Anda di halaman 1dari 62

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara individu, pengaruh proses menua dapat menimbulkan berbagai

masalah baik secara fisik–biologis, mental maupun sosial ekonomi. Dengan

semakin lanjut usia seseorang, mereka akan mengalami kemunduran terutama

dibidang kemampuan fisik, yang dapat mengakibatkan penurunan pada peranan

– peranan sosialnya. Hal ini mengakibatkan pula timbulnya gangguan di dalam

hal mencukupi kebutuhan hidupnya sehingga dapat mengakibatkan

ketergantungan yang memerlukan bantuan oarang lain. Kelompok lansia

dipandang sebagai kelompok masyarakat yang berisiko mengalami gangguan

masalah kesehatan. Membicarakan mengenai status kesehatan para lansia

tentang penyakit atau keluhan yang umum diderita adalah penyakit reumatik,

hipertensi, penyakit jantung, penyakit paru, diabetes mellitus, paralysis / lumpuh

separuh badan, patah tulang dan kanker (Muchtar, 2010).

Proporsi lansia di dunia diperkirakan mencapai 22 persen dari penduduk

dunia atau sekitar 2 miliar pada tahun 2020, sekitar 80% lansia hidup di negara

berkembang. Jumlah lansia di seluruh dunia dapat mencapai jumlah 1 miliar orang

dalam kurun 10 tahun mendatang. Pertumbuhan penduduk usia lanjut (lansia) di

dunia yang semakin meningkat (ledakan) tersebut diperkirakan akan menjadi

masalah baru bagi dunia kesehatan, untuk hal ini maka World Health

Organization (WHO) telah mencanangkan program peningkatan kesehatan agar

1
seseorang memiliki usia yang lebih panjang dan tetap produktif. Sedangkan

jumlah penduduk di 11 negara anggota WHO kawasan Asia Tenggara yang

berusia di atas 60 tahun berjumlah 142 juta orang dan diperkirakan akan terus

meningkat hingga 3 kali lipat di tahun 2050 (Isamas, 2013).


Sementara di Indonesia proporsi penduduk berusia lanjut terus bertambah.

Pada tahun 2010 jumlah lansia mencapai 18,1 juta jiwa atau 9,6% dari jumlah

penduduk. Hal ini menjadikan Indonesia termasuk lima besar negara dengan

jumlah penduduk lanjut usia terbanyak di dunia. Di tahun 2011 sekitar 24 juta jiwa

(hampir 10% jumlah penduduk). Penduduk lansia ini diproyeksikan menjadi 28,8

juta jiwa (11,34 %) dari total penduduk Indonesia pada tahun 2020, atau menurut

proyeksi BAPPENAS, jumlah penduduk lansia 60 tahun akan menjadi dua kali

lipat (36 juta) pada 2025 (Isamas, 2013).


Menurut data hasil proyeksi sensus penduduk Badan Pusat Statistik (BPS)

di Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun 2010 jumlah penduduk di Sulawesi

Tenggara sebanyak 2.234.600 jiwa dan diproyeksikan tahun 2015 jumlah

penduduk sebanyak 2.499.500 jiwa. Untuk jumlah lansia tahun 2010 sebanyak

129.000 jiwa dan diproyeksikan pada tahun 2015 ini sebanyak 157.500 jiwa (BPS,

2012). Sedangkan jumlah lansia yang terlantar berdasarkan data Kementrian

Sosial RI tahun 2012 di Sulawesi Tanggara mencapai 27.407 jiwa yang tersebar di

seluruh wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara (Kemensos RI, 2012).

Berdasarkan data tersebut menunjukkan kelompok resiko dalam

masyarakat kita menjadi lebih tinggi lagi. Karena lansia merupakan kelompok

yang sangat rentan mengalami masalah kesehatan yang disebabkan oleh

penurunan fungsi-fungsi organ tubuh. Bahkan berdasarkan hasil National Health

2
survey pada tahun 2010, reumatik menempati urutan pertama masalah

kesehatan utama bagi lansia (Nango, 2011).

Penelitian tentang reumatik sebenarnya telah berkembang pesat selama

20 tahun sejak tahun 1986 sampai saat ini. Tapi nyatanya, masih banyak yang

belum dapat kita ketahui tentang penyebab dan proses terjadinya reumatik

secara pasti. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit

reumatik yang telah diketahui antara lain ; degeneratif/usia tua (di atas 40 tahun),

autoimun, faktor genetik/herediter , trauma (benturan) sendi yang berulang, dan

kandungan asam urat yang tinggi/gout (pola makan), aktivitas, psikologis dan

radikal bebas ( Bangun A. P, 2008).

Berdasarkan pusat data BPS Propinsi DKI Jakarta, rematik merupakan

salah satu penyakit terbanyak yang diderita lansia, yaitu pada tahun 2010

sebanyak 4.209.817 lansia 38% menderita rematik (Dinkesdkijakarta, 2009).

Hasil penelitian Eka P (2012) tentang faktor risiko yang mempengaruhi

terjadinya reumatik pada lansia di Rumah Sakit Kariadi Semarang tahun 2012,

didapatkan riwayat trauma lutut (nilai p = 0,033; OR adjusted = 2,90; 95% CI =

1,09 – 7,75), kebiasaan aktivitas fisik berat (nilai p = 0,006; OR adjusted = 2,25;

95% CI = 1,09 – 6,67) dan kebiasaan bekerja dengan beban > 17,5 kg (nilai p =

0,008, OR adjusted = 2,19 dan 95% CI = 1,05 – 6,65). Faktor-faktor yang tidak

terbukti sebagai faktor risiko OA lutut adalah jenis kelamin perempuan, kebiasaan

merokok, dan kebiasaan mengkonsumsi vitamin D.


Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Kendari, menunjukkan bahwa

pada tahun 2013 jumlah penderita reumatik di Kota Kendari menempati urutan ke

6 yakni sebanyak 2314 penderita. Kemudian meningkat menjadi 2561 orang


3
penderita pada tahun 2014. Angka tersebut telah dihimpun dari sejumlah

Puskesmas yang barada di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Kendari (Profil

Dinas Kesehatan Kota Kendari, 2014).


Data yang diperoleh dari Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari

Provinsi Sulawesi Tenggara, tercatat lansia sebanyak 95 orang yang terdiri dari

laki-laki sebanyak 45 orang dan perempuan sebanyak 50 orang. Diketahui pula

bahwa banyak lansia yang mengalami masalah kesehatan yakni berjumlah 76

orang. Adapun masalah kesehatan dengan frekuensi tertinggi adalah Reumatik

sebanyak 19 orang, Gastritis sebanyak 12 orang, Asam urat dan Dermatitis

masing-masing sebanyak 7 orang, Asma sebanyak 5 orang, Cephalgia sebanyak

4 orang, Hipertensi dan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) masing-masing

sebanyak 3 orang, Konstipasi, Neuralgia, Insomnia, Pruritis, Diare, Artritis,

Obstipasi, Gangguan Usus, Abses Kaki, Sakit Pinggang, Nyeri Dada dan

Anoreksia masing-masing berjumlah 1 orang. Bahkan diantara 95 tersebut

tersebut terdapat 22 orang lanjut usia yang membutuhkan bantuan dalam

melaksanakan Activity of Daily Living (ADL) seperti mengenakan dan melepas

pakaian, mandi, berpindah dari kursi roda ke tempat tidur atau sebaliknya, makan

dan minum, BAK dan BAB, personal toilet mereka membutuhkan bantuan dan

pengawasan dari petugas panti dan sesama lansia (Profil Panti Sosial Tresna

Werdha Minaula Kendari, 2014).

Dari data diatas dapat dilihat bahwa penyakit rematik menjadi jumlah

penyakit tertinggi dari jenis penyakit yang dialami lansia. Dari wawancara yang

dilakukan pada tanggal 3 Juni 2015 kepada 10 orang lansia yang mengalami

reumatik diketahui bahwa 4 orang lansia mengatakan dulunya bekerja sebagai


4
petani dan buruh bangunan yang merupakan aktifitas fisik yang berat, 2 orang

lansia mengatakan pernah mengalami benturan pada lututnya dan 4 orang lainnya

memiliki riwayat reumatik dan memiliki pantangan makanan tertentu yang dapat

memicu peningkatan asama urat.


Oleh karena itu berdasarkan uraian data diatas, maka penulis tertarik untuk

melakukan penelitian yang berjudul “Faktor Resiko yang Berhubungan dengan

Penyakit Reumatik Pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari

Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2015”.


B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka masalah penelitian dapat

dirumuskan sebagai berikut :

1. Apakah ada resiko antara faktor aktifitas fisik dengan penyakit reumatik

pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari Provinsi Sulawesi

Tenggara Tahun 2015?

2. Apakah ada resiko antara faktor riwayat trauma dengan penyakit reumatik

pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari Provinsi Sulawesi

Tenggara Tahun 2015?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Untuk mengetahui faktor resiko yang berhubungan dengan penyakit

reumatik pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari Provinsi

Sulawesi Tenggara Tahun 2015.

5
2. Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui resiko antara faktor aktifitas fisik dengan penyakit

reumatik pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari

Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2015


b. Untuk mengetahui resiko antara faktor riwayat trauma fisik dengan

penyakit reumatik pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula

Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2015


D. Manfaat penelitian

1. Manfaat Praktis
a. Sebagai bahan informasi dan masukan bagi Panti Sosial Tresna Werdha

Minaula Kendari dalam rangka meningkatkan meningkatkan pelayanan

kepada lansia dan dapat mengurangi masalah kesehatan pada lansia

terutama reumatik.
b. Bagi penulis, penelitian ini pada hakikatnya adalah merupakan proses

belajar memecahkan masalah secara sistimatis dan logis.


c. Bagi Institusi STIKES Mandala Waluya hasil penelitian ini diharapkan dapat

memberikan informasi kepada institusi dan dijadikan sebagai dokumentasi

ilmiah untuk merangsang minat peneliti selanjutnya.


d. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat manambah

khasanah ilmu kesehatan masyarakat khususnya.


2. Manfaat Teoritis
a. Sebagai sumbangan ilmiah dan dapat memperkaya khasanah ilmu

pengetahuan
b. Sebagai bahan untuk pengembangan ilmu keperawatan khususnya

keperawatan gerontik.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Panti Sosial Sasana Tresna Werdha


1. Pengertian
Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) adalah unit pelaksana teknis di

bidang pembinaan kesejahteraan sosial lanjut usia yang memberikan

pelayanan kesejahteraan sosial bagi para lanjut usia berupa pemberian

penampungan, jaminan hidup seperti makan dan pakaian, pemeliharaan

kesehatan, pengisian waktu luang termasuk rekreasi, bimbingan sosial,

mental serta agama, sehingga mereka dapat menikmati hari tuanya dengan

diliputi ketentraman lahir dan bathin.


Panti Sasana Tresna Werdha merupakan tempat dimana penerima

pelayanan dapat memperoleh cara hidup yang baru dalam kehidupan

bersama rekan-rekannya memperoleh pengalaman dari hidup berkelompok,

7
memperoleh pemeliharaan kesehatan yang baik, tambahan makanan yang

bergizi, suasana persahabatan, memperoleh latihan kesemuanya diberikan

oleh tenaga-tenaga yang profesional seperti pekerja sosial.


2. Jenis Pelayanan
Jenis – jenis pelayanan yang diberikan meliputi :
a. Pelayanan kebutuhan makanan, dengan pengaturan menu kebutuhan

gizi lanjut usia. Pemberian makanan oleh petugas panti kepada lanjut

usia menurut jadwal yang telah ditetapkan.


b. Pemeliharaan kesehatan dan kebersihan, melalui pemeriksaan rutin,

pengobatan pada saat menderita sakit, oleh petugas kesehatan (dokter

atau tenaga para medis).


c. Pemberian bimbingan rohani, berupa bimbingan mental, keagamaan dan

bimbingan kemasyarakatan, oleh petugas panti atau petugas instansi

terkait.
d. Pemberian bimbingan keterampilan untuk pengisian waktu luang, oleh

tenaga instruktur dibantu petugas panti.


B. Tinjauan Umum Tentang Reumatik
1. Pengertian
Reumatik adalah suatu penyakit degeneratif yang menyebabkan

kerusakan tulang rawan (kartilago) sendi dan tulang didekatnya, disertai

proliferasi dari tulang dan jaringan lunak di dalam dan sekitar daerah yang

terkena (Bangun A.P., 2008).


Reumatik adalah berbagai kelompok penyakit dan sindrom yang

semuanya merupakan penyakit pada jaringan ikat sehingga biasanya

ditemukan keluhan nyeri, kaku, atau pembengkakan pada otot serta sendi

(Cristine B, 2001 dalam Nango, 2012)


Pengertian reumatik yaitu cukup luas mencakup gejalanya seperti nyeri,

pembengkakan, kemerahan, gangguan fungsi sendi dan jaringan sekitarnya.

8
Semua gangguan pada daerah tulang, sendi, dan otot disebut rematik yang

sebagian besar masyarakat juga menyebutnya pegal linu (Irwan, 2012).


Reumatik adalah penyakit kelainan pada sendi yang menimbulkan nyeri

dan kaku pada sistem muskuloskeletal (sendi, tulang, jaringan ikat dan otot).

Dari sekitar lebih dari seratusan penyakit reumatik sebagian besar tidak

berbahaya, namun sangat mengganggu karena rasa nyerinya (Ekaginanjar,

2010).
Reumatik adalah kerusakan tulang rawan sendi yang berkembang

lambat dan berhubungan dengan usia lanjut (degeneratif). Penyakit rematik

ada ratusan jenisnya. Rematik jenis peradangan yang di sebabkan oleh asam

urat termasuk jenis yang paling banyak di temui di Indonesia.


2. Etiologi
Faktor penyebab dari penyakit ini belum diketahui dengan pasti. Namun,

faktor genetik seperti produk kompleks histokompatibilitas utama kelas II

(HLA-DR) dan beberapa faktor lingkungan diduga berperan dalam timbulnya

penyakit ini.

Faktor genetik seperti kompleks histokompatibilitas utama kelas II (HLA-

DR), dari beberapa data penelitian menunjukkan bahwa pasien yang

mengemban HLA-DR4 memiliki resiko relatif 4:1 untuk menderita penyakit ini.

Rematik/pegal linu pada pasien kembar lebih sering dijumpai pada kembar

monozygotic dibandingkan kembar dizygotic.

Faktor infeksi sebagai penyebab rematik/pegal linu timbul karena

umumnya onset penyakit ini terjadi secara mendadak dan timbul dengan

disertai oleh gambaran inflamasi yang mencolok.

9
Dengan demikian timbul dugaan kuat bahwa penyakit ini sangat

mungkin disebabkan oleh tercetusnya suatu proses autoimun oleh suatu

antigen tunggal atau beberapa antigen tertentu saja. Agen infeksius yang

diduga sebagai penyebabnya adalah bakteri, mycoplasma, atau virus.

3. Patofisiologi

Pemahaman mengenai anatomi normal dan fisiologi persendian

diartrodial atau sinovial merupakan kunci untuk memahami patofisiologi

penyakit reumatik. Fungsi persendian sinovial adalah gerakan. Setiap sendi

sinovial memiliki kisaran gerak tertentu kendati masing-masing orang tidak

mempunyai kisaran gerak yang sama pada sendi-sendi yang dapat

digerakkan. Pada sendi sinovial yang normal, kartilago artikuler membungkus

ujung tulang pada sendi dan menghasilkan permukaan yang licin serta ulet

untuk gerakan. Membran Sinovial melapisi dinding dalam kapsula fibrosa dan

mensekresikan cairan ke dalam ruangan antar-tulang. Cairan Sinovial ini

berfungsi sebagai peredam kejut (shock absorbber) dan pelumas yang

memungkinkan sendi untuk bergerak secara bebas dalam arah yang tepat.

Sendi merupakan bagian tubuh yang paling sering terkena inflamasi dan

generasi yang terlihat pada penyakit reumatik. Meskipun memiliki

keanekaragaman mulai dari kelainan yang terbatas pada satu sendi hingga

kalainan multisistem yang sistemik, semua penyakit reumatik meliputi

inflamasi dan degenerasi dalam derajat tertentu yang bisa terjadi sekaligus.

Inflamasi akan terlihat pada persendian sebagai sinovitis. Pada penyakit

reumatik inflamatori, inflamasi merupakan proses primer dan degenerasi

10
yang terjadi merupakan proses sekunder yang timbul akibat pembentukkan

pannus (proliferasi jaringan sinovial ). Inflamasi merupakan akibat dari

respons imun. Sebaliknya, pada penyakit reumatik degeneratif dapat terjadi

proses inflamasi yang sekunder. Sinovitis ini biasanya lebih ringan serta

menggambarkan suatu proses reaktif, dan lebih besar kemungkinannya untuk

terlihat pada penyakit yang lanjut. Sinovitis dapat berhubungan dengan

pelepasan proteoglikan tulang rawan yang bebas dari kartilago artikuler yang

mengalami degenerasi kendati faktor-faktor imunologi dapat pula terlihat

(Brunner dkk, 2002).

4. Klasifikasi Reumatik
Reumatik dapat dikelompokan dalam beberapa golongan, yaitu:
a. Arthritis Rematoid ( AR )
Penyakit ini terjadi karena sistem imun menyerang lapisan atau

membran sinovial sendi. Proses ini pada umumnya melibatkan seluruh

tubuh, sehingga adapat menyebabkan kelelahan, kehilangan berat

badan, dan kurang darah atau anemia. Serta menyerang organ paru,

jantung, dan mata. Lebih serius lagi, AR dapat mnyebabkan kecacatan

tubuh. Arthritis reumatoid dapat ditegakkan melalui pemeriksaan

serum.
b. Gout
Biasanya penyakit ini timbulnya secara mendadak dan biasanya di

jempol kaki atau pada sendi lainnya. Gout disebabkan oleh gangguan

metabolisme protein purin yang menyebabkan asam urat darah

meningkat dan kristal asam urat terbentuk dalam sendi atau tempat

lainnya. Biasanya penyakit menyerang pada umur 40-50 tahun. Gout

dapat ditegakkan melalui pemeriksaan kadar asam urat.


11
c. Osteoarthritis ( OA )
Penyakit ini disebabkan oleh patahnya bantalan tulang rawan (kartilago)

yang menjadi bantal tulang. Penyakit ini sering juga disebut arthritis

degeneratif. Biasanya menyerang sendi kaki, lutut, pangkal paha, dan

jari tangan. Penderita OA ini umumnya berusia sekitar 45 tahun ke atas.


d. Arthritis Psoriatik
Arthritis ini selain menyerang tulang dan jaringan sendi, juga dapat

menyerang bagian tubuh lainnya. Bila menyerang kulit disebut arthritis

psoriasis, yang bersifat menahun atau kronis, yaitu sekitar 5 %. Arthritis

jenis ini lebih sering menyerang jari-jari tangan dan tulang belakang.

Kebanyakan gejalanya ringan, tetapi dapat menjadi sangat berat.


e. Arthritis Rheumatoid Juvenile
Penyakit ini menyerang anak-anak. Sifat arthritis ini berbeda dengan

orang dewasa, baik diagnosa dan perawatannya. Pada beberapa anak,

penyakit ini dapat sembuh total atau tetap ada sepanjang hidup mereka.
f. Ankilosing Spondilitis
Penyakit ini biasanya pada pria berumur 16-35 tahun dan kebanyakan

menyerang pada tulang belakang secraa kronis. Tulang belakang yang

terkena dapat menjadi rapuh atau menyatu secara perlahan dari atas ke

bawah, sehingga gerakan penderita seperti robot. Penderita tidak bisa

membungkuk maupun menoleh. Dalam keadaan yang sangat ekstrim,

bentuk tubuh penderita menjadi melengkung seperti “ tanda tanya”.

Khusus pada wanita, umumnya ringan dan sulit didiagnosa. Penyakit ini

bertendensi genetik.
5. Manifestasi Klinis
Adapun manifestasi klinis dari penyakit reumatik adalah :

a. Nyeri sendi, terutama pada saat bergerak

12
b. Pada umumnya terjadi pada sendi penopang beban tubuh, seperti

panggul, tulang belakang, dan lutut.

c. Terjadi kemerahan, inflamasi, nyeri, dan dapat terjadi deformitas

(perubahan bentuk)

d. Yang tidak progresif dapat menyebabkan perubahan cara berjalan

e. Rasa sakit bertambah hebat terutama pada sendi pinggul, lutut, dan jari-

jari

f. Saat perpindahan posisi pada persendian bisa terdengar suara

(cracking).

g. Gerakan terbatas

h. Kekakuan, kelemahan dan perasaan mudah lelah

6. Diagnosis

Diagnosis yang dapat ditegakkan pada penderita reumatik adalah

sebagai berikut :

a. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan peningkatan aktivitas penyakit,

keadaan mudah lelah serta keterbatasan mobilitas.

b. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa

nyeri, tidur/ istirahat yang tidak memadai, nutrisi yang tidak memadai,

stress emosional/ depresi.

c. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan penurunan rentang

gerak, kelemahan otot, nyeri pada gerakan, keterbatasan ketahanan fisik.

d. Kurang perawatan diri yang berhubungan dengan kontraktur, keletihan

atau gangguan gerak.

13
e. Gangguan citra tubuh yang berhubungan dengan perubahan dan

ketergantungan fisik serta psikologis yang disebabkan oleh penyakit atau

terapi.

f. Koping tidak efektif yang berhubungan dengan gaya hidup atau

perubahan peranan yang aktual atau dirasakan.

7. Penatalaksanaan

a. Konsep pengobatan

Konsep pengobatan ditujukan untuk :

1) Menghilangkan gejala inflamasi aktif baik lokal maupun sistemik

2) Mencegah terjadinya destruksi jaringan

3) Mencegah terjadinya deformitas dan memelihara fungsi persendian

agar tetap dalam keadaan baik

4) Mengembalikan keadaan fungsi organ dan persendian yang terlibat

agar sedapat mungkin menjadi normal kembali.

b. Terapi non-farmakologi

1) Terapi non-farmakologi yang dapat dilakukan agar terapi pada

rematik/pegal linu efektif, yaitu;

2) Menganjurkan pasien untuk mengurangi berat badan jika

kegemukan.

3) Istirahat yang cukup dan menghindari trauma pada sendi yang

berulang.

14
4) Penggunaan alat bantu sendi dan alat bantu berjalan.

5) Fisioterapi dan olah raga yang tepat (peregangan dan penguatan)

untuk membantu mempertahankan kesehatan tulang rawan,

meningkatkan daya gerak sendi, dan kekuatan otot.

6) Kompres panas/dingin dan latihan untuk memelihara sendi,

mengurangi nyeri, dan kekakuan.

7) Pemberian suplemen makanan yang mengandung glukosamin,

kondrotin yang berdasarkan uji klinik dapat mengurangi gangguan

sendi.

C. Tinjauan Umum Tentang Faktor Resiko yang Berhubungan dengan Penyakit

Reumatik
Penyebab reumatik sampai sekarang belum diketahui dengan pasti.

Namun, selain faktor penyebab ada beberapa faktor predisposisi yang

memberikan kontribusi terjadinya penyakit ini antara lain faktor usia, makanan,

aktivitas fisik, hormon, riwayat trauma, psikologis, dan radikal bebas (Bangun,

A.P., 2008) . Selengkapnya akan disajikan sebagai berikut :


1. Faktor Usia
Proses penuaan dianggap sebagai penyebab peningkatan kelemahan di

sekitar sendi, penurunan kelenturan sendi, kalsifikasi tulang rawan dan

menurunkan fungsi kondrosit, yang semuanya mendukung terjadinya

reumatik.
Dengan bertambahnya usia, cairan dalam sendi yang berfungsi

melumasi setiap gerakan mulai menipis dan mengental. Hal ini menyebabkan

tubuh menjadi kaku dan mulai sakit digerakan.

15
Setiap persendian tulang memiliki lapisan pelindung sendi yang

menghalangi terjadinya gesekan antara tulang. Sendi memiliki cairan yang

berfungsi sebagai pelumas sehingga tulang dapat digerakkan dengan

leluasa. Pada mereka yang sudah berusia lanjut, lapisan pelindung

persendian mulai menipis dan cairan tulang mulai mengental, menyebabkan

tubuh menjadi kaku dan sakit saat digerakkan.

2. Faktor Aktivitas Fisik


Aktivitas didefinisikan sebagai suatu aksi energetik atau keadaan

bergerak dan semua manusia memerlukan kemampuan untuk bergerak.

Aktivitas merupakan tanda kesehatan dimana adanya kemampuan

seseorang melakukan aktivitas seperti berdiri, berjalan, dan berkerja.

Kemampuan aktivitas seseorang tidak terlepas dari keadekuatan sistem

persarafan dan muskuloskeletal ( Fitriyani, 2006 ).


Menurut Priharjo (1993 ) Aktivitas fisik merupakan pergerakan anggota

tubuh yang menyebabkan pengeluaran tenaga. Bagi para lansia aktivitas fisik

sangat penting karena dengan mampu beraktivitas, para lansia dapat

mempertahankan kualitas hidup mereka agar tetap sehat (Soni P., 2010).
Ada beberapa aktivits fisik yang dapat dilakukan lansia untuk

mempertahankan tubuh, yaitu ;


a. Latihan Pertahanan ( Resistance Training )
Latihan pertahanan meliputi kecepatan gerak sendi luas lingkup

gerak sendi ( range of motion ) dan aktivitas fisik bersifat ketahanan ,

dapat membantu jantung, otot, paru-paru, otot, dan sirkulasi darah tetap

sehat dan membantu mereka tetap bertenaga. Contohnya : berjalan

dan lari ringan, senam lansia, dll.


b. Daya Tahan

16
Daya tahan akan meningkatkan kekuatan yang didapatkan dari

latihan pertahanan. Aktivitas fisik yang bersifat untuk kekuatan dapat

membantu kerja otot tubuh dalam menahan suatu beban yang diterima,

tulang tetap kuat, dan mempertahan bentuk tubuh serta membantu

meningkatkan pencegahan terhadap penyakit seperti osteoporosis

(tulang keropos).
c. Kelenturan
Kelenturan merupakan komponen yang sangat penting ketika

lansia melakukan kegiatan karena pada lansia banyak terjadi

pembatasan ruang lingkup gerak sendi akibat kekakuan otot dan

tendon. Aktivitas fisik yang bersifat untuk kelenturan dapat membantu

pergerakan lebih mudah, mempertahankan otot tubuh tetap lentur, dan

sendi berfungsi baik. Contohnya : menyiram bunga, senam aerobik

lansia.
d. Keseimbangan
Keseimbangan pada lansia harus diperhatikan karena gangguan

pada lansia saat melakukan kegiatan dapat menyebabkan lansian

terjatuh.
Penderita reumatik harus mampu menyeimbangkan kehidupannya

antara isirahat dan beraktivitas. Istirahat berlebihan atau jarang beraktivitas

tidak diperbolehkan, karena dapat mengakibatkan kekakuan pada otot dan

sendi dan juga seseorang yang tidak melakukan aktivitas aliran cairan sendi

akan berkurang dan berakibat aliran makanan yang masuk ke sendi

berkurang. Hal tersebut akan mengakibatkan proses degeneratif menjadi

berlebihan. Lakukan aktivitas sesuai kemampuan tubuh, seperti : olahraga

secara teratur setelah bangun pagi, seperti berjalan kaki, senam pernapasan
17
dan sejenisnya, dan dilakukan secara rutin. Olahraga aerobik saja tidak

cukup, perlu diikuti dengan latihan kekuatan, dan akan lebih sempurna lagi

bila ditambah dengan latihan perimbangan dan latihan peregangan. Selain

itu, berolahraga jalan kaki dan jogging juga sangat baik untuk kebugaran

tubuh dan relatif aman bagi para lansia karena menghindari risiko cedera

lutut. Para lansia yang sebelumnya tidak pernah berolahraga, disarankan

agar latihan dilakukan secara bertahap, baik intensitas, lama, dan frekuensi.

Tujuannya, memberi kesempatan tubuh beradaptasi pada beban latihannya.

Latihan olahraga untuk para lansia juga harus dilakukan dengan takaran

cukup (Soni P., 2010).


Aktivitas yang berlebihan bagi para usia lanjut tidak diperkenankan,

seperti berjalan jauh ( 2 km atau lebih ), mengangkat yang berat, olahraga

yang berlebihan dan juga pada sikap atau posisi badan yang salah saat

melakukan pekerjaan akan memudahkan timbulnya reumatik. Misalnya,

posisi badan sering membungkuk dalam melakukan pekerjaan membuat

pinggang sakit. Aktivitas sendi berlebihan dapat menekan sendi, terutama

aktivitas yang berhubngan dengan kerja sendi.


Gerakan-gerakan penuh tekanan secara berulang (misalnya jongkok

atau berlutut dengan mengangkat beban berat) dapat berkontribusi pada

deteriorasi kartolago (rawan sendi).


3. Faktor Riwayat Trauma
Trauma berasal dari kata yunani “tramatos” yang berarti luka dari

sumber luar. Trauma diartikan sebagai luka emosi dan fisik yang disebabkan

oleh keadaan yang mengancam diri.


Trauma akut yang terjadi pada persendian termasuk robekan pada

ligamentum krusiatum dan meniskus merupakan faktor risiko timbulnya


18
reumatik. Studi Framingham menemukan bahwa orang dengan riwayat

trauma pada daerah persendian memiliki risiko 5 – 6 kali lipat lebih tinggi

untuk menderita reumatik (Eka P., 2007).


Reumatik banyak terdapat pada lansia yang mempunyai riwayat

sebagai pekerja keras ataupun atlit keras. Penggunaan sikap atau posisi

tubuh yang kurang baik juga mempengaruhi terjadinya reumatik, seperti

posisi pekerjaan yang sering membungkuk, para kuli, petani dan yang

bekerja ditambang. Pekerjaan sebagai atlit tidak jarang sering terjadi riwayat

trauma, terutama bagi mereka mantan atlit tinju, pemain tennis, lari maraton,

dll (Eka P., 2007)


Cidera yang terjadi karena aktivitas, seperti olahraga atau kegiatan lain

juga berisiko terkena reumatik ; gerakan kejut (misalnya tiba-tiba jatuh atau

terhentak), Sikap tubuh atau posisi yang salah, trauma terkilir, benturan saat

olahraga

Cidera otot maupun sendi yang dialami sewaktu berolahraga atau

lantaran aktivitas fisik yang terlalu berat, bisa pula mengundang rematik.

Karena itu, sebelum berolahraga sangat dianjurkan melakukan pemanasan

yang bertujuan melenturkan otot dan sendi sehingga cidera dapat

dihindarkan. Adanya Riwayat trauma pada sendi merupakan faktor yang

dapat menimbulkan penyakit reumatik hal ini diakibatkan oleh menurunya

kelenturan dan elastisitas sendi yakni kartilago dan juga sinovial pada sendi

mengalami penurunan fungsi. Penurunan elastisitas sendi dan deteriorasi

kartilago inilah yang menyebabkan intensitas nyeri yang sering atau menetap

pada sendi.

19
4. Faktor Hormon
Hormon adalah molekul-molekul yang kegiatannya mengatur reaksi-

reaksi metabolik penting. Molekul-molekul tersebut dibentuk di dalam

organisme dengan proses metabolik dan tidak berfungsi didalam nutrisi.

Pada osteoporosis atau penyakit keropos tulang merupakan jenis

reumatik yang banyak dirasakan wanita setelah menopouse. Kurangnya

hormon estrogen setelah menopouse memperburuk masa tulang yang sudah

berkurang karena usia. Hormon estrogen (hormon utama pada wanita),

membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam tulang pada wanita.

Begitu juga faktor kegemukan memberikan beban berlebih pada tulang. Berat

badan yang berlebihan nyata berkaitan dengan meningkatnya resiko untuk

timbulnya reumatik baik pada wanita maupun pada pria. Hal ini akan

mempengaruhi kesehatan sendi.

5. Faktor Makanan
Tidak semua jenis reumatik dipengaruhi oleh faktor makanan. Reumatik

gout atau asam urat merupakan satu-satunya jenis reumatik yang

serangannya sangat dipengaruhi oleh pola makanan. Jenis makanan yang

dapat meningkatkan kadar asam urat yaitu mengkonsumsi terlalu banyak

makanan yang mengandung purin, seperti : jeroan, bayam, mentega,

makanan laut, kacang-kacangan, daging, tape, jengkol, santan, alpukat,

sarden, dan alkohol (Misnadiarly, 2007).


Diketahui bahwa lansia merupakan fase dimana organ-organ tubuh

mengalami penurunan fungsi tubuh, seperti fungsi pendengaran, fungsi

penglihatan, system persyarafan, system kardiovaskular, fungsi metabolisme,

system pencernaan dan lain-lain.


20
Faktor makanan jelas berhubungan dengan kejadian reumatik pada

lansia. Dimana makanan yang mengandung kadar purin yang tinggi akan

memicu kenaikan asam urat dalam darah. Purin merupakan salah satu zat

alami yang terkandung dalam tubuh. Purin merupakan salah satu penyusun

rantai DNA dan RNA bersama-sama dengan pirimidin. Enzim HGPRT

bertugas mengubah purin menjadi nukleotida ourin agar dapat digunakan

kembali sebagai penyusun DNA dan RNA.


Bahan dasar asam urat adalah purin. Apabila jumlah purin dalam tubuh

terlalu banyak, kelebihannya akan diubah menjadi asam urat. Dengan

demikian, mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung purin dapat

meningkatkan asam urat dalam darah.


Peningkatan produksi atau hambatan ekskresi akan meningkatkan

kadar asam urat dalam tubuh. Asam urat ini merupakan suatu zat yang

kelarutannya sangat rendah sehingga cenderung membentuk kristal.

Penimbunan asam urat paling banyak terdapat di sendi dalam bentuk kristal

mononatrium urat. Mekanismenya hingga saat ini masih belum diketahui.

Penimbunan Kristal pada persendian ini dapat menjadikan peradangan pada

persendian. Karena pada masa lansia terjadi penurunan kelenturan sendi,

kalsifikasi tulang rawan dan menurunkan fungsi kondrosit, Cairan dalam

sendi yang berfungsi melumasi setiap gerakan mulai menipis dan mengental.

Ditambah lagi terdapat penimbunan Kristal pada sendi sehingga dapat

menyebabkan peradangan pada sendi. Peradangan pada sendi ini akan

terasa nyeri sendi, terutama pada saat bergerak pada sendi pinggul,lutut, dan

21
jari-jari, nampak kemerahan, inflamasi, nyeri dan dapat terjadi deformitas

(perubahan bentuk).
Tabel 1 Jenis Makanan dan Kadar Purin

No. Kategori Kadar Purin Jenis Makanan


1. Tinggi (150-180 mg/100g) Hati sapi, ginjal, limpa,
paru, otak, dan sari pati
daging.
2. Sedang (50-150 mg/100g) Daging sapi, udang,
kepiting, cumi, kerang,
kembang kol, bayam
kangkung, asparagus,
dan jamur.
3. Rendah (<50 mg/ 100g) Gula, telur dan susu
Sumber : Sustrani, Alam dan Hadibroto (2005)
6. Faktor Psikologis
Ketegangan yang diliputi dengan kelelahan dan ketidakmampuan

menangani tuntutan fisik menjadi faktor timbulnya reumatik. Rasa nyeri yang

menjadi gejala khas reumatik akan bertambah buruk jika terjadi stress,

depresi, dan gelisah. Stress digunakan sebagai label untuk gejala psikologis

yang mendahului penyakit, reaksi ansietas, ketidaknyamanan dan banyak

keadaan lain. Dengan stress berkepanjangan, mekanisme tubuh dilengkapi

untuk mempertahankan tubuh, tetapi akibatnya adalah apa yang

dimanifestasikan dengan melemahnya resistensi terhadap penyakit dan

infeksi. Selama jangka waktu tertentu, kemampuan untuk bereaksi terhadap

stress dalam keadaan ini mengorbankan tubuh, yaitu sistem individu

berangsur-angsur menjadi “kehabisan tenaga”, mengakibatkan kerentanan

terhadap penyakit meningkat dan penurunan resistensi terhadap stress itu

sendiri. Sehingga pada lansia yang mempunyai stress tingkat tinggi atau

22
mekanisme koping yang kurang juga dapat menyebabkan timbulnya penyakit

reumatik.
7. Faktor Radikal Bebas
Dunia kedokteran dan kesehatan banyak membahas tentang radikal

bebas (free radicak). Hal ini terjadi karena sebagian besar penyakit diawali

oleh adanya reaksi oksidasi yang berlebihan di dalam tubuh. Oksigen

merupakan sesuatu yang paradoksial dalam kehidupan. Molekul ini sangat

dibutuhkan oleh organisme aerob karena memberikan energi pada proses

metabolisme dan respirasi, namun pada kondisi tertentu keberadaannya

dapat berimplikasi pada berbagai penyakit dan kondisi degeneratif, seperti

aging, reumatik/artrhitis, kanker dan lain-lain.


Radikal bebas adalah sekelompok elemen yang bersifat tidak stabil,

reaktif, merusak sel – sel hidup (sitotoksik), menurunkan kinerja zat – zat

dalam tubuh seperti enzim dan hormone serta merusak pembuluh darah dan

kulit. Kerusakan tersebut menyebabkan kulit menebal, kaku, tidak elastis,

keriput, pucat dan kering. Factor yang mempengaruhi terbentuknya radikal

bebas antara lain sinar matahari, zat kimia, zat pengawet, pewarna dan

pelezat makanan, polusi udara, makanan tinggi kalori dan karbohidrat,

pengobatan dengan sinar ultra violet dalam jangka panjang. Radikal bebas

yang timbul karena pencemaran dan bahan kimia dalam makanan menjadi

racun yang menurunkan daya tahan tubuh. Akibatnya, hal ini memperburuk

kerusakan jaringan tubuh dan menimbulkan gejala reumatik.


D. Tinjauan Umum Tentang Lansia

1. Definisi Lansia

23
Menurut Undang-Undang RI No.3 Tahun 1986 Bab I Pasal I ayat 2

tentang kesejahteraan lanjut usia yang berbunyi lanjut usia adalah seseorang

yang mencapai usia 60 tahun ke atas (Nugroho, 2005). Menurut Prof Dr.

Koesoemato Setyo Negoro (Darmojo, 2009) lanjut usia (geriatric age) adalah

seseorang dengan usia lebih dari 65 tahun.

Lanjut usia (Lansia) adalah proses menjadi lebih tua dengan umur

mencapai 65 tahun ke atas. Pada lansia akan mengalami kemunduran fisik,

mental, dan sosial. Salah satu contoh kemunduran fisik pada lansia adalah

rentannya lansia terhadap penyakit, khususnya penyakit degeneratif. Penyakit

degeneratif yang umum di derita lansia adalah hipertensi, reumatik, asam urat,

dermatitis, retensi urine, dermatitis dan lain-lain (Nugroho, 2013).

Lanjut usia adalah suatu kejadian yang pasti akan dialami oleh semua

orang yang dikaruniai usia panjang, terjadinya tidak bisa dihindari oleh

siapapun. Namun manusia dapat menghambat kejadiannya.

2. Batas-Batas Lanjut Usia

Batasan usia menurut WHO meliputi (dikutip dalam Darmojo, 2009) :

a. Usia pertengahan (middle age), yaitu kelompok usia 45 sampai 59 tahun

b. Lanjut usia (elderly), antara 60 sampai 74 tahun

c. Lanjut usia tua (old), antara 75 sampai 90 tahun

d. Usia sangat tua (very old), di atas 90 tahun

Menurut UU No. 4 tahun 1965 pasal 1 dinyatakan sebagai berikut :

“Seseorang dapat dinyatakan sebagai seorang jompo atau lanjut usia setelah

yang bersangkutan mencapai umur 55 tahun, tidak mempunyai atau tidak

24
berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari serta

menerima nafkah dari orang lain”. Saat ini berlaku UU No. 13 tahun 1998

tentang kesejahteraan lansia yang berbunyi sebagai berikut: lansia adalah

seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas (Darmojo, 2009).

3. Perubahan-Perubahan yang Terjadi Pada Lansia

Secara umum kondisi fisik seseorang yang telah memasuki masa lanjut

usia mengalami penurunan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa perubahan : (1)

perubahan penampilan pada bagian wajah, tangan, dan kulit, (2) perubahan

bagian dalam tubuh seperti sistem saraf : otak, isi perut : limpa, hati, (3)

perubahan panca indra : penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa, dan

(4) perubahan motorik antara lain berkurangnya kekuatan, kecepatan dan

belajar keterampilan baru.

Menurut Nugroho (2005) perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia

meliputi:

a. Perubahan-perubahan Fisik

1) Sel.

Perubahan yang terjadi pada tingkat sel meliputi: Sel menjadi

lebih sedikit jumlahnya, ukurannya menjadi lebih besar, jumlah cairan

tubuh dan cairan intraseluler berkurang, proporsi protein di otak, otot,

ginjal, darah, dan hati menurun, jumlah sel otak menurun, mekanisme

perbaikan sel terganggu, dan otak menjadi atrofis beratnya berkurang

5-10%.

2) Sistem Persarafan.

25
Perubahan yang terjadi pada system persarafan berupa: berat

otak menurun 10-20%. (Setiap orang berkurang sel saraf otaknya

dalam setiap harinya), hubungan persarafan cepat menurun, lambat

dalam respon dan waktu untuk bereaksi, khususnya dengan stress,

saraf panca indra mengecil, penglihatan berkurang, pendengaran

menurun, saraf pencium dan perasa mengecil, lebih sensitif terhadap

perubahan suhu dengan rendahnya ketahanan terhadap dingin, serta

kurang sensitif terhadap sentuhan.

3) Sistem Pendengaran.

Perubahan yang terjadi pada system pendengaran dapat berupa

(Nugroho, 2005):

a) Presbiakusis (gangguan dalam pendengaran). Hilangnya

kemampuan pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap

bunyi suara atau nada-nada yang tinggi, suara yang tidak jelas, sulit

mengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia diatas umur 65 tahun.

b) Otosklerosis akibat atrofi membran tympani .

c) Terjadinya pengumpulan serumen dapat mengeras karena

meningkatnya keratin.

d) Pendengaran bertambah menurun pada lanjut usia yang mengalami

ketegangan jiwa/stres.

4) Sistem Penglihatan.

Perubahan pada system penglihatan dapat berupa: timbul

sklerosis dan hilangnya respon terhadap sinar, kornea lebih berbentuk

26
sferis (bola), kekeruhan pada lensa menyebabkan katarak,

meningkatnya ambang, pengamatan sinar, daya adaptasi terhadap

kegelapan lebih lambat dan susah melihat dalam cahaya gelap,

hilangnya daya akomodasi, menurunnya lapangan pandang, berkurang

luas pandangannya, dan menurunnya daya membedakan warna biru

atau hijau.

5) Sistem Kardiovaskuler.

Perubahan yang terjadi pada system kardiovaskuler dapat berupa

(Nugroho, 2005):

a) Elastisitas dinding aorta menurun.

b) Katup jantung menebal dan menjadi kaku.

c) Kemampuan jantung memompa darah menurun, hal ini

menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya.

d) Kehilangan elastisitas pembuluh darah, kurangnya efektivitas

pembuluh darah perifer untuk oksigenisasi. Perubahan posisi dari

tidur ke duduk atau dari duduk ke berdiri bisa menyebabkan

tekanan darah menurun, mengakibatkan pusing mendadak.

e) Tekanan darah meninggi akibat meningkatnya resistensi pembuluh

darah perifer.

6) Sistem Pengaturan Temperatur Tubuh.

Perubahan yang terjadi dapat berupa: temperatur tubuh menurun

(hipotermia) secara fisiologis akibat metabolisme yang menurun, dan

27
keterbatasan refleks menggigil dan tidak dapat memproduksi panas

akibatnya aktivitas otot menurun.

7) Sistem Respirasi

Perubahan pada sitem respirasi teridiri atas: otot-otot pernafasan

kehilangan kekuatan dan menjadi kaku, aktivitas silia menurun, paru-

paru kehilangan elastisitas, menarik nafas lebih berat, kapasitas

pernafasan maksimum menurun, dan kedalaman bernafas menurun,

alveoli ukuranya melebar dari biasa dan jumlahnya berkurang,

kemampuan untuk batuk berkurang, serta kekuatan otot pernafasan

akan menurun seiring dengan pertambahan usia.

8) Sistem Gastrointestinal.

Perubahannya dapat berupa: kehilangan gigi akibat periodontal

disease, kesehatan gigi yang buruk dan gizi yang buruk, indera

pengecap menurun, hilangnya sensitivitas saraf di lidah terhadap rasa

manis, asin, asam, dan pahit, esophagus melebar, rasa lapar menurun,

asam lambung menurun, peristaltik lemah dan biasanya timbul

konstipasi, dan daya absorbsi melemah.

9) Sistem Reproduksi.

Pada sistem reproduksi, perubahannya dapat berupa: ovari dan

uterus menciut, atrofi payudara, pada laki-laki testis masih dapat

memproduksi spermatozoa meskipun adanya penurunan secara

berangsur-angsur, dan selaput lendir vagina menurun.

10)Sistem Perkemihan.

28
Perubahan yang terjadi pada system perkemihan berupa: nefron

menjadi atrofi dan aliran darah ke ginjal menurun sampai 50%, otot-otot

vesika urinaria menjadi lemah, frekuensi buang air kecil meningkat dan

terkadang menyebabkan retensi urin pada pria.

11) Sistem Endokrin.

Perubahan yang terjadi pada sistem endokrin dapat berupa:

produksi semua hormon menurun, aktivitas tiroid menurun, BMR

(Basal Metabolic Rate) menurun, daya pertukaran zat, menurun,

produksi aldosteron menurun, dan juga sekresi hormon kelamin

misalnya, progesteron, estrogen, dan testosterone mengalami

penurunan.

12)Sistem Kulit (Sistem Integumen)

Pada system integument, dapat terjadi perubahan sebagai

berikut : kulit mengerut atau keriput akibat kehilangan jaringan lemak,

permukaan kulit kasar dan bersisik karena kehilangan proses

keratinisasi, serta perubahan ukuran dan bentuk-bentuk sel epidermis,

kulit kepala dan rambut menipis berwarna kelabu, rambut dalam hidung

dan telinga menebal, berkurangnya elastisitas akibat dari menurunya

cairan dan vaskularisasi, serta pertumbuhan kuku lebih lambat.

b. Perubahan-Perubahan Psikologis

29
Pada lansia, dapat terjaid perubahan pada aspek psikologis atau

mental yang dipengaruhi oleh:perubahan fisik, khususnya organ perasa,

kesehatan umum, tingkat pendidikan, keturunan (hereditas), lingkungan,

kenangan (memori) (Stanley, 2007).

c. Perubahan-Perubahan Psikososial

1) Pensiun: nilai seseorang sering diukur oleh produktivitasnya dan

identitas dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan. Bila seseorang

pensiun, ia akan mengalami kehilangan-kehilangan, antara lain :

kehilangan finansial (income berkurang), kehilangan status (dulu

mempunyai jabatan posisi yang cukup tinggi, lengkap dengan segala

fasilitasnya), kehilangan teman/kenalan atau relasi, dan kehilangan

pekerjaan/kegiatan.

2) Merasakan atau sadar akan kematian/sense of awareness of mortality

3) Perubahan dalam cara hidup, yaitu memasuki rumah perawatan

bergerak lebih sempit.

4) Ekonomi akibat pemberhentian dari jabatan/economic deprivation

5) Meningkatnya biaya hidup pada penghasilan yang sulit, bertambahnya

biaya pengobatan.

6) Penyakit kronis dan ketidakmampuan.

7) Gangguan saraf dan penginderaan, timbul kebutaan dan ketulian.

8) Gangguan gizi akibat kehilangan jabatan.

9) Rangkaian dari kehilangan, yaitu kehilangan hubungan dengan teman-

teman dan keluarga.

30
10)Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik: perubahan terhadap

gambaran diri, perubahan konsep diri (Stanley, 2007).

4. Tugas perkembangan pada lansia

Orang tua diharapkan untuk menyesuaikan diri dengan menurunnya

kekuatan dan menurunnya kesehatan secara bertahap. Mereka diharapkan

untuk mencari kegiatan untuk mengganti tugas-tugas terdahulu yang

menghabiskan sebagian besar waktu kala mereka masih muda. Bagi

beberapa orang berusia lanjut, kewajiban untuk menghadiri rapat yang

menyangkut kegiatan sosial sangat sulit dilakukan karena kesehatan dan

pendapatan mereka menurun setelah pensiun, mereka sering mengundurkan

diri dari kegiatan sosial. Disamping itu, sebagian besar orang berusia lanjut

perlu mempersiapkan dan menyesuaikan diri dengan peristiwa kehilangan

pasangan, perlu membangun ikatan dengan anggota dari kelompok usia

mereka untuk menghindari kesepian dan menerima kematian dengan tentram

(Nugroho, 2005)

5. Aktifitas Sehari-hari Lansia

Kondisi fisik seseorang yang telah memasuki lanjut usia akan

mengalami penurunan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa perubahan

penampilan pada wajah, tangan, dan kulit, perubahan bagian dalam tubuh

seperti sistem saraf, perubahan panca indera seperti penglihatan,

pendengaran, penciuman, perasa dan perubahan motorik antara lain

berkurangnya kekuatan, kecepatan dan belajar ketrampilan baru. Perubahan-

perubahan tersebut pada umumnya mengarah pada kemunduran kesehatan

31
fisik dan psikis yang akhirnya akan berpengaruh pada penurunan aktifitas

kehidupan sehari-hari. Kemampuan lansia untuk melakukan aktifitas kegiatan

sehari-hari memberikan suatu data untuk menandakan kemampuan diri lansia.

Untuk merencanakan bantuan yang diberikan pada lansia dalam mencapai

kembali tingkat ketidak ketergantungan yang maksimal, dan untuk

merencanakan pemberian dukungan. Aktifitas dasar kehidupan sehari-hari

dan aktifitas intrumental aktifitas kehidupan sehari-hari diberikan keduanya

(Jumriah, 2011).

Lansia yang masih melakukan aktifitas kehidupan sehari-hari

dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor fisik, faktor psikis dan

faktor lingkungan, faktor fisik, setiap orang yang 60 tahun atau disebut lansia

akan berbeda-beda tingkat kemampuannya dalam melakukan sejumlah

aktifitas dasar seperti makan dan mandi. Semuanya tergantung bagaimana

kekuatan fisik dan sistem imun yang dimiliki si lansia tersebut dan bagaimana

kebiasaan hidup ketika si lansia itu dulunya masih muda contohnya seseorang

yang ketika ia masih muda dan dia menerapkan perilaku hidup yang bersih

dan sehat (PHBS) seperti : rajin berolahraga, makan makanan yang bergizi,

sehat dan bervitamin (sayur-sayuran dan buah-buahan), tidak merokok, tidak

minum minuman yang beralkohol, tidak melakukan free sex, dll. tentunya

secara fisiologis ketika nantinya seseorang tersebut menjadi lansia maka

kekuatan fisiknya akan sedikit mengalami penurunan dan dia masih akan

mampu melakukan aktifitas dasar sehari-hari seperti makan dan mandi

bahkan aktifitas lainnya. Hal tersebut akan bertolak belakang dengan lansia

32
yang ketika masa mudanya tidak menerapkan PHBS atau perilaku hidup

bersih dan sehat. PHBS yang kita lakukan ketika masih muda akan

berpengaruh nantinya ketika kita akan lansia. Mengonsumsi makan makanan

yang sehat, bergizi, dan bervitamin dapat memberikan manfaat yang sangat

besar bagi tubuh. Seperti dapat menjaga sistem kerja motorik, terhindar dari

berbagai penyakit (Prajaningsih, 2012).

6. Masalah Kesehatan Pada Lansia

Adapun beberapa masalah kesehatan yang sering terjadi pada lansia

berbeda dari orang dewasa, yang menurut Kane & Ouslander sering disebut

dengan istilah 14 I, yaitu Immobility (kurang bergerak), Instability (berdiri dan

berjalan tidak stabil atau mudah jatuh), Incontinence (beser buang air kecil

dan atau buang air besar), Intellectual impairment (gangguan intelektual/

dementia), Infection (infeksi), Impairment of vision and hearing, taste, smell,

communication, convalescence, skin integrity (gangguan pancaindera,

komunikasi, penyembuhan, dan kulit), Impaction (sulit buang air besar),

Isolation (depresi), Inanition (kurang gizi), Impecunity (tidak punya uang),

Iatrogenesis (menderita penyakit akibat obat-obatan), Insomnia (gangguan

tidur), Immune deficiency (daya tahan tubuh yang menurun), dan Impotence

(impotensi) (Nango, 2011).

BAB III

KERANGKA KONSEP

33
A. Dasar Pikir Penelitian

Reumatik merupakan penyakit yang telah lama dikenal dan merupakan

masalah kesehatan yang memerlukan penanggulangan yang baik mengingat

angka kejadian dan kesakitan cukup tinggi dan akibat jangka panjang yang

ditimbulkan mempunyai konsekuensi tertentu. Reumatik dapat berlangsung

secara perlahan-lahan tetapi secara potensial sangat membahayakan karena

komplikasi dapat bersifat sistemik yaitu mencakup seluruh organ tubuh.

Secara teori belum ditemukan secara pasti penyebab utama dari reumatik,

akan tetapi beberapa studi menyebutkan bahwa faktor predisposisi reumatik

seperti aktivitas dan riwayat trauma mempunyai korelasi yang nyata dengan

insiden reumatik. Oleh karena itu dalam penelitian ini, peneliti ingin mencoba

mencari hubungan faktor aktifitas fisik dan riwayat trauma dengan penyakit

reumatik pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari.

B. Bagan Kerangka Konsep

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit reumatik :


Variabel Independen Variabel Dependen

Faktor Resiko 34
Genetik

Infkesi
Autoimun
Aktifitas Fisik Penyakit Reumatik
Riwayat Trauma Pada Lansia

Umur
Psikologis
Radikal Bebas
Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian

Keterangan:

: Variabel independen yang diteliti


: Variabel dependen yang diteliti
: Garis variable yang diteliti
: Garis variable yang tidak diteliti

C. Variabel Penelitian

1. Variabel bebas (independen) dalam penelitian ini adalah aktifitas fisik dan

riwayat trauma
2. Variabel terikat (dependen) dalam penelitian ini adalah penyakit reumatik

pada lansia

D. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

1. Penyakit Reumatik Pada Lansia

Penyakit reumatik pada lansia yang dimaksud dalam penelitian ini

adalah penyakit radang sendi atau yang lebih dikenal dengan reumatik yang

dialami lansia pada umur > 60 tahun dalam penelitian ini, dimana kriteria

objektifnya adalah sebagai berikut.

Menderita : Bila responden dalam penelitian ini mengalami reumatik

35
Tidak Menderita : Bila responden dalam penelitian ini tidak mengalami

reumatik

2. Aktifitas fisik

Faktor Aktivitas fisik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kegiatan

yang dilakukan oleh lansia di Panti Werdha Minaula setiap hari. Pengukuran

indikator berdasarkan jawaban pertanyaan kuesioner yang telah diberi skor

atau bobot dimana setiap pertanyaan mempunyai skor 1 dan 0, dimana pada

variable ini terdiri dari 10 (sepuluh) pertanyaan.

Skor 1 : Jika responden menjawab ya

Skor 0 : Jika responden menjawab tidak

Skor atau bobot tersebut kemudian dihitung dengan menggunakan

rumus interval kelas menurut skala Guttman :

R
I= (Sugiono, 2010)
K
Dimana :

I = Interval

R = Range atau kisaran (100-0 = 100)

K = Jumlah kategori (2)

Skor tertinggi = 1 x 10 = 10 (100%)

Skor terendah = 0 x 10 = 0 (0%)

100
I=
2
I = 50%

36
Dengan demikian kriteria objektifnya adalah :

Tidak Beresiko : Bila responden memperoleh nilai > 50% dari pertanyaan

yang diajukan

Beresiko : Bila responden memperoleh nilai < 50% dari pertanyaan

yang diajukan

3. Riwayat Trauma

Faktor Riwayat Trauma yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

adanya riwayat trauma fisik atau kecelakaan yang menyebabkan gangguan

pada sendi lansia di dalam panti.

Kriteria Objektif:

Berisiko : bila pasien pernah mengalami trauma seperti pernah

jatuh terhentak, trauma terkilir,luka akut pada sendi dan

benturan baik dalam aktivitas sehari-hari maupun saat

olahraga.
Tidak berisiko : bila pasien tidak pernah mengalami trauma seperti jatuh

terhentak, trauma terkilir, dan benturan baik dalam

aktivitas sehari-hari maupun saat olahraga.

E. Hipotesis Penelitian

1. Aktifitas Fisik

Ho : Tidak ada resiko antara faktor aktifitas fisik dengan penyakit

reumatik pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula

Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2015

Ha : Ada resiko antara faktor aktifitas fisik dengan penyakit reumatik

pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari Provinsi


37
Sulawesi Tenggara Tahun 2015

2. Riwayat Trauma

Ho Faktor Risiko
: Tidak + resiko antara faktor riwayat trauma dengan penyakit
ada

reumatik pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula

Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2015

Ha : Ada resiko antara faktor riwayat trauma dengan penyakit

reumatik pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula

Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2015

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian analitik dengan menggunakan

rancangan Case Control Study dimana faktor resiko ditelusuri dengan efek

diidentifikasi pada saat ini kemudian faktor risiko (Notoatmodjo, 2010).


Dibawah ini adalah desain case control sebagai berikut :

Faktor Risiko +
Lansia yang mengalami reumatik
(kasus)
Faktor Risiko -

Matching Populasi
(Umur) (sampel)

Lansia yg tdk mengalami reumatik


(kontrol)
Faktor Risiko - 38
Gambar 2 : Rancangan Penelitian Kasus Kontrol

B. Waktu dan Lokasi Penelitian

1. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada 23 Juni sampai 30 Juni 2015.

2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula

Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang akan diteliti

(Notoatmodjo, 2010). Populasi dalam penelitian ini adalah jumlah seluruh

lansia yang tercatat dan tinggal di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula

Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara hingga bulan Juni 2015 berjumlah 95

orang.
2. Sampel
a. Jumlah Sampel
Sampel adalah sebagian dari populasi yang dipilih dengan cara

tertentu hingga dianggap mewakili populasinya (Notoatmodjo, 2010).

Apabila subjek lebih dari 100 maka menggunakan 10 – 20 % tetapi bila

subjek kurang dari 100 maka menggunakan total sampling (Arikunto,

2006).
Dengan demikian peneliti mengambil sampel dengan jumlah sama

besar dengan populasi, sehingga jumlah sampel dalam penelitian ini

adalah 19 orang. Sampel penelitian ini terbagi dua yaitu :


39
1) Sampel kasus : Responden yang merupakan lansia yang
mengalami reumatik yang tercatat hingga bulan
Juni 2015 berjumlah 19 orang.
2) Sampel kontrol : Responden yang merupakan lansia yang tidak

mengalami reumatik yang tercatat hingga bulan

Juni 2015 berjumlah 19 orang.

Dengan demikan total sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak

38 orang responden.
b. Teknik Penarikan Sampel
Sampel diambil dengan teknik Total Sampling dimana cara

pengambilan sampel yang diambil sama besar dengan jumlah populasi

(Notoatmodjo, 2010).

D. Jenis dan Cara Pengumpulan Data

1. Jenis Data
a. Data primer
Data primer dalam penelitian ini diperoleh dengan wawancara

langsung kepada responden dalam hal ini adalah lansia di Panti Sosial

Tresna Werdha Minaula Kendari dengan menggunakan kuisioner.


b. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari bagian-bagian yang berhubungan

dengan obyek penelitian di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari

seperti bagian pencatatan (status pasien, buku pelaporan dan Profil Panti

Sosial Tresna Werdha Minaula) serta hal yang terkait yang berhubungan

dengan data yang di perlukan).

2. Cara Pengumpulan Data


a. Izin Penelitian
Penelitian dimulai setelah mendapat izin dari institusi tempat

penelitian.

40
b. Pelaksanan Penelitian
Pelaksana penelitian dilakukan oleh peneliti sendiri.
c. Informed Concent
Setiap responden diberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan

dari penelitian, dan diberikan kesempatan bertanya tentang penelitian ini.

Responden yang setuju diminta untuk menandatangani surat bersedia

menjadi reponden.
d. Prosedur Pelaksanaan
Setelah responden ditetapkan sesuai dengan kriteria sampel,

peneliti melakukan pengumpulan data untuk mengetahui hubungan antara

pelayanan perawat dengan masalah kesehatan lansia di Panti Sosial

Tresna Werdha Minaula Kendari.

E. Pengolahan dan Analisis Data

1. Pengolahan Data
Data primer yang di kumpulkan dalam penelitian di olah adalah sebagai

berikut :

a. Coding
Memberikan kode jawaban dengan angka atau simbol tertentu untuk

memudahkan perhitungan dan menganalisanya.


b. Editing
Editing dilakukan untuk meneliti kembali setiap daftar pertanyaan yang

sudah diisi. Editing meliputi kelengkapan pengisian, kesalahan pengisian

dan konsistensi dari setiap jawaban


c. Skoring
Skoring adalah perhitungan secara manual dengan menggunakan

kalkulator untuk mengetahui persentase setiap variabel yang diteliti.


d. Tabulating
Tabulasi data merupakan kelanjutan dari pengkodean pada proses

pengolahan dalam hal ini setelah data tersebut di coding kemudian

41
ditabulasi agar lebih mempermudah penyajian data dalam bentuk distribusi

frekuensi. Pengolahan data dilakukan secara elektronik dengan

menggunakan komputer program SPSS versi 22.0 for Windows.


e. Entry
Proses memasukkan data kedalam komputer.

2. Analisis Data
a. Analisis Univariat
Dalam penelitian ini di gunakan untuk mengetahui frekuensi,

distribusi dan proporsi variabel bebas dan variabel terikat dengan

menggunakan nilai mean dan presentase.

X =

Keterangan :
X = presentase variabel teliti
F =jumlah sampel berdasrkan kriteria penelitian
n = jumlah sampel
k = konstanta (100%) (Candra, 2008)
b. Analisis Bivariat

Analisis ini digunakan untuk mengetahui besaran hubungan dan

pengaruh faktor resiko terhadap faktor efek dengan menggunakan Uji Odds

Ratio. Adapun rumus uji Odds Ratio adalah :

Kemudian hasil analisis disajikan pada tabel dengan menggunakan

tabel 2 x 2 seperti berikut ini.

Tabel 2. Tabel 2 x 2 Count Data Case Control Study

Faktor Risiko Kasus Kontrol Jumlah

42
Positif a b a+b

Negatif c d c+d

Jumlah a+c b+d a+b+c+d

Keterangan :

a : Jumlah kasus dengan resiko positif

b : Jumlah kontrol dengan resiko positif

c : Jumlah kasus dengan resiko negatif

d : Jumlah kontrol dengan resiko negatif

Adapun ketentuan yang digunakan dalam OR sebagai berikut :

1) Interval kepercayaan sebesar 95%

2) Nilai kemaknaan untuk melihat hubungan faktor resiko dengan kasus

ditentukan berdasarkan batas-batas (limit) sebagai berikut :

a) Bila OR > 1 berarti merupakan faktor risiko


b) Bila OR < 1 berarti efek protektif (perlindungan)
c) Bila OR = 1 berarti bukan merupakan faktor risiko

Nilai OR di anggap bermakna jika nilai Lower limit dan Upper limit

tidak mencakup nilai 1.

1) Upper Limit : OR x e+F

2) Lower Limit : OR x e-F

Dimana :

F = √1/a + 1/b + 1/c + 1/d x 1,96

e = Log Nature (2,72) (Arikunto, 2006)

43
F. Penyajian Data

Penyajian data dilakukan, setelah data di olah dan di sajikan dalam bentuk

tabel distribusi serta tabel analisis pengaruh antara variabel, yang di sertai dengan

narasi.

G. Etika Penelitian

Sebelum melakukan penelitian, peneliti mengajukan permohonan izin

kepada Kepala Panti Tresna Werdha Minaula Kendari dengan memperhatikan

masalah etika sebagai berikut :

1. Lembar Persetujuan menjadi responden (Informed consent)


Lembar persetujuan diberikan kepada responden yang akan diteliti, agar

responden memahami maksud dan tujuan penelitian. Apabila responden

penelitian setuju maka harus menandatangani lembar persetujuan sebagai

responden penelitian.
2. Tanpa Nama (Anonimity)
Untuk menjaga kerahasiaan identitas responden, maka peneliti tidak

mencantumkan nama pada lembar pengumpulan data (kuesioner) yang di isi

oleh responden tersebut hanya diberi nomor kode tertentu.


3. Kerahasiaan (Confidientialy)
Kerahasiaan informasi yang diberikan, dijamin oleh peneliti, hanya

kelompok data tertentu saja yang disajikan atau dilaporkan sebagai hasil riset.

44
BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian


1. Letak Geografis
Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Minaula didirikan pada tahun

1979/1980, yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan sosial di Sulawesi

Tenggara khususnya permasalahn sosial lanjut usia terlantar.


Panti Sosial Tresna Werdha Minaula berlokasi ± 24 km dari Kota

Kendari tepatnya di Desa Ranooha Kecamatan Ranomeeto Kabupaten

Konawe Selatan dengan luas area ± 3000 m 2. Adapun batas wilayah Panti

Sosial Werdha Minaula adalah sebagai berikut :


a. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Laikaaha
b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Onewila
c. Sebelah Barat berbatasan dengan Hutan Ranooha.
d. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Konda
2. Lingkungan/Sarana Fisik
Panti Sosial Tresna Werdha Minaula (PSTW) memiliki sarana fisik

sebanyak 26 unit yang terdiri dari :


a. Wisma tempat tinggal klien : 12 Buah
b. Ruang perawatan khusus : 1 Buah
c. Ruang Keterampilan : 1 Buah
d. Ruangan kantor : 1 Buah
e. Aula : 1 Buah
f. Poliklinik : 1 Buah
g. Mushola : 1 Buah
h. Rumah jabatan pimpinan : 1 Buah
45
i. Rumah Petugas : 6 Buah
j. Dapur umum/gudang : 1 Buah
Selain sarana bangunan, Panti Sosial Tresna Werdha Minaula (PSTW)

Kendari juga dilengkapi dengan sarana transportasi antara lain :


a. Kendaraan roda 4 : 3 unit (Kendaraan Dinas Kepala Panti, Bus
& Ambulance)
b. Kendaraan roda 2 : 3 unit
Sarana fisik khusus dalam menanggulangi risiko jatuh bagi para lansia

di Panti Werdha ini masih minim. Hal ini dibuktikan bahwa tidak semua Wisma

memiliki sarana pendukung keselamatan lansia seperti : tempat berpegang di

dalam maupun di luar tiap wisma, kemudian kondisi lantai yang licin, termasuk

keadaan kamar mandi yang pencahayaannya masih kurang. Sehingga risiko

cedera atau jatuh masih sangat besar akan dialami oleh lansia.
3. Status
Panti Sosial Tresna Werdha diresmikan oleh Menteri Sosial RI Bapak

Saparjo pada tanggal 7 Desember 1981. Pada awal beroperasi Panti Werdha

Minaula menyantuni lanjut usia terlantar/ jompo sebanyak 20 orang, dan

jumlah ini berkembang terus sehingga pada tahun 1982/1983 mencapai 100

orang lansia/ jompo, keadaan ini bertahan hingga tahun 2015 dan bertambah

dari tahun ke tahunnya.


4. Jenis Kegiatan Lansia Di Panti Werdha
Jenis kegiatan yang dilakukan oleh lansia selama berada di panti

werdha, antara lain ; kegiatan bimbingan kerohanian pada hari Senin,

bimbingan keterampilan ( menganyam tikar, membuat tudung/topi, membuat

atap), berkebun, pelayanan kesehatan, dan kegiatan senam lansia yang

dilaksanakan pada hari Senin, Rabu, dan Jumat.


B. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Karakteristik Responden
a. Jenis Kelamin

46
Jenis kelamin responden dalam penelitian ini disajikan seperti pada

tabel berikut ini :

Tabel 3. Distribusi Karakterisitik Responden Berdasarkan Jenis


Kelamin di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari
Tahun 2015

No Jenis Kelamin Jumlah (n) Persentase (%)


1 Laki-Laki 18 47.4

2 Perempuan 20 52.6

Total 38 100
Sumber : Data Primer diolah bulan Juli 2015

Tabel di atas menunjukkan bahwa dari 38 responden frekuensi

tertinggi adalah responden berjenis kelamin perempuan sebanyak 20

responden (52.6%) dan frekuensi terendah adalah responden laki-laki yaitu

sebanyak 18 orang responden (47.4%).

2. Analisis Univariat
a. Penyakit Reumatik

Penyakit reumatik yang diderita responden dalam penelitian ini

disajikan seperti pada tabel berikut ini :

Tabel 6. Distribusi Responden Berdasarkan Variabel Penyakit


Reumatik di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari
Tahun 2015

No Penyakit Reumatik Jumlah (n) Persentase (%)


1 Menderita (Kasus) 19 50.0
2 Tidak Menderita (Kontrol) 19 50.0
Total 38 100
Sumber : Data Primer diolah bulan Juli 2015

Tabel di atas menunjukkan bahwa dari 38 responden, sebanyak 19

orang (50.0%) yang menderita penyakit reumatik dan sebagai sampel

47
kasus dalam penelitian ini dan sebanyak sebanyak 19 orang (50.0%) yang

tidak menderita penyakit reumatik dan sebagai sampel kontrol dalam

penelitian ini.

b. Aktifitas Fisik

Aktifitas fisik responden dalam penelitian ini disajikan seperti pada

tabel berikut ini :

Tabel 4. Distribusi Responden Berdasarkan Variabel Aktifitas Fisik di


Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari Tahun 2015

No Aktifitas Fisik Jumlah (n) Persentase (%)


1 Beresiko 16 42.1
2 Tidak Beresiko 22 57.9
Total 38 100
Sumber : Data Primer diolah bulan Juli 2015

Tabel di atas menunjukkan bahwa dari 38 responden, responden

kriteria aktifitas fisik kategori tidak beresiko yakni sebanyak 22 orang

(57.9%) dan responden kriteria aktifitas fisik kategori beresiko yaitu

sebanyak 16 orang (42.1%).

48
c. Riwayat Trauma

Riwayat trauma responden dalam penelitian ini disajikan seperti

pada tabel berikut ini :

Tabel 5. Distribusi Responden Berdasarkan Variabel Riwayat Trauma


di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari Tahun 2015

No Riwayat Trauma Jumlah (n) Persentase (%)


1 Beresiko 18 47.4
2 Tidak Beresiko 20 52.6
Total 38 100
Sumber : Data Primer diolah bulan Juli 2015

Tabel di atas menunjukkan bahwa dari 38 responden, responden

kriteria riwayat trauma tidak beresiko yakni sebanyak 20 orang (52.6%) dan

responden kriteria riwayat trauma beresiko yaitu sebanyak 18 orang

(47.4%).

3. Analisis Bivariat
a. Hubungan Faktor Aktifitas Fisik dengan Penyakit Reumatik pada

Lansia

Hubungan faktor aktifitas fisik dengan penyakit reumatik pada lansia

dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 7. Distribusi Responden Berdasarkan Hubungan Faktor


Aktifitas Fisik dengan Penyakit Reumatik pada Lansia di
Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari Tahun 2015

Penyakit Reumatik
Total 95% Cl
Aktifitas Kasus Kontrol OR
Fisik
n % n % n % Lower Upper
6.429

Beresiko 15 39.5 7 18.4 22 57.9 1.517 27.244

49
Tdk
4 10.5 12 31.6 16 42.1
Beresiko
Total 19 50.0 19 50.0 38 100

Sumber : Data Primer diolah bulan Juli 2015

Pola sebaran data pada tabel diatas menunjukkan responden

dengan aktifitas kurang lebih banyak menderita penyakit reumatik yakni

sebanyak 15 (39.5%) orang daripada yang tidak menderita reumatik

sebanyak 7 (18.4%) orang. Sedangkan pada responden dengan aktifitas

baik lebih sedikit yang menderita penyakit reumatik sebanyak 4 (10.5%)

dan lebih banyak didapatkan responden yang aktifitas fisiknya baik dan

tidak menderita penyakit reumatik sebanyak 12 (31.6%) orang.

Hasil uji Odds Ratio (OR) dengan nilai Confidence Interval (CI) 95%

didapatkan besarnya nilai Odds Ratio (OR) = 6.429 dengan nilai

kepercayaan Lower Limit (batas bawah) = 1.517 dan Upper Limit (batas

atas) = 27.244. Hal ini menunjukkan bahwa faktor aktifitas fisik

berhubungan dengan penyakit reumatik yang dialami lansia dengan risiko

rendah 1.517 dan risiko tertinggi 27.244, dimana responden yang aktifitas

fisiknya kurang beresiko 6.429 kali lebih besar peluangnya untuk menderita

penyakit reumatik dibanding responden yang aktifitas fisiknya baik. Batas

bawah dan batas atas tidak mencakup nilai satu atau diatas satu maka

dinyatakan hubungan bermakna antara faktor aktifitas fisik dengan penyakit

reumatik pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari Tahun

2015.

50
b. Hubungan Faktor Riwayat Trauma dengan Penyakit Reumatik pada

Lansia

Hubungan faktor riwayat trauma dengan penyakit reumatik pada

lansia dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 8. Distribusi Responden Berdasarkan Hubungan Faktor


Riwayat Trauma dengan Penyakit Reumatik pada Lansia di
Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari Tahun 2015

Penyakit Reumatik
Total 95% Cl
Riwayat Kasus Kontrol OR
Trauma
n % n % n % Lower Upper

Beresiko 13 34.2 5 13.2 18 47.4


6.067

Tdk 1.486 24.764


6 15.8 14 36.8 20 52.6
Beresiko

Total 19 50.0 19 50.0 38 100

Sumber : Data Primer diolah bulan Juli 2015

Pola sebaran data pada tabel diatas menunjukkan responden

dengan riwayat trauma yang beresikolebih banyak menderita penyakit

reumatik yakni sebanyak 13 (34.2%) orang daripada yang tidak menderita

51
reumatik sebanyak 5 (13.2%) orang. Sedangkan pada responden dengan

riwayat trauma yang tidak beresiko sedikit yang menderita penyakit

reumatik sebanyak 6 (15.8%) orang dan lebih banyak didapatkan pada

responden yang riwayat trauma yang tidak beresiko dan tidak menderita

penyakit reumatik sebanyak 14 (36.8%) orang.

Hasil uji Odds Ratio (OR) dengan nilai Confidence Interval (CI) 95%

didapatkan besarnya nilai Odds Ratio (OR) = 6.067 dengan nilai

kepercayaan Lower Limit (batas bawah) = 1.486 dan Upper Limit (batas

atas) = 24.764. Hal ini menunjukkan bahwa faktor riwayat trauma

berhubungan dengan penyakit reumatik yang dialami lansia dengan risiko

rendah 1486 dan risiko tertinggi 24.764, dimana responden yang memiliki

riwayat trauma beresiko, akan beresiko 6.067 kali lebih besar peluangnya

untuk menderita penyakit reumatik dibanding responden yang aktifitas

fisiknya baik. Batas bawah dan batas atas tidak mencakup nilai satu atau

diatas satu maka dinyatakan hubungan bermakna antara faktor riwayat

trauma dengan penyakit reumatik pada lansia di Panti Sosial Tresna

Werdha Minaula Kendari Tahun 2015.

4. Pembahasan
a. Hubungan Faktor Aktifitas Fisik dengan Penyakit Reumatik pada

Lansia

Aktivitas didefinisikan sebagai suatu aksi energetik atau keadaan

bergerak dan semua manusia memerlukan kemampuan untuk bergerak.

Aktivitas merupakan tanda kesehatan dimana adanya kemampuan

52
seseorang melakukan aktivitas seperti berdiri, berjalan, dan berkerja.

Kemampuan aktivitas seseorang tidak terlepas dari keadekuatan sistem

persarafan dan muskuloskeletal ( Fitriyani, 2006 ).

Dari hasil analisis univariat diketahui bahwa responden dengan

kriteria aktifitas fisik baik sebanyak 22 orang (57.9%) dan responden

dengan kriteria aktifitas fisik kurang yaitu sebanyak 16 orang (42.1%).

Sedangkan pada hasil analisis bivariat diketahui bahwa dari hasil uji

Odds Ratio (OR) dengan nilai Confidence Interval (CI) 95% didapatkan

besarnya nilai Odds Ratio (OR) = 6.429 dengan nilai kepercayaan Lower

Limit (batas bawah) = 1.517 dan Upper Limit (batas atas) = 27.244. Hal ini

menunjukkan bahwa faktor aktifitas fisik berhubungan dengan penyakit

reumatik yang dialami lansia dengan risiko rendah 1.517 dan risiko tertinggi

27.244, dimana responden yang aktifitas fisiknya kurang beresiko 6.429

kali lebih besar peluangnya untuk menderita penyakit reumatik dibanding

responden yang aktifitas fisiknya baik. Batas bawah dan batas atas tidak

mencakup nilai satu atau diatas satu maka dinyatakan hubungan bermakna

antara faktor aktifitas fisik dengan penyakit reumatik pada lansia di Panti

Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari Tahun 2015.

Peneliti berasumsi bahwa adanya hubungan antara faktor aktifitas

fisik dengan penyakit reumatik pada lansia disebabkan karena lansia cukup

melakukan aktifitas fisik dalam kehidupan sehari-hari, sehingga otot-otot

tubuh semakin terlatih untuk menerima beban yang diterima. Selain itu,

tulang juga menjadi kuat dan dapat mencegah terjadinya osteoporosis. Dari

53
hasil penelitian diketahui bahwa responden mengatakan tidak pernah

mengalami reumatik bila banyak gerak di panti, oleh karena itu responden

sering mengikuti kegiatan-kegiatan yang ada di panti. Selain itu, responden

juga tiap pagi selalu jalan-jalan pagi dan membuat tubuh menjadi sgar dan

bugar.

Demikian pula menurut Priharjo (1993) yang dikutip oleh Soni P.

(2010) yang menyatakan aktivitas fisik merupakan pergerakan anggota

tubuh yang menyebabkan pengeluaran tenaga. Bagi para lansia aktivitas

fisik sangat penting karena dengan mampu beraktivitas, para lansia dapat

mempertahankan kualitas hidup mereka agar tetap sehat.

Peneliti berpendapat pula bahwa penderita reumatik harus mampu

menyeimbangkan kehidupannya antara isirahat dan beraktivitas. Istirahat

berlebihan atau jarang beraktivitas tidak diperbolehkan, karena dapat

mengakibatkan kekakuan pada otot dan sendi dan juga seseorang yang

tidak melakukan aktivitas aliran cairan sendi akan berkurang dan berakibat

aliran makanan yang masuk ke sendi berkurang. Hal tersebut akan

mengakibatkan proses degeneratif menjadi berlebihan. Lakukan aktivitas

sesuai kemampuan tubuh, seperti : olahraga secara teratur setelah bangun

pagi, seperti berjalan kaki, senam pernapasan dan sejenisnya, dan

dilakukan secara rutin. Selain itu, berolahraga jalan kaki baik untuk

kebugaran tubuh dan relatif aman bagi para lansia karena menghindari

risiko cedera lutut.

54
Demikian pula menurut Soni P (2010) bahwa para lansia yang

sebelumnya tidak pernah berolahraga, disarankan agar latihan dilakukan

secara bertahap, baik intensitas, lama, dan frekuensi. Tujuannya, memberi

kesempatan tubuh beradaptasi pada beban latihannya. Latihan olahraga

untuk para lansia juga harus dilakukan dengan takaran cukup

Selain itu, faktor umur juga berpengaruh terhadap kejadian reumatik

pada lansia ini. Karena diketahui bahwa responden dalam penelitian ini

merupakan lansia yang berumur > 60 tahun. Dimana saat memasuki masa

lansia seseorang akan mengalami penurunan fungsi tubuh. Termasuk

peningkatan kelemahan di sekitar sendi, penurunan kelenturan sendi,

kalsifikasi tulang rawan dan menurunkan fungsi kondrosit, yang semuanya

mendukung terjadinya reumatik. Dengan bertambahnya usia, cairan dalam

sendi yang berfungsi melumasi setiap gerakan mulai menipis dan

mengental. Hal ini menyebabkan tubuh menjadi kaku dan mulai sakit

digerakan (Bangun A.P, 2008).

Disamping itu, ada makanan tertentu yang harus dihindari oleh

lansia yang mengidap reumatik. Meskipun aktifitas fisik lansia cukup bila

makanan yang tidak dibatasi akan sama saja lansia menderita reumatik.

Terutama makanan yang mengandung purin tinggi, seperti susu. Susu

memiliki kandungan kalsium yang cukup namun juga memiliki kadar purin

yang tinggi yang dapat memicu kejadian reumatik ini. Selain itu, ada

beberapa jenis makanan yang harus dihindari seperti : jeroan, bayam,

55
mentega, makanan laut, kacang-kacangan, daging, tape, jengkol, santan,

alpukat, sarden, dan alkohol (Misnadiarly, 2007).

Diketahui bahwa lansia merupakan fase dimana organ-organ tubuh

mengalami penurunan fungsi tubuh, seperti fungsi pendengaran, fungsi

penglihatan, system persyarafan, system kardiovaskular, fungsi

metabolisme, system pencernaan dan lain-lain.

Faktor makanan jelas berhubungan dengan kejadian reumatik pada

lansia. Dimana makanan yang mengandung kadar purin yang tinggi akan

memicu kenaikan asam urat dalam darah. Purin merupakan salah satu zat

alami yang terkandung dalam tubuh. Purin merupakan salah satu penyusun

rantai DNA dan RNA bersama-sama dengan pirimidin. Enzim HGPRT

bertugas mengubah purin menjadi nukleotida ourin agar dapat digunakan

kembali sebagai penyusun DNA dan RNA.

Bahan dasar asam urat adalah purin. Apabila jumlah purin dalam

tubuh terlalu banyak, kelebihannya akan diubah menjadi asam urat.

Dengan demikian, mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung

purin dapat meningkatkan asam urat dalam darah.

Peningkatan produksi atau hambatan ekskresi akan meningkatkan

kadar asam urat dalam tubuh. Asam urat ini merupakan suatu zat yang

kelarutannya sangat rendah sehingga cenderung membentuk kristal.

Penimbunan asam urat paling banyak terdapat di sendi dalam bentuk

kristal mononatrium urat. Mekanismenya hingga saat ini masih belum

diketahui. Penimbunan Kristal pada persendian ini dapat menjadikan

56
peradangan pada persendian. Karena pada masa lansia terjadi penurunan

kelenturan sendi, kalsifikasi tulang rawan dan menurunkan fungsi kondrosit,

Cairan dalam sendi yang berfungsi melumasi setiap gerakan mulai menipis

dan mengental. Ditambah lagi terdapat penimbunan Kristal pada sendi

sehingga dapat menyebabkan peradangan pada sendi. Peradangan pada

sendi ini akan terasa nyeri sendi, terutama pada saat bergerak pada sendi

pinggul,lutut, dan jari-jari, nampak kemerahan, inflamasi, nyeri dan dapat

terjadi deformitas (perubahan bentuk).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Ahdaniar, dkk (2013) dengan judul penelitian Faktor yang Berhubungan

dengan Kejadian Penyakit Rematik Pada Lansia Di Wilayah Puskesmas

Kassi-Kassi Kota Makassar, dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa

ada hubungan aktivitas fisik dengan kejadian penyakit rematik pada lansia

didaptkan nilai p= 0,021 (p<0,005).

b. Hubungan Faktor Riwayat Trauma dengan Penyakit Reumatik pada

Lansia

Trauma berasal dari kata yunani “tramatos” yang berarti luka dari

sumber luar. Trauma diartikan sebagai luka emosi dan fisik yang

disebabkan oleh keadaan yang mengancam diri. Trauma akut yang terjadi

pada persendian termasuk robekan pada ligamentum krusiatum dan

meniskus merupakan faktor risiko timbulnya reumatik. Studi Framingham

menemukan bahwa orang dengan riwayat trauma pada daerah persendian

57
memiliki risiko 5 – 6 kali lipat lebih tinggi untuk menderita reumatik ( Eka P.,

2007 ).

Dari hasil analisis univariat diketahui bahwa responden kriteria

riwayat trauma tidak beresiko yakni sebanyak 20 responden (52.6%) dan

responden kriteria riwayat trauma beresiko yaitu sebanyak 18 orang

responden (47.4%).

Sedangkan untuk hasil analisis bivariate menunjukkan hasil bahwa

responden dengan riwayat trauma yang beresikolebih banyak menderita

penyakit reumatik yakni sebanyak 13 (34.2%) responden daripada yang

tidak menderita reumatik sebanyak 5 (13.2%) responden. Sedangkan pada

responden dengan riwayat trauma yang tidak beresiko sedikit yang

menderita penyakit reumatik sebanyak 6 (15.8%) dan lebih banyak

didapatkan pada responden yang riwayat trauma yang tidak beresiko dan

tidak menderita penyakit reumatik sebanyak 14 (36.8%) responden.

Hasil uji Odds Ratio (OR) dengan nilai Confidence Interval (CI) 95%

didapatkan besarnya nilai Odds Ratio (OR) = 6.067 dengan nilai

kepercayaan Lower Limit (batas bawah) = 1.486 dan Upper Limit (batas

atas) = 24.764. Hal ini menunjukkan bahwa faktor riwayat trauma

berhubungan dengan penyakit reumatik yang dialami lansia dengan risiko

rendah 1486 dan risiko tertinggi 24.764, dimana responden yang memiliki

riwayat trauma beresiko, akan beresiko 6.067 kali lebih besar peluangnya

untuk menderita penyakit reumatik dibanding responden yang riwayat

trauma tidak beresiko. Batas bawah dan batas atas tidak mencakup nilai

58
satu atau diatas satu maka dinyatakan hubungan bermakna antara faktor

riwayat trauma dengan penyakit reumatik pada lansia di Panti Sosial

Tresna Werdha Minaula Kendari Tahun 2015.

Peneliti berasumsi bahwa adanya hubungan faktor riwayat trauma

dengan penyakit reumatik pada lansia disebabkan karena cedera yang

pernah dialami berpengaruh pada elastisitas persendiannya dan

berpengaruh pada penyakit reumatik yang dialaminya saat ini. Dari hasil

penelitian diketahui bahwa, terdahulunya responden pernah kerja berat,

Selain itu, ada responden juga pernah jatuh hingga terkilir pada

persendian. Riwayat trauma yang pernah dialami lansia dapat

menyebabkan reumatik pada masa lansia. Dimana elastisitas persendian

yang mengalami trauma mengalami penurunan dan seiring seseorang

mengalami pertambahan usia maka dengan cepat akan dirasakan gejala-

gejala dari penyakit reumatik ini akibat riwayat trauma.

Pendapat peneliti sesuai dengan pendapat Eka P. (2007), cidera otot

maupun sendi yang dialami sewaktu berolahraga atau lantaran aktivitas

fisik yang terlalu berat, bisa pula mengundang rematik. Adanya Riwayat

trauma pada sendi merupakan faktor yang dapat menimbulkan penyakit

reumatik hal ini diakibatkan oleh menurunya kelenturan dan elastisitas

sendi yakni kartilago dan juga sinovial pada sendi mengalami penurunan

fungsi. Penurunan elastisitas sendi dan deteriorasi kartilago inilah yang

menyebabkan intensitas nyeri yang sering atau menetap pada sendi.

59
Ditambah lagi responden memasuki masa lansia dimana seluruh

fungsi tubuh mengalami penurunan. Dan termasuk juga penurunan

kelenturan sendi, kalsifikasi tulang rawan dan menurunkan fungsi kondrosit,

yang semuanya mendukung terjadinya reumatik. Dengan bertambahnya

usia, cairan dalam sendi yang berfungsi melumasi setiap gerakan mulai

menipis dan mengental. Hal ini menyebabkan tubuh menjadi kaku dan

mulai sakit digerakan (Bangun A.P, 2008).

Faktor jenis kelamin bisa menjadi faktor resiko reumatik. Pada

wanita umumnya lebih banyak yang mengalami reumatik. Pada osteoporosis

atau penyakit keropos tulang merupakan jenis reumatik yang banyak dirasakan

wanita setelah menopouse. Kurangnya hormon estrogen setelah menopouse

memperburuk masa tulang yang sudah berkurang karena usia. Hormon estrogen

(hormon utama pada wanita), membantu mengatur pengangkutan kalsium ke

dalam tulang pada wanita. Begitu juga faktor kegemukan memberikan beban

berlebih pada tulang. Berat badan yang berlebihan nyata berkaitan dengan

meningkatnya resiko untuk timbulnya reumatik baik pada wanita maupun pada

pria. Hal ini akan mempengaruhi kesehatan sendi (Bangun A.P, 2008).

Faktor makanan juga dapat menambah resiko responden

mengalami reumatik. Ini disebabkan proses metabolisme tubuh yang

menurun seiring dengan pertambahan usia, sehingga makanan-makanan

yang mengandung purin yang dikonsumsi lansia tidak sempurna

dimetabolisme oleh tubuh sehingga memicu peningkatan asam urat dan

membuat peradanan pada persendian.

60
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Maharani (2007) dengan judul penelitian Faktor-Faktor Risiko Osteoartritis

Lutut (Studi Kasus di Rumah Sakit Dokter Kariadi Semarang) dengan hasil

penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan riwayat trauma lutut dengan

kejadian rumatik (nilai p = 0,033; OR adjusted = 2,90; 95% CI = 1,09 –

7,75).

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diajukan pada

penelitian ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Ada resiko antara faktor aktifitas fisik dengan penyakit reumatik pada lansia di

Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari Tahun 2015.

2. Ada resiko antara faktor riwayat trauma dengan penyakit reumatik pada lansia

di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari Tahun 2015.

B. Saran

61
Adapun saran yang dapat disampaikan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut.

1. Bagi pihak Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari diharapkan dapat

meningkatan pelaksanaan program-program yang berkaitan dengan aktifitas

fisik dan dapat membuat lansia ikut berpartisipasi dengan kegiatan tersebut

sehingga lansia dapat mencegah terjadinya penyakit reumatik tersebut.

2. Bagi Institusi Pendidikan STIKES Mandala Waluya, diharapkan hasil penelitian

ini dapat menjadi sumbangan dalam perkembangan ilmu keperawatan

3. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat manambah khasanah

ilmu kesehatan masyarakat khususnya.

4. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan tulisan ini dapat menjadi bahan sebagai

referensi dan agar lebih mengembangkan variabel dan desain penelitian

sehingga penelitian ini menjadi lebih variatif dan informatif.


5. Bagi peneliti, untuk lebih meningkatkan ilmu pengetahuan dan keterampilan

sehingga bila terjun di masyarakat dan memberikan pelayanan keperawatan

kepada masyarakat, masyarakat akan merasa puas terhadap pelayanan

keperawatan yang diberikan.

62

Anda mungkin juga menyukai