Anda di halaman 1dari 31

Gambaran Epidemiologi Kejadian Campak di Puskesmas Koya Barat Periode

Januari – September 2017

Latar Belakang
Campak merupakan penyakit infeksi yang sangat menular disebabkan oleh virus
campak. Campak juga dikenal dengan nama morbili atau morbillia dan rubeola
(bahasa Latin), yang kemudian dalam bahasa Jerman disebut dengan nama masern,
dalam bahasa Islandia dikenal dengan nama mislingar dan measles dalam bahasa
Inggris. Campak adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus campak yaitu
virus RNA rantai tunggal dari genus Morbillivirus yang berasal dari family
paramyxoviridae. Manusia merupakan host natural dengan gejala-gejala eksantem
akut, demam, kadang kataral selaput lendir dan saluran pernapasan, gejala-gejala
mata, kemudian diikuti erupsi makulopapula yang berwarna merah dan diakhiri
dengan deskuamasi dari kulit.
Epidemiologi di dunia terutama di negara berkembang, campak menginfeksi
sekitar 30 juta anak setiap tahunnya dan menyebabkan 1 juta kematian. Campak juga
menyebabkan sekitar 15.000-60.000 kasus kebutaan setiap tahunnya. Pada tahun 1998
WHO (World Health Organization) melaporkan tiap 100.000 dari total populasi
terdapat 1,6 kasus campak di benua Amerika, 8,2 kasus di benua Eropa, 11,1 kasus di
wilayah Mediterania Timur, 4.2 kasus di Asia Tenggara, 5,0 kasus di wilayah Pasifik
Barat, dan 61.7 kasus di benua Afrika. Diantara tahun 2000 dan 2008, jumlah kasus
campak yang dilaporkan di dunia oleh WHO dan UNICEF (United Nations
Children’s Fund) menurun sebanyak 67% (dari 852.937 menjadi 278.358) dan selama
periode tersebut angka mortalitas global juga menurun sebanyak 78%. Akan tetapi,
dipercaya angka insidensi dan mortalitas campak belum menunjukkan angka yang
sebenarnya dilapangan oleh karena banyaknya kasus yang tidak dilaporkan, terutama
pada negara dengan beban penyakit tinggi yang memiliki data surveilans yang kurang
lengkap.
Gambaran situasi terkini penyebaran campak di Indonesia setiap tahun melalui
kegiatan surveilans dilaporkan lebih dari 11.000 kasus suspek campak, dan hasil
konfirmasi laboratorium menunjukkan 12-39% diantaranya adalah campak pasti (lab
confirmed). Dari tahun 2010 sampai 2015, diperkirakan terdapat 23.164 kasus
campak. Jumlah kasus ini diperkirakan masih lebih rendah dibanding angka
sebenarnya di lapangan, meningat banyaknya kasus yang tidak dilaporkan. Walaupun

1
campak merupakan penyakit anak-anak, infeksi dapat terjadi pada semua individu
dari semua kelompok umur yang tidak diimunisasi maupun yang diimunisasi sebagian
dan juga pada individu dengan tingkat imun yang rendah. Anak kecil yang tidak
diimunisasi memiliki risiko terinfeksi yang paling tinggi. Secara spesifik umur paling
sering untuk terkena campak dapat terjadi dapat terjadi pada semua kelompok umur
bergantung pada angka insidensi lokal dan tingkat imunisasinya. Pada negara
berkembang dengan populasi padat, campak paling umum terkena pada anak dengan
umur dibawah 2 tahun. Hal ini dibuktikan oleh laporan insiden kasus campak di
Indonesia tahun 2007, yang dimana untuk golongan umur kurang dari 1 tahun sebesar
48,9 per 100.000 orang tahun, umur 1 hingga 4 tahun sebesar 36,6 per 100.000 orang
tahun, dan umur 5 hingga 14 tahun sebesar 18,2 per 100.000 orang tahun. 2
Untuk jenis kelamin laki-laki maupun perempuan yang tidak diimunisasi, angka
kejadiannya campak cukup setara. campak juga dapat menginfeksi setiap orang dari
semua ras dan suku.
Pada sidang WHA (World Health Assembly) tahun 1988, ditetapkan kesepakatan
global untuk dilakukan reduksi campak (RECAM) pada tahun 2000. Di Indonesia,
program imunisasi campak dimulai pada tahun 1982 dan masuk dalam pengembangan
program imunisasi. Pada tahun 1991, Indonesia dinyatakan telah mencapai target UCI
(Universal Child Immunization) secara nasional yang berdampak positif terhadap
penurunan insidens campak pada balita. Selama periode 1992 – 1997 terjadi
penurunan dari 20,08 per 10.000 orang menjadi 3,4 per 10.000. Walaupun imunisasi
campak telah mencapai UCI, tetapi dibeberapa daerah masih mengalami kejadian luar
biasa (KLB) campak, terutama di daerah dengan cakupan imunisasi rendah.3 Di papua
cakupan imunisasi campak pada balita 12 – 59 bulan adalah sebesar 67,8%. Cakupan
imunisasi lengkap baru mencapai 30,9% dan masih ada 22,4% balita sama sekali tidak
mendapat imunisasi.
Puskesmas Koya Barat merupakan Puskesmas rawat inap yang terletak di
Kelurahan Koya Barat, Kecamatan Muara Tami, Kota Jayapura Papua. Puskesmas
Koya Barat berjarak kurang lebih 40 km dari pusat kota Jayapura. Wilayah kerja
Puskesmas Koya Barat mencakup 4 desa disekitarnya yaitu: Koya Barat, Koya Timur,
Koya Tengah, dan Holtekam dengan total jumlah penduduk sebanyak 15.162 jiwa.
Jarak yang akan ditempuk untuk mencapai Puskesmas Koya Barat dari desa-desa
disekitarnya adalah sejauh 4 km untuk desa Koya Timur, 6 km untuk desa Koya
Tengah, dan 7 km untuk desa Holtekam. Dalam Mini Project ini akan dibahas

2
mengenai gambaran epidemiologi KLB campak di wilayah kerja Puskesmas Koya
Barat periode bulan Juni sampai bulan September tahun 2017.

Tujuan
Tujuan dari Mini Project ini adalah untuk mengetahui gambaran epidemiologi
kejadian campak di Puskesmas Koya Barat periode Juni – September 2017
berdasarkan umur, jenis kelamin, status imunisasi, dan wilayah tempat tinggal.

Manfaat
Mini Project ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis dan
pembaca khususnya yang terlibat dalam bidang medis serta masyarakat secara umum
agar dapat lebih mengetahui dan memahami mengenai penyakit campak yang terjadi
di wilayah kerja Puskesmas Koya Barat periode Juni- September 2017.

3
BAB II
ISI
2.1 Campak
Definisi
Campak adalah penyakit virus akut yang sangat menular, disebabkan oleh
virus yang umumnya menyerang anak. Campak memiliki gejala klinis khas yaitu
terdiri dari 3 stadium yang masing-masing mempunyai ciri khusus: masa tunas
10-12 hari, (1) stadium prodromal dengan gejala pilek dan batuk yang meningkat
dan ditemukan enantem pada mukosa pipi (bercak koplik), faring dan peradangan
mukosa konjungtiva, (2) stadium erupsi, pada stadium ini muncul ruam
makulopapular dengan pola cephalocaudal mulai dari belakang telinga menyebar
ke muka, badan, lengan dan kaki yang didahului dengan suhu badan yang
meningkat dan (3) stadium konvalesen selanjutnya ruam menjadi menghitam dan
mengelupas.
Campak adalah penyakit anak menular yang lazim biasanya ditandai dengan
gejala gejala utama ringan, ruam serupa dengan campak ringan atau demam
scarlet, pembesaran dan nyeri kelenjar limfe.

Etiologi
Virus berada di sekret nasofaring dan di dalam darah, minimal selama masa
tunas dan dalam waktu yang singkat sesudah timbulnya ruam. Virus tetap aktif
minimal selama 34 jam pada temperatur kamar, 15 minggu di dalam pengawetan
beku, minimal 4 minggu disimpan dalam temperatur 35°C, dan beberapa hari
pada suhu 0°C. Virus tidak aktif pada pH rendah.
 Bentuk Virus

Virus campak termasuk golongan paramyxovirus berbentuk bulat dengan tepi


yang kasar dan bergaris tengah 140 nm, dibungkus oleh selubung luar yang
terdiri dari lemak dan protein. Di dalamnya terdapat nukleokapsid yang
berbentuk bulat lonjong, terdiri dari bagian protein yang mengelilingi asam
nukleat (RNA) – yang merupakan struktur heliks nukleoprotein dari
myxovirus. Pada selubung luar sekali terdapat tonjolan pendek. Salah-satu
protein yang berada di selubung luar berfungsi sebagai hemaglutinin.

4
 Ketahan Virus

Virus campak adalah organisme yang tidak memiliki daya tahan tinggi.
Apabila berada di luar tubuh manusia, keberadaannya tidak kekal. Pada
temperatur kamar ia akan kehilangan 60% sifat infektivitasnya setelah 3-5
hari, pada suhu 37°C waktu paruh usianya 2 jam, sedangkan pada suhu 56°C
hanya satu jam. Sebaliknya virus ini mampu bertahan dalam keadaan dingin.
Pada suhu - 70°C dengan media protein ia dapat bertahan hidup selama 5,5
tahun, sedangkan dalam lemari pendingin dengan suhu 4-6°C, dapat hidup
selama 5 bulan. Tetapi bila tanpa media protein, virus ini hanya mampu
bertahan selama 2 minggu, dan dapat dengan mudah dihancurkan dengan sinar
ultraviolet.

Dikarenakan selubungnya terdiri dari lemak maka virus campak termasuk


mikroorganisme yang bersifat ether labile. Pada suhu kamar, virus ini akan
mati 20% ether setelah 10 menit dan dalam 50% aseton setelah 30 menit.
Virus camapak juga sensitif terhadap 0,01% betapropiacetone – pada suhu
37°C dalam 2 jam, ia akan kehilangan sifat infektivitasnya namun tetap
memiliki antigenitas penuh. Sedangkan dalam formalin 1 / 4.000, virus ini
menjadi tidak efektif setelah 5 hari, tetapi tetap tidak kehilangan
antigenitasnya. Penambahan tripsin akan mempercepat hilangnya potensi
antigenik.
 Pertumbuhan Virus

Virus campak dapat tumbuh pada berbagai macam tipe sel, tetapi untuk isolasi
primer digunakan biakan sel ginjal manusia atau kera. Pertumbuhan virus
campak lebih lambat daripada virus lainnya, baru mencapai kadar tertinggi
pada fase larutan setelah 7-10 hari. Virus tidak akan tumbuh dengan baik pada
perbenihan primer yang terdi dari continuous cell lines, tetapi dapat diisolasi
dari biakan primer sel manusia atau kera terlebih dahulu dan selanjutnya virus
ini akan dengan mudah menyesuaikan diri dengan berbagai macam biakan
yang terdiri dari continuous cell lines yang berasal dari sel gana maupun sel
normal manusia. Sekali dapat menyesuaikan diri pada perbenihan tersebut, ia
dapat tumbuh dengan cepat dibandingkan dalam perbenihan primer, dan
mencapai kadar maksimumnya dalam 2-4 hari.

5
Virus campak menyebabkan dua perubahan sitopatik. Perubahan sitopatik
yang pertama berupa perubahan pada sel yang batas tepinya menghilang
sehingga sitoplasma dari banyak sel akan saling bercampur dan membentuk
anyaman dengan pengumpulan 40 nukleus di tengah. Inclusion bodies
tamapak pada kedua sitoplasma dan intinya. Efek sitopatik yang kedua
menyebabkan perubahan bentuk sel perbenihan dari poligonal menjadi bentuk
glondong. Sel ini menjadi lebih hitam dan membias daripada sel normal dan
jiak di cat menunjukakn inclusion bodies yang berada di dalam inti. Efek pada
sel gelondong lebih sering terjadi pada sub-kultur yang berurutan, terutama
apabila virus telah menyesuaikan diri dalam sel amnion manusia.
Ada atau tidak adanya glutamin dalam media mungkin menentukan efek
sitopatik utama mana yang akan timbul, terutama bila virus ditumbuhkan
dalam sel H.Ep2. Tipe efek sitopatik yang bervariasi ini tergantung pada tipe
sel penjamu, media, jalur virus yang dilalui dan genetik strain virus itu sendiri,
struktur serat dan pipa kecil terlihat dalam inti sel yang terinfeksi virus
campak, namun struktur tersebut bukan merupakan partikel virus melainkan
tanda istimewa dari infeksi virus campak. Struktur serupa juga terlihat pada
kasus subacute sclerosing encephalitis.
 Struktur antigenik

Virus campak menunjukkan antigenitas yang homogen, berdasarkan penemuan


laboratorik dan epidemiologik. Infeksi dengan virus campak merangsang
pembentukan neutralizing antibody, complement fixing antibody dan
haemaglutinine inhibition antibody. Imunoglobulin kelas IgM dan IgG
distimulasi oleh infeksi campak, muncul bersama-sama diperkirakan 12 hari
setelah infeksi dan mencapai titer tertinggi setelah 21 hari. Kemudian IgM
menghilang dengan cepat sedangkan IgG tinggal tidak terbatas dan jumlahnya
terukur. Keberadaan imunoglobulin IgM menunjukkan pertanda baru terkena
infeksi atau baru mendapatkan vaksinasi, sedangkan IgG menunjukkan bahwa
pernah terkena infeksi walaupun sudah lama. Antibodi IgA sekretori dapat
dideteksi dari sekret nasal dan terdapat di seluruh saluran nafas. Daya
efektivitas vaksin virus campak yang hidup dibandingkan dengan virus
campak yang mati adalah adanya IgA sekretori yang hanya dapat
ditimbulkan oleh vaksin virus campak hidup.

6
Seluruh virion penting untuk infeksi, tetapi antibodi protektif sudah dapat
terbentuk dengan penyuntikan antigen hemaglutinin murni. Bila lebih dari satu
bagian virus muncul, dapat menyebabkan hemaglutinasi pada sel darah
merah kera dan baboon. Antigen ini dapat dipisahkan dari antigen lainnya yang
terbawa bersama virus, dengan membubuhkan Tween 80 ether. Dengan
pemberian Tween 80 ether, terlepaslah inti kapsul yang bertanggungjawab
terhadap terbentuknya complement fixing antibody. Hemolisin mungkin
berasal dari selubung luar yang dapat menyebabkan perubahan sitopatik, namun
tidak ditularkan.
 Penularan
Campak biasanya ditularkan sewaktu seseorang menyedot virus campak yang
telah dibatukkan atau dibersinkan ke dalam udara oleh orang yang dapat
menularkan penyakit. Campak merupakan salah satu infeksi manusia yang
paling mudah ditularkan. Berada di dalam kamar yang sama saja dengan
seorang penderita campak dapat mengakibatkan infeksi.
Penderita campak biasanya dapat menularkan penyakit dari saat sebelum
gejala timbul sampai empat hari setelah ruam timbul. Waktu dari eksposur
sampai jatuh sakit biasanya adalah 10 hari. Ruam biasanya timbul kira-kira 14
hari setelah eksposur.

Patogenesis
Penularannya sangat efektif, dengan sedikit virus yang infeksius sudah dapat
menimbulkan infeksi pada seseorang. Penularan campak terjadi secara droplet
melalui udara, sejak 1-2 hari sebelum timbul gejala klinis sampai 4 hari setelah
timbul ruam. Di tempat awal infeksi, penggandaan virus sangat minimal dan
jarang dapat ditemukan virusnya. Virus masuk ke dalam limfatik lokal, bebas
maupun berhubungan dengan sel mononuklear, kemudian mencapai kelenjar
getah bening regional. Di sini virus memperbanyak diri dengan sangat perlahan
dan dimulailah penyebaran ke sel jaringan limforetikular seperti limpa. Sel
mononuklear yang terinfeksi menyebabkan terbentuknya sel raksasa berinti
banyak (sel Warthin), sedangkan limfosit-T (termasuk T supressor dan T-he2per)
yang rentan terhadap infeksi, turut aktif membelah.
Gambaran kejadian awal di jaringan limfoid masih belum diketahui secara
lengkap, tetapi 5-6 hari setelah infeksi awal, terbentuklah fokus infeksi yaitu

7
ketika virus masuk ke dalam pembuluh darah dan menyebar ke permukaan epitel
orofaring, kunjungtiva, saluran nafas, kulit, kandung kemih dan usus.
Pada hari ke-9-10, fokus infeksi yang berada di epitel saluran nafas dan
konjungtiva, akan menyebabkan timbulnya nekrosis pada satu sampai dua lapis
sel. Pada saat itu virus dalam jumlah banyak masuk kembali ke pembuluh darah
dan menimbulkan manifestasi klinis dari sistem saluran nafas diawali dengan
keluhan batuk pilek disertai selaput konjungtiva yang tampak merah. Respons
imun yang terjadi ialah proses peradangan epitel pada sistem saluran pernafasan
diikuti dengan manifestasi klinis berupa demam tinggi, anak tampak sakit
berat dan tampak suatu ulsera kecil pada mukosa pipi yang disebut bercak
Koplik, yang dapat tanda pasti untuk menegakkan diagnosis.
Selanjutnya daya tahan tubuh menurun. Sebagai akibat respons delayed
hypersensitivity terhadap antigen virus, muncul ruam makulopapular pada hari
ke-14 sesudah awal infeksi dan pada saat itu antibodi humoral dapat dideteksi
pada kulit. Kejadian ini tidak tampak pada kasus yang mengalami defisit se1-T.
Fokus infeksi tidak menyebar jauh ke pembuluh darah. Vesikel tampak
secara mikroskopik di epidermis tetapi virus tidak berhasil tumbuh di kulit.
Penelitian dengan imunofluoresens dan histologik menunjukkan adanva antigen
campak dan diduga terjadi suatu reaksi Arthus. Daerah epitel yang nekrotik di
nasofaring dan saluran pernafasan memberikan kesempatan infeksi hakteri
sekunder berupa bronkopneumonia, otitis media dan lain-lain. Dalam
keadaan tertentu pneumonia juga dapat terjadi, selain itu campak dapat
menyebabkan gizi kurang.

8
Gambar 2.1 Karakteristik Campak

9
Tabel 2.1 Patogenesis Campak Tanpa Penyulit
Hari Manifestasi

0 Virus campak dalam droplet kontak dengan permukaan epitel


nasofaring atau kemungkinan konjungtiva infeksi pada sel epitel dan
multipikasi virus.
1-2 Penyebaran infeksi ke jaringan limfatik regional

2-3 Viremia primer


3-5 Multiplikasi virus campak pada epitel saluran nafas di tempat infeksi
pertama dan pada RES regional maupun daerah yang jauh
5-7 Viremia sekunder

7-11 Manifestasi pada kulit dan tempat lain yang bervirus, termasuk
saluran nafas
11-14 Virus pada darah, saluran nafas dan organ lain

15-17 Viremia berkurang lalu hilang, virus pada organ menghilang.

10
Gambar 2.1 Patogenesis Penyakit Campak
Manifestasi Klinis
Masa inkubasi campak kurang lebih selama 10-11 hari dan diawali dengan
demam dan malaise. Dalam 24 jam setelahnya akan timbul coryza, konjungtivitis dan
batuk. Pada keadaan ini, sulit bagi tenaga kesehatan untuk mendiagnosis campak.
Pada hari keempat biasanya akan muncul ruam di seluruh tubuh pasien. Kira-kira 2
hari sebelum timbul ruam akan muncul koplik spot di mukosa pipi. Setelah ruam
muncul, koplik spot akan menghilang dan demam akan turun. Ruam kulit pada
penyakit campak berupa erupsi makulopapular yang menjalar dari kepala menuju ke
ekstrmitas dalam waktu 3-4 hari. Ruam ini akan menetap selama kurang lebih 3-4 hari
lalu akan memudar sesuai dengan urutan munculnya.
Komplikasi yang sering terjadi pada penderita campak dapat disebabkan oleh
infeksi virus yang meluas, infeksi sekunder atau keduanya. Komplikasi yang dapat

11
terjadi antara lain otitis media, pneumonia, laringitis, diare akut, dan dapat juga terjadi
komplikasi pada sistem saraf pusat seperti encefalomyelitis akut dan lainnya.

Gambar 2.2 Koplik spot

Diagnosis
Diagnosis campak ditegakkan berdasarkan gejala klasik yaitu batuk, coryza,
Koplik spot, dan ruam makulopapular yang dimulai dari wajah lalu meluas ke badan
dan ekstremitas. Sering juga didapatkan leukopenia jika dilakukan pemeriksaan darah.
Diagnosis laboratorium (serologi) jarang digunakan kecuali gejala klinis tidak
terlihat atau adanya kemungkinan pneumonia dan ensefalitis yang tidak jelas pada
penderita dengan immunocompromised. Campak dapat didiagnosa secara laboratoris
dengan isolasi virus, identifikasi virus antigen atau dengan respon serologis terhadap
virus campak. Pemeriksaan antigen dapat dilakukan dengan pemeriksaan
immunofluoresen dari sel yang berasal dari eksudat nasal atau sedimen urine. Selain
itu dapat pula dilakukan pada pemeriksaan dengan RT_PCR.

Terapi
Terapi campak secara umum lebih kearah terapi suportif seperti pemberian
cairan dan antipiretik. Antibiotik diberikan jika didapatkan infeksi sekunder.

12
Pemberian antibiotik progilaksis untuk mencegah infeksi sekunder tidak
direkomendasikan. Meta analisis yang dilakukan oleh Frank Shann menyatakan
bahwa pemberian antibiotik profilaksis tidak menurunkan angka mortalitas akibat
campak.
Terapi lain pada pasien campak adalah dengan pemberian suplementasi vitamin A,
terutama di negara-negara yang berkembang yang masih banyak ditemukan pasien
dengan defisiensi vitamin A.

Hubungan antara vitamin A dan campak


Dari hasil penelitian didapatkan bahwa terapi dengan vitamin A dapat
mengurangi angka morbiditas dan mortalitas pada pasien campak di negara-negara
berkembang. Vitamin A berperan penting untuk mempertahankan keutuhan sel epitel
dan juga berperan dalam modulasi sistem imun. Pada pasien-pasien campak,
ditemukan bahwa kadar cadangan vitamin A dalam hati pasien tersebut hanya
memiliki sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali. Meskipun belum diketahui secara
pasti penyebabnya, tapi terdapat teori-teori yang mengatakan bahwa hal ini
disebabkan oleh penurunan kadar protein (prealbumin dan retinol-binding protein)
yang berperan untuk menyimpan cadangan vitamin A ke hati saat seorang individu
sakit. Penurunan kadar protein ini terlihat juga pada pasien anak yang sedang
mengidap campak atau keadaan sakit akut lainnya. Defisiensi vitamin A akan
menyebabkan penurunan kadar retinol dalam plasma dan mengganggu proses
regenerasi sel-sel epitel.
Markowitz et al melalui penelitian di Zaire melihat bahwa defisiensi vitamin A
berhubungan dengan peningkatan mortalitas pada anak-anak penderita dengan usia <
24 bulan yang dirawat di rumah sakit dengan karena campak, pneumonia dan
lympfopenia.
Rekomendasi pemberian vitamin A pada pasien campak dari WHO adalah sebagai
berikut:
- 50.000 IU untuk anak usia < 6 bulan,
- 100.000 IU untuk anak usia 6 bulan hingga 1 tahun, dan
- 200.000 IU untuk indifidu usia > 1 tahun.

13
2.2 Imunisasi Campak
Definisi
Imunisasi adalah pemberian vaksin untuk mencegah terjadinya penyakit
tertentu. Vaksin adalah suatu obat yang diberikan untuk membantu mencegah suatu
penyakit. Vaksin membantu tubuh untuk menghasilkan antibodi. Antibodi ini
berfungsi melindungi terhadap penyakit. Vaksin tidak hanya menjaga agar anak tetap
sehat, tetapi juga membantu membasmi penyakit yang serius yang timbul pada masa
kanak-kanak. Vaksin secara umum cukup aman. Keuntungan perlindungan yang
diberikan vaksin jauh lebih besar daripada efek samping yang mungkin timbul.
Dengan adanya vaksin maka banyak penyakit masa kanak-kanak yang serius, yang
sekarang ini sudah jarang ditemukan.
Imunisasi campak efektif untuk memberi kekebalan terhadap penyakit campak
sampai seumur hidup. Penyakit campak yang disebabkan oleh virus yang ganas ini
dapat dicegah jika seseorang mendapatkan imunisasi campak, minimal dua kali yakni
semasa usia 6 bulan - 9 bulan dan masa SD (6 - 12 tahun).
Upaya imunisasi campak tambahan yang dilakukan bersama dengan imunisasi
rutin terbukti dapat menurunkan kematian karena penyakit campak sampai 48%.
Tanpa imunisasi, penyakit ini dapat menyerang setiap anak, dan mampu
menyebabkan cacat dan kematian karena komplikasinya seperti radang paru
(pneumonia); diare, radang telinga (otitis media) dan radang otak (ensefalitis)
terutama pada anak dengan gizi buruk. Hingga kini penyakit campak masih menjadi
penyebab utama kematian anak di bawah umur 1 tahun dan Balita umur 1 - 4 tahun di
Indonesia. Diperkirakan lebih dari 30.000 anak/tahun meninggal karena komplikasi
campak. Selain itu, campak berpotensi menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) atau
wabah. Imunisasi adalah jalan utama untuk mencegah dan menurunkan angka
kematian anak-anak akibat campak.
Imunisasi ada dua macam, yaitu imunisasi aktif dan pasif. Imunisasi aktif
adalah pemberian kuman atau racun kuman yang sudah dilemahkan atau dimatikan
dengan tujuan untuk merangsang tubuh memproduksi antibodi sendiri. Contohnya
adalah imunisasi polio atau campak. Sedangkan imunisasi pasif adalah penyuntikan
sejumlah antibodi, sehingga kadar antibodi dalam tubuh meningkat. Contohnya
adalah penyuntikan ATS (Anti Tetanus Serum) pada orang yang mengalami luka
kecelakaan. Contoh lain adalah yang terdapat pada bayi yang baru lahir dimana bayi

14
tersebut menerima berbagai jenis antibodi dari ibunya melalui darah placenta selama
masa kandungan, misalnya antibodi terhadap campak.

Deskripsi
Vaksin campak merupakan vaksin virus hidup yang dilemahkan. Setiap
dosis (0,5 ml) mengandung tidak kurang dari 1000 infective unit virus strain CAM
70, dan tidak lebih dari 100 mcg residu kanamycin dan 30 mcg residu
erythromycin. Vaksin ini berbentuk vaksin beku kering yang harus dilarutkan
hanya dengan pelarut steril yang tersedia secara terpisah untuk tujuan tersebut.
Vaksin ini telah memenuhi persyaratan WHO untuk vaksin campak.Jadwal
Imunisasi Campak
Sesuai dengan rekomendasi IDAI (ikatan dokter anak Indonesia), Jadwal
Imunisasi Campak yaitu diberikan sebanyak 3 kali: Yang pertama pada usia 9
bulan dan dosis penguatan kedua (second opportunity pada crash program
campak) 15 bulan berikutnya yaitu pada usia 24 bulan serta dosis ke tiga saat SD
kelas 1-6.
Bagi anak yang terlambat/belum mendapat imunisasi campak sama sekali,
maka tetap diberikan bergantung usianya saat ini. Bila anak berusia 9-12 bulan,
berikan imunisasi ini kapan pun saat bertemu. Bila anak berusia > 1 tahun, berikan
MMR. Jika sudah diberi MMR usia 15 bulan, tidak perlu diberi imunisasi campak
di usia 24 bulan. Tapi ikuti jadwal imunisasi MMR.

Komposisi
Tiap dosis vaksin yang sudah dilarutkan mengandung :
1. Virus Campak >= 1.000 CCID50
2. Kanamycin sulfat <= 100 mcg
3. Erithromycin <= 30 mcg

Dosis dan Cara Pemberian


Imunisasi campak terdiri dari dosis 0,5 ml yang disuntikkan secara
Subkutan, lebih baik pada lengan atas. Pada setiap penyuntikan harus
menggunakan jarum dan syringe yang steril. Vaksin yang telah dilarutkan hanya
dapat digunakan pada hari itu juga (maksimum untuk 8 jam) dan itupun berlaku
hanya jika vaksin selama waktu tersebut disimpan pada suhu 2°-8°C serta

15
terlindung dari sinar matahari. Pelarut harus disimpan pada suhu sejuk sebelum
digunakan. Satu dosis vaksin campak cukup untuk membentuk kekebalan terhadap
infeksi.Di negara-negara dengan angka kejadian dan kematian karena penyakit
campak tinggi pada tahun pertama setelah kelahiran, maka dianjurkan imunisasi
terhadap campak dilakukan sedini mungkin setelah usia 9 bulan (270 hari). Di
negara-negara yang kasus campaknya sedikit, maka imunisasi boleh dilakukan
lebih dari usia tersebut. Vaksin campak tetap aman dan efektif jika diberikan
bersamaan dengan vaksin-vaksin DT, Td, TT, BCG, Polio, (OPV dan IPV),
Hepatitis B, dan Yellow Fever.

Tata Cara Pemberian Imunisasi Campak


a. Efek Samping
Hingga 15 % pasien dapat mengalami demam ringan dan kemerahan
selama 3 hari yang dapat terjadi 8 - 12 hari setelah vaksinasi. Terjadinya
Encephalitis setelah vaksinasi pernah dilaporkan yaitu dengan perbandingan
1 kasus per 1 juta dosis yang diberikan.

b. Kontraindikasi
Terdapat beberapa kontraindikasi yang berkaitan dengan pemberian
vaksin campak. Walaupun berlawanan penting untuk mengimunisasi anak
yang mengalami malnutrisi. Demam ringan, infeksi ringan pada saluran
nafas atau diare, dan beberapa penyakit ringan lainnya jangan dikategorikan
sebagai kontraindikasi. Kontraindikasi terjadi bagi individu yang diketahui
alergi berat terhadap kanamycin dan erithromycin. Karena efek vaksin virus
campak hidup terhadap janin belum diketahui, maka wanita hamil termasuk
kontraindikasi.
Individu Pengidap Virus HIV. Vaksin Campak kontraindikasi terhadap
individu-individu yang mengidap penyakit immune deficiency atau individu
yang diduga menderita gangguan respon imun karena leukimia, lymphoma
atau generalized malignancy. Bagaimanapun penderita HIV, baik yang
disertai gejala ataupun tanpa gejala harus diimunisasi vaksin campak sesuai
jadual yang ditentukan.
c. Penyimpanan dan Daluarsa

16
Vaksin Campak beku-kering harus disimpan pada suhu dibawah 8 °C
(kalau memungkinkan di bawah 0 °C) sampai ketika vaksin akan digunakan.
Tingkat stabilitas akan lebih baik jika vaksin (bukan pelarut) disimpan pada
suhu -20 °C. Pelarut tidak boleh dibekukan tetapi disimpan pada kondisi
sejuk sampai dengan ketika akan digunakan. Vaksin harus terlindung dari
sinar matahari.
Daluarsa : 2 tahun
d. Kemasan
Vaksin tersedia dalam kemasan vial 10 dosis + 5 ml pelarut dalam
ampul.

Gambar 2.3 Vaksin Campak

2.3. Kejadian Luar Biasa


Definisi
Kejadian Luar Biasa (KLB) Adalah timbulnya atau meningkatnya kesakitan/kematian
yang bermakna secara epidemiologis dalam kurun waktu dan daerah tertentu.

Kriteria KLB Campak


Tersangka KLB: Ditemukan 5 kasus campak secara klinis dalam kurun waktu 4
minggu berturut-turut di suatu wilayah yang memiliki hubungan epidemiologis.

17
KLB Campak: Minimal ditemukan 2 spesimen positif IgM campak dari hasil
pemeriksaan laboratorium pada tersangka KLB.

Penyelidikan dan Penanggulangan KLB Campak


Dalam tahap reduksi campak maka setiap KLB campak harus dapat dilakukan
penyelidikan epiderniologi baik oleh surveilans puskesmas maupun bersama-sama
dengan surveilans dinas kesehatan. lndikasi penyelidikan KLB Campak dilakukan
apabila hasil pengamatan SKD KLB/PWS kasus campak ditemukan indikasi adanya
peningkatan kasus dan penyelidikan Pra KLB menunjukkan terjadi KLB, atau adanya
laporan peningkatan kasus atau kematian campak dari rnasyarakat, media masa dll.

Strategi Penanggulangan KLB Campak


1. Penyelidikan Epidemiologi KLB campak. KLB campak harus segera
diselidiki untuk melakukan diagnosa secara dini (early diagnosis), agar
penanggulangan dapat segera dilaksanakan.
2. Penanggulangan KLB campak Penanggulangan KLB campak didasarkan
analisis dan rekomendasi hasil penyelidikan KLB campak, dilakukan
sesegera mungkin agar transmisi virus dapat dihentikan dan KLB tidak
meluas serta rnembatasi jumlah kasus dan kematian. KLB campak harus
segera didiagnosa secara dini (early diagnosis) dan segera ditanggulangi
(out break respons) agar KLB tidak meluas dan membatasi jumlah kasus
kematiam.
3. Pemeriksaan Laboratorium Untuk mendukung diagnosa campak pada saat
KLB, maka perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium, yaitu dengan
mengambil spesimen. darah sebanyak 10-15 penderita baru, dan waktu
sakit kasus kurang dari 21 hari, serta beberapa sampel urine kasus campak
untuk isolasi virus.

18
Bagan Management KLB Campak

Suspek KLB Campak


(≥ 5 Kejadian)

Pengambilan Spesimen Serum


dari 5 – 10 kasus dan sampel
urin 5

< 2 sampel IgM + ≥ 2 sampel IgM


+

Bukan KLB KLB Campak


Campak

19
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis penelitian
Jenis penelitian yang dipakai adalah deskriptif. Dengan metode deskriptif
dapat mempelajari bagaimana gambaran epidemiologi kejadian campak di
Puskesmas Koya Barat bulan Januari – September 2017 dengan mempelajari
data sekunder yang telah ada. Jenis penelitian ini dipilih atas dasar:
1. Relatif murah dan mudah dilakukan
2. Hasil dapat diperoleh dalam waktu yang relatif cepat
3. Tidak menghadapi kendala etik

3.2 Variabel Penelitian


1. Umur
2. Jenis kelamin
3. Status Imunisasi
4. Wilayah tempat tinggal

3.4 Bahan Penelitian


1. Populasi penelitian
a. Populasi target
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh anak-anak berusia kurang
dari 18 tahun yang tinggal di wilayah kerja Puskesmas Koya Barat
periode Januari – September 2017.
b. Populasi studi
Populasi studi pada penelitian ini adalah anak-anak yang mengalami
KLB campak di wilayah kerja Puskesmas Koya Barat periode Januari –
September 2017.
2. Seleksi Kasus
Kasus diambil dari anak-anak kurang dari 18 tahun yang didiagnosis
secara klinis menderita campak yang berada di wilayah kerja Puskesmas
Koya Barat periode Januari – September 2017.

20
3. Kriteria inklusi
Anak-anak usia kurang dari 18 tahun yang telah ditetapkan sebagai
penderita campak dan dicurigai menderita campak, bertempat tinggal di
wilayah kerja Puskesmas Koya Barat periode Januari – September 2017
4. Kriteria eksklusi
Anak-anak lebih dari 18 tahun dari yang telah ditetapkan sebagai penderita
campak klinis atau pun yang tidak menderita campak klinis, bertempat
tinggal di wilayah kerja Puskesmas Koya Barat periode Januari –
September 2017.

3.5 Instrumen Penelitian


Instrumen penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder yang berasal dari Puskesmas Koya Barat.

3.6 Teknik pengambilan sampel


Pengambilan sample dilakukan dengan cara “purposive sampling”, maksudnya
adalah dengan mengambil sample yang sesuai criteria yang dimau oleh
peneliti tanpa memakai minimal jumlah ataupun maksimal jumlah.

3.7 Analisis data


Analisis data menggunakan analisis univariat yang dilakukan pada masing-
masing variabel untuk mengetahui proporsi dari masing-masing faktor risiko
kasus campak. Analisis univariat adalah suatu metode penyaringan awal yang
sederhana untuk memperoleh variabel-variabel penting, dengan analisis
univariat juga dapat diketahui gambaran data yang dikumpulkan baik berupa
distribusi frekuensi, rata-rata, proporsi, standar deviasi varians, median, modus
dan sebagainya.

21
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.Angka Kejadian Campak di PKM Koya Barat

Angka kejadian campak berdasarkan klinis pasien di PKM Koya Barat sebagai
berikut
Januari :-
Februari : 1 orang
Maret :-
April :-
Mei : 7 orang
Juni : 1 orang
Juli : 5 orang
Agustus : 7 orang
September : 13 orang

Hasil pemeriksaan IgM menunjukkan 5 pasien positif campak, 2 orang pada bulan
mei, dan 3 orang pada bulan juli.

Januari
Kejadian Campak Maret
0% Februari 0%
April
3%
0%

Mei
20%

September
38% Juni
3%

Juli
15%
Agustus
21%

Gambar 4.1. Gambaran Kejadian Campak di Wilayah Kerja PKM Koya Barat

A. Berdasarkan Usia

22
Hasil penelitian menunjukan dari total penderita KLB campak di wilayah kerja
Puskesmas Koya Barat, kasus terbanyak berada pada kelompok usia (1-5 tahun)
12 kasus (41,3 %), kemudian kelompok usia (5-10 tahun) 9 kasus (31,1 %),
kelompok (< 1 tahun) dan (>10 tahun) masing-masing 4 kasus (13,8%).

USIA

14% 14%
<1 Tahun
1 - 5 Tahun

31% 6 - 10 Tahun
41% > 10 Tahun

Gambar 4.2 Grafik Hubungan Angka Kejadian Campak dengan Usia

B. Berdasarkan Jenis Kelamin


Hasil penelitian menunjukan dari total penderita KLB campak di wilayah kerja
Puskesmas Koya Barat berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahwa
perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki. Dengan data kejadian perempuan
sebanyak 15 orang (51,7%) dan laki-laki 14 orang (48,3%).

Laki-laki Perempuan
51,7%

48,3%

Jenis Kelamin
Gambar 4.3. Grafik Hubungan Kejadian Campak dengan Jenis Kelamin

C. Status Imunisasi

23
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa dari total penderita KLB campak di
wilayah kerja Puskesmas Koya Barat lebih banyak pasien yang memiliki riwayat
imunisassi campak sebanyak 20 orang (69%) yang didiagnosis secara klinis
sebagai campak jika dibandingkan dengan pasien yang tidak imunisasi (9 orang;
31%)

Tidak Lengkap Lengkap

31%

Status Imunisasi

69%

Gambar 4.4. Grafik Hubungan Kejadian Campak dengan Status Imunisasi

D. Wilayah Kejadian Campak


Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa di wilayah kerja Puskesmas Koya Barat
yang mengalami peningkatan angka kejadian campak terdapat di Koya Barat
dengan 17 kasus (58,6%) diikuti Koya Timur sebanyak 6 kasus (20,6%),
kemudian Koya Tengah sebanyak 4 kasus (13,8%), dan Holtekamp sebanyak 2
kasus (7%).

Wilayah
Holtekamp
7%

Koya Tengah
14%

Koya Timur Koya Barat


21% 58%

24
Gambar 4.5. Grafik Hubungan Angka Kejadian Campak dengan Wilayah Kerja PKM Koya Barat

4.2. Cakupan Imunisasi Campak di PKM Koya Barat

Target cakupan imunisasi di Puskesmas Koya barat ialah sebanyak 211


anak secara keseluruhan, angka ini ditetapkan dari hasil perhitungan jumlah
penduduk di wilayah kerja Puskesmas Koya Barat x Cakupan Bayi Lahir di
seluruh Papua, dengan masing-masing target wilayah sebanyak 102 anak di
Koya Barat, 77 anak di Koya Timur, 8 anak di Koya Tengah, dan 23 anak di
Holtekamp.
Pada grafik dibawah diperlihatkan data jumlah anak yang sudah diimunisasi di
wilayak kerja Puskesmas Koya Barat setiap bulannya.
30

25

20 9
13 6
6
15 13 12
8
8
10
7 16 16
13 14
5 9 10 9
8
4
0

Laki-laki Perempuan

Gambar 4.6 Grafik Cakupan Imunisasi Tiap Bulan di PKM Koya Barat

Dari hasil perhitungan jumlah anak yang sudah diimunisasi campak tiap
bulannya, didapatkan kenaikan angka kumulatif jumlah anak yang diimunisasi setiap
bulannya, dari data ini dapat dihitung cakupan imunisasi campak di wilayah kerja
Puskesmas Koya Barat dengan rumus:
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐾𝑢𝑚𝑢𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 𝐴𝑛𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑀𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡 𝐼𝑚𝑢𝑛𝑖𝑠𝑎𝑠𝑖 𝐶𝑎𝑚𝑝𝑎𝑘 𝑑𝑖 𝑊𝑖𝑙𝑎𝑦𝑎ℎ 𝐾𝑒𝑟𝑗𝑎 𝑃𝐾𝑀
x 100%
𝑇𝑎𝑟𝑔𝑒𝑡 𝑆𝑎𝑠𝑎𝑟𝑎𝑛

Dari rumus tersebut didapatkan bahwa cakupan imunisasi campak di wilayah Kerja
Puskesmas Koya barat pada periode Januari – September 2017 adalah:
181
211
x 100% = 85%

25
200
180 181
160 160
140 135
120 115
100 97
80 80 Jumlah Cakupan Tiap Bulan

60 58 Kumulatif
47
40
20 21 26 22 20 25 21
17 18
11
0

Gambar 4.7 Grafik Jumlah Cakupan Imunisasi Campak Tiap Bulan dan Kumulatif

4.3. Pembahasan
- Berdasarkan usia
Hasil penelitian menunjukan dari total penderita KLB campak di
wilayah kerja Puskesmas Koya Barat, kasus terbanyak berada pada
kelompok usia (1-5 tahun) 12 kasus (41,3 %), kemudian kelompok usia (5-10
tahun) 9 kasus (31,1 %), kelompok (< 1 tahun) dan (>10 tahun) masing-
masing 4 kasus (13,8%). Hal ini dapat terjadi karena pada balita usia 1-5
tahun adanya material antibodi, biasanya anak-anak akan terlindungi dari
penyakit campak untuk beberapa bulan. Antibodi akan sangat berkurang
setelah anak berusia 6-9 bulan yang menyebabkan anak rentan terhadap
penyakit campak. Dalam beberapa penelitian, boster campak digunakan
untuk mempertahankan tingkat kekebalan pada anak batita dan ini jumlahnya
lebih sedikit dibandingkan imunisasi dasar pada usia 9 bulan dikarenakan
banyak orang tua lebih memahami untuk memberikan imunisasi campak
pada anaknya pada usia 9 bulan karena itu merupakan imunisasi dasar.
Pelaksanaan program imunisasi di Indonesia untuk penyakit campak
adalah umur 9 – 12 bulan. Vaksin campak mempunyai efek penting pada
epidemiologi penyakit yang berhubungan dengan herd immunity yang
ditimbulkannya, yaitu : Imunisasi mengubah distribusi relatif umur kasus dan
menyebabkan terjadinya pergeseran ke umur yang lebih tua, ada
kecenderungan terjadi wabah setelah beberapa tahun bebas penyakit. Kasus

26
campak hampir tidak ditemui pada bayi usia < 4 bulan, karena bayi masih
mendapatkan proteksi dari antibodi yang diperoleh sejak dalam kandungan.
Antibodi terhadap campak terbentuk sekitar 95% pada anak yang diimunisasi
umur 12 bulan, 90% pada anak umur 9 bulan. Sekitar 10% anak yang telah
menerima imunisasi pada umur 9 bulan gagal membentuk antibodi (primary
vaccine failure). Hal ini kemungkinan disebabkan adanya antibodi pasif yang
berasal dari ibu (antibodi maternal), vaksin rusak atau sebab lain. Anak yang
gagal dengan vaksin pertama, akan berhasil dengan dosis kedua. Hasil
penelitian serologi, 99% mereka yang menerima dosis kedua kebal terhadap
campak.
- Berdasarkan jenis kelamin
Hasil penelitian menunjukan dari total penderita campak di wilayah
kerja Puskesmas Koya Barat berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahwa
perempuan lebih banyak (51,3%) dibandingkan laki-laki (48,7%). Menurut
teori secara keseluruhan tidak ada perbedaan insiden dan tingkat kefatalan
penyakit campak pada wanita atupun laki-laki. Pada kejadian campak di
Puskesmas Koya Barat terdapat perbedaan dikarenakan dimana penderita
campak yang tercatat pada registrasi kasus campak lebih dominan terjadi
pada perempuan yaitu sebanyak 15 orang.
- Berdasarkan status imunisasi
Hasil penelitian menunjukan dari total penderita campak di wilayah
kerja Puskesmas Koya Barat Hasil menunjukkan status imunisasi pada
penderita campak di di wilayah kerja Puskesmas Koya Barat adalah lebih
banyak anak dengan status imunisasi lengkap (69%) dibandingkan dengan
yang status imunisasi tidak lengkap (31%). Hal ini dapat terjadi karena
bahkan jika balita yang sudah diimunisasi campak masih ada yang terkena
campak hal ini disebabkan karena vaksin efikasi campak pada balita yang
mendapatkan vaksin usia 9 bulan sebesar 85%, pada anak yang menerima
vaksin pada usia 12 bulan sebesar 95%, dan pada anak usia 15 bulan sebesar
98%. Vaksin efikasi campak masih ada kerentanan sebagai kegagalan vaksin
primer, sehingga tidak ada vaksin efikasi campak sebesar 100%. Kegagalan
vaksin primer biasanya disebabkan adanya sisa-sisa antibodi maternal pada
saat imunisasi dilakukan, kerusakan vaksin. Hubungan status imunisasi ini
sejalan dengan hubungan usia seorang anak karena kebanyakan orang tua

27
lebih memahami untuk memberikan imunisasi campak pada anaknya pada
usia 9 bulan karena itu merupakan imunisasi dasar.
Status imunisasi campak setiap individu akan berpengaruh terhadap
perlindungan kelompok dari serangan infeksi campak diwilayah tersebut.
Pengaruh imunisasi terhadap laporan kasus penyakit, berkaitan langsung
dengan cakupan imunisasi. Pemberian imunisasi akan merangsang terjadinya
kekebalan humoral maupun kekebalan seluler. Antibodi yang ditimbulkan
akibat imunisasi serupa dengan antibodi yang berasal dari infeksi campak
secara alami. Pada awalnya terjadi peningkatan IgG, kemudian IgG yang
dihasilkan dari perlakuan imunisasi terinduksi oleh infeksi campak yang
berada di sekitarnya. Seseorang yang pernah mendapat stimulan antigen
vaksin campak maupun infeksi alami, umumnya akan terpapar infeksi
campak secara berulang. Imunitas yang rendah setelah imunisasi
berpengaruh tidak langsung terhadap terjadinya penyakit campak ataupun
terjadinya wabah.
Respon imun terhadap imunisasi campak dipengaruhi oleh faktor
host/pejamu dan faktor eksternal. Faktor dari pejamu meliputi: umur saat
imunisasi, adanya antibodi maternal, status gizi, faktor genetik dan adanya
penyakit yang diderita. Faktor dari luar dipengaruhi oleh kualitas dan
kuantitas vaksin, jadwal imunisasi dan rantai vaksin. Penelitian yang
dilakukan di Kabupaten Kebumen tahun 2009 menyebutkan bahwa meskipun
telah mendapat imunisasi campak pada umur 9-10 bulan, namun masih
dijumpai titer antibodi campak negatif (titer C8). Hal tersebut kemungkinan
dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya daya guna vaksin campak
belum maksimal, strain vaksin yang digunakan, faktor kematangan sistem
imunitas tubuh, faktor genetik yang membuat respon imun terbatas,
kemungkinan adanya antibodi maternal pada saat imunisasi sehingga antigen
vaksin akan diikat oleh antibodi yang terdapat didalam tubuh dan respon
imun yang tidak terbentuk. Imunisasi campak juga dapat meningkatkan
kekebalan dan mengurangi terjadinya beberapa kasus campak yang
bersamaan dalam keluarga. Kematian karena campak menjadi lebih tinggi
jika proporsi pasien campak mempunyai kasus-kasus sekunder tinggi.

28
- Berdasarkan wilayah tempat tinggal
Hasil penelitian menunjukan dari total penderita campak di wilayah
kerja Puskesmas Koya Barat berada pada wilayah Koya Barat (58%), Koya
Timur (21%), Koya Tengah (14%), dan Holtekamp (7%).
Beberapa factor lingkungan yang berkontribusi pada kejadian campak
pada anak antara lain: rumah / tempat tinggal yang padat penghuninya,
kondisi rumah dengan ventilasi yang buruk, rumah yang didiami oleh
beberapa keluarga. Angka kejadian lebih tinggi pada anak-anak yang tinggal
dirumah yang padat penghuni, dibandingkan dengan anak-anak yang tinggal
di rumah yang tidak padat penghuni. Disamping rumah tempat tinggal,
tempat-tempat umum seperti sekolah-sekolah dasar dan tempat-tempat
berkumpulnya anak, juga merupakan bagian yang mempengaruhi intensitas
penyakit. Kondisi lingkungan seperti tipe rumah non permanen, jenis lantai
dari tanah, ventilasi, pencahayaan yang kurang memenuhi syarat dan
penggunaan air bersih secara bersama-sama merupakan faktor risiko
terhadap kejadian penyakit menular yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Salah
satu faktor yang dapat berkontribusi untuk terjadinya campak pada anak-
anak antara lain adalah: rumah tinggal dengan penghuni, kepadatan penghuni
merupakan luas lantai dalam rumah dibagi dengan jumlah anggota keluarga
penghuni tersebut, kebutuhan ruangan untuk tempat tinggal tergantung pada
kondisi keluarga yang bersangkutan. Bangunan yang sempit dan tidak sesuai
dengan banyaknya jumlah penghuni akan memberi dampak seperti
kurangnya oksigen dalam ruangan sehingga daya tahan tubuh penghuninya
menurun, ruangan yang sempit akan membuat para penghuninya sesak napas
dan mudah tertular penyakit oleh anggota keluarga yang lain. Kepadatan
hunian rumah akan meningkatkan suhu ruangan yang disebabkan oleh
pengeluaran panas badan yang akan meningkatkan kelembaban akibat uap
air dari pernapasan tersebut. Dengan demikian, semakin banyak jumlah
penghuni rumah menyebabkan semakin cepat udara ruangan mengalami
pencemaran gas atau bakteri, kadar oksigen dalam ruangan menurun dan
diikuti oleh peningkatan karbondioksida dalam ruangan dan efek dari
peningkatan karbondioksida/CO2 dalam ruangan adalah penurunan kualitas
udara dalam rumah. Anak yang tinggal di rumah padat penghuni sangat
mudah tertular penyakit, apalagi jika dalam rumah tersebut ada penderita.

29
Anak yang tinggal di rumah yang padat hunian akan berpeluang untuk
menderita campak 2,49 kali daripada anak yang tinggal di rumah tidak padat.
Pada rumah padat penghuni akan sulit menata ruang dengan baik, sehingga
sulit dibersihkan dan mengakibatkan mikroorganisme mudah berkembang
dan bertahan hidup lebih panjang. Selain itu mempermudah penularan
penyakit yang menular melalui udara, terutama penyakit campak yang proses
penularannya terjadi saat percikan ludah atau cairan yang keluar ketika
penderita bersin.
Selain hal-hal yang sudah dijelaskan diatas, terdapat pula faktor lain
seperti jarak antara wilayah tempat tinggal dengan Puskesmas. Seperti
contoh wilayah terjauh dari Puskesmas Koya Barat adalah Holtekamp
dimana jarak tempuh dari Holtekamp ke Puskesmas dapat menccapai 7
Kilometer. Selain itu moda transportasi juga berpengaruh karena bisa saja
sudah ada kejadian campak di wilayah tertentu tetapi karena kurangnya
transportasi sehingga pasien tidak bisa berobat ke Puskesmas atau Posyandu
sehingga kejadian tersebut tidak terdata oleh petugas kesehatan.
Luas wilayah juga berpengaruh terhadap angka kejadian campak. Dari
hasil penelitian didapatkan bahwa wilayah Koya Barat memiliki angka
kejadian terbesar di seluruh wilayah kerja Puskesmas Koya Barat. Hal ini
dapat disebabkan oleh luasnya wilayah Koya Barat yang lebih luas
dibandingkan daerah lain sehingga jumlah penduduk yang menempati Koya
Barat juga akan lebih banyak.

30
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN
Dari hasil penelitian Gambaran Epidemiologi Penyakit Campak di wilayah
kerja Puskesmas Koya Barat periode Januari – September 2017 adalah sebagai
berikut :
1. Berdasarkan usia, kasus terbanyak berada pada kelompok usia (1-5 tahun)
12 kasus (41,3 %), kemudian kelompok usia (5-10 tahun) 9 kasus (31,1
%), kelompok (< 1 tahun) dan (>10 tahun) masing-masing 4 kasus
(13,8%).
2. Berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahwa perempuan (51,7%) lebih
banyak dibandingkan laki-laki (41,3%).
3. Berdasarkan status imunisasi lebih banyak anak dengan status imunisasi
lengkap (69%) dibandingkan dengan yang status imunisasi tidak lengkap
(31%).
4. Berdasarkan wilayah tempat tinggal,wilayah Koya Barat (58%), Koya
Timur (21%), Koya Tengah (14%), dan Holtekamp (7%).

5.2 SARAN
1. Perlu adanya studi lanjutan untuk mengetahui tingkat pengetahuan
orangtua mengenai penyakit dan imunisasi campak selain gambaran faktor
risiko yang sudah dipaparkan diatas

2. Perlu adanya edukasi yang tepat bagi warga mengenai penyakit campak
untuk meningkatkan partisipasi anak mendapatkan imunisasi campak.

3. Perlu dilakukan penelitian selanjutnya untuk variabel yang belum


dilakukan dalam penelitian ini sehingga dapat memberi masukkan bagi
Puskesmas Koya Barat untuk meningkatkan pelayanan imunisasi di
wilayah kerja Puskesmas.

31

Anda mungkin juga menyukai