Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Telekomunikasi telah menjadi kebutuhan bagi masyarakat luas yang tidak dapat
dihindari. Berkembangnya pengguna teknologi komunikasi di Indonesia mengakibatkan
perkembangan teknologi informasi mampu mengakibatkan media komunikasi dari
kebutuhan sekunder atau tersier menjadi kebutuhan primer. Telepon seluler yang dulunya
dimana merupakan barang mewah sehingga hanya kelompok tertentu yang bisa
menikmatinya, namun sekarang mudah mendapatkannya dan murah. Selain itu,
kebutuhan akan akses kedunia maya pun semakin meningkat seiring makin matangnya
tingkat adopsi internet. Pada saat ini masyarakat sudah memliki akses internet serta
menjadikan telepon seluler sebagai sarana telekomunikasi untuk mendukung berbagai
keperluan atau aktifitas sehari-hari, baik untuk keperluan bisnis, informasi, pekerjaan,
keluarga ataupun keperluan yang lainya.
Demikian juga semua lapisan masyarakat dari masyarakat kalangan atas sampai
kalangan bawah dari masyarakat di kota besar ataupun dari pelosok-pelosok pedesaan di
seluruh Indonesia dapat mengakses sarana telekomunikasi yang ada. Seiring dengan
berjalannya waktu perusahaan telekomunikasi juga semakin berkembang pesat disertai
dengan kehadiran teknologi operator seluler (provider) yang menyediakan dan
memasarkan produk SIM Card (Subscriber Indentity Module Card) beserta paket data
sebagai penghubung ke dunia internet. Telepon seluler didukung oleh SIM Card yang
dalam operasionalnya meningkatkan kebutuhan pelanggan terhadap telekomunikasi yang
cepat dalam berkomunikasi dan memiliki jangkauan yang luas.
Ada beberapa operator seluler di Indonesia yang menyediakan produk SIM Card,
melihat dari banyaknya pengguna telepon seluler pada saat ini, para operator seluler
tersebut pun mencoba menuai keuntungan dengan berlomba-lomba menawarkan tarif
layanan data dengan berbagai macam strategi. Ada yang berdasarkan volume (kuota), ada
juga yang menawarkan versi tak terbatas (unlimited) hanya saja dengan kecepatan akses
yang terbatas.
Hal tersebut kemudian yang mendorong penyelenggara telekomunikasi menerapkan
pengenaan tarif pungut layanan internet yang berbeda antara satu wilayah dengan wilayah
yang lain atau berdasarkan lokasi. Belakangan ini, lokasi tarif yang diberlakukan operator
pun menuai kontroversi karena disparitas harga yang dikenakan kepada pelanggan cukup
tinggi. Pelanggan yang berada di kawasan timur Indonesia harus menanggung biaya yang
cukup mahal dibandingkan dengan masyarakat yang ada di pulau jawa.
Ditambah lagi strategi pengenaan tarif internet yang diberlakukan operator kerap
membuat masyarakat bingung. Pasalnya paket kuota internet yang ditawarkan oleh
operator, jika masyarakat tidak jeli memperhatikan dapat dipastikan akan mengalami
kekecewaan, pasalnya kuota besar yang ditawarkan hanya berlaku pada jam malam
dimana pada jam tersebut waktunya untuk beristirahat.
Terlepas dari itu semua, tersedianya layanan internet bagi masyarakat ini tentunya
merupakan peran aktif para penyelenggara telekomunikasi dalam membangun
infrastruktur jaringan dan akses telekomunikasi untuk menyelenggarakan layanan
telekomunikasi. Pembangunan infrastruktur jaringan dan akses telekomunikasi yang telah
dan sedang dilakukan oleh para penyelenggara telekomunikasi kepada masyarakat di
seluruh wilayah Indonesia adalah bentuk komitmen bersama antara pemerintah sebagai
pemegang kebijakan sekaligus regulator dan para penyelenggara telekomunikasi.
1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui latar belakang regulasi telekomunikasi?
2. Untuk mengetahui Regulasi Telekomunikasi saat ini ?
3. Untuk mengetahui kesiapan Regulasi dalam perkembangan teknologi ?
4. Untuk Mengetahui kebijakan perizinan penyelenggaraan telekomunikasi saat ini ?
1.3 Permasalahan
1. Bagaimana latar belakang regulasi telekomunikasi?
2. Bagaimana Regulasi Telekomunikasi saat ini ?
3. Bagaimana kesiapan Regulasi dalam perkembangan teknologi ?
4. Bagaimana kebijakan perizinan penyelenggaraan telekomunikasi saat ini ?
BAB II
KAJIAN TEORI/LANDASAN TEORI

Penyelenggaraan telepon bergerak selular (STBS) GSM mulai


beroperasi sekitar pertengahan tahun 1990-an. Izin nasional
diberikan kepada Telkomsel, Satelindo dan Excelkomindo di GSM-
900 MHz.
Pada sekitar tahun 1996 dilakuakan tender (beauty contest) izin
penyelenggaraan DCS/GSM-1800 MHz sebesar 15 MHz FDD(pasangan
kanal downlink dan uplink) untuk sejumlah daerah sesuai
pembagian wilayah KSO (7 wilayah). Dari sejumlah operator yang
menang lisensi tersebut, yang bisa bertahan hanyalah NTS
(Natrindo) di Jawa Timur. NTS kemudian mengakuisisi pemegang
lisensi lainnya di wilayah lain, sehingga menjadi penyelenggara
nasional.
Akhir era 1990-an, ketiga operator GSM utama (Telkomsel, Indosat
dan Excelcomindo) diberi tambahan alokasi frekuensi di GSM-1800
MHz, sehingga seluruh jumlah bandwidth GSM-900/1800 menjadi
sama FDD 15 MHz.
Pada tahun 2004, Pemerintah memberi lisensi UMTS (IMT-2000 core
band) sebesar 2 x 10 MHz FDD dan 5 MHz TDD secara nasional
kepada NTS.
Pada tahun 2005, CAC dibeli oleh Hutchison dan menjadi HCPC
(Huchisson CPC), NTS dibeli oleh Maxis. Pada pertengahan tahun
2005, ketiga operator utama GSM-900/1800 (Indosat, Excelcomindo,
Telkomsel) meminta izin kepada Pemerintah terhadap akses
frekuensi kepada UMTS yang merupakan layanan masa depan untuk
sistem GSM. Permasalahannya adalah bahwa pita frekuensi
tambahan untuk UMTS/IMT-2000 memiliki potensi interferensi
dengan sistem PCS-1900, sehingga diperlukan guard band maupun
pita frekuensi yang terbuang percuma.
Pada bulan Juli 2005, Pemerintah memutuskan untuk melakukan
penataan ulang pita frekuensi selular di pita 1.9 dan 2.1 GHz untuk
menghindari interferensi antara sistem PCS-1900 dan IMT-2000
(UMTS) serta inefisiensi penggunaan frekuensi. Sehingga diputuskan
untuk dilakukan migrasi penyelenggaaan PCS-1900 ke luar pita coreband
IMT-2000 (UMTS).
Pada bulan Februari 2006 dilakukan lelang pita UMTS 5 MHz FDD,
diikuti hampir seluruh operator selular dan FWA. Pada saat
pendaftaran terdapat 7 penyelenggara yang mengikuti yaitu
Telkom, Indosat, Excelcomindo, Telkomsel, Bakrie Telecom,
Sampoerna Telekomunikasi Indonesia / STI (setelah mengakuisisi
Mobisel) dan Kelompok Mobile-8. Kemudian STI dan Mobile-8
mundur, dan seleksi diikuti oleh lima penyelenggara lainnya. Seleksi
dilakukan melalui metoda lelang sampul tertutup dua putaran (2nd
round sealed bid auction), yang merupakan sejarah pertama kali
dilakukan di Indonesia.
Objek seleksi adalah 1 atau 2 blok FDD 5 MHz IMT-2000 core band
dengan wilayah cakupan nasional. Seleksi tersebut akhirnya
dimenangkan oleh PT. Telkomsel, PT. Excelcomindo Pratama dan PT. Indosat
masing-masing 1 blok FDD 5 MHz, dengan harga blok
terendah Rp. 160 Milyar. Harga blok terendah tersebut dijadikan
referensi bagi pengenaan BHP up-front fee dan BHP Pita tahunan.
Kepada peyelenggara selular yang telah mendapatkan izin alokasi
frekuensi selular UMTS di core-band IMT-2000 sebelumnya (NTS dan
HCPC) dikenakan perlakuan yang sama yaitu membayar BHP up
front-fee dan BHP pita tahunan, dengan mendapatkan penundaan
pembayaran BHP up front-fee s/d awal tahun 2008.
Kepada seluruh penyelenggara selular IMT-2000 yaitu HCPC, NTS,
Telkomsel, Excelcomindo, Indosat, sesuai dengan ketentuan,
apabila migrasi PCS-1900 ke pita selular 800 MHz selesai
dilaksanakan, maka akan dialokasikan tambahan 5 MHz FDD tanpa
seleksi lagi, dengan metoda pembayaran BHP pita tahunan sesuai
dengan standar.
Setelah seleksi IMT-2000 tersebut di atas yang dilaksanakan pada
bulan Februari 2006, NTS dan HCPC mengembalikan lagi pita alokasi
5 MHz FDD dan 5 MHz TDD untuk mengurangi beban biaya BHP
frekuensi yang disamakan dengan hasil lelang.
BAB III
PEMBAHASAN

2.4.1 LATAR BELAKANG


Sebelum tahun 2000, Ditjen Postel telah memberikan izin WLL
kepada Telkom untuk sejumlah teknologi antara lain:
WLL DECT dengan alokasi frekuensi 1880-1900 MHz
WLL PHS dengan alokasi frekuens 1895 – 1910 MHz
STLR di pita frekuensi 450 MHz-an dan 350 MHz-an.
Pita frekuensi 350 MHz tersebut juga saat ini diperuntukkan
untuk alternatif wartel jaringan akses radio sebanyak 2 MHz
FDD di pita frekuensi 343,1 – 345,1 MHz berpasangan dengan
357,1 – 359,1 MHz.
Selain itu terdapat beberapa jaringan akses lain yang pernah
diberikan antara lain ”long range cordless” di pita 380 MHz dengan
pasangannya di pita 250 MHz-an.
2.4.2 PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN PENGGUNAAN FREKUENSI
Seluruh ISR untuk sistem tersebut WLL DECT dan PHS tersebut di
atas tidak akan diperpanjang izinnya lagi, karena Pemerintah telah
mengalokasikan frekuensi 1903.75-1910 MHz dan 1983.75-1990 MHz
telah diberikan lisensi untuk penyelenggara selular Primasel.-WIN
(Sinar Mas Telecom) dan Sampoerna Telekomunikasi Indonesia (450-
457.5 dan 460-467.5 MHz)
Untuk Wartel Akses Radio hanya diberi alokasi frekuensi sebagai
berikut (Ref: PM.5/2006 tentang Penyelenggaraan Wartel):
343,1 – 345,1 MHz berpasangan dengan 357,1 – 359,1 MHz
atau;
259 – 260 MHz berpasangan dengan 389 – 390 MHz.
Pita frekuensi 1880 – 1900 MHz, 1910 – 1920 MHz, dan 2010-2025
MHz, akan menjadi dapat digunakan untuk sistem TDD IMT-2000 di
masa yang akan datang, setelah proses migrasi frekuensi PCS-1900
telah selesai dilakukan.
Untuk sistem Fixed Services dan Land Mobile yang masih berada di
pita frekuensi selular CDMA 450 dan sistem microwave link yang
masih berada di pita frekuensi selular CDMA 800 dan 1900 MHz serta
GSM/UMTS 900/1800/2.1 GHz, maka akan diarahkan sebagai
berikut:
Untuk penggunaan microwave link point-to-point pada pita
frekuensi yang dialokasikan untuk penyelenggara selular terutama
di pita 1800 MHz dan 2.1 GHz, maka Ditjen Postel tidak akan
memperpanjang izin lagi paling lambat tahun 2008. Sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, Ditjen Postel telah mengirimkan surat
pemberitahuan rencana penghentiann izin selambat-lambatnya 2
tahun sebelum diberlakukan penghentian izin.
KEBIJAKAN PERIZINAN PENYELENGGARAN TELEKOMUNIKASI SELULAR
Sebelum tahun 2005, seluruh perizinan pemancar penyelenggaran
telekomunikasi selular, menggunakan Izin Stasiun Radio (ISR) yang dikenakan
per BTS per kanal. Hal ini seringkali menyulitkan verifikasi di lapangan, karena
perubahan pengembangan BTS yang bisa dalam hitungan hari, atau perubahan
kanal sangat dinamis berdasarkan trafik, sedangkan perhitungan BHP
Frekuensi ISR dikenakan per tahun.
Sesudah diberlakukannya Peraturan Menteri No.17 tahun 2005 mengenai Tata
Cara Perizinan dan Ketentuan Operasional Penggunaan Spektrum Frekuensi
Radio, maka terdapat alternatif perizinan yaitu Izin Pita Frekuensi Radio dan
Izin Kelas.
Izin Pita Frekuensi Radio diberlakukan bagi penyelenggara yang mendapatkan
alokasi pita frekuensi eksklusif di suatu wilayah layanan yang ditentukan
dalam izin. Pemberian izin pita frekuensi radio dilakukan berdasarkan metoda
seleksi. Sedangkan BHP Frekuensi Pita Frekuensi Radio akan ditentukan
berdasarkan hasil seleksi (lelang).
Bagi penyelenggara selular yang mendapatkan alokasi izin frekuensi sebelum
tahun 2005, maka masih diberlakukan ISR dengan BHP Frekuensi Radio sesuai
ketentuan yang berlaku (PM.19/2005) maksimal sampai dengan tahun 2010.
Pada tahun 2010 diharapkan semua penyelenggara akses wireless eksklusif
seperti sistem selular ini dikenakan BHP pita frekuensi radio. Konversi BHP ISR
menjadi BHP Pita frekuensi radio sedang dikaji Ditjen Postel dan akan
diberlakukan secara bertahap. Sosialisasi konversi BHP ISR menjadi BHP Pita
bagi penyelenggara selular telah dilakukan dengan Ditjen Postel menerbitkan
white paper penerapan biaya hak penggunaan berdasarkan lebar pita (BHP
PITA) pada penyelenggara telekomunikasi seluler dan fixed wireless access (FWA)
pada bulan Oktober 2009. Draf white paper tersebut dapat di unduh
pada website Ditjen Postel, www.postel.go.id pada bagian regulasi Frekuensi.
Dalam hal di kemudian hari diidentifikasi terdapat suatu pita frekuensi yang
dapat diberikan kepada penyelenggara jaringan bergerak selular, seperti
halnya Mobile Broadband Wireless Access dan/atau IMT-Advanced, maka
sesuai ketentuan yang berlaku hak penggunaan izin pita frekuensi secara
eksklusif pada wilayah cakupan tertentu akan didistribusikan melalui
mekanisme seleksi.
Untuk terminal / handset dari sistem penyelenggara telekomunikasi selular
akan dikenakan izin kelas. Selain itu direncanakan untuk jaringan akses dalam
gedung (indoor) diberlakukan izin kelas. Pada saat tulisan ini dibuat,
Rancangan Peraturan Direktur Jenderal mengenai Izin Kelas ini telah
dilakukan konsultasi publik pada pertengahan tahun 2009, dan tahap ini
sedang dalam tahap penyelesaian untuk ditetapkan.
BAB IV
PENUTUP

DAFTAR RUJUKAN
1. _alokasi-frekuensi-edisi-2-januari-2010.pdf
2. https://moondoggiesmusic.com/contoh-paper/
3. https://www.academia.edu/36120108/Regulasi_dan_Kebijakan_Telekomunikasi
4. https://www.kompasiana.com/andrianrizki/551b3244813311e5169de530/makalah-
tentang-regulasi-dan-uu-ite-tahun-2008-untuk-mengatur-citizen-journalism-dan-e-
commerce-yang-berkaitan-dengan-aspek-aspek-kehidupan
5. http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/105495-[_Konten_]-
Konten%20C7024.pdf

Anda mungkin juga menyukai