PPOK/COPD
DISUSUN OLEH:
Yuniar Kusumawardani 1610711015
Windi Kartika 1610711019
Nada Saskia 1610711028
Tia Amelia Agustin 1610711031
Diana 1610711047
S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN
JAKARTA
2017
PPOK
Pengertian PPOK
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) didefinsikan sebagai penyakit atau
gangguan paru yang memberikan kelainan ventilasi berupa obstruksi saluran pernapasan
yang bersifat progresif dan tidak sepenuhnya reversible. Obstruksi ini berkaitan dengan
respon inflamasi abnormal paru terhadap partikel asing atau gas yang berbahaya. PPOK
terdiri dari bronchitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya.
Klasifikasi
1. Derajat 0 (Berisiko)
Gejala klinis : Memiliki satu atau lebih gejala batuk kronis, produksi sputum, dan
dispnea. Ada paparan terhadap factor resiko.
Spirometri : Normal
Epidemiologi
Di Indonesia tidak ditemukan data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Survei Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) 1992 menemukan angka kematian emfisema, bronchitis kronik dan asma
menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia. Pada tahun 1997
penderita PPOK yang dirawat inap di RSUP Persahabatan sebanyak 124 (39,7%), sedangkan rawat
jalan sebanyak 1837 atau 18,95%. Di RSUD dr. Moewardi Surakarta ditemukan penderita PPOK
rawat inap sebanyak 444 (15%), dan rawat jalan 2368 (14%).
Penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyebab morbiditas dan kematian ke-4 terbesar
di dunia dan WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2020 PPOK menjadi penyebab kematian
ketiga tertinggi di dunia. Angka prevalensi, morbiditas, dan mortalitas PPOK bervariasi antar
Negara dan di antara kelompok populasi, umumnya berkaitan dengan prevalensi perokok serta
kondisipolusi udara akibat pembakaran yang juga telah diidentifikasi sebagai factor risiko PPOK. 15
14 Universita Sumatera Utara Menurut Raherison (2009) prevalensi PPOK diperkirakan 7,6% (95%
CI 6 - 9,2%. Berdasarkan 38 penelitian, prevalensi bronchitis kronis diperkirakan 6,4% (95% CI
5,3-7,7%). Prevalensi emfisema (melalui rontgen dada) diperkirakan 1,8% (95% CI 1,3- 2,6%)
berdasarkan delapan studi. Mayoritas studi (62%) menunjukkan umur pasien lebih dari 40 tahun,
dengan rentang usiaantara 40 dan 64 tahun. Prevalensi PPOK meningkat sesuai dengan usia, dengan
peningkatan risiko menjadi lima kali lipat bagimereka yang berusia di atas 65 tahun dibandingkan
dengan pasien berusia kurang dari 40 tahun.
Prevalensi PPOK meningkat sesuai dengan status merokok, tetapi perlu ditekankan bahwa
prevalensi PPOK pada perokok adalah 4%, menunjukkan adanya factor risiko lain, seperti merokok
pasif, atau factor paparan akibat kerja. PPOK terjadi pada laki-laki dua kali lebih banyak disbanding
perempuan, tetapi perbedaan ini akan berkurang, mengingat fakta bahwa semakin banyak
perempuan yang merokok terutama di Negara berkembang, dan bahwa perempuan yang tidak
merokok terkena produk hasil pembakaran dari biomassa di Negara berkembang. Menurut Purba
(2010) berdasarkan studinya menemukan penderita PPOK stabil yang berobatjalan di Poli RS H.
Adam Malik sekitar 82 orang dalam satu tahun, laki-laki sekitar 85,4%, umur lebih dari 60 tahun
sekitar 63,4%. 16 17 Kondisi tersebut menunjukkan angka kematian yang disebabkan PPOK terus
mengalami peningkatan tanpa disadari masyarakat.
Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan rutin
i) Faal paru
(1) Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/ KVP)
(a) Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi(%) dan atau VEP1/KVP(% ).
Obstruksi:% VEP1(VEP1/VEP1pred)<80%VEP1% (VEP1/KVP) < 75%
(b) VEP1 merupakan para meter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya
PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter
walaupun
(c) kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabiliti
harian pagi dan sore,tidak lebih dari 20%
(b) Dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE<20% nilai
awal dan <200ml
1. Faal Paru
Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru Total
(KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat
DLCO menurun pada emfisema Raw meningkat pada bronchitis kronik
Sgaw meningkat
Variabiliti Harian APE kurang dari 20%
4. Ujicoba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednisone atau
metal predni solon) sebanyak 30-50 mg per hari selama 2 minggu yaitu peningkatan
VEP1 pasca bronkodilator >20% dan minimal 250ml. Pada PPOK umumnya tidak
terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian korti kosteroid
6. Radiologi
CT- Scan resolusi tinggi
Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula
yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos
Scan ventilasi perfusi Mengetahui fungsi respirasi paru
8. Ekokardiografi
Menilai funfsi jantung kanan
9. Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan
untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotic yang tepat. Infeksi saluran
napas berulng merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di
Indonesia.
Etiologi
Merokok adalah resiko utama terjadinya PPOK. Sejumlah zat iritan yang ada di dalam
rokok menstimulasi produksi mucus berlebih, batuk, merusak fungsi silia, menyebabkan
iflamasi, serta kerusakan bronkiolus dan dinding alveolus. Factor resiko lain termasuk polusi
udara, perokok pasif, riwayat infeksi saluran napas saat kanak-kanak, dan keturunan. Paparan
terhadap beberapa polusi industri ditempat kerja dapat meningkatkan resiko.
Faktor Resiko
Terdapat beberapa factor-faktor yang dapat memicu terjadi PPOK ini, yaitu :
1. Kebiasaan Merokok
Dilaporkan perokok adalah 45% lebih beresiko untuk terkena PPOK disbanding dengan
bukan yang merokok (WHO,2010). Menurut Guyton (2006), secara umum dapat
diketahui bahwa perokok dapat menyebabkan gangguan pernapasan. Terdapat beberapa
alasan yang mendasari penyakit ini. Pertama, salah satu efek dari penggunaan nikotin
akan menyebabkan konstriksi bronkiolus terminal paru, yang meningkatkan resistensi
aliran udara kedalam dan keluar paru. Kedua, efek iritasi asap rokok menyebabkan
peningkatan sekresi cairan ke dalam cabang-cabang bronkus serta pembengkakan lapisan
epitel. Ketiga, nikotin dapat melumpuhkan silia pada permukaan sel epitel pernapasan
yang secara normal terus bergerak untuk memindahkan kelebihan cairan dan epitel asing
dari saluran pernapasan. Akibatnya lebih banyak debris berakumulasi dalam jalan napas
dan kerusakan bernapas menjadi semakin bertambah. Hasilnya, semua perokok baik berat
maupun ringan akan merasakan adanya tahanan pernapasan dan kualitas hidup
berkurang.
2. Polusi Udara
Polutan adalah bahan-bahan yang ada di udara yang dapat membahayakan kehidupan
manusia. Polutan dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu senyawa-senyawa di dalam udara
murni (pure air) yang kadarnya diatas normal, molekul-molekul (gas-gas) selain yang
terkandung dalam udara murni tanpa memperhitungkan kadatnya dan partikel
(amin,1996)
3. Pekerjaan
Pekerjaan tambang yang bekerja di lingkungan yang berdebu akan lebih mudah terkena
PPOK. Perjalanan debu yang masuk ke saluran pernapasan dipengaruhi oleh ukuran
partikel tersebut. Apabila terdapat debu yang masuk ke siklus alveolus, makrofag yang
ada di dinding alveolus akan memfagositosis debu tersebut. Akan tetapi kemampuan
fagositik makrofag terbatas, sehingga semua debu tidak dapat difagositosis. Debu yang
ada di dalam makrofag sebagian akan dibawa ke bulu getar yang selanjutnya akan
dibatukkan dan sebagian lagi akan tetap tinggal di interstisium bersama debu yang tidak
sempat di fagositosis. Debu organic dapat menimbulkan fibrosis sedangkan debu mineral
(inorganic) tidak selalu menimbulkan akibat fibrosis jaringan. Reaksi tersebut
dipengaruhi juga oleh jumlah dan lamanya pernapasan serta kepekaan individu untuk
menghadapi rangsangan yang diterima (Amin,1996).
Makrofag yang sedang aktif akan mempengaruhi keseimbangan protease-antiprotase
melalui beberapa mekanisme, yaitu meningkatkan jumlah elastase, mengeluarkan factor
kemotaktik yang dapat menarik neutrofil dan mengeluarkan oksidan yang dapat
menghambat aktivitas AAT (Senior, 1980 dalam Amin 1996).
Pekerja yang pada pekerjaannya terpapar aluminium, selama bekerja 30 tahun dengan
terpaparnya partikel tersebut sama saja dengan perokok yang merokok 75 gram/minggu
(Malo, Chan-Yeung, Kennedy, 2002).
Infeksi saluran napas biasanya muncul pada klien PPOK. Hal tersebut akibat
tergantungnya mekanisme pertahanan normal paru dan penurunan imunitas. Oleh karena status
pernapasan sudah terganggu, infeksi biasanya mengakibatkan gagal napas akut dan menjadi
alasan untuk perawatan di rumag sakit.
Pneumotoraks spontan dapat terjadi akibat pecahnya bleb pada emfisema. Pecahnya bleb
menyebabkan pneumotoraks tertutup dan membutuhkan pemasangan slang dada (chest tube)
untuk membantu paru mengembang kembali.
Seperti asma, bronchitis obstroktif kronis dan emfisema dapat memburuk pada malam
hari. Klien sering melaporkan dispnea yang muncul pada saat tidur (sleep-onset dyspnea) dan
kerap terjaga dini hari. Selama tidur, terdapat penurunan tonus otot dan aktivitas otot pernapasan.
Penurunan tonus otot menyebabkan hipoventilasi dan resistansi jalan napas meningkat, sehingga
terjadi ketidak seimbangan V/Q. akhirnya pasien menjadi hipoksema
Penatalaksanaan umum
Tujuan penatalaksanaan :
- Mengurangi gejala
- Mencegah eksaserbasi berulang
- Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
- Meningkatkan kualiti hidup penderita
-
Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :
1. Edukasi
2. Obat - obatan
3. Terapi oksigen
4. Ventilasi mekanik
5. Nutrisi
6. Rehabilitasi
PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan nonreversibel, sehingga
penatalaksanaan PPOK terbagi atas (1) penatalaksanaan pada keadaan stabil dan (2)
penatalaksanaan pada eksaserbasi akut.
1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK
stabil.Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma.Karena PPOK adalah
penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan
keterbatasan aktiviti dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru.Berbeda dengan asma
yang masih bersifat reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti
dari edukasi atau tujuan pengobatan dari asma.
Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara berulang pada
setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya.Edukasi dapat
diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan di unit gawat darurat ataupun di ICU dan di
rumah.Secara intensif edukasi diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik konseling, karena
memerlukan waktu yang khusus dan memerlukan alat peraga.Edukasi yang tepat diharapkan
dapat mengurangi kecemasan pasien PPOK, memberikan semangat hidup walaupun dengan
keterbatasan aktiviti. Penyesuaian aktiviti dan pola hidup merupakan salah satu cara untuk
meningkatkan kualiti hidup pasien PPOK.
Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat penyakit,
tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi ekonomi penderita.
Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan
skala prioriti bahan edukasi sebagai berikut :
1. Berhenti merokok
Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis PPOK
ditegakkan
Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima, langsung
ke pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu.Pemberian edukasi
sebaiknya diberikan berulang dengan bahan edukasi yang tidak terlalu banyak pada
setiap kali pertemuan. Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka
panjang pada PPOK stabil, karena PPOK merupakan penyakit kronik progresif
yang ireversibel
Ringan
Sedang
Berat
- Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ).
- Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan
jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet
biasa atau puyer untuk mengatasi sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan
bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut.
b. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metilprednisolon atau prednison.Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka
panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat
perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.
c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
dapat dipilih
d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N -
asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak
dianjurkan sebagai pemberian yang rutin
e. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang
viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak
dianjurkan sebagai pemberian rutin.
f. Antitusif
Diberikan dengan hati - hati
20 µgr 3 - 4 x/hari
Salbutamol 2 - 4 semprot
100µgr/semprot → 3 - 4 x/hari
Terbutalin 2 - 4 semprot
0,5µgr/semprot → 3 - 4 x/hari
Prokaterol 2 - 4 semprot
10µgr/semprot → 3 x/hari
20µgr+salbutamol → 3 - 4 x/hari
100µgr →
persemprot
2 x/hari
meskipun mendapat
pengobatan
bronkodilator
maksimal
positif → 2 - 4 x/hari
400µgr/semprot 2400µgr/hari
Sebaiknya pemberian
kortikosteroid inhalasi
125 - 250µgr →
dicoba bila mungkin
Flutikason 2x/hari maks
untukmemperkecil efek
samping 125µgr/semprot 1000µgr/hari
Asuhan Keperawatan
• mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis
dan dispneu (mampu mengeluarkan sputum, bernafas dengan mudah)
• menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas,
frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal)
Intervensi :
• monitor TTV
• berikan pelembab udara kassa basah NaCL lembab
• berikan antibiotik
• jelaskan pada pasien dan keluarga tentang penggunaan peralatan : oksigen, suction,
inhalasi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, diharapkan status pernafasan pasien
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan ketidak seimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh dapat teratasi dengan criteria hasil :
mudah dikonsumsi
sesuai kebutuhan
4. Berikan perawatan mulut
Mulut yang bersih akan meningkatkan
sebelum makan sesuai
nafsu makan
kebutuhan
(5246) 5. Kaji asupan makanan
Sebagai informasi dasar untuk
2. Konselingnutris dan kebiasaan makan
perencanaan awal dan validasi data
i pasien
Setelah dilakukan Asuhan Keperawatan 3x24 jam, diharapkan Intoleranso Aktivitas dapat
teratasi, dengan kriteriahasil ;
DX : Resiko Infeksi
Berdasarkan NOC : setelah dilakukan 3x24 jam, diharapkan Resiko Infeksi dapat teratasi,
dengan kriteria hasil:
NC INTERVENSI RASIONAL