Anda di halaman 1dari 7

SKIZOFRENIA

DEFINISI
Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu gangguan psikiatrik
mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi, pikiran, afek, dan perilaku seseorang.
Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun defisit
kognitif tertentu dapat berkembang kemudian (Sadock, 2003).
Menurut Temes (2011) skizofrenia adalah bentuk paling umum dari penyakit mental yang
parah. Penyakit ini adalah penyakit yang serius dan mengkhawatirkan yang ditandai dengan
penurunan atau ketidakmampuan berkomunikasi, gangguan realitas (berupa halusinasi dan waham),
gangguan kognitif (tidak mampu berpikir abstrak) serta mengalami kesulitan untuk melakukan
aktivitas sehari-hari.

KLASIFIKASI

1. Tipe Paranoid
Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah waham yang mencolok atau halusinasi auditorik dalam konteks
terdapatnya fungsi kognitif dan afektif yang relatif masih terjaga. Waham biasanya adalah waham
kejar atau waham kebesaran, atau keduanya, tetapi waham dengan tema lain (misalnya waham
kecemburuan, keagamaan, atau somalisas) mungkin juga muncul. Ciri-ciri lainnya meliputi ansietas,
kemarahan, menjaga jarak dan suka berargumentasi, dan agresif.

2. Tipe Disorganized (tidak terorganisasi)


Ciri utama skizofrenia tipe disorganized adalah pembicaraan kacau, tingkah laku kacau dan afek yang
datar atau inappropriate. Pembicaraan yang kacau dapat disertai kekonyolan dan tertawa yang tidak
erat kaitannya dengan isi pembicaraan. Disorganisasi tingkah laku dapat membawa pada gangguan
yang serius pada berbagai aktivitas hidup sehari-hari.

3. Tipe Katatonik
Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah gangguan pada psikomotor yang dapat meliputi
ketidakbergerakan motorik (waxy flexibility). Aktivitas motor yangberlebihan, negativism yang
ekstrim, sama sekali tidak mau bicara dan berkomunikasi (mutism), gerakan-gerakan yang tidak
terkendali, mengulang ucapan orang lain (echolalia) atau mengikuti tingkah laku orang lain
(echopraxia).

4. Tipe Undifferentiated (tidak berdiferensiasi)


Tipe Undifferentiated merupakan tipe skizofrenia yang menampilkan perubahan pola simptom-
simptom yang cepat menyangkut semua indikator skizofrenia. Misalnya, indikasi yang sangat ruwet,
kebingungan (confusion), emosi yang tidak dapat dipegang karena berubah-ubah, adanya delusi,
referensi yang berubah-ubah atau salah, adanya ketergugahan yang sangat besar, autisme seperti
mimpi, depresi, dan sewaktu-waktu juga ada fase yang menunjukkan ketakutan.

5. Tipe Residual
Tipe ini merupakan kategori yang dianggap telah terlepas dari skizofrenia tetapi masih
memperlihatkan gejala-gejala residual atau sisa, seperti keyakinan-keyakinan negatif, atau mungkin
masih memiliki ide-ide tidak wajar yang tidak sepenuhnya delusional. Gejala-gejala residual itu dapat
meliputi menarik diri secara sosial, pikiran-pikiran ganjil, inaktivitas, dan afek datar.
ETIOLOGI
Faktor predisposisi meliputi faktor genetika, prenatal, dan kepribadian. Faktor prespitasi
meliputi stress psikososial. Faktor penyebab berkelanjutan meliputi faktor sosial dan keluarga pasien.

1. Faktor Predisposisi
 Faktor Genetika
Resiko seumur hidup untuk mengalami skizofrenia lebih besar pada keluarga biologis pasien
daripada sekitar 1% populasi umum. Oleh karena itu, risiko pada anak-anak lebih besar jika kedua
orang tua menderita skizofrenia daripada hanya salah satunya.
 Faktor Prenatal
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa skizofrenia lebih sering dialami mereka yang menderita
komplikasi obstetrik selama kelahiran. Hal ini mungkin disebabkan trauma pada otak misalnya
persalinan dengan forseps dan hipoksia.
 Kepribadian
Pasien yang mengalami gangguan kepribadian skizotipal mempunyai keanehan dan anomali pada
ide, penampilan bicara dan perilaku (mungkin eksentrik), serta defisit pada hubungan antarpersonel.
Keadaan tersebut lebih sering terjadi pada keluarga tingkat pertama pasien dan dianggap sebagai
bagian dari spektrum genetik skizofrenia.

2. Faktor presipitasi
 Stressor Psikososial
Perhatian terhadap adanya suatu efek pemicu menimbulkan anggapan bahwa peristiwa hidup
dapat bertindak sebagai faktor presipitasi pada orang yang beresiko mengalami skizofrenia.

3. Faktor penyebab berkelanjutan


 Keluarga pasien
Terdapat peningkatan angka rekurensi skizofrenia pada mereka yang hidup dengan keluarga yang
ekspresi tingkat emosinya tinggi. Keluarga suka membuat komentar kritis mengenai pasien dan
cenderung terlihat berlebihan secara emosional. Perubahan pada bangkitan fisiologis mungkin
menyebabkan efek ini.
 Faktor Sosial
Penelitian telah memperlihatkan bahwa kurangnya stimulasi dalam lingkungan sosial pasien
dengan skizofrenia kronik, telah mengakibatkan peningkatan gejala-gejala negatif, terutama penarikan
diri secara sosial, yang memengaruhi penumpulan dan kemiskinan ide. Keadaan itu disebut
kemiskinan pergaulan sosial. Sebaliknya, stimulasi sosial yang berlebihan dapat berperan sebagai
suatu stesor psikososial dan mungkin mencetuskan suatu rekurensi.

EPIDEMIOLOGI
Insidensi skizofrenia adalah antara 15 sampai 30 kasus baru per 100.000 populasi per tahun.
Prevalensi titik kurang dari 1%. Terdapat resiko seumur hidup terjadinya skizofrenia sekitar 1% pada
populasi umum.Usia awitan biasanya antara 15 dan 45 tahun, dengan usia awitan rata-rata lebih dini
pada laki-laki daripada perempuan. Rasio jenis kelamin sama, yaitu sama seringnya pada laki-laki dan
perempuan. Insidensi skizofrenia lebih tinggi pada mereka yang tidak menikah.
Skizofrenia juga diketahui paling sering terjadi pada golongan sosial IV dan V. Hal tersebut
dapat disebabkan oleh penyimpangan sosial; orang tua pasien dengan skizofrenia mempunyai
distribusi kelas sosial yang lebih normal tetapi pasien sendiri dapat terjun ke golongan sosial lebih
rendah (misalnya, yang berhubungan dengan pekerjaan) akibat penyakitnya.

GEJALA

1. “Gejala positif”, juga disebut sebagai “gejala akut”, merupakan pikiran dan indera yang tidak
biasa, bersifat surreal, yang mengarah ke perilaku pasien yang tidak normal. Gejala-gejala ini
bisa kambuh, termasuk:
 Delusi: memiliki keyakinan yang kuat terhadap suatu hal tanpa dasar yang jelas, tetap teguh
walaupun bukti menyatakan sebaliknya dan tidak bisa dikoreksi dengan logika dan akal sehat,
misalnya berpikir bahwa dirinya dianiaya, seseorang sedang mengendalikan pikiran dan
perilakunya, atau berpikir bahwa orang lain sedang membicarakannya.
 Halusinasi: pasien merasakan sesuatu yang sangat nyata, yang sebenarnya tidak ada, misalnya
melihat beberapa gambar yang tidak bisa dilihat oleh orang lain, mendengar suara atau
sentuhan yang tidak ada.
 Gangguan pikiran: pikiran tidak jelas, kurangnya kontinuitas dan logika, bicara dengan tidak
teratur, berbicara dengan dirinya sendiri atau berhenti berbicara secara tiba-tiba.
 Perilaku aneh: berbicara dengan dirinya sendiri, menangis atau tertawa secara tidak terduga
atau bahkan berpakaian dengan cara yang aneh.

2. “Gejala negatif”, juga disebut sebagai “gejala kronis”, lebih sulit untuk dikenali dari pada “gejala
positif” dan biasanya menjadi lebih jelas setelah berkembang menjadi gejala positif. Jika
kondisinya memburuk, kemampuan kerja dan perawatan diri pasien akan terpengaruh. Gejala-
gejala ini antara lain:
 Penarikan sosial: menjadi tertutup, dingin, egois, terasing dari orang lain, dll.
 Kurangnya motivasi: hilangnya minat terhadap hal-hal di sekitarnya, bahkan kebersihan
pribadi dan perawatan diri.
 Berpikir dan bergerak secara lambat.
 Ekspresi wajah yang datar.

DIAGNOSIS
 Thought echo = isi pikiran dirinya sendiri yang bergema dan berulang dalam kepalanya (tidak
keras) dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda.
 Thought insertion or withdrawal = isi pikiran asing dari luar masuk ke dalam pikirannya
(insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal).
 Thought broadcasting = isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum
mengetahuinya.

 Delution of control = waham tentang dirinya dikendalikan oleh sesuatu kekuatan tertentu dari
luar.
 Delution of influence = waham tentang dirinya dipengaruhi oleh sesuatu kekuatan tertentu
dari luar.
 Delution of passivity = waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap kekuatan
dari luar.
 Delution of perception = pengalaman indrawi yang tidak wajar, yang bermakna sangat khas
bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat.
Gejala-gejala lainnya adalah
 Halusinasi auditorik:
- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus-menerus tentang perilaku pasien.
- Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang
berbicara).
- Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
 Waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak wajar dan
sesuatu yang mustahil.
 Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas:
- Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai baik oleh waham yang
mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun
disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap
hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus.
- Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation), yang
berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan atau neologisme.
- Perilaku katatonik, seperti gaduhgelisah, posisi tubuh tertentu, atau fleksibilitas cerea,
negativisme, mutisme, dan stupor.
- Gejala-gejala negatif, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan respon emosional
yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan
sosial dan menurunnya kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak
disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika.
Gejala harus berlangsung minimal 1 bulan. Harus ada perubahan yang konsisten dan bermakna dalam
mutu keseluruhan dari beberapa aspek perilaku pribadi.

Sementara berdasarkan PPDGJ-III untuk mendiagnosis skizofrenia paranoid harus memenuhi kriteria
diagnosis skizofrenia dan sebagai tambahannya terdapat:
 Halusinasi dan atau waham arus menonjol,
- Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi perintah, atau halusinasi
auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit (whistling), mendengung (humming) atau
bunyi tawa (laughing).
- Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual , atau lain-lain, perasaan
tubuh, halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol.
- Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan (delusion of control),
dipengaruhi (delusion of influence) atau passivity (delussion of passivity), dan keyakinan
dikejar-kejar yang beraneka ragam, adalah yang paling khas.
 Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala katatonik secara relatif
tidak nyata/ tidak menonjol

ANAMNESIS & PEMERIKSAAN PENUNJANG


Selain pemeriksaan tubuh secara normal, dokter mungkin akan melakukan tes kesehatan
berikut ini untuk keperluan diagnosis skizofrenia, tergantung pada kondisi pasien:
1. Evaluasi psikologis: melalui percakapan, kuesioner, dll, dokter bisa memahami dan
menganalisis gejala-gejala pasien, untuk mendiagnosis apakah pasien menderita skizofrenia
atau penyakit mental lainnya. Skizofrenia bisa dibagi lagi menjadi jenis Paranoid, Katatonik,
Tidak Terorganisir, dan Residual. Dokter juga akan menanyakan apakah pasien mengonsumsi
minuman beralkohol atau narkoba untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik terhadap
kondisi diri pasien.
2. Analisis sampel darah, pemindaian tomografi terkomputerisasi atau MRI (pencitraan
resonansi magnetik-magnetic resonance imaging) bisa membantu menyingkirkan diagnosis
gangguan fisik lain yang bisa menyebabkan gejala yang menyerupai penyakit skizofrenia.

PENATALAKSANAAN
1. Perumahsakitan
Orang yang mengalami gejala-gejala skizofrenia akut harus dirawat di rumah sakit,
jika perlu dipaksa, sehingga investigasi yang sesuai dapat dilakukan dan pengobatan dapat
diberikan. Setelah keluar dari rumah dakit, pasien-pasien tersebut perlu di-follow-up teratur
oleh ahli psikiatri dan terutama pada skizofrenia kronik, oleh seorang perawat psikiatri
komunitas. Pasien skizofrenia kronik harusnya dirawat untuk keadaan rekurensi, tetapi
sebaliknya sering juga tetap berada di lingkungan masyarakat atau di tempat penampungan.
2. Pengobatan fisik
a. Farmakoterapi
Cara utama pengobatan skizofrenia adalah penggunaan obat-obat anti
neuroleptik, diseebut juga obat-obat antipsikotik. Gejala-gejala “positif” umumnya
memberikan refleks lebih baik dari gejala-gejala “negatif”.
Salah satu neuroleptik yang paling luas digunakan adalah chlorpromazine.
Bila efek hipotensi chlorpromazine harus dihindari, misalnya pada lansia, neuroleptik
alternatif yang kemungkinan kecil menyebabkan hipotensi sebaiknya digunakan,
seperti haloperidol dan trifluoperazine. Namun, pada penggunaan dua zat tadi, efek
samping ekstrapiramidal lebih mungkin terjadi. Sulprid berbeda secara struktural
dengan neuroleptik lain dan tidak terlalu sedatif dibandingkan chlorpromazine.
Antipsikotik atipikal clozapine dapat digunakan pada pasien yang tidak
memberikan respons terhadap atau tidak dapat menoleransi neuroleptik lain karena
clozapine dapat menyebabkan agranulositosis, jumlah sel darah putih, neutrofil serta
kadar trombosit pasien-pasien ini perlu diperiksa secara regular (awalnya tiap
minggu). Tanda-tanda infeksi, seperti nyeri tenggorokan atau terjadinya influenza
pada pasien juga perlu dipantau secara klinis.
Pasien yang dirawat dirumah sakit dengan gejala-gejala positif akut harus
diobati dengan neuroleptik oral jika pasien bersedia minum obat melalui mulut. Jika
keputusan pasien masih sangat meragukan, obat-obatan harus diberikan dalam bentuk
sirup. Meskipun demikian, terdapat risiko bahwa pasien mungkin menyembunyikan
tablet dibawah lidah dan tidak ditelan. Jika pasien yang dirawat dipaksa menolak
minum obat, pikirkan pemberian secara intramuskular.
Untuk pasien skizofrenia kronik yang hidup ditengah masyarakat,
farmakoterapi neuroleptik rumatan dapat membantu mengurangi frekuensi rekurensi.
Meskipun paisen-pasien tersebut dapat diminta untuk minum sendiri neuroleptik oral,
metode pemberian yang lebih nyaman adalah melalui injeksi intramuskular dalam
satu neuroleptik depot-lepas-lambat setiap 1-4 minggu. Obat ini dapat diberikan oleh
seorang perawat psikiatri kominitas, di suatu klinik depot, oleh dokter keluarga atau
di unit rawat jalan. Neuroleptik yang tersedia dalam bentuk depot meliputi flupentixol
deconoate, pipotiazine palmitate dan zuclopenthixol decanoate. Injeksi pertama
sebaiknya berupa dosis uji yang kecil untuk memeriksa efek samping yang tidak
dapat diterima.
Aktivitas antidopaminergik sentral neuroleptik menimbulkan jenis efek
samping ekstrapiramidal berikut : a) gejala-gejala parkinson yaitu tremor saat
istirahat, bradikinesia, b) distonia yaitu kelainan gerakan wajah dan tubuh involunter
yang disebabkan oleh kontraksi otot kontinu dan lambat seperti lidah terjulur,
menyeringai, c) akatisia : cenderung bergerak involunter menyebabkan kelelahan
b. Terapi elektrokonvulsif (ECT)
Seperti juga dengan terapi konvulsi yang lain, cara bekerjanya
elektrokonvulsi belum diketahui dengan jelas. Dapat dikatakan bahwa terapi konvulsi
dapat memperpendek serangan skizofrenia dan mempermudah kontak dengan
penderita. Akan tetapi terapi ini tidak dapat mencegah serangan yang akan datang.
Bila dibandingkan dengan terapi koma insulin, maka dengan ECT lebih sering terjadi
serangan ulangan. Akan tetapi ECT lebih mudah diberikan dapat dilakukan secara
ambulant, bahaya lebih kurang, lebih murah dan tidak memerlukan tenaga yang
khusus pada terapi koma insulin. Terapi elektrokonvulsif digunakan untuk
pengobatan stupor katatonik, yang jarang terjadi akhir-akhir ini (kemungkinan karena
ketersediaan dan pemakaian antipsikotik dini)
3. Pengobatan psikososial
a. Pergaulan sosial
Kemiskinan pergaulan sosial, seperti yang telah disebutkan, harus direduksi
agar gejala-gejala “negatif” tidak meningkat. Tindakan ini dapat berupa latihan
keterampilan sosial, yaitu penggunaan metode psikoterapeutik kelompok untuk
mengajari pasien bagaimana berinteraksi secara tepat dengan orang lain. Terapi
okupasi juga sangat berguna dan dapat digunakan untuk mengajari keterampilan yang
berguna bagi pasien-pasien agar dapat hidup di luar rumah sakit, seperti memasak.
Harus diingat bahwa stimulasi sosial yang berlebihan juga dapat menyebabkan efek
simpang dengan bekerja sebagai stresor psikososial.
b. Emosi yang diekspresikan
Untuk pasien-pasien yang selalu berada di dalam lingkungan dengan ekspresi
emosi yang tinggi, dapat diterapkan kelompok kerja. Jika pengurangan tingkat emosi
yang diekspresikan tidak memungkinkan, mungkin lebih baik pasien tidak kembali ke
kehidupan keluarga seperti ini, me;lainkan ditempatkan dalam staffed hostel.
c. Terapi perilaku
Selain latihan keterampilan sosial, jenis terapi perilaku lain yang dapat
digunakan adalah penerapan ekonomi mata uang ; dengan cara ini pelaku yang baik
dihargai dengan mata uang yang dapat ditukar dengan bentuk penghargaan atau
barang tertentu.
d. Sanggar kerja yang dinaungi (sheltered workshops)
Menghadiri sanggar kerja seperti ini, yang terutama diadakan untuk pasien,
memungkinkan pasien rawat jalan maupun rawat inap memperoleh sensasi
pencapaian dengan melakukan beberapa pekerjaan setiap minggu dan mendapatkan
gaji yang sebenarnya relatif kecil. Selain itu, keterampilan yang berguna, seperti
pekerjaan pertukangan, dapat dikuasai.

PROGNOSIS
Hampir seperempat kasus skizofrenia mengalami perbaikan klinis dan sosial yang baik, dan hanya
sebagian penelitian memperlihatkan hanya kurang dari separuh yang mengalami hasil jangka panjang
yang buruk. Faktor-faktor yang akan dihubungkan dengan prognosis baik meliputi :
 Perempuan
 Memiliki keluarga yang menderita gangguan mood bipolar (yang pasien nya lebih cenderung
mengalami gejala-gejala afektif atau mood selama penyakit skizofrenia akut)
 Usia awitan lebih tua
 Awitan mendadak
 Cepat mengalami perbaikan
 Respon baik terhadap pengobatan
 Lebih berupa afektif
 Penyesuaian psikoseksual baik
 Tidak memperlihatkan gangguan kognitif
 Tidak mengalami pembesaran ventrikel (seperti yang diperlihatkan pada CT atau MRI)

REFERENSI
 Sadock, Benjamin J. and Sadock V. A., 2010. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis
Edisi 2. Jakarta : EGC.
 Puri, BK, Laking, PJ dan Trasaden, IH., 2011. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta : EGC
 LASGITA, ROSALIA .2016. GAMBARAN KARAKTERISTIK PASIEN YANG MENGALAMI
SKIZOFRENIA DI RSJ H. MUSTAJAB PURBALINGGA TAHUN 2015. UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH PURWOKERTO.
 Faddly, H. 2016. Diagnosis dan Tatalaksana Skizofrenia Paranoid dengan Gejala-Gejala
Positif dan Negatif. Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung

Anda mungkin juga menyukai