Anda di halaman 1dari 15

Penanganan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Evan Erlando

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta

Alamat Korespondensi: Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta 11510, Indonesia

Email : EVAN.2015fk114@civitas.ukrida.ac.id

____________________________________________________________________________________

Abstract

Domestic Violence (KDRT) is any act against a person, especially a woman, which results in
physical, sexual, psychological misery or suffering arising from or neglect of the household,
including threats to carry out acts, coercion or deprivation of legal freedom within the household.
The forms of domestic violence are not only limited to physical violence, but can also be
psychological, sexual, and neglected. The domestic violence cycle is divided into 3 phases and can
occur repeatedly. Legal aspects related to Domestic Violence are Law No.23 of 2004 concerning
the Elimination of Domestic Violence. While the criminal provisions against violators of domestic
violence are regulated by the Law of the Republic of Indonesia No. 23 of 2004 concerning the
Elimination of Domestic Violence.

Keywords: Domestic Violence, sexual violence, Law No.23 of 2004

Abstrak

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologisdan atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara hukum dalam lingkup rumah tangga. Bentuk-
bentuk KDRT tidak hanya terbatas pasa kekerasan fisik saja, namun dapat berupa kekerasan
psikis, seksual, dan penelantaran. Siklus KDRT terbagi menjadi 3 fase dan dapat terjadi berulang-
ulang. Aspek hukum terkait dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ini yaitu UU No.23
Tahun2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Sedangkan ketentuan pidana
terhadap pelanggara KDRT diatur oleh Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan KDRT.

Kata kunci: KDRT, kekerasan seksual, UU No.23 Tahun 2004


Pendahuluan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga menjadi kasus yang tak pernah habis dibahas karena meskipun
berbagai instrumen hukum, mulai dari internasional sampai pada tingkat nasional belum mampu
menekan angka kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang terjadi. Dengan jumlah kasus yang
semakin meningkat dari tahun ke tahun, hal ini menimbulkan keprihatinan tersendiri karena
memicu tingginya angka korban yang mengalami perlukaan akibat kekerasan dan juga
meningkatnya angka perceraian. Kekerasan dalam rumah tangga dapat terjadi baik pada pria
maupun wanita. Namun pria sangat jarang melaporkan kekerasan yang dialami dengan berbagai
alasan. 1

Skenario 5

Seorang perempuan 29 thn, dating ke IGD bersama dengan polisi meminta untuk dilakukan visum
et repertum. Wanita tersebut mengaku telah dipaksa melakukan anal sex oleh suami nya. Kejadian
tersebut telah terjadi berulang kali sejak satu tahun terakhir. Dari Pemeriksaan ditemukan adaya
luka memar pada dada, jaringan parut pada dinding luar pelepasan, lipatan/ kerutan lubang
pelepasan sudah mulai menghilang dan kekuatan otot lubang pelepasan melemah.
Definisi Kekerasan Dalam Rumah Tangga

UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga No. 23 Tahun 2004 Pasal 1 angka 1 (UU
PKDRT) memberikan pengertian bahwa:2

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis dan atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Menurut UU no 23 tahun 2004 pasal 2 lingkup rumah tangga meliputi:2

a. Suami istri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri).
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan sebagaimana orang yang
dimaksud huruf karena hubungan darah, perkawinan (mertua, menantu, ipar, besan)
persusuan, pengasuhan, dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga.
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Mengacu kepada UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 5 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
tangga, kekerasan dalam rumah tangga dapat berwujud :2
1. Kekerasan fisik menurut UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 6
Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang
mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.
2. Kekerasan psikis menurut UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 7
Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak,
rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
3. Kekerasan seksual menurut UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 8
Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi:
a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup
rumah tangga tersebut
b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya
dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
4. Penelantaran rumah tangga menurut UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 9
1. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal
menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib
memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
2. Penelantaran yang dimaksud ayat 1 juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan
ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang
layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

Faktor - Faktor Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Kekerasan dalam rumah tangga dapat terjadi akibat beberapa hal pemicunya, antara lain: 3

1. Ketergantungan ekonomi
Ketergantungan istri dalam hal ekonomi terhadap suami memaksakan istri untuk menuruti
semua keinginan suami meskipun ia merasa tertekan bahkan perlakuan keras yang
dilakukan kepadanya oleh suami enggan untuk melaporkan demi kelangsungan hidup dan
rumah tangganya.
2. Kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri
Anggapan bahwa suami lebih berkuasa telah tertanam sedemikian rupa dalam keluarga dan
masyarakat. Bahwa istri adalah milik suami sehingga harus melaksanakan segala yang
diinginkan oleh yang memilikinya. Hal ini menyebabkan suami merasa berkuasa dan
bertindak sewenang-wenang terhadap istrinya.
3. Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaikan konflik.
Kekerasan dilakukan biasanya sebagai pelampiasan dari ketersinggungan dan kekecewaan
karena tidak terpenuhinya dan dengan kekerasan tersebut diharapkan istrinya mau
memenuhi keinginannya.
4. Persaingan
Perimbangan antara suami-istri sangat diperlukan baik dalam pendidikan, pergaulan,
pekerjaan dan penghasilan. Kalau suami merasa kalah dalam hal-hal tersebut akan memicu
konflik dalam rumah tangga sementara si istri tidak mau terbelakang dan dikekang.
5. Frustrasi
Biasanya terjadi pada pasangan-pasangan yang:
a. Masih muda, belum siap kawin
b. Belum mempunyai penghasilan tetap
c. Masih hidup menumpang pada orang tua

Ketentuan pidana
Ketentuan pidana terhadap pelanggaran KDRT diatur oleh Undang-undang Republik
Indonesia No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT sebagai berikut: 2
UU Nomor 23 tahun 2004 pasal 44
1. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(Lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah)
2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban jatuh sakit
atau luka berat, dipidanakan penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak Rp.
30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah).
3. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban,
dipadana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 45.000.000,-
(empat puluh lima juta rupiah).
4. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap
isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan
pekerjaan jabatan atau kegiatan sehari-harian, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.0000,- (lima juta upiah).
UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 45
1. Setiap orang yang melakukan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
atau denda paling banyak Rp 9.000.000,- (sembilan juta rupiah).
2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 (satu) dilakukan oleh suami terhadap
isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan
pekerjaan jabatan atau pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidanakan Penjara paling lama
4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah).
UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 46
Setiap orang yang melakukan Perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak
Rp. 36.000.000,- (tiga puluh enam juta rupiah)
UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 47
Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan
seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling
sedikit Rp. 12.000.000,- (dua belas juta rupiah) atau paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus
juta rupiah)
UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 48
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan 47 mengakibatkan korban
mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya
pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu)
tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak
berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp. 25.000.000,- (dua
puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah)
UU Nomor 23 Tahun 2004 pasal 49

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga tahun atau denda paling banyak Rp
15.000.000,00-(lima belas juta rupiah), setiap orang yang:

a. Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1);
b. Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2).

UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 50

Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan
berupa:

a. Pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban
dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku,
b. Penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga
tertentu.
Peranan Dokter menyikapi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Peranan Dokter menyikapi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga diatur oleh Undang-undang
Republik Indonesia No 23 Tahun 2004 sebagai berikut: 2

UU RI No 23 Tahun 2004 pasal 21:

1. Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepeda korban, tenaga kesehatan harus:

a. Memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesinya


b. Membuat lapotan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visum et repertum
atas permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan medis yang memiliki
kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti

2. Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di sarana kesehatan milik
pemerintah, pemeriktah daerah atau masyarakat.

Pasal 40 UU RI No 23 Tahun 2004:

1. Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan standar profesinya

2. Dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan wajib memulihkan dan
merehabilitasi kesehatan korban.

Maka jelas di sini bahwa dalam kasus KDRT seorang dokter harus:

a. Memberikan pelayanan kesehatan terhadap korban termasuk memeriksa dan


mengobati serta merawat korban baik di rumah sakit ataupun klinik milik swasta
ataupun pribadi.
b. Membuat visum et repertum atas dasar SPVR (Surat Permohonan Visum et Repertum)
dari pihak kepolisian.
c. Berusaha memulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban.
Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Sebelum Pemeriksaan.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum Pemeriksaan: 4

1. Memiliki permintaan tertulis dari penyidik

Untuk dapat melakukan pemeriksaan yang berguna untuk peradilan, dokter harus melakukannya
berdasarkan permintaan tertulis dari penyidik yang berwenang. Korban harus diantar oleh polisi
karena tubuh korban merupakan benda bukti. Apabila korban datang sendiri dengan membawa
surat permintaan dari polisi, korban jangan diperiksa dahulu tetapi diminta untuk kembali kepada
polisi dan datang bersama polisi.

Visum et Repertum dibuat hanya berdasarkan atas keadaan yang didapatkan pada tubuh korban
pada saat permintaan Visum et Repertum diterima oleh dokter. Jika dokter telah memeriksa korban
yang datang di rumah sakit, atau di tempat praktek atas inisiatif korban sendiri tanpa permintaan
polisi, lalu beberapa waktu kemudian polisi mengajukan permintaan untuk dibuatkan Visum et
Repertum, maka hasil pemeriksaan sebelumnya tidak boleh dicantumkan dalam Visum et
Repertum karena segala sesuatu yang diketahui dokter tentang diri korban sebelum ada pemintaan
untuk dibuatkan Visum et Repertum merupakan rahasia kedokteran yang wajib disimpannya
(KUHP pasal 322). Dalam hal demikian, korban harus dibawa kembali untuk diperiksa dan Visum
et Repertum dibuat berdasarkan keadaan yang ditemukan pada waktu permintaan diajukan. Hasil
pemeriksaan yang lalu tidak dicantumkan dalam bentuk Visum et Repertum, tetapi dalam bentuk
surat keterangan.

2. Informed Consent

Sebelum memeriksa, dokter harus mendapatkan surat ijin terlebih dahulu dari pihak korban, karena
meskipun sudah ada surat permintaan dari polisi, belum tentu korban menyetujui dilakukannya
pemeriksaan atas dirinya. Selain itu, bagian yang akan diperiksa meliputi daerah yang bersifat
pribadi. Jika korban sudah dewasa dan tidak ada gangguan jiwa, maka dia berhak memberi
persetujuan, saudaranya atau pihak keluarga tidak berhak memberikan persetujuan. Sedangkan
jika korban anak kecil dan jiwanya terganggu, maka persetujuan diberikan oleh orang tuanya atau
saudara terdekatnya, atau walinya.
Dalam melakukan pemeriksaan, tempat yang digunakan sebaiknya tenang dan dapat memberikan
rasa nyaman bagi korban. Oleh karena itu, perlu dibatasi jumlah orang yang berada dalam kamar
pemeriksaan, hanya dokter, perawat, korban, dan keluarga atau teman korban apabila korban
menghendakinya. Pada saat memeriksa, dokter harus didampingi oleh seorang perawat atau bidan.

3. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan secepat mungkin

Korban sebaiknya tidak dibiarkan menunggu dengan perasaan was-was dan cemas di kamar
periksa. Pemeriksa harus menjelaskan terlebih dahulu tindakan-tindakan yang akan dilakukan
pada korban dan hasil pemeriksaan akan disampaikan ke pengadilan.Visum et Repertum
diselesaikan secepat mungkin agar perkara dapat cepat diselesaikan.

Visum et repertum

Visum et repertum adalah keterangan yang dibuat dokter atas permintaan penyidik yang
berwenang mengenai hasil pemeriksaan medis terhadap manusia, hidup maupun mati, ataupun
bagian atau diduga bagian tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah untuk
kepentingan peradilan.5

Beberapa hal yang akan dituangkan dalam visum et repertum korban hidup: 6

1. Kronologis kejadian

2. Keadaan umum pasien

3. Luka/cedera yang ditemukan

4. Tindakan yang dilakukan terhadap pasien

5. Keadaan sewaktu dalam perawatan dan keadaan waktu pulang

6. Pada kesimpulan harus dijelaskan luka/cedera, kekerasan penyebab dan derajat luka.
Anamnesis

Anamnesis dapat dibagi menjadi anamnesis umum dan khusus. Hal-hal yang harus ditanyakan
pada anamnesis umum mencakup, antara lain: 7

 Umur atau tanggal lahir


 Status pernikahan
 Riwayat paritas dan/atau abortus
 Riwayat haid (menarche, hari pertama haid terakhir, siklus haid)
 Riwayat koitus (sudah pernah atau belum, riwayat koitus sebelum dan/atau setelah kejadian
kekerasan seksual, dengan siapa, penggunaan kondom atau alat kontrasepsi lainnya)
 Penggunaan obat-obatan (termasuk NAPZA)
 Riwayat penyakit (sekarang dan dahulu)

Sedangkan anamnesis khusus mencakup keterangan yang terkait kejadian yang dilaporkan dan
dapat menuntun pemeriksaan fisik, seperti:

What & How:

 jenis tindakan
 adanya kekerasan atau ancaman kekerasan, serta jenisnya
 adanya upaya perlawanan
 apakah korban sadar atau tidak pada saat atau setelah kejadian
 adanya pemberian minuman, makanan, atau obat oleh pelaku sebelum atau setelah kejadian
 adanya penetrasi dan sampai mana (parsial atau komplit)
 apakah ada nyeri di daerah kemaluan
 apakah ada nyeri saat buang air kecil/besar
 adanya perdarahan dari daerah kemaluan
 adanya ejakulasi dan apakah terjadi di luar atau di dalam vagina
 penggunaan kondom
 tindakan yang dilakukan korban setelah kejadian, misalnya apakah korban sudah buang
air, tindakan membasuh/douching, mandi, ganti baju, dan sebagainya.
When:

 tanggal dan jam kejadian, bandingkan dengan tanggal dan jam melapor
 apakah tindakan tersebut baru satu kali terjadi atau sudah berulang

Where:

 tempat kejadian
 jenis tempat kejadian (untuk mencari kemungkinan trace evidence dari tempat kejadian
yang melekat pada tubuh dan pakaian korban).

Who:

 apakah pelaku dikenal oleh korban atau tidak


 jumlah pelaku
 usia pelaku
 hubungan antara pelaku dengan korban

Pemeriksaan fisik

Saat melakukan pemeriksaan fisik, gunakan prinsip “top-to-toe”. Artinya, pemeriksaan fisik harus
dilakukan secara sistematis dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Pelaksanaan pemeriksaan fisik
juga harus memperhatikan keadaan umum korban. Apabila korban tidak sadar atau keadaan
umumnya buruk, maka pemeriksaan untuk pembuatan visum dapat ditunda dan dokter fokus untuk
life saving terlebih dahulu. Selain itu, dalam melakukan pemeriksaan fisik, perhatikan kesesuaian
dengan keterangan korban yang didapat saat anamnesis. Pemeriksaan fisik yang dilakukan dapat
dibagi menjadi pemeriksaan umum dan khusus. 7

Pemeriksaan fisik umum mencakup: 7

 tingkat kesadaran
 keadaan umum
 tanda vital
 penampilan (rapih atau tidak, dandan, dan lain-lain)
 afek (keadaan emosi, apakah tampak sedih, takut, dan sebagainya)
 pakaian (apakah ada kotoran, robekan, atau kancing yang terlepas)
 tinggi badan dan berat badan
 rambut (tercabut/rontok)
 kuku (apakah ada kotoran atau darah di bawahnya, apakah ada kuku yang tercabut atau
patah)
 tanda-tanda intoksikasi NAPZA
 status lokalis dari luka-luka yang terdapat pada bagian tubuh selain daerah kemaluan

Pemeriksaan fisik khusus bertujuan mencari bukti-bukti fisik yang terkait dengan tindakan
kekerasan seksual yang diakui korban dan mencakup pemeriksaan: 7

 daerah pubis (kemaluan bagian luar), yaitu adanya perlukaan pada jaringan lunak atau
bercak cairan mani
 penyisiran rambut pubis (rambut kemaluan), yaitu apakah adanya rambut pubis yang
terlepas yang mungkin berasal dari pelaku, penggumpalan atau perlengketan rambut pubis
akibat cairan mani
 daerah vulva dan kulit sekitar vulva/paha bagian dalam (adanya perlukaan pada jaringan
lunak, bercak cairan mani)
labia mayora dan minora (bibir kemaluan besar dan kecil), apakah ada perlukaan pada
jaringan lunak atau bercak cairan mani
 hymen (selaput dara), catat bentuk, diameter ostium, elastisitas atau ketebalan, adanya
perlukaan seperti robekan, memar, lecet, atau hiperemi). Apabila ditemukan robekan
hymen, catat jumlah robekan, lokasi dan arah robekan (sesuai arah pada jarum jam, dengan
korban dalam posisi litotomi), apakah robekan mencapai dasar (insersio) atau tidak, dan
adanya perdarahan atau tanda penyembuhan pada tepi robekan
 vagina (liang senggama), cari perlukaan dan adanya cairan atau lendir
 serviks, cari tanda-tanda pernah melahirkan dan adanya cairan atau lendir
 uterus (rahim), periksa apakah ada tanda kehamilan
 anus
Gambar 1. Genitalia Externa Perempuan. 8

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah: 7

Pemeriksaan cairan mani.

Cairan mani merupakan cairan agak kental berwarna putih kekuningan, keruh dan berbau khas.
Saat ejakulasi cairan ini kental kemudian akan menjadi cair akibat enzim proteolitik. Dalam
keadaan normal, volume cairan 3-5ml pada satu kali ejakulasi dengan pH 7,2-7,6. Untuk
menentukan adanya cairan mani perlu diambil swab dari forniks posterior vagina

Penentuan cairan mani.

Untuk membuktikan adanya cairan mani dalam sekret vagina, perlu dideteksi adanya zat-zat yang
banyak terdapat dalam cairan mani dengan pemeriksaan laboratorium berikut.

Reaksi fosfatase asam

Dasar reaksi: adanya enzim fosfatase asam dalam kadar tinggi yang dihasilkan prostat. Dalam
secret vagian setelah tiga hari ditemukan aktifitas 0-6 unit.

Hal yang harus diperhatikan pada tahap ini adalah keutuhan rantai barang bukti dari sampel yang
diambil (chain of custody). Semua pengambilan, pengemasan, dan pengiriman sampel harus
disertai dengan pembuatan berita acara sesuai ketentuan yang berlaku. Hal ini lebih penting apabila
sampel akan dikirim ke laboratorium dan tidak diperiksa oleh dokter sendiri.

Deskripsi luka

Deskripsi luka merupakan bagian yang cukup penting dalam visum et repertum. Tatacara
penulisan luka adalah dengan urutan : regio, koordinat, jenis luka, deskripsi luka dan ukuran luka.
Prinsip utama yang harus diingat adalah bahwa dalam penentuan derajat luka kita melihat dari
pandangan medis, tidak melihat siapa korban, apa pekerjaannya. Guna memudahkan dalam
penentuan derajat luka, bisa dengan cara sebagai berikut: 6

1. Jika ada luka, lihat apakah memenuhi kriteria dalam pasal 90 KUHP, yaitu luka yang tidak dapat
diharapkan sembuh dengan sempurna menimbulkan bahaya maut, terus menerus tidak dapat
menjalankan pekerjaan, jabatan/pencaharian, hilangnya panca indra, kudung, lumpuh, gangguan
daya pikir lebih 4 minggu, gugur/matinya kandungan. Jika memenuhi salah satu kriteria ini, maka
luka adalah luka derajat tiga.

2. Jika luka tidak memenuhi pasal 90 KUHP, maka luka adalah derajat satu atau derajat dua. Untuk
menentukan apakah derajat satu atau dua, perhatikan hal berikut : apakah luka mutlak perlu
perawatan dokter, apakah akibat luka menyebabkan gangguan fungsi tubuh atau apakah jumlah
luka banyak dan lokasinya apakah di tempat yang vital.

3. Jika memenuhi salah satu dari kriteria diatas, maka luka derajat dua, tetapi jika tidak memenuhi
kriteria diatas maka luka derajat tiga.

Saat melakukan pemeriksaan fisik, dokumentasi yang baik sangat penting. Selain melakukan
pencatatan dalam rekam medis, perlu dilakukan pemotretan bukti-bukti fisik yang ditemukan.
Foto-foto dapat membantu dokter membuat visum et repertum. Dengan pemotretan, korban juga
tidak perlu diperiksa terlalu lama karena foto-foto tersebut dapat membantu dokter mendeskripsi
temuan secara detil setelah pemeriksaan selesai. 7
DAFTAR PUSTAKA

1. Suwarni L, Haryanto JI. Kekerasan dalam rumah tangga. The Indonesian Association of
Forensic Medicine. 2017.

2. Presiden Republik Indonesia. Undang- undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004
Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. [Internet]. 2004. Available from:
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_23_04.htm. Archived from the original on 16 Dec 2018

3. Ribka PD. Tindakan Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Keluarga. Jakarta: Program Studi
Kajian Wanita Program Pascasarjana Universitas Indonesia. 2008.

4. Saanin S. Aspek-Aspek Fisik/ Medis Serta Peran Pusat Krisis dan Trauma dalam Penanganan
Korban Tindak Kekerasan. [Internet]. 2007. Available from:
http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/kekerasan.htm. Archived from the original on 16 Dec
2018

5. Soularto DS, Cahyanti ESD. Analisis kualitas Visum et Repertum beberapa dokter spesialis
pada korban kekerasan seksual di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Mutiara Medika. 2009
6. Susanti R. Paradigma baru peran dokter dalam pelayanan kedokteran forensik. Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas. 2012
7. Meilia PDI. Prinsip Pemeriksaan dan Penatalaksanaan Korban (P3K) Kekerasan Seksual.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2012
8. Medical Dictionary. Female external genitalia. [internet]. Available from:
https://medicine.academic.ru/126869/female_external_genitalia. Archived from the original on 16
Dec 2018

Anda mungkin juga menyukai