JILID 1
FILSAFAT PENDIDIKAN
Editor:
Drs. Madjis Noor, M.A. ( Ketua )
Drs. Dady Kusbada ( Anggota )
Drs. J.M. Daniel ( Anggota )
Drs. Oong Komar ( Anggota )
Buku ini terdiri atas dua jilid, yaitu jilid I mengenai filsafat pendidikan, dan jilid
II mengenai teori pendidikan.
Perlu dijelaskan tentang judul buku ini sebagai berikut : kita dapat membedakan
perbuatan mendidik ( proses pendidikan ) di satu pihak, dan pemikiran tentang
pendidikan pihak lain. Pemikiran tentang pendidikan yang merupakan hasil renungan
spekulatif dikenal sebagai filsafat pendidikan. Sedangkna pemikiran sistematis yang diuji
melalui penelitian, baik penelitian kuantitatif maupun penelitian kualitatif, menghasilkan
teori pendidikan. Demikianlah kedua jilid buku ini membicarakan filsafat dan teori
pendidikan.
Dalam jilid I ini pembahasan filsafat pendidikan dimulai dengan uraian singkat
mengenai filsafat, kemudian mengenai seluk-beluk filsafat pendidikan, dilanjut dengan
uraian tentang beberapa mazhab filsafat pendidikan, dan akhitnya uraian mengenai
filsafat pendidikan pancasila.
Buku ini dimaksudkan sebagai buku pegangan bagi mahasiswa yang mengikuti
mata kuliah filsafat dan teori pendidikan ( FSP-402 ) di Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP
Bandung. Mata kuliah tersebut adalah mata kuliah dasar fakultas artinya mata kuliah
yang harus diikuti oleh semua mahasiswa di fakultas tersebut. Walaupun demikian kami
yakin buku ini juga bermanfaat bagi para peminat pendidikan lainnya.
Akhirnya, penghargaaan yang setinggi - tingginya dan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kami sampaikan kepada semua rekan, para dosen dan asisten, jurusan
filsafat dan sosiologi pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Bandung atas
sumbangan karangan, sumbangan pikiran dan tenaga sehingga buku ini dapat diterbitkan.
Bandung, 17 Agustus 1987 Editor dan Sub Coordinator
Mata Kuliah Filsafat dan
Teori Pendidikan,
A. Apakah Filsafat
Menurut subjektivisme, nilai itu tidak berdiri sendiri, tergantung dan berhubungan
dengan pengalaman manusia. Menurut objektivisme logis, nilai itu suatu wujud atau
penghidupan yang logis, yang tidak terikat kepada kehidupan yang dikenalnya, tetapi
tidak memiliki status dan gerak di dalam kenyataan.
Menurut obyektivisme metafisis, nilai itu adalah sesuatu yang lengkap, obyektif
dan merupakan bagian yang aktif dari kenyataan metafisis.
Selanjutnya untuk mempelajari hubungan antara filsafat, ilmu ( sains ), religi dan seni,
mari kita pelajari tulisan hasil karya M.T.ZEN dalam bukunya “Sains, Teknologi dan Hari
Depan Manusia”.
Beliau membedakan antara theoretical science dan aplead sciece ( teknologi ).
“Pada halaman - halaman sebelumnya dikatakan bahwa sains itu bersifat bebas nilai,
obyektif dan netral”.
Teknologi sebaliknya, sekalipun pada dasarnya netral, dalam situasi tertentu dapat tidak
netral lagi, karena mengandung potensi merusak dan potensi kekuasaan”.
Di sinilah perbedaan besar antara sains dan teknologi sains dan teknologi saling
membutuhkan, karena sains tanpa teknologi bagaikan pohon tak berbuah, sedangkan
teknologi tanpa sains bagaikan pohon tak berakar ( science without technology has no
fruit, technology without science has no root ).
Sebagaimana dikatakan sebelumnya sains hanya mampu mengajarkan fakta dan
non fakta kepada manusia. Ia tidak dapat mengajarkan apa yang seharusnya atau yang
jangan dilakukan orang.
Fungsi sains menurut Einstein ( Holton, 1958 ) ialah mengkoordinasikan semua
pengalaman - pengalaman manusia dan menempatkannya ke dalam satu sistem yang
logis, sedangkan fungsi kesenian menurut Whithead ( Holton, 1958 ) ialah untuk
memberi manusia semacam persepsi mengenai suatu keberaturan dalma hidup dengan
menempatkan suatu keberaturan ( order ) padanya.
Memang benarlah, memalui sains, kesenian maupun filsafat usaha intelektual kita
diarahkan untuk mencari dan menemukan suatu pola, orde, system, maupun struktur
tertentu. Ia dapat menemukan suatu peubahan musim yang bersifat sangat primitive, atau
suatu sintesa kosmologi yang menawan hati ( Holton, 1958 ).
Ajaran - ajaran seperti yang tercantum pada kitab suci tidak diperoleh dari Sains.
Ajaran - ajaran semacam itu yang menyangkut nilai - nilai moral berada pada wewenang
teologi, filsafat atau ajaran - ajaran keagamaan.
Hubungan antara Sains dan Agama, ialah bahwa sains dan teknologi
membutuhkan bimbingan moral ( moral guidance ) Science without religion is blind , and
religion without science is lame.
Melalui kesenian manusia mencari identitas dirinya, untuk akhirnya memberi
jawaban pada pertanyaan : siapa dia, siapa engkau dan siapa aku.
Dalam hal ini, unsuk - unsur estetik yang diperolah melalui kesenian merupakan
pelengkap yang mutlak. Tanpa unsur - unsur kesenian, hidup hanyalah gurun belaka,
suatu oasis tanpa air. Satu sama lain keempat unsure tersebut harus berhubungan dan
terpadu dalam seorang manusia ( M.T.Zan hal. 10-11 ).
Kesenian Mencari keindahan
untuk mengenal apa dan
siapa saya / engkau
( Filsafat/ Teologi/
Agama)
Gambar. Diagram segi tiga menggambarkan hubungan antara ilmu dasar, ilmu terapan
dan kesenian yang satu sama lain berkaitan dengan filsafat / teologi atau ajaran-
ajaran keagamaan.
Dari diagram di atas maka jelaslah bagi kita bahwa antara filsafat, ilmu ( science ), religi
dan seni satu sama lain dapat saling berhubungan, ditandai dengan anak panah dengan
arahnya masing - masing.
3. Neoplatonisme
Tokoh daripada Neoplatonisme ialah Plotinos ( 204-270 ). Ajaran dari Plato
tentang idea tertinggi diperbaharui dan diperdalam oleh Plotinos. Ia sangat tertarik oleh
idea tertinggi dari Plato sebagai dasar segala yang ada.
Wila Huky ( 1981 : 73-74 ) mengemukakan dalam bukunya tentang faham
Plotinos itu sebagai berikut:
“Idea tertinggi sebagai dasar segala yang ada, oleh karena itu ada itu satu, sehingga
semuanya ikut serta dengan dia dalam adanya. Selain itu di dunia ini didapatkan juga hal
mengadakan ini, mahluk hidup misalnya mulai mengadakan bila ia sudah dewasa.”
Artinya baik manusia, binatang maupun tumbuh - tumbuhan semuanya menurunkan yang
sama dengan dia tanpa mengurangi dirinya sedikitpun. Jika ada yang terbatas ini saja
sudah dapat demikian, apalagi ada yang sempurna, yang memiliki segala kesempurnaan.
Kesempurnaan ini berlimpah - limpah, meluap - luap.
Dari yang Esa itu meluaplah yang bermacam - macam sehingga apa yang disebut
orang dengan ciptaan tidak lain daripada peluapan / emanasi. Bagi Plotinos tuhan yang
maha esa ini tidak terpisahkan dari dunia. Ia tidak mengatasi dunia, tuhan tidak
transendensi.
Tuhan tidak di dunia, melainkan dunia ada pada tuhan; seperti peluapan terdapat
pada yang meluap, seperti aliran terdapat pada yang mengalir., seperti panas terdapat
pada api. Tegasnya tuhan sama dengan dunia; dunia pada prinsipnya sama dengan tuhan (
Wila Huky, 1981 : 74 ).
Menurut Plotinos pada intinya dan pada hakekatnya ada itu hanya satu belaka.
Tuhan dan semua lainnya berhakekat sama : ajaran yang menyatakan semuanya itu
berhakekat tuhan yang disebut panteisme atau serba tuhan.
Pengaruh dari faham Platonisme ini meluas ke dunia Eropa dan Asia Barat, juga
kepada kalangan agama Kristen maupun Islam.
Plotinos banyak menggunakan istilah - istilah Plato dan menggunakan juga dasar
fikirannya, akan tetapi ia memajukan banyak hal yang sebelumnya tidak diselidiki oleh
filsafat yunani, jadi hal yang baru.
Oleh Plotinos pikir diarahkan kepada Tuhan dan Tuhan-lah yang menjadi dasar
segala sesuatunya. Lain dari Plato dengan tegas idea tertinggi itu disebutnya Tuhan atau
yang esa. (Poedjawijatma, 1966 : 51).
4. Pragmatisme
Pragmatisme kadang - kadang disebut juga instrumentalisme atau
ekperimentalisme.
Filsafat ini dikatakan instrumentalisme karena mempunyai anggapan bahwa suatu
tujuan bukan merupakan final goal, melainkan merupakan alat untuk mencapai tujuan
berikutnya.
Disebut eksperimentalisme karena menggunakan metode eksperiment untuk mendapat
kebenaran.
Ada beberapa tokoh aliran ini, yaitu William James ( 1824-1910 , John Dewey
( 1859-1952 ), dan Ch.S. Peirce ( 1858-1952 ). Pragmatisme ini tumbuh subur di
Amerika, tetapi orang Eropa pun mengikutinya. Ada beberapa tokoh yang dapat dianggap
pengikut Pragmatisme seperti Hans Vaihinger, Ferdinand Schiller, George Santayana.
Menurut Pragmatisme teori itu benar apabila berfungsi Pragmatisme berasal dari
kata yunani ”pragma” yang berarti guna.
Pandangannya tentang realita dan dunia, menganggap bahwa dunia tidak bebas dari dan
tidak terikat kepada idea manusia.
Realita merupakan interaksi manusia dengan lingkungannya manusia dan lingkungannya
berdampingan, dan memiliki tanggung jawab yang sama terhadap realitas. Dunia akan
bermakna sejauh manusia mempelajari makna yang ada di dalamnya. Perubahan
merupakan esens realitas, dan kita harus siap merubah cara - cara yang akan kita
kerjakan. Manusia pada hakekatnya plastis dan dapat berubah ( kutipan U.Sadulloh dari
Kneller, 1971 : 13 ).
Mengenai teori kebenaran, William James mengemukakan bahwa teori
merupakan alat yang kita pergunakan untuk memecahkan masalah dalam pengetahuan
kita. Karena itu suatu teori harus dinilai dalam pengertian mengenai keberhasilannya
menjalankan fungsinya.
Kebenaran bukan sesuatu yang statis, melainkan tumbuh berkembang dari wktu
ke waktu.
Selanjutnya U.Sadulloh mengutip dari Harun Hadiwiyono ( 1980 ) tentang teori
kebenaran sebagai berikut : menurut Wiliiam James tidak ada kebenaran yang mutlak,
yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari pada akal yang
mengenal. Sebab pengalaman kita berjalan terus dan segala yang kita anggap benar
dalam pengalaman itu senantiasa berubah, karena di dalam prakteknya apa yang kita
anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya; oleh karena itu tidak ada
kabenaran yang mutlak. Yang ada hanya kebenaran, yaitu yang benar dalam pengalaman
- pengalaman yang khusus, yang setiap kali dapat diubah oleh pengalaman berikutnya.
Setelah James, muncul John Dewey dengan suatu pandangan yang disebut
“instrumentalisme”. Mungkin Dewey merupakan pemikir yang sangat berpengaruh pada
zamannya; sehingga ia dapat memberikan corak kebudayaan bangsa Amerika sampai
sekarang. Ia mengemukakan sebuah teori pengetahunan dari sudut peranan biologis dan
psikologis. Konsep - konsepnya merupakan bimbingan untuk mengarahkan kegiatan
intelektual manusia ke arah masalah social yang timbul pada waktu itu. Menurut Dewey (
Hadiwitono, 1980 : 133-134 ), tugas filsafat ialah memberikan garis - garis pengarahan
bagi perbuatan dalam kenyataan hidup, oleh karena itu filsafat tidak boleh tenggelam
dalam pemikiran - pemikiran metafisis yang tidak ada faedahnya. Filsafat harus berpijak
pada pengalaman dan menyelidiki serta mengolah pengalaman tersebut secara kritis.
Penyelidikan berkaitan dengan penyusunan kembali pengalaman yang dilakukan
dengan sengaja. Oleh karena itu penyelidikan dengan penilaiannya merupakan alam
( instrument ).
Jadi filsafat Dewey disebut instrumentalisme, karena berusaha untuk menyusun
suatu teori yang logis dan tepat dari konsep - konsep, pertimbangan - pertimbangan,
penyimpulan - penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam - macam itu, dengan cara
pertama - tama menyelidiki bagaimana pikiran berfungsi dalam penentuan - penentuan
yang berdasarkan pengalaman, yang mengenai konsekwensi - konsekwensi di masa
depan.
Menurut Dewey, yang benar ialah apa yang pada akhirnya disetujui oleh semua
orang yang menyeligikinya.
Pandangan tentang nilai, Pragmatisme berpendapat bahwa nilai itu relative.
Kaidah - kaidah noral dan etika tidak tetap, tetapi harus berubah seperti perubahan
kebudayaan dan masyarakat. Pragmatisme menyarankan untuk menguji kualitas nilai
dengan cara yang sama seperti kita menguji kebenaran idea kita. Kita harus
mempertimbangkan perbuatan manusia dengan tidak memihak, dan secara ilmiah
memilih nilai - nilai yang tampaknya memungkinkan untuk memecahkan masalah -
masalah nilai yang dihadapinya. Nilai - nilai itu tidak akan dipaksakan dengan kekuatan
apapun kepada kita, untuk diterimnya.
Nilai - nilai itu akan disetujui setelah diadakan diskudi secara terbuka yang
didasarkan atas bukti obyektif.
Demikian pandangan nilai Pragmatisme, yang dikumukakan oleh U.Sadulloh
sebagai kutipan dari Kneller ( 1971 : 37 ).
5. Existensialisme
Eksistensialisme adalah filsafat yang memandang segala gejala dengan
berpangkal kepada eksistensi. Eksistensi adalah cara manusia berada di dalam dunia.
Cara berada manusia di dunia, berbeda dengan cara beradanya benda - benda material.
Tokoh dari aliran Eksistensialisme ialah Soren Kierkegaard ( 1813-1855 ).
Kierkegaard sebenarnya bukan ahli filsafat tetapi seorang ahli theology.
Menurut aliran Eksistensialisme keberadaan benda - benda tidak sadar akan
dirinya sendiri, juga tidak ada komunikasi satu sama lainnya.
Tidak demikian keberadaan manusia di dunia. Manusia berada bersama manusia
lain, dan benda - benda itu akan berarti karena manusia.
Inti masalahnya ialah : “Apa itu kehidupan manusia?” “Apa tujuan dari kegiatan
manusia?” Bagaimana kita menyatakan keberadaan manusia?”.
Ia menggunakan istilah ekstensi dalam istilah theology. Poedjawijatna ( 1966 : 156-157 )
mengemukakan bahwa : Kierkegaard mempunyai konsep tentang 3 tingkatan hidup
( stadia ) : stadium aestetis, etis, dan religious. Tiga tingkatan ini bukanlah merupakan
peralihan yang tak terasa, melainkan ada merupakan pertentangan, sehingga orang harus
meloncat dari stadium satu ke stadium berikutnya. Orang yang dalam stadium aestetis
ialah orang yang berfikir tanpa gerak. Ia dapat memikirkan tentang segala sesuattu, akan
tetapi ia sendiri ada di luar yang dipikirkan itu.
Orang yang ada pada tingkatan etis, berpaling dari alam luaran ini serta
mengarahkan perhatiannya kepada realitasnya yang ada di dalamnya sendiri.
Stadium ketiga yaitu stadium religious, putuskanlah segala ikatan umum. Muncul
manusia sebagai subyek yang individual dalam hubungannya dengan yang konkrit, yaitu
dengan nabi Isa yang konkrit dan sungguh ada.
Allah - manusia yang merupakan paradox. Minatnya tidak lagi pada diri sendiri,
melainkan pada nabi Iisa. Tuhan yang hidup sebagai manusia dalam waktu. Demikianlah
manusia dalam stadium religious, ia ada dalam waktu, tetapi berhubungan juga dengan
keabadian. Adapun hasilnya ialah perubahan manusia karena imannua. Di situlah ia
mengetahui eksistensinya.
Pokok pemikirannya dicurahkan kepada pemecahan yang konkrit terhadap
persoalan arti “berada” mengenai manusia.
Tokoh - tokoh lainnya yang kita kenal diantaranya : Martin Buber, Martin
Heidegger, Jean Paul Sartre, Karel Yaspers, Gabriel Marcel, Paul Tillich.
Bagi Eksistensialisme , benda - benda materi alam fisik, dunia yang terpisah dari
manusia, tidak akan bermakna, atau tidak mempunyai tujuan. Jadi dunia ini hanya akan
bermakna karena manusia. Eksistensialisme mengakui bahwa apa yang dihasilkan oleh
ilmu adalah cukup asli, tetapi memiliki makna kemanusiaan secara langsung.
Demikianlah dikemukakan oleh Kneller ( 1964 : 71-72 ). Paham Eksistensialisme
bukan hanya satu, melainkan terdiri dari berbagai pandangan yang berbeda - beda.
Namun demikian pandangan - pandangan yang tersebut memiliki beberapa persamaan,
hingga mereka dapat dikatakan filsafat Eksistensialisme.
Persamaan tersebut oleh U.Sadulloh dikemukakan dengan mengambil sumber dari Harun
Hadiwijatna ( 1980 : 149 ) sebagai berikut :
a) Motif pokok ialah apa yang disebut ekstensi, yaitu cara manusia berada. Hanya
manusialah yang berekstensi.
Ekstensi adalah cara khas manusia berada. Pusat perhatian ini ada pada manusia,
oleh karena itu bersifat humanistis.
b) Berekstensi harus diartikan secara dinamis. Berekstensi berarti menciptakan
dirinya sendiri secara aktif, berekstensi berarti berbuat, menjadi, merencanakan.
c) Dalam filsafat Eksistensialisme manusia dipandang sebagai terbuka. Manusia
adalah realitas yang belum selesai, yang masih harus dibentuk. Pada hakekatnya
manusia terikat kepada manusia sekitarnya, terlebih - lebih kepada sesama
manusia.
d) Filsafat Eksistensialisme memberi tekanan kepada pengalaman yang konkrit,
pengalaman yang eksistensial.
6. Fenomenologi
Fenomenologi merupakan metode filsafat berasal dari ciptaan Edmund Husserl
( 1859 – 1939 ), selanjutnya dikembangkan oleh Marx Scheller ( 1872 – 1928 ).
Saat - saat awalnya Husserl berfilsafat mengenai ilmu pasti, lama - kelamaan ia
tiba pada renungan mengenai filsafat pada umumnya.
Dalam Fenomenologi dikemukakan bahwa kita harus memperkenalkan gejala -
gejala dengan menggunakan situasi. Kenyataan atau realita tidak harus didekati dengan
argumen, konsep - konsep, dan teori umum, maupun dengan menggunakan pendakan
empiri seperti dengan observasi dan eksperimen. Kita harus mulai dengan metode untuk
berfikir. Mengenai istilah Fenomenologi berasal dari kata fenomenon = gejala.
Husserl mencoba menyusun metode yang mengungkapkan seolah - olah
memperlihatkan keadaan hakiki pada tiap - tiap obyek pengetahuan yang mungkin ada.,
tanpa dicampuri refleksi dan pengetahuan serta pengalaman sedikitpun sebelumnya.
Husserl mencoba menguraikan obyek yang dilihatnya dari luar, dengan melepaskan
pretensi bahwa ia sanggup menerangkan segala sesuatu tentang obyek tersebut, ia
mengabaikan realitas mana yang cocok dengan obyek tersebut, ia juga melepaskan
kepribadian yang sebelumnya dapat menghalangi untuk dapat membuka tabir dari obyek
yang ia amati, ia mencoba melepaskan segala sesuatu yang bukan inti.
Fenomenologi sanggup memberi bahan - bahan oengertian yang murni, yang
perlu sebagai dasar bagi segala pemikiran filsafat. Oleh para penganutnya, Fenomenologi
dianggap sebagai ilmu dasar.
Menurt Husserl Fenomenologi sebenarnya merupakan teori tentang fenomena, ia
mempelajari apa yang Nampak diri atau fenomena.
Metode Fenomenologi ini berpengaruh terhadap ilmu - ilmu lain, contohnya
S.Strasser menggunakannya untuk ilmu antropologi; E ee Bruyne menggunakannya
untuk etika dan estetika, selanjutnya Lavengeld untuk Paedagogik. Max Scheller adalah
salah seorang filofof fenomenologi ( 1874-1928 ).
Poedwijatna ( 1966 : 153 ) mengatakan bahwa : Max Scheller menggunakan
metode Husserl itu dan tidaklah diusahakannya untuk menganalisa dan menerangkan
lebih lanjut hal mengerti serta gejala - gejalanya.
Yang diutamakannya ialah penyelidikan secara fenomenologis etika dan filsafat agama.
Manusia itu bukanlah pencipta nilai tingkah laku, melainkan nilai - nilai itu
berlaku lepas daripada manusia.
Tugas manusia adalah mengakui nilai - nilai itu serta dalam hidup mengikutinya.
Etika Kant menurut dia tidak memuaskan, karena hanya mengembalikan seluruh etika
kepada kewajiban.
Adapun gejalanya tidaklah demikian, sebab kita tidak hanya harus tahu, bahwa
kita kewajiban, melainkan harus kita ketahui juga apakah – yang menurut kewajiban itu
harus kita lakukan.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Kusbada, Dady, (1984), Filsafat dan Teori Pendidikan, Bandung : Jurusan FSP FIP IKIP
Bandung.
Poedjawiatna, I.R. (1984), Membimbing ke Arah Alam Filsafat, Jakarta : Pembangunan.
Rasyidi, H.M., (1984), Persoalan-Persoalan Filsafat, Jakarta : Bulan Bintang.
Santoso, Imam Slamet, (1977), Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan, Jakarta : Sinar
Hudaya.
Sahakian William S. (1966), Outline History of Philosophy, Massachusetts : Bernes &
Noble College.
Sadulloh, Uyoh, (1982), Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung : FFP FIP IKIP
Bandung.
Suriasumantri, Yuyun S. (1985), Ilmu dalam Perspektif, Jakarta : Gramedia.
BAB II
Seluk Beluk Filsafat Pendidikan
Oleh : Drs. Redja Mudyohardjo
Drs. Dede Somarya
Filsafat pendidikan dapat dipandang sebagai proses dan hasil kegiatan kreatif
manusia. Sebagai suatu kegiatan kreatif manusia, filsafat pendidikan merupakan suatu
studi pendidikan, atau suatu penelaahan masalah - masalah pendidikan dengan
mempergunakan pola pikir dan pola kerja tertentu. Sedangkan sebagai hasil kegiatan
kreatif, filsafat pendidikan merupakan seperangkat pandangan atau gagasan tentang
masalah - masalah pendidikan, yang ditampilkan dan disajikan dalam suatu pola atau
sistem, dan gaya tertentu. Dengan demikian fisafat pendidikan dapat dipandang sebagai
sekeping uang logam yang mempunyai dua muka yang tak dapat terpisahkan.
Antara ketiganya terdapat kesamaan dalam pola pikir atau kerangka dasar kegiatan
dalam studi. Sedangkan perbedaannya terletak pada pola kerja atau kerangka operasional
dalam menghadapi masalah pendidikan, baik dalam memilih masalah ( problematik ),
tujuan pemecahan masalah ( tema ), maupun dalam cara pemecahannya ( metode ).
Marilah kita bahas persamaan atau perbedaan ketiga macam studi pendidikan tersebut
dalam rangka lebih mengenali ciri - ciri filsafat pendidikan sebagai studi pendidikan.
Studi semacam ini berbeda dengan studi ilmu pendidikan dan studi pendekatan sistem
dalam perencanaan pendidikan. Yang menjadi masalah dalam studi ilmu pendididikan
adalah suatu masalah pendidikan yang sedang dihadapi. Dengan demikian studi ilmu
pendidikan brusaha memecahkan masalah pendidikan yang terbatas pada suatu aspek
atau dimensi pendidikan yang sedang dihadapi. Oleh karena itu, studi ilmu pendidikan
mempunyai ciri spesifik kontemporer. Selanjutnya yang menjadi masalah dalam studi
perencanaan pendidikan adalah masalah pendidikan yang kompleks dan mendesak untuk
diatasi.
Hal ini berbeda dengan ciri studi ilmu pendidikan dan perencanaan pendidikan. Tujuan
studi ilmu pendidikan adalah menerangkan fakta atau prinsip - prinsip tentang peristiwa -
peristiwa pendidikan yang terjadi dalam khidupan manusia. Di sini tidak mencari hal -
hal yang seharusnya ( normatif ) dan keluar dari fakta, tetapi berusaha memberikan
gambaran yang menerangkan tentang peristiwa - peristiwa pendidikan yang terjadi dalam
kehidupan manusia. Oleh karena itu, studi ilmu pendidikan mempunyai ciri deskriptif dan
interpretatif. Selanjutnya tujuan studi pendekatan sistem adalah mencari cara - cara
terbaik yang dapat dilakukan dalam kondisi yang ada. Hal ini berarti bahwa studi
pendekatan sistem dalam perencanaan pendidikan mempunyai ciri optimalisasi dan
operasional.
Cara dalam studi filsafat pendidikan bersifat sinopsis atau sintesis artinya cara kerja yang
berusaha meneruskan wawasan pendidikan yang bersifat merangkum dan terpadu, yaitu
wawasan pendidikan yang mencakup segala aspek pendidikan dalam satu sistem atau
kerangka pemikiran yang bulat. Sedangkan metode kontemplatif adalah cara kerja yang
berusaha mengungkapkan wawasan pendidikan dengan mempergunakan perenungan atau
pemikiran mendalam berdasarkan seluruh pengalaman dan kemampuan kemanusiaan
yang ada.
Akhirnya yang dimaksud dengan pemecahan masalah secara kritis adalah
pemecahan masalah yang dilakukan dengan jalan bekerja dan berfikir keras dengan
penuh pertimbangan untuk menemukan wawasan pendidikan yang prinsipil atau pokok.
Jadi ciri cara kerja dalam studi filsafat pendidikan adalah sinopsis / sintetis kontemplatif
dan kritis. Hal ini berbeda dengan karekteristik cera kerja dalam studi ilmu pendidikan
dan pendekatan sistem dalam perencanaan pendidikan. Karakteristik cara kerja dalam
studi ilmu pendidikan adalah analitis, empiris dan nomothetis. Studi ilmu pendidikan
bersifat analitis karena mmepergunakan cara kerja yang berusaha menggambarkan dan
menerangkan hal - hal atau prinsip - prinsip yang menjadi aspek dimensi, atau unsur
peristiwa pendidikan. Selanjutnya ciri cara kerja dalam studi ilmu pendidikan adalah
empiris, karena hal - hal atau prinsip - prinsip yang hendak digambarkan atau diterangkan
didasarkan pada hasil pengalaman melalui observasi. Akhirnya apa yang dimaksud
dengan nomothetis dalam studi ilmu pendidikan adalah cara kerja yang berusaha
merumuskan hukum - hukum yang berlaku dalam pendidikan secara bertahap
berdasarkan asumsi tertentu dan melalui pengujian secara empiris. Sedangkan
karakteristik cara kerja pendekatan sistem dalam perencanaan pendidikan adalah
penyusunan model atau program, interdisipliner atau multidisipliner dan pragmatis atau
praktis. Cara kerja dalam studi pendekatan sistem adalah penyususnan model atau
program atau cara kerja yang berusaha memetakan suatu kerangka kerja pemecahan
masalah atau program kerja yang diperlukan. Selanjutnya yang dimaksud dengan metode
interdisipliner atau multidisipliner adalah cara kerja pemecahan masalah dengan
mempergunakan konsep - konsep dan teknik - teknik kerja berbagai disiplin atau cabang
ilmu. Sedangkan yang dimaksud dengan metode pragmatis atau praktis dalam studi
pendekatan sistem adalah cara kerja yang berusaha menemukan kerangka kerja atau
model kerja yang dapat dipergunakan epektif dan efisien dalam memecahkan masalah
yang sedang dihadapi.
Sebelum beralih kepada pembahasan hal lain marilah kita rangkumkan ciri - ciri
filsafat pendidikan sebagai studi pendidikan. Studi filsafat pendidikan mempergunakan
metode pemecahan masalah, yang mempunyai cirri - ciri komprehensip mendasar,
normatif, spekulatif, sinopsis atau sintesis, kontemplatif dan radikal.
Selanjutnya apakah yang dilakukan orang dalam mengungkapkan filsafat
pendidikannya? Seperti halnya dalam filsafat, dalam berfilsafat pendidikan pun akan
melibatkan sekurang - kurangnya enam macam perbuatan yang serentak dilakukan dalam
mengungkapkan filsafat pendidikannya. Keenam macam perbuatan tersebut terdiri atas :
(1) menyatakan sikap secara tersurat atau tersirat terhadap wawasan atau tokoh filsafat
dan pendidikan yang ada. Sehubungan dengan sikap ini, seseorang dapat bersikap
dognatis, skeptis, eklektif atau sinkretis; (2) menyatakan sikap sikap secara tersurat atau
tersirat terhadap keseluruhan masalah dalam rangka memilih tema pembahasan.
Sehubungan dengan hal ini, seseorang dapat bersikap positivistis, naturalistis, idealistis,
atau pragmatis; (3) memilih titik tolak yang dijadikan awal dalam mengungkapkan
filsafat pendidikan. Sehubungan dengan hal ini seseorang dapat memulainya secara
empiris, rationalis, autoritarianis, atau nistis; (4) mempergunakan metode kerja tertentu
dalam mengungkapkan filsafat pendidikannya. Sehubungan dengan hal ini, seseorang
mungkin mempergunakan metose reduksi, rekontruksi, atau klasifikasi ideal; (5)
menyatakan isi filsafat pendidikannya, yang antara lain dapat diungkapkan secara
porfetik / pastoral, spekulatif / mediatif, analitis / diskursif, atau kreatif / puitik; (6)
menyatakan gaya pengungkapan filsafat pendidikannya yang antara lain dengan gaya
idikatif / naratif, aporistik atau sistematik. Dengan demikian bentuk nyata kegiatan dalam
mengungkapkan filsafat pendidikan merupakan kombinasi dari kemungkinan -
kemungkinan yang ada dari enam macam perbuatan tersebut di atas. Dapat dibayangkan
besarnya keragaman bentuk kegiatan dalam berfilsafat pendidikan.
Pertama kita dapat menemukan pola, bahwa penelaahan atau pemikiran filsafat
tentang pendidikan merupakan bagian dari keseluruhan pemikiran filsafat umumnya.
Filsafat pendidikan merupakan bagian dari fisafat umum. Misalnya pemikiran filsafiah
tentang pendidikan merupakan bagian atau serpihan dari pemikiran filsafat sosial atau
filsafat negara. Hal semacam ini antara lain terdapat pada Plato dalam Republic,
Aristoteles dalam Politics, dan sebagainya. Apakah pengaruh pola hubungan semacam ini
terhadap bentuk filsafat pendidikan sebagai teori pendidikan? Filsafat pendidikan
merupakan teori pendidikan yang terdiri atas serpihan - serpihan pemikiran tentang
pendidikan, tersebar dalam pemikiran filsafat umum, dan berfungsi melengkapi
pemikiran filsafat umum. Filsafat pendidikan bukanlah tuan rumah yang dapat mengatur
dirinya sendiri, tetapi tamu khusus filsafat umum. Filsafat pendidikan belum merupakan
suatu studi dan teori pendidikan yang berdiri sendiri atau mandiri tetapi sebagai bagian
tak terpisahkan dari filsafat umum.
Pola kedua yang dapat kita temukan dalam khasanah pemikiran filsafiah tentang
pendidikan adalah pola yang bertentangan dengan pola pertama. Filsafat umum bukanlah
dasar atau akar dan mendahului pemikiran pendidikan, tetapi merupakan hasil dari
pemikiran pendidikan. Pemikiran filsafat pendidikan mendahului dan membawa kepada
pemikiran filsafat umum. Pandangan semacam ini misalnya dapat kita jumpai pada :
Woodbridge dalam Philosophy and Education, yang antara menyatakan “Phylosophy is
the flower, not the root of education” ( Brubacker : 19 ), K.H. Dewantara dalam Azas -
azas dan Dasar - Dasar Taman Siswa, yang antara lain secara tersirat dan tersurat berisi
pandangan hidup atau filsafat hidup yang dikemukakan dalam rangka menjelaskan
prinsip - prinsip pendidikan, dan sebagainya. Di sini tampak bahwa filsafat pendidikan
merupakan studi dan teori pendidikan yang mandiri dengan dilengkapi filsafat hidup.
Filsafat pendidikan adalah tuan rumah yang mandiri dan menghasilkan filsafat hidup.
Dengan demikian filsafat pendidikan dapat mandiri dalam memilih pola pikir dan isi
pemikiran pendidikan, yang antara lain menghasilkan pemikiran tentang filsafat hidup.
Pola ketiga yang dapat kita temukan dalam khazanah pemikiran filsafat
pendidikan adalah pola hubungan aplikatif, dalam arti bahwa filsafat umum merupakan
dasar atau akar dan mendahului filsafat pendidikan. Dengan kata lain, filsafat pendidikan
merupakan implikasi atau penerapan lebih lanjut filsafat umum dalam bidang pemikiran
pandidikan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila filsafat pendidikan diartikan
sebagai penerapan metode dan gagasan filsafat umum dalam memecahkan masalah -
masalah pendidikan. Pola semacam ini antara lain dapat kita temukan pada : Henderson
dalam Introduction to Phylosophy oOf Education, yang membataskan filsafat pendidikan
sebagai “....... The application of phylosophy to the studi of the problem of education”
( Henderson : 12 ); Horn dalam The Phylosophy of Education, yang antara lain
menyatakan “.......that the question of the phylosophy of education is that what are the
implication of education” ( Horn : 258 ). Di sini kelihatan bahwa filsafat pendidikan
sudah berusaha melepaskan sebagian dari ketergantungannya pada filsafat umum, tetapi
mempertahankan hubungan fungsional dengan filsafat umum. Filsafat pendidikan bukan
merupakan bagian tak terpisahkan dari filsafat umum, dan bukan pula yang menghasilkan
filsafat umum, tetapi merupakan kreasi manusia tersendiri, yang tetap mendasarkan pola
fikirnya pada filsafat umum. Filsafat pendidikan mandiri dalam obyek dan bertopang
pada filsafat umum dalam pola fikir. Filsafat pendidikan adalah tuan rumah yang dapat
mengatur sebagian dari dirinya, dan bersamaan dengan itu menerima pengaruh yang
menentukan dari filsafat umum.
Pola keempat yang dapat kita temukan dalam khazanah pemikiran pendidikan
adalah pola yang mencoba menghindarkan diri dari pertentangan mana yang lebih
mendahului dan berperan antara filsafat umum dan filsafat pendidikan. Pola ini berusaha
mendamaikan dan menyatukan filsafat umum dengan filsafat pendidikan. Hal semacam
ini antara lain terlihat pada J. Dewey dalam Democracy and Education, yang antara lain
menyatakan “......phylosophy as the theory oy education in its most general phases”
( J.Dewey : 386 ). Di sini tidak memisahkan filsafat umum dan filsafat pendidikan.
Fisafat adalah filsafat pendidikan dalam arti konsep pendidikan yang sangat umum.
Sebaliknya filsafat pendidikan adalah filsafat oleh karena berfikir reflektif tentang makna
hidup, seperti yang dilakukan oleh filsafat umum. Oleh karena itu, filsafat pendidikan
kreasi manusia yang mandiri, yang tidak perlu mempersoalkan dimana kedudukan dan
peranan filsafat umum. Filsafat umum dan filsafat pendidikan adalah tuan rumah yang
sama dan dapat mengatur dirinya sendiri baik dalam struktur maupun isi pembahasan
masalah-masalah pendidikan.
Pola kelima yang dapat kita temukan dalam khazanah pemikiran pendidikan adalah pola
hubungan bebas antara filsafat umum dengan filsafat pendidikan. Filsafat pendidikan
adalah kreasi manusia yang mandiri baik dalam metode maupun obyek, dan meyakini
kegunaan filsafat umum bagi filsafat pendidikan, tetapi hubungan dengan filsafat umum
bukanlah suatu keharusan dan esensial. Filsafat pendidikan mempunyai kebebasan
mutlak dalam mengadakan hubungan dengan filsafat umum. Filsafat pendidikan adalah
tuan rumah yang dapat memilih dan menentukan sendiri filsafat umum yang akan
dimanfaatkan dalam menyusun filsafat pendidikan. Filsafat pendidikan sebagai tuan
rumah menentukan sendiri jenis filsafat umum yang akan dijadikan tamunya yang
berguna. Pola semacam ini antra lain terdapat pada adams dalam The Teachers as
Phylosopher, School and Society ( Brubacker : ). Dengan demikian filsafat pendidikan
mandiri yang bebas memilih filsafat umum yang akan dimanfaatkannya.
Berdasarkan uraian tentang pola - pola hubungan filsafat pendidikan dengan
filsafat umum, sekurang - kurangnya kita dapat mengenali lima macam bentuk filsafat
pendidikan, dengan struktur isi atau kerangka isi yang berbeda dalam kemandirian,
kekompakan atau keterpaduan, dan ketegasan isi. Berdasarkan kerangka isinya, kita dapat
pula mengenali lima macam batasan filsafat pendidikan. Marilah kita rumuskan kelima
macam batasan tersebut, yang melengkapinya dengan karakteristik kemandirian,
keterpaduan, dan ketegasan pengungkapan isinya.
Seperti telah dinyatakan pada uraian terdahulu, filsafat pendidikan dibataskan
sebagai bagian tak terpisahkan dari filsafat umum. Wawasan pendidikan yang
dikemukakan belum menjadi satu kerangka uraian tentang pendidikan, tetapi tersebar di
sana sini mengikuti pola pembahasan filsafat. Dengan kata lain belum mempunyai
kerangka isi yang mandiri. Lain dari pada itu wawasan pendidikan yang dikemukakan
merupakan uraian lebih lanjut dari pembahasan masalah - masalah filsafat. Dapat
dibayangkan bahwa gagasan - gagasan yang menjadi isi wawasan pendidikan belum
terpadu dalam satu system pemikiran. Orang lainlah yang harus menafsirkan kembali
agar wawasan tersebut dapat difahami sabagai satu kesatuan serpihan - serpihan gagasan
pendidikan yang tersebar dalam pembahasan filsafat masih banyak yang bersifat tersirat.
Gagasan - gagasan yang dikemukakan tidak dengan tegas dan tersurat dinyatakan sebagai
gagasan pendidikan tetapi makna kependidikannya harus dicari dan ditafsirkan dari
gagasan - gagasan filsafatnya. Misalnya dalam republic atau politics tidak dinyatakan apa
yang menjadi tujuan umum pendidikan. Rumusan tersebut dicari dan ditafsirkan dari
pandangan metafisikanya. Dengan demikian dapatlah dinyatakan bahwa filsafat
pendidikan sebagai bagian tak terpisahkan dan filsafat merupakan filsafat pendidikan
tersirat sehingga belum mencapai kemandirian dan kepaduan dalam isi.
Batasan kedua, filsafat pendidikan sebagai teori pendidikan yang menghasilkan
filsafat umum. Wawasan pendidikan yang dikemukakan merupakan wawasan yang bebas
sama sekali dari pengaruh filsafat umum. Wawasan pendidikannya dituangkan dalam
kerangka yang mandiri penuh, dan menghasilkan gagasan filsafat, atau mandiri plus. Apa
yang menjadi pokok bahasan dan bagaimana pembahasannya tidaklah tergantung atau
bertopang pada filsafat, tetapi ditentukan sendiri. Wawasan pendidikan lebih tampil
perkasa daripada wawasan filsafat, baik dalam pola fakir yang melandasi wawasan
maupun dalam pola kerja penyusunan wawasan. Dapat dibayangkan bahwa keterpaduan
gagasan - gagasan pendidikan yang disampaikan lebih dapat terlaksana, oleh karena tidak
harus mengikuti atau memperhitungkan filsafat. Titik atau dasar orientasi wawasan
pendidikan tidak terletak pada filsafat sebagai pihak luar, tetapi pada kerangka pemikiran
atau paradigma pendidikannya itu sendiri. Gagasan - gagasan yang ditampilkan langsung
mengenai pendidikan. Meskipun ada gagasan - gagasan filsafat, tidaklah berarti gagasan -
gagasan filsafat yang diambil dari luar, tetapi pemikiran lebih lanjut tentang pendidikan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa filsafat pendidikan sebagai teori pendidikan yang
menghasilkan pemikiran filsafat, merupakan filsafat pendidikan yang penuh kemandirian,
keterpaduan, dan ketersuratan dalam isi, tetapi bebas dari pengaruh filsafat. Filsafat
pendidikan yang tidak mengakui pengaruh filsafat.
Batasan ketiga, filsafat pendidikan sebagai penerapan filsafat dalam studi masalah
- masalah pendidikan. Apakah yang dapat diterapkan dari filsafat umum dalam segi
pendidikan? Brubacker dalam Modern Philosophy of Education, menyatakan ada tiga
cabang filsafat yang sangat bersangkut paut dengan pendidikan, yaitu : etika,
epistimologi, dan metafisika ( Brubacker : 20 ). Misalnya, etika mempunyai pengaruh
antara lain kepada pemikiran tentang tujuan pendidikan, motivasi belajar, pengukuran
hasil belajar, seleksi siswa, dan faktor - faktor social politik dalam proses pendidikan.
Epistimologi antara lain mempunyai pengaruh terhadap pemikiran tentang isi pendidikan,
metode dan teknik pendidikan. Metafisika antara lain mempunyai pengaruh terhadap
pemikiran tentang fungsi pendidikan, tujuan umum pendidikan, kesempatan pendidikan,
dan pengelolaan pendidikan. Jadi yang pertama - tama dapat diterapkan adalah
pandangan - pandangan yang dihasilkan studi filsafat tentang hakekat : kenyataan,
pengetahuan, nilai, dari manusia. Di samping itu, pola kerja atau metode kerja studi
filsafat pun secara tersirat mempunyai pengaruh pada studi pendidikan. Misalnya
Henderson selaku pengikut Kant ( realisme kritis ) berusaha keras untuk mempergunakan
metode rekonstruksi dialektis atau memadukan dua hal yang bertentangan di dalam
menjelaskan wawasan pendidikannya. Apa yang dapat kita simpulkan dari contoh diatas
yaitu bahwa filsafat pendidikan sebagai penerapan filsafat dalam studi masalah - masalah
pendidikan, tidak memiliki kemandirian penuh, oleh karena ditopang atau didasarkan
pada pandangan - pandangan dan metode kerja filsafat. Meskipun demikian bukanlah
tidak mempunyai kemandirian sama sekali seperti pada batasan pertama. Filsafat
pendidikan mempunyai kemandirian dalam menentukan obyek atau struktur isi
pembahasannya. Tetapi titik atau dasar penafsirannya dipengaruhi oleh aliran filsafat.
Keterpaduan isi dapat tercapai, karena penentuan obyek pembahasan ditentukan sendiri,
dan tidak ditentukan oleh filsafat umum. Gagasan - gagasan yang ditampilkan langsung
mengenai pendidikan, meskipun ditafsirkan dengan mempergunakan metode kerja dan
gagasan filsafat tertentu. Dengan kata lain, gagasan - gagasan pendidikannya ditampilkan
secara tersurat dalam kerangka isi tertentu. Jadi dapatlah disimpulkan, bahwa filsafat
sebagai penerapan filsafat dalam studi masalah - masalah pendidikan, merupakan filsafat
pendidikan yang mempunyai kemandirian, keterpaduan, dan ketersuratan dalam isi
wawasan pendidikan meskipun masih didasarkan pada suatu metode kerja dan gagasan -
gagasan filsafat tertentu.
Batasan keempat, filsafat pendidikan sebagai filsafat yang berisi konsep umum
tentang pendidikan. Filsafat pendidikan atau filsafat mempunyai kemandirian penuh
dalam menentukan kerangka isi pembahasan dan keterpaduan antar gagasan - gagasan
pendidikan yang ditampilkan. Gagasan - gagasan tersebut disampaikan secara tersurat
dan langsung berkenaan dangan masalah-masalah pendidikan. Di sini tidak ada masalah
ketergantungan atau saling ketergantungan, tetapi yang ada adalah kamandirian dalam
menentukan kerangka isi pembahasan, dan keterpaduan isinya. Gagasan - gagsan yang
dikemukankan secara langsung berkenaan dengan masalah - masalah pendidikan, tanpa
harus mengambil dan memanfaatkan filsafat dari luar, karena filsafat pendidikan adalah
filsafat. Jadi filsafat pendidikan sebagai filsafat yang berisi konsep umum tentang
pendidikan, merupakan filsafat pendidikan atau tentang pendidikan, yang penuh
kemandirian, keterpaduan, dan ketegasan dalam isi, tanpa mengambil dan memanfaatkan
filsafat dari luar.
Akhirnya batasan yang kelima adalah filsafat pendidikan sebagai konsep
pendidikan yang bebas dari pengaruh filsafat dan bebas memilih filsafat yang akan
dimanfaatkan. Wawasan yang terdapat dalam konsep pendidikan ini berdasarkan
kerangka isi yang ditentukan sendiri dengan berorientasi pada masalah - masalah
pendidikan dan tidak pada filsafat, sehingga tercapai keterpaduan gagasan - gagasan yang
terdapat didalamnya. Lain daripada itu, gagasan - gagasan yang dikemukakan
berhubungan langsung dengan masalah - masalah pendidikan. Oleh karena itu, filsafat
pendidikan sebagai studi teoritis pendidikan yang bebas dari pengaruh filsafat dan bebas
memilih filsafat yang akan dimanfaatkan merupakan filsafat pendidikan yang penuh
kemandirian, keterpaduan, dan ketegasan dalam isi, meskipun masih mengakui kegunaan
filsafat.
Batasan - batasan tersebut di atas baru didasarkan pada satu dari dua sisi yang
dimiliki filsafat pendidikan. Batasan - batasan tersebut baru didasarkan pada hasil, dan
belum dipadukan dengan sisi lainnya yang berkenaan dengan proses filsafat pendidikan.
Batasan filsafat pendidikan sebagai sekeping uang logam yang mempunyai dua muka
dapat dirumuskan dengan dua cara. Pertama dengan menyatakan terlebih dahulu
karakteristik prosesnya. Dengan cara ini kita dapat membataskan filsafat pendidikan
sebagai suatu kesatuan wawasan pendidikan yang brsifat komprehensif mendasar,
kontemplatif, spekulatif, dan normatif. Dapat pula dibataskan sebagai suatu wawasan
yang komprehensif mendasar, kontemplatif, spekulatif dan normative tentang pendidikan.
Selanjutnya cara yang kedua adalah kebalikan dari cara pertama, yaitu terlebih dahulu
menyebutkan karakteristik proses, baru kemudian melengkapinya dengan karakteristik
hasil. Filsafat pendidikan adalah studi sintetis, kontemplatis, dan radikal, yang
menghasilkan suatu wawasan pendidikan yang komprehensif mendasar dan spekulatif
normatif. Batasan - batasan tersebut mempunyai makna yang sama, berbeda dalam
pengungkapannya.
Ada tiga hal yang penting yang perlu diperhatikan di dalam memahami filsafat
pendidikan sebagai studi pendidikan, yaitu obyek, tujuan, dan metode filsafat pendidikan.
Obyek bersangkut paut dengan pertanyaan apa, tujuan berkenaan dengan pertanyaan
kemana, dan metode berhubungan dengan pertanyaan bagaimana. Pembahasan tentang
obyek studi filsafat pendidikan bersangkut paut dengan pertanyaan hal atau hal - hal
apakah yang seharusnya dipelajari atau diselidiki dalam studi filsafat pendidikan?
Pembahasan tentang tujuan studi filsafat pendidikan berkenaan dengan pertanyaan,
kemanakah arah sasaran yang seharusnya dicapai dalam studi filsafat pendidikan?
Akhirnya pembahasan tentang metode studi filsafat pendidikan berhubungan dengan
pertanyaan bagaimanakah langkah dan cara yang seharusnya dilakukan dalam studi
filsafat pendidikan? Mengenai metode studi telah dibahas pada uraian terdahulu. Oleh
karena itu pembahasan pada bagian B ini berkenaan dengan obyek dan tujuan filsafat
pendidikan, dalam rangka melengkapi pembahasan nomor satu dengan maksud
memperoleh pemahaman yang lengkap tentang studi filsafat pendidikan.
Pandangannya tentang apa yang menjadi isi keseluruhan filsafat pendidikan terdapat pada
pembahasannya tentang obyek filsafat pendidikan. Smith menyatakan bahwa ada dua
pertanyaan pokok yang berkenaan dengan filsafat pendidikan, pertama adalah pertanyaan
tentang proses mendidik ( the proses of educating ), yang tujuan utamanya menemukan
konsep tentang cara - cara dan tujuan - tujuan pendidikan. Pertanyaan kedua berkenaan
dengan studi ilmiah tentang pendidikan melakukan analisis ekstensif atau menyeluruh
tentang konsep - konsep yang dipergunakan oleh berbagai cabang ilmu pendidikan.
Misalnya tentang intelegensi, pengukuran, validasi, pengelompokkan setarap, dan
sebagainya.
Menurut Smith, filsafat pendidikan yang mencoba menganalisis konsep - konsep ilmu
pendidikan ( the phylosophy of educational science ). Berdasarkan uraian ini dapat
disimpulkan bahwa, obyek materiil filsafat pendidikan menurut Smith ada dua macam,
yaitu (1) apakah hakekat proses pendidikan; dan (2) analisis dan kritisisme terhadap
konsep - konsep dan praktek pendidikan yang penting.
Uraian tentang macam – macam versi tersebut di atas, berkenaan dengan mazhab
- mazhab filsafat idealisme, realisme, dan pragmatisme. Di samping itu dapat pula
analisis tentang isi keseluruhan filsafat pendidikan ditinjau dari filsafat sistem ( system
phylosophy ). Apa yang dimaksud dengan filsafat sistem adalah suatu cara berfikir
tentang gejala dalam arti keseluruhan, termasuk di dalamnya bagian - bagian, komponen -
komponen, atau sub - sub sistem, dan dengan sangat memperhatikan hubungan antar
bagian, komponen, atau subsistem ( Johnsen dkk : 19 ). Memahami pendidikan dengan
mempergunakan filsafat sistem berarti melihat pendidikan sebagai suatu sistem sosial
yang mempunyai lingkungan, masukan, proses, dan hasil pendidikan.
Pengaruh konsep ini terhadap studi filsafat pendidikan yaitu bahwa hal - hal yang
seharusnya dipelajari dalam filsafat pendidikan mencakup : (1) hakekat lingkungan
pendidikan; (2) hakekat terdidik dan pendidik; (3) khakekat proses pendidikan yang
bersifat pengelolaan dan teknis; dan (4) hakekat tujuan pendidikan. Hal ini ada
kesamaannya dengan studi pendidikan dengan mempergunakan metode fenomenologi,
seperti yang dapat kita temukan pada Langeveld dalam Baknopte Theoritische
Pedagogiek. Di sini dapat kita kenali bahwa hal - hal yang menjadi masalah pokok dalam
studi pendidikan adalah : (1) hakekat lingkungan pendidikan; (2) hakekat hubungan
pendidikan; (3) hakekat terdidik; (4) hakekat pendidikan; (5) hakekat tujuan pendidikan;
dan (6) hakekat alat pendidikan. Mengenai metode fenomenologi akan kita bahas pada
bagian kedua : Ilmu Pendidikan sebagai Teori Pendidikan.
Setelah kita mengenal beberapa versi tentang apa yang menjadi isi obyek materiil
filsafat pendidikan, marilah kita mencoba mengenali apa yang menjadi maksud tujuan
seseorang penulis filsafat pendidikan. Memang harus diakui bahwa pengenalan terhadap
maksud tujuan penulisan filsafat pendidikan adalah pekerjaan yang sangat sulit. Hal ini
antara lain tidak setiap penulis menyatakan secara tersurat apa tujuan penulisannya. Di
samping itu juga karena wawasan pendidikan seseorang mengalami pengembangan dan
diungkapkan tidak terbatas pada satu karya tulis. Oleh karena itu, tidak tertutup
kemungkinan tejadinya perubahan tujuan penulisan, baik karena perbedaan sasaran
pembacanya, maupun karena memang ada perubahan atau perkembangan pola pikirnya.
Kesulitan lain berkenaan dengan banyaknya karya filsafat pendidikan yang tersedia.
Rasanya mustahil untuk dapat mempelajari semua karya filsafat pendidikan yang ada.
Meskipun demikian kesulitan - kesulitan tersebut tidak menutup kemungkinan
dilakukannya pembahasan tentang tujuan - tujuan penulis filsafat pendidikan, dengan
beberapa pembatasan tertentu. Pembahasan tentang tujuan filsafat pendidikan ini akan
berbentuk penafsiran terbatas sebagai contoh dan bukan sebagai gambaran keseluruhan.
Salah satu tujuan penulisan filsafat pendidikan adalah mengungkapkan aspirasi
atau cita - cita tentang pendidikan yang diimpikannya ( Power : ). Wawasan pendidikan
yang dikemukakan adalah modal pendidikan yang diidamkan atau yang dikhayalkan,.
Dengan demikian wawasan pendidikan bersifat Utopis. Hal semacam ini misalnya dapat
kita temukan pada : Plato dalam Republic, Rousseau dalam Emile, Bacon dalam New
Atlantis, dan A.S. Neil dalam Summerhill.
Rousseau dalam Emile menyatakan bahwa pendidikan datang dari alam, dari manusia,
atau dari lingkungan fisik, oleh karena itu pendidikan adalah masalah hubungan manusia
dengan lingkungan fisik dan sosial ( Rusk : ). Lingkungan bukanlah spiritual dan biologi
semata tetapi juga fisik dan sosial. Hal ini dituliskan sangat indah oleh Rousseau dalam
Emile, yang dapat diungkapkan sebagai berikut : Suatu kemauan gaib menciptakan alam
semseta ini dalam gerak dan memberikan hidup kepada alam; suatu inteligensi gaib itu
ada bukan hanya dalam memutarkan surga, bukan hanya dalam matahari yang memberi
sinar kepada kita, bukan hanya dalam hidup dalam diriku, tetapi juga dalam domba yang
merumput, dalam burung yang terbang, dalam batu yang menggelinding, dan dalam daun
jatuh yang tertiup angin ( Rusk : ). Untuk beberapa hal gagasan - gagasan Francis
Bacon dalam New Atlantis dapat digolongkan sebagai suatu filsafat pendidikan
inspirasional dalam arti menggambarkan rencana utopis tentang pendidikan untuk laki -
laki dan wanita. Beberapa hal lainnya merupakan gagasan yang berkenaan dengan
masalah ilmiah dan sosiologis. Bagaimana pun juga, para ahli menyatakan bahwa Bacon
lebih terlibat dalam usaha memperlihatkan nilai kegunaan induksi sebagai cara
menghimpun pengetahuan daripada usaha mencoba merencanakan penngumpulan
pengetahuan atau cara menyebar pengetahuan. Menurut Bacon, penemuan yang dicapai
lebih berdasarkan metode induksi daripada metode deduksi akan mendorong suatu usaha
kerjasama yang besar dalam masyarakat. Lain daripada itu penemuan tersebut dipercaya
atau diandalkan karena lebih didukung oleh pengetahuan yang bersumber dan
disimpulkan dari kasus - kasus tertentu yang terjadi dalam pengalaman dan bukan
bersumber dan disimpulakn melalui silogisme, kemudian dipergunakan dalam kehidupan
manusia. Gagsan - gagasannya merupakan cita - cita luhur dan secara tidak langsung
mengajarkan kepada kita bagaimana seharusnya bekerja menyusun ilmu.
The Advancement of Learning dari Bacon merupakan salah satu contoh tentang
penggunaan teknik analisis untuk mengungkapkan makna pendidikan yang dapat
diandalkan. Pendapat Bacon yaitu bahwa sebagian besar pengetahuan yang dimiliki
manusia mempunyai unsur - unsur ketepatan yang dapat dipergunakan dalam perbuatan
praktis, jika telah dianalisis untuk menghilangkan kekeliruan - kekeliruan konsep yang
telah berlangsung lama. Buku tersebut merupakan penegasan berlakunya kebijaksanaan
pendidikan.
The Language of Education dari Israel Scheffler merupakan sebuah esai filsafat
pendidikan yang bertujuan menganalisis. Dia mempergunakan analisis linguistik untuk
memberikan kejelasan tentang konsep - konsep dalam buku pendidikan. Buku scheffler
merupakan bahan pelajaran untuk melatih mengadakan penilaian kritis, dan dia
memperlihatkan metode yang akan digunakan untuk dapat menangkap makna tentang
pendidikan yang jernih atau yang bebas dari kekacauan pemikiran dan bahasa, yang
berasal dari sebuah buku pendidikan. Dia yakin bahwa suatu analisis tentang konsep -
konsep dan pernyataan - pernyataan pendidikan akan membentuk sebuah filsafat
pendidikan.
Herbert Feigel dalam karangannya seperti tersebut di atas antara lain menyatakan
bahwa empirisme ilmiah terutama memberikan sumbangan yang besar dalam
mengembangkan metode - metode untuk menjernihkan konsep - konsep dasar, asumsi -
asumsi, dan prosedur - prosedur dalam bidang pengetahuan dan penafsiran.
Penerapan empirisme ilmiah dalam pendidikan terlihat dalam bentuk analisis tersurat dan
kritis terhadap tujuan pendidikan dan ketepatan cara - cara pendidikan ( Henry : ).
Hutchins dalam karyanya seperti telah disebutkan di atas, menyatakan apa yang
diajarkan di sekolah, dan apa yang seharusnya siswa pelajari. Dalam suasana pendidikan
Amerika yang menuju vokasionalisme dan profesionalisme, Hutchins menulis filsafat
pendidikannya dengan tujuan menegaskan kekhususan kemampuan manusia dalam
berfikir dan berprestasi, dan kemudian menggambarkan jelas program pendidikan yang
terutama bertujuan menggambarkan kemampuan - kemampuan tersebut. Dia
menghendaki pendidikan umum untuk semuanya, dan menolak membatasinya untuk
golongan tertentu yang diperlukan oleh semua warganagara bukan hanya petunjuk
tentang bekerja untuk hidup, tetapi juga mengambil keputusan yang mempengaruhi
kemasyarakatannya.
Hutchins berusaha agar wawasan pendidikannya memberikan arah positif terhadap proses
pendidikan.
Jacques Maritein berusaha memberikan makna yang lebih luas tentang pendidikan
umum. Ia menyatakan bahwa ada suatu jenis pendidikan yang esensial bagi setap orang,
dan dia menyebutnya dengan “basic liberal education” atau pendidikan umum dasar.
Pendidikan semacam ini dilakukan dengan jalan menguatkan pengembangan kecerdasan
alami ( natural intelligence ), mulai dengan pendidikan membaca, menulis, dan berbicara,
dan kemudian bergerak ke arah mempersiapkan orang untuk dapat menghadapi hidup
dalam masyarakat yang ditemuinya. Dia menolak anggapan bahwa pendidikan umum
hanya terbatas pada golongan masyarakat tertentu dan akan terpusat pada pendidikan
kebahasaan dan kesusasteraan. Maritein menghendaki pendidikan umum yang mencakup
setiap jenis pengetahuan yang diperlukan orang untuk dapat hidup utuh, bertanggung
jawab dan penuh rahmat.
Tujuan penulisan filsafat pendidikan yang keempat adalah meneliti dan mengkaji
kebijaksanaan dan praktek pendidikan ( Power : ). Filsafat pendidikan investigatif
menggelarkan berbagai jenis pengalaman pendidikan tertentu. Kemudian mengadakan
penilaian, penafsiran dan komentar, dan akhirnya menyatakan wawasan pendidikan baru,
baik dalam bentuk pengukuhan terhadap wawasan pendidikan yang telah ada, maupun
dalam bentuk rekonstruksi atau penyusunan kembali sesuatu wawasan pendidikan yang
baru. Peranan penulis lebih bersifat pemandu atau moderator daripada sebagai hakim
yang menentukan benar salahnya gagasan dan praktek pendidikan.
Hal semacam ini antara lain dapat kita jumpai pada : Dewey dalam Democracy and
Education, Kilpatrick dalan Phylosophy of Education dan Henderson dalam Introduction
to Phylosophy of Education.
Misalnya tentang tujuan pendidikan, antara lain dinyatakan bahwa tujuan berkaitan
dengan pembentukan harga diri, pembentukan sikap menghormati harga didi orang lain
dan pembentukan kemampuan bekerja sama dalam rangka kehidupan demokratis
( Kilpatrick : ). Selanjutnya dinyatakan bahwa ada tujuh prinsip dari teori belajar -
mengajar yang ampuh, yaitu (1) kita belajar dari apa yang kita alami; (2) arah belajar
ditentukan oleh kegunaannya untuk yang akan datang; (3) intensitas kegiatan belajar
tergantung pada kesesuaiannya dengan anak dan kehidupannya: (4) belajar hendaknya
melibatkan seluruh pengalaman; (5) belajar hendaknya bertahap; (6) generalisasi jarang
dapat ditransfer secara langsung atau generalisasi yang efektif harus diperlukan berbagai
pengalaman yang memadai; dan (7) belajar harus didasarkan pada minat ( Kilpatrick : ).