Anda di halaman 1dari 27

RESPIRASI

PPOK/COPD

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah


Keprawatan Medikal Bedah I
Dosen Pengampu: Ns.Santi Herlina , S.Kep, M.Kep, Sp.Kep MB

DISUSUN OLEH:
Yuniar Kusumawardani 1610711015
Windi Kartika 1610711019
Nada Saskia 1610711028
Tia Amelia Agustin 1610711031
Diana 1610711047

S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN
JAKARTA
2017
PPOK
 Pengertian PPOK
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) didefinsikan sebagai penyakit atau
gangguan paru yang memberikan kelainan ventilasi berupa obstruksi saluran pernapasan
yang bersifat progresif dan tidak sepenuhnya reversible. Obstruksi ini berkaitan dengan
respon inflamasi abnormal paru terhadap partikel asing atau gas yang berbahaya. PPOK
terdiri dari bronchitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya.

 Klasifikasi

Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease


(GOLD) 2011, PPOK diklasifikasikan berdasarkan derajat berikut:

1. Derajat 0 (Berisiko)
Gejala klinis : Memiliki satu atau lebih gejala batuk kronis, produksi sputum, dan
dispnea. Ada paparan terhadap factor resiko.
Spirometri : Normal

2. Derajat I (PPOK Ringan)


Gejala klinis : Dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi sputum.
Sesak napas derajat sesak 0 sampai derajat sesak 1
Spirometri : FEV1/FVC < 70%, FEV1 ≥ 80%

3. Derajat II (PPOK Sedang)


Gejala klinis : Dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi sputum.
Sesak napas derajat sesak 2 (sesak timbul pada saat aktivitas).
Spirometri : FEV1/FVC < 70%; 50% < FEV1 < 80%

4. Derajat III (PPOK Berat)


Gejala klinis : Sesak napas derajat sesak 3dan 4.Eksaserbasi lebih sering terjadi
Spirometri : FEV1/FVC < 70%; 30% < FEV1 < 50%
5. Derajat IV (PPOK Sangat Berat)
Gejala klinis : Pasienderajat III dengan gagal napas kronik. Disertai komplikasi
korpulmonale atau gagal jantung kanan.
Spirometri: : FEV1/FVC < 70%; FEV1 < 30% atau< 50%

Epidemiologi
Di Indonesia tidak ditemukan data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Survei Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) 1992 menemukan angka kematian emfisema, bronchitis kronik dan asma
menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia. Pada tahun 1997
penderita PPOK yang dirawat inap di RSUP Persahabatan sebanyak 124 (39,7%), sedangkan rawat
jalan sebanyak 1837 atau 18,95%. Di RSUD dr. Moewardi Surakarta ditemukan penderita PPOK
rawat inap sebanyak 444 (15%), dan rawat jalan 2368 (14%).

Penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyebab morbiditas dan kematian ke-4 terbesar
di dunia dan WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2020 PPOK menjadi penyebab kematian
ketiga tertinggi di dunia. Angka prevalensi, morbiditas, dan mortalitas PPOK bervariasi antar
Negara dan di antara kelompok populasi, umumnya berkaitan dengan prevalensi perokok serta
kondisipolusi udara akibat pembakaran yang juga telah diidentifikasi sebagai factor risiko PPOK. 15
14 Universita Sumatera Utara Menurut Raherison (2009) prevalensi PPOK diperkirakan 7,6% (95%
CI 6 - 9,2%. Berdasarkan 38 penelitian, prevalensi bronchitis kronis diperkirakan 6,4% (95% CI
5,3-7,7%). Prevalensi emfisema (melalui rontgen dada) diperkirakan 1,8% (95% CI 1,3- 2,6%)
berdasarkan delapan studi. Mayoritas studi (62%) menunjukkan umur pasien lebih dari 40 tahun,
dengan rentang usiaantara 40 dan 64 tahun. Prevalensi PPOK meningkat sesuai dengan usia, dengan
peningkatan risiko menjadi lima kali lipat bagimereka yang berusia di atas 65 tahun dibandingkan
dengan pasien berusia kurang dari 40 tahun.

Prevalensi PPOK meningkat sesuai dengan status merokok, tetapi perlu ditekankan bahwa
prevalensi PPOK pada perokok adalah 4%, menunjukkan adanya factor risiko lain, seperti merokok
pasif, atau factor paparan akibat kerja. PPOK terjadi pada laki-laki dua kali lebih banyak disbanding
perempuan, tetapi perbedaan ini akan berkurang, mengingat fakta bahwa semakin banyak
perempuan yang merokok terutama di Negara berkembang, dan bahwa perempuan yang tidak
merokok terkena produk hasil pembakaran dari biomassa di Negara berkembang. Menurut Purba
(2010) berdasarkan studinya menemukan penderita PPOK stabil yang berobatjalan di Poli RS H.
Adam Malik sekitar 82 orang dalam satu tahun, laki-laki sekitar 85,4%, umur lebih dari 60 tahun
sekitar 63,4%. 16 17 Kondisi tersebut menunjukkan angka kematian yang disebabkan PPOK terus
mengalami peningkatan tanpa disadari masyarakat.

Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan rutin
i) Faal paru
(1) Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/ KVP)
(a) Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi(%) dan atau VEP1/KVP(% ).
Obstruksi:% VEP1(VEP1/VEP1pred)<80%VEP1% (VEP1/KVP) < 75%

(b) VEP1 merupakan para meter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya
PPOK dan memantau perjalanan penyakit.

Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter
walaupun

(c) kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabiliti
harian pagi dan sore,tidak lebih dari 20%

(2) Uji bronkodilator


(a) Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter.
Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15-20 menit
kemudian

(b) Dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE<20% nilai
awal dan <200ml

(c) Uji bronkodilator dilakukanpada PPOK stabil


ii) Darah rutin Hb, Ht, leukosit
iii) Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit
paru lain Pada emfisema terlihat gambaran:
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendata

Jantung menggantung (jantung pendulum /teardrop /eyedropappearance)


Pada bronkitiskronik:
(1) Normal
(2) Corak anbronkovaskuler bertambah pada 21% kasus

B. Pemeriksaan Khusus (tidak rutin)

1. Faal Paru
 Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru Total
(KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat
 DLCO menurun pada emfisema Raw meningkat pada bronchitis kronik
 Sgaw meningkat
 Variabiliti Harian APE kurang dari 20%

2. Uji latih kardio pulmoner


 Sepedastatis (ergocycle)
 Jentera (treadmill)
 Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal

3. Uji provokasi bronkus


Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat
hipereaktiviti bronkus derajat ringan

4. Ujicoba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednisone atau
metal predni solon) sebanyak 30-50 mg per hari selama 2 minggu yaitu peningkatan
VEP1 pasca bronkodilator >20% dan minimal 250ml. Pada PPOK umumnya tidak
terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian korti kosteroid

5. Analisis gas darah Terutama untuk menilai:


 Gagal napas kronik stabil
 Gagal napas akut pada gagal napas kronik

6. Radiologi
 CT- Scan resolusi tinggi
 Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula
yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos
 Scan ventilasi perfusi Mengetahui fungsi respirasi paru

7. Elektro kardio grafi


Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi
ventrikel kanan

8. Ekokardiografi
Menilai funfsi jantung kanan

9. Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan
untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotic yang tepat. Infeksi saluran
napas berulng merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di
Indonesia.

10. Kadar alfa-1 anti tripsin


Kadar anti tripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia muda),
defisiensi anti tripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.
ETIOLOGI dan FAKTOR RESIKO

Etiologi

Merokok adalah resiko utama terjadinya PPOK. Sejumlah zat iritan yang ada di dalam
rokok menstimulasi produksi mucus berlebih, batuk, merusak fungsi silia, menyebabkan
iflamasi, serta kerusakan bronkiolus dan dinding alveolus. Factor resiko lain termasuk polusi
udara, perokok pasif, riwayat infeksi saluran napas saat kanak-kanak, dan keturunan. Paparan
terhadap beberapa polusi industri ditempat kerja dapat meningkatkan resiko.

Faktor Resiko

Terdapat beberapa factor-faktor yang dapat memicu terjadi PPOK ini, yaitu :

1. Kebiasaan Merokok
Dilaporkan perokok adalah 45% lebih beresiko untuk terkena PPOK disbanding dengan
bukan yang merokok (WHO,2010). Menurut Guyton (2006), secara umum dapat
diketahui bahwa perokok dapat menyebabkan gangguan pernapasan. Terdapat beberapa
alasan yang mendasari penyakit ini. Pertama, salah satu efek dari penggunaan nikotin
akan menyebabkan konstriksi bronkiolus terminal paru, yang meningkatkan resistensi
aliran udara kedalam dan keluar paru. Kedua, efek iritasi asap rokok menyebabkan
peningkatan sekresi cairan ke dalam cabang-cabang bronkus serta pembengkakan lapisan
epitel. Ketiga, nikotin dapat melumpuhkan silia pada permukaan sel epitel pernapasan
yang secara normal terus bergerak untuk memindahkan kelebihan cairan dan epitel asing
dari saluran pernapasan. Akibatnya lebih banyak debris berakumulasi dalam jalan napas
dan kerusakan bernapas menjadi semakin bertambah. Hasilnya, semua perokok baik berat
maupun ringan akan merasakan adanya tahanan pernapasan dan kualitas hidup
berkurang.

2. Polusi Udara
Polutan adalah bahan-bahan yang ada di udara yang dapat membahayakan kehidupan
manusia. Polutan dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu senyawa-senyawa di dalam udara
murni (pure air) yang kadarnya diatas normal, molekul-molekul (gas-gas) selain yang
terkandung dalam udara murni tanpa memperhitungkan kadatnya dan partikel
(amin,1996)

3. Pekerjaan
Pekerjaan tambang yang bekerja di lingkungan yang berdebu akan lebih mudah terkena
PPOK. Perjalanan debu yang masuk ke saluran pernapasan dipengaruhi oleh ukuran
partikel tersebut. Apabila terdapat debu yang masuk ke siklus alveolus, makrofag yang
ada di dinding alveolus akan memfagositosis debu tersebut. Akan tetapi kemampuan
fagositik makrofag terbatas, sehingga semua debu tidak dapat difagositosis. Debu yang
ada di dalam makrofag sebagian akan dibawa ke bulu getar yang selanjutnya akan
dibatukkan dan sebagian lagi akan tetap tinggal di interstisium bersama debu yang tidak
sempat di fagositosis. Debu organic dapat menimbulkan fibrosis sedangkan debu mineral
(inorganic) tidak selalu menimbulkan akibat fibrosis jaringan. Reaksi tersebut
dipengaruhi juga oleh jumlah dan lamanya pernapasan serta kepekaan individu untuk
menghadapi rangsangan yang diterima (Amin,1996).
Makrofag yang sedang aktif akan mempengaruhi keseimbangan protease-antiprotase
melalui beberapa mekanisme, yaitu meningkatkan jumlah elastase, mengeluarkan factor
kemotaktik yang dapat menarik neutrofil dan mengeluarkan oksidan yang dapat
menghambat aktivitas AAT (Senior, 1980 dalam Amin 1996).
Pekerja yang pada pekerjaannya terpapar aluminium, selama bekerja 30 tahun dengan
terpaparnya partikel tersebut sama saja dengan perokok yang merokok 75 gram/minggu
(Malo, Chan-Yeung, Kennedy, 2002).

4. Berbagai factor lain, yakni :


a. Jenis Kelamin
Pasien pria lebih banyak terkena penyakit daripada wanita. Ini dikarenakan
perokok lebih banyak 2 kali lipat daripada wanita
b. Usia
Ini berhubungan dengan lamanya seseorang merokok, berapa banyak bungkus
rokok yang dihabiskan. Semakin dewasa usia seseorang maka semakin banyak
rokok yang dihisap
c. Infeksi saluran pernapasan
Infeksi saluran pernapasan adalah factor resiko yang berpotensi untuk
perkembangan dan progresi PPOK pada orang dewasa. Infeksi pada saluran
pernapasan pada anak-anak juga dipercaya berpotensi sebagai factor predisposisi
perkembangan PPOK. Walaupun infeksi saluran pernapasan adalah salah satu
penyebab penting terjadinya eksaserbasi PPOK, hubungan infeksi saluran
pernapasan dewasa dan anak-anak dengan perkembangan PPOK masih belum
bisa dibuktikan
d. Hiperresponsif saluran pernapasan
Ini bisa menjurs kepada remodeling saluran pernapasan yang menyebabkan
terjadinya lebih banyak obstruksi pada penderita PPOK
e. Faktor genetik, dimana terdapat protease inhibitor yang rendah
Inhibitor adalah sekelompok protein atau peptide yang menunjukkan sifat
menghalangi kerja enzim proteolitik. Fungsi infibitor protease adalah untuk
mengontrol protease yang selalu berperan dalam berbagai proses biologis.
AAT sangat penting sebagai perlindungan terhadap protease yang terbentuk
secara alami, dan kekurangan anti protease ini memiliki peranan penting dalam
pathogenesis emfisema. Protease dihasilkan oleh bakteri, PMN, monosit, dan
makrofag, sewaktu proses fagositosis berlangsung dan mampu memecahkan
elastin dan makromolekul lain pada jaringan paru. Pada orang yang sehat,
kerusakan jaringan paru dicagah oleh kerja antiprotease, yang menghambat
aktivitas protease. Pada orang yang merokok, dapat mengakibatkan respons
peradangan sehingga menyebabkan pelepasan enzim proteolitik (protease),
sementara bersama dengan itu oksidan pada asap menghambat AAT
KOMPLIKASI

Infeksi saluran napas biasanya muncul pada klien PPOK. Hal tersebut akibat
tergantungnya mekanisme pertahanan normal paru dan penurunan imunitas. Oleh karena status
pernapasan sudah terganggu, infeksi biasanya mengakibatkan gagal napas akut dan menjadi
alasan untuk perawatan di rumag sakit.
Pneumotoraks spontan dapat terjadi akibat pecahnya bleb pada emfisema. Pecahnya bleb
menyebabkan pneumotoraks tertutup dan membutuhkan pemasangan slang dada (chest tube)
untuk membantu paru mengembang kembali.
Seperti asma, bronchitis obstroktif kronis dan emfisema dapat memburuk pada malam
hari. Klien sering melaporkan dispnea yang muncul pada saat tidur (sleep-onset dyspnea) dan
kerap terjaga dini hari. Selama tidur, terdapat penurunan tonus otot dan aktivitas otot pernapasan.
Penurunan tonus otot menyebabkan hipoventilasi dan resistansi jalan napas meningkat, sehingga
terjadi ketidak seimbangan V/Q. akhirnya pasien menjadi hipoksema

Penatalaksanaan umum
Tujuan penatalaksanaan :

- Mengurangi gejala
- Mencegah eksaserbasi berulang
- Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
- Meningkatkan kualiti hidup penderita
-
Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :

1. Edukasi
2. Obat - obatan
3. Terapi oksigen
4. Ventilasi mekanik
5. Nutrisi
6. Rehabilitasi
PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan nonreversibel, sehingga
penatalaksanaan PPOK terbagi atas (1) penatalaksanaan pada keadaan stabil dan (2)
penatalaksanaan pada eksaserbasi akut.

1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK
stabil.Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma.Karena PPOK adalah
penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan
keterbatasan aktiviti dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru.Berbeda dengan asma
yang masih bersifat reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti
dari edukasi atau tujuan pengobatan dari asma.

Tujuan edukasi pada pasien PPOK :

1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan


2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
3. Mencapai aktiviti optimal
4. Meningkatkan kualiti hidup

Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara berulang pada
setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya.Edukasi dapat
diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan di unit gawat darurat ataupun di ICU dan di
rumah.Secara intensif edukasi diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik konseling, karena
memerlukan waktu yang khusus dan memerlukan alat peraga.Edukasi yang tepat diharapkan
dapat mengurangi kecemasan pasien PPOK, memberikan semangat hidup walaupun dengan
keterbatasan aktiviti. Penyesuaian aktiviti dan pola hidup merupakan salah satu cara untuk
meningkatkan kualiti hidup pasien PPOK.
Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat penyakit,
tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi ekonomi penderita.

Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah

1. Pengetahuan dasar tentang PPOK


2. Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
3. Cara pencegahan perburukan penyakit
4. Menghindari pencetus (berhenti merokok)
5. Penyesuaian aktiviti

Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan
skala prioriti bahan edukasi sebagai berikut :

1. Berhenti merokok
Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis PPOK
ditegakkan

2. Pengunaan obat - obatan


- Macam obat dan jenisnya
- Cara penggunaannya yang benar ( oral, MDI atau nebuliser )
- Waktu penggunaan yang tepat ( rutin dengan selangwaku tertentu atau
kalau perlu saja )
- Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya
3. Penggunaan oksigen
- Kapan oksigen harus digunakan
- Berapa dosisnya
- Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen
4. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen
5. Penilaian dini eksaserbasi akut dan
pengelolaannya Tanda eksaserbasi :
- Batuk atau sesak bertambah
- Sputum bertambah
- Sputum berubah warna
6. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
7. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktiviti

Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima, langsung
ke pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu.Pemberian edukasi
sebaiknya diberikan berulang dengan bahan edukasi yang tidak terlalu banyak pada
setiap kali pertemuan. Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka
panjang pada PPOK stabil, karena PPOK merupakan penyakit kronik progresif
yang ireversibel

Ringan

- Penyebab dan pola penyakit PPOK yang ireversibel

- Menegah penyakit menjadi berat dengan menghindari pencetus, antara lain


berhenti merokok
- Segera berobat bila timbul gejala

Sedang

- Menggunakan obat dengan tepat


- Mengenal dan mengatasi eksaserbasi dini
- Program latihan fisik dan pernapasan

Berat

- Informasi tentang komplikasi yang dapat terjadi


- Penyesuaian aktiviti dengan keterbatasan
- Penggunaan oksigen di rumah
2. Obat - obatan
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis
bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit ( lihat
tabel 2 ). Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak
dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan
pemberian obat lepas lambat ( slow release ) atau obat berefek panjang (
longacting ).

Macam - macam bronkodilator :

- Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ).

- Golongan agonis beta - 2


Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah
penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat
pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang.
Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak
dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau
drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.

- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2


Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek
bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda.
Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan
mempermudah penderita.

- Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan
jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet
biasa atau puyer untuk mengatasi sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan
bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut.

Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar


aminofilin darah.

b. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metilprednisolon atau prednison.Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka
panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat
perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.

c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :

 Lini I : amoksilin, makrolid


 Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon, makrolid
baru

Perawatan di Rumah Sakit :

dapat dipilih

 Amoksilin dan klavulanat


 Sefalosporin generasi II & III injeksi
 Kuinolon per oral

ditambah dengan yang anti pseudomonas

- Aminoglikose per injeksi


- Kuinolon per injeksi
- Sefalosporin generasi IV per injeksi

d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N -
asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak
dianjurkan sebagai pemberian yang rutin

e. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang
viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak
dianjurkan sebagai pemberian rutin.

f. Antitusif
Diberikan dengan hati - hati

Gejala Golongan Obat Obat & Kemasan Dosis

Tanpa gejala Tanpa obat

Gejala intermiten Agonis ß2 Inhalasi kerja cepat Bila perlu

( pada waktu aktiviti )

Gejala terus menerus Antikolinergik Ipratropium bromida 2 - 4 semprot →

20 µgr 3 - 4 x/hari

Inhalasi Agonis ß2 Fenoterol 2 - 4 semprot

kerja cepat 100µgr/semprot → 3 - 4 x/hari

Salbutamol 2 - 4 semprot

100µgr/semprot → 3 - 4 x/hari

Terbutalin 2 - 4 semprot
0,5µgr/semprot → 3 - 4 x/hari

Prokaterol 2 - 4 semprot

10µgr/semprot → 3 x/hari

Kombinasi terapi Ipratropium bromid 2 - 4 semprot

20µgr+salbutamol → 3 - 4 x/hari

100µgr →
persemprot

Pasien memakai Inhalasi Inhalasi Agonis ß2 Formoterol 6µgr, 1 - 2 semprot →

agonis ß2 kerja kerja lambat 12µgr/semprot 2 x/hari tidak

(tidak dipakai melebihi


untuk eksaserbasi)
2 x/hari

Atautimbul gejala pada salmeterol 1 - 2 semprot →


waktumalam atau pagi
25µgr/semprot 2 x/hari tidak
hari
melebihi

2 x/hari

Teofilin lepas lambat 400-800mg/hari

Teofilin Teofilin/ aminofilin 3 - 4 x/hari


150mg x 3 - 4x/hari

Anti oksidan N asetil sistein 600mg/hr

Pasien tetap mempunyai Kortikosteroid Prednison 30 - 40mg/hr


oral
gejala dan atau terbatas Metil prednisolon selama 2mg
(uji kortikosteroid )
dalam aktiviti harian

meskipun mendapat

pengobatan
bronkodilator

maksimal

Uji kortikosteroid Inhalasi Beklometason 50µgr,

memberikan respons Kortikosteroid 250µgr/semprot 1 - 2 semprot

positif → 2 - 4 x/hari

Budesonid 100µgr, 200 - 400µgr →

250µgr, 2x/hari maks

400µgr/semprot 2400µgr/hari

Sebaiknya pemberian

kortikosteroid inhalasi
125 - 250µgr →
dicoba bila mungkin
Flutikason 2x/hari maks
untukmemperkecil efek
samping 125µgr/semprot 1000µgr/hari
Asuhan Keperawatan

Dx 1 : Ketidakefektifan jalan nafas , ketidakefektifan pola


nafas berhubungan dengan disfungsi neuromuskular
(00032)
 Tujuan dan Kriteria Hasil

Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan psien mendapatkan pola


nafas yang lebih baik dengan kriteria hasil :

• mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis
dan dispneu (mampu mengeluarkan sputum, bernafas dengan mudah)

• menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas,
frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal)

• mampu mengidentifikasikan dan mencegah faktor penyebab

• saturasi oksigen dalam batas normal

• poto torak dalam batas normal

Intervensi :

• pastikan kebutuhan oral / trachel suctioning

• anjurkan pasien untuk istirahat dan nafas dalam

• posisikan pasien semi fowler untuk memudahkan nafas

• lakukan fisioterapi dada jika perlu

• keluarkan sekret dengan batuk efektif atau suction

• auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan

• monitor TTV
• berikan pelembab udara kassa basah NaCL lembab

• berikan antibiotik

• atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan

• pertahankan hidrasi yang adekuat untuk mengencerkan sekret

• jelaskan pada pasien dan keluarga tentang penggunaan peralatan : oksigen, suction,
inhalasi

Dx 1 : Pertukaran Gas, Gangguan berhubungan dengan


Perubah Membran Alveolar
Tujuan dan Kriteria Hasil

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, diharapkan status pernafasan pasien

normal dengan kriteria hasil :

a) Tanda tanda vital normal


Tekanan darah : 120/80
Suhu : 37 derajat celcius
RR : 16 - 19x/menit
HR : 60 -80x/menit
b) Status pernafasan normal
Irama pernafasan teratur
Frekuensi pernafasan normal 16 -19x/menit
Suara auskultasi nafas vesikuler
c) Manajemen diri : penyakit obstruktif kronik baik
Pasien mendapatkan pengobatan yang diharapkan
Kecepatan dan irama nafas pasien teratur
Tidak ada tanda pemicu gejala
Efek terapi obat terpantau
Intervensi

1) Monitor tanda tanda vital


Rasional : untuk mengetahui kondisi pasien saat ini
2) Kaji keadaan umum
Rasional : untuk mengetahui keadaan pasien saat ini
3) Suction jalan nafas
Rasional : untuk memperlancar jalannya udara
4) Monitor adanya nyeri
Rasional : untuk mengetahui skala nyeri pada pasien
5) Monitor status oksigen
Rasional : untuk mengetahui input oksigen pada pasien
6) Anjurkan pasien untuk posisi semi fowler
Rasional : membuat pasien nyaman

Dx : (00002) Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari


kebutuhan tubuh berhubungan dengan kurang asupan
makanan
Tujuan dan criteria hasil :

Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan ketidak seimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh dapat teratasi dengan criteria hasil :

1. (1004) status nutrisi


(110401) asupan gizi tidak menyimpang dari rentang normal
(110402) asupan makanannya baik
2. (1014) nafsu makan
(101401) adanya hasrat/ keinginan untuk makan
3. (1008) status nutrisi : asupan makanan dan cairan
(100801) asupan makanan secara oral yang adekuat
4. (1006) berat badan : massa tubuh
(100601) berat badan normal
No Intervensinic Intervensi Rasional

(1120) 1. Lengkapi pengkajian Umtuk mengetahui informasi mengenai


1.
Terapinutrisi nutrisi sesuai kebutuhan kebutuhan nutrisi pasien

2. Monitor intake makanan


atau cairan dan hitung Akan mengetahui masukan nutrisi dan
masukan kalori perhari mengetahui intervensi selanjutnya
sesuai kebutuhan

3. Sediakan bagi pasien


makanan dan minuman
bernutrisi yang tinggi Untuk memudahkan pasien memenuhi

protein, kalori dan nutrisinya

mudah dikonsumsi
sesuai kebutuhan
4. Berikan perawatan mulut
Mulut yang bersih akan meningkatkan
sebelum makan sesuai
nafsu makan
kebutuhan
(5246) 5. Kaji asupan makanan
Sebagai informasi dasar untuk
2. Konselingnutris dan kebiasaan makan
perencanaan awal dan validasi data
i pasien

(1160) Monitor 6. Timbang berat badan Untuk mengetahui perkembangan nutrisi


3.
nutrisi pasien pasien

Untuk megetahui dan memahami ketidak


(6686) Monitor ttv
normalan eliminasi pasien
(6686) Monitor
4. 7. Monitor tekanan darah,
ttv Untuk mengetahui keadaan umum
nadi, suhu, dan status
pasien
pernafasan dengan tepat
DX: Intoleransi Aktivitas b.d Ketidakseimbanganan
tarasuplai dan kebutuhan oksigen
Berdasarkan NOC :

Setelah dilakukan Asuhan Keperawatan 3x24 jam, diharapkan Intoleranso Aktivitas dapat
teratasi, dengan kriteriahasil ;

1. Toleransi Terhadap Aktivitas


a. Frekuensinyadimenjadi normal ( 16-24x/menit )
b. Tekanan Darah Sistol dan Diastol normal ( 100-120/70-90 mmHg)
2. DayaTahan
a. Oksigen darah ketika beraktivitas normal ( 95-100% )
3. Tingkat Ketidak nyamanan
a. Tidak terdapat nyeri dada
b. Tidak mengalamise sak Nafas
c. Tidak merasa kesulitan bernapas
4. Kelelahan Efek yang Mengganggu
a. Letarghi
5. Tingkat Kelelahan
a. Tidak terjadi kelelahan
b. Kegiatan Sehari-hari / ADL dapat berjalan normal
c. Saturasi Oksigen kembali normal
6. Saturasi Pernapasan: Pertukaran Gas
a. Tekanan Parsial Oksigen di daraharteri/PaO2 menjadi normal ( 80-100 mmHg )
b. Tekanan Parsial Karbondioksida di darah arteri/PaCO2 menjadi normal ( 35-54
mmHg )
c. Saturasi Oksigen normal ( 95-100% )
d. Keseimbangan ventilasi dan perfusi
Berdasarkan NIC

No NIC Intervensi Rasional

1. Manajement  Ciptakan Lingkungan yang aman  Untuk menciptakan rasa


Lingkungan bagi pasien aman dan nyaman pasien
 Identifikasi kebutuhan  Untuk memenuhi
keselamatan pasien berdasarkan kebutuhan keselamatan
fungsi fisik dan kognitif serta pasien
riwayat keselamatan pasien masa  Untuk menciptakan
lalu lingkungan yang nyaman
 Sediakan tempat tidur dan  Untuk menciptakan
lingkungan yang bersih dan lingkungan yang aman,
nyaman nyaman dan mencegah
 Sediakan linen dan pakaian adanya infeksi
dengan kondisi baik, bebas dari nasokomial
residu dan noda
2. Terapi Oksigen  Bersihkan mulut, hidung dan  Kebersihan mulut klien
sekrsi trakea dengan tepat tetep terjaga
 Batasi aktivitas merokok  Untuk memperlancar jalan
 Siapkan peralatan oksigen dan nafas, sehingga dapat
berikan melalui system mengurangi hipersekresi
humidifier mucus
 Berikan oksigen tambahan seperti  Untuk memenuhi
yang dipertintahkan kebutuhan oksigen klien
 Monitor aliran oksigen  Untuk memenuhi
kebutuhan oksigen klien
dan sesuai order dokter
 Kadar oksigen tetap
terpantau dan dalam
keadaan normal
3. Bantuan  Catat status merokok saat ini dan  Untuk mengetahui
Penghentian riwayat merokok seberasa seringnya klien
Merokok  Tentukan kesiapan pasien untuk meroko
belajar berhenti meroko  Pasien siap untuk berhenti
 Pantau kesiapan pasien untuk meroko
mencoba berhenti meroko  Untuk mengetahui
 Bantu pasien mengdentifikasi perkembangan pasien
alas an untuk berhenti dan untuk berhenti meroko
hambatan untuk berhenti  Untuk mencegah
terjadinya pengonsumsian
roko kembali oleh pasien

DX : Resiko Infeksi
Berdasarkan NOC : setelah dilakukan 3x24 jam, diharapkan Resiko Infeksi dapat teratasi,
dengan kriteria hasil:

1.perolaku berhenti merokok


-membangun strategi berhenti merokok dengan skala 5
-mengidentifikasi keinginan berhenti merokok dengan skala 5
2. status nutrisi: asupan makanan dan cairan
- asupan makanan secra oral baik
- asupan nutrisi normal

NC INTERVENSI RASIONAL

Bantuan penghentian 1. Berikan saran yang 1. Agar pasien dapat


merokok konsisten dan jelas untuk konsisten dalam
berhenti merokok pemberhentian merokok

2. Berikan dorongan untuk 2. Agar pasien terus dapat


mempertahankan gaya motifasi tentang
hidup bebas rokok pemberhentian
3. Pantau kesiapan pasien merokoknya
untuk mencoba berhenti
3. Agar terpantau, untuk
merokok
pasien tidak merokok lagi

Manajemen Nutrisi 1. Pastikan makanan disajikan 1. Agar pasien lebih tertarik


dengan cara yang menarik dengan makanan dan
dan pada suhu yang paling nafsu makannya
cocok untuk konsumsi meningkat
secara optimal
2. Agar makannya atau pada
2. Lakukan atau bantu terkait saat mengunyah terasa
dengan perawatan mulut nyaman dan tidak sakit
sebelum makan
3. Agar pasien menentukan
3. Tentukan apa yang menjadi makanan kesukaannya dan
preferensi makanan bagi mendapat makanan tang
pasien bergizi tinggi

Anda mungkin juga menyukai