga orang harus
meloncat dari stadium satu ke stadium berikutnya. Orang yang dalam stadium aestetis
ialah orang yang berfikir tanpa gerak. Ia dapat memikirkan tentang segala sesuattu, akan
tetapi ia sendiri ada di luar yang dipikirkan itu.
Orang yang ada pada tingkatan etis, berpaling dari alam luaran ini serta
mengarahkan perhatiannya kepada realitasnya yang ada di dalamnya sendiri.
Stadium ketiga yaitu stadium religious, putuskanlah segala ikatan umum. Muncul
manusia sebagai subyek yang individual dalam hubungannya dengan yang konkrit, yaitu
dengan nabi Isa yang konkrit dan sungguh ada.
Allah - manusia yang merupakan paradox. Minatnya tidak lagi pada diri sendiri,
melainkan pada nabi Iisa. Tuhan yang hidup sebagai manusia dalam waktu. Demikianlah
manusia dalam stadium religious, ia ada dalam waktu, tetapi berhubungan juga dengan
keabadian. Adapun hasilnya ialah perubahan manusia karena imannua. Di situlah ia
mengetahui eksistensinya.
Pokok pemikirannya dicurahkan kepada pemecahan yang konkrit terhadap
persoalan arti “berada” mengenai manusia.
Tokoh - tokoh lainnya yang kita kenal diantaranya : Martin Buber, Martin
Heidegger, Jean Paul Sartre, Karel Yaspers, Gabriel Marcel, Paul Tillich.
Bagi Eksistensialisme , benda - benda materi alam fisik, dunia yang terpisah dari
manusia, tidak akan bermakna, atau tidak mempunyai tujuan. Jadi dunia ini hanya akan
bermakna karena manusia. Eksistensialisme mengakui bahwa apa yang dihasilkan oleh
ilmu adalah cukup asli, tetapi memiliki makna kemanusiaan secara langsung.
Demikianlah dikemukakan oleh Kneller ( 1964 : 71-72 ). Paham Eksistensialisme
bukan hanya satu, melainkan terdiri dari berbagai pandangan yang berbeda - beda.
Namun demikian pandangan - pandangan yang tersebut memiliki beberapa persamaan,
hingga mereka dapat dikatakan filsafat Eksistensialisme.
Persamaan tersebut oleh U.Sadulloh dikemukakan dengan mengambil sumber dari Harun
Hadiwijatna ( 1980 : 149 ) sebagai berikut :
a) Motif pokok ialah apa yang disebut ekstensi, yaitu cara manusia berada. Hanya
manusialah yang berekstensi.
Ekstensi adalah cara khas manusia berada. Pusat perhatian ini ada pada manusia,
oleh karena itu bersifat humanistis.
b) Berekstensi harus diartikan secara dinamis. Berekstensi berarti menciptakan
dirinya sendiri secara aktif, berekstensi berarti berbuat, menjadi, merencanakan.
c) Dalam filsafat Eksistensialisme manusia dipandang sebagai terbuka. Manusia
adalah realitas yang belum selesai, yang masih harus dibentuk. Pada hakekatnya
manusia terikat kepada manusia sekitarnya, terlebih - lebih kepada sesama
manusia.
d) Filsafat Eksistensialisme memberi tekanan kepada pengalaman yang konkrit,
pengalaman yang eksistensial.

Berbicara tentang nilai, Eksistensialisme menekankan kebebasan dalam tindakan.


Kebebasan bukan tujuan atau cita - cita dalam dirinya sendiri, melainkan merupakan
suatu potensi untuk suatu tindakan. Demikian kata Martin Buber ( Kneller, 1971:73 ).
Memang manusia memiliki kebebasan untuk memilih sesuatu. Tetapi menentukan pilihan
di antara pilihan - pilihan yang baik adalah yang paling sukar.
Berbuat itu akan menghasilkan akibat, di mana seseorang harus menerima akibat -
akibat tersebut sebagai pilihannya.
Kebebasan itu tidak pernah selesai, karena setiap akibat akan melahirkan
kebutuhan untuk pemilihan berikutnya.
Perbuatan moral dilakukan untuk moral itu sendiri, atau untuk suatu tujuan. Tetapi
seseorang harus mampu menciptakan sendiri tujuannya. Apabila sesorang menerima
tujuan kelompok, ia harus menjadikan tujuan tersebut menjadi miliknya, dengan
ketentuan bahwa situasi tujuan tersebut merupakan tujuan yang harus dicapai. Jadi tujuan
itu di peroleh dalam situasi.
Mengenai teori pengetahuan, Eksistensialisme banyak dipengaruhi oleh
fenomenologi, suatu pandangan yang menggambarkan penampakan benda - benda dan
peristiwa - peristiwa sebagaimana apa yang menampakan diri dari benda - benda tersebut
terhadap kesadaran kita. Menurut Eksistensialisme pengetahuan kita tergantung pada
pemahaman kita tentang realitas, tergantung kepada interpretasi kita tentang realitas.

6. Fenomenologi
Fenomenologi merupakan metode filsafat berasal dari ciptaan Edmund Husserl
( 1859 – 1939 ), selanjutnya dikembangkan oleh Marx Scheller ( 1872 – 1928 ).
Saat - saat awalnya Husserl berfilsafat mengenai ilmu pasti, lama - kelamaan ia
tiba pada renungan mengenai filsafat pada umumnya.
Dalam Fenomenologi dikemukakan bahwa kita harus memperkenalkan gejala -
gejala dengan menggunakan situasi. Kenyataan atau realita tidak harus didekati dengan
argumen, konsep - konsep, dan teori umum, maupun dengan menggunakan pendakan
empiri seperti dengan observasi dan eksperimen. Kita harus mulai dengan metode untuk
berfikir. Mengenai istilah Fenomenologi berasal dari kata fenomenon = gejala.
Husserl mencoba menyusun metode yang mengungkapkan seolah - olah
memperlihatkan keadaan hakiki pada tiap - tiap obyek pengetahuan yang mungkin ada.,
tanpa dicampuri refleksi dan pengetahuan serta pengalaman sedikitpun sebelumnya.
Husserl mencoba menguraikan obyek yang dilihatnya dari luar, dengan melepaskan
pretensi bahwa ia sanggup menerangkan segala sesuatu tentang obyek tersebut, ia
mengabaikan realitas mana yang cocok dengan obyek tersebut, ia juga melepaskan
kepribadian yang sebelumnya dapat menghalangi untuk dapat membuka tabir dari obyek
yang ia amati, ia mencoba melepaskan segala sesuatu yang bukan inti.
Fenomenologi sanggup memberi bahan - bahan oengertian yang murni, yang
perlu sebagai dasar bagi segala pemikiran filsafat. Oleh para penganutnya, Fenomenologi
dianggap sebagai ilmu dasar.
Menurt Husserl Fenomenologi sebenarnya merupakan teori tentang fenomena, ia
mempelajari apa yang Nampak diri atau fenomena.
Metode Fenomenologi ini berpengaruh terhadap ilmu - ilmu lain, contohnya
S.Strasser menggunakannya untuk ilmu antropologi; E ee Bruyne menggunakannya
untuk etika dan estetika, selanjutnya Lavengeld untuk Paedagogik. Max Scheller adalah
salah seorang filofof fenomenologi ( 1874-1928 ).
Poedwijatna ( 1966 : 153 ) mengatakan bahwa : Max Scheller menggunakan
metode Husserl itu dan tidaklah diusahakannya untuk menganalisa dan menerangkan
lebih lanjut hal mengerti serta gejala - gejalanya.
Yang diutamakannya ialah penyelidikan secara fenomenologis etika dan filsafat agama.
Manusia itu bukanlah pencipta nilai tingkah laku, melainkan nilai - nilai itu
berlaku lepas daripada manusia.
Tugas manusia adalah mengakui nilai - nilai itu serta dalam hidup mengikutinya.
Etika Kant menurut dia tidak memuaskan, karena hanya mengembalikan seluruh etika
kepada kewajiban.
Adapun gejalanya tidaklah demikian, sebab kita tidak hanya harus tahu, bahwa
kita kewajiban, melainkan harus kita ketahui juga apakah – yang menurut kewajiban itu
harus kita lakukan.
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Hasan, Fuad, (1986), Apologia, Jakarta : Bulan Bintang.

Kusbada, Dady, (1984), Filsafat dan Teori Pendidikan, Bandung : Jurusan FSP FIP IKIP
Bandung.
Poedjawiatna, I.R. (1984), Membimbing ke Arah Alam Filsafat, Jakarta : Pembangunan.
Rasyidi, H.M., (1984), Persoalan-Persoalan Filsafat, Jakarta : Bulan Bintang.
Santoso, Imam Slamet, (1977), Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan, Jakarta : Sinar
Hudaya.
Sahakian William S. (1966), Outline History of Philosophy, Massachusetts : Bernes &
Noble College.
Sadulloh, Uyoh, (1982), Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung : FFP FIP IKIP
Bandung.
Suriasumantri, Yuyun S. (1985), Ilmu dalam Perspektif, Jakarta : Gramedia.
BAB II
Seluk Beluk Filsafat Pendidikan
Oleh : Drs. Redja Mudyohardjo
Drs. Dede Somarya

A. Karakteristik Filsafat Pendidikan

1. Ciri - Ciri Studi Filsafat Pendidikan

Filsafat pendidikan dapat dipandang sebagai proses dan hasil kegiatan kreatif
manusia. Sebagai suatu kegiatan kreatif manusia, filsafat pendidikan merupakan suatu
studi pendidikan, atau suatu penelaahan masalah - masalah pendidikan dengan
mempergunakan pola pikir dan pola kerja tertentu. Sedangkan sebagai hasil kegiatan
kreatif, filsafat pendidikan merupakan seperangkat pandangan atau gagasan tentang
masalah - masalah pendidikan, yang ditampilkan dan disajikan dalam suatu pola atau
sistem, dan gaya tertentu. Dengan demikian fisafat pendidikan dapat dipandang sebagai
sekeping uang logam yang mempunyai dua muka yang tak dapat terpisahkan.

Filsafat pendidikan bukanlah satu - satunya studi pendidikan. Sekurang -


kurangnya ada tiga macam studi pendidikan yang dikenal dalam dunia profesional
pendidikan. Ketiga macam studi tersebut yaitu : (1) studi filsafat ( filsafat pendidikan ),
(2) studi ilmiah ( ilmu pendidikan ), dan (3) studi sistem atau pendidikan sistem
( perencanaan pendidikan ).

Antara ketiganya terdapat kesamaan dalam pola pikir atau kerangka dasar kegiatan
dalam studi. Sedangkan perbedaannya terletak pada pola kerja atau kerangka operasional
dalam menghadapi masalah pendidikan, baik dalam memilih masalah ( problematik ),
tujuan pemecahan masalah ( tema ), maupun dalam cara pemecahannya ( metode ).
Marilah kita bahas persamaan atau perbedaan ketiga macam studi pendidikan tersebut
dalam rangka lebih mengenali ciri - ciri filsafat pendidikan sebagai studi pendidikan.

Studi dalam bentuk filsafat pendidikan, ilmu pendidikan dan perencanaan


pendidikan mempunyai kesamaan dalam pola fikir yang menjadi dasar acuan kerja. Pola
fikir tersebut adalah pola berfikir sistematis cara memecahkan masalah pendidikan, atau
model pemecahan masalah secara sistematis. Model ini merupakan kerangka kerja
bertahap dalam mengenali dan memecahkan masalah. Selanjutnya terdapat perbedaan
karakteristik model pemecahan masalah yang dipergunakan dalam studi filsafat
pendidikan, ilmu pendidikan, dan perencanaan pendidikan. Perbedaan tersebut berkenaan
dengan karekteristik masalah yang hendak dipecahkan, karakteristik tujuan yang hendak
dicapai dalam pemecahan masalah, dan karakteristik metode atau cara yang dipergunakan
dalam pemecahan masalah.

Yang menjadi masalah dalam studi filsafat pendidikan adalah keseluruhan


masalah pendidikan yang fundamental. Studi filsafat pendidikan berusaha menjelajahi
semua aspek pendidikan yang abadi, atau yang selalu akan dihadapi dalam kehidupan
manusia sepanjang zaman. Hal ini berarti bahwa studi filsafat pendidikan mempunyai ciri
komprehensif mendasar.

Studi semacam ini berbeda dengan studi ilmu pendidikan dan studi pendekatan sistem
dalam perencanaan pendidikan. Yang menjadi masalah dalam studi ilmu pendididikan
adalah suatu masalah pendidikan yang sedang dihadapi. Dengan demikian studi ilmu
pendidikan brusaha memecahkan masalah pendidikan yang terbatas pada suatu aspek
atau dimensi pendidikan yang sedang dihadapi. Oleh karena itu, studi ilmu pendidikan
mempunyai ciri spesifik kontemporer. Selanjutnya yang menjadi masalah dalam studi
perencanaan pendidikan adalah masalah pendidikan yang kompleks dan mendesak untuk
diatasi.

Dengan demikian studi pendekatan sistem dalam perencanaan pendidikan mempunyai


ciri komprehensif pragmatis.
Tujuan studi filsafat pendidikan adalah mengungkapkan pandangan atau wawasan
pendidikan yang seharusnya atau sebaiknya dijadikan dasar pijakan dalam melaksanakan
pendidikan. Hal ini berarti bahwa wawasan yang ditawarkan atau disodorkan bukanlah
wawasan pendidikan yang sedang terjadi dalam kehidupan manusia, tetapi wawasan
pendidikan yang seharusnya terjadi. Wawasan tersebut melampaui atau di luar fakta
pendidikan yang terdapat dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain, wawasan tersebut
merupakan hasil pemikiran spekulatif atau pemikiran yang berusaha mencari makna
sesuatu melampaui atau di luar fakta yang terdapat dalam kehidupan manusia. Apabila
ditinjau dari segi tujuannya, maka studi filsafat pendidikan mempunyai ciri normatif dan
spekulatif.

Hal ini berbeda dengan ciri studi ilmu pendidikan dan perencanaan pendidikan. Tujuan
studi ilmu pendidikan adalah menerangkan fakta atau prinsip - prinsip tentang peristiwa -
peristiwa pendidikan yang terjadi dalam khidupan manusia. Di sini tidak mencari hal -
hal yang seharusnya ( normatif ) dan keluar dari fakta, tetapi berusaha memberikan
gambaran yang menerangkan tentang peristiwa - peristiwa pendidikan yang terjadi dalam
kehidupan manusia. Oleh karena itu, studi ilmu pendidikan mempunyai ciri deskriptif dan
interpretatif. Selanjutnya tujuan studi pendekatan sistem adalah mencari cara - cara
terbaik yang dapat dilakukan dalam kondisi yang ada. Hal ini berarti bahwa studi
pendekatan sistem dalam perencanaan pendidikan mempunyai ciri optimalisasi dan
operasional.
Cara dalam studi filsafat pendidikan bersifat sinopsis atau sintesis artinya cara kerja yang
berusaha meneruskan wawasan pendidikan yang bersifat merangkum dan terpadu, yaitu
wawasan pendidikan yang mencakup segala aspek pendidikan dalam satu sistem atau
kerangka pemikiran yang bulat. Sedangkan metode kontemplatif adalah cara kerja yang
berusaha mengungkapkan wawasan pendidikan dengan mempergunakan perenungan atau
pemikiran mendalam berdasarkan seluruh pengalaman dan kemampuan kemanusiaan
yang ada.
Akhirnya yang dimaksud dengan pemecahan masalah secara kritis adalah
pemecahan masalah yang dilakukan dengan jalan bekerja dan berfikir keras dengan
penuh pertimbangan untuk menemukan wawasan pendidikan yang prinsipil atau pokok.
Jadi ciri cara kerja dalam studi filsafat pendidikan adalah sinopsis / sintetis kontemplatif
dan kritis. Hal ini berbeda dengan karekteristik cera kerja dalam studi ilmu pendidikan
dan pendekatan sistem dalam perencanaan pendidikan. Karakteristik cara kerja dalam
studi ilmu pendidikan adalah analitis, empiris dan nomothetis. Studi ilmu pendidikan
bersifat analitis karena mmepergunakan cara kerja yang berusaha menggambarkan dan
menerangkan hal - hal atau prinsip - prinsip yang menjadi aspek dimensi, atau unsur
peristiwa pendidikan. Selanjutnya ciri cara kerja dalam studi ilmu pendidikan adalah
empiris, karena hal - hal atau prinsip - prinsip yang hendak digambarkan atau diterangkan
didasarkan pada hasil pengalaman melalui observasi. Akhirnya apa yang dimaksud
dengan nomothetis dalam studi ilmu pendidikan adalah cara kerja yang berusaha
merumuskan hukum - hukum yang berlaku dalam pendidikan secara bertahap
berdasarkan asumsi tertentu dan melalui pengujian secara empiris. Sedangkan
karakteristik cara kerja pendekatan sistem dalam perencanaan pendidikan adalah
penyusunan model atau program, interdisipliner atau multidisipliner dan pragmatis atau
praktis. Cara kerja dalam studi pendekatan sistem adalah penyususnan model atau
program atau cara kerja yang berusaha memetakan suatu kerangka kerja pemecahan
masalah atau program kerja yang diperlukan. Selanjutnya yang dimaksud dengan metode
interdisipliner atau multidisipliner adalah cara kerja pemecahan masalah dengan
mempergunakan konsep - konsep dan teknik - teknik kerja berbagai disiplin atau cabang
ilmu. Sedangkan yang dimaksud dengan metode pragmatis atau praktis dalam studi
pendekatan sistem adalah cara kerja yang berusaha menemukan kerangka kerja atau
model kerja yang dapat dipergunakan epektif dan efisien dalam memecahkan masalah
yang sedang dihadapi.
Sebelum beralih kepada pembahasan hal lain marilah kita rangkumkan ciri - ciri
filsafat pendidikan sebagai studi pendidikan. Studi filsafat pendidikan mempergunakan
metode pemecahan masalah, yang mempunyai cirri - ciri komprehensip mendasar,
normatif, spekulatif, sinopsis atau sintesis, kontemplatif dan radikal.
Selanjutnya apakah yang dilakukan orang dalam mengungkapkan filsafat
pendidikannya? Seperti halnya dalam filsafat, dalam berfilsafat pendidikan pun akan
melibatkan sekurang - kurangnya enam macam perbuatan yang serentak dilakukan dalam
mengungkapkan filsafat pendidikannya. Keenam macam perbuatan tersebut terdiri atas :
(1) menyatakan sikap secara tersurat atau tersirat terhadap wawasan atau tokoh filsafat
dan pendidikan yang ada. Sehubungan dengan sikap ini, seseorang dapat bersikap
dognatis, skeptis, eklektif atau sinkretis; (2) menyatakan sikap sikap secara tersurat atau
tersirat terhadap keseluruhan masalah dalam rangka memilih tema pembahasan.
Sehubungan dengan hal ini, seseorang dapat bersikap positivistis, naturalistis, idealistis,
atau pragmatis; (3) memilih titik tolak yang dijadikan awal dalam mengungkapkan
filsafat pendidikan. Sehubungan dengan hal ini seseorang dapat memulainya secara
empiris, rationalis, autoritarianis, atau nistis; (4) mempergunakan metode kerja tertentu
dalam mengungkapkan filsafat pendidikannya. Sehubungan dengan hal ini, seseorang
mungkin mempergunakan metose reduksi, rekontruksi, atau klasifikasi ideal; (5)
menyatakan isi filsafat pendidikannya, yang antara lain dapat diungkapkan secara
porfetik / pastoral, spekulatif / mediatif, analitis / diskursif, atau kreatif / puitik; (6)
menyatakan gaya pengungkapan filsafat pendidikannya yang antara lain dengan gaya
idikatif / naratif, aporistik atau sistematik. Dengan demikian bentuk nyata kegiatan dalam
mengungkapkan filsafat pendidikan merupakan kombinasi dari kemungkinan -
kemungkinan yang ada dari enam macam perbuatan tersebut di atas. Dapat dibayangkan
besarnya keragaman bentuk kegiatan dalam berfilsafat pendidikan.

2. Ciri-Ciri Filsafat Pendidikan sebagai Studi Teoritis Pendidikan

Pembahasan tentang karakteristik umum filsafat pendidikan sebagai studi teoritis


( spekulatif ) pendidikan, bersangkut paut dengan masalah hubungan antara filsafat
umum dengan filsafat pendidikan. Bagaimana bentuk atau struktur isi filsafat pendidikan,
berhubungan erat dengan pola hubungan fungsional antara filsafat umum dengan filsafat
pendidikan. Mengenai pola hubungan tersebut ada beberapa jenis pola hubungan yang
dapat kita temukan dalam perkembangan pemikiran manusia dari zaman ke zaman. Hal
ini berarti bahwa jenis dan bentuk filsafat pendidikan sebagai studi teoritis pendidikan
tidaklah hanya satu macam, tetapi beraneka ragam, sesuai dengan filsafat pendidikan.
Marilah kita tengok keanekaragaman bentuk filsafat pendidikan tersebut.

Pertama kita dapat menemukan pola, bahwa penelaahan atau pemikiran filsafat
tentang pendidikan merupakan bagian dari keseluruhan pemikiran filsafat umumnya.
Filsafat pendidikan merupakan bagian dari fisafat umum. Misalnya pemikiran filsafiah
tentang pendidikan merupakan bagian atau serpihan dari pemikiran filsafat sosial atau
filsafat negara. Hal semacam ini antara lain terdapat pada Plato dalam Republic,
Aristoteles dalam Politics, dan sebagainya. Apakah pengaruh pola hubungan semacam ini
terhadap bentuk filsafat pendidikan sebagai teori pendidikan? Filsafat pendidikan
merupakan teori pendidikan yang terdiri atas serpihan - serpihan pemikiran tentang
pendidikan, tersebar dalam pemikiran filsafat umum, dan berfungsi melengkapi
pemikiran filsafat umum. Filsafat pendidikan bukanlah tuan rumah yang dapat mengatur
dirinya sendiri, tetapi tamu khusus filsafat umum. Filsafat pendidikan belum merupakan
suatu studi dan teori pendidikan yang berdiri sendiri atau mandiri tetapi sebagai bagian
tak terpisahkan dari filsafat umum.

Pola kedua yang dapat kita temukan dalam khasanah pemikiran filsafiah tentang
pendidikan adalah pola yang bertentangan dengan pola pertama. Filsafat umum bukanlah
dasar atau akar dan mendahului pemikiran pendidikan, tetapi merupakan hasil dari
pemikiran pendidikan. Pemikiran filsafat pendidikan mendahului dan membawa kepada
pemikiran filsafat umum. Pandangan semacam ini misalnya dapat kita jumpai pada :
Woodbridge dalam Philosophy and Education, yang antara menyatakan “Phylosophy is
the flower, not the root of education” ( Brubacker : 19 ), K.H. Dewantara dalam Azas -
azas dan Dasar - Dasar Taman Siswa, yang antara lain secara tersirat dan tersurat berisi
pandangan hidup atau filsafat hidup yang dikemukakan dalam rangka menjelaskan
prinsip - prinsip pendidikan, dan sebagainya. Di sini tampak bahwa filsafat pendidikan
merupakan studi dan teori pendidikan yang mandiri dengan dilengkapi filsafat hidup.
Filsafat pendidikan adalah tuan rumah yang mandiri dan menghasilkan filsafat hidup.
Dengan demikian filsafat pendidikan dapat mandiri dalam memilih pola pikir dan isi
pemikiran pendidikan, yang antara lain menghasilkan pemikiran tentang filsafat hidup.

Pola ketiga yang dapat kita temukan dalam khazanah pemikiran filsafat
pendidikan adalah pola hubungan aplikatif, dalam arti bahwa filsafat umum merupakan
dasar atau akar dan mendahului filsafat pendidikan. Dengan kata lain, filsafat pendidikan
merupakan implikasi atau penerapan lebih lanjut filsafat umum dalam bidang pemikiran
pandidikan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila filsafat pendidikan diartikan
sebagai penerapan metode dan gagasan filsafat umum dalam memecahkan masalah -
masalah pendidikan. Pola semacam ini antara lain dapat kita temukan pada : Henderson
dalam Introduction to Phylosophy oOf Education, yang membataskan filsafat pendidikan
sebagai “....... The application of phylosophy to the studi of the problem of education”
( Henderson : 12 ); Horn dalam The Phylosophy of Education, yang antara lain
menyatakan “.......that the question of the phylosophy of education is that what are the
implication of education” ( Horn : 258 ). Di sini kelihatan bahwa filsafat pendidikan
sudah berusaha melepaskan sebagian dari ketergantungannya pada filsafat umum, tetapi
mempertahankan hubungan fungsional dengan filsafat umum. Filsafat pendidikan bukan
merupakan bagian tak terpisahkan dari filsafat umum, dan bukan pula yang menghasilkan
filsafat umum, tetapi merupakan kreasi manusia tersendiri, yang tetap mendasarkan pola
fikirnya pada filsafat umum. Filsafat pendidikan mandiri dalam obyek dan bertopang
pada filsafat umum dalam pola fikir. Filsafat pendidikan adalah tuan rumah yang dapat
mengatur sebagian dari dirinya, dan bersamaan dengan itu menerima pengaruh yang
menentukan dari filsafat umum.

Pola keempat yang dapat kita temukan dalam khazanah pemikiran pendidikan
adalah pola yang mencoba menghindarkan diri dari pertentangan mana yang lebih
mendahului dan berperan antara filsafat umum dan filsafat pendidikan. Pola ini berusaha
mendamaikan dan menyatukan filsafat umum dengan filsafat pendidikan. Hal semacam
ini antara lain terlihat pada J. Dewey dalam Democracy and Education, yang antara lain
menyatakan “......phylosophy as the theory oy education in its most general phases”
( J.Dewey : 386 ). Di sini tidak memisahkan filsafat umum dan filsafat pendidikan.
Fisafat adalah filsafat pendidikan dalam arti konsep pendidikan yang sangat umum.
Sebaliknya filsafat pendidikan adalah filsafat oleh karena berfikir reflektif tentang makna
hidup, seperti yang dilakukan oleh filsafat umum. Oleh karena itu, filsafat pendidikan
kreasi manusia yang mandiri, yang tidak perlu mempersoalkan dimana kedudukan dan
peranan filsafat umum. Filsafat umum dan filsafat pendidikan adalah tuan rumah yang
sama dan dapat mengatur dirinya sendiri baik dalam struktur maupun isi pembahasan
masalah-masalah pendidikan.
Pola kelima yang dapat kita temukan dalam khazanah pemikiran pendidikan adalah pola
hubungan bebas antara filsafat umum dengan filsafat pendidikan. Filsafat pendidikan
adalah kreasi manusia yang mandiri baik dalam metode maupun obyek, dan meyakini
kegunaan filsafat umum bagi filsafat pendidikan, tetapi hubungan dengan filsafat umum
bukanlah suatu keharusan dan esensial. Filsafat pendidikan mempunyai kebebasan
mutlak dalam mengadakan hubungan dengan filsafat umum. Filsafat pendidikan adalah
tuan rumah yang dapat memilih dan menentukan sendiri filsafat umum yang akan
dimanfaatkan dalam menyusun filsafat pendidikan. Filsafat pendidikan sebagai tuan
rumah menentukan sendiri jenis filsafat umum yang akan dijadikan tamunya yang
berguna. Pola semacam ini antra lain terdapat pada adams dalam The Teachers as
Phylosopher, School and Society ( Brubacker : ). Dengan demikian filsafat pendidikan
mandiri yang bebas memilih filsafat umum yang akan dimanfaatkannya.
Berdasarkan uraian tentang pola - pola hubungan filsafat pendidikan dengan
filsafat umum, sekurang - kurangnya kita dapat mengenali lima macam bentuk filsafat
pendidikan, dengan struktur isi atau kerangka isi yang berbeda dalam kemandirian,
kekompakan atau keterpaduan, dan ketegasan isi. Berdasarkan kerangka isinya, kita dapat
pula mengenali lima macam batasan filsafat pendidikan. Marilah kita rumuskan kelima
macam batasan tersebut, yang melengkapinya dengan karakteristik kemandirian,
keterpaduan, dan ketegasan pengungkapan isinya.
Seperti telah dinyatakan pada uraian terdahulu, filsafat pendidikan dibataskan
sebagai bagian tak terpisahkan dari filsafat umum. Wawasan pendidikan yang
dikemukakan belum menjadi satu kerangka uraian tentang pendidikan, tetapi tersebar di
sana sini mengikuti pola pembahasan filsafat. Dengan kata lain belum mempunyai
kerangka isi yang mandiri. Lain dari pada itu wawasan pendidikan yang dikemukakan
merupakan uraian lebih lanjut dari pembahasan masalah - masalah filsafat. Dapat
dibayangkan bahwa gagasan - gagasan yang menjadi isi wawasan pendidikan belum
terpadu dalam satu system pemikiran. Orang lainlah yang harus menafsirkan kembali
agar wawasan tersebut dapat difahami sabagai satu kesatuan serpihan - serpihan gagasan
pendidikan yang tersebar dalam pembahasan filsafat masih banyak yang bersifat tersirat.
Gagasan - gagasan yang dikemukakan tidak dengan tegas dan tersurat dinyatakan sebagai
gagasan pendidikan tetapi makna kependidikannya harus dicari dan ditafsirkan dari
gagasan - gagasan filsafatnya. Misalnya dalam republic atau politics tidak dinyatakan apa
yang menjadi tujuan umum pendidikan. Rumusan tersebut dicari dan ditafsirkan dari
pandangan metafisikanya. Dengan demikian dapatlah dinyatakan bahwa filsafat
pendidikan sebagai bagian tak terpisahkan dan filsafat merupakan filsafat pendidikan
tersirat sehingga belum mencapai kemandirian dan kepaduan dalam isi.
Batasan kedua, filsafat pendidikan sebagai teori pendidikan yang menghasilkan
filsafat umum. Wawasan pendidikan yang dikemukakan merupakan wawasan yang bebas
sama sekali dari pengaruh filsafat umum. Wawasan pendidikannya dituangkan dalam
kerangka yang mandiri penuh, dan menghasilkan gagasan filsafat, atau mandiri plus. Apa
yang menjadi pokok bahasan dan bagaimana pembahasannya tidaklah tergantung atau
bertopang pada filsafat, tetapi ditentukan sendiri. Wawasan pendidikan lebih tampil
perkasa daripada wawasan filsafat, baik dalam pola fakir yang melandasi wawasan
maupun dalam pola kerja penyusunan wawasan. Dapat dibayangkan bahwa keterpaduan
gagasan - gagasan pendidikan yang disampaikan lebih dapat terlaksana, oleh karena tidak
harus mengikuti atau memperhitungkan filsafat. Titik atau dasar orientasi wawasan
pendidikan tidak terletak pada filsafat sebagai pihak luar, tetapi pada kerangka pemikiran
atau paradigma pendidikannya itu sendiri. Gagasan - gagasan yang ditampilkan langsung
mengenai pendidikan. Meskipun ada gagasan - gagasan filsafat, tidaklah berarti gagasan -
gagasan filsafat yang diambil dari luar, tetapi pemikiran lebih lanjut tentang pendidikan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa filsafat pendidikan sebagai teori pendidikan yang
menghasilkan pemikiran filsafat, merupakan filsafat pendidikan yang penuh kemandirian,
keterpaduan, dan ketersuratan dalam isi, tetapi bebas dari pengaruh filsafat. Filsafat
pendidikan yang tidak mengakui pengaruh filsafat.
Batasan ketiga, filsafat pendidikan sebagai penerapan filsafat dalam studi masalah
- masalah pendidikan. Apakah yang dapat diterapkan dari filsafat umum dalam segi
pendidikan? Brubacker dalam Modern Philosophy of Education, menyatakan ada tiga
cabang filsafat yang sangat bersangkut paut dengan pendidikan, yaitu : etika,
epistimologi, dan metafisika ( Brubacker : 20 ). Misalnya, etika mempunyai pengaruh
antara lain kepada pemikiran tentang tujuan pendidikan, motivasi belajar, pengukuran
hasil belajar, seleksi siswa, dan faktor - faktor social politik dalam proses pendidikan.
Epistimologi antara lain mempunyai pengaruh terhadap pemikiran tentang isi pendidikan,
metode dan teknik pendidikan. Metafisika antara lain mempunyai pengaruh terhadap
pemikiran tentang fungsi pendidikan, tujuan umum pendidikan, kesempatan pendidikan,
dan pengelolaan pendidikan. Jadi yang pertama - tama dapat diterapkan adalah
pandangan - pandangan yang dihasilkan studi filsafat tentang hakekat : kenyataan,
pengetahuan, nilai, dari manusia. Di samping itu, pola kerja atau metode kerja studi
filsafat pun secara tersirat mempunyai pengaruh pada studi pendidikan. Misalnya
Henderson selaku pengikut Kant ( realisme kritis ) berusaha keras untuk mempergunakan
metode rekonstruksi dialektis atau memadukan dua hal yang bertentangan di dalam
menjelaskan wawasan pendidikannya. Apa yang dapat kita simpulkan dari contoh diatas
yaitu bahwa filsafat pendidikan sebagai penerapan filsafat dalam studi masalah - masalah
pendidikan, tidak memiliki kemandirian penuh, oleh karena ditopang atau didasarkan
pada pandangan - pandangan dan metode kerja filsafat. Meskipun demikian bukanlah
tidak mempunyai kemandirian sama sekali seperti pada batasan pertama. Filsafat
pendidikan mempunyai kemandirian dalam menentukan obyek atau struktur isi
pembahasannya. Tetapi titik atau dasar penafsirannya dipengaruhi oleh aliran filsafat.
Keterpaduan isi dapat tercapai, karena penentuan obyek pembahasan ditentukan sendiri,
dan tidak ditentukan oleh filsafat umum. Gagasan - gagasan yang ditampilkan langsung
mengenai pendidikan, meskipun ditafsirkan dengan mempergunakan metode kerja dan
gagasan filsafat tertentu. Dengan kata lain, gagasan - gagasan pendidikannya ditampilkan
secara tersurat dalam kerangka isi tertentu. Jadi dapatlah disimpulkan, bahwa filsafat
sebagai penerapan filsafat dalam studi masalah - masalah pendidikan, merupakan filsafat
pendidikan yang mempunyai kemandirian, keterpaduan, dan ketersuratan dalam isi
wawasan pendidikan meskipun masih didasarkan pada suatu metode kerja dan gagasan -
gagasan filsafat tertentu.
Batasan keempat, filsafat pendidikan sebagai filsafat yang berisi konsep umum
tentang pendidikan. Filsafat pendidikan atau filsafat mempunyai kemandirian penuh
dalam menentukan kerangka isi pembahasan dan keterpaduan antar gagasan - gagasan
pendidikan yang ditampilkan. Gagasan - gagasan tersebut disampaikan secara tersurat
dan langsung berkenaan dangan masalah-masalah pendidikan. Di sini tidak ada masalah
ketergantungan atau saling ketergantungan, tetapi yang ada adalah kamandirian dalam
menentukan kerangka isi pembahasan, dan keterpaduan isinya. Gagasan - gagsan yang
dikemukankan secara langsung berkenaan dengan masalah - masalah pendidikan, tanpa
harus mengambil dan memanfaatkan filsafat dari luar, karena filsafat pendidikan adalah
filsafat. Jadi filsafat pendidikan sebagai filsafat yang berisi konsep umum tentang
pendidikan, merupakan filsafat pendidikan atau tentang pendidikan, yang penuh
kemandirian, keterpaduan, dan ketegasan dalam isi, tanpa mengambil dan memanfaatkan
filsafat dari luar.
Akhirnya batasan yang kelima adalah filsafat pendidikan sebagai konsep
pendidikan yang bebas dari pengaruh filsafat dan bebas memilih filsafat yang akan
dimanfaatkan. Wawasan yang terdapat dalam konsep pendidikan ini berdasarkan
kerangka isi yang ditentukan sendiri dengan berorientasi pada masalah - masalah
pendidikan dan tidak pada filsafat, sehingga tercapai keterpaduan gagasan - gagasan yang
terdapat didalamnya. Lain daripada itu, gagasan - gagasan yang dikemukakan
berhubungan langsung dengan masalah - masalah pendidikan. Oleh karena itu, filsafat
pendidikan sebagai studi teoritis pendidikan yang bebas dari pengaruh filsafat dan bebas
memilih filsafat yang akan dimanfaatkan merupakan filsafat pendidikan yang penuh
kemandirian, keterpaduan, dan ketegasan dalam isi, meskipun masih mengakui kegunaan
filsafat.
Batasan - batasan tersebut di atas baru didasarkan pada satu dari dua sisi yang
dimiliki filsafat pendidikan. Batasan - batasan tersebut baru didasarkan pada hasil, dan
belum dipadukan dengan sisi lainnya yang berkenaan dengan proses filsafat pendidikan.
Batasan filsafat pendidikan sebagai sekeping uang logam yang mempunyai dua muka
dapat dirumuskan dengan dua cara. Pertama dengan menyatakan terlebih dahulu
karakteristik prosesnya. Dengan cara ini kita dapat membataskan filsafat pendidikan
sebagai suatu kesatuan wawasan pendidikan yang brsifat komprehensif mendasar,
kontemplatif, spekulatif, dan normatif. Dapat pula dibataskan sebagai suatu wawasan
yang komprehensif mendasar, kontemplatif, spekulatif dan normative tentang pendidikan.
Selanjutnya cara yang kedua adalah kebalikan dari cara pertama, yaitu terlebih dahulu
menyebutkan karakteristik proses, baru kemudian melengkapinya dengan karakteristik
hasil. Filsafat pendidikan adalah studi sintetis, kontemplatis, dan radikal, yang
menghasilkan suatu wawasan pendidikan yang komprehensif mendasar dan spekulatif
normatif. Batasan - batasan tersebut mempunyai makna yang sama, berbeda dalam
pengungkapannya.

B. Obyek dan Tujuan Filsafat Pendidikan

1. Obyek Filsafat Pendidikan

Ada tiga hal yang penting yang perlu diperhatikan di dalam memahami filsafat
pendidikan sebagai studi pendidikan, yaitu obyek, tujuan, dan metode filsafat pendidikan.
Obyek bersangkut paut dengan pertanyaan apa, tujuan berkenaan dengan pertanyaan
kemana, dan metode berhubungan dengan pertanyaan bagaimana. Pembahasan tentang
obyek studi filsafat pendidikan bersangkut paut dengan pertanyaan hal atau hal - hal
apakah yang seharusnya dipelajari atau diselidiki dalam studi filsafat pendidikan?
Pembahasan tentang tujuan studi filsafat pendidikan berkenaan dengan pertanyaan,
kemanakah arah sasaran yang seharusnya dicapai dalam studi filsafat pendidikan?
Akhirnya pembahasan tentang metode studi filsafat pendidikan berhubungan dengan
pertanyaan bagaimanakah langkah dan cara yang seharusnya dilakukan dalam studi
filsafat pendidikan? Mengenai metode studi telah dibahas pada uraian terdahulu. Oleh
karena itu pembahasan pada bagian B ini berkenaan dengan obyek dan tujuan filsafat
pendidikan, dalam rangka melengkapi pembahasan nomor satu dengan maksud
memperoleh pemahaman yang lengkap tentang studi filsafat pendidikan.

Secara umum dapat dikatakan bahwa, obyek filsafat pendidikan adalah


pendidikan. Dengan kata lain obyek formal filsafat pendidikan adalah masalah
pendidikan. Tetapi dengan mengetahui obyek formalnya saja, kita belum memperoleh
gambaran yang jelas dan terperinci tentang apa yang harus diselidiki dalam filsafat
pendidikan. Untuk mengenali hal - hal khusus dan pokok yang dibahas dalam studi
filsafat pendidikan, kita harus mengenali obyek materialnya. Pada uraian terdahulu telah
dinyatakan bahwa yang menjadi masalah dalam studi filsafat pendidikan adalah
keseluruhan masalah pendidikan yang fundamental. Mengenai hal ini, tiada perbadaan
antara para ahli.
Justru perbedaannya terletak pada persoalan apakah yang menjadi isi dari keseluruhan
masalah pendidikan. Ada berbagai versi atau pandangan mengenai isi tersebut. Marilah
kita coba mengenali keragaman isi obyek materiil filsafat pendidikan.

Pertama - tama marilah kita mengenali versi Rosenkranz dalam Philosophy of


Education yang ditulis dengan semangat Hegel. Dia membagi keseluruhan masalah
filsafat pendidikan menjadi tiga bagian, yaitu : (1) apakah hakekat pendidikan dalam
gambaran umumnya? (2) apakah hakekat pendidikan dalam unsur - unsurnya yang khas,
termasuk latihan fisik, intelektual, dan keagamaan, (3) apakah hakekat pendidikan dalam
sejarah sistem pendidikan dunia ditinjau menurut fenomenologi Roh dari Hegel ? ( Horn :
12 ). Jelas kiranya bahwa, versi Rosenkranz ini berdasarkan pengertian filsafat
pendidikan sebagai penerapan filsafat ( idealisme absolut hegel ) dalam studi masalah -
masalah pendidikan, dan tugas pokok filsafat pendidikan adalah menjawab pertanyaan
apakah hakekat pendidikan itu?

Horn dalam The Philosophy of Education, memperkenalkan versi lain meskipun


mempunyai kesamaan pandangan dengan Rosenkranz. Ia menyatakan sendiri bahwa
bukunya tersebut ditulis berdasarkan pada padangan yang dia namakan Theisme
Ideolistik ( Ideliatik Theism ), dan filsafat pendidikannya adalah penerapan Theisme
Idealistik tersebut di dalam menjawab pertanyaan apakah sebenarnya pendidikan itu
( Horn ). Menurut Horn ada dua pertanyan pokok yang bekanaan dengan masalah apakah
sebenarnya pendidikan itu. Kedua pertanyaan tersebut yaitu : (1) apakah arti pendidikan
ditinjau secara empiris berdasarkan biologi, phisicologi, sosiologi?, dan (2) apakah arti
sebenarnya pendidikan itu? Untuk menjawab kedua pertanyaan ini diperlukan dua macam
penjelajahan filosofis. Pertama adalah penjelajahan filosofis empiristis ( empirically
philosophical ) untuk menjawab pertanyaan pertama, dan penjelajahan filosofis murni
( purely philosophyc ), untuk menjawab pertanyaan kedua. Berdasarkan kedua macam
pertanyaan tersebut, akhirnya Horn dalam bukunya The Pholosophy of Education,
mengemukakan lima macam isi filsafat pendidikan, yang terdiri atas masalah - masalah :
(1) aspek biologis pendidikan; (2) aspek phisiologis; (3) aspek sosiologis pendidikan; (4)
aspek psikologis pendidikan; (5) aspek filosofis pendidikan ( Horne : 14-17 ).
Henderson seorang penganut Kant yang tegar, lain lagi versinya. Dia menafsirkan
Kant sebagai seorang realisme kritis, dan karenanya dia adalah juga menganut realisme
kritis.

Sepaham dengan Rosenkranz dan Horne, Henderson mengartikan filsafat pendidikan


sebagai penerapan filsafat dalam studi masalah - masalah pendidikan. Perbedaan terletak
pada jenis sistem filsafat yang akan diterapkannya. Rosenkranz dan Horn menerapkan
filsafat idealisme absolut, sedangkan Henderson menerapkan realisme kritis dari Kant.
Bagaimana selanjutnya tentang versi Henderson, baiklah kita kutip pandangan Henderson
tentang isi filsafat pendidikan, yang antara lain menyatakan : “ any adequate philosophy
of education must answer three question : what is education? What outht to it to
accomplish? How can these aims be realized? In others words, phylosophy of education
is concerned with the what, the why, and the how of education ( Henderson : 237 ).
Dengan demikian ada tiga macam pertanyaan pokok yang menjadi obyek materiil filsafat
pendidikan, yaitu : (1) apakah pendidikan itu?; (2) apakah tujuan pendidikan itu?; dan (3)
bagaimanakah proses pendidikan itu?

B. Othanel Smith dalam Phylosophy of Education yang dimuat dalam


Encyclopedia of Education Research, mempunyai versi yang berbeda denga henderson
meskipun keduanya dapat digolongkan dalam mazhab realisme. Tulisan tersebut
membahas empat hal, yaitu (1) obyek filsafat pendidikan ( The field of education
philosophy ); (2) metode penelitian filosofis ( Methods of phylosophy inquiry ); (3)
mazhab filsafat pendidikan ( Scholl of educational phylosophy ); dan (4) penyelidikan
pendidikan secara filosofis ( Phulosophycal investigations ).

Pandangannya tentang apa yang menjadi isi keseluruhan filsafat pendidikan terdapat pada
pembahasannya tentang obyek filsafat pendidikan. Smith menyatakan bahwa ada dua
pertanyaan pokok yang berkenaan dengan filsafat pendidikan, pertama adalah pertanyaan
tentang proses mendidik ( the proses of educating ), yang tujuan utamanya menemukan
konsep tentang cara - cara dan tujuan - tujuan pendidikan. Pertanyaan kedua berkenaan
dengan studi ilmiah tentang pendidikan melakukan analisis ekstensif atau menyeluruh
tentang konsep - konsep yang dipergunakan oleh berbagai cabang ilmu pendidikan.
Misalnya tentang intelegensi, pengukuran, validasi, pengelompokkan setarap, dan
sebagainya.

Menurut Smith, filsafat pendidikan yang mencoba menganalisis konsep - konsep ilmu
pendidikan ( the phylosophy of educational science ). Berdasarkan uraian ini dapat
disimpulkan bahwa, obyek materiil filsafat pendidikan menurut Smith ada dua macam,
yaitu (1) apakah hakekat proses pendidikan; dan (2) analisis dan kritisisme terhadap
konsep - konsep dan praktek pendidikan yang penting.

Kilpatrick mempunyai gaya lain di dalam mengungkapkan wawasan


pendidikannya. Dia dalam Phylosophy and Education, memberikan versi lain lagi tentang
isi keseluruhan masalah filsafat pendidikan. Dia adalah seorang penganut pragmatisme
seperti juga J. Dewey, dan berpandangan bahwa filsafat pendidikan adalah penelaahan
kritis dan konstruktif tentang masalah - masalah pendidikan yang pokok atau prinsipil,
dengan maksud merumuskan teori umum tenyang pendidikan. Mengenai apa isi teori
umum tentang pendidikan atau filsafat pendidikan, baiklah kita pelajari kutipan dibawah
ini : “phylosophy of education, ..... is the studi of comparative effects (i) of rival
philosophys on the life process and (ii) of alternative educative process on character
building” ( Klipatrick : 32 ).

Uraian tentang macam – macam versi tersebut di atas, berkenaan dengan mazhab
- mazhab filsafat idealisme, realisme, dan pragmatisme. Di samping itu dapat pula
analisis tentang isi keseluruhan filsafat pendidikan ditinjau dari filsafat sistem ( system
phylosophy ). Apa yang dimaksud dengan filsafat sistem adalah suatu cara berfikir
tentang gejala dalam arti keseluruhan, termasuk di dalamnya bagian - bagian, komponen -
komponen, atau sub - sub sistem, dan dengan sangat memperhatikan hubungan antar
bagian, komponen, atau subsistem ( Johnsen dkk : 19 ). Memahami pendidikan dengan
mempergunakan filsafat sistem berarti melihat pendidikan sebagai suatu sistem sosial
yang mempunyai lingkungan, masukan, proses, dan hasil pendidikan.

Pengaruh konsep ini terhadap studi filsafat pendidikan yaitu bahwa hal - hal yang
seharusnya dipelajari dalam filsafat pendidikan mencakup : (1) hakekat lingkungan
pendidikan; (2) hakekat terdidik dan pendidik; (3) khakekat proses pendidikan yang
bersifat pengelolaan dan teknis; dan (4) hakekat tujuan pendidikan. Hal ini ada
kesamaannya dengan studi pendidikan dengan mempergunakan metode fenomenologi,
seperti yang dapat kita temukan pada Langeveld dalam Baknopte Theoritische
Pedagogiek. Di sini dapat kita kenali bahwa hal - hal yang menjadi masalah pokok dalam
studi pendidikan adalah : (1) hakekat lingkungan pendidikan; (2) hakekat hubungan
pendidikan; (3) hakekat terdidik; (4) hakekat pendidikan; (5) hakekat tujuan pendidikan;
dan (6) hakekat alat pendidikan. Mengenai metode fenomenologi akan kita bahas pada
bagian kedua : Ilmu Pendidikan sebagai Teori Pendidikan.

2. Tujuan Filsafat Pendidikan

Setelah kita mengenal beberapa versi tentang apa yang menjadi isi obyek materiil
filsafat pendidikan, marilah kita mencoba mengenali apa yang menjadi maksud tujuan
seseorang penulis filsafat pendidikan. Memang harus diakui bahwa pengenalan terhadap
maksud tujuan penulisan filsafat pendidikan adalah pekerjaan yang sangat sulit. Hal ini
antara lain tidak setiap penulis menyatakan secara tersurat apa tujuan penulisannya. Di
samping itu juga karena wawasan pendidikan seseorang mengalami pengembangan dan
diungkapkan tidak terbatas pada satu karya tulis. Oleh karena itu, tidak tertutup
kemungkinan tejadinya perubahan tujuan penulisan, baik karena perbedaan sasaran
pembacanya, maupun karena memang ada perubahan atau perkembangan pola pikirnya.
Kesulitan lain berkenaan dengan banyaknya karya filsafat pendidikan yang tersedia.
Rasanya mustahil untuk dapat mempelajari semua karya filsafat pendidikan yang ada.
Meskipun demikian kesulitan - kesulitan tersebut tidak menutup kemungkinan
dilakukannya pembahasan tentang tujuan - tujuan penulis filsafat pendidikan, dengan
beberapa pembatasan tertentu. Pembahasan tentang tujuan filsafat pendidikan ini akan
berbentuk penafsiran terbatas sebagai contoh dan bukan sebagai gambaran keseluruhan.
Salah satu tujuan penulisan filsafat pendidikan adalah mengungkapkan aspirasi
atau cita - cita tentang pendidikan yang diimpikannya ( Power : ). Wawasan pendidikan
yang dikemukakan adalah modal pendidikan yang diidamkan atau yang dikhayalkan,.
Dengan demikian wawasan pendidikan bersifat Utopis. Hal semacam ini misalnya dapat
kita temukan pada : Plato dalam Republic, Rousseau dalam Emile, Bacon dalam New
Atlantis, dan A.S. Neil dalam Summerhill.

Plato dalam Republic menggambarkan suatu model pendidikan untuk


mempersiapkan warga negara yang cakap dan bertanggungjawab dalam negara idaman.
Warga negara yang diharapkan dalam negara idaman adalah warga negara yang
menjalankan fungsi atau darma hidupnya sesuai dengan tingkat kebajikan yang dapat
disumbangkan kepada negara idaman. Ada tiga tingkat kebajikan, yaitu : (1)
kebijaksanaan, (2) keberanian, dan (3) pengabdian. Tingkat kemampuan seseorang warga
negara dalam mencapai kebajikan ditentukan oleh kekuatan kejiwaannya. Ada tiga unsur
kejiwaan, yaitu : (1) akal budi; (2) kemauan; dan (3) nafsu. Kebijaksanaan hanya akan
dicapai oleh seseorang yang hidupnya dikuasai oleh akal budi, dan orang semacam ini
pantas menjadi negarawan. Keberanian hanya akan dicapai oleh seseorang yang hidupnya
dikuasai unsur kemauan, dan orang - orang semacam ini pantas menjadi tentara untuk
menjaga keamanan negara. Akhirnya pengabdian hanya akan dicapai oleh orang - orang
yang hidupnya dikuasai nafsu, dan mereka ini pantas menjadi pedagang dan petani yang
berfungsi menyediakan kemakmuran. Pendidikan berfungsi melatih kemampuan
kejiwaan seseorang dan menciptakan keselarasan hidup bernegara.

Emeli karangan Rousseau merupakan sebuah novel tentang pendidikan yang


ideal bagi seorang anak laki - laki yang bernama Emile. Model pendidikan yang
diidamkan tersebut didasarkan pada keyakinannya, seperti tertulis pada permulaan novel
sebagai berikut : All things are good as they came out of the hand of their creator, but
every thing degenerates in the hand of man ( Ulich ). Keyakinan bahwa sesuatu yang
berasal dari pencipta adalah baik, tetapi menjadi rusak karena ulah manusia, menjadi
dasar cerita Rousseae tentang modal pendidikan Emile yang memberi kesempatan
kepadanya untuk berkembang penuh dan selaras. Pendidikan Emile adalah pendidikan
alami dalam arti pendidikan yang mengembangkan pembawaan, pendidikan negatif dan
pendidikan yang berlangsung dalam alam.

Pendidikan adalah pengembangan pembawaan manusia ( human nature ) yang pada


dasarnya baik, dan tidak ada dosa asal dalam hati manusia ( manusia : ). Oleh karena
yang dididik itu anak maka peendidikan berarti menggambarkan kemampuan -
kemampuan dasar atau asali anak melalui pembisaan, latihan, permainan, partisipasi
dalam kehidupan, dan penyediaan kesempatan ( bimbingan ). Anak mempunyai tersendiri
dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, orang dewasa harus diperlakukan sebagai
orang dewasa, dan anak harus diperhatikan sebagai anak.

Pendidikan sebagai perlakuan terhadap anak harus disesuaikan dengan taraf


perkembangannya. Setiap tahap perkembangan merupakan tahap kehidupan yang
mempunyai karakteristik tersendiri. Pendidikan masa kecil ( 0:0 – 5:0 ) merupakan
pembiasaan dan latihan emosi. Pendidikan masa kanak - kanak ( 5:0 – 12:0 ) merupakan
latihan dan pengembangan kemampuan pendirian. Pendidikan masa peralihan ( 12:0 –
15:0 ) merupakan latihan dan pengembangan intelektual; dan pendidikan masa remaja
( 15:0 – 20:0 ) merupakan pengembangan moral dan sosial. Pendidikan negatif bukan
berarti tidak ada pendidikan, tetapi pendidikan yang tidak menyesuaikan diri pada
kehidupan sosial yang ada. Pendidikan negatif bukanlah pendidikan untuk
mempersiapkan hidup dalam masyarakat, tetapi pendidikan untuk mempersiapkan diri
menghadapi kondisi sosial yang tidak menguntungkan, tapi harus berperan serta di
dalamnya. Rousseau menyatakan bahwa pendidikan Emile yang baik adalah pendidikan
yang bertujuan agar Emile dapat hidup damai dengan dirinya, yaitu hidup dalam
masyarakat yang penuh kepalsuan tapi tidak terseret ke dalamnya. Akhirnya apa yang
dimaksud dengan pendidikan yang berlangsung dalam alam adalah pendidikan yang
dilaksanakan dalam kehidupan fisik dan sosial yang wajar, tidak dibuat - buat.

Rousseau dalam Emile menyatakan bahwa pendidikan datang dari alam, dari manusia,
atau dari lingkungan fisik, oleh karena itu pendidikan adalah masalah hubungan manusia
dengan lingkungan fisik dan sosial ( Rusk : ). Lingkungan bukanlah spiritual dan biologi
semata tetapi juga fisik dan sosial. Hal ini dituliskan sangat indah oleh Rousseau dalam
Emile, yang dapat diungkapkan sebagai berikut : Suatu kemauan gaib menciptakan alam
semseta ini dalam gerak dan memberikan hidup kepada alam; suatu inteligensi gaib itu
ada bukan hanya dalam memutarkan surga, bukan hanya dalam matahari yang memberi
sinar kepada kita, bukan hanya dalam hidup dalam diriku, tetapi juga dalam domba yang
merumput, dalam burung yang terbang, dalam batu yang menggelinding, dan dalam daun
jatuh yang tertiup angin ( Rusk : ). Untuk beberapa hal gagasan - gagasan Francis
Bacon dalam New Atlantis dapat digolongkan sebagai suatu filsafat pendidikan
inspirasional dalam arti menggambarkan rencana utopis tentang pendidikan untuk laki -
laki dan wanita. Beberapa hal lainnya merupakan gagasan yang berkenaan dengan
masalah ilmiah dan sosiologis. Bagaimana pun juga, para ahli menyatakan bahwa Bacon
lebih terlibat dalam usaha memperlihatkan nilai kegunaan induksi sebagai cara
menghimpun pengetahuan daripada usaha mencoba merencanakan penngumpulan
pengetahuan atau cara menyebar pengetahuan. Menurut Bacon, penemuan yang dicapai
lebih berdasarkan metode induksi daripada metode deduksi akan mendorong suatu usaha
kerjasama yang besar dalam masyarakat. Lain daripada itu penemuan tersebut dipercaya
atau diandalkan karena lebih didukung oleh pengetahuan yang bersumber dan
disimpulkan dari kasus - kasus tertentu yang terjadi dalam pengalaman dan bukan
bersumber dan disimpulakn melalui silogisme, kemudian dipergunakan dalam kehidupan
manusia. Gagsan - gagasannya merupakan cita - cita luhur dan secara tidak langsung
mengajarkan kepada kita bagaimana seharusnya bekerja menyusun ilmu.

Karya A.S.Neil, Summerhill : A Radical Approach to Child Rearing, merupakan


karya modern yang berisi cita - cita tentang rencana khusus mendidik anak. Sebagai
gagasan inspirasional tentang pendidikan, karya tersebut mempunyai kalemahan -
kelemahan tertentu apabila kita golongkan sebagai filsafat inspirasional atau filsafat
pendidikan utopis. Gagasan - gagasan pendidikannya kurang didasarkan pada pandangan
- pandangan filsafat yang mandiri misalnya pandangan tentang hakeket manusia dan
pengetahuan tetapi mengambilnya dari pandangan orang lain. Pandangan - pandangan
yang lebih berkenaan dengan hal - hal teknis pengajaran. Meskipun demikian, gagasan -
gagasannya mengandung cita - cita atau idaman tentang model pendidikan. Dengan
demikian, Summerhill karya A.S.Neil dalam batas - batas tertentu masih tetap dapat
dikatakan sebagai filsafat pendidikan inspirasional, yang ditulis dengan tujuan
menyatakan cita - cita tentang model pendidikan yang diimpikan dapat terwujud.
Tujuan lain penulisan filsafat pendidikan adalah mengeritik dan menganalisis
makna, ketepatan, dan kehebatan konsep tentang tujuan dan cara pendidikan
( Power : ). Di sini tidak mengajukan atau menawarkan suatu model pendidikan yang
ideal, tetapi memberikan penilaian kritis terhadap konsep dan praktek pendidikan, dengan
mempergunakan metode analisis linguistk dan analisis logikal. Oleh karena itu,
perkembangan filsafat pendidikan analitis berhubungan erat dengan perkembangan
filsafat positivisme ilmiah atau neo realisme, dengan tokoh - tokohnya seperti : George
Edward Moore ( 1873-1958 ), Bentrand Russel ( 1872-1970 ), Ludwig Wittgeinsten
( 1889-1951 ), Alfred Jules Ayer ( 1910- ), Rudolf Carnap ( 1891- ), dan sebagainya.
Selanjutnya wawasan pendidikan yang tergolong ke dalam filsafat analisis antara lain
dapat kita temukan pada : Francis Bacon dalam The Advencement of Learning, R.S. Peter
dalam Ethics and Education, serta The Philosophy of Educatin, Israel Scheffler dalam
The Language of Education dan Herbert Feigl dalam Aims of Education For Our Age of
Science : Refflections of A Logical Empiricist.

The Advancement of Learning dari Bacon merupakan salah satu contoh tentang
penggunaan teknik analisis untuk mengungkapkan makna pendidikan yang dapat
diandalkan. Pendapat Bacon yaitu bahwa sebagian besar pengetahuan yang dimiliki
manusia mempunyai unsur - unsur ketepatan yang dapat dipergunakan dalam perbuatan
praktis, jika telah dianalisis untuk menghilangkan kekeliruan - kekeliruan konsep yang
telah berlangsung lama. Buku tersebut merupakan penegasan berlakunya kebijaksanaan
pendidikan.

The Language of Education dari Israel Scheffler merupakan sebuah esai filsafat
pendidikan yang bertujuan menganalisis. Dia mempergunakan analisis linguistik untuk
memberikan kejelasan tentang konsep - konsep dalam buku pendidikan. Buku scheffler
merupakan bahan pelajaran untuk melatih mengadakan penilaian kritis, dan dia
memperlihatkan metode yang akan digunakan untuk dapat menangkap makna tentang
pendidikan yang jernih atau yang bebas dari kekacauan pemikiran dan bahasa, yang
berasal dari sebuah buku pendidikan. Dia yakin bahwa suatu analisis tentang konsep -
konsep dan pernyataan - pernyataan pendidikan akan membentuk sebuah filsafat
pendidikan.
Herbert Feigel dalam karangannya seperti tersebut di atas antara lain menyatakan
bahwa empirisme ilmiah terutama memberikan sumbangan yang besar dalam
mengembangkan metode - metode untuk menjernihkan konsep - konsep dasar, asumsi -
asumsi, dan prosedur - prosedur dalam bidang pengetahuan dan penafsiran.

Penerapan empirisme ilmiah dalam pendidikan terlihat dalam bentuk analisis tersurat dan
kritis terhadap tujuan pendidikan dan ketepatan cara - cara pendidikan ( Henry : ).

Tujuan penulisan filsafat pendidikan, yang ketiga adalah memberikan petunujk


tentang pendidikan. Hal semacam ini terutama bersumber apa asumsi atau keyakinan
adanya tata tertib dalam alam semesta ini yang menunjukan bahwa semua kenyataan
termasuk manusia mengikuti sebuah rancangan alam semesta yang maha besar. Perbuatan
manusia yang bijak bestari adalah menggunakan bakatnya untuk menemukan wujud
rancangan alam semesta tersebut dan kemudian mencoba berbuat sesuai dengan pola
rencangan tersebut. Kenyataan fisik dan sosial mempunyai perbedaan yang tidak dapat
diabaikan, dan perbedaan ini menyebabkan timbulnya perpisahan cabang - cabang ilmu
dan keanekaragaman filsafat. Tugas filsafat adalah menerangkan semua kenyataan dan
menjabarkannya untuk menjadi petunjuk kehidupan sehari - hari. Dengan demikian
tujuan filsafat pendidikan adalah memberikan petunjuk tentang tujuan dan cara
pendidikan. Oleh karena itu tugas penulisan filsafat pendidikan adalah menerangkan
hakekat manusia, kemampuan dan tanggung jawabnya, menjabarkan pengetahuan
intelektual dan moral, menjelaskan kunci rahasia proses belajar, dan akhirnya memetakan
tujuan - tujuan pendidikan yang hendak dicapai secara komprehensif dan terperinci
( Power : ). Pola pemikiran semacam ini telah dirintis oleh Aristoteles dalam
pembahasannya tentang logika deduktif. Tujuan preskriftif atau memberi petunjuk ini
antara lain dapat kita temukan pada Herbert dalam Umries Pedagogischer Vorlesungen,
dan Allgemeine Padagogik Ausdem Zwech Der Erziehung Abgeleitet, Hutchins dalam
The Higher Learning in America, dan Maritain dalam The Education of Man and
Education at the Crossroads.

Herbert berpendapat bahwa wawasan pendidikan harus didasarkan pada filsafat


praktis dan psikologi. Filsafat praktis menunjukan tujuan, dan psikologi menunjukan cara
dan hambatan. Moralitas adalah satu dan keseluruhan pekerjaan pendidikan. Konsep
moralitas diterangkan dan dijelaskan oleh filsafat moral etika. Tujuan pendidikan harus
berdasarkan sumber moralitas yaitu filsafat moral. Bagaimanapun juga pendidikan harus
mulai dengan pengetahuan tentang manusia, siapa mereka itu, dan bagaimana mereka itu
dapat berkembang. Pengetahuan yang dapat diandalkan tentang filsafat moral ( siapa
manusia itu ) memungkinkan untuk merumuskan tujuan - tujuan pendidikan yang
memadai, tetapi belum memberi petunjuk tentang bagaimana guru menyusun bahan
ajaran dan mengembangkan teknik belajar mengajar yang efektif untuk mencapai
manusia yang bermoral. Pengajaran yang sehat dan efektif harus berdasarkan pada
psikologi, karena psikologi menjelaskan tentang prinsip - prinsip belajar. Oleh karena itu,
gagasan Herbart tentang cara - cara mencapai manusia bermoral berdasarkan konsep
psikologi yang diyakininya, yaitu psikologi daya. Bertitik tolak dari psikologi daya,
herbart memetakan bagaimana pengajaran harus diselenggarakan. Misalnya antara lain
dinyatakan bahwa, pengajaran harus berdasarkan minat dan melalui tahapan - tahapan
yang jelas.

Hutchins dalam karyanya seperti telah disebutkan di atas, menyatakan apa yang
diajarkan di sekolah, dan apa yang seharusnya siswa pelajari. Dalam suasana pendidikan
Amerika yang menuju vokasionalisme dan profesionalisme, Hutchins menulis filsafat
pendidikannya dengan tujuan menegaskan kekhususan kemampuan manusia dalam
berfikir dan berprestasi, dan kemudian menggambarkan jelas program pendidikan yang
terutama bertujuan menggambarkan kemampuan - kemampuan tersebut. Dia
menghendaki pendidikan umum untuk semuanya, dan menolak membatasinya untuk
golongan tertentu yang diperlukan oleh semua warganagara bukan hanya petunjuk
tentang bekerja untuk hidup, tetapi juga mengambil keputusan yang mempengaruhi
kemasyarakatannya.

Hutchins berusaha agar wawasan pendidikannya memberikan arah positif terhadap proses
pendidikan.

Jacques Maritein berusaha memberikan makna yang lebih luas tentang pendidikan
umum. Ia menyatakan bahwa ada suatu jenis pendidikan yang esensial bagi setap orang,
dan dia menyebutnya dengan “basic liberal education” atau pendidikan umum dasar.
Pendidikan semacam ini dilakukan dengan jalan menguatkan pengembangan kecerdasan
alami ( natural intelligence ), mulai dengan pendidikan membaca, menulis, dan berbicara,
dan kemudian bergerak ke arah mempersiapkan orang untuk dapat menghadapi hidup
dalam masyarakat yang ditemuinya. Dia menolak anggapan bahwa pendidikan umum
hanya terbatas pada golongan masyarakat tertentu dan akan terpusat pada pendidikan
kebahasaan dan kesusasteraan. Maritein menghendaki pendidikan umum yang mencakup
setiap jenis pengetahuan yang diperlukan orang untuk dapat hidup utuh, bertanggung
jawab dan penuh rahmat.

Tujuan penulisan filsafat pendidikan yang keempat adalah meneliti dan mengkaji
kebijaksanaan dan praktek pendidikan ( Power : ). Filsafat pendidikan investigatif
menggelarkan berbagai jenis pengalaman pendidikan tertentu. Kemudian mengadakan
penilaian, penafsiran dan komentar, dan akhirnya menyatakan wawasan pendidikan baru,
baik dalam bentuk pengukuhan terhadap wawasan pendidikan yang telah ada, maupun
dalam bentuk rekonstruksi atau penyusunan kembali sesuatu wawasan pendidikan yang
baru. Peranan penulis lebih bersifat pemandu atau moderator daripada sebagai hakim
yang menentukan benar salahnya gagasan dan praktek pendidikan.

Hal semacam ini antara lain dapat kita jumpai pada : Dewey dalam Democracy and
Education, Kilpatrick dalan Phylosophy of Education dan Henderson dalam Introduction
to Phylosophy of Education.

J. Dewey dalam menyusun wawasan pendidikannya, mulai dengan menyelidiki


bagaimana manusia memperoleh pengalaman dan sifat - sifatnya, serta menyelidiki
bagaimana berfikir dan sifat - sifatnya. Berdasarkan penyelidikan tersebut kemudian
diselidiki apa sebenarnya pendidikan itu, apa tujuannya dan bagaimana caranya.
Misalnya dikemukakan bahwa pendidikan adalah proses dalam kehidupan yang berupa
penyusunan kembali atau pengaturan kembali pengalaman yang berguna untuk
meningkatkan kehidupan sosial. Pendidikan merupakan suatu proses penyesuaian yang
terus menerus berlangsung setiap tahap perkembangan mempunyai tujuan tersendiri, dan
menambah kemampuan untuk tumbuh ( J.Dewey : ).

Kilpatrick dalam menjelaskan teori umum tentang pendidikannya, mulai dengan


menyelidiki masalah hidup dalam rangka merumuskan filsafat hidupnya. Berdasarkan
filsafat hidup yang diyakininya itu kemudian diselidikilah pengertian tentang proses
pendidikan baik yang berkenaan dengan tujuan pendidikan, maupun dengan teori belajar
mengajar serta prosedurnya.

Misalnya tentang tujuan pendidikan, antara lain dinyatakan bahwa tujuan berkaitan
dengan pembentukan harga diri, pembentukan sikap menghormati harga didi orang lain
dan pembentukan kemampuan bekerja sama dalam rangka kehidupan demokratis
( Kilpatrick : ). Selanjutnya dinyatakan bahwa ada tujuh prinsip dari teori belajar -
mengajar yang ampuh, yaitu (1) kita belajar dari apa yang kita alami; (2) arah belajar
ditentukan oleh kegunaannya untuk yang akan datang; (3) intensitas kegiatan belajar
tergantung pada kesesuaiannya dengan anak dan kehidupannya: (4) belajar hendaknya
melibatkan seluruh pengalaman; (5) belajar hendaknya bertahap; (6) generalisasi jarang
dapat ditransfer secara langsung atau generalisasi yang efektif harus diperlukan berbagai
pengalaman yang memadai; dan (7) belajar harus didasarkan pada minat ( Kilpatrick : ).

Henderson dalam memaparkan wawasan pendidikannya dilakukan dengan jalan


menyelidiki sekurang - kurangnya dua macam gagasan yang bertentangan, kemudian
memadukannya menjadi suatu gagasan baru. Misalnya dalam menyelidiki hakekat proses
pendidikan, dia mulai dengan menyelidiki pendidikan sebagai proses perkembangan
individu, kemudian menyelidiki pendidikan sebagai proses pewarisan serial, kemudian
memadukannya dengan menyatakan bahwa bahwa pendidikan adalah proses
pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi sebagai hasil interaksi individu dengan
lingkungannya, baik fisik maupun sosial, muali sejak lahir sampai akhir hidupnya,
sepanjang hidup ( Herderson : 44 ). Hal semacam ini dapat kita pula kita jumpai dalam
pemaparannya tentang tujuan pendidikan. Dia mulai dengan menyelidiki tujuan
pendidikan dari berbagai aliran filsafat, kemudian merumuskan tujuan pendidikan untuk
masyarakat yang demokratis, yaitu : (1) mananamkan dalam diri anak rasa hormat kepada
kepribadian orang; (2) membantu anak mengusai kemampuan belajar dan wawasan
sosial; (3) membantu anak dalam belajar seni mendisiplinkan diri dan menaruh perhatian
terhadap kesejahteraan sosial; (4) mengembangkan dalam diri setiap orang kemampuan
berfikirn untuk dirinya sendiri tetapi selalu dalam kerangka kerja tentang kebenaran yang
mapan; dan (5) membantu anak dalam memahami demokrasi dan turut serta mendorong
perkembangan masyarakat sebagai tujuan hidupnya ( Henderson : 262 ).

Berdasarkan tujuan penulisannya, filsafat pendidikan sekurang - kurangnya


dapat dibedakan dalam empat macam, yaitu : (1) filsafat pendidikan inspirasional; (2)
filsafat pendidikan analitis; (3) filsafat pendidikan preskriftif; dan (4) filsafat
pendidikan investigatif. Tujuan penulisan memberikan corak atau sifat wawasan
pendidikan yang dipaparkan dalam filsafat pendidikan

C. Mazhab dan Kegunaan Filsafat Pendidikan

1. Mazhab - Mazhab Filsafat Pendidikan

Setelah kita mengenali apa obyek filsafat pendidikan., bagaimana metode


kerjanya, dan ke arah mana tujuannya, marilah kita mengenali lebih lanjut seluk beluk
filsafat pendidikan dalam hubungannya dengan sosok hasil dari studi filsafat pendidikan,
dan kegunaanya bagi mereka yang bergerak di dunia profesionalisme kependidikan.
Pembahasan tentang sosok hasil studi filsafat pendidikan berkenaan dengan pertanyaan,
apakah bentuk nyata yang dapat dihasilkan para ahli dalam melakukan studi filsafat
pendidikan, teutama dalam bentuk karya tulis? Sedangkan pembahasan tentang kegunaan
filsafat pendidikan berkenaan dengan pertanyaan, apakah manfaat yang dapat dipetik dari
mempelajari karya - karya filsafat pendidikan., dalam rangka melaksanakan tugas - tugas
professional kependidikan? Kedua pertanyaan inilah yang akan menjadi pokok masalah
dalam uraian di bawah ini.
Jadi bentuk nyata studi filsafat pendidikan yang dilakukan oleh para ahli adalah
system pemikiran yang berisi wawasan yang komprehensif, mendasar, normative,
spekulatif tentang pendidikan. Dengan kata lain system filsafat pendidikan. Apa yang
dihasilkan para ahli bukanlah satu system filsafat pendidikan. Hal ini disebabkan karena
adanya keragaman wawasan para ahli dalam memilih tema yang menjadi pusat perhatian,
dalam memilih dan menggunakan metode kerja, serta maksud dan tujuan yang ingin
dicapai dengan wawasan tersebut. Sifat subyektifitas dalam berfilsafat menyebabkan
setiap ahli menghasilkan suatu system filsafat pendidikan tertentu.
Dapat dibayangkan, bahwa secara teoritis jumlah system filsafat pendidikan. Sebanyak
para ahlinya. Meskipun demikian di dalam keragaman yang luas itu terdapat kesamaan -
kesamaan pandangan dalam hal - hal yang pokok. Berdasarkan kesamaan - kesamaan ini,
sistem - sistem filsafat pendidikan perorangan yang ada dapat dikelompokkan atau
diklasifikasikan dalam beberapa mazhab. Selanjutnya ada beberapa cara yang dapat
dipergunakan untuk mengklasifikasikan sistem - sistem filsafat pendidikan dalam
mazhab.

Cara pertama dilakukan dengan jalan mengklasifikasikan sistem - sistem filsafat


pendidikan berdasarkan mazhab filsafat umum yang mempunyai peranan penting
terhadap terbentuknya berbagai wawasan pendidikan. Sehubungan dengan itu, Brubacher
menyatakan bahwa berdasarkan mazhab filsafat umum yang telah mempunyai pengaruh
sangat besar terhadap pendidikan modern, sistem - sistem filsafat pendidikan
diklasifikasikan menjadi enam mazhab, yaitu : (1) pragmatisme; (2) naturalisme; (3)
idealisme; (4) realisme naturalistic; (5) humanisme rasional; dan (6) supernaturalisme
katolik. Selanjutnya Brubacher menyatakan bahwa mazhab - mazhab filsafat umum
lainnya juga mempunyai peranan terhadap terbentuknya wawasan pendidikan, tetapi
tidak pernah melahirkan suatu filsafat pendidikan yang sistematik seperti pada enam
mazhab tersebut di atas ( Brubacher : 297 ).

Anda mungkin juga menyukai