Anda di halaman 1dari 66

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Perilaku agitasi telah lama dikaitkan dengan penyakit mental di dalam


masyarakat umum. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh stigma dan
kesalahpahaman. Sangat penting dipahami bahwa orang dengan penyakit mental
jauh lebih sering menjadi korban daripada pelaku kekerasan, mempercayai bahwa
mereka berbahaya kadang-kadang digunakan untuk membenarkan penahanan yang
seharusnya tidak perlu dan merupakan pelanggaran hak asasi manusia pada skala
yang sistematis dan secara resmi disetujui namun merupakan cara yang buruk di
dalam masyarakat. Menentang kepercayaan yang populer namun salah ini dan
mempromosikan perawatan dan dukungan berdasarkan pada prinsip "praktik yang
paling tidak mengekang" merupakan komponen penting dalam pengembangan
kualitas pelayanan.1
Agitasi merupakan alasan paling sering untuk rawat inap pasien psikiatri
dewasa. Pasien agitasi psikotik sering menolak pengobatan, perilaku ini biasanya
muncul pada pasien yang kambuh setelah mereka berhenti mengkonsumsi obat-
obatan. Pasien psikotik terkadang menolak perawatan diri seperti mandi dan mereka
sering menolak pengobatan karena rendahnya tilikan tentang penyakit mental
mereka. Masalah-masalah ini mungkin menyebabkan perbedaan pendapat dan
konflik antara pasien dan pengasuh atau lingkungan mereka. Konflik semacam itu
dapat memperburuk masalah perilaku pasien, termasuk agresi.2
Manajemen agitasi sangat beragam dan intervensi farmakologis hanya
mewakili satu bagian dari pendekatan keseluruhan. Dalam beberapa kasus, agitasi
dapat dikelola melalui pendekatan non-farmakologis, seperti intervensi dan de-
eskalasi verbal, namun banyak individu tetap memerlukan pengobatan farmakologis.
Prinsip dasar yang harus diperhatikan adalah bahwa pengasingan dan pengekangan
harus dihindari, karena pendekatan ini dikaitkan dengan banyaknya hasil yang
negatif. Cedera pasien dan staf, baik fisik maupun psikologis sering terjadi selama
pengekangan, yang merupakan konsekuensi negatif selama periode pasien ditahan.
Selanjutnya, penahanan ini dapat merusak hubungan dokter-pasien baik dalam
jangka pendek maupun jangka panjang.3

1
Berbagai studi telah dilakukan dalam menilai perbaikan kondisi pasien agitasi
akut. Studi systematic review dan meta-analysis oleh Dundar dkk pada tahun 2016
di Inggris terhadap 17 randomised controlled trial (n=3841) menggunakan berbagai
jenis obat diantaranya haloperidol, olanzapin, aripriprazole, risperidon dan
lorazepam. Dalam studi ini menunjukkan bahwa mayoritas studi agitasi
menggunakan baseline data skor PANSS-EC ≥14 dengan skor ≥4 pada setidaknya
satu item, dalam kurun waktu 2 jam (30, 60, 90 dan 120 menit) dan rentang usia 18-
65 tahun.4
Studi yang dilakukan oleh Chan dkk pada tahun 2011 di Australia terhadap
2052 peresepan responden tenaga kesehatan menemukan bahwa obat-obatan yang
umum digunakan sebagai monoterapi pada para pasien yang telah diketahui
penyakit mental yang mendasari adalah olanzapin (134/241, 55.6%, 95% CI 49.1-
61.9), haloperidol (56/241, 23.2%, 95% CI 18.2-29.2), midazolam (32/241, 13.3%,
95% CI 9.4-18.4) droperidol 6/241, 2.5%, 95% CI 1.0-5.6) dan diazepam 4/241,
1.7%, 95% CI 0.5-4.5) dan banyak responden yang meresepkan terapi kombinasi
(500/783, 63.9%, 95% CI 60.4-67.2) dimana yang paling umum adalah haloperidol
(238/500, 47.6%, 95% CI 43.2-52.1) dengan kombinasi haloperidol tambah
diazepam 3/12, 0.6%, 95% CI 0.2-1.9.5
Studi yang dilakukan oleh San dkk pada tahun 2016 di Spanyol terhadap 334
episode agitasi dari 7295 layanan darurat psikiatri menunjukkan tingkat prevalensi
4,6% (CI 95%: 4.12-5.08). Terbagi atas 172 [9,4% (95% CI: 8.2-10.9)] di Emergency
Room (ER) dan 162 [2,8% (95% CI: 2.4-3.3)] di Acute Inpatient Unit (AIU). Proporsi
yang tinggi terjadi pada wanita (63,0%), median usia partisipan 41(18-65) tahun.
Kondisi kejiwaan paling umum yang terkait dengan agitasi adalah skizofrenia,
gangguan bipolar dan gangguan kepribadian. Manajemen agitasi termasuk dari
langkah-langkah non-invasif ke yang lebih koersif (mekanis, pengekangan fisik atau
pengasingan) tidak dapat dihindari dalam lebih dari setengah episode agitasi
(59,5%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa agitasi adalah gejala umum dalam
praktek klinis, baik dalam keadaan darurat maupun rawat inap.6
Studi yang dilakukan oleh Bauer dkk pada tahun 2011-2013 di Denmark
terhadap pasien agitasi berdasarkan skala pengukuran The Positive and Negative
Syndrome Scale Excited Component (PANSS-EC) dengan injeksi intra muskular
(IM) obat antipsikotik dan benzodiazepin (aripriprazole 9,75 mg, lorazepam 2-4 mg,
haloperidol 1-10 mg, diazepam 7,5-20 mg dan olanzapin 10 mg) dalam kurun waktu
2
2 (dua) jam menunjukkan hasil yang signifikan dimana mean baseline PANSS-EC
26.53±4.87, mean post injection PANSS-EC 11.55±7.65 dan mean reduction
PANSS-EC 14.99±8.48 dengan nilai p<0.001.7
Studi yang dilakukan oleh Vieta dkk pada tahun 2017 di Spanyol menemukan
protokol yang memberikan panduan tentang pemilihan dan penggunaan
farmakologis yang tepat (inhalasi / oral / IM), pengasingan dan pengekangan fisik
untuk pasien psikiatri yang diduga atau datang dengan agitasi psikomotor. Protokol
ini berlaku dalam sistem perawatan kesehatan di Spanyol. Implementasi algoritma
protokol dan konstituen yang dijelaskan di sini harus memastikan standar perawatan
terbaik pasien yang berisiko agitasi psikomotor. Episode agitasi psikomotor bisa
diidentifikasi sebelumnya dalam perjalanan klinis mereka dan pasien dapat dikelola
dengan cara yang paling tidak invasif dan koersif, memastikan keamanan mereka
sendiri dan orang lain di sekitar mereka.8
Studi yang dilakukan oleh Hatta dkk pada tahun 2018 di Jepang menemukan
bahwa diantara 197 pasien, distribusi injeksi IM (n = 89) adalah sebagai berikut: IM-
olanzapin, 66 pasien (74,2%), IM-levomepromazin, 17 pasien (19,1%), IM-
haloperidol, 5 pasien (5,6%) dan IM-diazepam, 1 pasien (1,1%). Distribusi injeksi
intravena (IV) (n = 108) adalah sebagai berikut: IV-haloperidol, 78 pasien (72,2%)
dan IV-benzodiazepin (diazepam, flunitrazepam atau midazolam), 30 pasien
(27,8%). Studi ini menemukan bahwa olanzapin lebih unggul dari obat lainnya,
kecuali dalam hal durasi sampai pasien kooperatif untuk pengobatan oral adalah
sama.9
Studi yang dilakukan oleh Baldacara dkk pada tahun 2011 di Brazil
menemukan bahwa semua obat (yang diteliti) menghasilkan efek menenangkan
dalam waktu satu jam, tetapi hanya olanzapin dan haloperidol yang dapat
menurunkan agitasi kurang dari 10 poin dan hanya olanzapin yang dapat
menurunkan agresi kurang dari empat poin pada jam pertama. Setelah dua belas
jam, hanya pasien yang diobati haloperidol plus midazolam memiliki tingkat agitasi
dan agresi yang tinggi dan juga lebih banyak efek samping. Ziprasidon, olanzapin
dan haloperidol sendiri memiliki hasil yang lebih stabil untuk kontrol agitasi,
sementara ziprasidon, haloperidol plus promethazin dan olanzapin memiliki hasil
yang stabil untuk kontrol agresi. Kesimpulan: Olanzapin, ziprasidon, haloperidol
ditambah promethazin, haloperidol plus midazolam dan haloperidol efektif dalam
mengendalikan agitasi dan agresi yang disebabkan oleh penyakit mental lebih dari
3
12 jam. Meskipun semua obat memiliki kelebihan dan kekurangan, haloperidol plus
midazolam dikaitkan dengan hasil terburuk dalam semua parameter yang diamati.10
Studi yang dilakukan oleh Sim dkk pada tahun 2015 di Inggris terhadap dua
puluh enam studi menemukan bahwa tujuh studi jangka pendek membandingkan
benzodiazepin dengan plasebo, superioritas benzodiazepin ditemukan dalam dua
dari lima penelitian untuk perbaikan global dan dua dari empat untuk penelitian
psikiatri / perilaku. Sebelas penelitian membandingkan benzodiazepin dengan First
Generation Antipsychotic (FGA): empat dari sembilan penelitian (termasuk dua studi
jangka panjang) melaporkan peningkatan global yang lebih besar untuk antipsikotik,
empat dari lima penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan pengobatan untuk
psikiatri / perilaku. Empat belas studi membandingkan benzodiazepin (sebagai
tambahan antipsikotik) vs antipsikotik saja (kebanyakan FGA), superioritas
benzodiazepin ditemukan untuk perbaikan global dalam satu dari delapan studi dan
inferioritas dalam dua dari delapan studi jangka pendek sedangkan superioritas
ditemukan untuk hasil psikiatri / perilaku dalam tiga dari 12 studi jangka pendek dan
inferioritas dalam tiga dari 12 studi. Studi ini menyimpulkan bahwa superioritas
benzodiazepin dibandingkan plasebo ditemukan untuk hasil global, psikiatri dan
perilaku, tetapi lebih rendah daripada antipsikotik pada hasil global jangka panjang.
Ada bukti yang bertentangan mengenai penambahan benzodiazepin pada
antipsikotik, dengan demikian penggunaan benzodiazepin dalam praktik klinis dan
uji antipsikotik harus dibatasi.11
Studi yang dilakukan oleh Klein dkk pada tahun 2018 di Amerika menemukan
bahwa 737 pasien terdaftar (usia rata-rata 40 tahun; 72% laki-laki). Pada 15 menit,
midazolam menghasilkan proporsi sedasi yang adekuat (Altered Mental Status Scale
<1) dibandingkan dengan ziprasidon (difference 18%; confidence interval 95% [CI]
6% to 29%), haloperidol 5 mg (difference 30) %; 95% CI 19% to 41%), haloperidol
10 mg (difference 28%; 95% CI 17% to 39%), dan olanzapin (difference 9%; 95% CI
-1% to 20%). Olanzapin menghasilkan proporsi sedasi yang adekuat pada 15 menit
dibandingkan dengan haloperidol 5 mg (difference 20%; 95% CI 10% to 31%),
haloperidol 10 mg (difference 18%; 95% CI 7% to 29%) , dan ziprasidon (difference
8%; 95% CI -3% to 19%). Kejadian buruk jarang terjadi: serangan jantung (0), efek
samping ekstrapiramidal (2; 0,3%), hipotensi (5; 0,5%), hipoksemia (10; 1%), dan
intubasi (4; 0,5%), pada setiap grup.12

4
Diazepam adalah obat esensial golongan benzodiazepin yang tercantum
dalam WHO Essential List of Medicines Edisi 19, Daftar Obat Esensial Nasional
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia serta Formularium Nasional Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia, ketersediaannya harus terpenuhi di fasilitas
pelayanan kesehatan dasar dan rujukan. Akses mendapatkan kesehatan termasuk
mendapatkan obat esensial merupakan hak asasi manusia, sehingga menjadi
kewajiban pemerintah untuk menjamin ketersediaannya di fasiltas pelayanan
kesehatan. Tidak semua obat golongan benzodizepin termasuk dalam obat esensial.
Terdapat tiga senyawa benzodiazepin yang termasuk esensial yaitu diazepam,
lorazepam dan midazolam. Menurut Formularium Nasional, diazepam dan
midazolam harus tersedia difasilitas pelayanan kesehatan tingkat primer dan
rujukan, sedangkan ketersediaan lorazepam hanya untuk fasilitas kesehatan
rujukan. Dengan demikian ketersediaan diazepam harus lebih banyak karena
digunakan di semua fasilitas kesehatan.13
Disebabkan tidak adanya ketersediaan IM lorazepam di Indonesia dan
tingginya biaya obat injeksi antipsikotik generasi kedua (misal. Olanzapin) maka
peneliti tertarik untuk melakukan studi perbedaan skor PANSS-EC pasien agitasi
psikotik yang mendapatkan injeksi haloperidol dengan penambahan injeksi
diazepam dan yang hanya mendapatkan injeksi haloperidol di RSJ Prof. Dr. M.
Ildrem provinsi Sumatera Utara.

1.2 Rumusan masalah


Berdasarkan uraian dalam latar belakang tersebut di atas, peneliti ingin
mengetahui apakah terdapat perbedaan skor PANSS-EC pasien agitasi psikotik
yang mendapatkan injeksi haloperidol dengan penambahan injeksi diazepam dan
yang hanya mendapatkan injeksi haloperidol di RSJ Prof. Dr. M. Ildrem provinsi
Sumatera Utara?

1.3 Hipotesis penelitian


Terdapat perbedaan skor PANSS-EC pasien agitasi psikotik yang
mendapatkan injeksi haloperidol dengan penambahan injeksi diazepam dan yang
hanya mendapatkan injeksi haloperidol di RSJ Prof. Dr. M. Ildrem provinsi Sumatera
Utara.

5
1.2 Tujuan penelitian
1.2.1 Tujuan umum
Untuk mengetahui perbedaan skor PANSS-EC pasien agitasi psikotik yang
mendapatkan injeksi haloperidol dengan penambahan injeksi diazepam dan yang
hanya mendapatkan injeksi haloperidol di RSJ Prof. Dr. M. Ildrem provinsi Sumatera
Utara

1.2.2 Tujuan khusus


1. Untuk mengetahui karakteristik demografik pasien agitasi psikotik yang
mendapatkan injeksi haloperidol dengan penambahan injeksi diazepam dan
yang hanya mendapatkan injeksi haloperidol di RSJ Prof. Dr. M. Ildrem
provinsi Sumatera Utara
2. Untuk mengetahui skor PANSS-EC pasien agitasi psikotik yang mendapatkan
injeksi haloperidol dengan penambahan injeksi diazepam di RSJ Prof. Dr. M.
Ildrem provinsi Sumatera Utara
3. Untuk mengetahui skor PANSS-EC pasien agitasi psikotik pada pemberian
injeksi haloperidol di RSJ Prof. Dr. M. Ildrem provinsi Sumatera Utara
4. Untuk mengetahui perbedaan skor PANSS-EC pasien agitasi psikotik antara
yang mendapatkan injeksi haloperidol dengan penambahan injeksi diazepam
dan yang hanya mendapatkan injeksi haloperidol di RSJ Prof. Dr. M. Ildrem
provinsi Sumatera Utara

1.2 Manfaat Penelitian


1.2.1 Bidang pendidikan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmiah dan
informasi tentang perbedaan skor PANSS-EC pasien agitasi psikotik yang
mendapatkan injeksi haloperidol dengan penambahan injeksi diazepam dan yang
hanya mendapatkan injeksi haloperidol

1.2.2 Bidang penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan pada penelitian-penelitian
lanjutan yang sejenis.

6
1.2.3 Bidang pelayanan kesehatan
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi dasar pertimbangan dalam
memberikan terapi alternatif pada pusat pelayanan unit gawat darurat psikiatri
sehingga pasien bisa mendapatkan pelayanan yang komprehensif.

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Agitasi psikotik


Agitasi adalah serangkaian sindrom dan perilaku yang umum pada pasien
dengan gangguan kejiwaan utama, seperti skizofrenia, gangguan skizoafektif dan
fase manik gangguan bipolar. Ada beberapa tingkatan agitasi dari ringan sampai
berat/parah, dengan fluktuasi cepat, yang selanjutnya dapat meningkat menjadi
perilaku agresif dalam waktu yang relatif singkat. Episode agitasi akut biasanya
memerlukan kunjungan ke bagian darurat psikiatri, masuk ke bangsal rawat inap dan
melanjutkan rawat inap psikiatri. Agitasi mungkin disebabkan oleh proses alami yang
mendasari penyakitnya atau karena ketidakpatuhan dengan pengobatan. Namun,
ada faktor lain yang berkontribusi terhadap perilaku gelisah pada pasien dengan
gangguan psikotik yang mendasarinya yang dapat hadir atau tidak pada setiap
episode agitasi akut. Kondisi lain, seperti gangguan penggunaan zat atau penyebab
iatrogenik.6
Psikotik didefinisikan sebagai suatu keadaan abnormal pada satu atau lebih
dari lima (5) domain : delusi, halusinasi, pikiran yang tidak terorganisir (ucapan),
perilaku motorik yang tidak terorganisir atau abnormal (termasuk katatonia) dan
gejala negatif serta merupakan alasan umum pasien datang ke ruang gawat darurat
psikiatri.14,15
Agitasi dapat terjadi pada semua diagnostik baik medis maupun psikiatri.
Agitasi yang tidak diobati dapat meningkat menjadi kekerasan. Mengelola agitasi
dalam situasi darurat dipersulit oleh kebutuhan membuat keputusan klinis
berdasarkan riwayat dan pemeriksaan medis maupun psikiatri yang relatif tidak
lengkap. Agitasi hebat merupakan situasi yang mustahil untuk mendapatkan riwayat
medis awal, menyelesaikan pemeriksaan medis atau mengumpulkan skrining
laboratorium.16
Agitasi merupakan masalah umum dengan penatalaksanaan klinis yang
penting pada gangguan psikotik dan gangguan mood seperti skizofrenia, gangguan
skizoafektif dan gangguan afektif bipolar khususnya di fase akhir manik. Agitasi
adalah istilah yang tidak didefinisikan secara umum, digunakan untuk
menggambarkan aktivitas verbal atau motorik yang berlebihan dengan berbagai
gejala yang bervariasi dalam intensitas dari ringan sampai berat. Ciri fitur agitasi
8
termasuk kegelisahan motorik, lekas marah, aktivitas psikomotor yang tidak tepat
atau tanpa tujuan dan tingginya respon terhadap suatu rangsangan/stimuli. Agitasi
merupakan stres fisik dan emosi, pasien agitasi berat beresiko menyakiti diri sendiri
dan orang lain. Intensitas agitasi dapat dengan cepat meningkat dari ringan ke berat.
Agitasi, bahkan ketika memberat, tidak selalu berarti agresi, namun agresi sering
didahului oleh agitasi.4
Perawatan di unit gawat darurat psikiatri biasanya berfokus pada manajemen
perilaku dan gejala. Pasien sering memiliki beberapa masalah klinis yang
membingungkan. Hal ini termasuk psikotik, depresi, intoksikasi atau withdrawal zat,
tekanan psikososial yang ekstrim dan karakter patologi yang tumpang tindih.
Mengingat kerumitan pasien yang datang untuk perawatan, membuat diagnosis
pasti mungkin sulit karena terbatasnya waktu yang tersedia untuk dokter. Memulai
diagnosis spesifik untuk pengobatan mungkin menjadi problem kecuali
kesinambungan perawatan bisa terkoordinasi dan meyakinkan.16

2.2 Haloperidol
First Generation Antipsychotic (FGA) mewakili kelompok agen pertama yang
efektif untuk skizofrenia dan penyakit psikotik lainnya. Terdiri dari antipsikotik dalam
kelompok berikut: phenothiazine, butyrophenone, thioxanthene, dibenzoxazepine,
dihydroindole dan diphenylbutylpiperidine. Haloperidol merupakan turunan
butyrophenone yang merupakan suatu antagonis reseptor dopamin. Haloperidol
diperkenalkan pertama kali pada tahun 1958 oleh Paul Janssen dari Janssen
Pharmaceutica, belgia.17

2.2.1 Struktur
Kelas obat antipsikotik ini ditandai oleh substitusi cincin phenyl, yang
dilekatkan pada perlekatan gugus karbonil oleh rantai 3-karbon pada gugus amin
tertier. Sebagian besar butirophenon yang bermanfaat secara klinis memiliki cincin
piperidin yang melekat pada gugus amin tertier. Haloperidol adalah obat yang
representatif untuk kelas ini. Haloperidol dan butirophenon lainnya cenderung
antagonis D2 yang kuat dan memiliki efek antikolinergik dan otonom yang minimal
serta kurang sedasi dibandingkan dengan fenotiazin. Haloperidol, suatu piperidin
substitusi, adalah yang paling umum digunakan (dan tertua) dari kelas ini.

9
Butirophenon penting lainnya termasuk droperidol, senyawa penenang yang
bertindak singkat (short-acting) biasa digunakan untuk mengendalikan agitasi.17

2.2.2 Farmakokinetik
Selama fase absorbsi, konsentrasi plasma haloperidol meningkat lebih cepat
dan kemudian menurun selama fase distribusi, metabolik dan eliminasi. Haloperidol
diabsorbsi dengan baik apabila diberikan secara oral maupun parenteral. Sama
seperti kebanyakan obat, pemberian parenteral tentunya lebih dapat
memprediksiproses absorbsi obat dibandingkan pemberian per oral. Konsentrasi
plasma haloperidol mencapai puncaknya dalam 1-4 jam setelah obat dimakan atau
30-60 menit setelah penyuntikan intramuskular. Secara umum sediaan intramuskular
mencapai kadar puncaknya lebih cepat dari sediaan oral, sehingga awitan kerja obat
lebih cepat. Beberapa faktor dapat mengganggu proses absorbsi di saluran cerna
diantaranya antasida, kopi, merokok dan makanan berlemak. Obat biasanya
mencapai steady state sekitar 3-5 kali waktu paruh, sehingga steady state
chlorpromazin, haloperidol dan FGA lainnya sekitar 3-5 hari karena waktu paruhnya
sekitar 24 jam. Bioavailabilitas (jumlah obat mencapai sirkulasi sistemik) lebih besar
sampai 10 kali lipat apabila diberikan secara parenteral dikarenakan pemberian oral
akan mengurangi bioavailabilitas akibat absorbsi inkomplit dan metabolisme sewaktu
melewati hati.17
Haloperidol terutama dimetabolisme di hati dan terjadi melalui konjugasi
dengan asam glukoronat, hidroksilasi, oksidasi, demetilasi dan pembentukan
sulfoksida. Haloperidol hannya memiliki satu metabolit utama yaitu reduced-
haloperidol yang aksi dopaminergiknya kurang dibandingkan komponen utama.
Akan tetapi reduced-haloperidol ini diubah kembali menjadi komponen induk dan
peristiwa ini dapat berkontribusi pada aktifitas antipsikotiknya. 17

2.2.3 Farmakodinamik
Farmakodinamik haloperidol menggambarkan aktifitasnya pada area penting
khususnya reseptor di otak. Bukti-bukti ilmiah tersaji tentang bagaimana efek dari
haloperidol pada sejumlah area reseptor yang berbeda, bagaimana efek-efek ini
mempengaruhi sekelompok neuron dan bagaimana aktivitas pada suatu reseptor
diterjemahkan menjadi suatu aksi intraseluler.17

10
Neuron dopamin dengan badan sel di area tegmental ventral berproyeksi
melalui sistem dopamin meso-limbo-kortikal ke nukleus akumbens, amygdala dan
neokorteks. Sel dopamin di substansia nigra berproyeksi ke putamen kaudatus
melaui sistem nigrostriatal. Telah diusulkan bahwa aktivitas pada sistem meso-
limbo-kortikal ini yang menerangkan aktivitas antipsikotik obat dan efek samping
neurologik seperti efek samping ekstrapiramidal dan tardive diskinesia disebabkan
oleh aktivitas di sistem nigrostriatal.17

2.2.4 Efek samping


Efek samping haloperidol atau antipsikotik generasi pertama diakibatkan oleh
blokade reseptor dopamin di striatum dan inaktivasi neuron dopamin di substansia
nigra. Hal ini menyebabkan sindrom ekstrapiramidal termasuk parkinsonisme,
distonia dan akatisia. Efek pada sistem motorik yang diakibatkan oleh antipsikotik
berbeda dikarenakan onsetnya yang cepat dan toleransi terhadap efek samping ini
cenderung timbul. Obat antipsikotik generasi pertama juga mempengaruhi sekresi
hormon dari pituitari terutama diakibatkan oleh blokade reseptor dopamin di
hipotalamus atau pada pituitari itu sendiri. Hormon yang dipengaruhi terutama
prolaktik, sehingga konsentrasi prolaktin meningkat. Peningkatan konsentrasi
hormon ini kadang menyebabkan ginekomastia, galaktorea dan pada laki-laki dapat
terjadi disfungsi ereksi. Hormon lain yang dipengaruhi adalah Luteinizing Hormone
LH) dan Follicle-Stimulating Hormone (FSH).17
Efek samping paling serius dari antagonis reseptor dopamin adalah efek
samping neurologis dan sebagian besar terbatas pada sistem motor ekstrapiramidal.
Agen antikolinergik adalah pengobatan EPS yang paling efektif. Untuk distonia akut,
IM/IV diphenhydramine (50 mg, 25 mg pada anak-anak) atau IM/IV benztropine (0,5-
2 mg IM/IV) atau antikolinergik lainnya dapat meringankan ketidaknyamanan dan
efek samping yang menakutkan dalam beberapa menit setelah obat memasuki
aliran darah. Efek klinis dosis IM dapat muncul segera setelah 15 menit injeksi.17
Pasien menunjukkan perbedaan nyata dalam dosis dopamin antagonis
reseptor yang optimal. Sebagai contoh, beberapa pasien akan menemukan kesulitan
untuk mentolerir efek samping dari 1 mg haloperidol, sedangkan yang lain akan
menoleransi 50 mg tanpa menderita efek samping. Menemukan dosis yang terbaik
untuk antagonis reseptor dopamin sangat penting namun sulit.17

11
2.3 Diazepam
Penggunaan diazepam secara intramuskular telah sedikit dieksplorasi dalam
penelitian klinis, ini mungkin terkait dengan kesulitan farmakokinetik terkait dengan
injeksi IM glutealnya. Meskipun absorbsi obat-obatan tertentu melalui injeksi IM
dapat menjadi tidak menentu yang menyebabkan respon klinis tidak dapat
diprediksi, otot lebih vaskular daripada jaringan subkutan, dengan absorbsi lebih
cepat setelah pemberian melaui deltoid dan lebih lambat dengan injeksi gluteal.
Dalam dua uji coba di mana IM menggunakan diazepam, sama efektifnya dengan
lorazepam untuk kecemasan dan sebagai sedasi sebelum terapi elektrokonvulsif
pada pasien psikotik kronis.18
Benzodiazepin pertama yang diperkenalkan adalah chlordiazepoxid yang
disintesis pada tahun 1959 di Roche Laboratories. Pada tahun 1963, diazepam
dikembangkan di laboratorium yang sama.19

2.3.1 Penyerapan.
Semua benzodiazepin kecuali clorazepate sepenuhnya diserap setelah
pemberian oral dan mencapai tingkat serum puncak dalam 30 menit hingga 2 jam.
Penyerapan intramuskular (IM) benzodiazepin selain lorazepam lebih lambat dari
penyerapan oral. Permulaan kerja yang cepat adalah dengan pemberian IV
benzodiazepin potensi tinggi seperti midazolam.19

2.3.2 Distribusi
Semua benzodiazepin larut dalam lemak, tetapi derajat kelarutan lemaknya
bervariasi antar obat. Benzodiazepin dan metabolit aktifnya mengikat protein
plasma, tingkat pengikatan sebanding dengan kelarutan lemaknya. Jumlah
pengikatan protein bervariasi dari 70 - 99 persen. Distribusi, onset dan terminasi
setelah dosis tunggal ditentukan oleh kelarutan lemak benzodiazepin. Suatu bahan
dengan kelarutan lipid tinggi, seperti diazepam dan alprazolam, diserap dengan
cepat dari saluran GastrointestinaI dan didistribusikan dengan cepat ke otak dengan
difusi pasif, menghasilkan onset aksi yang cepat. Namun, konsentrasi obat yang
meningkat di otak dan menurun di aliran darah, gradien konsentrasi akan berbalik,
obat-obatan ini akan meninggalkan otak dengan cepat, menghasilkan efek
penghentian obat dengan cepat.19

12
Diazepam yang memiliki eliminasi waktu paruh lebih lama, tetap dalam aliran
darah untuk periode waktu yang jauh lebih lama daripada tindakan farmakologis
yang sebenarnya di reseptor benzodiazepin dengan tunggal atau terbagi karena
konsentrasi di otak turun dengan cepat di bawah level yang diperlukan untuk efek
yang nyata. Sebaliknya, lorazepam yang memiliki eliminasi waktu paruh yang lebih
pendek dari diazepam tetapi kurang kelarutan lipidnya, memiliki onset kerja yang
lebih lambat setelah dosis tunggal, karena obat ini terserap dan memasuki otak lebih
lambat. Namun, durasi aksi setelah dosis tunggal lebih lama karena lorazepam perlu
waktu lebih lama untuk meninggalkan otak dan level otak untuk jatuh di bawah
konsentrasi yang menghasilkan sebuah efek. Dalam dosis kronis, beberapa
perbedaan ini tidak begitu jelas karena level otak berada dalam kesetimbangan
dengan steady-state kadar darah lebih konsisten, tetapi dosis tambahan masih
menghasilkan percepatan namun lebih singkat dengan diazepam daripada dengan
lorazepam. Benzodiazepin didistribusikan secara luas di jaringan adiposa. Hasilnya,
beberapa obat ini dapat bertahan dalam tubuh setelah penghentian lebih lama dari
perkiraaan eliminasi waktu paruhnya. Selain itu, waktu paruh dinamis (mis. durasi
aksi pada reseptor) mungkin lebih lama dari waktu paruh eliminasi.19

2.3.3 Metabolisme.
Beberapa benzodiazepin (mis. Oxazepam) terkonjugasi langsung oleh
glukuronidasi ke bentuk yang larut dalam air dan diekskresikan. Kebanyakan
benzodiazepin dioksidasi terlebih dahulu oleh sitokrom P450 (CYP) 3A4 dan CYP
2C19, sering menjadi metabolit aktif. Metabolit ini kemudian dapat dihidroksilasi
menjadi metabolit aktif lainnya. Diazepam dioksidasi menjadi desmethyldiazepam,
yang pada gilirannya terhidroksilasi untuk menghasilkan oxazepam. Produk-produk
ini mengalami glukuronidasi menjadi metabolit tidak aktif. Diazepam memiliki waktu
paruh eliminasi lebih dari 120 jam. Karena frekuwensi pemberian obat lebih tinggi
daripada eliminasi waktu paruh, obat seperti diazepam dan flurazepam terakumulasi
dengan dosis harian sehingga menyebabkan sedasi sepanjang hari.19

2.3.4 `Mekanisme aksi.


Afinitas diazepam yang aktif secara klinis untuk reseptor benzodiazepin
menimbulkan pertanyaan apakah ada agonis alami untuk reseptor ini. Agonis
endogen (endozepin) telah diidentifikasi, tetapi mamalia tidak dapat mensintesisnya

13
dan mereka mungkin mendapatkannya dari tanaman. Sebaliknya, gen telah
diidentifikasi untuk agonis inversi endogen mamalia yang disebut diazepam-binding
inhibitor (DBI). DBI dapat berfungsi untuk meningkatkan regulasi di Susunan Syaraf
Pusat (SSP) dengan menurunkan ambang batas depolarisasi dalam sistem
arousal/gairah. Level DBI meningkat pada epilepsi refrakter, menunjukkan bahwa ini
bisa menjadi mekanisme aktivasi neuron yang tidak terkontrol. Kortisol,
meningkatkan aktivitas DBI selama persalinan spontan (sebaliknya bila operasi
caesar dengan anestesi), menunjukkan bahwa ini mungkin merupakan mekanisme
arousal/gairah pada segala jenis stres. Salah satu penyebab kecemasan kronis
mungkin karena berlebihan aktivitas DBI, yang antagonis ketika benzodiazepin
bersaing untuk menghuni reseptor benzodiazepin dan memiliki hiperpolarisasi
daripada efek depolarisasi sepanjang efek yang berlawanan pada reseptor GABA,
dan karenanya, pada masuknya ion klorida. Namun, bahkan jika kecemasan
disebabkan oleh rangsangan berlebihan sistem gairah primer atau sekunder untuk
beberapa pengaruh lain, seperti respon sesak napas hiperaktif, yang telah
ditunjukkan pada gangguan panik, benzodiazepin dapat mengurangi kecemasan
dengan meningkatkan hiperpolarisasi sistem yang mendasari kecemasan dan
gairah.19
Aksi sama yang menghasilkan aksi terapeutik benzodiazepin pada reseptor
benzodiazepine-1 menyebabkan efek samping ketika terlalu berat dan ketika
benzodiazepin bekerja pada reseptor lain.. Misalnya, aksi benzodiazepin pada
reseptor benzodiazepin di korteks dapat menyebabkan gangguan kognitif dan
psikomotorik. Aksi pada reseptor benzodiazepin piramidal memiliki efek
antikonvulsan dan juga dapat menyebabkan relaksasi dan inkoordinasi otot. Hipnotik
benzodiazepin bekerja pada reseptor di sistem aktifasi retikuler, tetapi jika
penekanan sistem ini berkepanjangan, menghasilkan sedasi sepanjang hari.
Penekanan sistem aktifasi retikuler dapat menyebabkan delirium pada pasien
demensia dan memperburuk delirium yang sudah ada. Namun, benzodiazepin tidak
menghasilkan kadar depresi SSP yang sama seperti halnya barbiturat.19
Aksi utama benzodiazepin adalah pada SSP, dimana mereka memiliki efek
antikonvulsan dan ansiolitik dan menghasilkan relaksasi otot dan depresi SSP.
Depolarisasi neuron yang berkurang di batang otak dapat menyebabkan depresi
pernapasan, terutama pada dosis tinggi. Diazepam meningkatkan aliran darah
koroner dan memiliki efek inotropik negatif.19
14
2.4 Kombinasi antipsikotik dan benzodiazepin
Kombinasi antipsikotik dan benzodiazepin melibatkan berbagai mekanisme
aksi dengan harapan saling beraugmentasi sembari menghindari komplikasi dari
tingginya dosis antipsikotik. Efek amnesik benzodiazepin juga bermanfaat ketika
pasien berada dalam tekanan peristiwa menyedihkan seperti rutinitas pengobatan,
pengekangan dan pengasingan. Kombinasi favorit secara oral adalah haloperidol
(dengan procyclidin) dan diazepam, sedangkan secara intramuskular (IM) adalah
haloperidol (dengan procyclidin) dan lorazepam.20
Studi oleh Cannon dkk pada tanun 2001 terhadap 116 Unit Gawat Darurat
(UGD) di Australia menunjukkan bahwa terapi yang sering diberikan adalah
haloperidol (93%), midazolam (82%) dan diazepam (59%), dan setidaknya
penggunaan satu benzodiazepin dan satu tranquillizer pada 97% Unit Gawat Darurat
(UGD).21
Studi yang dilakukan oleh Pilowsky dkk di London pada tahun 1992
menemukan bahwa dalam hal penggunaan rute intravena (selama 60 menit), onset
tranquillisation lebih cepat dengan kombinasi diazepam dan haloperidol
dibandingkan dengan diazepam sendiri, maupun dengan haloperidol sendiri
(p<0.03). Selain itu efek samping yang serius juga jarang ditemukan.22

2.5 Positive and Negative Syndrome Scale-Excited Component (PANSS-EC)


Positive and Negative Syndrome Scale-Excited Component (PANSS-EC)
umumnya digunakan dalam studi pasien dengan agitasi. Namun demikian PANSS-
EC mengonfigurasikan agitasi dengan agresi karena itu terdiri dari lima item PANSS
berikut: Kegembiraan (excitement), Permusuhan (hostility), Ketegangan (tension),
tidak kooperatif (uncooperativeness) dan kontrol impuls buruk (poor impulse control).
PANSS-EC pertama kali diidentifikasi sebagai komponen PANSS oleh analisis
komponen utama skor PANSS dari 240 pasien rawat inap skizofrenia. PANSS-EC
telah divalidasi skala lain dan analisis faktor menegaskan struktur unifaktorialnya.
Analisis faktor dari beberapa studi skizofrenia dan pasien mania telah menghasilkan
PANSS-EC dengan empat item (kegembiraan, kontrol impuls buruk, permusuhan,
dan tidak kooperatif) dan PANSS-EC dengan tiga item (ketegangan, kegembiraan,
dan permusuhan) juga telah banyak digunakan.2
PANSS-EC menunjukkan korelasi linier yang kuat dengan skala penilaian
seperti Clinical Global Impression of Severity (CGI-S) dan Agitation and Calmness

15
Evaluation Scale (ACES). PANSS-EC juga menunjukkan kapasitas luar biasa untuk
mendeteksi perubahan nyata pada pasien yang gelisah. Lima komponen PANSS-EC
memiliki derajat tingkat keparahan dari 1 (tidak ada) sampai 7 (sangat berat),
sehingga jumlah skor berkisar 5-35 dengan mean skores ≥20 secara klinis disebut
agitasi sangat berat.23
Studi systematic review dan meta-analysis oleh Dundar dkk pada tahun 2016
di Inggris menunjukkan mayoritas studi agitasi dengan baseline data skor PANSS-
EC ≥14 dengan skor ≥4 pada setidaknya satu item.3

2.6 Penatalaksanaan agitasi psikosis


Perawatan di unit gawat darurat psikiatri biasanya berfokus pada manajemen
perilaku dan gejala. Pasien sering memiliki beberapa masalah klinis yang
membingungkan. Hal ini termasuk psikosis, depresi, intoksikasi atau withdrawal zat,
tekanan psikososial yang ekstrim dan karakter patologi yang tumpang tindih.
Mengingat kerumitan pasien yang datang untuk perawatan, membuat diagnosis
pasti mungkin sulit karena terbatasnya waktu yang tersedia untuk dokter. Memulai
diagnosis spesifik untuk pengobatan mungkin menjadi problem kecuali
kesinambungan perawatan bisa terkoordinasi dan meyakinkan.16
Dalam unit gawat darurat psikiatri, prioritas utama adalah memberikan
pengobatan farmakologis kepada pasien agitasi untuk mengurangi insiden cedera
pasien dan staf serta mengurangi ketidaknyamanan psikologis pasien. Manajemen
agitasi dan agresi adalah kompleks karena gejala nonspesifik ini dapat terjadi pada
berbagai macam kondisi klinis, termasuk delirium, demensia, intoksikasi dan
withdrawal alkohol/zat, gangguan kepribadian dan psikosis sekunder akibat penyakit
psikotik primer. Kadang-kadang, pasien sangat gelisah sehingga mereka tidak dapat
bekerja sama dalam evaluasi psikiatri atau medis dan tidak mampu memberikan
informasi yang relevan. Strategi pengobatan yang paling sering digunakan terdiri
dari benzodiazepin, obat antipsikotik generasi kedua saja atau kombinasi dengan
benzodiazepin, dan haloperidol saja atau kombinasi dengan benzodiazepin.
Benzodiazepin yang paling umum digunakan adalah lorazepam. 16
Studi tentang pengobatan farmakologis agitasi di unit gawat darurat psikiatri
sangat menantang. Algoritma pengobatan untuk manajemen agitasi akut atau agresi
berdasarkan literatur yang ada adalah sebagai berikut:16

16
► Oral risperidon (2 mg) dikombinasikan dengan oral lorazepam (2 mg) atau
olanzapin oral (5-10 mg) adalah intervensi lini pertama untuk agitasi.
► Ketika pengobatan oral tidak adekuat karena tingkat keparahan agitasi, maka
intramuskular (IM) lorazepam (2 mg) direkomendasikan untuk delirium, penarikan
zat dan penyebab atau kondisi yang tidak diketahui dan tidak terkait dengan
psikosis.
► Untuk agitasi parah akibat psikosis, IM ziprasidon (20 mg) yang dapat ditambah
dengan IM lorazepam (2 mg) adalah lini pertama untuk membatasi potensi efek
samping.
► Rekomendasi lini kedua untuk agitasi parah akibat psikosis adalah IM haloperidol
(5 mg) dan IM lorazepam (2 mg) atau IM olanzapin (5-10 mg). Lorazepam tidak
boleh digunakan dalam kombinasi dengan olanzapin karena risiko depresi
kardiorespirasi. Obat dapat diberikan setiap jam, hingga tiga atau empat dosis setiap
24 jam, meskipun sebagian besar pasien akan merespon satu dosis obat. Efek
samping yang paling umum dengan obat antipsikotik adalah reaksi dystonia yang
dapat diobati secara efektif dengan IM benztropin (2 mg). Akathisia dapat
berkembang dalam penggunaan agen yang sangat kuat dan seharusnya dipantau.
Manajemennya dengan PO beta-blocker seperti propranolol dan manajemen pasien
dapat dioptimalkan dengan penggunaan bersamaan benzodiazepin. Efek samping
paling umum dari benzodiazepin adalah sedasi dan ataksia.
Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa aplikasi deltoid menjadikan
absorbsi diazepam lebih dapat diandalkan. Dalam satu studi randomize, cross-over,
absorbsi setelah aplikasi deltoid injeksi diazepam cepat dan komplit. Dalam
percobaan lain pada subyek sehat, absorbsi lebih cepat, memiliki efek klinis yang
lebih besar setelah aplikasi deltoid daripada aplikasi gluteal. Dengan adanya data
farmakokinetik tersebut, poin yang dapat dibuat adalah bahwa aplikasi diazepam
pada deltoid terhadap penambahan pada haloperidol dapat diuji secara klinis.
Diantara benzodiazepin yang tersedia, diazepam sudah jelas lebih menguntungkan
dibandingkan midazolam, karena 15 kali lebih murah dan tersedia secara luas untuk
perawatan kejang dalam layanan darurat.18

17
2.6 Kerangka Teori

-Ketidakpatuhan
konsumsi obat
-Perjalanan penyakit
yang mendasari

Agitasi
Faktor individu :
-Usia
-Jenis kelamin
-Pendidikan
-Pekerjaan
-Status pernikahan
Gambar 2.1 Kerangka teori

2.7 Kerangka Konsep

Variabel bebas Variabel tergantung

Kelompok 1
Pasien dengan
injeksi haloperidol +
diazepam

Skor PANSS-EC

Kelompok 2
Pasien dengan
injeksi haloperidol

Gambar 2.2 Kerangka konsep

18
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian


Penelitian ini merupakan studi eksperimental pre test dan post test dengan
desain penelitian analitik komparatif numerik tidak berpasangan dua kelompok lebih
dari satu kali pengukuran. Kelompok 1 adalah pasien yang mendapatkan injeksi
haloperidol 5 mg dengan penambahan diazepam 10 mg dan kelompok 2 adalah
pasien yang mendapatkan injeksi haloperidol 5 mg saja. Pengukuran skor PANSS
dilakukan secara berurutan pada menit 0, 30 dan 60 menit.

3.2. Tempat dan Waktu


- Tempat penelitian : Instalasi gawat darurat RSJ Prof. Dr. M. Ildrem Provinsi
Sumatera Utara.
- Waktu Penelitian : Juni 2019 – September 2019

3.3. Populasi dan sampel penelitian


Populasi target penelitian ini adalah pasien-pasien dengan agitasi psikosis,
sedangkan populasi terjangkau adalah pasien-pasien yang datang berobat ke
instalasi gawat darurat RSJ Prof. Dr. M. Ildrem Provinsi Sumatera Utara periode
Juni 2019 – September 2019. Sampel penelitian didapatkan dengan cara non-
probability sampling tipe consecutive sampling

3.4. Kriteria inklusi dan eksklusi


Kriteria Inklusi :
1. Individu dengan agitasi psikotik (Skor PANSS-EC ≥14 dengan skor ≥4
pada setidaknya satu item)
2. Usia 18-40 tahun
3. Indeks massa tubuh normal
4. Jenis kelamin laki-laki
Kriteria Eksklusi :
1. Riwayat gangguan kondisi medis umum
2. Riwayat penyalahgunaan zat dan alkohol

19
3.5. Sampel penelitian
3.5.1 Perhitungan besar sampel
Penelitian ini merupakan penelitian yang pertama kali dilakukan di Indonesia
khususnya di Sumatera Utara. Oleh karena itu, maka dilakukan penelitian
pendahuluan dengan merekrut 20 subyek yang terbagi dalam 2 kelompok. Hasil
penelitian pendahuluan adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Skor PANSS-EC pasien agitasi psikosis antara pemberian injeksi


haloperidol dengan penambahan injeksi diazepam dan hanya pemberian
injeksi haloperidol
NO NAMA SKOR NAMA SKOR PANSS-
PANSS-EC EC
KELOMPOK 1 KELOMPOK 2
MENIT 60 MENIT 60
1 BB 22 SA 14
2 SN 20 KR 16
3 RS 7 SS 23
4 DW 14 DH 14
5 SA 9 HA 23
6 S 9 JS 23
7 MA 12 CH 13
8 TS 13 PS 18
9 DK 9 RS 15
10 SK 21 MS 14
RERATA=13.6 RERATA=17.3
S1 = 5.54 S2 = 4.16

Data selanjutnya dimasukkan dalam program Microsoft office exel sehingga


diperoleh nilai rerata = 13.6 dan S1 = 5.54 pada kelompok 1 dan nilai rerata = 17.3
dan S2 = 4.16 pada kelompok 2
Untuk menentukan besar sampel maka harus diketahui terlebih dahulu nilai
simpang baku gabungan. Simpang baku gabungan adalah simpang baku yang

20
merupakan penggabungan dari kelompok yang dibandingkan (point of interest).
Simpang baku gabungan ini diperoleh dengan rumus sebagai berikut : 24-27

𝑺𝟏𝟐 (𝒏𝟏 − 𝟏) + 𝑺𝟐𝟐 (𝒏𝟐 − 𝟏)


𝑺𝟐 =
𝒏𝟏 + 𝒏𝟐 − 𝟐

S : Simpang baku gabungan


S1 : Simpang baku kelompok 1 : diperoleh dari studi pendahuluan = 5.54
n1 : Besar sampel kelompok 1 : diperoleh dari studi pendahuluan = 10
S2 : Simpang baku kelompok 2 : diperoleh dari studi pendahuluan = 4.16
n2 : Besar sampel kelompok 2 : diperoleh dari studi pendahuluan = 10

Dari rumus diperoleh hasil sebagai berikut :

𝟓. 𝟓𝟒𝟐 (𝟏𝟎 − 𝟏) + 𝟒. 𝟏𝟔𝟐 (𝟏𝟎 − 𝟏)


𝑺𝟐 =
𝟏𝟎 + 𝟏𝟎 − 𝟐
𝟑𝟎. 𝟔𝟗(𝟗) + 𝟏𝟕. 𝟑𝟎(𝟗)
𝑺𝟐 =
𝟏𝟖
𝟐𝟕𝟔. 𝟐𝟏 + 𝟏𝟓𝟓. 𝟕𝟎
𝑺𝟐 =
𝟏𝟖
𝟒𝟑𝟏. 𝟗𝟏
𝑺𝟐 =
𝟏𝟖
𝑺𝟐 = 𝟐𝟑. 𝟗𝟗
𝑺 = √𝟐𝟑. 𝟗𝟗
𝑺 = 𝟒. 𝟖𝟗

Rumus besar sampel untuk penelitian analitik komparatif numerik berpasangan


pengukuran berulang lebih dari dua kali pengukuran untuk kelompok 1 ( haloperidol
5 mg + diazepam 10 mg ) adalah:

𝟐
{𝒁𝜶 + 𝒁𝜷}𝑺
𝒏=( ) 𝜸
𝑿𝟏 − 𝑿𝟐
𝜸 = [𝟏 − 𝝆]
𝟐
{𝒁𝜶 + 𝒁𝜷}𝑺
𝒎𝒂𝒌𝒂 𝒏 = ( ) [𝟏 − 𝝆]
𝑿𝟏 − 𝑿𝟐

21
Keterangan :
N : besar sampel
Zα : kesalahan tipe satu (α = 5%), hipotesis dua arah = 1.96
Zβ : kesalahan tipe dua (β = 10%) = 1.28
S : Simpang baku gabungan = 4.89
x1–x2 : Selisih minimal rerata 2 kelompok yang dianggap bermakna = 3
Y : Faktor koreksi karena pengukuran berulang
ρ : Intra class correlation = 0,3

Dari perhitungan rumus diperoleh hasil sebagai berikut:

𝟐
{𝟏. 𝟗𝟔 + 𝟏. 𝟐𝟖}𝟓. 𝟓𝟒
𝒏=( ) [𝟏 − 𝟎. 𝟑]
𝟑
𝒏 = 𝟐𝟓. 𝟎𝟓

Rumus besar sampel untuk penelitian analitik komparatif numerik


berpasangan pengukuran berulang lebih dari dua kali pengukuran untuk kelompok 2
( haloperidol 5 mg ) adalah:

𝟐
{𝒁𝜶 + 𝒁𝜷}𝑺
𝒏=( ) [𝟏 − 𝝆]
𝑿𝟏 − 𝑿𝟐
𝟐
{𝟏. 𝟗𝟔 + 𝟏. 𝟐𝟖}𝟒. 𝟏𝟔
𝒏=( ) [𝟏 − 𝟎. 𝟑]
𝟑
𝒏 = 𝟏𝟒. 𝟏𝟑

Rumus besar sampel untuk penelitian analitik komparatif numerik tidak


berpasangan dua kelompok lebih dari satu kali pengukuran adalah:

𝟐
{𝒁𝜶 + 𝒁𝜷}𝑺
𝒏𝟏 = 𝒏𝟐 = 𝜸 [𝟐 ( ) ]
𝑿𝟏 − 𝑿𝟐

Keterangan : n1 : besar sampel kelompok 1


n2 : besar sampel kelompok 2

22
Zα : kesalahan tipe satu (α = 5%), hipotesis dua arah = 1.96
Zβ : kesalahan tipe dua (β = 10%) = 1.28
S : Simpang baku gabungan = 4.89
x1–x2 : Selisih minimal rerata 2 kelompok yang dianggap
bermakna = 3

𝟏 + (𝑯 − 𝟏)𝝆 𝑮𝝆𝟐
𝜸=[ − ]
𝑯 𝟏 + (𝑮 − 𝟏)𝝆

Keterangan : 𝛾 : Faktor koreksi karena pengukuran berulang


H : Jumlah pengukuran setelah randomisasi = 2
G : Jumlah pengukuran sebelum randomisasi = 1
ρ : Intra class correlation = 0,3

Koreksi terhadap pengukuran yang berulang adalah:

𝟏 + (𝟐 − 𝟏)𝟎. 𝟑 𝟏(𝟎. 𝟑)𝟐


𝜸=[ − ]
𝟐 𝟏 + (𝟏 − 𝟏)𝟎. 𝟑
𝜸 = 𝟎. 𝟓𝟔

Maka perhitungan besar sampel untuk studi ini adalah:

𝟐
{𝒁𝜶 + 𝒁𝜷}𝑺
𝒏𝟏 = 𝒏𝟐 = 𝜸 [𝟐 ( ) ]
𝑿𝟏 − 𝑿𝟐
𝟐
{𝟏. 𝟗𝟔 + 𝟏. 𝟐𝟖}𝟒. 𝟖𝟗
𝒏𝟏 = 𝒏𝟐 = 𝟎. 𝟓𝟔 [𝟐 ( ) ]
𝟑

𝒏𝟏 = 𝒏𝟐 = 𝟑𝟏. 𝟐𝟑 → 𝟑𝟐

Kesimpulan : Perhitungan besar sampel untuk studi ini adalah 32 sampel,


dengan demikian besar sampel untuk 2 kelompok dalam studi ini ditetapkan
sebanyak 64 sampel.

23
3.6. Persetujuan setelah penjelasan/Informed Consent
Semua subjek diminta mengisi persetujuan secara tertulis untuk ikut serta
dalam penelitian ini setelah mendapatkan penjelasan yang terperinci dan jelas (bila
tidak memungkinkan karena tidak kooperatif maka dapat diwakilkan).

3.7. Etika penelitian


Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan dari Komite Etik Penelitian di
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3.8. Cara kerja


Pelaksanaan penelitian ini meliputi persiapan, pengambilan data, pengolahan
data, penyusunan hasil penelitian, analisis hasil penelitian dan penyusunan akhir
hasil penelitian.
• Subjek yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi (penilaian skor
PANSS-EC, pengukuran berat badan dan tinggi badan) selanjutnya dilakukan
alokasi random menggunakan sistem lempar koin agar setiap subjek memiliki
kesempatan yang sama untuk ikut serta dalam penelitian, selanjutnya dilakukan
injeksi berdasarkan kelompok random:
- Kelompok I : Inj. haloperidol 5 mg, IM, pada musculus gluteus medius/lateral
atas bokong dan ditambah injeksi diazepam 10 mg, IM, pada musculus
deltoideus/ 1/3 atas lengan tangan, atau
- Kelompok II: Inj. haloperidol 5 mg, IM, musculus gluteus medius/lateral atas
bokong.
Bila terdapat kesulitan dalam proses injeksi maka pengekangan dan
pengurungan/pengasingan adalah sebagai upaya terakhir.
 Selanjutnya dilakukan penilaian skor PANSS-EC pada menit ke-30 dan menit
ke-60. Bila pasien telah tenang maka selanjutnya dimasukkan ke bangsal.
 Efek samping sindrom ekstra-piramidal haloperidol diperiksa dengan
melakukan prosedur baku deteksi sindrom ekstra-piramidal pada setiap pengukuran
PANSS-EC, apabila ditemukan maka pasien tersebut diberikan suntikan
difenhidramin 10 mg, IM, serta dikeluarkan dari subjek penelitian. Desain studi ini
adalah On Treatment Analysis dimana subjek yang droup out akan digantikan
dengan yang lain.

24
 Pada pengukuran PANSS-EC, dilakukan uji kesesuaian antara peneliti dan
intereter. Persamaan atau uji analisis menggunakan uji komparatif kesesuaian
numerik (Bland Altman) karena variabel yang digunakan adalah variabel dengan
skala numerik. Hasil uji analisis sebagai berikut:

Selisih minimal skor PANSS-EC = -0.100 – (1.96 X 1.165) = - 2.3834


Selisih maksimal skor PANSS-EC = -0.100 – (1.96 X 1.165) = 2.1016

Limit of agreement berada antara -5 dan 5. Kita dapat mengambil kesimpulan bahwa
antar observer mempunyai kesesuaian/reliabilitas yang baik.
 Selanjutnya dilakukan pengolahan data dengan bantuan perangkat lunak
Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) versi 22.0. Desain penelitian
adalah komparatif numerik tidak berpasangan dua kelompok lebih dari satu kali
pengukuran, bila distribusi data normal maka dilanjutkan dengan uji General linear
model + post hoc namun bila distribusi data tidak normal maka dilanjutkan dengan
uji Mann-Whitney berulang dengan koreksi. Uji normalitas data dengan
menggunakan uji Shapiro-Wilk karena jumlah sampel kurang dari 50.

25
3.9. Kerangka kerja

Subjek agitasi psikosis

Kriteria inklusi Kriteria eksklusi

Persetujuan setelah penjelasan

Informed consent

Kelompok 1
(Injeksi haloperidol Kelompok 2
5 mg dengan (Injeksi haloperidol
penambahan 5 mg)
injeksi diazepam
10 mg)

Follow up 30 mnt Follow up 30 mnt


Pengukuran skor PANSS-EC

Follow up 60 mnt Pengukuran skor PANSS-EC Follow up 60 mnt

Analisis data

Hasil

26
2.10. Definisi operasional

NO VARIABEL DEFINISI ALAT HASIL UKUR SKALA


OPERASIONAL UKUR DAN PENGUKURAN
CARA
UKUR
1 Subjek Peningkatan Kuesioner skor PANSS- Nominal
agitasi aktivitas verbal PANSS-EC EC ≥14
psikosis dan motorik dengan skor
yang kacau dan ≥4 pada
tidak bertujuan setidaknya
satu item
2 Umur Lamanya hidup Wawancara 18-40 tahun Numerik
dihitung sejak
tanggal lahir
sampai dengan
waktu penelitian
yang dinyatakan
dalam tahun
3 Pendidikan Jenjang Wawancara - SD-SMP Nominal
pendidikan - ≥SMU
formal
4 Pernikahan Dalam ikatan wawancara -Nikah Nominal
perkawinan -Tidak nikah
(menikah) dan
tidak dalam
ikatan
perkawinan
(janda/duda/bel
um kawin)
5 Status Kegiatan yang Wawancara -Bekerja Nominal
pekerjaan menghasilkan -Tidak bekerja
upah berupa

27
uang dan
barang untuk
keperluan diri
sendiri maupun
keluarga
6 Skala Rating scale Kuesioner Total skor 5-35 Numerik
PANSS-EC untuk mengukur PANSS-EC
tingkat
keparahan
agitasi
7 Index Cara menilai Timbangan Kg/m2 Numerik
Massa status gizi berat badan
Tubuh (IMT) berdasarkan dan tinggi
Berat Badan badan
(BB) dan Tinggi
Badan (TB).
Nilai normal
18.5-24.99

28
BAB IV
HASIL PENELITIAN

Penelitian ini telah dilakukan di RSJ Prof. Dr. M. Ildrem provinsi Sumatera
Utara. Pengambilan subjek studi dilakukan dengan cara nonprobability sampling,
consecutive sampling. Sebanyak 64 subjek ikut serta dalam studi ini, terbagi dalam
dua kelompok, 32 subjek mendapatkan inj. haloperidol dengan penambahan inj.
diazepam dan 32 subjek hanya mendapatkan inj. Haloperidol saja.

IV.1 Karakteristik demografik pasien agitasi psikotik yang mendapatkan


injeksi haloperidol dengan penambahan injeksi diazepam dan yang
hanya mendapatkan injeksi haloperidol di RSJ Prof. Dr. M. Ildrem
provinsi Sumatera Utara

Keterangan n(%) Kelompok I Kelompok II p


(Inj. haloperidol+diazepam) (Inj. haloperidol)
Usia (tahun) 0.102*
Median(Min-Max) 32.5(25.0-40.0) 36.0(25.0-40.0)
Pendidikan 0.439**
SD-SMP 40.0(62.5) 22.0(55.0) 18.0(45.0)
≥SMA 24.0(37.5) 10.0(41.7) 14.0(58.3)
Pekerjaan 0.784**
Bekerja 19.0(29.6) 9.0(47.4) 10.0(52.6)
Tidak bekerja 45.0(70.3) 23(51.1) 22(48.9)
Pernikahan 0.281**
Menikah 20.0(31.2) 8.0(40.0) 12.0(60.0)
Tidak menikah 44.0(68.7) 24.0(54.5) 20.0(45.5)
IMT 0.979*
Median(Min-Max) 23.4(20.5-24.8) 23.4(20.5-24.8)
Skor PANSS-EC 0.654***
Base line
Mean±SD 28.7±2.8 28.4±2.6
*Uji Mann-Whitney U **Uji Chi-Square ***Uji Independent-Sample t
Tabel IV.1 Distribusi sampel berdasarkan karakteristik demografik

29
Tabel IV.1 disajikan untuk menjawab tujuan khusus penelitian ini yaitu untuk
mengetahui karakteristik demografik pasien agitasi psikotik yang mendapatkan
injeksi haloperidol dengan penambahan injeksi diazepam dan yang hanya
mendapatkan injeksi haloperidol di RSJ Prof. Dr. M. Ildrem provinsi Sumatera Utara.
Data pada tabel IV.I terdiri dari data kategorik dan data numerik.

Data kategorik
Variabel kategorik yang dibahas adalah variabel pendidikan, pekerjaan dan
pernikahan dimana ketiga variabel tersebut mempunyai diagnosis penelitian analitik
komparatif kategorik tidak berpasangan tabel 2x2.24-27
Dari uji analisis yang dilakukan diperoleh nilai expected count yang kurang
dari 5 dibawah 20% sehingga dapat dinyatakan bahwa syarat uji Chi-Square
terpenuhi dan untuk tabel 2x2 analisis yang dianjurkan adalah Chi-Square dengan
continuity correction. Dari uji analisis yang dilakukan terlihat bahwa tidak terdapat
perbedaan karakteristik demografik untuk variabel pendidikan (p<0.302), variabel
pekerjaan (p<0.784) dan variabel pernikahan (p<0.281).24-27
Dari tabel IV.1 terlihat bahwa variabel pendidikan terbanyak adalah SD-SMP
40.0(62.5%), variabel pekerjaan terbanyak adalah tidak bekerja 45.0(70.3%) dan
variabel pernikahan terbanyak adalah tidak menikah 44.0(68.7%)

Data numerik
Variabel numerik yang dibahas pada tabel IV.1 adalah variabel usia, IMT dan
skor PANSS-EC base line. Ketiga variabel tersebut mempunyai diagnosis penelitian
analitik komparatif numerik dua kelompok tidak berpasangan. Sebelum dilakukan uji
analitik maka terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data dengan menggunakan uji
Shapiro-Wilk karena jumlah sampel <50. Uji Shapiro-Wilk terhadap 3 variabel
numerik tersebut menunjukkan hanya variabel skor PANSS-EC base line yang
terdistribusi normal (p>0.05) sedangkan variabel usia dan IMT tidak terdistribusi
normal (p<0.05). Untuk data yang tidak terdistribusi normal maka dilakukan usaha
normalisasi data agar terdistribusi normal dengan cara transformasi data, dalam
studi ini transformasi data dengan menggunakan fungsi log. Namun dikarenakan
proses transformasi data tidak berhasil, maka digunakan uji alternatif pada masing-
masing variabel.24-27

30
Pada variabel usia, dimana data tidak terdistribusi normal (p<0.05) dan
setelah dilakukan proses transformasi data dengan menggunakan fungsi log juga
mengalami kegagalan, maka dilakukan uji alternatif Mann-Whitney U. Pada uji
tersebut terlihat bahwa variabel usia pada kedua kelompok tidak berbeda
(p=0.102).24-27
Pada variabel IMT, dimana data tidak terdistribusi normal (p<0.05) dan
setelah dilakukan proses transformasi data dengan menggunakan fungsi log juga
mengalami kegagalan, maka dilakukan uji alternatif Mann-Whitney U. Pada uji
tersebut terlihat bahwa variabel IMT pada kedua kelompok tidak berbeda
(p=0.979).24-27
Pada variabel skor PANSS-EC base line, dimana data terdistribusi normal
(p>0.05) maka dilakukan uji t tidak berpasangan (Independent-Sample t). Dari uji
tersebut diperoleh hasil uji varian Lavene’s test 0.572 (>0.05) sehingga diambil
kesimpulan bahwa varian data kedua kelompok sama dan hasil uji t yang dipakai
adalah Equal Variances Assumed = 0.654, mean difference = 0.313 dan nilai IK 95%
antara -1.075-1.700. Karena nilai p>0.05 maka dapat disimpulkan bahwa kedua
kelompok tidak terdapat perbedaan.24-27

IV.2 Skor PANSS-EC pasien agitasi psikotik yang mendapatkan injeksi


haloperidol dengan penambahan injeksi diazepam di RSJ Prof. Dr. M.
Ildrem provinsi Sumatera Utara
Skor PANSS-EC n Rerata±s.b p
Base line 32 28.72±2.86 <0.001
Menit 30 32 15.97±3.60
Menit 60 32 14.19±3.62
Uji repeated anova. Analisis post hoc p<0.001 untuk semua perbandingan rerata.

Tabel IV.2 Skor PANSS-EC pasien agitasi psikotik yang mendapatkan injeksi haloperidol dengan
penambahan injeksi diazepam di RSJ Prof. Dr. M. Ildrem provinsi Sumatera Utara pada base line,
menit 30 dan menit 60.

Tabel IV.2 menggunakan diagnosis penelitian komparatif numerik lebih dari


dua kelompok berpasangan. Sebelum dilakukan uji analitik maka terlebih dahulu
dilakukan uji normalitas data dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk karena jumlah
sampel <50. Uji Shapiro-Wilk terhadap 3 variabel numerik tersebut menunjukkan

31
sebaran data terdistribusi normal (p>0.05). Selanjutnya dilakuan uji repeated
ANOVA (general linier model) dan dilanjutkan dengan post hoc paired wise
comparison (Bonferroni). Hasil Multivariate Test menunjukkan nilai significancy
<0.001(<0.005) sehingga dapat disimpulkan bahwa “paling tidak terdapat dua
pengukuran yang berbeda”. Untuk mengetahuinya dapat dilihat dari output Pairwise
Comparisons yang membandingkan pengukuran pertama dengan kedua, pertama
dengan ketiga dan kedua dengan ketiga. Nilai significancy untuk setiap
perbandingan adalah <0.001 sehingga secara statistik diperoleh kesimpulan bahwa
terdapat perbedaan yang sangat bermakna penurunan skor PANSS-EC pasien
agitasi psikotik yang mendapatkan injeksi haloperidol dengan penambahan injeksi
diazepam di RSJ Prof. Dr. M. Ildrem provinsi Sumatera Utara pada base line, menit
30 dan menit 60. Namun, sesuai dengan dengan ketetapan studi ini bahwa selisih
minimal skor PANSS-EC yang dianggap bermakna = 3 maka secara klinis
berdasarkan nilai selisih rerata diperoleh hasil terdapat perbedaan yang sangat
bermakna penurunan skor PANSS-EC base line-menit 30 (28.72±2.86 -
15.97±3.60), dan base line-menit 60 (28.72±2.86 - 14.19±3.62 ), namun tidak
terdapat perbedaan bermakna skor PANSS-EC menit 30-menit 60 (15.97±3.60 -
14.19±3.62).24-27

IV.3 Skor PANSS-EC pasien agitasi psikotik pada pemberian injeksi


haloperidol di RSJ Prof. Dr. M. Ildrem provinsi Sumatera Utara
Skor PANSS-EC n Rerata±s.b p
Base line 32 28.41±2.68 <0.001
Menit 30 32 20.25±3.02
Menit 60 32 18.94±2.92
Uji repeated anova. Analisis post hoc p<0.001 untuk semua perbandingan rerata.
Tabel IV.3 Skor PANSS-EC pasien agitasi psikotik yang mendapatkan injeksi haloperidol di RSJ Prof.
Dr. M. Ildrem provinsi Sumatera Utara pada base line, menit 30 dan menit 60.

Tabel IV.3 menggunakan diagnosis penelitian komparatif numerik lebih dari


dua kelompok berpasangan. Sebelum dilakukan uji analitik maka terlebih dahulu
dilakukan uji normalitas data dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk karena jumlah
sampel <50. Uji Shapiro-Wilk terhadap 3 variabel numerik tersebut menunjukkan
sebaran data terdistribusi normal (p>0.05). Selanjutnya dilakuan uji repeated
ANOVA (general linier model) dan dilanjutkan dengan post hoc paired wise

32
comparison (Bonferroni). Hasil Multivariate Test menunjukkan nilai significancy
<0.001(<0.005) sehingga dapat disimpulkan bahwa “paling tidak terdapat dua
pengukuran yang berbeda”. Untuk mengetahuinya dapat dilihat dari output Pairwise
Comparisons yang membandingkan pengukuran pertama dengan kedua, pertama
dengan ketiga dan kedua dengan ketiga. Nilai significancy untuk setiap
perbandingan adalah <0.001 sehingga secara statistik diperoleh kesimpulan bahwa
terdapat perbedaan yang sangat bermakna penurunan skor PANSS-EC pasien
agitasi psikotik pada pemberian injeksi haloperidol di RSJ Prof. Dr. M. Ildrem
provinsi Sumatera Utara antara base line, menit 30 dan menit 60. Namun, sesuai
dengan dengan ketetapan studi ini bahwa selisih minimal skor PANSS-EC yang
dianggap bermakna = 3 maka secara klinis berdasarkan nilai selisih rerata diperoleh
hasil terdapat perbedaan yang sangat bermakna penurunan skor PANSS-EC base
line-menit 30 (28.41±2.68 - 20.25±3.02), dan base line-menit 60 (28.41±2.68 -
18.94±2.92), namun tidak terdapat perbedaan bermakna skor PANSS-EC menit 30-
menit 60 (20.25±3.02 - 18.94±2.92).24-27

IV.4 Perbedaan skor PANSS-EC pasien agitasi psikotik antara yang


mendapatkan injeksi haloperidol dengan penambahan injeksi diazepam
dan yang hanya mendapatkan injeksi haloperidol di RSJ Prof. Dr. M.
Ildrem provinsi Sumatera Utara

PANSS-EC Inj. Haloperidol+ Inj. Selisih (IK95%) p


Inj. Diazepam(n=32) Haloperidol(n=32)
Rerata±s.b Rerata±s.b
Base line 28.72±2.86 28.41±2.68 0.31 (-1.08 - 1.7) <0.001
Menit 30 15.97±3.60 20.25±3.02 -4.28 (-5.94 - -2.61)
Menit 60 14.19±3.62 18.94±2.92 -4.75 (-6.39 - -3.10)
Uji general linier model
Tabel IV.4 Perbedaan skor PANSS-EC pasien agitasi psikotik antara yang mendapatkan injeksi
haloperidol dengan penambahan injeksi diazepam dan yang hanya mendapatkan injeksi haloperidol
di RSJ Prof. Dr. M. Ildrem provinsi Sumatera Utara pada base line, menit 30 dan menit 60.

Tabel IV.4 menggunakan diagnosis penelitian komparatif numerik tidak


berpasangan lebih dari satu pengukuran. Sebelum dilakukan uji analitik maka
terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk
karena jumlah sampel <50. Uji Shapiro-Wilk terhadap 3 pengukuran untuk masing-

33
masing kelompok menunjukkan sebaran data terdistribusi normal (p>0.05).
Selanjutnya dilakuan uji repeated ANOVA (general linier model) dimana hasil
Multivariate Test pengaruh interaksi waktu dan kelompok terhadap skor PANSS-EC
menunjukkan nilai significancy <0.001(<0.005). Hasil ini menunjukkan adanya
perbedaan penurunan skor PANSS-EC yang sangat bermakna antar kelompok pada
semua pengukuran. Hasil pada Multivariat Test dikonfirmasi oleh hasil pada
Parameter Estimates diperoleh nilai p setiap analisis adalah 0.654 (base line),
<0.001 (menit 30) dan <0.001 (menit 60). Nilai significancy 0.654 dan nilai interval
kepercayaan dari selisih rerata pengukuran melewati angka 0 pada base line tidak
dianalisis karena studi ini adalah uji klinis. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa terdapat perbedaan penurunan skor PANSS-EC yang sangat bermakna pada
pasien agitasi psikotik antara yang mendapatkan injeksi haloperidol dengan
penambahan injeksi diazepam dan yang hanya mendapatkan injeksi haloperidol di
RSJ Prof. Dr. M. Ildrem provinsi Sumatera Utara pada menit 30 dan menit 60.24-27

34
BAB V
DISKUSI

Hasil studi ini menunjukkan perbedaan skor PANSS-EC antara pasien agitasi
psikotik yang mendapatkan injeksi haloperidol dengan penambahan injeksi
diazepam dan yang hanya mendapatkan injeksi haloperidol. Studi ini terbagi dalam 2
(dua) kelompok dimana masing-masing kelompok terdiri dari 32 subjek hingga total
keseluruhan adalah 64 subjek, dimana kelompok pertama mendapatkan injeksi
haloperidol 5 mg dengan penambahan injeksi diazepam 10 mg dan kelompok kedua
mendapatkan injeksi haloperidol 5 mg saja. Pengamatan dalam studi ini dilakukan
selama 1 jam (60 menit) dimulai dari pengamatan sebelum intervensi, 30 menit dan
60 menit. Selama studi ini berlangsung tidak ditemukan subjek yang drop out.
Pada hasil uji komparatif antara variabel karakteristik subjek penelitian
masing-masing kelompok diperoleh hasil tidak terdapat perbedaan yang bermakna
berdasarkan usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, perkawinan, IMT dan skor PANSS-
EC sehingga dapat disimpulkan bahwa semua subjek yang ikut dalam penelitian ini
adalah homogen.
Tabel IV.2 menunjukkan hasil secara statistik bahwa terdapat perbedaan
yang sangat bermakna dalam hal penurunan skor PANSS-EC pada pasien agitasi
psikotik yang mendapatkan injeksi haloperidol dengan penambahan injeksi
diazepam di RSJ Prof. Dr. M. Ildrem provinsi Sumatera Utara pada base line, menit
30 dan menit 60. Namun, secara klinis berdasarkan nilai selisih rerata diperoleh hasil
terdapat perbedaan yang sangat bermakna dalam hal penurunan skor PANSS-EC
base line-menit 30 (28.72±2.86 - 15.97±3.60), dan base line-menit 60 (28.72±2.86 -
14.19±3.62 ), namun tidak terdapat perbedaan bermakna penurunan skor PANSS-
EC menit 30-menit 60 (15.97±3.60 - 14.19±3.62). Perbedaan ini kemungkinan
disebabkan jumlah sampel yang tidak adekuat.24-27
Tabel IV.3 menunjukkan hasil secara statistik bahwa terdapat perbedaan
yang sangat bermakna dalam hal penurunan skor PANSS-EC pasien agitasi
psikotik pada pemberian injeksi haloperidol di RSJ Prof. Dr. M. Ildrem provinsi
Sumatera Utara antara base line, menit 30 dan menit 60. Namun, secara klinis
berdasarkan nilai selisih rerata diperoleh hasil terdapat perbedaan yang sangat
bermakna penurunan skor PANSS-EC base line-menit 30 (28.41±2.68 -
20.25±3.02), dan base line-menit 60 (28.41±2.68 - 18.94±2.92), namun tidak
35
terdapat perbedaan bermakna penurunan skor PANSS-EC menit 30-menit 60
(20.25±3.02 - 18.94±2.92). Perbedaan ini kemungkinan disebabkan jumlah sampel
yang tidak adekuat.24-27
Tabel IV.4 Menunjukkan hasil bahwa terdapat perbedaan yang sangat
bermakna dalam hal penurunan skor PANSS-EC pada pasien agitasi psikotik antara
yang mendapatkan injeksi haloperidol dengan penambahan injeksi diazepam dan
yang hanya mendapatkan injeksi haloperidol di RSJ Prof. Dr. M. Ildrem provinsi
Sumatera Utara kelompok pada menit 30 dan menit 60.24-27
Hasil studi ini sesuai dengan studi yang dilakukan Pilowsky dkk pada tahun
1992 di london terhadap 102 subjek (selama 60 menit), dimana onset tranquillisation
lebih cepat dengan kombinasi diazepam dan haloperidol dibandingkan dengan
diazepam sendiri, maupun dengan haloperidol sendiri (p<0.03). Secara signifikan,
19% pasien yang menerima intervensi satu jenis obat, akan memerlukan tambahan
intervensi obat lagi (p<0.03) dan 6% memerlukan tambahan 2 jenis obat lagi. 22
Pada studi ini tidak ditemukan efek samping yang berarti kemungkinan
disebabkan faktor dosis yang minimal. Berdasarkan Britis National Formulary (BNF)
bahwa sejak tahun 1988-2000 dosis rekomendasi untuk IM haloperidol adalah 30
mg dengan peningkatan 5 mg setiap jam. Namun terjadi perubahan dosis yang
sangat dramatis dimana pada tahun 2015 ditetapkan dosis maksimal harian IM
haloperidol 12 mg. Hal ini dikaitkan dengan potensi efek samping cardiovaskular
disamping minimnya bukti bahwa dengan peningkatan dosis akan sebanding
dengan peningkatan eficacy.20
Sementara itu beberapa studi menyebutkan beberapa efek samping,
komplikasi pernapasan ditemukan pada 2 subjek (2%) dan kardiovaskuler 3 subjek
(3%). Komplikasi pernapasan terjadi dengan pemberian bolus intravena haloperidol
60 mg dan diazepam 80 mg.22 Sedangkan haloperidol menunjukkan efek samping
berupa EPS pada 6-55% kasus, distonia akut 0-17% dan akathisia pada 8-46%
kasus. Efek samping kardiovaskular berupa QT-elongation yang dapat
meningkatkan risiko arrithmia ditemukan pada pemberian haloperidol sebesar 0-6%
kasus sedangkan pada benzodiazepin tidak ditemukan kecuali pada satu studi dgn
pemberian lorazepam sebasar 7%, sedangkan efek hipotensi pada pemberian
haloperidol sebesar 0-17%.28
Studi yang hampir sama dilakukan oleh Korczak dkk berupa systematic
review dan meta-analysis pada tahun 2016 di Australia terhadap 7 studi dengan
36
jumlah sampel 1135 pasien menyatakan bahwa dalam waktu 15-20 menit, terapi
kombinasi lebih cepat dalam menimbulkan efek sedasi dibandingkan benzodiazepin
(risk ratio [RR]=1.31, p<0.001) serta anti psikotik dan kombinasi secara signifikan
lebih sedikit pengulangan pemberian dosis sedasinya dibandingkan benzodiazepin
(RR=0.49, p<0.001 dan RR=0.64, p=0.002).29
Sebagai perbandingan terhadap studi ini, Bak dkk pada tahun 2019 telah
melakukan suatu studi systematic review dan meta analyses pada 53 studi dengan
total 17 jenis obat dan 8829 subjek. Studi tersebut mengungkapkan variasi
penurunan PANSS-EC dalam 2 jam setelah intervensi baik dosis tunggal maupun
kombinasi. Penurun PANSS-EC dengan lorazepam sebesar 7 poin, haloperidol 7-8
poin, haloperidol dengan promethazin 15 poin, haloperidol dengan lorazepam 8-10
poin, haloperidol dengan midazolam 15 poin (90 menit), levopromazin 5-6 poin
(subjek lebih tua), aripriprazol antara 7-8 poin dengan satu pengecualian dimana
penurunan hanya 3 poin, Olanzapin antara 7-10 poin, risperidon 7-8 poin dimana
satu studi melaporkan penurunan sampai 14 poin, ziprasidon 3-15 poin, loxapin
inhalasi 9-11 poin dan terakhir bahkan plasebo menunjukkan penurunan PANSS-EC
2-6 poin dalam kurun waktu 2 jam.28
Studi yang dilakukan oleh Bauer dkk pada tahun 2011-2013 di Denmark
terhadap pasien agitasi berdasarkan skala pengukuran The Positive and Negative
Syndrome Scale Excited Component (PANSS-EC) dengan injeksi intra muskular
(IM) obat antipsikotik dan benzodiazepin (aripriprazole 9,75 mg, lorazepam 2-4 mg,
haloperidol 1-10 mg, diazepam 7,5-20 mg dan olanzapin 10 mg) dalam kurun waktu
2 (dua) jam menunjukkan hasil yang sangat bermakna dimana mean baseline
PANSS-EC 26.53±4.87, mean post injection PANSS-EC 11.55±7.65 dan mean
reduction PANSS-EC 14.99±8.48. Mean reduction PANSS-EC terbagi dalam 30
menit (15.81±9.58), 60 menit (15.13±8.73), 90 menit (14.65±5.35) dan 120 menit
(13.71±9.41) dengan nilai p<0.001.7
Berdasarkan onset of efficacy, studi Zun dkk pada tahun 2017 di Chicago
menemukan bahwa secara konsisten, perbaikan agitasi berdasarkan penurunan
skor PANSS-EC dipuncaki oleh IM olanzapin 10 mg dan IM ziprasidon 10-20 mg
(dari 15 menit), berbanding kontras dengan IM haloperidol 5-10 mg (30-60 menit)
walaupun kombinasi dengan IM lorazepam 2 mg. Namun demikian, satu studi
dengan IM haloperidol 7.5 mg/hari dilaporkan terjadi penurunan agitasi dalam 15
menit. Demikian juga dengan IM aripriprazol dengan kontrol plasebo, penurunan
37
signifikan skor PANSS-EC terjadi pada 45-60 menit (penilaian awal dilakukan pada
menit 15-30).30
Meskipun banyak studi yang telah dilakukan dalam penatalaksanaan agitasi,
termasuk berbagai randomized controlled trials, namun tetap tidak diperoleh bukti
yang kuat mengenai keefektifan maupun keamanan suatu jenis obat dibandingkan
dengan jenis lainnya, pilihan tetap menjadi kewenangan dokter-pasien.31
Kelebihan dari studi ini berdasarkan penelusuran peneliti adalah merupakan
studi yang pertama kali dilakukan di Sumatera Utara serta tidak dijumpai drop out
dalam studi ini. Keterbatasan studi ini adalah tidak dilakukan secara multicenter
dikarenakan keterbatasan sumber daya.

38
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

VI.1 Kesimpulan
1. Pada penelitian ini, untuk variabel usia (tahun) diperoleh median (min-
max) 32.5(25.0-40.0) untuk kelompok injeksi haloperidol ditambah
diazepam dan 36.0(25.0-40.0) untuk kelompok injeksi haloperidol saja.
Untuk variabel pendidikan, pekerjaan dan pernikahan, kedua kelompok
sama banyak diisi oleh subjek dengan pendidikan SD-SMP, tidak bekerja
dan tidak menikah. Untuk variabel IMT kedua kelompok sama-sama
memiliki median (min-max) 23.4(20.5-24.8) dan untuk skor PANNS-EC
base line diperoleh rerata 28.7±2.8 untuk kelompok injeksi haloperidol
ditambah diazepam dan 28.4±2.6 untuk kelompok injeksi haloperidol saja.
2. Terdapat perbedaan yang sangat bermakna dalam hal penurunan skor
PANSS-EC base line-menit 30 (28.72±2.86 - 15.97±3.60), dan base line-
menit 60 (28.72±2.86 - 14.19±3.62 ) – (p<0.001), namun tidak terdapat
perbedaan bermakna skor PANSS-EC menit 30-menit 60 (15.97±3.60 -
14.19±3.62) untuk injeksi haloperidol ditambah diazepam.
3. Terdapat perbedaan yang sangat bermakna dalam hal penurunan skor
PANSS-EC base line-menit 30 (28.41±2.68 - 20.25±3.02) – (p<0.001), dan
base line-menit 60 (28.41±2.68 - 18.94±2.92), namun tidak terdapat
perbedaan bermakna skor PANSS-EC menit 30-menit 60 (20.25±3.02 -
18.94±2.92) untuk injeksi haloperidol saja.
4. Terdapat perbedaan yang sangat bermakna dalam hal penurunan skor
PANSS-EC pada pasien agitasi psikotik antara yang mendapatkan injeksi
haloperidol dengan penambahan injeksi diazepam dan yang hanya
mendapatkan injeksi haloperidol saja di RSJ Prof. Dr. M. Ildrem provinsi
Sumatera Utara pada menit 30 dan menit 60 (p<0.001).

39
VI.2 Saran
1. Sebaiknya dilakukan terapi kombinasi injeksi haloperidol ditambah diazepam
daripada hanya dengan pemberian haloperidol saja dalam penatalaksanaan
pasien agitasi psikotik.
2. Penelitian ini dapat dilanjutkan oleh peneliti lain dengan waktu yang lebih
lama yaitu diatas 1 jam.

40
DAFTAR RUJUKAN

1. Winters L, Eaton J. Emergency treatment of the acutely disturbed and


aggressive patient. In: Thara R, Vijayakumar L, editors: Emergency in
psychiatry in low- and middle-income countries. Second edition : Routledge
Taylor and Francis Group : New york and London; 2017. p.44-53
2. Volicer L, Citrome L, Volavka J. Measurement of agitation and aggression in
aduld and aged neuropsychiatric patien: review of definitions and frequently
used measurement scales. CNS Spectrumus, Cambridge University Press;
2017. p. 1-8
3. Zeller SL, Citrome L. Managing agitation associated with schizophrenia and
bipolar disorder in the emergency setting. Western Journal of Emergency
Medicine; 2016. 17(2) 165-72
4. Dundar Y, Greenhalgh J, Richardson M, Dwan K. Pharmacological treatment
of acute agitation associated with psychotic and bipolar disorder: a systematic
review and meta-analysis. Hum. Psychopharmacol Clin Exp; 2016. 31: 268-85
5. Chan EW, Taylor DM, Knott JC, Kong DC. Variation in the management of
hypothetical cases of acute agitation in Australasian emergency
departements. Emergency Medicine Australasia; 2011. 23: 23-32
6. San L, Marksteiner J, Zwanzger P, Figuero MA, Romero FT, Kyropoulos G, et
al. State of acute agitation at psychiatric emergencies in Europe: the STAGE
study. Clinical Practice and Epidemiology in Mental Health; 2016. 12: 75-86
7. Bauer JO, Stenborg D, Lodahl T, Monsted MM. Treatment of agitation in the
acute psychiatric setting. An observational study of the effectiveness of
intramuscular psychotropic medication. Nordic Journal of Psychiatry; 2016. p.
1-7
8. Vieta E, Garriga M, Cardete L, Bernardo M, Lombrana M, Blanch J et al.
Protocol fot the management of psychiatric patient with psychomotor agitation.
BMC Psychiatry; 2017. 17:328
9. Hatta K, Katayama S, Morikawa F, Imai A, Fujita K, Fujita A. A prospective
naturalistic multicenter study on choice of parenteral medication in psychiatric
emergency settings in Japan. Neuropsychopharmacology Reports; 2018.
38.p.117-23
41
10. Baldacara L, Sanches M, Cordeiro DC, Jackowski AP. Rapid tranquilization
for agitated patients in emergency psychiatric room: a randomized trial of
olanzapine, ziprasidone, haloperidol plus promethazine, haloperidol plus
midazolam and haloperidol alone. Revista Brasileira de Psiquiatria; 2011. Vol
33.p.30-9
11. Sim F, Sweetman I, Kapur S, Patel MX. Re-examining the role of
benzodiazepines in the treatment of schizophrenia: A systematic review.
Journal of Psychopharmacology; 2015. Vol 29(2) p.212-23
12. Klein LR, Driver BE, Miner JR, Martel ML, Hessel M, Collins JD. Intramuscular
midazolam, olanzapine, ziprasidone, or haloperidol for treating acute agitation
in the emergency departement. Annals of Emergency Medicine; 2018. 1-12
13. Priyatni N. Berapa kebutuhan diazepam untuk memenuhi pelayanan
kesehatan di Indonesia? Studi kasus konsumsi diazepam di Indonesia. Prodi
Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi, Volume 6 Nomor 4; 2016.p.297-
302
14. Schawartz P, Weathers M. The Psychotic patient. In: Riba MB, Ravindranath
D, editors: Clinical manual of emergency psychiatry. American Psychiatric
Publishing Inc. ;2010. p. 115-40
15. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM-5). American
Psychiatric Association. Fifth Ed. 2013. p. 87-122
16. Baron DA, Cobb RT, Juarez GM. Other psichiatric emergencies. In: Sadock
BJ, Sadock VA, Ruiz P, editors: Kaplan and Sadock’ comprehensive textbook
of psychiatry. Tenth edition. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins; 2017.
p. 6696-736
17. Strassnig MT, Harvey PD. First-generation antipsychotics. In: Sadock BJ,
Sadock VA, Ruiz P, editors: Kaplan and Sadock’ comprehensive textbook of
psychiatry. Tenth edition. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins; 2017. p.
7817-73
18. Magalhaes PVS. A second look on intramuscular for psychiatric emergencies.
Rev Psiq Clín. 2009; 36(3):123
19. Dubovsky SL. Benzodiazepine reseptor agonists and antagonist. In: Sadock
BJ, Sadock VA, Ruiz P, editors: Kaplan & Sadock’s comprehensive textbook
of psychiatry. Tenth edition. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins; 2017.
p. 7644-77
42
20. Cookson J. Rapid tranquillisation: the science and advice. BJPsych
Advances, 2018. vol. 24. p. 346-58.
21. Cannon ME, Sprivulis P, McCarty J. Restraint practices in Australasian
emergency departments. Australian and New zealand Journal of psychiatri,
2001. vol. 35. p. 464-67.
22. Pilowsky LS, Ring H, Shine PJ, Battersby M, Lader M. Rapid tranquillisation:
A surveyof emergency prescribing in a general psychiatric hospital. British
Journal of Psychiatry, 1992. Vol. 160. p. 831-35
23. Montoya A, Valladares A, Luis L, San L, Escobar R, Paz S. Validation of the
excited component of the positive and negative syndrome scale (PANSS-EC)
in a naturalistic sample of 278 patient with acute psychosis and agitation in a
psychiatric emergency room. Health and Quality of Life Outcome; 2011. 9:18
24. Dahlan MS. Besar sampel dalam penelitian kedokteran dan kesehatan. Seri 2
Edisi 4, Epidemiologi Indonesia; 2016.
25. Dahlan MS. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan: Deskriptif, bifariat dan
multivariat, dilengkapi aplikasi menggunakan SPSS. Seri 1 Edisi 6,
Epidemiologi Indonesia; 2015.
26. Dahlan MS. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan: Deskriptif, bifariat dan
multivariat, dilengkapi aplikasi menggunakan SPSS. Edisi 5, Salemba Medika;
2011.
27. Dahlan MS. Pintu gerbang memahami statistik, metodologi dan epidemiologi:
Seri 13, Epidemiologi Indonesia: Sagung Seto; 2014.
28. Bak M, et al. Tha pharmacological management of agitated and aggressive
behaviour: A systematic review and meta-analysis. European Psychiatry 57
.2019. p. 78-100.
29. Korczak V, Kirby A, Gunja N. Chemical agent for the sedation of agitated
patient in the ED: a systematic review. American Journal of Emergency
Medicine 34; 2016. p. 2426-31.
30. Zun LS. Evidence-based review of pharmacotherapy for acute agitation. Part
1: onset of efficacy. The Journal of Emergency Medicine, 2018, p. 1-11
31. Chan EW, Tang C, Lao KS, Leung LP, Tsui MS, Ho HF, et al. Management of
acute agitation in Hongkong and comparisons with Australasia. Emerg Med
Australas 2015;27 p.542-48

43
Lampiran 1

Lembaran Penjelasan Calon Subyek Penelitian

Saudara/i Yth
Saya dr. Muhammad Affandi, saat ini sedang menjalani Program Pendidikan
Dokter Spesialis (PPDS) Ilmu Kedokteran Jiwa dan saat ini akan melakukan suatu
penelitian dengan judul “perbedaan skor Positive and Negative Syndrome Scale –
Excited Component (PANSS-EC) antara pasien agitasi psikotik yang mendapatkan
injeksi haloperidol dengan penambahan injeksi diazepam dan yang hanya
mendapatkan injeksi haloperidol di RSJ Prof. Dr. M. Ildrem provinsi Sumatera
Utara”. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbedaan skor PANSS-EC antara
pasien agitasi psikotik yang mendapatkan injeksi haloperidol dengan penambahan
injeksi diazepam dan yang hannya mendapatkan injeksi haloperidol.
Pada penelitian ini, akan disuntikkan salah satu dari dua jenis obat yang
tersebut di atas dan selanjutnya akan dilakukan observasi selama 2 jam.
Partisipasi saudara/i dalam penelitian ini bersifat sukarela dan tanpa paksaan
maupun tekanan dari pihak manapun. Seandainya saudara/i menolak untuk
berpartisipasi dalam penelitian ini, maka tidak akan mendapatkan sanksi apapun
atau kehilangan haknya sebagai pasien.
Setelah memahami berbagai hal yang menyangkut penelitian ini, diharapkan
saudara/i yang terpilih sebagai sukarelawan pada penelitian ini, dapat mengisi
lembar persetujuan turut serta dalam penelitian yang telah disiapkan.
Jika selama menjalani penelitian ini terdapat hal-hal yang kurang jelas maka
dapat menghubungi saya dr. Muhammad Affandi (08126312998) atau di
Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa FK USU Medan.
Terima Kasih

Medan, ......................2019
Hormat Saya

dr. Muhammad affandi

44
Lampiran 2
PERSETUJUUAN SETELAH PENJELASAN
(INFORMED CONSENT)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama :
Umur :
Alamat :
No. HP :

Setelah mendapat keterangan secara terperinci dan jelas mengenai


penelitian Kedokteran “perbedaan skor Positive and Negative Syndrome Scale –
Excited Component (PANSS-EC) antara pasien agitasi psikotik yang mendapatkan
injeksi haloperidol dengan penambahan injeksi diazepam dan yang hanya
mendapatkan injeksi haloperidoldi RSJ Prof. Dr. M. Ildrem provinsi Sumatera Utara”
dan setelah mendapat kesempatan tanya jawab tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan penelitian tersebut, termasuk resikonya, maka dengan ini
saya/yang mewakili secara sukarela dan tanpa paksaan menyatakan bersedia
diikutkan dalam penelitian tersebut.

Medan, ............................2019
Yang Membuat Pernyataan

(...................................)

45
Lampiran 3

DATA SAMPEL PENELITIAN

Nomor Responden: Tanggal:


A. Data Demografik
1. Nama :
2. Umur :
3. Pendidikan :
4. Pekerjaan :
5. Status Pernikahan :
6. IMT :

a. Skor PANSS-EC base line :


b. Skor PANSS-EC 30 menit :
c. Skor PANSS-EC 60 menit :

46
Lampiran 4
RIWAYAT HIDUP PENELITI

Data Pribadi
Nama : Muhammad Affandi
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat dan tanggal lahir : Medan, 29 April 1978
Agama : Islam
Alamat : Jl. Eka Suka 13 No. 10, Medan johor
Telepon/Hp : 08126312998
Riwayat Pendidikan
Tahun 1984-1990 : SDN No. 010056 Kisaran
Tahun 1990-1993 : Pesantren Modern Daar Al Uluum Kisaran
Tahun 1993-1996 : SMA Al Azhar Medan
Tahun 1996-2004 : FK UISU Medan
Tahun 2012-sekarang : Pendidikan Spesialis di bidang Ilmu Kedokteran
Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.
Riwayat Pekerjaan
Tahun 2005-sekarang : Personil Polri di Polda Aceh

47
Lampiran 5

PANSS-EXCITED COMPONENT

P4. Gaduh Gelisah

Hiperaktivitas yang ditampilkan dalam bentuk percepatan perilaku motorik,


peningkatan respons terhadap stimulus, waspada berlebihan, atau labilitas alam
perasaan yang berlebihan. Poin ini dinilai dengan manifestasi perilaku selama
anamnesis dan juga laporan perawat atau keluarga tentang perilaku.

1. Tidak ditemukan adanya gaduh gelisah


2. Gaduh gelisah minimal, keadaan patologis diragukan
3. Ringan : cenderung sedikit agitatif, waspada berlebihan, atau sedikit
mudah terangsang selama anamnesis, tetapi tanpa episode gaduh gelisah
yang jelas atau labilitas alam perasaan yang mencolok.
4. Sedang : agitasi atau mudah terangsang yang jelas terbukti selama
anamnesis, mempengaruhi pembicaraan dan mobilitas umum atau
ledakan-ledakan episodik yang terjadi secara sporadik
5. Agak berat : tampak hiperaktivitas yang bermakna, atau sering terjadi
ledakan-ledakan atau aktivitas motorik yang menyebabkan kesulitan bagi
pasien tetap duduk untuk waktu yang lebih lama dari beberapa menit
dalam setiap kesempatan
6. Berat : gaduh gelisah yang mencolok mendominasi anamnesis,
membatasi perhatian, sedemikian rupa sehingga mempengaruhi fungsi
sehari-hari, seperti makan dan tidur
7. Sangat berat : gaduh gelisah yang mencolok, secara serius
mempengaruhi kegiatan makan dan tidur, serta jelas tidak memungkinkan
interaksi interpersonal, percepatan bicara, dan aktivitas motorik dapat
menimbulkan inkoherensi dan kelelahan

48
G4. Ketegangan

Manifestasi yang jelas tentang ketakutan, ansietas, dan agitasi, seperti kekakuan,
tremor, keringat berlebihan, dan ketidaktenangan. Poin ini dinilai berdasarkan
laporan lisan yang membuktikan adanya anxietas dan derajat keparahan.
Manifestasi fisik ketegangan dapat dilihat selama anamnesis.

1. Tidak ditemukan adanya ketegangan


2. Ketegangan minimal, keadaan patologis diragukan
3. Ringan : postur dan gerakan-gerakan yang menunjukkan kekhawatiran
ringan, ketidaktenangan yang sesekali timbul, perubahan posisi, dan
tremor tangan yang halus dan cepat
4. Sedang : suatu penampilan yang nyata-nyata gelisah yang terbukti dari
adanya berbagai manifestasi, seperti perilaku tidak tenang, tremor tangan
yang nyata, keringat berlebihan, dan manerisme karena gugup
5. Agak berat : ketegangan yang berat yang dibuktikan oleh berbagai
manifestasi, seperti gemetar karena gugup, keringat yang berlebihan, dan
ketidaktenangan. Tetapi perilaku selama anamnesis tidak terpengaruh
secara bermakna
6. Berat : ketegangan berat sehingga interaksi interpersonal terganggu.
Misalnya pasien terus menerus bergerak, tidak dapat tetap duduk untuk
waktu yang lama, atau menunjukkan hiperventilasi
7. Sangat berat : ketegangan yang sangat mencolok yang dimanifestasikan
sebagai tanda-tanda panik atau percepatan gerakan motorik kasar, seperti
langkah cepat yang gelisah dan ketidakmampuan untuk tetap duduk
tenang dalam waktu lebih lama dari satu menit, sehingga anamnesis tidak
bisa dilanjutkan

P7. Permusuhan

Ekspresi verbal dan nonverbal tentang kemarahan dan kebencian, termasuk


sarkasme, perilaku pasif agresif, caci maki, dan penyerangan. Poin dinilai
berdasarkan perilaku interpersonal yang diamati selama anamnesis dan laporan
oleh perawat atau keluarga.
49
1. Tidak ditemukan adanya permusuhan
2. Permusuhan minimal, keadaan patologis diragukan
3. Ringan : melampiaskan kemarahan secara tidak langsung atau ditahan,
seperti sarkasme, sikap tidak sopan, ekspresi bermusuhan, dan kadang-
kadang iritabilitas
4. Sedang : adanya sikap bermusuhan yang nyata, sering memperlihatkan
iritabilitas, dan ekspresi kemarahan atau kebencian yang langsung
5. Agak berat : pasien sangat mudah marah dan kadang-kadang memaki
dengan kata-kata kasar atau mengancam
6. Berat : tidak kooperatif dan mencaci maki dengan kasar atau mengancam,
khususnya dalam upaya mempengaruhi pemeriksa, dan berdampak serius
terhadap hubungan sosial. Pasien dapat beringas dan merusak tapi tidak
menyerang orang lain secara fisik
7. Sangat berat : kemarahan yang hebat yang mengakibatkan subyek sangat
tidak kooperatif, menghalangi interaksi, atau secara episodik melakukan
penyerangan fisik terhadap orang lain

G8. Tidak Kooperatif

Aktif menolak untuk patuh terhadap keinginan tokoh bermakna termasuk


pemeriksa, staf rumah sakit atau keluarga yang mungkin disertai dengan rasa tidak
percaya, defensif, keras kepala, negativistik, penolakan terhadap otoritas, hostilitas,
atau membangkang. Dinilai melalui perilaku interpersonal yang diobservasi selama
anamnesis dan juga dilaporkan oleh perawat atau keluarga.

1. Tidak ditemukan adanya ketidak kooperatifan


2. Tidak kooperatif minimal, keadaan patologis diragukan
3. Ringan : patuh tapi disertai sikap marah, tidak sabar, atau sarkasme,
mungkin ada penolakan yang tidak mengganggu penyelidikan terhadap
masalah-masalah sensitif selama anamnesis
4. Sedang : kadang-kadang terdapat penolakan langsung untuk patuh
terhadap tuntutan sosial yang normal, seperti merapikan tempat tidur atau
mengikuti kegiatan sesuai jadwal. Pasien mungkin memproyeksikan
50
hostilitas, defensif, atau bersifat negatif, tetapi biasanya masih dapat
diatasi
5. Agak berat : pasien seringkali tidak patuh terhadap tuntutan lingkungan
dan mungkin sering disebut sebagai orang yang mempunyai masalah
sikap yang serius. Ketidak kooperatifan tercermin jelas dalam sikap
defensif atau iritabilitas terhadap pemeriksa dan mungkin tidak bersedia
menghadapi banyak pertanyaan
6. Berat : pasien sangat tidak kooperatif, negativistik, dan mungkin
membangkang. Menolak untuk patuh terhadap sebagian besar tuntutan
sosial dan mungkin tidak mau memulai atau mengikuti anamnesis
sepenuhnya
7. Sangat berat : resistensi aktif yang jelas berdampak serius terhadap
hampir seluruh fungsi. Pasien mungkin menolak untuk ikut berpartisipasi
dalam aktivitas sosial apapun, mengurus kebersihan diri, bercakap-cakap
dengan keluarga, dan bahkan untuk berpartisipasi dalam anamnesis yang
singkat sekalipun

G14. Pengendalian Impuls yang Buruk

Gangguan pengaturan dan pengendalian impuls yang mengakibatkan


pelepasan ketegangan dan emosi yang tiba-tiba tidak teratur, sewenang-wenang,
atau tidak terarah tanpa merisaukan konsekuensinya. Dinilai berdasarkan perilaku
selama anamnesis dan yang dilaporkan perawat atau keluarga.

1. Tidak ditemukan adanya pengendalian impuls yang buruk


2. Minimal, patologis diragukan
3. Ringan : pasien cenderung mudah marah dan frustasi bila menghadapi
stress atau pemuasannya ditolak, tapi jarang bertindak impulsif
4. Sedang : dengan provokasi minimal, pasien menjadi marah dan mencaci
maki. Mungkin sesekali mengancam, merusak, atau terdapat satu-dua
episode yang melibatkan konfrontasi fisik atau perselisihan ringan
5. Agak berat : pasien memperlihatkan episode impulsif yang berulang-ulang
termasuk mencaci maki, merusak harta benda, atau ancaman fisik.

51
Mungkin ada satu atau dua episode yang melibatkan serangan serius
sehingga pasien perlu diisolasi, difiksasi, atau bila perlu diberikan sedasi
6. Berat : pasien sering menunjukkan agresivitas secara impulsif,
mengancam, menuntut, dan merusak, tanpa mempertimbangkan
konsekuensinya. Menunjukkan perilaku menyerang dan mungkin juga
serangan seksual, atau berperilaku yang merupakan respon terhadap
perintah yang bersifat halusinasi
7. Sangat berat : pasien memperlihatkan serangan yang nyata mengancam
keselamatan orang, penyerangan seksual, perilaku brutal yang berulang,
atau perilaku menyakiti diri sendiri.

52
Lampiran 6
Data kelompok I

No Nama Umur Pendidikn Perkawinan Pekerjaann IMT PE-0 PE-30 PE-60


1 BB 40 SD-SMP kawin bekerja 23,80 33 22 22
2 SN 38 SD-SMP tidak kawin tidak bekerja 21,47 31 19 17
3 RS 29 >SMA tidak kawin tidak bekerja 23,84 25 10 7
4 DW 28 SD-SMP tidak kawin tidak bekerja 21,38 32 20 17
5 SA 25 SD-SMP tidak kawin tidak bekerja 20,50 24 9 9
6 S 39 >SMA tidak kawin bekerja 24,59 24 9 8
7 MA 29 >SMA tidak kawin tidak bekerja 23,58 25 13 12
8 TS 40 SD-SMP tidak kawin tidak bekerja 23,38 26 13 11
9 DK 27 SD-SMP kawin tidak bekerja 21,48 24 10 9
10 SK 25 SD-SMP tidak kawin bekerja 20,50 33 22 20
11 VT 28 >SMA kawin tidak bekerja 24,59 30 18 15
12 MR 39 >SMA tidak kawin bekerja 23,58 28 17 15
13 PS 40 SD-SMP tidak kawin tidak bekerja 22,60 29 17 14
14 JR 38 >SMA tidak kawin tidak bekerja 21,58 32 19 17
15 AP 29 SD-SMP kawin tidak bekerja 24,56 27 15 12
16 HB 28 >SMA kawin tidak bekerja 22,48 30 18 15
17 SS 25 SD-SMP tidak kawin tidak bekerja 24,70 29 16 14
18 BM 39 >SMA tidak kawin bekerja 24,80 28 17 13
19 JS 29 >SMA tidak kawin tidak bekerja 23,56 32 18 17
20 KS 40 SD-SMP kawin tidak bekerja 23,56 33 21 21
21 HD 40 SD-SMP tidak kawin tidak bekerja 23,78 30 18 17
22 TLB 38 SD-SMP tidak kawin tidak bekerja 23,80 27 15 12
23 DAS 29 SD-SMP tidak kawin tidak bekerja 21,47 24 10 9
24 IS 28 SD-SMP kawin tidak bekerja 23,84 31 19 16
25 ALB 25 SD-SMP tidak kawin bekerja 21,38 29 16 16
26 LT 39 SD-SMP tidak kawin tidak bekerja 20,50 29 17 15
27 BS 29 SD-SMP tidak kawin bekerja 24,59 30 16 15
28 WN 40 SD-SMP tidak kawin tidak bekerja 23,58 30 16 15
29 SAS 27 SD-SMP tidak kawin bekerja 23,38 30 16 15
30 JT 25 SD-SMP tidak kawin bekerja 21,48 31 18 16
31 ANL 28 SD-SMP tidak kawin tidak bekerja 20,50 27 14 12
32 DS 39 >SMA kawin tidak bekerja 24,59 26 13 11

PE : PANSS-EC

IMT : Indeks Massa Tubuh

53
Lampiran 7

Data kelopmpok II

No Nama Umur Pendidikan Perkawinan Pekerjaan IMT PE-0 PE-30 PE-60


1 SA 35 SD-SMP tidak kawin tidak bekerja 23,45 32 23 22
2 KR 37 >SMA tidak kawin tidak bekerja 23,80 24 15 14
3 SS 28 SD-SMP kawin tidak bekerja 21,47 28 20 19
4 DH 35 SD-SMP tidak kawin bekerja 23,84 24 15 14
5 HA 30 SD-SMP kawin bekerja 21,38 26 17 16
6 JS 29 >SMA tidak kawin tidak bekerja 20,50 33 24 23
7 CH 34 >SMA kawin bekerja 24,59 24 15 13
8 PS 28 >SMA kawin bekerja 23,58 24 15 14
9 RS 32 SD-SMP tidak kawin tidak bekerja 23,38 28 19 18
10 YN 35 >SMA tidak kawin tidak bekerja 23,16 27 19 18
11 NK 31 >SMA tidak kawin bekerja 23,41 29 21 20
12 DM 40 SD-SMP kawin tidak bekerja 20,95 28 20 19
13 TSN 40 SD-SMP kawin tidak bekerja 22,37 29 21 20
14 WSR 40 >SMA kawin tidak bekerja 21,69 32 23 22
15 RNN 40 >SMA tidak kawin tidak bekerja 23,16 27 19 18
16 JFS 39 SD-SMP tidak kawin tidak bekerja 23,41 29 21 20
17 TN 26 SD-SMP tidak kawin tidak bekerja 23,45 26 18 17
18 ANB 37 SD-SMP tidak kawin bekerja 23,80 28 19 18
19 ASN 40 SD-SMP tidak kawin tidak bekerja 21,47 25 18 15
20 RS 39 >SMA kawin tidak bekerja 23,84 30 22 20
21 WT 29 >SMA tidak kawin bekerja 21,38 30 21 20
22 WG 30 SD-SMP tidak kawin bekerja 22,48 31 25 23
23 PS 35 SD-SMP tidak kawin bekerja 24,70 32 25 23
24 HSS 38 >SMA kawin tidak bekerja 24,80 28 20 19
25 JG 40 >SMA tidak kawin tidak bekerja 23,56 31 25 23
26 PN 39 >SMA kawin tidak bekerja 23,56 28 20 19
27 AG 25 >SMA tidak kawin tidak bekerja 23,78 27 19 18
28 GG 39 SD-SMP kawin bekerja 23,45 29 21 19
29 OS 38 SD-SMP tidak kawin tidak bekerja 23,80 33 25 24
30 VDT 37 SD-SMP kawin tidak bekerja 21,47 31 24 21
31 BS 38 SD-SMP tidak kawin tidak bekerja 23,84 30 21 20
32 BI 28 SD-SMP tidak kawin tidak bekerja 22,56 26 18 17

PE : PANSS-EC

IMT : Indeks Massa Tubuh

54
LAMPIRAN 8
INTERETER
Nama PANSS-EC INTERETER PANSS-EC PENELITI
BB 32 33
SN 29 31
RS 25 25
DW 28 32
SA 25 24
S 22 24
MA 24 25
TS 28 26
DK 24 24
SK 30 33
SA 31 32
KR 25 24
SS 29 28
DH 24 24
HA 26 26
JS 34 33
CH 26 24
PS 24 24
RS 29 28
MS 33 33

55
Lampiran 9
Karakteristik demografik data kategorik dengan uji Chi-Square

Crosstab

KELOMPOK SUBJEK

HLD+DIAZEPA
M HLD Total

pendidikan subjek SD-SMP Count 22 18 40

Expected Count 20,0 20,0 40,0

% within pendidikan subjek 55,0% 45,0% 100,0%

>SMA Count 10 14 24

Expected Count 12,0 12,0 24,0

% within pendidikan subjek 41,7% 58,3% 100,0%


Total Count 32 32 64
Expected Count 32,0 32,0 64,0

% within pendidikan subjek 50,0% 50,0% 100,0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 1,067a 1 ,302


Continuity Correctionb ,600 1 ,439
Likelihood Ratio 1,070 1 ,301
Fisher's Exact Test ,439 ,219
Linear-by-Linear Association 1,050 1 ,306
N of Valid Cases 64

a. 0 cells (0,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12,00.
b. Computed only for a 2x2 table

Crosstab

KELOMPOK SUBJEK

HLD+DIAZEPA
M HLD Total

pekerjaan subjek bekerja Count 9 10 19

Expected Count 9,5 9,5 19,0

% within pekerjaan subjek 47,4% 52,6% 100,0%

tidak bekerja Count 23 22 45

Expected Count 22,5 22,5 45,0


% within pekerjaan subjek 51,1% 48,9% 100,0%

56
Total Count 32 32 64

Expected Count 32,0 32,0 64,0

% within pekerjaan subjek 50,0% 50,0% 100,0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square ,075a 1 ,784


Continuity Correctionb ,000 1 1,000
Likelihood Ratio ,075 1 ,784
Fisher's Exact Test 1,000 ,500
Linear-by-Linear Association ,074 1 ,786
N of Valid Cases 64

a. 0 cells (0,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9,50.
b. Computed only for a 2x2 table

Crosstab

KELOMPOK SUBJEK

HLD+DIAZEPA
M HLD Total

status subjek kawin Count 8 12 20

Expected Count 10,0 10,0 20,0

% within status subjek 40,0% 60,0% 100,0%

tidak kawin Count 24 20 44

Expected Count 22,0 22,0 44,0

% within status subjek 54,5% 45,5% 100,0%


Total Count 32 32 64

Expected Count 32,0 32,0 64,0

% within status subjek 50,0% 50,0% 100,0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 1,164a 1 ,281


Continuity Correctionb ,655 1 ,418
Likelihood Ratio 1,170 1 ,279
Fisher's Exact Test ,419 ,209
Linear-by-Linear Association 1,145 1 ,285

57
N of Valid Cases 64

a. 0 cells (0,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10,00.
b. Computed only for a 2x2 table

Deskriptif variabel numerik

Descriptives

KELOMPOK SUBJEK Statistic Std. Error

umur subjek HLD+DIAZEPAM Mean 32,50 ,990

95% Confidence Interval for Lower Bound 30,48


Mean Upper Bound 34,52

5% Trimmed Mean 32,50

Median 32,50

Variance 31,355

Std. Deviation 5,600

Minimum 25

Maximum 40

Range 15

Interquartile Range 11

Skewness ,075 ,414

Kurtosis -1,641 ,809

HLD Mean 34,72 ,856

95% Confidence Interval for Lower Bound 32,97


Mean Upper Bound 36,46

5% Trimmed Mean 34,94

Median 36,00
Variance 23,434

Std. Deviation 4,841

Minimum 25

Maximum 40

Range 15

Interquartile Range 9

Skewness -,548 ,414

Kurtosis -1,130 ,809


IMT subjek HLD+DIAZEPAM Mean 22,9966 ,22455
95% Confidence Interval for Lower Bound 22,5386
Mean Upper Bound 23,4545
5% Trimmed Mean 23,0372
Median 23,3950
Variance 1,614

58
Std. Deviation 1,27026
Minimum 20,50
Maximum 24,80
Range 4,30
Interquartile Range 1,97
Skewness -,456 ,414
Kurtosis -,822 ,809
HLD Mean 23,0025 ,20257
95% Confidence Interval for Lower Bound 22,5894
Mean Upper Bound 23,4156
5% Trimmed Mean 23,0344
Median 23,4300
Variance 1,313
Std. Deviation 1,14592
Minimum 20,50
Maximum 24,80
Range 4,30
Interquartile Range 1,94
Skewness -,616 ,414
Kurtosis -,606 ,809
PANSS-EC "0" HLD+DIAZEPAM Mean 28,72 ,506

95% Confidence Interval for Lower Bound 27,69


Mean Upper Bound 29,75

5% Trimmed Mean 28,74

Median 29,00

Variance 8,209

Std. Deviation 2,865

Minimum 24

Maximum 33

Range 9

Interquartile Range 5

Skewness -,277 ,414

Kurtosis -1,016 ,809

HLD Mean 28,41 ,475

95% Confidence Interval for Lower Bound 27,44


Mean Upper Bound 29,37

5% Trimmed Mean 28,40

Median 28,00
Variance 7,217

59
Std. Deviation 2,686

Minimum 24

Maximum 33

Range 9

Interquartile Range 5

Skewness -,060 ,414

Kurtosis -,832 ,809

Uji normalitas data numerik (Shapiro-Wilk)

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

KELOMPOK SUBJEK Statistic df Sig. Statistic df Sig.


umur subjek HLD+DIAZEPAM ,203 32 ,002 ,873 32 ,001

HLD ,181 32 ,009 ,883 32 ,002


IMT subjek HLD+DIAZEPAM ,150 32 ,065 ,937 32 ,060
HLD ,223 32 ,000 ,903 32 ,007
PANSS-EC "0" HLD+DIAZEPAM ,141 32 ,104 ,934 32 ,051

HLD ,096 32 ,200* ,954 32 ,192

*. This is a lower bound of the true significance.


a. Lilliefors Significance Correction

Proses transformasi data dengan fungsi log

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

KELOMPOK SUBJEK Statistic df Sig. Statistic df Sig.

tran_IMT HLD+DIAZEPAM ,158 32 ,042 ,931 32 ,041

HLD ,229 32 ,000 ,896 32 ,005


tran_umur HLD+DIAZEPAM ,185 32 ,007 ,878 32 ,002

HLD ,192 32 ,004 ,873 32 ,001

a. Lilliefors Significance Correction

Uji Mann-Whitney U

Test Statisticsa

umur subjek IMT subjek


Mann-Whitney U 391,000 510,000
Wilcoxon W 919,000 1038,000

60
Z -1,633 -,027
Asymp. Sig. (2-tailed) ,102 ,979

a. Grouping Variable: KELOMPOK SUBJEK

Uji Independent-Sample t

Independent Samples Test

Levene's Test for


Equality of
Variances t-test for Equality of Means

95% Confidence
Interval of the

Sig. (2- Mean Std. Error Difference

F Sig. T df tailed) Difference Difference Lower Upper

PANSS-EC "0" Equal variances


,322 ,572 ,450 62 ,654 ,313 ,694 -1,075 1,700
assumed

Equal variances
,450 61,745 ,654 ,313 ,694 -1,075 1,700
not assumed

Deskriptif variabel skor PANSS-EC base line, menit 30 dan menit 60

Descriptives

KELOMPOK SUBJEK Statistic Std. Error

PANSS-EC "0" HLD+DIAZEPAM Mean 28,72 ,506

95% Confidence Interval for Lower Bound 27,69


Mean Upper Bound 29,75

5% Trimmed Mean 28,74

Median 29,00

Variance 8,209
Std. Deviation 2,865

Minimum 24

Maximum 33

Range 9

Interquartile Range 5

Skewness -,277 ,414

Kurtosis -1,016 ,809

HLD Mean 28,41 ,475


95% Confidence Interval for Lower Bound 27,44
Mean Upper Bound 29,37

61
5% Trimmed Mean 28,40

Median 28,00

Variance 7,217

Std. Deviation 2,686

Minimum 24

Maximum 33

Range 9

Interquartile Range 5

Skewness -,060 ,414

Kurtosis -,832 ,809


PANSS-EC "30" HLD+DIAZEPAM Mean 15,97 ,637
95% Confidence Interval for Lower Bound 14,67
Mean Upper Bound 17,27
5% Trimmed Mean 16,02
Median 16,50
Variance 12,999
Std. Deviation 3,605
Minimum 9
Maximum 22
Range 13
Interquartile Range 5
Skewness -,471 ,414
Kurtosis -,378 ,809
HLD Mean 20,25 ,535
95% Confidence Interval for Lower Bound 19,16
Mean Upper Bound 21,34
5% Trimmed Mean 20,28
Median 20,00
Variance 9,161
Std. Deviation 3,027
Minimum 15
Maximum 25
Range 10
Interquartile Range 5
Skewness -,091 ,414
Kurtosis -,609 ,809
PANSS-EC "60" HLD+DIAZEPAM Mean 14,19 ,640

95% Confidence Interval for Lower Bound 12,88


Mean Upper Bound 15,49

5% Trimmed Mean 14,15

62
Median 15,00

Variance 13,125

Std. Deviation 3,623

Minimum 7

Maximum 22

Range 15

Interquartile Range 5

Skewness -,009 ,414

Kurtosis -,137 ,809

HLD Mean 18,94 ,518

95% Confidence Interval for Lower Bound 17,88


Mean Upper Bound 19,99

5% Trimmed Mean 18,99

Median 19,00
Variance 8,577

Std. Deviation 2,929

Minimum 13

Maximum 24

Range 11

Interquartile Range 4

Skewness -,280 ,414

Kurtosis -,482 ,809

Distribusi data variabel skor PANSS-EC base line, menit 30 dan menit 60

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

KELOMPOK SUBJEK Statistic df Sig. Statistic df Sig.

PANSS-EC "0" HLD+DIAZEPAM ,141 32 ,104 ,934 32 ,051

HLD ,096 32 ,200* ,954 32 ,192


PANSS-EC "30" HLD+DIAZEPAM ,160 32 ,037 ,942 32 ,085
HLD ,121 32 ,200* ,942 32 ,083
PANSS-EC "60" HLD+DIAZEPAM ,151 32 ,061 ,966 32 ,386

HLD ,124 32 ,200* ,954 32 ,193

*. This is a lower bound of the true significance.


a. Lilliefors Significance Correction

63
GLM (UJI REPEATED ANOVA) KELOMPOK 1

Multivariate Testsa

Effect Value F Hypothesis df Error df Sig.

factor1 Pillai's Trace ,994 2350,020b 2,000 30,000 ,000

Wilks' Lambda ,006 2350,020b 2,000 30,000 ,000

Hotelling's Trace 156,668 2350,020b 2,000 30,000 ,000

Roy's Largest Root 156,668 2350,020b 2,000 30,000 ,000

a. Design: Intercept
Within Subjects Design: factor1
b. Exact statistic

PAIRWISE COMPARISONS

Pairwise Comparisons
Measure: MEASURE_1

95% Confidence Interval for

Mean Difference Differenceb

(I) factor1 (J) factor1 (I-J) Std. Error Sig.b Lower Bound Upper Bound

1 2 12,750* ,211 ,000 12,320 13,180

3 14,531* ,224 ,000 14,074 14,989


2 1 -12,750* ,211 ,000 -13,180 -12,320
3 1,781* ,189 ,000 1,396 2,167
3 1 -14,531* ,224 ,000 -14,989 -14,074

2 -1,781* ,189 ,000 -2,167 -1,396

Based on estimated marginal means


*. The mean difference is significant at the ,05 level.
b. Adjustment for multiple comparisons: Least Significant Difference (equivalent to no adjustments).

GLM (UJI REPEATED ANOVA) KELOMPOK 2

Multivariate Testsa

Effect Value F Hypothesis df Error df Sig.

factor1 Pillai's Trace ,995 3088,820b 2,000 30,000 ,000

Wilks' Lambda ,005 3088,820b 2,000 30,000 ,000

Hotelling's Trace 205,921 3088,820b 2,000 30,000 ,000

Roy's Largest Root 205,921 3088,820b 2,000 30,000 ,000

a. Design: Intercept
Within Subjects Design: factor1

64
b. Exact statistic

PAIRWISE COMPARISONS

Pairwise Comparisons
Measure: MEASURE_1

95% Confidence Interval for

Mean Difference Differenceb

(I) factor1 (J) factor1 (I-J) Std. Error Sig.b Lower Bound Upper Bound

1 2 8,156* ,150 ,000 7,851 8,461

3 9,469* ,119 ,000 9,227 9,711


2 1 -8,156* ,150 ,000 -8,461 -7,851
3 1,313* ,105 ,000 1,099 1,526
3 1 -9,469* ,119 ,000 -9,711 -9,227

2 -1,313* ,105 ,000 -1,526 -1,099

Based on estimated marginal means


*. The mean difference is significant at the ,05 level.
b. Adjustment for multiple comparisons: Least Significant Difference (equivalent to no adjustments).

GLM 2 kelompok

Multivariate Testsa

Effect Value F Hypothesis df Error df Sig.

factor1 Pillai's Trace ,994 4733,672b 2,000 61,000 ,000

Wilks' Lambda ,006 4733,672b 2,000 61,000 ,000

Hotelling's Trace 155,202 4733,672b 2,000 61,000 ,000

Roy's Largest Root 155,202 4733,672b 2,000 61,000 ,000


factor1 * KELOMPOK Pillai's Trace ,876 216,104b 2,000 61,000 ,000

Wilks' Lambda ,124 216,104b 2,000 61,000 ,000

Hotelling's Trace 7,085 216,104b 2,000 61,000 ,000

Roy's Largest Root 7,085 216,104b 2,000 61,000 ,000

a. Design: Intercept + KELOMPOK


Within Subjects Design: factor1
b. Exact statistic

Parameter Estimates

95% Confidence Interval


Dependent Variable Parameter B Std. Error t Sig. Lower Bound Upper Bound

PANSS-EC "0" Intercept 28,406 ,491 57,861 ,000 27,425 29,388

65
[KELOMPOK=1] ,313 ,694 ,450 ,654 -1,075 1,700

[KELOMPOK=2] 0a . . . . .
PANSS-EC "30" Intercept 20,250 ,588 34,413 ,000 19,074 21,426
[KELOMPOK=1] -4,281 ,832 -5,145 ,000 -5,945 -2,618
[KELOMPOK=2] 0a . . . . .
PANSS-EC "60" Intercept 18,938 ,582 32,521 ,000 17,773 20,102

[KELOMPOK=1] -4,750 ,824 -5,768 ,000 -6,396 -3,104

[KELOMPOK=2] 0a . . . . .

a. This parameter is set to zero because it is redundant.

66

Anda mungkin juga menyukai