Anda di halaman 1dari 9

1.

Hubungan HAM dengan profesi dokter serta dengan malpraktik


kedokteran dalam scenario
“Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh
negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia” .
Menurut BAB 25, Pasal 25 (1), Standar Hidup yang Layak dan Jaminan
Perlindungan Kesehatan Dalam Deklarasi Universal HAM : Setiap orang berhak
atas hidup yang memadai untuk kesehatan, kesejahteraan diri dan
keluarganya,… Menurut UUD 1945 BAB XA/ Pasal 28 H: (1) Setiap orang berhak
hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan. perumahan dan perawatan kesehatan
Berdasarkan peraturan di atas dapat disimpulkan bahwa hubungannya
terhadap profesi dokter adalah kita sebagai dokter harus dituntut bersikap
profesional dalam tindakan pelayanan kesehatan di masyarakat. Karena di
dalam Hukum HAM Internasional menetapkan 2 aturan, yaitu: Perlindungan
terhadap kesehatan masyarakat dan hak kesehatan individu dan kewajiban
pemerintah memberikannya.
hubungan profesi dokter dengan HAM sangat erat sekali, bahwa dokter harus
selalu mentaati peraturan dalam UU Praktik Kedokteran dan UU Kesehatan
dalam bertindak professional serta harus saling menghargai antara hak dan
kewajiban dari dokter maupun pasien, yang secara keseluruhan mengacu
kepada hakikat dari Hak Asasi Manusia.
Euthanasia dalam perspektif HAM merupakan pelanggaran karena
menyangkut hak hidup dari pasien yang harus dilindungi. Keterkaitan etika
kedokteran dan HAM terutama menyangkut kewenangan dari dokter untuk
menerapkan etika kedokteran atau perlindungan hak-hak asasi manusia pasien
dalam praktek euthanasia. Pilihan dari dokter itu menentukan terlindungnya
hak-hak hidup dari pasien. Kalau dokter memilih untuk mengedepankan etika
kedokteran maka hak-hak hidup dari pasien sulit dilindungi.
2. Kedudukan dan Fungsi serta hubungan dokter-pasien
Hubungan antara dokter dan pasien, merupakan hubungan hukum yang
didasarkan pada transaksi terapeutik. Dikatakan demikian, karena adanya
kesanggupan dari dokter untuk mengupayakan kesehatan atau dokter
berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan penyembuhan si pasien dari
penderitaan sakitnya. Penegasan mengenai hubungan ini sebagai suatu
perjanjian (transaksi) dapat dilihat pada alinea pertama Kode Etik Kedokteran
Indonesia (KODEKI). Oleh karenanya, hubungan hukum antara dokter dan
pasien yang demikian lazim disebut sebagai perjanjian yang bersifat
Inspaningverbintenis.
Dokter sebagai tenaga professional bertanggung jawab dalam setiap tindakan
medis yang dilakukan terhadap pasaien. Dalam menjalankan tugas
profesionalnya didasarkan pada niat baik yaitu berupaya dengan sungguh-
sungguh berdasarkan pengetahuannya yang dilandasi dengan sumpah dokter,
kode etik kedokteran dan standar profesinya untuk menyembuhkan atau
menolong pasien
3. Menguraikan secara umum sumpah dokter dan kode etik kedokteran
4. UU RI tentang Kedokteran
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG
PRAKTIK KEDOKTERAN, UU RI NO. 6 THN 1963 TENTANG TENAGA KESEHATAN,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2013 TENTANG
PENDIDIKAN KEDOKTERAN, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR
36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN, UU No 44 Tahun 2009 tentang Rumah
Sakit, serta UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
memberikan dasar bagi pasien untuk mengajukan upaya hukum.
5. Malpraktik secara umum
Malpraktek adalah sikap tindak yang salah (hukum) pemberian pelayanan
terhadap pasien yang tidak benar oleh profesi medis . Adapun jenis-jenis
malpraktek ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum dapat dibedakan
menjadi dua bentuk yaitu malpraktek etik (ethical malpractice) dan malpraktek
yuridis (yuridical malpractice). a. Malpraktek Etik Yaitu tenaga kesehatan
melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika profesinya sebagai
tenaga kesehatan. Misalnya seorang bidan yang melakukan tindakan yang
bertentangan dengan etika kebidanan. Etika kebidanan yang dituangkan dalam
Kode Etik Bidan merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau
norma yang berlaku untuk seluruh bidan. b. Malpraktek Yuridis, Soedjatmiko
membedakan malpraktek yuridis ini menjadi tiga bentuk, yaitu malpraktek
perdata (civil malpractice), malpraktek pidana (criminal malpractice) dan
malpraktek administratif (administrative malpractice)
1) Malpraktek Perdata (Civil Malpractice) Malpraktek perdata terjadi
apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak terpenuhinya isi
perjanjian (wanprestasi) didalam transaksi terapeutik oleh tenaga
kesehatan, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige
daad), sehingga menimbulkan kerugian kepada pasien. Dalam
malpraktek perdata yang dijadikan ukuran dalam melpraktek yang
disebabkan oleh kelalaian adalah kelalaian yang bersifat ringan (culpa
levis)
2) Malpraktek Pidana Malpraktek pidana terjadi apabila pasien meninggal
dunia atau mengalami cacat akibat tenaga kesehatan kurang hati-hati.
Atau kurang cermat dalam melakukan upaya perawatan terhadap pasien
yang meninggal dunia atau cacat tersebut. Malpraktek pidana ada tiga
bentuk yaitu: Malpraktek pidana karena kesengajaan (intensional),
Malpraktek pidana karena kecerobohan (recklessness), Malpraktek
pidana karena kealpaan (negligence),
3) Malpraktek Administratif Malpraktek administrastif terjadi apabila
tenaga kesehatan melakukan pelanggaran terhadap hukum administrasi
negara yang berlaku,
6. Menguraikan alur, penanganan, kedisiplinan, pelanggaran kedokteran
7. Aturan2 serta dampak penulisan surat keterangan dokter dengan kode etik
PEDOMAN SURAT KETERANGAN DOKTER :
1. BAB I Pasal 7 KODEKI : “ Setiap Dokter hanya memberikan keterangan dan
pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya”
2. BAB II Pasal 12 KODEKI :” Setiap Dokter wajib merahasiakan segala sesuatu
yang diketahuinya tentang seorang pasien bahkan juga setelah pasien
meninggal dunia”
3. Paragraph 4 Pasal 48 Undang Undang No 29 Tahun 2004 tentang Praktek
Kedokteran “
(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib
menyimpan rahasia kedokteran.
(2) Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan
pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka
penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan
perundangundangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan
Peraturan Menteri.

8. Teori BLUM
Teori klasik H. L. Bloom menyatakan bahwa ada 4 faktor yang mempengaruhi
derajat kesehatan secara berturut-turut, yaitu: 1) gaya hidup (life style); 2)
lingkungan (sosial, ekonomi, politik, budaya); 3) pelayanan kesehatan; dan 4)
faktor genetik (keturunan). Keempat determinan tersebut saling berinteraksi
dan mempengaruhi status kesehatan seseorang.
Adapun faktor-faktor tidak langsung, misalnya kurangnya pengetahuan
mengenai gizi dan pola pengasuhan; akses air bersih yang tidak memadai;
higienis dan sanitasi yang buruk; keterbatasan (sulit) untuk mengakses
pelayanan kesehatan; ketersediaan pangan; kondisi sosial dan pendapatan
(ekonomi); hingga ketersediaan stok bahan bakar minyak.
Selain itu Hendrik L Blum juga menyebutkan 12 indikator yang berhubungan
dengan derajat kesehatan, yaitu :
1) Life spam: yaitu lamanya usia harapan untuk hidup dari masyarakat, atau
dapat juga dipandang sebagai derajat kematian masyarakat yang bukan karena
mati tua.
2) Disease or infirmity: yaitu keadaan sakit atau cacat secara fisiologis dan
anatomis dari masyarakat.
3) Discomfort or ilness: yaitu keluhan sakit dari masyarakat tentang keadaan
somatik, kejiwaan maupun sosial dari dirinya.
4) Disability or incapacity: yaitu ketidakmampuan seseorang dalam masyarakat
untuk melakukan pekerjaan dan menjalankan peranan sosialnya karena sakit.
5) Participation in health care: yaitu kemampuan dan kemauan masyarakat
untuk berpartisipasi dalam menjaga dirinya untuk selalu dalam keadaan sehat.
6) Health behaviour: yaitu perilaku manusia yang nyata dari anggota masyarakat
secara langsung berkaitan dengan masalah kesehatan.
7) Ecologic behaviour: yaitu perilaku masyarakat terhadap lingkungan, spesies
lain, sumber daya alam, dan ekosistem.
8) Social behaviour: yaitu perilaku anggota masyarakat terhadap sesamanya,
keluarga, komunitas dan bangsanya.
9) Interpersonal relationship: yaitu kualitas komunikasi anggota masyarakat
terhadap sesamanya.
10) Reserve or positive health: yaitu daya tahan anggota masyarakat terhadap
penyakit atau kapasitas anggota masyarakat dalam menghadapi tekanan-
tekanan somatik, kejiwaan, dan sosial.
11) External satisfaction: yaitu rasa kepuasan anggota masyarakat terhadap
lingkungan sosialnya meliputi rumah, sekolah, pekerjaan, rekreasi, transportasi.
12) Internal satisfaction: yaitu kepuasan anggota masyarakat terhadap seluruh
aspek kehidupan dirinya sendiri.

Upaya-upaya kesehatan masyarakat


1. Promotif
Adalah usaha yang ditujukan untuk meningkatkan kesehatan ,meliputi usaha-
usaha untuk peningkatan gizi, pemeliharaan kesehatan perorangan,
pemeliharaan kesehatan lingkungan , olahraga teratur dan istirahat cukup
sehingga dapat mencapai derajat kesehatan yang optimal.
2. Preventif
Adalah usaha yang ditujukan untuk mencegah terjadinya penyakit meliputi
usaha-usaha pemberian imunisasi (bayi, anak, bumil). Pemeriksaan kesehatan
berkala untuk mendeteksi penyakit secara dini.
3. Kuratif
Adalah nusaha yangditujuikan kepada orang yang sakit untuk diobati secara
tepat dan adekuat sehinga kesehatan pulih.
4. Rehabilitative
Adalah nusaha yang ditujukan terhadap penderita yang baru pulih dari
penyakit yang dideritanya ,untuk memperbaiki kelemahan pisik mental dan
sosial pasien sebagai akibat dari penyakit yang dideritanya meliputi latihan-
latihan terpogram pisioterafi.

9. PHPS, PMS (interaksi penyebab sehat sakit)


10. Bedanya malpraktik dan kegagalan medis
Kelalaian medis dan risiko medis adalah dua hal yang berbeda. Kelalaian medis
adalah bagian dari malpraktik dokter. Kelalaian medis terjadi karena tidak
adanya unsur hati-hati dan berjaga-jaga dari dokter ketika memberi suatu
pelayanan medis kepada pasien. Kelalaian medis yang menimbulkan kerugian
atau hilangnya nyawa dari pasien memberikan hak kepada pasien atau
keluarganya untuk mengajukan gugatan perdata atau melaporkan kelalaian
dokter kepada aparat penegak hukum seperti kepolisian. Risiko medis adalah
sesuatu hal yang mungkin timbul pada saat diberikannya terapi medis atau
pengobatan. Risiko medis ini adalah sesuatu hal yang disadari oleh pasien
berdasarkan informed consent yang diberikan oleh dokter. Risiko medis yang
terjadi akan sangat sulit dianggap sebagai kelalaian karena pasien sudah
menyadari dan memberikan izin kepada dokter untuk dilakukannya terapi
medis.
risiko yang tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban atau risiko yang bukan
menjadi tanggung jawab dokter, yaitu: Pertama, Telah melakukan tindakan
medis sesuai dengan standar profesi, standar medis dan standar operasional
prosedur. Sebagaimana juga pernyataan di dalam Pasal 50 huruf a UUPK,
apabila seorang dokter telah melaksanakan pelayanan medis atau praktik
kedokteran sesuai dengan standar profesi dan standar operasional maka ia
(dokter dan dokter gigi) tersebut tidak dapat dituntut hukum baik secara
perdata, pidana dan administrasi. Kedua, yaitu keberadaan informed consent
atau persetujuan tindakan medis. Sebelum melakukan tindakan medis, dokter
berkewajiban memberikan penjelasan terhadap pasien dan atau keluarganya
yaitu tentang diagnosis dan juga tata cara tindakan medis, tujuan untuk
tindakan medis yang dilakukan, serta alternatif tindakan lain berikut risikonya
yang akan terjadi. Adapun pengaturan mengenai persetujuan tindakan medis
diatur dalam Pasal 39 dan 45 UUPK. Selain itu persetujuan tindakan medis juga
diatur secara khusus dalam Peraturan Pemerintah Nomor
290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.
Dijelaskan bahwa, setiap tindakan kedokteran mesti mendapatkan persetujuan
dari pasien setelah mendapatkan penjelasan yang lengkap mengenai bentuk-
bentuk tindakan, alternatif tindakan dan risiko medis yang mungkin akan
terjadi. Penjelasan atau informasi dapat diberikan secara tertulis ataupun
secara lisan, yang mana penjelasan tersebut sekurang-kurangnya mencakup:
Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran; Tujuan tindakan kedokteran yang
dilakukan; Alternatif tindakan lain dan risikonya; Risiko dan komplikasi yang
mungkin terjadi; Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan; serta Perkiraan
biaya. Setelah pasien memberikan persetujuan terhadap tindakan dokter
berdasarkan syarat sebagaiamana di atas, dan tindakan medis telah dilakukan
sesuai dengan prosedur medis, dan sesuai dengan standar profesi dan standar
operasional, maka bila terjadi satu kegagalan medis dokter tidak dapat
dipersalahkan. Ketiga, Contribution Negligence. Dokter tidak dapat
dipersalahkan apabila dokter gagal atau tidak berhasil dalam penanganan
pasiennya apabila pasien tidak mau bekerjasama, atau pasien tidak kooperatif,
tidak berkenan menjelaskan dengan jujur tentang suatu riwayat penyakit yang
pernah dideritanya serta obat-obatan yang dikonsumsi sebelum pasien
berobat kepada dokter yang bersangkutan. Atau bahkan pasien tidak
melaksanakan apa yang telah dinasehatkan dokter kepada pasien. Hal ini pada
dasarnya telah diatur dalam Pasal 50 UUPK mengenai hak dokter, yang mana
pada huruf c dinyatakan, dokter dan atau dokter gigi dalam melaksanakan
praktiknya berhak mendapat informasi atau penjelasan yang lengkap dan jujur
dari pasien atau keluarganya mengenai latar belakang kesehatan pasien. Dan
sebaliknya, Pasal 51 UUPK mengenai kewajiban dokter, yang mana dokter
wajib memberikan pelayanan dan/atau rawatan kepada pasien dengan
berdasarkan kepada standar medis dan standar operasional. Sedangkan dalam
Pasal 52 huruf a UUPK mengenai hak pasien menegaskan bahwa pasien berhak
untuk mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan medis dari
dokter. Artinya, kewajiban dokter berbanding lurus dengan hak pasien. Dan
sebaliknya hak dokter juga berbanding lurus dengan kewajiban pasien. Pada
suatu kegagalan medis yang disebabkan karena pasien tidak melaksanakan
kewajibannya sebagaimana dalam Pasal 52 UUPK adalah tidak dapat
dipersalahkan kepada dokter. Keempat, Error of Judgment (kesalahan
penilaian). Bidang kedokteran merupakan satu bidang yang amat komplek,
seperti dalam suatu pengobatan sering terjadi ketidaksepakatan atau
pendapat yang berlainan mengenai satu terapi penyembuhan penyakit.
Menurut Munir Fuadi, ilmu medis adalah suatu gabungan dari suatu seni dan
arts, di samping gabungan teknologi dan kematangan atau pengalaman dokter
tersebut (Veronica Komalawati, 1989:67). Atas hal-hal yang demikian, di dalam
praktiknya dapat muncul satu perbedaan pendekatan atau perbedaan
penanganan terhadap suatu penyakit yang telah diderita pasien. Antara dokter
yang satu dengan dokter yang lain cenderung terdapat perbedaan
penanganan, namun hal demikian adalah dapat diperbolehkan sepanjang
masih sesuai dengan standar medis maupun standar profesional dan
operasional (Budi Sampurna, 2005: 34). Berdasarkan keadaan di atas muncul
satu teori yang disebut dengan (respectable minority rule), yaitu seseorang
dokter tidak dianggap berbuat lalai apabila ia memilih salah satu dari sekian
banyak cara pengobatan yang diakui (Kassim, 2003:29). Kelima, Volenti non fit
injuria. Volenti non fit iniura adalah satu doktrin hukum yang dikenali juga
sebagai Asumption of risk atau suatu anggapan bahwa pasien telah
mengetahui adanya risiko yang akan terjadi. Apabila seseorang pasien telah
mengetahui ada satu risiko dalam tindakan medis atas dirinya, tetapi ia tetap
menyetujui tindakan tersebut, dan apabila nanti akan terjadi risiko
sebagaimana telah dia ketahui sebelumnya, maka terhadap risiko itu tidak
dapat dipersalahkan kepada dokter. Oleh itu, informasi atas penyakit dan risiko
mesti diinformasikan kepada pasien sebelu
11 hak dan kewajiban dokter-pasien
13. kode etik yang dilanggar dalam skenario
14 Faktor sosial budaya dalam kesehatan masyarakat
15. Bukti persetujuan medis
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290 Tahun 2008 tentang
Persetujuan Tindakan Kedokteran, “Persetujuan tindakan kedokteran adalah
persetujuan yang diberikan kepada pasien atau keluarga terdekat setelah
mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang
akan dilakukan terhadap pasien”. Keluarga terdekat tersebut dijelaskan pada
Pasal 2 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290 Tahun 2008, yaitu suami atau
istri, ayah atau ibu kandung, anak-anak kandung dan saudara-saudara
kandung. Peran penting informed consent juga diperkuat didalam Pasal 45 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, yaitu:
Pasal 45: (1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan
dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat
persetujuan
Tujuan dari surat persetujuan tindakan medis (informed consent) adalah agar
pasien mampu memahami serta mempercayai informasi yang diberikan
dengan jelas, mampu mempertahankan informasi yang telah diberikan dalam
waktu yang cukup lama, menggunakan bahasa yang sederhana, sehingga dapat
dijadikan sebagai pedoman membuat keputusan oleh pasien. Informed
consent berfungsi ganda. Bagi dokter, surat persetujuan tindakan medis dapat
membuat rasa aman dalam menjalankan tindakan medis pada pasien,
sekaligus dapat digunakan sebagai pembelaan diri terhadap kemungkinan
adanya tuntutan atau gugatan dari pasien atau keluarganya apabila timbul
akibat yang tidak dikehendaki. Bagi pasien, informed consent merupakan
penghargaan terhadap hak-haknya oleh dokter dan dapat digunakan sebagai
alasan gugatan apabila terjadi penyimpangan praktik dokter dari maksud
diberikannya persetujuan pelayanan kesehatan.
Kedudukan Hukum Rekam Medis Dalam Pembuktian Perkara Malpraktek di
Bidang Kedokteran Berdasarkan KUHAP Pada saat bentuk-bentuk malpraktek
dari sudut etik kedokteran seperti yang dikemukakan di atas benar-benar
terjadi, maka apabila dikaitkan dengan ketentuan-ketentuan normatif yang
berlaku, maka tenaga kesehatan yang terbukti melakukan malpraktek
kedokteran dapat dikenakan sangsi sebagai berikut: a. Apabila malpraktek
yang dilakukan oleh tenaga kesehatan masih dalam taraf pelangaran etik,
maka tenaga kesehatan tersebut akan dikenakan sanksi administratif
berdasarkan Pasal 54 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009.21 b. Apabila malpraktek
yang dilakukan oleh tenaga kesehatan mengakibatkan kematian pasien, maka
tenaga kesehatan tersebut dapat dikenai sangsi berdasarkan Pasal 359
KUHP.22 c. Apabila malpraktek dilakukan oleh tenaga kesehatan
mengakibatkan luka-luka berat bagi pasien, maka tenaga kesehatan tersebut
dapat dikenai sangsi berdasarkan Pasal 360 KUHP.23 d. Apabila malpraktek
yang dilakukan oleh tenaga kesehatan mengakibatkan kerugian bagi pasien
dan walaupun tidak sampai mengakibatkan kematian maupun luka berat, akan
tetapi pasien tersebut berhak menuntut gantikerugian berdasarkan Pasal 1365,
Pasal 1366, dan Pasal 1367 KUHPerdata.24

Anda mungkin juga menyukai