World Bank Document PDF
World Bank Document PDF
Indonesia’s
Intergovernmental
Transfer
Response
on
Future
Demographic
and
Urbanization
Shifts
11/11/2011
Urbanisasi
dan
perubahan
demografi
telah
menjadi
isu
yang
cukup
sering
dikaitkan
dengan
desain
sistem
transfer
antarpemerintahan
(intergovernmental
transfer
system).
Beberapa
pengaruh
urbanisasi
dan
faktor-‐faktor
demografi
terhadap
transfer
antarpemerintahan,
maupun
sebaliknya,
telah
cukup
jelas
teridentifikasi.
Tetapi
dalam
kasus
Indonesia,
praktis
belum
ada
penelitian
yang
melihat
interaksi
antara
kedua
hal
ini.
Bagian
Satu
dokumen
ini
membahas
proyeksi
demografi
dan
tren
urbanisasi
di
Indonesia,
termasuk
juga
teknik
pengelompokkan
yang
digunakan
untuk
membagi
daerah-‐daerah
(provinsi)
ke
dalam
beberapa
klaster
yang
masing-‐masing
memiliki
tren
demografi
serta
kapasitas
fiskal
yang
berbeda.
Bagian
Dua
menjabarkan
detil
analisis
dampak
yang
akan
dialami
dan
kebijakan
transfer
antarpemerintahan
yang
sebaiknya
diambil
untuk
dan
oleh
masing-‐masing
klaster
daerah.
R INGKASAN
E KSEKUTIF
Perubahan
yang
signifikan
di
sisi
demografi/urbanisasi
akan
dialami
oleh
Indonesia
di
masa
datang.
Sistem
transfer
antarpermerintahan
ikut
terpengaruh
karena
dinamikanya
juga
dipengaruhi
dinamika
penduduk
yang
menjadi
basis
pajak
maupun
penerima
layanan/barang
publik.
Fenomena
‘bonus
demografi’
akan
dialami
tiap
daerah
pada
kurun
waktu
yang
berbeda.
Diperlukan
suatu
respon
kebijakan
agar
tiap
daerah
dapat
memanfaatkan
momentum
bonus
demografinya,
sekaligus
memaksimalkan
layanan/barang
publik
yang
sesuai
untuk
tiap
karakter
populasi
(misalnya,
populasi
produktif,
atau
populasi
menua).
Untuk
mempermudah
analisis,
33
daerah
provinsi
dibagi
ke
dalam
4
klaster,
yang
dibedakan
berdasarkan
karakter
demografi
dan
kapasitas
fiskal.
Dalam
analisa
ini,
karakter
demografi
dilihat
dari
pencapaian
window
of
opportunity
(WO)
oleh
setiap
daerah,
yaitu
titik
dalam
bonus
demografi
ketika
rasio
ketergantungan
populasi
paling
rendah.
Dampak
urbanisasi/demografi
serta
respon
kebijakan
desentralisasi
fiskal
untuk
setiap
klaster
dapat
diformulasikan
berdasarkan
respon
kebijakan
transfer
yang
secara
ringkas
dapat
disampaikan
sebagai
berikut:
Kriteria
rinci
untuk
pembagian
klaster
dapat
dibaca
dalam
Bagian
Satu,
sedangkan
respon
kebijakan
untuk
tiap
dana
transfer
diperinci
pada
Bagian
Dua.
Selain
rekomendasi
yang
diberikan,
juga
diusulkan
agar
seluruh
dana
transfer
ad-‐hoc
yang
kini
ada,
dileburkan
ke
dalam
Dana
Alokasi
Khusus,
termasuk
Hibah.
Pengelompokan
yang
demikian
akan
konsisten
dengan
definisi
DAK
yang
dicantumkan
dalam
perundang-‐undangan,
serta
meminimalkan
intervensi
politik
dan
biaya
inefisiensi
yang
ditimbulkan
olehnya.
Proyeksi
Tren
Demografi
dan
Urbanisasi
Indonesia
Bagian
Satu
BAB
1
BONUS
DEMOGRAFI
T IN JA U A N
U M U M
Bonus
demografi,
atau
sering
juga
disebut
dengan
istilah
demographic
dividend
atau
demographic
gift,
dapat
diartikan
sebagai
keuntungan
ekonomis
yang
disebabkan
1
oleh
menurunnya
rasio
ketergantungan
sebagai
hasil
dari
proses
penurunan
fertilitas
jangka
panjang
(Adioetomo
2005,
p.23).
Beberapa
studi
lainnya
seperti
Bloom
et
al.
(2011,
p.1-‐2)
dan
Bloom
et
al.
(2003,
p.25),
memasukkan
pula
faktor
turunnya
tingkat
mortalitas,
di
samping
penurunan
fertilitas,
sebagai
penyebab
terjadinya
transisi
demografi
tersebut.
Dengan
bergesernya
distribusi
usia
penduduk
dari
penduduk
usia
non
produktif
ke
penduduk
usia
produktif
(atau
usia
kerja),
maka
investasi
yang
sebelumnya
ditujukan
untuk
memenuhi
kebutuhan
penduduk
termuda
dalam
populasi
dapat
dialihkan
untuk
pembangunan
ekonomi
dan
kesejahteraan
keluarga
(Ross
2004,
p.1).
Bonus
demografi
ini
sudah
dinikmati
oleh
negara-‐negara
di
Asia
Timur
seperti
China,
Jepang,
dan
Korea
selama
periode
1960-‐1990
(Bloom
et
al.
1999;
Bloom
dan
Finlay
2009),
yang
ditandai
dengan
tingginya
tingkat
pertumbuhan
pendapatan
per
kapita
di
negara-‐negara
tersebut.
Ketika
periodenya
diperpanjang
menjadi
1960-‐2005,
hasil
estimasi
tetap
menunjukkan
bahwa
dampak
transisi
demografi
masih
signifikan,
meskipun
dampaknya
di
Jepang
terlihat
mengalami
penurunan.
Di
lain
pihak,
pada
periode
yang
sama,
di
negara-‐negara
Asia
Tenggara
seperti
Filipina,
Thailand,
Singapura,
termasuk
Indonesia,
yang
mulai
mengalami
kenaikan
proporsi
penduduk
usia
kerja
sejak
tahun
1980-‐an,
kontribusi
transisi
demografi
tersebut
malah
lebih
besar
lagi.
Sekitar
40
persen
pertumbuhan
ekonomi
Indonesia
selama
periode
1960-‐2005
bersumber
dari
naiknya
populasi
dan
proporsi
penduduk
usia
kerja
(Bloom
dan
Finlay
2009).
Kesempatan
untuk
menikmati
bonus
demografi
masanya
terbatas.
Seperti
terlihat
pada
Grafik
1.1,
porsi
populasi
penduduk
usia
kerja
di
negara-‐negara
Eropa
dan
Amerika
Utara
sudah
mengalami
penurunan,
sementara
negara-‐negara
di
region
lainnya,
kecuali
Afrika,
tinggal
memiliki
kesempatan
sekitar
1-‐2
dekade
lagi.
Peluang
untuk
meraih
bonus
demografi
terbesar
terjadi
pada
periode
yang
dinamakan
window
of
opportunity,
yakni
menjelang
berakhirnya
periode
emas
transisi
demografi.
Pada
periode
ini,
angka
rasio
ketergantungan
berada
pada
titik
yang
terendah,
biasanya
di
bawah
50%
(Adioetomo
2005,
p.25).
Artinya,
jumlah
1
Rasio
ketergantungan
(atau
dependence
ratio)
adalah
perbandingan
antara
jumlah
populasi
non
usia
kerja
dengan
jumlah
populasi
usia
kerja.
Populasi
usia
kerja
berada
pada
rentang
usia
15-‐64
tahun,
sementara
populasi
non
usia
kerja
terbagi
dua,
yakni
populasi
anak-‐anak
(0-‐14
tahun)
dan
populasi
orang
tua
(usia
65
tahun
ke
atas).
penduduk
usia
kerja
saat
itu
lebih
dari
dua
kali
lipat
penduduk
non
usia
kerja
(atau
rasio
penduduk
usia
kerja
per
non
usia
kerja
adalah
lebih
dari
dua).
Grafik
1.1
Proyeksi
Porsi
Populasi
Penduduk
Usia
Kerja
Berdasarkan
Region
Negara
Sumber:
United
Nations,
“World
Population
Prospects:
The
2000
Revision,”
CD-‐ROM,
2001
dalam
Bloom
et
al.
(2003,
p.37)
Di
Asia,
seperti
terlihat
pada
Grafik
1.2,
munculnya
window
of
opportunity
(WO)
terjadi
pada
periode
yang
berbeda.
Negara-‐negara
di
Asia
Timur
sudah
terlebih
dahulu
mengalami
WO
di
antara
tahun
2000
dan
2010.
Meskipun
puncak
rasio
penduduk
usia
kerja
(produktif)
terhadap
penduduk
non
usia
kerja
(atau
usia
non
produktif)
terjadi
di
periode
tersebut,
namun
rasionya
masih
akan
di
atas
dua
paling
tidak
hingga
periode
tahun
2030.
Sementara
itu
negara-‐negara
di
Asia
Tenggara,
termasuk
Indonesia,
diperkirakan
baru
mengalami
WO
di
antara
tahun
2020
dan
2030.
Di
Asia
Selatan,
terjadinya
WO
masih
lebih
lama
lagi,
yakni
kemungkinan
setelah
tahun
2040.
Grafik
1.2.
Proyeksi
Populasi
Penduduk
Usia
Kerja
per
Non
Usia
Kerja
di
Beberapa
Region
di
Asia
Asia
Timur
Asia
Tenggara
Asia
Selatan
Persen
Tahun
T Tahun
Tahun
T
Sumber:
World
aPopulation
Prospects
(United
Nations
2007)
dalam
Bloom
dan
h
Finlay(2009,
p.48)
u
n
Perlu
diingat
bahwa
bonus
demografi
bukanlah
sesuatu
yang
otomatis
akan
dapat
dinikmati
oleh
setiap
negara
yang
mengalami
transisi
demografi.
Bloom
et
al.
(2003,
p.39-‐42),
Ross
(2004,
p.3),
dan
Adioetomo
(2005,
p.34-‐35)
mengemukakan
bahwa
minimal
ada
tiga
saluran
utama
dari
pengaruh
transisi
demografi
ke
pertumbuhan
ekonomi,
yakni
melalui:
1) peningkatan
tenaga
kerja;
2) peningkatan
tingkat
tabungan
nasional;
dan
3) peningkatan
modal
manusia.
Secara
demografis,
peningkatan
tenaga
kerja
di
atas
bisa
berasal
dari
dua
sumber.
Sumber
pertama
dari
generasi
anak-‐anak
yang
lahir
di
saat
periode
kelahiran
tinggi
yang
kemudian
di
saat
transisi
demografi
memasuki
usia
produkitf
dan
masuk
angkatan
kerja.
Sumber
kedua
berasal
dari
para
wanita
terdidik
yang
dengan
lebih
sedikit
anak
lebih
banyak
memasuki
dunia
kerja
di
luar
rumah.
Migrasi
sebenarnya
bisa
pula
ikut
meningkatkan
(atau
mengurangi)
jumlah
tenaga
kerja,
namun
migrasi
ini
dapat
terjadi
terlepas
dari
ada
tidaknya
transisi
demografi.
Sementara
itu
peningkatan
tingkat
tabungan
masyarakat
diharapkan
dapat
terjadi
dengan
semakin
banyaknya
orang
dewasa
pada
usia
kerja
yang
mampu
menghasilkan
lebih
banyak
pendapatan.
Peningkatan
tabungan
lainnya
bisa
pula
diharapkan
dari
meningkatnya
kemampuan
menabung
tenaga
kerja-‐tenaga
kerja
ini
saat
mereka
mendekati
usia
40-‐an.
Pada
saat
itu,
dukungan
finansial
untuk
anak-‐anak
mereka
kemungkinan
sudah
mulai
berkurang.
Dengan
demikian,
terkait
dengan
ketiga
saluran
di
atas,
maka
tingkat
kapitalisasi
transisi
demografi
mungkin
akan
berbeda-‐beda
di
setiap
negara
tergantung
pada
beberapa
faktor
berikut
(Bloom
et
al.
2011,
p.14-‐15,
19-‐20;
Bloom
et
al.
2003,
p.74-‐
78):
1. Kualitas
institusi
pemerintahan.
Hal
ini
terkait
dengan
efisiensi
dan
efektivitas
dari
kemampuan
pemerintah
dalam
menjalankan
berbagai
kebijakan
untuk
merealisasikan
bonus
demografi.
2. Ketersediaan
lapangan
pekerjaan
produktif
yang
dapat
menyerap
peningkatan
angkatan
kerja.
Hal
ini
terkait
dengan
ketersediaan
lapangan
pekerjaan
yang
memberikan
nilai
tambah
tinggi
bagi
perekonomian,
sehingga
dapat
menyerap
angkatan
kerja
baru.
3. Manajemen
makroekonomi.
Inflasi
yang
tinggi
dan
stabilitas
makro
yang
buruk
bisa
menimbulkan
ketidakpastian
dalam
penilaian
arus
uang
di
masa
depan,
sehingga
hal
ini
dapat
menghalangi
dan
menghambat
upaya
peningkatan
tabungan
masyarakat
dan
investasi
pada
aset-‐aset
baru
yang
produktif.
Demikian
pula,
makroekonomi
yang
dikelola
dengan
rasio
utang
per
PDB
yang
tinggi
dapat
berpengaruh
negatif
pada
penurunan
kemampuan
pemerintah
untuk
menjalankan
program-‐programnya
secara
efektif.
4. Investasi
pada
perbaikan
akses
dan
kualitas
di
bidang
pendidikan
dan
kesehatan.
Kebijakan-‐kebijakan
ini
akan
terkait
dengan
efektivitas
dalam
pembentukan
modal
manusia
serta
keberhasilan
dalam
menyiapkan
tenaga
kerja
yang
tak
hanya
besar
secara
jumlah,
tetapi
juga
lebih
produktif.
5. Kebijakan
di
area
pasar
keuangan
untuk
menarik
lebih
banyak
tabungan
yang
tersalurkan
ke
investasi-‐investasi
yang
produktif.
Kebijakan
ini
bisa
meliputi
modernisasi
institusi
keuangan
hingga
lebih
kompetitif,
transparan,
efisien,
dan
terpercaya.
6. Keterbukaan
perekonomian.
Perdagangan
internasional
bisa
membuka
lebih
banyak
lapangan
pekerjaan
di
industri-‐industri
yang
berorientasi
ekspor.
Bonus
demografi
tidak
dapat
berulang
di
dalam
satu
siklus
demografi.
Saat
window
of
opportunity
berakhir,
perekonomian
secara
otomatis
mengikuti
siklus
demografi
berikutnya.
Dengan
angka
fertilitas
yang
sudah
berada
pada
tingkat
yang
rendah,
bahkan
di
beberapa
negara
Eropa
dan
di
Jepang
tingkatnya
sudah
di
bawah
replacement
rate,
dan
disertai
dengan
angka
harapan
hidup
yang
makin
tinggi,
populasi
kemudian
mengalami
periode
penuaan
(ageing
population).
Angka
ketergantungan
mulai
meningkat
kembali
sebagai
konsekuensi
dari
meningkatnya
jumlah
penduduk
tua
di
dalam
populasi,
sementara
di
lain
pihak
pergantian
penduduk
usia
kerja
dari
penduduk
yang
sebelumnya
berusia
muda
sudah
tidak
sebanding
(Bloom
et
al.
2011,
p.16-‐17).
Penuaan
populasi
yang
tidak
dapat
terhindarkan
tak
hanya
akan
meningkatkan
angka
ketergantungan,
tapi
juga
diprediksikan
akan
membawa
dampak
penurunan
kinerja
pada
perekonomian
(Bloom
dan
Finlay
2009,
p.61).
Tanpa
persiapan
yang
memadai,
kebutuhan
akan
jaminan
sosial
seperti
pensiun
dan
perlindungan
kesehatan
juga
akan
sulilt
terantisipasi.
Terlepas
dari
potensi
implikasi
negatif
dari
periode
penuaan
populasi,
bonus
demografi
kedua
sebenarnya
masih
mungkin
diraih
pada
periode
ini
melalui
pemberdayaan
kelompok
lanjut
usia
yang
berpendidikan,
sehat,
dan
produktif
(Nazara
2010,
p.7).
Lebih
lanjut
lagi,
Bloom
et
al.
(2011,
p.18-‐19)
mengemukakan
alasan
lain
dari
kemungkinan
munculnya
bonus
demografi
yang
kedua.
Pertama,
meningkatnya
usia
harapan
hidup
dapat
cenderung
mendorong
pekerja
melakukan
antisipasi
dengan
menaikkan
tabungan.
Peningkatan
tabungan
kemudian
dapat
meningkatkan
investasi
dan
membawa
dampak
yang
positif
untuk
pertumbuhan
ekonomi.
Kedua,
dengan
fakta
bahwa
di
kebanyakan
negara
berkembang
banyak
terdapat
pekerja
yang
underemployed
atau
bahkan
secara
efektif
bisa
dikatakan
menganggur,
maka
pekerja-‐pekerja
ini
diharapkan
dapat
menggantikan
tenaga-‐
tenaga
kerja
yang
pensiun.
Ketiga,
penurunan
populasi
anak-‐anak
di
periode
ageing
sudah
menjadi
keniscayaan.Dengan
kondisi
seperti
ini,
baik
pemerintah
maupun
keluarga
sebenar-‐nya
berkesempatan
untuk
dapat
berinvestasi
lebih
banyak
pada
kesehatan
dan
pendidikan
anak-‐anaknya.
Investasi
seperti
ini
dapat
menghasilkan
angkatan
kerja
yang
lebih
produktif.
Terakhir,
dunia
swasta
bisa
memainkan
peran
pula
dalam
mengantisipasi
periode
penuaan
populasi
dengan
membuat
perubahan-‐
perubahan
yang
mendorong
tenaga
kerja-‐tenaga
kerja
tua
untuk
tetap
berada
di
dalam
angkatan
kerja
dan
membatasi
terjadinya
penurunan
produktivitas
mereka.
K O N D IS I
D A N
P E R K E M B A N G A N
D E M O G R A F I
D I
I N D O N E S IA
Pasca
kemerdekaan
Indonesia
di
periode
1950-‐an,
tingkat
kelahiran
di
Indonesia
relatif
tinggi.
Penemuan
teknologi
kesehatan
seperti
obat-‐obat
antibiotik
yang
berhasil
dimanfaatkan,
di
lain
pihak,
berhasil
menurunkan
angka
kematian,
terutama
kematian
bayi.
Sebagai
akibatnya,
bayi
yang
lahir
pada
periode
ini
lebih
banyak
yang
tetap
hidup
dan
bertahan
hingga
usia
lanjut.
Selanjutnya
dengan
tingkat
fertilitias
yang
masih
tinggi,
angka
kelahiran
terus
mengalami
peningkatan.
Bayi
yang
lahir
di
saat
tingkat
kelahiran
sedang
tinggi
terus
hidup
dan
menyebabkan
penumpukan
jumlah
anak
di
bawah
15
tahun
pada
periode
tersebut
(Adioetomo
2005,
p.30).
Seperti
ditunjukkan
dalam
Grafik
1.3,
kenaikan
angka
kelahiran
di
satu
sisi,
dan
penurunan
angka
kematian
di
sisi
yang
lain,
menyebabkan
laju
pertumbuhan
penduduk
Indonesia
terus
mengalami
peningkatan.
Puncaknya
terjadi
pada
periode
1961-‐1971,
di
mana
rata-‐rata
laju
pertumbuhan
penduduk
mencapai
2,3
persen
per
tahun.
Pada
tahun
1971,
angka
fertilitas
sendiri
mencapai
5,6
per
ibu
melahirkan
(Adioetomo
2010).
Grafik
1.3.
Estimasi
dan
Proyeksi
Angka
Kelahiran,
Angka
Kematian,
dan
Laju
Pertumbuhan
Penduduk
Indonesia
per
Tahun
(1950-‐2050)
Sumber:
Adioetomo
(2010)
Memasuki
era
tahun
1970
dan
1980-‐an,
telah
terjadi
peremajaan
angkatan
kerja
yang
berasal
dan
kohor
baby
boom
tahun
1950
dan
1960-‐an.
Jumlah
angkatan
kerja
secara
keseluruhan
juga
terus
mengalami
peningkatan,
sebagai
akibat
dari
masih
tingginya
tingkat
fertilitas
pada
periode
1971-‐1980
yang
dibarengi
dengan
terus
menurunnya
tingkat
kematian
bayi.
Angkatan
kerja
muda
maupun
yang
meningkat
ke
usia
yang
lebih
tua
berkontribusi
besar
pada
peningkatan
jumlah
angkatan
kerja
ini.
Kebijakan
pemerintah
dalam
bentuk
Program
Nasional
Keluarga
Berencana
dengan
menanamkan
manfaat
norma
keluarga
kecil
telah
berhasil
menekan
angka
fertilitas
(Adioetomo
2005,
p.31).
Dampaknya,
pada
tahun
1980,
proporsi
jumlah
penduduk
non
produktif
di
bawah
usia
15
tahun
turun
dari
44
persen
pada
tahun
1971
menjadi
sekitar
41
persen
jumlah
populasi
(lihat
Tabel
1.1).
Selanjutnya,
laju
pertumbuhan
penduduk
pada
periode
1980-‐1990
berhasil
ditekan,
dari
sekitar
dua
persen
pada
periode-‐periode
sebelumnya,
hingga
menjadi
1,4
persen.
Fenomena
penurunan
angka
fertilitas
dan
laju
pertumbuhan
ini
terus
berlanjut
hingga
kini.
Selama
periode
1971-‐2000,
pembangunan
sosial
ekonomi
dan
program
KB
telah
berhasil
menghindarkan
kelahiran
80
juta
penduduk,
sementara
dari
program
KB
saja
diestimasikan
telah
menghindarkan
kelahiran
40
juta
penduduk
(Adioetomo
2010).
Dengan
tren
fertilitas
dan
tingkat
kematian
bayi
yang
diasumsikan
akan
terus
menurun,
maka
telah
dihasilkan
berbagai
estimasi
dan
proyeksi
penduduk
Indonesia
hingga
tahun
2050
seperti
terlihat
pada
Grafik
1.4.
Jumlah
penduduk
total
walau
bagaimana
pun
akan
terus
bertambah
besar
karena
laju
pertumbuhan
penduduk
yang
senantiasa
positif.
Grafik
1.4.
Estimasi
dan
Proyeksi
Penduduk
Indonesia,
1950-‐2050
m
)
u
u
a
a
t
J
(
j
l
T
Sumber:
Adioetomo
(2010)
a
h
P E R U B A H A N
K O M P O S IS I
D E M O G R A F I
D AuN
S IK L U S
n
D E M O G R A F I
D I
I N D O N E S IA
Siklus
demografi
di
Indonesia
dimulai
saat
terjadi
periode
kelahiran
tinggi
yang
dibarengi
dengan
penurunan
angka
kematian
selama
periode
1950-‐an
hingga
1970-‐
an.
Seperti
telah
dikemukakan
sebelumnya,
kondisi
ini
telah
menyebabkan
penumpukan
penduduk
di
bawah
usia
15
tahun
sehingga
di
kedua
periode
tersebut
porsi
penduduk
muda
ini
lebih
dari
40
persen
total
populasi.
Namun
di
sisi
lain,
fenomena
tersebut
juga
melahirkan
kondisi
peremajaan
angkatan
kerja
di
tahun
1970-‐an.
Kedua
hal
ini
terlihat
jelas
dalam
piramida
penduduk
Indonesia
tahun
1961
dan
1971
(Grafik
1.5
dan
Grafik
1.6).
Grafik
1.5.Piramida
Penduduk
Indonesia
menurut
Umur
dan
Jenis
Kelamin,Sensus
Penduduk
1961
Sumber:
Adioetomo
(2010)
Grafik
1.6.Piramida
Penduduk
Indonesia
menurut
Umur
dan
Jenis
Kelamin,Sensus
Penduduk
1971
Sumber:
Adioetomo
(2010)
Seiring
dengan
keberhasilkan
program
KB
dalam
menurunkan
tingkat
fertilitas,
transisi
demografi
di
Indonesia
sudah
dimulai
sejak
tahun
1980-‐an.
Jumlah
penduduk
usia
kerja
terus
mengalami
peningkatan
dibarengi
dengan
makin
menurunnya
porsi
penduduk
di
bawah
usia
15
tahun
di
dalam
populasi.
Usia
harapan
hidup
ikut
meningkat,
dari
rata-‐rata
46
tahun
di
tahun
1971
menjadi
52
dan
60
tahun
berturut-‐turut
di
tahun
1980
dan
1990,
mendorong
penggemukan
porsi
penduduk
usia
kerja
di
dalam
populasi.
Perubahan
komposisi
demografi
ini
makin
jelas
terlihat
pada
piramida
penduduk
tahun
2010
(Grafik
1.7).
Grafik
1.7.Piramida
Penduduk
Indonesia
menurut
Umur
dan
Jenis
Kelamin,Sensus
Penduduk
2010
Sumber:
Adioetomo
(2010)
Secara
keseluruhan,
perkembangan
penduduk
di
bawah
usia
15
tahun,
usia
kerja
(15-‐64
tahun),
dan
usia
tua
(65+
tahun)
ditunjukkan
pada
Grafik
1.8.
Peningkatan
jumlah
penduduk
usia
kerja
yang
pesat
sejak
tahun
1980-‐an
terus
diikuti
dengan
penurunan
jumlah
penduduk
di
bawah
usia
15
tahun.
Jumlah
penduduk
usia
kerja
diproyeksi-‐kan
akan
mencapai
171
juta
orang
di
tahun
2015
dan
mencapai
puncaknya
pada
tahun
2040
sebanyak
195
juta
orang
sebelum
kemudian
turun
menjadi
191
juta
orang
di
tahun
2050
(lihat
Tabel
1.1).
Sementara
itu,
jumlah
penduduk
di
bawah
usia
15
tahun
diproyeksikan
akan
terus
menurun
meski
jumlahnya
masih
akan
berada
di
kisaran
50
juta
orang
di
tahun
2050.
Sementara
itu
dengan
terus
meningkatnya
angka
harapan
hidup,
di
masa
transisi
demografi,
jumlah
penduduk
di
atas
usia
65
tahun
bergerak
sejalan
dengan
perkembangan
penduduk
usia
kerja
meski
dengan
laju
pertumbuhan
yang
lebih
lambat.
Namun
laju
pertumbuhan
penduduk
di
atas
usia
65
tahun
ini
kemudian
diproyeksikan
akan
lebih
cepat
dari
laju
pertumbuhan
penduduk
usia
kerja
pada
tahun
2040,
sehingga
di
tahun
2050
jumlahnya
diperkirakan
mencapai
49,6
juta
orang
(lihat
Tabel
1.2).
Pertumbuhan
pesat
jumlah
penduduk
lanjut
usia
di
satu
sisi,
dan
perlambatan
jumlah
penduduk
usia
kerja
di
sisi
lain,
akan
menandai
berakhirnya
masa
transisi
demografi
di
Indonesia.
Periode
penuaan
(ageing)
populasi
di
Indonesia
diperkirakan
akan
terjadi
setelah
tahun
2050.
Grafik
1.8.Tren
Jumlah
Penduduk
menurut
Usia
Jumlah
(juta)
Tahun
Sumber:
Adioetomo
(2010)
Indonesia
memiliki
kesempatan
untuk
menikmati
bonus
demografi
selama
periode
transisi
demografi
yang
sebenarnya
sudah
terjadi
sejak
tahun
1980-‐an
yang
lalu.
Seperti
terlihat
pada
Grafik
1.9,
kenaikan
jumlah
penduduk
usia
kerja
di
periode
ini
cenderung
diikuti
dengan
rasio
ketergantungan
yang
terus
menurun.
Angka
ketergantungan
yang
tinggi
di
tahun
1971,
hingga
mencapai
87
orang
per
seratus
orang
penduduk
usia
kerja,
cenderung
terus
menurun
mengikuti
turunnya
porsi
penduduk
di
bawah
usia
15
tahun
di
dalam
populasi.
Di
tahun
2010,
rasio
ketergantungan
telah
menurun
hingga
di
bawah
50
persen.
Artinya,
jumlah
penduduk
usia
kerja
sudah
lebih
dari
dua
kali
lipat
penduduk
non
usia
kerja.
Dari
hasil
proyeksi
yang
ada,
rasio
ketergantungan
ini
masih
akan
terus
menurun.
Peluang
untuk
meraih
bonus
demografi
terbesar
pada
periode
window
of
opportunity
diperkirakan
bisa
dinikmati
Indonesia
di
antara
tahun
2020
dan
2030.
Pada
periode
tersebut,
rasio
ketergantungan
telah
berada
pada
tingkat
terendah.
Grafik
1.9.Rasio
Ketergantungan
Penduduk
Usia
0-‐14,
65+,
dan
Total
P O T R E T
D A E R A H
D I
I N D O N E S IA
D A L A M
M A S A
T R A N S IS I
D E M O G R A F I
Kesempatan
untuk
meraih
bonus
demografi
sebenarnya
sudah
terjadi
sejak
masa
transisi
demografi
dimulai,
yaitu
ketika
proporsi
penduduk
usia
kerja
di
dalam
populasi
penduduk
mulai
mengalami
peningkatan.
Akan
tetapi
bonus
demografi
terbesar
baru
bisa
diraih
saat
terbukanya
window
of
opportunity
(WO),
karena
di
saat
tersebut
tingginya
jumlah
penduduk
usia
kerja
dibarengi
dengan
tingkat
ketergantungan
penduduk
(atau
dependency
ratio,
DR)
yang
terendah,
yakni
biasanya
kurang
dari
setengah
jumlah
angkatan
kerja
yang
ada.
Terbukanya
window
of
opportunity
sendiri
hanya
berlangsung
sekitar
1-‐2
dekade
saja,
dan
begitu
masa
ini
mulai
tertutup,
kesempatan
untuk
mendapatkan
bonus
demografi
pun
semakin
berkurang.
Meski
terdapat
enam
daerah
yang
masuk
ke
dalam
10
besar
daerah
dengan
IPM
tertinggi,
di
kelompok
yang
sama
terdapat
pula
lima
daerah
yang
masuk
peringkat
10
terbawah.
Bahkan
untuk
Provinsi
NTT
dan
Papua,
seluruh
elemen
IPM-‐nya
berada
di
bawah
rata-‐rata
nasional.
Potret
kurang
baik
lainnya
adalah,
angka
DR
terendah
untuk
Provinsi
NTT
adalah
yang
tertinggi
di
Indonesia,
yakni
sebesar
56,8
persen.
Angka
DR
minimum
yang
di
atas
50
persen
juga
dihadapi
oleh
empat
provinsi
di
kelompok
ini,
yaitu
Sumatera
Barat
(51,5%),
Maluku
Utara
(51,8%),
dan
Maluku
(53,8%).
Secara
keseluruhan,
dalam
kelompok
daerah
yang
tengah
berada
dalam
masa
WO
ini,
jumlah
daerah
yang
memiliki
angka
IPM
di
bawah
rata-‐rata
nasional
relatif
lebih
dominan,
yaitu
sebanyak
sembilan
daerah.
Dari
gambaran
di
atas,
dapat
disimpulkan
bahwa
dari
sudut
pandang
kesiapan
daerah
dalam
memanfaatkan
WO
melalui
modal
manusia,
tidak
terdapat
potret
daerah
yang
seragam.
Oleh
karena
itu,
meski
sama-‐sama
tengah
mengalami
masa
WO,
fokus
kebijakan
di
masing-‐masing
daerah
akan
sangat
mungkin
berbeda.
Misalnya
untuk
daerah
dengan
IPM
rendah,
karena
pembangunan
modal
manusia
membutuhkan
waktu
yang
relatif
lama,
maka
upaya
memanfaatkan
bonus
demografi
bisa
lebih
difokuskan
ke
saluran
yang
lain,
seperti
penyediaan
lapangan
kerja
produktif
dan
formalisasi
sektor
ekonomi.
Tabel 1.4. Kondisi Indeks Pembangunan Manusia 2008 Daerah yang Tengah Mengalami Masa WO
Tabel 1.5. Kondisi Indeks Pembangunan Manusia 2008 Daerah yang Sedang Menuju WO
Urbanisasi
juga
dapat
dikaitkan
dengan
pertumbuhan
dan
struktur
penduduk,
yang
dalam
hal
ini
mengacu
pada
terbentuknya
bonus
demografi.
Urbanisasi
dan
struktur
penduduk
dari
adanya
bonus
demografi
merupakan
faktor-‐faktor
yang
dapat
berpengaruh
besar
dalam
perkembangan
dan
peningkatan
pembangunan
ekonomi
(Adioetomo
2005,
Lewis
2010).
D E F IN IS I
D A N
I N D IK A T O R
U R B A N IS A S I
Definisi
urbanisasi
erat
kaitannya
dengan
perkembangan
dan
pembentukan
kota
atau
wilayah
urban.
Indikator
untuk
mengukur
urbanisasi
relatif
beragam—dengan
kemungkinan
perbedaan
konteks
antarnegara—terutama
dalam
kriteria
wilayah
urban.Indikator
ukuran
urbanisasi
di
Indonesia
adalah
(Firman,
2010):
Menurut
Firman
(2010),
berdasarkan
manual
yang
digunakan
BPS
dalam
Sensus
tahun
1980,
1990,
2000,
dan
Survei
Penduduk
antar
Sensus
(SUPAS)
tahun
2005,
sebuah
wilayah
dinyatakan
sebagai
wilayah
‘urban’
apabila
memenuhi
persyaratan
berikut:
3) Memiliki
delapan
atau
lebih
jenis
fasilitas
yang
umumnya
ada
di
wilayah
urban,
seperti
sekolah,
rumah
sakit,
dan
pasar.
Indikator
untuk
mengukur
urbanisasi
relatif
beragam,
dan
untuk
konteks
Indonesia
tingkat
pemerintahan
juga
dijadikan
tolak
ukur,
mengingat
pemerintah
daerahnya
terdiri
dari
beberapa
lapis
(multi
layer).
Penetapan
wilayah
urban
atau
rural
di
Indonesia,
yang
mengacu
pada
ketersediaan
jenis
fasilitas
yang
umumnya
dimiliki
oleh
wilayah
urban,
dilakukan
berdasarkan
kriteria
BPS
untuk
mengidentifi-‐kasi
status
wilayah
tingkat
desa
atau
kelurahan.
Sementara
itu,
penetapan
kota
ataupun
kabupaten
yang
merupakan
wilayah
administrastif
yang
lebih
tinggi
(dari
kelurahan/desa)
didasarkan
pada
kriteria
seperti
jumlah
penduduk
dan
batasan
atau
total
luas
wilayah
administratifnya
sesuai
dengan
peraturan
Kementerian
Dalam
Negeri.
K O N D IS I
D A N
P E R K E M B A N G A N
U R B A N IS A S I
D I
I N D O N E S IA
Salah
satu
indikator
yang
umum
digunakan
sebagai
indikator
tingkat
urbanisasi
adalah
persentase
penduduk
yang
tinggal
di
perkotaan.
Sesuai
studi
yang
dilakukan
oleh
Sarosa
(2010),
Grafik
2.1
menunjukkan
proyeksi
pertumbuhan
penduduk
Indonesia:
untuk
30
tahun
ke
depan,
diperkirakan
lebih
dari
70
persen
penduduk
Indonesia
akan
tinggal
di
wilayah
perkotaan.
Studi
Sarosa
(2010)
tidak
menjelaskan
lebih
lanjut
acuan
dari
wilayah
urban
yang
digunakan,
apakah
mengacu
pada
penduduk
yang
tinggal
di
kota
vs
kabupaten,
atau
jumlah
penduduk
yang
tinggal
di
wilayah
urban
berdasarkan
kriteria
BPS.
Tabel
2.1
menunjukkan
pengelompokan
administratif
kabupaten
dan
kota,
jumlah
kabupaten
atau
kota
berdasarkan
kepadatan
penduduk,
dan
ketentuan
jumlah
penduduk
mengacu
pada
definisi
wilayah
urban
berdasarkan
kepadatan
penduduk
dan
jumlah
penduduk
di
suatu
wilayah
(Firman,
2010;
UNSTAT,
2010).
Dari
Tabel
2.1,
terlihat
bahwa
perkembangan
wilayah
urban
terjadi
baik
di
kota
ataupun
di
wilayah
kabupaten,
walaupun
dari
segi
kepadatan
penduduk,
sebagian
besar
wilayah
administratif
kota
relatif
memiliki
kepadatan
penduduk
yang
tinggi.
Selama
periode
lima
tahun
terakhir
juga
terjadi
peningkatan
jumlah
wilayah
urban
baik
dari
segi
administratif,
kepadatan
penduduk,
maupun
berdasarkan
klaster
jumlah
penduduk.
Tabel 2.1.Pembagian Administratif, Kepadatan Penduduk, dan Jumlah Penduduk: Kabupaten dan Kota
Jumlah
2005
2010
Kabupaten/
Kota
2 >250.000
2 >250.000
Administratif
>1000/km
Administratif
>1000/km
penduduk
penduduk
Kabupaten
349
27
191
399
31
201
Kota
91
55
35
98
60
39
Sumber:
Diolah
dari
data
dasar
DAU
(Kemenkeu,
2011)
dan
BPS
(2011)
P O L A
S O S IO -‐E K O N O M I
D A N
I N D IK A T O R
K E U A N G A N
P U B L IK
W IL A Y A H
U R B A N
D A N
N O N -‐U R B A N
Seperti
telah
ditunjukkan
sebelumnya,
perkembangan
tingkat
urbanisasi
di
Indonesia
meningkat
cukup
tinggi
(Lewis,
2011;
Sakora,
2010).
Secara
umum,
indikator
sosio-‐ekonomi
lebih
baik
di
wilayah
perkotaan
dibandingkan
dengan
wilayah
rural
(pedesaan).
Tabel
2.1
dan
Tabel
2.2
menunjukkan
perkembangan
indikator
yang
menggambarkan
karakteristik
kondisi
pendidikan,
kesehatan,
dan
kesejahteraan
secara
umum
untuk
wilayah
perkotaan
dan
pedesaan.
Tabel 2.2. Persentase Morbiditas yang Mengganggu Aktivitas di Perkotaan dan Pedesaan Antarprovinsi
Tabel
2.3
menunjukkan
jenis
layanan
kesehatan
yang
tersedia
di
perkotaan
dan
pedesaan
yang
juga
terdisagregasi
berdasarkan
pulau.
Dari
Tabel
2.3,
terlihat
bahwa
proporsi
layanan
kesehatan
swasta
masih
relatif
dominan
di
perkotaan
untuk
tahun
2000.
Namun
demikian
untuk
tahun
2006,
fasilitas
layanan
kesehatan
pemerintah
jauh
lebih
besar
dibandingkan
swasta.
Data
di
tahun
2006
menunjukkan
perkembangan
fasilitas
layanan
kesehatan
pemerintah
cukup
tinggi
baik
di
perkotaan
maupun
di
pedesaan.
Perkembangan
output
atau
outcome
di
sektor
pendidikan
juga
lebih
baik
untuk
wilayah
perkotaan
dibandingkan
dengan
di
wilayah
pedesaan.
Grafik
2.2
memperli-‐
hatkan
perkembangan
persentase
melek
huruf
antara
wilayah
perkotaan
dan
pedesaan.
Secara
umum,
persentase
angka
melek
huruf
lebih
tinggi
di
perkotaan
dibandingkan
dengan
wilayah
rural.
Grafik
2.2.
Persentase
Melek
Huruf
di
Perkotaan
dan
Pedesaan
(berdasarkan
Income
Quantile)
Sementara
itu,
Tabel
2.4
menunjukkan
korelasi
positif
antara
tingkat
kepadatan
penduduk
dengan
indikator
output
pendidikan
yaitu
angka
partisipasi
murni
(APM).
Dapat
disimpulkan
bahwa
di
perkotaan
sebagai
wilayah
dengan
kepadatan
penduduk
yang
relatif
tinggi,
persentase
penduduk
usia
sekolah
yang
bersekolah
cenderung
tinggi.
Tabel
2.4.
Persentase
Angka
Partisipasi
Murni
(APM)
di
Perkotaan
dan
Pedesaan
Namun
demikian,
untuk
sektor
infrastruktur
jalan,
akses
beberapa
pelayanan
dasar
yang
terkait
dengan
ketersediaan
dan
kualitas
infrastruktur
justru
lebih
rendah
untuk
wilayah
perkotaan.
Grafik
2.3
menunjukkan
bahwa
kualitas
jalan
di
Kota
cenderung
tidak
lebih
baik
dibandingkan
kualitas
jalan
di
wilayah
Kabupaten.
Jalan
aspal
kurang
dari
50
persen
dari
total
jalan
yang
ada
di
Kota,
sementara
jalan
aspal
di
Kabupaten
meliputi
70
persen
dari
total
jalan
yang
ada.
Investasi
infrasktruktur
jalan
relatif
masih
kurang
untuk
perkotaan
dibandingkan
kabupaten.
Grafik2.3.Kondisi Jalan Kota dan Kabupaten Tahun 2010 (Proporsi Kondisi Jalan)
1.20
1.00
0.80
lainnya
0.60 tanah
keras
0.40
aspal
0.20
0.00
Kota
Kabupaten
Terkait
dengan
infrastruktur
pelayanan
dasar,
Grafik
2.4
dan
2.5
menunjukkan
perbandingan
akses
terhadap
air
minum
layak
dan
sanitasi
antara
wilayah
perkotaan
dan
pedesaan.
Dari
Grafik
2.4,
persentase
rumah
tangga
dengan
akses
air
minum
layak
lebih
rendah
di
perkotaan
untuk
wilayah
Jawa
dan
Bali,
sebagian
wilayah
Sumatera,
dan
Papua.
Seperti
ditunjukkan
di
Grafik
2.4
(kotak
kuning),
pola
yang
sama
dalam
hal
akses
air
minum
yang
layak
untuk
wilayah
perkotaan
juga
mengindikasikan
kemungkinan
kurangnya
antisipasi
dalam
penyediaan
air
bersih
untuk
wilayah
dengan
penduduk
yang
relatif
cukup
besar
seperti
di
wilayah
di
Jawa,
dan
daerah
kaya
sumber
daya
alam
dengan
perkembangan
penduduk
atau
aktivitas
ekonomi
yang
cukup
pesat
seperti
di
Provinsi
Riau
dan
Provinsi
Papua.
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Bali
DI
Yogyakarta
Kalimantan
Barat
DKI
Sulawesi
Tenggara
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Kep.
Bangka
Riau
Aceh
Maluku
Utara
Sumatera
Utara
Kep.
Riau
Sumatera
Barat
Riau
Kalimantan
Timur
Jambi
Sulawesi
Selatan
Sumatera
Selatan
Banten
Bengkulu
Jambi
Lampung
Sulawesi
Tengah
Kep.
Bangka
Belitung
Kep.
Riau
Sumatera
Utara
DKI
Maluku
Jawa
Barat
Aceh
Jawa
Tengah
Kalimantan
Timur
an
Sulawesi
Selatan
Papua
Barat
Sulawesi
Tenggara
Jawa
Barat
Gorontalo
Kalimantan
Tengah
Sulawesi
Barat
Papua
Maluku
Pedesaan
Maluku
Utara
Perkotaan
NTB
Papua
Grafik
2.5.
Persentase
Rumah
Tangga
dengan
akses
Sanitasi
Layak
Tahun
2010
NTT
Papua
Barat
Grafik
2.4.Persentase
Rumah
Tangga
dengan
akses
Air
Minum
Layak
Tahun
2010
tangga
dengan
akses
sanitasi
layak
relatif
lebih
tinggi
untuk
wilayah
perkotaan.
Pola
rendah
di
pedesaan
dibandingkan
perkotaan.
Dari
Grafik
2.5,
persentase
rumah
Berbeda
halnya
dengan
pelayanan
dasar
air
minum,
akses
sanitasi
layak
lebih
Tabel
2.5.
Persentase
Rumah
Tangga
dengan
akses
Listrik
Tahun
2009
dan
2010
2009
2010
Perkotaan
Pedesaan
Pedesaan
&
Perkotaan
Pedesaan
Pedesaan
&
Perkotaan
Perkotaan
Aceh
98,87
88,63
91,5
98,63
91,27
93,33
Sumatera
Utara
99,04
88,07
93,11
98,96
87,19
92,91
Sumatera
Barat
97,9
85,56
89,83
97,36
86,67
90,77
Riau
96,59
80,72
88,65
97,48
82,08
88,05
Jambi
93,36
82,37
85,85
96,49
84,29
87,93
Sumatera
Selatan
98,58
81,78
88,04
97,97
83,82
88,69
Bengkulu
97,51
81,44
87,04
98,33
80,44
85,9
Lampung
97,44
85,01
88,24
97,39
89,34
91,29
Kep.
Bangka
Belitung
97,63
90,62
93,99
97,5
88,01
92,77
Kep.
Riau
97,85
87,91
93,18
95,98
92,78
95,45
DKI
99,57
99,57
99,58
99,58
Jawa
Barat
99,46
97,69
98,72
99,5
98,13
99,01
Jawa
Tengah
99,28
98,34
98,79
99,54
98,92
99,2
DI
Yogyakarta
99,66
98,45
99,26
99,77
99,21
99,59
Jawa
Timur
99,45
97,83
98,61
99,52
98,5
98,97
Banten
98,68
94,98
97,24
99,41
93,79
97,67
Bali
99,45
95,14
97,63
99,14
95,46
97,72
NTB
94,97
85,83
89,65
93,71
86,28
89,39
NTT
97,32
35,69
46,17
95,57
42,15
52,55
Kalimantan
Barat
97,71
67,01
75,36
99,17
69,07
77,97
Kalimantan
Tengah
96,45
67,71
77,49
96,66
73,88
81,54
Kalimantan
Selatan
99,37
89,86
93,76
99,21
90,29
94,01
Kalimantan
Timur
98,77
87,99
94,65
99,09
88,72
95,18
Sulawesi
Utara
99,3
92,86
95,66
98,31
95,12
96,58
Sulawesi
Tengah
97,28
73,4
78,41
96,11
75,39
80,44
Sulawesi
Selatan
98,41
86,51
90,38
99,08
88,8
92,49
Sulawesi
Tenggara
96,74
75,99
80,8
96,38
72,76
79,29
Gorontalo
96,99
72,45
80,2
93,87
68,62
77,33
Sulawesi
Barat
97,35
75,01
82,27
92,3
69,06
74,25
Maluku
93,66
65,93
73,26
95,62
69,46
79,64
Maluku
Utara
95,41
62,87
72,5
97,02
72,98
79,67
Papua
96,41
57,58
68,99
95,56
71,12
82,17
Papua
Barat
93,99
28,22
42,78
92,67
25,65
42,71
Total
98,9
88,5
93,55
98,96
89,39
94,15
50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
Bengkulu
Nanggroe
Aceh
Riau
Kepulauan
Riau
Lampung
DKI
Jakarta
Yogyakarta
Bali
Kalimantan
Tengah
Kalimantan
Selatan
Kalimantan
Timur
Jawa
Tengah
Sumatera Selatan
Banten
Jawa
Barat
Kalimantan
Barat
Kota
Desa
Sementara
itu,
terkait
dengan
kepemilikan
rumah
seperti
ditunjukkan
di
Tabel
2.6,
persentase
rumah
tangga
dengan
status
kepemilikan
rumah
milik
sendiri
lebih
rendah
di
perkotaan.
Dalam
hal
ini,
untuk
DKI
Jakarta,
hanya
sekitar
45
persen
rumah
tangga
dengan
status
kepemilikan
rumah
milik
sendiri.
Tabel 2.6. Persentase Rumah Tangga dengan Status Kepemilikan Rumah Milik Sendiri Tahun 2010
U R B A N IS A S I
D A N
K E U A N G A N
D A E R A H
Pertumbuhan
urban
yang
cepat
menjadi
suatu
tantangan
tersendiri
bagi
pemerintah
karena
penyediaan
jasa
menjadi
lebih
kompleks
dengan
bertambahnya
populasi.Menurut
Tiebout
(1956),
individu
akan
mencari
kombinasi
pengeluaran
pemerintah
daerah
(yang
diwakili
oleh
barang
publik
lokal)
dan
pajak
yang
cocok
dengan
preferensinya.
Jadi,
dalam
konteks
urbanisasi,
daya
tarik
untuk
daerah
perkotaan
adalah
proses
alami
yang
juga
dapat
disumbangkan
dari
kebijakan
pemerintah
terkait
pengeluaran
dan
pajak.
Di
sisi
lain,
pada
sebagian
daerah
urbanisasi
tidak
terjadi
karena
kebijakan
pajak
maupun
pengeluaran
tertentu,
melainkan
terjadi
alami
karena
suatu
kecenderungan
(misalnya
peraturan
bahwa
daerah
tersebut
menjadi
ibukota
provinsi,
adanya
sumber
daya
alam,
maupun
keuntungan
lokasi).
Dalam
hal
ini,
daerah
perkotaan
atau
pun
proses
urbanisasi
sendiri
juga
dapat
menjadi
sangat
bermanfaat
bagi
pemerintah
daerah
terkait,
karena
akan
meningkatkan
potensi
pendapatan
pajak
dan
dapat
menurunkan
biaya
pelayanan
karena
terjadinya
perbaikan
skala
ekonomi.
Pemerintah
daerah
yang
akan
memaksimalkan
penda-‐
patan
akan
mendapat
manfaat
dari
kondisi
awal
dan
pengembangan
kegiatan
ekonomi
dari
urbanisasi.
Oleh
karena
itu,
satu
dekade
desentralisasi
di
Indonesia
ditandai
oleh
sistem
transfer
yang
sangat
menekankan
pada
aspek
distributif,
dengan
tujuan
pokok
untuk
mengurangi
kesenjangan
horizontal
pembangunan
ekonomi
antardaerah
di
Indonesia.
Dengan
perangkat
Dana
Alokasi
Umum
(DAU),
beserta
dengan
Dana
Alokasi
Khusus
(DAK)
dan
Dana
Bagi
Hasil
(DBH)
di
awal
2011,
maka
transfer
antarpemerintahan
di
Indonesia
telah
bergeser
dari
bentuk
sebelumnya
yang
berupa
hibah
modal
dan
penggantian
biaya
(Inpres
dan
SDO),
menjadi
transfer
yang
lebih
memperhitungkan
ketimpangan
fiskal
antardaerah.
Pemaparan
berbagai
indikator
sosial
antara
daerah
urban
dan
rural,
seperti
yang
telah
dibahas
sebelumnya,
tidak
memberikan
sinyal
yang
jelas
mengenai
apakah
populasi
urban
relatif
lebih
baik
dibandingkan
populasi
rural.
Meskipun
akses
terhadap
kesehatan
dan
pendidikan
lebih
baik
di
wilayah-‐wilayah
urban,
tidak
semua
pelayanan
dasar
sudah
mencukupi.
Kemiskinan
(jumlah
orang
miskin)
secara
umum
lebih
tinggi
di
wilayah-‐wilayah
rural
dibandingkan
urban.
Namun,
kemiskinan
di
kota
menjadi
isu
tersendiri
karena
perbedaan
antara
kemiskinan
urban
dan
rural
relatif
kecil
dalam
wilayah-‐wilayah
padat
penduduk
seperti
di
Jawa
dan
Sumatera.
BAB
3
Seperti
tergambarkan
dengan
jelas
di
Bab
1
dan
Bab
2,
variasi
dari
kondisi
demografi
dan
dinamika
urbanisasi
antardaerah
di
Indonesia
cukup
besar
baik
di
tingkat
provinsi
maupun
untuk
tingkat
pemerintah
kabupaten
dan
pemerintah
kota.
Bab
1
juga
memberikan
indikasi
yang
jelas
bahwa
pola
pembangunan
perlu
untuk
mengakomodasi
perkembangan
siklus
demografi.
Siklus
demografi
dapat
dimanfa-‐
atkan
dalam
bentuk
pool
produktifitas,
ketersediaan
SDM,
modal
finansial
(untuk
investasi),
dan
modal
manusia
untuk
pengembangan
aktivitas
perekonomian.
Siklus
ini
perlu
dipertimbangkan
oleh
daerah
dalam
merumuskan
kebijakan
pola
belanja
dan
desain
kebijakan
pembangunan
daerah,
khususnya
yang
terkait
dengan
pelayanan
publik.
Untuk
konteks
Indonesia,
sejumlah
daerah
berdasarkan
proyeksi
struktur
penduduk
jangka
panjang
berpotensi
mengambil
manfaat
dari
adanya
komposisi
penduduk
produktif
lebih
awal
dibandingkan
dengan
daerah-‐daerah
lainnya.
Selain
itu
juga
terdapat
daerah
dengan
struktur
penduduk
yang
sudah
ideal,
yaitu
daerah
yang
saat
ini
memiliki
struktur
penduduk
dengan
angka
2
ketergantungan
paling
rendah
(lihat
Tabel
1.4
dan
Tabel
1.5
di
Bab
1).
Perkembangan
struktur
penduduk
kemungkinan
juga
tidak
terlepas
dari
aspek
geografis
dan
jenis-‐jenis
aktivitas
perekonomian
di
wilayah
itu
sendiri.
Dalam
deskripsi
di
Bab
2,
daerah-‐daerah
cukup
beragam
dimana
karakteristik
urban
tidak
hanya
terepresentasikan
oleh
satu
jenis
pemerintahan.
Sejumlah
kabupaten
memiliki
karakteristik
urban,
sementara
sejumlah
pemerintah
kota
juga
relatif
belum
dapat
dikatagorikan
sebagai
wilayah
urban
jika
dilihat
dari
faktor
kepadatan
wilayah
atau
jumlah
penduduk.
Dalam
hal
ini,
dinamika
urbanisasi
lebih
merupakan
tantangan
yang
perlu
diantisipasi
oleh
sebagian
daerah
dalam
pola
produksi
dan
penyediaan
pelayanan
publik,
terutama
untuk
daerah-‐daerah
yang
saat
ini
merupakan
daerah
metropolitan
atau
yang
berpotensi
menjadi
daerah
metropolitan.
2
Namun
demikian,
apakah
struktur
penduduk
yang
ideal
tersebut
(yakni
pada
masa
window
opportunity)
dapat
benar
memicu
perkembangan
perekonomian
daerah
atau
tidak
dapat
dieksplorasi
melalui
tingkat
produktifitas
penduduk
usia
produktif
tersebut,
yang
dalam
hal
ini
bisa
tergambarkan
dari
indikator
Indeks
Pembangunan
Manusia
(IPM)
dan
tingkat
pengangguran
di
daerah
tersebut.
Pada
akhirnya,
jika
dikaitkan
dengan
pengelolaan
kebijakan
publik
pemerintah
terutama
dari
segi
pola
belanja
dan
aspek
sustainabilitas
penerimaan
pemerintah,
perubahan
struktur
penduduk
dan
perkembangan
urbanisasi
di
suatu
daerah
akan
berimplikasi
pada
cakupan
dan
jenis
pelayanan
publik
sehingga
akan
mempengaruhi
acuan
besar
kebutuhan
fiskal
daerah
tersebut.
Selain
itu,
formulasi
untuk
penentuan
kebutuhan
fiskal
suatu
daerah
perlu
untuk
memerhatikan
karakteristik
maupun
konteks
institusi
suatu
daerah
dan
keterkaitan
antar
jenjang
pemerintahan
yang
kemungkinan
berbeda
antara
satu
daerah
dengan
daerah
lainnya.
Perlunya
pendekatan
yang
relatif
berbeda
dalam
pola
penyediaan
pelayanan
publik
juga
tidak
terlepas
dari
indikasi
bahwa
variasi
efisiensi
dari
berbagai
daerah
di
Indonesia
cukup
besar.
Oleh
karena
itu,
klaster
daerah
merupakan
salah
satu
format
yang
perlu
dipertimbangkan
dan
dimasukkan
dalam
desain
transfer
dengan
tujuan
untuk
mendukung
alokasi
transfer
yang
sesuai
dengan
kebutuhan
dan
yang
memang
dapat
dilakukan
oleh
daerah,
terutama
untuk
konteks
conditional
transfer.
L A N D A S A N
K O N S E P T U A L
Desentralisasi
asimetris
terjadi
ketika
ada
daerah-‐darah
yang
berada
pada
tingkat
pemerintahan
yang
sama
namun
memiliki
tanggung
jawab
berbeda
karena
pertimbangan
politik,
kapasitas
fiskal,
atau
pun
pertimbangan
teknis.
Desentralisasi
asimetris
pada
tingkat
regional
dipraktikkan
di
beberapa
negara
seperti
Belgia,
Kanada,
India,
dan
Malaysia.
Desentralisasi
asimetris
pada
tingkat
lokal
lebih
menonjol
dalam
praktik
(de-‐facto),
meskipun
kebijakan
tersebut
mungkin
tidak
secara
khusus
dituangkan
dalam
hukum
(de-‐jure)
(Shah
&
Thompson,
2002).
Pengaturan
secara
asimetris
dapat
berguna
apabila
daerah-‐daerah
relatif
beragam
dalam
hal
populasi,
budaya,
dan
perkembangan
perekonomian.
Penugasan
penyediaan
pelayanan
publik
kepada
berbagai
pihak
berwenang
di
pusat
dan
daerah
memerlukan
pertimbangan
beberapa
faktor
termasuk
skala
dan
cakupan
ekonomi,
spillover
biaya
atau
manfaat,
kedekatan
terhadap
penerima
manfaat,
preferensi
konsumen,
dan
fleksibilitas
atau
diskresi
dalam
mengambil
keputusan
belanja
(Shah,
2004).
Dalam
hal
ini,
Indonesia
adalah
suatu
negara
yang
karakteristik
daerahnya
sangat
beragam,
sehingga
muncul
suatu
kebutuhan
untuk
memperlakukan
daerah-‐daerah
secara
berbeda.
Ini
sudah
diterapkan
dalam
konteksi
otonomi
khusus
untuk
Aceh
dan
Papua.
Namun
evaluasi
selama
sepuluh
tahun
pertama
pelaksanaan
desentralisasi
menunjukkan
bahwa
beberapa
kebijakan
yang
diterapkan
secara
seragam
terhadap
semua
daerah,
seperti
Dana
Alokasi
Umum
yang
formulanya
berlaku
umum
untuk
seluruh
daerah
di
Indonesia
(one
size
fits
all),
dipandang
tidak
dapat
mengakomodasi
besarnya
variasi
antardaerah
yang
ada.
Oleh
karena
itu,
pemikiran
untuk
menerapkan
kebijakan
desentralisasi
fiskal
yang
asimetris,
dalam
hal
ini
yang
berbasis
klaster,
kembali
menguat.
Terminologi
awal
'klaster'
(cluster
dalam
bahasa
Inggris)
berangkat
dari
pengertian
sempit
sebagai
konsentrasi
geografis
dari
perusahaan-‐perusahaan
yang
saling
berhubungan,
pemasok
khusus,
penyedia
layanan,
perusahaan-‐perusahaan
di
industri
terkait,
dan
lembaga-‐lembaga
terkait
(misalnya,
universitas,
lembaga
standar,
asosiasi
perdagangan)
dalam
bidang
tertentu
yang
bersaing
tetapi
juga
bekerja
sama
(Porter,
2000).
Akan
tetapi,
kini
secara
umum
klaster
berarti
kelompok
dari
beberapa
entitas
yang
memiliki
karakteristik
yang
seragam.
Analisis
klaster
mengacu
pada
berbagai
macam
teknik
yang
digunakan
untuk
mengelompokkan
beberapa
entitas
ke
dalam
sub-‐kelompok
yang
masing-‐masingnya
relatif
homogen,
berdasarkan
kesamaan
karakteristik
mereka
(Lorr,
1983).
Teknik
ini
membantu
mengurangi
kompleksitas
dan
meningkatkan
akurasi
prediksi
dari
suatu
pengamatan.
Selama
ini,
analisis
klaster
telah
digunakan
untuk
mengukur
kinerja
desentralisasi
di
beberapa
negara.
1) ada
tidaknya
manfaat
ekonomi
dan
sosial
bagi
daerah
atau
masyarakat
dengan
pengelompokan
tersebut
(argumen
eksistensi);
2) adanya
“disekonomi”
yang
terjadi
dengan
pengelompokan
berdasarkan
geografis
maupun
sektoral
yang
telah
melebihi
ambang
batas
tertentu
(argumen
ekstensi);
dan
3) seberapa
lama
pengelompokan
tersebut
akan
relevan
dengan
terjadinya
perubahan
terhadap
daerah-‐daerah
anggota
klaster
tersebut
(argumen
kekinian).
K O N S T R U K S I
K L A S T E R
D A E R A H
Gambar
3.1
menunjukkan
berbagai
alternatif
klaster
yang
dapat
digunakan
dalam
desain
transfer,
namun
penggunaan
antara
suatu
klaster
dengan
klaster
lainnya,
atau
penggunaan
beberapa
klaster
perlu
mengacu
pada
prinsip
bahwa
keadilan
antardaerah
seyogyanya
tetap
terjadi.
Hal
yang
juga
perlu
diperhatikan
dalam
penggunaan
suatu
klaster
adalah
kaitannya
dengan
tujuan
dari
alokasi
transfer
itu
sendiri.
Untuk
daerah
dengan
kebutuhan
fiskal
yang
relatif
sama,
keadilan
dalam
alokasi
transfer
terkait
dengan
“daerah
dengan
kapasitas
fiskal
berbeda
seharusnya
mendapat
alokasi
transfer
yang
berbeda”.
Isu
dari
sistem
intergovernmental
transfer
di
Indonesia
adalah
bahwa
penggunaan
rata-‐rata
dari
nasional
sebagai
acuan
atau
representative
region
dari
konteks
keseluruhan
daerah
kemungkinan
justru
membuat
nilai
dari
kebutuhan
fiskal
hasil
formulasi
melenceng
jauh
dari
kebutuhan
fiskal
yang
sebenarnya
untuk
sebagian
besar
daerah.
Hal
ini
karena
variasi
dan
perbedaan
karakteristik
yang
cukup
besar
antar
sejumlah
daerah
dengan
daerah-‐
3
daerah
lainnya.
Penentuan
kebutuhan
fiskal
suatu
daerah
tidak
terlepas
dari
cakupan
dan
jenis
pelayanan
publik
yang
perlu
dilakukan
oleh
suatu
daerah
dan/atau
tingkat
pemerintahan
tertentu.
Seperti
juga
tersirat
di
Gambar
3.1,
kebutuhan
fiskal
suatu
daerah
ditentukan
oleh
karakteristik
daerah
dan
juga
institusi
pemerintahan
di
daerah
itu
sendiri.
Sebelum
menerapkan
konsep
equity
tersebut,
perlu
untuk
setidaknya
mengupayakan
formulasi
kebutuhan
fiskal
sesuai
dengan
representasi
karakteristik
daerah
dan
juga
institusi
pemerintahan
yang
ada.
Klaster
daerah
yang
realistik
adalah
mengacu
pada
karakteristik
daerah
atau
proxy
pengelompokan
sesuai
dengan
jenis
pemerintahan.
Ini
dimaksudkan
untuk
menentukan
kebutuhan
sumber
daya
untuk
mencapai
penyediaan
pelayanan
publik
yang
optimal.
Konsep
keadilan
yang
mengacu
pada
alokasi
transfer
untuk
daerah
yang
relatif
memiliki
kapasitas
fiskal
rendah
juga
mengindikasikan
bahwa
setiap
daerah
diharapkan
menyediakan
pelayanan
publik
yang
relatif
sama.
Asumsi
ini
kemungkinan
hanya
relevan
untuk
jenis-‐jenis
pelayanan
publik
minimum
yang
disediakan
oleh
semua
daerah.
Dalam
hal
ini,
klaster
daerah
hanya
untuk
mengklasifikasi
daerah
dengan
cakupan
pelayanan
publik
yang
minimum,
yang
berarti
bahwa
penentuan
pelayanan
publik
daerah
kemungkinan
besar
masih
sub-‐
optimal
(under
provision
of
local
public
goods).
Identifikasi
kondisi
sub-‐optimal
ini
akan
semakin
relevan
terutama
untuk
sejumlah
daerah
yang
memang
secara
natural
memerlukan
kualitas
pelayanan
publik
yang
lebih
tinggi
dan
kuantitas
yang
lebih
banyak
dari
daerah-‐daerah
lainnya.
Hal
ini
juga
menjadi
justifikasi
penggunaan
klaster
daerah
untuk
meminimalkan
inefisiensi
dari
proyeksi
kebutuhan
fiskal
yang
jauh
dibawah
optimal.
3
Formulasi
yang
sama
untuk
konteks
cakupan
dari
jenis
pelayanan
publik
yang
berbeda
antara
sejumlah
daerah
juga
akan
menyebabkan
perbandingan
gap
kapasitas
fiskal
dan
kebutuhan
fiskal
antar
daerah
menjadi
kurang
relevan.
Pada
akhirnya,
pengelompokan
daerah
hanya
dilakukan
dalam
konteks
desain
intergovernmental
transfer
apakah
untuk
menciptakan
konsep
keadilan
atau
untuk
meningkatkan
efisiensi
(mengurangi
inefisiensi).
Hal
yang
wajib
diperhatikan
adalah
penggunaan
klaster
dapat
tidak
efektif
ketika
prinsip
keadilan
yang
berusaha
diciptakan
justru
tidak
muncul
karena
desain
atau
penggunaan
klaster
yang
dibuat.Misalnya,
pengelompokan
daerah
justru
menyebabkan
baik
efisiensi
maupun
keadilan
tidak
tercapai
karena
penggunaan
beberapa
klaster
dengan
tujuan
berbeda
(konteks
“too
many
clusters
lead
to
nowhere”)
dan
juga
ketidakefektifan
klaster
(penggunaan
klaster
yang
sebenarnya
tidak
diperlukan).
BAB
4
DESAIN
DESENTRALISASI
FISKAL
BERDASARKAN
KLASTER
DAERAH
Namun,
hal
yang
tetap
mesti
diingat
adalah
perlunya
kecermatan
dalam
memaknai
window
of
opportunity
tersebut.
Jika
momentum
ini
tidak
dimanfaatkan
oleh
negara
atau
daerah
dengan
melakukan
kebijakan
yang
cocok,
sistematis,
dan
sungguh-‐
sungguh,
maka
situasi
tersebut
akan
berlalu
tanpa
manfaat
yang
jelas.
Bahkan
sebaliknya,
masalah-‐masalah
baru
bisa
muncul
bagi
perekonomian
negara
atau
daerah
tersebut.
Masalah
yang
paling
nyata
adalah
kemampuan
pemerintah
menyediakan
lapangan
pekerjaan
bagi
penduduk
usia
kerja.
Lapangan
pekerjaan
yang
bagaimana
yang
mampu
menampung
hampir
70
persen
penduduk
usia
kerja
pada
2020–2030?
Jika
lapangan
kerja
sudah
tersedia,
mampukah
sumber
daya
manusia
yang
melimpah
memasukinya
dan
bersaing
di
pasar
kerja
baik
domestik
maupun
internasional?
Oleh
karena
itu,
pemerintah
memiliki
tugas
yang
cukup
berat
untuk
merumuskan
kebijakan
yang
bisa
memanfaatkan
kondisi
window
of
opportunity.
Perbaikan
mutu
SDM,
melalui
pendidikan,
pelayanan
kesehatan
yang
memadai,
hingga
penguasaan
dan
pengembangan
teknologi
(appropriate
technology)
harus
terus
dilakukan
seiring
dengan
tuntutan
kebutuhan
dunia
kerja
yang
dinamis.
Selain
itu,
program
keterampilan
dan
pengembangan
inovasi
produk
juga
harus
dilakukan
seintensif
mungkin,
sehingga
pekerja
tidak
hanya
bergantung
kepada
ketersediaan
lapangan
pekerjaan,
tetapi
juga
mampu
menciptakan
lapangan
pekerjaan
serta
mampu
mendorong
pengembangan
usaha
melalui
kegiatan
ekonomi
kreatif.
Jika
hal
sebaliknya
yang
terjadi,
saat
terjadi
window
of
opportunity
dan
pemerintah
gagal
memanfaatkannya,
maka
bisa
saja
terjadi
ketidakstabilan
ekonomi
dan
sosial.
T A N T A N G A N
O P T IM A L IS A S I
D E S E N T R A L IS A S I
F IS K A L
Desentralisasi
fiskal
telah
dilaksanakan
dalam
kurun
waktu
hampir
11
tahun
dengan
jumlah
dana
yang
telah
ditransfer
ke
daerah
(DAU,
DAK,
DBH)
semakin
membesar.
Pada
beberapa
tahun
terakhir,
komposisi
dana
transfer
ini
mencapai
lebih
dari
30
persen
dari
total
APBN
dan
bahkan
jika
digabungkan
secara
keseluruhan
dana
yang
dibelanjakan
di
daerah
(termasuk
dan
Dekonsentrasi,
Tugas
Pembantuan,
Subsidi,
dan
sebagainya)
sudah
mencapai
kisaran
60
persen.
Seharusnya
dengan
jumlah
dana
yang
sangat
memihak
ke
daerah
ini
sudah
bisa
menghasilkan
daya
dorong
pertumbuhan
ekonomi
daerah
yang
tinggi.
Bahkan
semestinya
hal
ini
juga
mampu
memperbaiki
tingkat
ketimpangan
antardaerah
baik
pada
tingkat
provinsi,
kota
maupun
kabupaten.
Namun
angka
BPS
2011
menyatakan
bahwa
tingkat
ketimpangan
antardaerah
pada
tahun
2010
justru
semakin
melebar.
Memang
mesti
diakui
bahwa
perjalanan
desentralisasi
fiskal
Indonesia
selama
ini
sarat
dengan
berbagai
masalah
dan
masih
menghadapi
banyak
tantangan
yang
membutuhkan
penyesuaian
kebijakan
terus-‐menerus.
Beberapa
di
antara
tantangan
tersebut
adalah:
Tantangan-‐tantangan
tersebut
di
atas
akan
menjadi
semakin
sulit
diatasi
pada
saat
dihadapkan
dengan
kenyataan
bahwa
karakteristik
antardaerah
memiliki
variasi
sangat
tinggi,
terutama
jika
diperhatikan
berdasarkan
kapasitas
fiskal
dan
perkembangan
penduduk.
Terkait
dengan
window
of
opportunity
sebagaimana
diuraikan
sebelumnya,
terdapat
beberapa
daerah
yang
bahkan
sudah
mencapainya
pada
tahun
2010
sementara
yang
lain
bahkan
ada
yang
baru
akan
mencapainya
setelah
tahun
2020.
Dilihat
dari
kemampuan
fiskalnya,
terdapat
daerah
yang
memiliki
kapasitas
fiskal
lebih
dari
Rp
25
Triliun
(DKI
Jakarta),
sementara
daerah
lain
ada
yang
hanya
Rp
338
Milyar
(Sulawesi
Barat).
Kemungkinan
besar
kenyataan
inilah
yang
menjadi
salah
satu
faktor
penyebab
kurang
optimalnya
capaian
pelaksanaan
desentralisasi
fiskal
di
Indonesia.
K L A S T E R
D A E R A H
Dengan
seluruh
potensi
demografi
(keragaman)
dan
berbagai
tantangan
yang
masih
dihadapi
oleh
daerah,
maka
Indonesia
membutuhkan
desain
desentralisasi
fiskal
yang
dapat
mentransformasikan
percepatan
efektivitas
capaian
kebijakan
desentralisasi
fiskal,
khususnya
dana
transfer,
agar
menghasilkan
kesejahteraan
bagi
seluruh
masyarakat
(dengan
pemerataan
yang
jauh
lebih
baik).
Untuk
itu
dibutuhkan
perubahan
pola
fikir
dalam
disain
kebijakan
desentralisasi
fiskal
yang
didasari
dengan
semangat
regional
dan
keberagaman
wilayah
dalam
bingkai
NKRI.
Berdasarkan
data
yang
diolah
dari
BPS
dan
Kementerian
Keuangan,
maka
diperoleh
gambaran
klaster
sebagai
berikut:
Tabel 4.1. Provinsi di Indonesia berdasarkan Kapasitas Fiskal dan Window of Opportunity
Sedang
mengalami
Menuju
window
of
opportunity
window
of
opportunity
(tahun
dengan
DR
minimum)
(tahun
dengan
DR
minimum)
Kalimantan
Tengah
(2016),
DKI
Jakarta
(2010),
Papua
Barat
Kalimantan
Selatan
(2016),
Kapasitas
Fiskal
Tinggi
(2012),
Kepulauan
Riau
(2015),
Kalimantan
Timur
(2018),
Bali
Maluku
Utara
(2015)
(2020),
Sumatera
Selatan
(2024),
Riau
(2025)
DI
Jogyakarta
(2010),
Jawa
NAD
(2025),
Sumut
(2019),
Tengah(2011),
Jawa
Timur
(2011),
Banten
(2020),
Jambi
(2022),
Papua
(2010),
Sulawesi
Utara
Bengkulu
(2019),
Lampung
Kapasitas
Fiskal
Rendah
(2012),
Sulawesi
Selatan
(2013),
(2019),
Kalbar
(2024),
Sultra
Bangka
Belitung
(2013),
Gorontalo
(2025),
Jabar
(2023),
Sulbar
(2014),
Maluku
(2014),
Sumbar
(2018),
NTB
(2025)
(2015),
Sulteng
(2015),
NTT
(2015)
Sumber:
diolah
(BPS
dan
Kementerian
Keuangan)
Tabel
4.1
di
atas
menggambarkan
hubungan
antara
kondisi
window
of
opportunity
dengan
kapasitas
fiskal
masing-‐masing
provinsi
yang
ternyata
sangat
bervariasi.
Dalam
konteks
ini
kapasitas
fiskal
dimaksud
adalah
kemampuan
keuangan
daerah
yang
diukur
dengan
besaran
pendapatan
(PAD+DBH/Kapita)
yang
sudah
memperhitungkan
bobot
Indeks
Kemahalan
Konstruksi
(IKK).
Keterkaitan
kapasitas
fiskal
dengan
window
of
opportunityakan
memberi
gambaran
seberapa
besar
kemampuan
fiskal
daerah
dapat
mengatasi
masalah
pembangunan
di
daerahnya
sesuai
dengan
capaian
window
of
opportunity-‐nya.
Konsekuensinya,
desain
desentralisasi
fiskal
bagi
daerah-‐daerah
yang
sama-‐sama
sudah
mencapai
window
of
opportunity
akan
berbeda
jika
kapasitas
fiskal
mereka
berbeda.
Berdasarkan
keterkaitan
antara
kapasitas
fiskal
dengan
window
of
opportunity,
maka
kita
dapat
mengelompokkan
daerah
provinsi
di
Indonesia
ke
dalam
empat
kelompok
besar,
yaitu:
• Klaster
1:
Daerah
yang
memiliki
kapasitas
fiskal
tinggi
dan
sudah
mencapai
window
of
opportunity
• Klaster
2:
Daerah
yang
memiliki
kapasitas
fiskal
rendah
dan
sudah
mencapai
window
of
opportunity
• Klaster
3:
Daerah
yang
memiliki
kapasitas
fiskal
tinggi
dan
sedang
menuju
window
of
opportunity
• Klaster
4:
Daerah
yang
memiliki
kapasitas
fiskal
rendah
dan
sedang
menuju
window
of
opportunity
Selain
aspek
demografi
dan
kapasitas
fiskal,
konteks
urbanisasi
juga
penting
dipertimbangkan
dalam
kebijakan
transfer.
Seperti
yang
diuraikan
pada
Bab
2,
urbanisasi
adalah
sebuah
proses
yang
normal
terjadi,
ketika
banyak
orang
berpendapat
bahwa
daerah
urban
menawarkan
fasilitas
dan
kesempatan
yang
lebih
baik.
Pemerintah
tidak
akan
bisa
untuk
menghentikan
urbanisasi,
karena
tidak
ada
halangan
bagi
penduduk
untuk
berpindah
di
dalam
suatu
negara.
Sebaliknya,
pemerintah
seharusnya
memandang
bahwa
proses
urbanisasi
adalah
kesempatan
yang
mengandung
tantangan.
I D E N T IF IK A S I
K E B IJA K A N
F IS K A L
Y A N G
S E L A R A S
U N T U K
T IA P
K L A S T E R
D A E R A H
Potret
yang
tersaji
dalam
Tabel
4.1
di
atas
menunjukkan
bahwa
ada
perbedaan
yang
cukup
signifikan
antar
provinsidi
Indonesia.
Idealnya,
Indonesia
harus
memiliki
desain
kebijakan
fiskal
yang
sesuai
dengan
kondisi
masing-‐masing
daerah.
Tentu
saja
prediksi
di
atas
hanya
sekedar
memberi
gambaran
makro
kondisi
dan
kecenderungan
perkembangan
penduduk
Indonesia.
Jika
diamati
lebih
detail
ke
dalam
lingkup
provinsi,
maka
akan
tampak
adanya
variasi
waktu
dalam
mencapai
window
of
opportunity
tersebut.
Bahkan
terdapat
3
(tiga)
provinsi,
yaitu
DKI
Jakarta,
DI
Yogyakarta,
dan
Papua
yang
sudah
mencapai
kondisi
window
of
opportunity
pada
tahun
2010.
Sementara
sebagian
provinsi
di
Sumatera
dan
kawasan
timur
Indonesia
baru
akan
mencapainya
pada
tahun
2020
hingga
2025.
Variasi
waktu
mencapai
kondisi
window
of
opportunity
ini
sudah
barang
tentu
menuntut
pula
variasi
kebijakan
fiskal
yang
berbeda,
karena
masalah
dan
tantangan
pembangunan
di
antara
berbagai
provinsi
tersebut
juga
akan
berbeda
satu
dengan
lainnya.
Empat
kebijakan
fiskal
yang
selaras
dengan
masing-‐masing
klaster
daerah
tersebut
yaitu:
K L A S T E R
1:
D A E R A H
Y A N G
M E M I L I K I
K A P A S I T A S
F I S K A L
T I N G G I
D A N
S U D A H
M E N C A P A I
W I N D O W
O F
O P P O R T U N I T Y
Daerah-‐daerah
pada
klaster
ini
memiliki
dua
kondisi
yang
relatif
potensial
untuk
memajukan
pembangunan
mereka,
yaitu
kondisi
kapasitas
fiskal
tinggi
dan
dalam
periode
windows
of
opportunity.
Satu-‐satunya
kekhawatiran
terhadap
daerah
pada
klaster
ini
adalah
ketidaktahuan
bahwa
mereka
sedang
berada
pada
momentum
windows
of
opportunity,
sehingga
momentum
tersebut
bisa
berlalu
begitu
saja,
tidak
termanfaatkan
atau
bahkan
dapat
memberi
masalah.
Masalah
akan
terjadi
jika
penduduk
usia
produktif
di
daerah
tersebut
tidak
dipersiapkan
kualitasnya
(keahlian
dan
kompetensinya),
serta
jumlahnya
tidak
sebanding
dengan
pekerjaan
yang
bisa
disediakan
perekonomian
daerah.
Akibatnya
penduduk
usia
produktif
tersebut
tidak
memperoleh
kesempatan
kerja
sehingga
dapat
menimbulkan
permasalahan
sosial.
Daerah
yang
termasuk
di
Klaster
1
ini
adalah
DKI
Jakarta,
Papua
Barat,
Kepulauan
Riau,
dan
Maluku
Utara.
Jika
kita
bandingkan
DKI
Jakarta
dan
Papua
Barat,
DKI
Jakarta
memiliki
tantangan
untuk
mengelola
urbanisasi,
berbeda
dengan
provinsi
Papua
Barat
yang
jumlah
penduduknya
masih
sedikit
dan
lahan
kosong
yang
masih
luas.
Struktur
perekonomian
kedua
daerah
ini
juga
berbeda;
Papua
Barat
didominasi
oleh
industri
berbasis
minyak
dan
gas
bumi,
sedangkan
DKI
Jakarta
bertumpu
pada
sektor
perdagangan
dan
jasa
keuangan
(BPS,
2009).
Kebijakan
fiskal
yang
umum
bagi
daerah
di
klaster
ini
sebaiknya
difokuskan
untuk
memanfaatkan
momentum
the
demographic
window
of
opportunity
dengan
meningkatkan
nilai
tambah
faktor
produksi
melalui
pelatihan,
penerapan
One
Stop
Services
untuk
peningkatan
investasi,
peningkatan
kualitas
dan
kuantitas
kegiatan
Usaha
Kecil
Menengah
dan
Koperasi,
dan
pengendalian
angka
kelahiran
(Keluarga
Berencana)
untuk
meningkatkan
kualitas
penduduk,
serta
pelayanan
kesehatan
untuk
menjaga
tingkat
produktivitas
yang
tinggi
bagi
tenaga
kerja
usia
produktif.
DKI
Jakarta
perlu
meningkatkan
pelayanan
publik
terutama
yang
berkaitan
langsung
dengan
aktivitas
ekonomi
dan
kesejahteraan
masyarakat.
Infrastruktur
transportasi,
listrik
dan
air
bersih,
keamanan,
pelayanan
kesehatan,
pendidikan
serta
keterampilan
adalah
fasilitas
vital
bagi
masyarakat
urban.
Berkaitan
dengan
kepadatan
penduduk
dan
banyaknya
tenaga
kerja,
perlu
diperhatikan
pengelolaan
lingkungan
termasuk
sanitasi,
kualitas
air
dan
udara,
sampah,
dan
peluang
peningkatan
sisi
permintaan.
Kebijakan
ini
berbeda
dengan
Papua
Barat
yang
masih
bisa
menampung
penduduk
lebih
banyak
dan
mempunyai
potensi
ekonomi
yang
belum
dimanfaatkan.
Kekurangan
dari
aktivitas
ekonomi
yang
bertumpu
pada
sektor
migas
adalah
daya
serap
tenaga
kerja
yang
terbatas
dan
dibutuhkannya
tenaga
kerja
dengan
keahlian
yang
spesifik.
Papua
Barat
harus
menggali
sektor
lain
yang
bisa
menjadi
andalannya
untuk
meningkatkan
diversifikasi
perekonomian
daerah.
Dengan
demikian
daerah
pada
klaster
ini
selayaknya
memperoleh
alokasi
DAK
yang
relatif
besar
dibanding
DAU
yang
ditujukan
terutama
untuk
meningkatkan
kegiatan
ekonomi
dan
pengendalian
angka
kelahiran.
Hal
lain
yang
penting
bagi
daerah
pada
klaster
ini
adalah
meningkatkan
kualitas
belanja
daerah
melalui
efisiensi
alokasi
belanja,
penajaman
prioritas,
penerapan
secara
konsisten
anggaran
berbasis
kinerja
dan
reformasi
birokrasi.
Kondisi
ini
diyakini
akan
mampu
merangsang
sektor
swasta
untuk
terlibat
di
dalam
usaha–usaha
memanfaatkan
momentum
the
windows
opportunity.
K L A S T E R
2:
D A E R A H
Y A N G
M E M I L I K I
K A P A S I T A S
F I S K A L
R E N D A H
D A N
S U D A H
M E N C A P A I W I N D O W
O F
O P P O R T U N I T Y
Secara
umum
daerah
pada
klaster
ini
memiliki
karakteristik
demografi
yang
sama
dengan
daerah
pada
klaster
1
walaupun
antara
daerah
memiiki
karakteristik
yang
bervariasi
dalam
hal
jumlah
dan
kepadatan
penduduk
serta
tingkat
urbanisasi.
Daerah
di
dalam
klaster
ini
memiliki
kapasitas
fiskal
rendah
sedangkan
mereka
sebenarnya
sedang
menikmati
periode
WO.
Sama
seperti
pada
Klaster
1,
daerah
yang
sudah
masuk
periode
WO
seharusnya
mampu
memanfaatkan
kondisi
ini
untuk
meningkatkan
perekonomiannya
dan
mengakumulasikan
tabungan.
Dengan
menghadapi
kendala
keterbatasan
fiskal
daerah,
maka
ada
dua
hal
yang
dapat
dilakukan.
Pertama
adalah
pemerintah
pusat
meningkatkan
DAK
yang
sesuai
dengan
tujuan
pemanfaatan
WO
dan
meraih
bonus
demografi.
Kedua,
pemerintah
daerah
memberi
insentif
pada
pihak
swasta
untuk
meningkatkan
peran
mereka
dalam
perekonomian
daerah.
Insentif
yang
diberikan
tidak
harus
berupa
insentif
fiskal,
tetapi
bisa
juga
berupa
insentif
non
fiskal
semisal
mendukung
iklim
usaha
yang
kondusif
(kemudahan
perizinan
usaha,
deregulasi,
memberi
ruang
yang
lebih
besar
bagi
swasta
untuk
berperan
(misal
melalui
subkontrak
pelayanan
publik,
PPP,
dan
sebagainya),
menyediakan
fasilitas
dasar,
dan
upaya
peningkatan
kualitas
tenaga
kerja.
Daerah
dengan
tingkat
urbanisasi
yang
cepat
harus
diberi
perhatian
khusus
oleh
Pemerintah
Pusat.
Jika
daerah
tersebut
berada
di
luar
Jawa,
maka
sebaiknya
proses
urbanisasi
ini
didukung
dan
dikelola
dengan
baik.
Laju
urbanisasi
jangan
sampai
terlalu
cepat,
karena
daerah
tersebut
pasti
akan
kesulitan
dalam
mengejar
penyediaan
layanan
publik
dan
ketersediaan
lapangan
kerja.
Untuk
mengurangi
konsentrasi
urbanisasi
maka
DAK
dapat
diberikan
pada
daerah
potensial
lainnya
yang
dapat
menarik
pendatang
dari
pedesaan
atau
daerah
sub-‐urban.
K L A S T E R
3:
D A E R A H
Y A N G
M E M I L I K I
K A P A S I T A S
F I S K A L
T I N G G I
D A N
S E D A N G
M E N U J U
W I N D O W
O F
O P P O R T U N I T Y
Daerah
pada
klaster
ini
belum
mencapai
rasio
terendah
dari
angka
ketergantungan.
Dengan
kapasitas
fiskalnya
yang
tinggi,
maka
ini
adalah
klaster
yang
sangat
penting
untuk
diperhatikan.
Daerah-‐daerah
ini
mempunyai
kesempatan
untuk
mempersiap-‐
kan
diri
memasuki
periode
WO
dan
berpeluang
besar
untuk
meraih
bonus
demografi.
Kebijakan
fiskal
bagi
daerah
yang
ada
di
klaster
ini
fokus
pada
pengelolaan
keuangan,
dengan
sasaran
terwujudnya
efisiensi
alokasi,
penajaman
prioritas,
dan
anggaran
berbasis
kinerja.
Daerah
pada
klaster
ini,
seharusnya
sudah
mampu
mengalokasikan
belanjanya
lebih
efisien
dan
mengarahkan
belanjanya
pada
penyiapan
tenaga
kerja
dan
sektor
ekonomi
yang
tepat
agar
kelak
dapat
memanfaatkan
windows
opportunity.
K L A S T E R
4:
D A E R A H
Y A N G
M E M I L I K I
K A P A S I T A S
F I S K A L
RENDAH
D A N
BELUM
M E N C A P A I W I N D O W
O F
O P P O R T U N I T Y
Daerah
pada
klaster
ini
merupakan
daerah
yang
tantangannya
paling
besar.
Dengan
kapasitas
fiskal
yang
rendah
sedangkan
mereka
akan
memasuki
periode
WO,
tantangan
utama
adalah
bagaimana
mempersiapkan
diri
dalam
keterbatasan
fiskal
ini
dan
meraih
bonus
demografi
pada
saat
WO.
Walaupun
demikian,
jika
kesadaran
bahwa
mereka
mempunyai
peluang
untuk
meraih
bonus
demografi
ini
tinggi
dan
bisa
dijadikan
motivasi
atau
basis
kebijakan
pemerintah
daerah
maka
momentum
ini
dapat
menjadi
pemicu
positif
dalam
pembangunan
daerah.
Sama
halnya
dengan
daerah
lain,
daerah
dalam
klaster
ini
yang
juga
mengalami
urbanisasi
mempunyai
tantangan
lebih.
Dengan
kondisi
keterbatasan
fiskal,
meningkatnya
jumlah
tenaga
kerja
dan
terkonsentrasinya
penduduk
di
perkotaan,
maka
Pemda
membutuhkan
bantuan
investasi
dan
kebijakan
yang
didesain
khusus
untuk
mengatasi
hal
ini.
Kuncinya
adalah
mengubah
tantangan
menjadi
peluang.
Sebelum
membahas
kaitan
klaster
dengan
kebijakan
transfer,
perlu
kiranya
melihat
pada
sistem
transfer
yang
berlaku
saat
ini.
APBN
mengklasifikasikan
Transfer
ke
Daerah
ke
dalam:
a)
Dana
Perimbangan
(DAU,
DAK,
dan
DBH),
dan
b)
Dana
Otonomi
Khusus
dan
Penyesuaian.
Dalam
proposal
mengenai
skema
Dana
Transfer,
tim
mengusulkan
bahwa
dana
transfer
lainnya
seperti
hibah,
dana
percepatan
infrastruktur,
dana
insentif
daerah
dan
sebagainya
dipindahkan
ke
dalam
DAK.
Hal
ini
memudahkan
dari
sisi
tertib
administrasi
dan
untuk
memenuhi
azas
transparansi
dan
akuntabilitas.
Untuk
mengakomodasi
fleksibilitas
dalam
berbagai
dana
transfer
lainnya
ini,
maka
skema
DAK
juga
perlu
diubah
sebagaimana
yang
dapat
dilihat
pada
Bab
DAK
dalam
laporan
ini.
Dalam
desain
kebijakan
transfer
berdasarkan
klaster,
hanya
DAK
(dalam
definisi
dan
konteks
yang
baru)
yang
bisa
mengakomodasi
karakteristik
demografi,
fiskal,
dan
urbanisasi.
DAU
merupakan
transfer
yang
bersifat
redistributif
sehingga
kurang
cocok
untuk
desain
spesifik.
Sedangkan
DBH
merupakan
variabel
endogen
dalam
konstruksi
klaster,
sehingga
mengubah
desain
atau
skema
DBH
dapat
mengakibat-‐
kan
perubahan
komposisi
daerah
di
dalam
klaster.
Di
dalam
Bab
selanjutnya
semua
jenis
dana
transfer
tetap
akan
dibahas
walaupun
tidak
semua
terkait
dengan
konteks
demografi
atau
urbanisasi.
Hal
ini
tetap
penting
karena
masing-‐masing
dana
transfer
ini
mempunyai
peran
tersendiri
yang
saling
melengkapi
dan
menunjang
pelaksanaan
desentralisasi
secara
komprehensif.
Respon
Kebijakan
Dana
Transfer
Bagian
Dua
BAB
5
DANA
ALOKASI
UMUM
P R IN S IP
D A S A R
P E N G A L O K A S IA N
DAU
DAU
didistribusikan
oleh
Pemerintah
Pusat
kepada
Pemerintah
daerah
dengan
sasaran
untuk
memeratakan
kemampuan
fiskal
antardaerah,
sebagaimana
tertulis
pada
pasal
1
ayat
18
UU
25/1999
dan
juga
pasal
1
ayat
21
UU
33/2004
sebagai
berikut:
DANA
ALOKASI
UMUM
ADALAH
DANA
YANG
BERASAL
DARI
APBN,
YANG
DIALOKASIKAN
DENGAN
TUJUAN
PEMERATAAN
KEMAMPUAN
KEUANGAN
ANTAR-‐
DAERAH
UNTUK
MEMBIAYAI
KEBUTUHAN
PENGELUARANNYA
DALAM
RANGKA
PELAKSANAAN
DESENTRALISASI
Dana
Alokasi
Umum
(DAU)
adalah
bagian
dari
dana
perimbangan
yang
ditransfer
oleh
Pemerintah
Pusat
ke
Pemerintah
Daerah
untuk
tujuan
mengurangi
ketimpangan
fiskal
horizontal
(horizontal
fiscal
imbalance).
Itu
berarti
DAU
juga
disebut
equalization
grant
yaitu
grant
(bantuan)
yang
ditujukan
untuk
memeratakan
kemampuan
keuangan
daerah.
Daerah
yang
“miskin”
(kemampuan
keuangan
yang
rendah)
akan
mendapat
DAU
yang
relatif
lebih
besar
dari
daerah
yang
“kaya”
(kemampuan
keuangan
yang
tinggi).
DAU
sebagai
salah
satu
sumber
penerimaan
daerah
di
era
otonomi,
keberadaannya
sangat
signifikan
bagi
sebagian
besar
daerah
–
khususnya
yang
kurang
potensial
dalam
SDA
dan
SDM.
Dengan
demikian,
bagi
daerah
tersebut
DAU
merupakan
salah
satu
sumber
penerimaan
yang
relatif
lebih
besar
dari
sejumlah
sumber-‐sumber
penerimaan
dalam
struktur
keuangan
daerahnya.
Berbagai
studi
dan
angka
sampai
saat
ini
menunjukkan
bahwa
Pendapatan
Asli
Daerah
(PAD)
masih
relatif
rendah
khususnya
untuk
daerah
kabupaten,
sehingga
daerah
masih
akan
tetap
menggantungkan
pelaksanaan
otonomi
daerah
pada
Dana
Perimbangan.
Berbagai
pandangan
menyimpulkan
bahwa
Bagian
Daerah
untuk
Sumber
Daya
Alam
(SDA)
akan
memperbaiki
keseimbangan
fiskal
antara
Pusat
dan
daerah
(vertical
fiscal
imbalance),
khususnya
bagi
daerah
yang
memiliki
potensi
SDA.
Di
sisi
lain,
perbaikan
keseimbangan
ini
justru
meningkatkan
ketidakseimbangan
fiskal
antardaerah
(horizontal
fiscal
imbalance).
Oleh
karena
itu
DAU
diharapkan
mampu
menekan
ketidakseimbangan
antardaerah.
Lebih
lanjut
disebutkan,
bahwa
ketergantungan
daerah
akan
DAU
masih
relatif
tinggi,
antara
70
persen
sampai
90
persen.
Ada
perbedaan
pola
pandang
di
antara
Pemerintah
Pusat
dan
Pemerintah
Daerah
mengenai
alokasi
DAU.
Bagi
pemerintah
pusat,
alokasi
DAU
dimaksudkan
sebagai
instrumen
horizontal
imbalance
untuk
pemerataan
(equality)
atau
mengisi
fiscal
gap
di
dalam
struktur
keuangan
daerah.
Sementara
itu,
bagi
pemerintah
daerah
alokasi
DAU
dimaksudkan
untuk
mendukung
kecukupun
daerah
(sufficiency).
Namun
demikian,
sampai
saat
ini
penghitungan
terhadap
kebutuhan
daerah
(fiscal
needs)
belum
dapat
dilakukan
dengan
memuaskan.
Hal
ini
disebabkan
keterbatasan
data
dan
belum
adanya
Standar
Pelayanan
Minimum
(SPM)
untuk
berbagai
kebutuhan
dan
pelayanan
dasar
serta
sistem
penganggaran
masih
belum
didasarkan
pada
Standar
Analisa
Belanja
(SAB)
atau
Standard
Spending
Assesment
(SSA).
Dengan
demikian,
total
pengeluaran
yang
ada
di
daerah
sekarang
belum
sepenuhnya
mencerminkan
kebutuhan
fiskal
yang
ada.
Sehingga,
alokasi
DAU
yang
bertujuan
untuk
menutup
pengeluaran
daerah
belum
tentu
mengarah
pada
penggunaan
dana
yang
efisien.
F O R M U L A
DAU
DAU
yang
dimulai
pada
tahun
anggaran
2001
adalah
pengalaman
pertama
Indonesia
mengalokasikan
dana
dengan
formula
yang
menggunakan
pendekatan
mengurangi
celah
fiskal
(fiscal
gap).
Namun
formula
pertama
ini
belum
dapat
mengestimasi
kapasitas
fiskal
dengan
baik
karena
tidak
tersedianya
perkiraan
dana
bagi
hasil
yang
juga
mulai
ditransfer
ke
daerah
pada
tahun
2001.
Penerapan
formula
secara
murni
ini
jadi
menyakitkan
bagi
banyak
daerah
yang
mengalami
penurunan
dana
transfer
secara
drastis.
Oleh
karena
itu
formula
murni
dimodifikasi
dengan
penambahan
variabel
transisi,
yakni
Dana
Rutin
Daerah
(DRD)
dan
Dana
Pembangunan
Daerah
(DPD)
pada
tahun
2000.
Dengan
menggunakan
DPR
dan
DPD,
maka
tidak
terjadi
fluktuasi
tinggi
dari
transfer
yang
diterima
oleh
daerah.
Secara
umum
dapat
dikatakan
bahwa
80%
alokasi
DAU
2001
ditentukan
oleh
DRD
dan
DPD
yang
diterima
daerah
tahun
2000
dan
hanya
20%
alokasi
ditentukan
oleh
formula
celah
fiskal.
Formula
DAU
diperbaiki
pada
tahun
2002
karena
dianggap
terdapat
banyak
kelemahan
dalam
formula
tahun
2001.Perbaikan
dilakukan
terutama
terhadap
formula
kapasitas
fiskal.
Namun
formula
DAU
2002
tetap
memasukkan
variabel
transisi
yaitu
gaji
PNS
daerah
dan
sejumlah
lump
sum
yang
secara
keseluruhan
disebut
Alokasi
Minimum.
Secara
umum
terjadi
perbaikan
pada
formula
DAU
2002
dengan
meningkatnya
peranan
celah
fiskal
yang
diperhitungan,
dari
20%
menjadi
40%.
Namun
implementasinya
ternyata
tidak
mudah
secara
politis.
Formula
tersebut
ternyata
mengakibatkan
sejumlah
daerah
yang
memiliki
kapasitas
fiskal
tinggi
mengalami
penurunan
DAU
dan
bahkan
ada
yang
tidak
mendapat
DAU
sama
sekali.
Simulasi
formula
ini
kemudian
memunculkan
perlawanan
politik
dari
beberapa
daerah
provinsi
dan
kabupaten/kota,
khususnya
yang
kaya
sumber
daya
alam
(SDA).
Tuntutan
daerah
kaya
SDA
tersebut
kemudian
diakomodasi
dalam
sebuah
kesepakatan
politik
antara
Pemerintah
dan
DPR
yang
mengharuskan
alokasi
DAU
tahun
2002
tidak
boleh
lebih
kecil
dari
tahun
2001.
Kesepakatan
ini
disebut
kebijakan
holdharmless.
Untuk
tahun
2003,
2004
dan
2005,
formula
DAU
hampir
tidak
mengalami
perubahan
yang
mendasar.
Yang
terlihat
diperbaiki
dari
tahun
ke
tahun
adalah
peranan
kesenjangan
fiskal
dalam
formula
DAU
ditingkatkan
sejalan
dengan
penurunan
peran
variable
transisi.
Peningkatan
peranan
celah
fiskal
secara
berkelanjutan
dalam
formula
adalah
sebuah
strategi
untuk
menuju
penerapan
formula
murni.
Namun
yang
sangat
disayangkan
adalah
kesepakatan
politik
tahun
2001
tentang
holdharmless
tetap
dilanjutkan.
Kesepakatan
yang
tidak
memboleh-‐
kan
satu
daerah
pun
mengalami
penurunan
DAU
mengakibatkan
strategi
untuk
menerapkan
formula
murni
tidak
berjalan.
Salah
satu
indikasinya
adalah
adanya
jumlah
dana
penyeimbang
yang
harus
disediakan
sebagai
kompensasi
untuk
daerah
yang
mengalami
penurunan
DAU
dengan
jumlah
yang
terus
meningkat
dari
tahun
ke
tahun.
Formula
DAU
kemudian
diubah
oleh
UU
33/2004
dengan
adanya
variabel
Alokasi
Dasar
(AD)
yang
dihitung
berdasarkan
kebutuhan
belanja
pegawai
daerah.
Berbeda
dengan
formula
yang
diatur
oleh
UU
25/1999,
variabel
penghitung
kebutuhan
fiskal
ditambah
dengan
memasukkan
PDRB
(Produk
Domestik
Rregional
Bruto)
sebagai
penghitung
kebutuhan.
Secara
umum
dapat
dikatakan
bahwa
formula
DAU
tidak
menjadi
lebih
baik
dari
formula
DAU
yang
diatur
oleh
UU
25/1999.
K E C U K U P A N
DAU
DAU
yang
berperan
sebagai
instrumen
untuk
mengatasi
ketimpangan
horizontal
(horizontal
imbalance)
antardaerah
telah
mengalami
peningkatan
yang
cukup
signifikan
dari
tahun
ke
tahun.
Hal
ini
tercermin
dari
meningkatnya
rasio
alokasi
DAU
terhadap
pendapatan
dalam
negeri
(PDN)
neto,
dari
25
persen
dalam
periode
tahun
2001
hingga
tahun
2003,
menjadi
25,5
persen
dalam
tahun
2004-‐2005,
dan
kemudian
menjadi
26,0
persen
pada
tahun
2006-‐2010.
Sejalan
dengan
peningkatan
rasio
DAU
terhadap
PDN
neto
tersebut,
maka
dalam
rentang
waktu
yang
sama,
realisasi
DAU
meningkat
dari
Rp
60,3
triliun
dalam
tahun
2001
menjadi
Rp
192,5
triliun
dalam
tahun
2010,
atau
naik
rata-‐rata
sebesar
13,7
persen
per
tahun.
Pertumbuhan
DAU
yang
rata-‐rata
13,7
persen
per
tahun
dalam
periode
2001-‐2010
jauh
melebihi
tingkat
inflasi
tahunan
rata-‐rata
dalam
periode
tersebut
yang
diperkirakan
hanya
sekitar
9%.
Artinya
jumlah
DAU
tumbuh
secara
ril
sekitar
4,7%.
Meskipun
secara
ril
jumlah
DAU
keseluruhan
daerah
tumbuh,
namun
mengingat
dalam
periode
tersebut
terjadi
pemekaran
daerah
secara
besar-‐besaran,
maka
pertumbuhan
ril
tersebut
terasa
tidak
mencukupi
bagi
sebagian
besar
daerah
yang
tergantung
pada
DAU.
Jumlah
daerah
Kabupaten/Kota,
misalnya,
bertambah
dari
336
di
tahun
2001
menjadi
491
di
tahun
2010,
atau
tumbuh
rata-‐rata
sekitar
4,3%
per
tahun.
Artinya
pertumbuhan
riil
DAU
ternyata
sebagian
besar
terserap
untuk
mengakomodasi
pertumbuhan
daerah
baru.
P E R A N A N
DAU
D A L A M
M E N U R U N K A N
K E T IM P A N G A N
F IS K A L
A N T A R D A E R A H
Salah
satu
isu
yang
penting
dalam
periode
desentralisasi
adalah
semakin
tingginya
ketimpangan
fiskal
antardaerah.
Beberapa
metode
dapat
digunakan
untuk
mengukur
ketimpangan
fiskal
antara
daerah
tersebut,
antara
lain
(1)
koefisien
variasi
(KV),
(2)
Indeks
Williamson
(IW),
dan
(3)
rasio
pendapatan
perkapita
maksimum
terhadap
pendapatan
perkapita
minimum
(RMM).
Hasil
perhitungan
memperlihatkan
beberapa
hal:
1. Angka
koefisien
variasi
memperlihatkan
bahwa
ketimpangan
fiskal
antar-‐
daerah
kabupaten/kota
dalam
periode
2001-‐2010
tidak
mengalami
perbaikan
dan
juga
tidak
mengalami
pemburukan.
Namun
tingkat
ketimpangan
dalam
periode
ini
masih
lebih
tinggi
dibanding
tingkat
ketimpangan
tahun
1999/2000.
Jika
pada
tahun
2001
KV
terhitung
sebesar
1,16
(yang
berarti
besarnya
standar
deviasi
adalah
1,16
kali
dari
rata-‐rata),
maka
pada
tahun
2010
KV
tetap
terhitung
1,16.
2. Rasio
pendapatan
per
kapita
maksimum
dengan
minimum
(RMM)
memperlihatkan
bahwa
dalam
periode
2001-‐2010
terjadi
peningkatan
ketimpangan.
Jika
pada
tahun
2001
RMM
adalah
60:1
(pendapatan
perkapita
daerah
terkaya
adalah
60
kali
pendapatan
perkapita
daerah
termiskin),
maka
pada
tahun
2010
RMM
meningkat
menjadi
75:1.
3. Angka
Indeks
Williamson
(IW)
ternyata
tidak
memperlihatkan
peningkatan
ketimpangan
fiskal
antardaerah.
Pengamatan
pada
tahun
2001,
2008
dan
2010,
angka
IW
tetap
berada
pada
posisi
0,7.
Artinya,
diukur
dengan
IW,
ketimpangan
fiskal
antardaerah
tidak
mengalami
pemburukan,
namun
juga
tidak
membaik.
Sumber: Diolah dari data di Kemenkeu RI dan Handra (2005),
Dari
ketiga
indikator
ketimpangan
fiskal
di
atas,
indikator
RMM
menunjukkan
bahwa
terjadi
peningkatan
ketimpangan
fiskal
antara
daerah,
namun
indikator
KV
dan
IW
tidak
menyimpulkan
hal
yang
sama.
Dalam
periode
2001-‐2010,
ketimpangan
antardaerah
berada
pada
posisi
yang
tetap.
Tidak
adanya
perbaikan
dalam
tingkat
ketimpangan
fiskal
antara
daerah
dalam
periode
2001-‐2010
tidaklah
berarti
bahwa
DAU
tidak
punya
peran.Peranan
DAU
dalam
menurunkan
ketimpangan
fiskal
antardaerah
sesungguhnya
dapat
dilihat
dari
kemampuannya
menurunkan
ketimpangan
fiskal
yang
terjadi
atau
ditimbulkan
oleh
pendapatan
daerah
lainnya
terutama
PAD
dan
DBH.
K E L E M A H A N
F O R M U L A
DAU
K IN I
Meskipun
secara
kuantitatif
DAU
mampu
berperan
dalam
menurunkan
ketim-‐
pangan
fiskal,
namun
berbagai
kelemahan
dalam
formulasi
DAU
dapat
diidentifikasi
sebagai
berikut:
a. Formula
yang
mengestimasi
kebutuhan
fiskal
daerah
masih
sangat
lemah.
Saat
ini
terdapat
lima
variabel
yang
digunakan
untuk
mengestimasi
kebutuhan
fiskal,
yaitu
jumlah
penduduk,
luas
wilayah,
indeks
pembangunan
manusia
(IPM),
indeks
kemahalan
konstruksi
(IKK)
dan
PDRB
per
kapita.
Jumlah
penduduk
dan
luas
wilayah
jelas
dapat
dijadikan
variable
karena
terkait
dengan
kebutuhan
dana
untuk
menyediakan
pelayanan
dasar
yang
sangat
ditentukan
oleh
kedua
variable.
Kebutuhan
dana
dalam
rangka
peningkatan
kualitas
manusia
ditentukan
oleh
indeks
pembangunan
manusia
(IPM),
sedangkan
variasi
kebutuhan
dana
untuk
membangun
infrastruktur
akan
ditentukan
oleh
indeks
kemahalan
konstruksi
(IKK).
Namun
variabel
PDRB
per
kapita
tidak
memiliki
alasan
yang
rasional
untuk
ditempatkan
sebagai
variabel
yang
mengestimasi
kebutuhan
fiskal.
c. Adanya
Alokasi
Dasar
(AD)
dalam
formula
DAU
saat
ini
yang
dihitung
dari
kebutuhan
belanja
pegawai
daerah
tentunya
akan
menjadi
insentif
bagi
daerah
untuk
mengusulkan
pengangkatan
pegawai
sebanyak-‐banyaknya.
Dapat
juga
dikatakan
bahwa
dengan
adanya
AD,
paling
tidak
daerah
tidak
punya
insentif
untuk
mengurangi
jumlah
pegawai
ke
tingkat
yang
rasional.
Penambahan
jumlah
pegawai
negeri
sipil
daerah
(PNSD)
yang
tidak
rasional
dan
melebihi
pertumbuhan
DAU,
menyebabkan
sebagian
besar
DAU
akan
terserap
untuk
keperluan
belanja
pegawai
tersebut.
Tidak
bisa
dihindari
bahwa
adanya
AD
dalam
formula
DAU
menimbulkan
kesan
bahwa
DAU
memang
diperuntukkan
untuk
membayar
gaji.
Kondisi
jumlah
pegawai
yang
lebih
banyak
dari
seharusnya
yang
terjadi
saat
ini
diberbagai
daerah,
berdampak
pada
biaya
gaji
yang
harus
ditanggung
oleh
Pemerintah
Daerah,
khususnya
bagi
daerah
yang
tidak
memiliki
banyak
sumber
penerimaan
daerah.
‘Melimpahnya’
jumlah
pegawai
merupakan
masalah
utama
dalam
pelaksanaan
otonomi
daerah,
dimana
daerah
akan
menanggung
ketidakefisienan
pegawai
tersebut.
Untuk
meningkatkan
efisiensi
pegawai
dapat
dilakukan
dengan
berbagai
cara.
Pemerintah
daerah
bisa
mengurangi
jumlah
pegawai
dari
posisi
saat
ini
menjadi
posisi
yang
lebih
efisien.
Tetapi,
kebijakan
mengurangi
jumlah
pegawai
dalam
jangka
pendek
merupakan
langkah
yang
tidak
populer
dewasa
ini,
dimana
tingkat
pengangguran
dianggap
masih
tinggi.
Pencapaian
efisiensi
dengan
pengurangan
jumlah
pegawai
bisa
dilakukan
tetapi
dalam
perspektif
jangka
menengah.Untuk
itu,
dibutuhkan
waktu
dalam
melakukan
transformasi
tersebut
–
sehingga
untuk
sementara,
alokasi
DAU
harus
memperhatikan
ketidakefisienan
ini.
Dalam
jangka
panjang,
desain
alokasi
DAU
harus
didasarkan
pada
pencapaian
outcome
yang
diharapkan.
Kebijakan
perubahan
Gaji
Pokok
yang
tertuang
dalam
PP
juga
akan
membawa
dampak
pada
peningkatan
biaya
gaji
pegawai.
Khususnya,
bagi
beberapa
daerah
yang
mengalami
kesulitan
anggaran
dengan
menyatakan
DAU
tidak
cukup
untuk
menutup
biaya
gaji
pegawai
daerah.
Terlebih
lagi,
keputusan
kenaikan
gaji
tersebut
bersifat
progresif,
artinya
golongan
yang
lebih
tinggi
mengalami
kenaikan
gaji
yang
cukup
besar
sedangkan
golongan
rendah
mendapat
kenaikan
yang
relatif
lebih
kecil.
Dengan
demikian,
kombinasi
berbagai
peraturan
yang
terkait
dengan
gaji
PNSD
membawa
implikasi
kenaikan
gaji
pegawai
yang
harus
ditanggung
oleh
setiap
daerah,
yang
sesungguhnya
kebijakan
tersebut
merupakan
kebijakan
nasional.
d. Formula
kapasitas
fiskal
yang
saat
ini
digunakan
mengesankan
bahwa
DAU
yang
diterima
daerah
akan
berkurang
jika
PAD
meningkat.
Dalam
formula
DAU
2010,
PAD
yang
digunakan
oleh
Kementerian
Keuangan
untuk
menghitung
kapasitas
fiskal
daerah
adalah
PAD
realisasi
tahun
2008
dengan
alasan
data
realisasi
yang
baru
tersedia
adalah
untuk
tahun
2008.
Data
realisasi
PAD
2009
belum
dapat
digunakan
karena
laporan
realisasi
APBD
sebagian
besar
daerah
masih
dalam
proses
diaudit
oleh
BPK.
Dengan
menggunakan
data
realisasi
PAD
dua
tahun
sebelumnya
dalam
formula
DAU
berarti
bahwa
jika
sebuah
daerah
berhasil
menaikkan
PAD
pada
tahun
2010
ini,
baru
akan
“dihukum”
dengan
mengurangi
DAU
nya
pada
tahun
2012
yang
akan
datang.
e. Tolak
ukur
output
DAU
sifatnya
jangka
pendek
dan
merupakan
tolok
ukur
praktikal.
Tolok
ukur
praktikal
adalah
tolok
ukur
keberhasilan
DAU
yang
digunakan
selama
masa
transisi.
Dengan
demikian,
alternatif
yang
dapat
dijadikan
sebagai
indikator
keadilan
adalah
variasi
penerimaan
antardaerah
dan
variasi
kualitas
dan/atau
kuantitas
pelayanan
yang
diberikan
kepada
masyarakat.
Alternatif
lain
yang
mungkin
adalah
belanja
pegawai
sebagai
ukuran
untuk
kebutuhan
fiskal
di
daerah.
Outcome
DAU
adalah
adalah
jangka
menengah
dan
panjang
dan
merupakan
tolok
ukur
normatif.
Tolok
ukur
normatif
merupakan
variabel-‐variabel
keberhasilan
DAU
sesuai
dengan
UU
No.
33/2004.
Alternatif
indikator
keadilannya
adalah
variasi
kesejahteraan
penduduk
antardaerah,
yaitu
pendapatan
perkapita,
di
mana
semakin
kecil
variasinya
akan
semakin
baik.
Tolok
ukur
normatif
tersebut
menjadi
tolok
ukur
keberhasilan
DAU.
Dari
aspek
daerah,
efisiensi
diartikan
bahwa
DAU
yang
didistribusikan
untuk
menutupi
kesenjangan
fiskal,
telah
memperhitungkan
fiscal
needs
secara
objektif.
Dengan
demikian,
besarnya
DAU
yang
didistribusikan
tersebut
benar-‐
benar
telah
memperhitungkan
kebutuhan
fiskal
daerah
setempat.
DAU
akan
efisien
apabila
DAU
yang
diterima
oleh
daerah
dapat
meningkatkan
penerimaan
daerah,
dan
dapat
digunakan
untuk
meningkatkan
pelayanan
kepada
masyarakat,
baik
secara
kualitas
maupun
kuantitasnya,
sebagai
imbal
balik
kepada
masyarakat.
U S U L A N
P E R U B A H A N
DAU
D A N
F O R M U L A N Y A
Mengenai
jumlah
DAU,
disarankan
agar
jumlahnya
tetap
minimum
26%
dari
Pendapatan
Dalam
Negeri
Neto
(PDN)
yang
ditetapkan
dalam
APBN.
Kalaupun
terjadi
penguatan
kemampuan
keuangan
negara,
disarankan
penambahan
transfer
ke
daerah
tidak
diarahkan
untuk
peningkatan
DAU.
Namun
disarankan
definisi
PDN
Netto
harus
dikembalikan
kepada
definisi
sebagaimana
dijelaskan
oleh
UU
33/2004,yaituPendapatan
Dalam
Negeri
dikurangi
dengan
Bagi
Hasil
Pajak
dan
Bagi
Hasil
SDA.Meskipun
demikian,
Pemerintah
Pusat
dalam
situasi
memaksa,
misalnya
krisis
fiskal
seperti
yang
terjadi
pada
tahun
1997/1998
atau
tahun
2008/2009,
dapat
mengurangi
porsi
DAU
terhadap
PDN
menjadi
lebih
kecil
dari
26%
dengan
tetap
mempertimbangkan
kecukupan
pendanaan
untuk
pelayanan
masyarakat
yang
dasar
di
daerah.
Terkait
Alokasi
Dasar
(Belanja
PNSD)
perlu
dikeluarkan
secara
bertahap.
Formula
DAU
disarankan
hanya
atas
dasar
celah
fiskal.
Dengan
kata
lain,
Alokasi
Dasar
yang
dihitung
dari
kebutuhan
belanja
PNS
daerah
perlu
dihilangkan
dari
formula.
Celah
fiskal
adalah
kebutuhan
fiskal
dikurangi
dengan
kapasitas
fiskal
daerah.Namun
jika
alokasi
dasar
dihapus
dari
formula
DAU,
diperlukan
periode
transisi
supaya
daerah
dapat
melakukan
penyesuaian
(misalnya
secara
bertahap
merasionalkan
jumlah
pegawai
dan
struktur
organisasinya).
Jika
jumlah
pegawai
tetap
digunakan,
maka
perlu
dimodifikasi
untuk
mencerminkan
belanja
pegawai
yang
rasional.Kebutuhan
untuk
belanja
pegawai
yang
rasional
dapat
dimasukkan
sebagai
bagian
dari
perhitungan
kebutuhan
fiskal.
Jumlah
pegawai
yang
rasional
dapat
diprediksi
dengan
rasio
pegawai
terhadap
penduduk
yang
tertimbang
menurut
karakteristik
wilayah,
misalnya
berdasarkan
rasio
penduduk
per
PNS
menurut
kelompok
klaster
kewilayahan
dengan
memperhatikan
belanja
per
pegawai
dan
dalam
rangka
mendorong
rasio
belanja
pegawai
terhadap
APBD
total
ke
tingkat
tertentu.
-‐ IPM
perlu
dikali
dengan
jumlah
penduduk
sebelum
dijadikan
salah
satu
indeks
penentu
kebutuhan
fiskal.
3) Dalam
jangka
panjang
10
tahun
setelah
revisi
UU
33
berlaku,
Kebutuhan
Fiskal
disarankan
dihitung
berdasarkan
analisis
standar
belanja
(standard
spending
assessment)
untuk
mewujudkan
Standar
Pelayanan
Minimum
(SPM),
sehingga
lebih
akurat
dalam
memprediksi
kebutuhan
fiskal
daerah.
Namun
hal
ini
memerlukan
persiapan
yang
baik
terutama
menyiapkan
data
yang
diperlukan.
Terkait
formula
Kapasitas
Fiskal,
tetap
diukur
dengan
memperhitungkan
PAD,
Bagi
Hasil
Pajak
dan
Bagi
Hasil
SDA.
Untuk
Bagi
Hasil
Pajak
dan
Bagi
Hasil
SDA,
dapat
digunakan
data
realisasi
terakhir,
mengingat
variabel
ini
berada
diluar
kendali
Pemerintah
Daerah
dan
semata
ditentukan
oleh
formula
bagihasilnya.
Namun
untuk
PAD,
perlu
diformulasikan
agar
tidak
“menghukum”
yang
PAD-‐nya
naik,
sehingga
ada
insentif
bagi
daerah
untuk
terus
meningkatkan
PAD
secara
rasional.
Untuk
Kabupaten/Kota,
dana
bagi
hasil
mestinya
juga
termasuk
dana
bagi
hasil
provinsi.
Perlakuan
berbeda
terhadap
PAD
untuk
karakteristik
(demografi)
yang
berbeda.
Proporsi
DAU
antara
daerah
provinsi
dan
kabupaten/kota
tetap
dapat
dilanjutkan
seperti
saat
ini
yaitu
10:90
dengan
asumsi
perimbangan
pembagian
fungsi
antara
provinsi
dan
kabupaten/kota
tetap
seperti
sediakala.
Namun
mengingat
provinsi
memiliki
kapasitas
fiskal
yang
cukup
baik
dari
PAD
perlu
didorong
agar
provinsi
ke
depan
juga
perlu
menyediakan
dana
transfer
(grant)
ke
kabupaten/kota.
Formula
DAU
untuk
provinsi
disarankan
harus
berbeda
dengan
formula
untuk
kabupaten/kota
karena
karakteristiknya
berbeda,
bahkan
jika
memungkinkan
dengan
klaster
wilayah.
Selain
itu
perlu
dipertimbangkan
pilihan
memberikan
kewenangan
kepada
Provinsi
untuk
mendistribusikan
DAU
sejumlah
tertentu
dalam
rangka
pemerataan
fiskal
antardaerah
kabupaten/kota
dalam
provinsi.
Hal
ini
dapat
dilakukan
misalnya
mengubah
porsi
DAU
untuk
provinsi
dan
kabupaten/kota
menjadi
20:80.
Dari
porsi
DAU
untuk
tiap
provinsi
(yang
totalnya
sebesar
20%
tersebut),
minimum
setengah
DAU
yang
diterimanya
harus
dialokasikan
oleh
provinsi
ke
kabupaten/kota
untuk
pemerataan
kemampuan
fiskal
kabupaten/kota
dalam
provinsi
tersebut.
Pemikiran
ini
tentu
bisa
disesuaikan
lagi
dengan
klaster,
menggunakan
WO
sebagaimana
dijelaskan
di
bab-‐bab
sebelumnya.
Namun
sementara
ini,
yang
dijadikan
patokan
adalah
bahwa
klaster
nantinya
akan
lebih
mengarah
kepada
penyesuaian
dalam
DAK
daripada
DAU.
BAB
6
DANA
ALOKASI
KHUSUS
P E N G A N T A R
Sebelum
membahas
desain
DAK
dalam
mengantisipasi
feneomena
demografi
yang
telah
dijelaskan
sebelumnya,
perlu
dijelaskan
dulu
Konsep
DAK,
penerapan
dan
permasalahannya
saat
ini,
serta
alternatif
desain
DAK
kedepan.
Konsep
DAK
secara
normatif
adalah
jenis
transfer
yang
bersifat
spesifik
yang
dialokasikan
untuk
mencapai
tujuan
tertentu
dari
pemberi
dana
transfer
(dalam
hal
ini
pemerintah
pusat).
Berdasarkan
konsep
teoritis,
alokasi
DAK
dapat
bertujuan
untuk
salah
satu
atau
gabungan
dari
tujuan
berikut
ini:
1)
mencapai
prioritas
nasional
yang
dapat
dicapai
secara
bertahap
dalam
jangka
menengah
tertentu,
2)
kebijakan
yang
bersifat
ad-‐hoc
yang
lebih
ditentukan
oleh
perkembangan
permasalahan
tertentu,
untuk
mengatasi
permasalahan
eksternalitas
antardaerah
yang
sering
dikenal
sebagai
inter-‐jurisdictional
spillover.
DAK
dapat
bersifat
matching
(memerlukan
dana
pendamping
dari
daerah
penerima)
ataupun
non-‐matching.
Skema
dana
pendamping
umumnya
dipakai
sebagai
instrumen
untuk
menjaga
komitmen
pemerintah
daerah
penerima
DAK.
Tetapi
dana
pendamping
juga
dikritik
sebagai
bias
terhadap
daerah
yang
mampu.
Untuk
tujuan
distributif,
dapat
dipertimbangkan
DAK
yang
bersifat
non-‐matching
(tidak
perlu
dana
pendamping).
Untuk
mendukung
implementasi
DAK
yang
bersifat
non-‐matching
ini,
maka
dana
transfer
DAK
dapat
digolongkan
sebagai
hibah
dengan
sumber
dana
berasal
dari
pemerintah
pusat
atau
negara
lain.
Khusus
untuk
hibah
yang
bersumber
dari
luar
negeri,
adalah
diskresi
pemerintah
pusat
untuk
bernegosiasi
dengan
pemberi
hibah
mengenai
detil
penyaluran
hibah.
Sedangkan
untuk
DAK
yang
berasal
dari
APBN
murni
perlu
dibuat
sebuah
pengaturan.
DAK
bukan
merupakan
sumber
penerimaan
rutin
bagi
daerah,
sehingga
tidak
mengandung
atribut
hold-‐harmless
atau
hak
suatu
daerah
untuk
mendapat
DAK
terus
menerus.
DAK
bersifat
dinamis;
daerah
penerima
dan
besaran
yang
diterima
dipengaruhi
oleh
faktor
kriteria,
kebutuhan
dan
evaluasi,
dengan
pengaturan
alokasi
yang
telah
berdasarkan
sebuah
mekanisme
perencanaan
anggaran
yang
bersifat
jangka
menengah.
K E B IJA K A N
DAK
P R IO R IT A S
Dana
Alokasi
Khusus
(DAK)
untuk
konteks
Indonesia
merupakan
bagian
dari
dana
perimbangan.
Dalam
konteks
Dana
Perimbangan,
faktor
distribusi
antardaerah
menjadi
pertimbangan
utama.
Konteks
tujuan
distribusi
ini
tetap
merupakan
warna
utama
dari
Desentralisasi
Indonesia
yang
dimulai
sejak
tahun
2001,
dan
sepertinya
tetap
akan
menjadi
prioritas
setidaknya
dalam
5-‐10
tahun
kedepan.
Namun
demikian,
dari
analisis
dan
kajian
terkait
DAK,
seperti
studi
dari
TADF
(2010)
menunjukkan
bahwa
DAK
di
Indonesia
selama
ini
cenderung
tidak
bersifat
distributif.
A
B
High
SPM
High
SPM
Poor
Regions
Rich
Regions
(Probably
Efficient
Regions)
C
D
Low
SPM
Low
SPM
Poor
Regions
Rich
Regions
(Lagging
Regions)
(Probably
Inefficient
Regions)
Berdasarkan
katagorisasi
tersebut,
DAK
yang
ditujukan
untuk
tujuan
SPM
dan
aktivitas
ekonomi,
diprioritaskan
untuk
daerah
miskin
yang
pelayanan
publiknya
masih
buruk
(lagging
regions
atau
daerah
tertinggal).
Di
sini
perlu
diidentifikasi
indikator
daerah
tertinggal
(lagging
indicators)
yang
bisa
jadi
berbeda
dengan
indikator
yang
dipakai
oleh
Kementerian
PDT
untuk
mengelompokkan
daerah
tertinggal.
Alokasi
DAK
untuk
tujuan
ini
harus
memenuhi
syarat
untuk
pencapaian
tujuan
prioritas
nasional
tertentu,
dalam
hal
ini
dapat
berupa
pencapaian
SPM,
misalnya
dibidang
infrastruktur
atau
kesehatan.
Skema
DAK
reimbursement
yang
ada
saat
ini
sesuai
untuk
masuk
dalam
kelompok
DAK
ad-‐hoc.
Pemerintah
perlu
membuat
kriteria
kegiatan
yang
berhak
untuk
mendapatkan
reimbursement,
jumlah
minimum-‐maksimum
alokasi
per-‐kategori,
serta
kerangka
waktu.
Syarat
utamanya
adalah
kegiatan
yang
memerlukan
kompensasi
eksternalitas
baik
eksternalitas
negatif
(kepada
daerah
“korban”)
maupun
eksternalitas
positif
(kepada
daerah
pelaku).
DAK
ad-‐hoc
bisa
mempunyai
skema
dana
pendampingan
ataupun
tidak,
tergantung
dari
sifat
dan
kasus
yang
ada.Terkait
dengan
sumber
penerimaan
dan
desain
skema
transfer,
tidak
ada
batasan
atau
standar
tertentu
yang
perlu
dipenuhi,
kecuali
pada
umumnya
transfer
DAK
dapat
didesain
dengan
pendekatan
program
atau
diukur
dengan
pencapaian
outcome.
DAK
ad-‐hoc
yang
bersumber
dari
hibah
LN
tidak
mempunyai
batasan
jumlah
minimum-‐maksimum,
karena
tergantung
dari
tawaran
yang
ada
dan
kesepakatan
antar
pemerintah.
Tetapi
untuk
dana
yang
bersumber
dari
APBN
murni,
perlu
ditentukan
porsi
antara
DAK
Prioritas
dan
DAK
ad-‐hoc.
Hal
ini
penting
karena
sifat
ad-‐hoc
membuka
kesempatan
faktor
politis
untuk
ikut
menentukan
alokasi.
Untuk
itu
diusulkan
bahwa
pemerintah
atau
komisi
transfer
menentukan
persentase
porsi
ad-‐hoc
dan
prioritas
di
awal
Medium
Term
Expenditure
Framework
(MTEF)
atau
tahun
anggaran,
jika
MTEF
belum
bisa
diterapkan.
Penentuan
porsi
ini
harus
didasari
oleh
kriteria
dan
tujuan-‐tujuan
yang
ada
dalam
dokumen
kenegaraan.
S U M B E R
P E N D A N A A N
DAK
D A N
T IP O L O G I
DAK
DAK
DAK Ad-hoc
(Berbasis Program): Untuk semua daerah yang
- By design memenuhi syarat program
- Reimbursement
Keterangan:
Hibah
LN
dapat
berupa
penerusan
ke
daerah
atau
jika
pihak
donor
setuju
dapat
masuk
dalam
skema
DAK
umum
atau
hanya
DAK
ad-‐hoc.
D E S A IN
DAK
D A N
P E N C A P A IA N
SPM
Dari
perkembangan
DAK
untuk
setiap
sektor,
DAK
untuk
sektor
pendidikan,
kesehatan
dan
infrastruktur
mencakup
lebih
dari
70%
total
alokasi
DAK
(TADF
2009).
Sesuai
juga
dengan
dokumen
GDFD,
apabila
DAK
ditujukan
untuk
insentif
pencapaian
SPM,
maka
dapat
diprioritaskan
untuk
ketiga
sektor
ini.
Insentif
yang
dikaitkan
dengan
pencapaian
SPM
perlu
dikembangkan
selaras
dengan
konteks
roadmap
tahapan
pencapaian
SPM
di
tiga
sektor
utama
ini.Insentif
pencapaian
SPM
dapat
pula
dikaitkan
dengan
pencapaian
program
pengentasan
kemiskinan.
Tabel 5.2. Desain DAK serta Peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
P E R M A S A L A H A N
A D M IN IS T R A S I
DAK
D A N
A L T E R N A T IF
S O L U S IN Y A
Meskipun
anggaran
terbatas,
saat
ini
jenis
DAK
makin
banyak,
sehingga
hasil
kurang
optimal
untuk
beberapa
jenis
DAK:
saat
ini
terdapat
19
jenis
DAK
berdasarkan
prioritas
nasional
yang
telah
ditetapkan
dalam
Perencanaan
Pembangunan
Nasional.
Besarnya
dana
untuk
setiap
jenis
alokasi
DAK
berbeda-‐beda,
namun
secara
umum,
total
jumlah
DAK
masih
tetap
terbatas
dalam
APBN.
Sebagai
akibatnya
alokasi
DAK
menjadi
tidak
efektif
untuk
setiap
jenis
DAK
tersebut.
Oleh
karena
itu,
proposal
untuk
membatasi
jenis
DAK
menjadi
pembiayaan
terhadap
3
sektor
utama
yaitu
infrastruktur,
pendidikan
dan
kesehatan,
menjadi
relevan.
Fokus
pembiayaan
DAK
ini
dapat
berubah
untuk
setiap
lima
tahun.
Kegiatan
DAK
lebih
diutamakan
untuk
kegiatan
fisik
saja
padahal
banyak
sekali
kebutuhan
yang
bersifat
non-‐fisik
yang
lebih
dibutuhkan
oleh
daerah,
misalnya
kebutuhan
akan
peningkatan
kemampuan
tenaga
guru
dengan
memberikan
kesempatan
pencapaian
gelar
sarjana
sesuai
ketentuan
minimum
yang
berlaku
untuk
profesi
guru.
Oleh
karena
itu
dapat
diusulkan
pemanfaatan
DAK
untuk
kebutuhan
yang
bersifat
non-‐fisik.
DAK
dianggarkan
secara
tahunan,
padahal
berbagai
proyek
fisik
memerlukan
waktu
penyelesaian
lebih
dari
satu
tahun
anggaran.
Oleh
karenanya
perlu
dipikirkan
bagaimana
alokasi
DAK
menggunakan
ketentuan
pendanaan
berdasarkan
perencanaan
keuangan
jangka
menengah
(Medium
Term
Expenditure
Framework).
Termin
alokasi
DAK
ke
daerah
sebaiknya
dijadikan
hanya
2
(dua)
termin,
dari
3
(tiga)
termin
yang
berlaku
saat
ini.
Hal
ini
dapat
bermanfaat
bagi
pemerintah
daerah
untuk
memperlancar
pelaksanaan
program/proyek
DAK
di
daerah.
D E S A IN
T R A N S F E R
D A N A
A L O K A S I
K H U S U S
(DAK)
U N T U K
D A E R A H
Y A N G
M E N U JU
D A N
S U D A H
M E N C A P A I
W IN D O W
O F
O P P O R T U N IT Y
(WO)
Dana
alokasi
khusus
dapat
diberikan
ke
daerah
agar
daerah
dapat
memanfaatkan
secara
optimal
kondisi
saat
menuju
window
of
opportunity
(WO)
atau
Dependency
Ratio
(DR)
sedang
menurun,
dan
saat
sudah
mencapai
window
of
opportunity
(WO)
atau
Dependency
Ratio
(DR)
terendah.
Untuk
itu
beberapa
kebutuhan
perlu
diidentifikasi
terkait
dengan
persiapan
daerah
dalam
kondisi
tersebut.
Setiap
daerah
memiliki
perbedaan
dalam
kebutuhannya,
dan
tergantung
juga
kepada
kemampuan
keuangannya,
yang
dihitung
dari
kapasitas
fiskal
daerah.
Identifikasi
kebutuhan
dan
desain
DAK
supaya
prioritas
anggaran
sesuai
kebutuhan,
berdasarkan
empat
klaster
yang
telah
dijelaskan
dalam
Bab
2,
dapat
dijelaskan
sebagai
berikut
:
K L A S T E R
1:
D A E R A H
Y A N G
S U D A H
M E N C A P A I
W I N D O W
O F
O P P O R T U N I T Y
D A N
M E M I L I K I
K A P A S I T A S
F I S K A L
T I N G G I
Daerah-‐daerah
pada
klaster
ini
adalah
daerah
memiliki
dua
kondisi
yang
menguntungkan,
yaitu
sudah
mencapai
window
of
opportunity
(WO)dan
memiliki
kapasitas
fiskal
tinggi.
Daerah
yang
termasuk
di
dalam
Klaster
1
Provinsi
DKI
Jakarta
(yang
mencapai
WO
pada
tahun
2010),
Kepulauan
Riau
(2015),
Maluku
Utara
(2015),
dan
Provinsi
Papua
Barat
(yang
mencapai
WO
pada
tahun
2012).
Provinsi
DKI
Jakarta
dan
Provinsi
Papua
Barat
adalah
dua
provinsi
yang
memiliki
kondisi
sosio-‐ekonomi
yang
paling
berbeda.
DKI
memiliki
IPM
yang
tinggi,
PAD
tertinggi
di
Indonesia,
dan
fasilitas
publik
terlengkap.
Dikaitkan
dengan
urbanisasi,
Jakarta
dan
Papua
memiliki
problem
yang
sangat
berbeda.
Yang
diperlukan
oleh
DKI
adalah
manajemen
kota
metropolitan
yang
terintegrasi
dengan
daerah
peri-‐perinya.
Sebagian
dari
kebutuhan
ini
akan
dapat
dipenuhi
melalui
kemampuan
fiskal
daerah
yang
tinggi,
namun
sebagian
besar
memerlukan
intervensi
fiskal
dari
pemerintah
pusat,
di
antaranya
adalah
Dana
Alokasi
Khusus
(DAK)
yang
dibahas
dalam
bagian
ini.
Untuk
kedua
daerah,
tujuan
atau
jenis
DAK
yang
diberikan
akan
sangat
berbeda.
DKI
memerlukan
DAK
untuk
mendukung
kebutuhan
pembangunan
infrastrukturnya
yang
sangat
tinggi.
Karena
infrastruktur
memerlukan
investasi
yang
besar,
maka
DAK
tidak
cocok
sebagai
sumber
utama
pendanaan.
Pembangunan
sistem
transportasi
masal
untuk
daerah
metropolitan
seperti
DKI
memerlukan
keputusan
pada
tingkat
nasional.
Dalam
hal
ini
DAK
dapat
menjadi
salah
satu
komplemen
sumber
dana
misalnya
membiayai
sub-‐sistem
transportasi
masal
atau
untuk
kerjasama
dengan
daerah
peri-‐peri
(menginternalisasi
eksternalitas).
Pertama,
kebutuhan
yang
terkait
dengan
ketersediaan
tenaga
kerja
dengan
kualitas
yang
memadai.
Untuk
mencapai
hal
ini,
maka
kebutuhan
terkait
dengan
ketenaga-‐
kerjaan
yang
dapat
diidentifikasikan
adalah
sebagai
berikut
:
1. Pengendalian
tingkat
kelahiran
agar
selalu
pada
posisi
tingkat
yang
rendah.
Hal
ini
diperlukan
karena
keluarga
sejahtera
seperti
yang
dicita-‐citakan
melalui
program
Keluarga
Berencana
(KB)
adalah
strategi
umum
yang
tetap
diperlukan.
Jumlah
keluarga
ideal
bagi
sebagian
besar
keluarga
di
Indonesia
diharapkan
dapat
dicapai
sehingga
produktivitas
tenaga
kerja
yang
memiliki
keluarga
ideal
akan
tinggi.
2. Tenaga
kerja
yang
tersedia
adalah
tenaga
kerja
yang
berkualitas.
Untuk
perbaikan
mutu
tenaga
kerja
dengan
kualitas
tertentu
yang
memenuhi
standar,
dapat
dilakukan
dengan
2
(dua)
hal
:
a. Pelatihan
kerja
(on
the
job
training
maupun
off
the
job
training),
pelayanan
kesehatan
yang
memadai,
hingga
penguasaan
dan
pengembangan
teknologi
yang
tepat
(appropriate
technology).
Hal
ini
harus
terus
dilakukan
seiring
dengan
kebutuhan
pasar
kerja
(labor
market).
Kebutuhan
keahlian
tenaga
kerja
di
DKI
tentu
berbeda
dengan
kebutuhan
keahlian
tenaga
kerja
di
Papua
Barat.
b. Program
keterampilan
dan
pengembangan
inovasi
produk
juga
harus
dilakukan
seintensif
mungkin,
sehingga
angkatan
kerja
tidak
hanya
tergantung
kepada
ketersediaan
lapangan
pekerjaan,
tetapi
juga
mampu
menciptakan
lapangan
pekerjaan
serta
mampu
mendorong
pengembangan
usaha
melalui
kegiatan
ekonomi
kreatif.
Hal
ini
cocok
dilaksanakan
di
Jakarta
yang
sektor
jasanya
sudah
cukup
maju
dan
memiliki
banyak
tenaga
kerja
produktif,
sedangkan
bidang
yang
tampaknya
potensial
untuk
Papua
Barat
yang
masih
memiliki
lahan
luas
dan
penduduk
yang
masih
sedikit
adalah
sektor
pertanian
dan
industri.
3. Menyediakan
atau
memfasilitasi
Lapangan
Kerja
dalam
jangka
pendek.
Kebutuhan
ini
diperlukan
terutama
bagi
angkatan
kerja
yang
sudah
lama
tinggal
di
Provinsi
DKI
Jakarta,
akan
tetapi
sulit
menemukan
pekerjaan.
Sebenarnya
jika
dilihat
dari
perkembangan
tingkat
pengangguran,
terjadi
kecenderungan
menurun
di
kedua
provinsi
dalam
klaster
ini.
Tingkat
pengangguran
di
Provinsi
DKI
Jakarta
menurun
dari
Tahun
2005
(15,77%)
sampai
Tahun
2010
(11,05%),
dan
di
Provinsi
Papua
Barat
juga
menurun
dari
Tahun
2006
(10,17%)
sampai
Tahun
2010
(7,68%).
Lapangan
kerja
dalam
jangka
pendek
ini
dapat
difasilitasi
untuk
disediakan
swasta
melalui
kemudahan
dalam
memperoleh
izin
usaha
atau
memberikan
insentif
fiskal
daerah.
Kedua,
kebutuhan
yang
terkait
penyediaan
lapangan
pekerjaan
dan
faktor-‐faktor
lain
yang
mendukung
pertumbuhan
ekonomi.
Beberapa
faktor
sangat
menentukan
realisasi
penyediaan
lapangan
pekerjaan
ini,
diantaranya
adalah
:
P E N Y E D I A A N
D A N A
A L O K A S I
K H U S U S
( D A K )
Berdasarkan
atas
kebutuhan
tersebut
di
atas,
maka
dapat
ditetapkan
kebijakan
dana
alokasi
khusus
(DAK)
untuk
memenuhi
kebutuhan
seperti
yang
telah
diuraikan
di
atas
bagi
daerah
Provinsi
DKI
Jakarta
dan
Provinsi
Papua.
Sebagaimana
telah
dijelaskan
sebelumnya
bahwa
klaster
I
ini
adalah
daerah
provinsi
yang
telah
memiliki
kapasitas
fiskal
yang
tinggi,
maka
kebijakan
alokasi
DAK
tersebut
memiliki
karakteristik
sebagai
berikut
:
1. Dari
segi
mekanisme
pembiayaannya,
alokasi
DAK
menggunakan
dana
pendamping
(matching)
dari
daerah,
dan
dengan
kemampuan
fiskal
yang
tinggi,
maka
daerah
dalam
klaster
ini
diberi
insentif
untuk
memberikan
porsi
dana
pendamping
yang
signifikan.
2. DAK
yang
sesuai
untuk
daerah
dengan
kapasitas
fiskal
yang
tinggi
adalah
DAK
by
design
dan
DAK
Reimbursement.
Tujuannya
adalah
membentuk
aset
infrastruktur
daerah
yang
vital,
mengakomodasi
spillover
effect,
dan
melakukan
percepatan
pertumbuhan.
Disesuaikan
dengan
kebutuhan
yang
telah
diuraikan
sebelumnya,
maka
dapat
disediakan
alokasi
DAK
dengan
kategori
sebagai
berikut
:
1. Dana
Alokasi
Khusus
yang
bersifat
fisik
maupun
non-‐fisik
dengan
beberapa
skema
sesuai
kebutuhan,
terdiri
atas
:
a) DAK
yang
mendukung
program
Keluarga
Berencana
(KB).
DAK
ini
dapat
berupa
program
non-‐fisik
khususnya
berupa
program
penyuluhan
untuk
peningkatan
kesadaran
melaksanakan
KB.
Selain
itu
DAK
ini
juga
menyediakan
program
untuk
mendukung
kesehatan
Ibu
yang
juga
aktif
bekerja.
DAK
Program
KB
yang
sudah
ada
dapat
terus
dilanjutkan
sehingga
produktivitas
tenaga
kerja
yang
memiliki
keluarga
ideal
juga
akan
tinggi.
b) DAK
yang
bersifat
mendukung
pelatihan
tenaga
kerja.
Program
yang
dapat
dibuat
adalah
program
yang
dapat
mendorong
Daerah
agar
berkomitmen
pada
ketersediaan
angkatan
kerja
atau
tenaga
kerja
yang
berkualitas
sesuai
kebutuhan
pasar
kerja
(labor
market).
Program
ini
untuk
memastikan
ketersediaan
kemampuan
tenaga
kerja
dalam
kemampuan
vocational.
c) DAK
untuk
menyediakan
atau
memfasilitasi
lapangan
kerja
dalam
jangka
pendek.
Lapangan
kerja
dalam
jangka
pendek
ini
dapat
disediakan
oleh
pemerintah
daerah,
misalnya
dalam
bentuk
kegiatan
Jaringan
Pengaman
Sosial
(JPS)
atau
dalam
bentuk
kegiatan
Program
Pemberdayaan
Masyarakat
Mandiri.
2. Dana
Alokasi
Khusus
yang
berupa
penyediaan
infrastruktur.
DAK
berorientasi
kepada
infrastruktur
ini
ditujukan
terutama
agar
daerahdapat
meningkatkan
investasi
baik
domestik
maupun
asing.
Contoh
skema
DAK
ini
misalnya:
jika
pemerintah
memandang
bahwa
DKI
Jakarta
perlu
membangun
sistem
transportasi
masal
tertentu
atau
meningkatkan
konektivitas
dengan
daerah
peri-‐perinya
dan
mengompensasi
eksternalitas
yang
ada,
maka
DAK
dapat
menjadi
salah
satu
sumber
pendanaan.
Contoh
lainnya:
jika
pemerintah
mengidentifikasi
bahwa
Papua
harus
membangun
pembangkit
listrik
independen
maka
DAK
dapat
dijadikan
dana
pendamping
investasi
daerah
atau
reimbursement
sebagian
pembangunan
pembangkit
yang
sudah
dilakukan.
Pada
intinya
DAK
dapat
dijadikan
instrumen
untuk
mempengaruhi
belanja
infrastruktur
pemerintah
daerah
sesuai
dengan
objektif
tertentu.
K L A S T E R
2:
D A E R A H
Y A N G
S U D A H
M E N C A P A I
W I N D O W
O F
O P P O R T U N I T Y
D A N
M E M I L I K I
K A P A S I T A S
F I S K A L
R E N D A H
Daerah-‐daerah
pada
klaster
ini
adalah
daerah
yang
sudah
mencapai
window
of
opportunity
(WO)
tetapi
memiliki
kapasitas
fiskal
relatif
rendah.
Kondisi
daerah
dengan
tingkat
ketergantungan
atau
Dependency
Ratio
(DR)
terendah
ini
harus
dimanfaatkan
sebaik-‐baiknya
oleh
daerah
karena
kondisi
tersebut
merupakan
kesempatan
atau
peluang
yang
berharga
untuk
memperoleh
bonus
demografi
yang
maksimum
sehingga
tercapai
kesejahteraan
rakyat.
Jika
momentum
tersebut
tidak
dimanfaatkan
atau
berlalu
begitu
saja
akan
menimbulkan
berbagai
masalah
sehingga
kesejahteraan
rakyat
tidak
tercapai
seperti
yang
telah
dijelaskan
sebelumnya
di
Klaster
1.
Daerah
yang
termasuk
Klaster
2
adalah
Provinsi
DI
Yogyakarta
(yang
mencapai
WO
pada
tahun
2010),
Provinsi
Jawa
Tengah(2011),
Provinsi
Jawa
Timur
(2011),
Provinsi
Papua
(2010),
Provinsi
Sulawesi
Utara
(2012),
Provinsi
Sulawesi
Selatan
(2013),
Provinsi
Bangka
Belitung
(2013),
Provinsi
Gorontalo
(2014),
dan
Provinsi
Maluku
(2014).
Daerah-‐daerah
dalam
klaster
ini
mempunyai
kemampuan
fiskal
yang
relatif
rendah.
Dalam
Tabel
sebelumnya
di
Bab
2,
dapat
dilihat
bahwa
Pendapatan
daerah
perkapita
(dari
PAD
dan
DBH)
yang
dikoreksi
dengan
IKK
dalam
klaster
ini
berkisar
antara
Rp
132.353
(Provinsi
Jawa
Tengah)
sampai
Rp
403.808
(Provinsi
Bangka
Belitung).
Daerah-‐daerah
dalam
klaster
ini
juga
memiliki
karakteristik
Indeks
Pembangunan
Manusia
(IPM)
yang
cukup
beragam,
yaitu
Provinsi
DI
Yogyakarta
(dengan
IPM
sebesar
73,29),
Provinsi
Jawa
Tengah
(71,99),
Provinsi
Jawa
Timur
(72,14),
Provinsi
Papua
(69,00),
Provinsi
Sulawesi
Utara
(77,03),
Provinsi
Sulawesi
Selatan
(71,12),
Provinsi
Bangka
Belitung
(73,88),
Provinsi
Gorontalo(70,38),
dan
Provinsi
Maluku
(67,95).
Dengan
kondisi
yang
cukup
beragam
ini,
maka
kebutuhan
yang
diperlukan
untuk
2
daerah
pada
klaster
ini
juga
akan
berbeda.
Sebagian
dari
kebutuhan
ini
relatif
sulit
dipenuhi
melalui
kemampuan
fiskal
daerah
yang
rendah.
Oleh
karena
itu,
sebagian
besar
memerlukan
intervensi
fiskal
dari
pemerintah
pusat,
yang
di
antaranya
adalah
lewat
Dana
Alokasi
Khusus
(DAK).
Secara
umum,
Klaster
2
yang
sudah
mencapai
window
of
opportunity
(WO)
tapi
dengan
kapasitas
fiskal
rendah
ini
memiliki
beberapa
kebutuhan
strategis
yang
relatif
sama
dengan
Klaster
1
seperti
dijabarkan
dalam
bagian
sebelumnya.
Karena
kapasitas
fiskal
daerahnya
rendah
maka
perlu
diperhitungkan
dalam
alokasi
DAK
ke
daerah
dalam
Klaster
2
ini.
P E N Y E D I A A N
D A N A
A L O K A S I
K H U S U S
( D A K )
DAK
diperlukan
untuk
daerah
dalam
Klaster
2
ini
relatif
sama
dengan
yang
diperlukan
untuk
daerah
dalam
Klaster
1
karena
sama-‐sama
sudah
mencapai
WO
atau
tingkat
ketergantungan
(DR)
yang
paling
rendah.
Oleh
karena
itu
dengan
alasan
yang
sama,
DAK
yang
diperlukan
untuk
mendorong
daerah
untuk
memanfaatkan
kondisi
WO
yang
sudah
dicapai
oleh
daerah-‐daerah
dalam
Klaster
2
ini.
Tentu
saja
variabel
penting
lainnya
yaitu
urbanisasi,
jumlah
dan
kepadatan
penduduk,
serta
struktur
ekonomi
berpengaruh
penting
dalam
memilih
desain
dan
skema
DAK
yang
paling
tepat
untuk
masing-‐masing
daerah.
Salah
satu
hal
yang
membedakan
dalam
mekanisme
pembiayaan
DAK
bagi
daerah
dalam
Klaster
2
ini
yaitu
daerah-‐daerah
tersebut
memiliki
kapasitas
fiskal
yang
rendah,
dan
kondisi
ini
dapat
diintegrasikan
dalam
formulasi
alokasi
DAK,
yaitu
dengan
membebaskan
syarat
dana
pendamping
atau
menetapkan
persentase
matching
grant
yang
relatif
rendah
bagi
daerah-‐daerah
yang
berada
dalam
klaster
tersebut.
Struktur
ekonomi
suatu
daerah
akan
mempengaruhi
ke
arah
mana
desain
DAK
yang
sesuai,
masyarakat
agraris
mungkin
membutuhkan
DAK
irigasi
tetapi
masyarakat
industri
membutuhkan
DAK
untuk
Balai
Latihan
Kerja
yang
lebih
canggih.
Urbanisasi
membutuhkan
fasilitas
perkotaan
yang
lebih
banyak
dibandingkan
daerah
pedesaan
yang
mungkin
lebih
membutuhkan
dukungan
akses
ke
fasilitas
yang
sudah
ada.
K L A S T E R
3:
D A E R A H
Y A N G
M E N U J U
W I N D O W
O F
O P P O R T U N I T Y
D A N
M E M I L I K I
K A P A S I T A S
F I S K A L
T I N G G I
Klaster
ini
mempunyai
peluang
terbaik
untuk
mendapatkan
bonus
demografi
jika
mampu
mempersiapkan
diri
dalam
menuju
periode
WO
dan
memanfaatkan
WO
tersebut.Daerah
dengan
kapasitas
fiskal
yang
tinggi
seharusnya
tidak
mempunyai
masalah
besar
untuk
menyediakan
dana
pendamping
DAK.
Yang
menjadi
kunci
adalah
desain
DAK
harus
mampu
memberikan
insentif
bagi
daerah
untuk
mempersiapkan
diri
mengambil
peluang
mendapatkan
bonus
demografi.
Daerah-‐
daerah
pada
klaster
ini
adalah
Kalimantan
Tengah
(2016),
Kalimantan
Selatan
(2016),
Kalimantan
Timur
(2018),
Bali
(2020),
Sumatera
Selatan
(2024),
dan
Riau
(2025).
DAK
dapat
berperan
penting
di
sini,
bersama
dengan
sumber
pendanaan
lainnya
seperti
dana
investasi
infrastruktur
dari
pusat,
dana
swasta
melalui
Public
Private
Partnership
(PPP),
ataupun
dana
bantuan
luar
negeri.
DAK
dengan
dana
pendamping
akan
mempengaruhi
belanja
daerah,
dan
apabila
skema
yang
ditawarkan
cukup
menarik
maka
investasi
daerah
untuk
infrastruktur
akan
menjadi
signifikan,
contohnya
adalah
untuk
setiap
rupiah
yang
dibelanjakan
untuk
membangun
jalan
penghubung
antar
kabupaten,
pemerintah
akan
menyediakan
satu
rupiah
dana
tambahan
selama
masih
berada
dalam
batasan
minimal-‐maksimal
besarnya
proyek.
Atau
pemerintah
akan
menyediakan
DAK
dengan
dana
pendamping
sangat
ringan
(misalnya
di
bawah
5%)
untuk
pelatihan
keterampilan
penduduk
usia
tenaga
kerja
jika
daerah
membangun
BLK
dengan
biaya
sendiri.
Masih
banyak
desain
yang
bisa
ditawarkan
asalkan
pemerintah
pusat
memiliki
objektif,
data,
dan
target
yang
jelas
mengenai
tujuan
pemberian
DAK
tersebut.
DAK
untuk
klaster
ini
juga
dapat
menunjang
program
MP3EI
yang
dicanangkan
pemerintah.
K L A S T E R
4:
D A E R A H
Y A N G
M E N U J U
W I N D O W
O F
O P P O R T U N I T Y D A N
M E M I L I K I
K A P A S I T A S
F I S K A L
R E N D A H
Klaster
ini
masih
mempunyai
peluang
untuk
mendapatkan
bonus
demografi
jika
mampu
meningkatkan
kondisi
penunjang
selama
menuju
periode
WO.
Daerah
dengan
kapasitas
fiskal
rendah
memiliki
keterbatasan
dalam
membelanjakan
anggaran
untuk
investasi
infrastruktur.
Desain
DAK
yang
tepat
dapat
ditawarkan
sesuai
dengan
potensi
dan
tantangan
masing-‐masing
daerah.
Skema
dana
pendamping
juga
tidak
bersifat
kaku,
untuk
beberapa
daerah
dan
sektor
tertentu
mungkin
DAK
dapat
diberikan
tanpa
memerlukan
dana
pendamping
atau
melalui
sistem
kompetisi.
Sama
halnya
seperti
pada
klaster
lainnya,
daerah
tidak
bisa
menumpukan
semua
harapan
pembangunan
infrastruktur
pada
DAK,
karena
DAK
sendiri
memiliki
keterbatasan,
baik
SDM
penyelenggara
maupun
pada
proses
dan
sistem
termasuk
regulasi,
keterbatasan
kapasitas
dan
kompetensi,
ataupun
jumlah
yang
bisa
dialokasikan.
Untuk
daerah
dengan
kapasitas
fiskal
rendah
dan
dalam
kondisi
kekurangan
infrastruktur
dan
fasilitas
dasar
tetapi
tidak
mampu
membangunnya,
maka
pemerintah
pusat
dapat
menentukan
DAK
untuk
pembangunan
fasilitas
tersebut
secara
pendekatan
top-‐down
walaupun
tetap
mengacu
pada
kriteria
yang
transparan
dan
akuntabel.
BAB
7
D ANA
B AGI
H ASIL
P E N G A N T A R
DBH
merupakan
dana
perimbangan
yang
strategis
bagi
daerah-‐daerah
yang
memiliki
sumber-‐sumber
penerimaan
Pusat
di
daerahnya.
Sebagaimana
dijelaskan
sebelumnya,
DBH
sangat
berperan
dalam
mengurangi
ketimpangan
vertikal
yang
terjadi
dan
DBH
dapat
diberikan
dalam
bentuk
bagi
hasil
pajak
dan
bukan
pajak
(non-‐pajak).
Meskipun
peranan
DBH
cukup
penting,
terutama
bagi
daerah
dengan
sumber
daya
pajak
dan
sumber
daya
alam
yang
besar,
tetapi
tidak
semua
jenis
penerimaan
Negara
dapat
dibagihasilkan
ke
Daerah.
Indonesia
sebagai
negara
dengan
karakteristik
daerah
yang
sangat
beragam,
sangat
penting
memasukkan
perbedaan
karakteristik
daerah
tersebut
dalam
kebijakan
desentralisasi
fiskalnya,
termasuk
Dana
Bagi
Hasil.
Adioetomo
(2005)
menyatakan
bahwa
aspek
demografi
dapat
mempengaruhi
dinamika
pembangunan
dan
memberikan
kesempatan
bagi
suatu
daerah
untuk
memanfaatkan
jumlah
penduduk
usia
produktif
dalam
pembangunan
yang
dikenal
dengan
bonus
demografi.
Kondisi
WO
(windows
of
opportunity)
dan
Kapasitas
Fiskal
daerah,
dijadikan
sebagai
dasar
untuk
pembuatan
Klaster
(secara
detil
dijelaskan
pada
BAB
3).
Berdasarkan
klaster
yang
ada,
maka
dana
transfer
seperti
DAU,
DAK
akan
mengalami
penyesuaian
termasuk
Dana
Transfer
lainnya.
Sedangkan
DBH
akan
disesuaikan
terutama
terkait
dengan
semakin
besar
jumlah
orang
usia
kerja
dan
mampu
menghasilkan
penerimaan
pajak
yang
nantinya
akan
dibagi
hasilkan.
Pembagian
DBH
selama
ini
berdasarkan
atas
daerah
asal
yang
dikenal
dengan
penghasil
dan
dibagirata
untuk
daerah
non
penghasil.
Besaran
prosentase
dari
bagi
hasil
baik
Pajak
dan
Non
Pajak
ditetapkan
oleh
Undang
–
Undang.
Untuk
memberikan
rasa
keadilan
yang
lebih
baik,
sebaiknya
pembagian
DBH
pada
daerah
non-‐penghasil
[didalam
provinsi]
didasarkan
atas
pertimbangan
windowsof
opportunity
masing–masing
daerah,
tidak
lagi
dibagi
sama
rata
diantara
daerah
non
penghasil.
Secara
terperinci
gambaran
DBH
terkait
dengan
klaster
dijelaskan
dibawah
ini.
D E S A IN
K E B IJA K A N
D A N A
B A G I
H A S IL
B E R D A S A R K A N
K L A S T E R
D A N A
B A G I
H A S I L
P A J A K
Salah
satu
alasan
suatu
pajak
ditetapkan
sebagai
pajak
pusat
dan
tidak
dijadikan
sebagai
pajak
daerah
adalah
untuk
menghindari
tax
competition
yang
mengarah
pada
persaingan
yang
tidak
sehat
dan
akan
berimplikasi
pada
penurunan
penerimaan
dan
perekonomian,
akibat
dari
basis
pajak
(atau
taxpayer)
yang
cenderung
tertarik
pada
daerah
dengan
tingkat
pajak
yang
rendah.
Penetapan
tingkat
dan
basis
pajak
secara
nasional,
yang
kemudian
dibagihasilkan,
merupakan
alternatif
untuk
menghindari
wasteful
“tax
competition”
di
daerah.
Secara
konsep,
tidak
ada
pembatasan
jenis
pajak
pusat
yang
dapat
dibagihasilkan.
Namun
demikian,
di
Indonesia
jenis
transfer
dalam
sistem
transfer
antar
pemerintahan
(intergovernmentaltransfer)
saling
terkait
satu
dengan
lain,
dimana
diperlukan
konsensus
untuk
penetapan
DBH,
baik
pajak
apa
yang
dapat
dibagihasilkan
dan
berapa
proporsinya.
Berikut
beberapa
kriteria
penerimaan
negara
dari
pajak
yang
dapat
dibagihasilkan:
DBH
Pajak
mencakup
DBH
atas
pajak
pendapatan
peorangan,
DBH
atas
cukai,
dan
DBH
Pajak
Bumi
dan
Bangunan
(PBB).
Beberapa
pemikiran
yang
perlu
dipertimbang-‐
kan
untuk
perbaikan
alokasi
DBH
pajak
di
masa
yang
akan
datang
antara
lain:
P A J A K
P E N D A P A T A N
( P P H
P E O R A N G A N )
DBH
atas
PPh
perorangan
dikenakan
berdasarkan
pada
derivation
basis
yaitu
dari
tempat
tinggal
(individu)
pembayar
pajak
(taxpayer).
Namun
demikian,
untuk
alokasi
DBH
PPh
kabupaten/kota
tidak
seluruhnya
didasarkan
pada
tempat
wajib
pajak
terdaftar.
Perlu
diperjelas
bahwa
alokasi
DBH
Pajak
saat
ini
tidak
berdasarkan
pada
wilayah
pemungutan
kantor
tempat
wajib
pajak
terdaftar
tetapi
berdasarkan
lokasi
tempat
tinggal
pembayar
pajak
sesuai
dengan
nomor
identitas
penduduknya.
Apabila
didasarkan
pada
tempat
tinggal
wajib
pajak,
maka
tidak
perlu
ada
komponen
yang
dibagi
sama
rata
antar
kabupaten/kota
yang
merupakan
proporsi
dari
komponen
DBH
PPh
peorangan
untuk
kabupaten/kota.
D B H
C U K A I
T E M B A K A U
DBH
seharusnya
bersifat
blockgrant
bukan
specificgrant.
Oleh
karena
itu,
pengaturan
DBH
Cukai
Hasil
Tembakau
di
UU
39/2007
tentang
Cukai
harus
disesuaikan
dengan
prinsip
dana
transfer,
yang
mengamanatkan
bahwa
DBH
merupakan
block
grant.
Cukai
rokok
merupakansin
tax,
sehingga
alokasi
sebagian
dana
dari
cukai
rokok
untuk
pemerintah
daerah
seharusnya
bertujuan
untuk
mengurangi
konsumsi
rokok.
Dengan
demikian,
bagi
hasil
antar
tingkat
pemerintahan
bukan
merupakan
fokus
utama,
akan
tetapi
skema
alokasi
CHT
dibagikan
menurut
intensitas
konsumsi
dan
bukan
produksi
untuk
meminimalisir
dampak
dari
peningkatan
produksi
dan
pemanfaatan
hasil
perkebunan
tembakau
untuk
produksi
rokok.
Diusulkan
agar
DBH
CHT
tetap
dipertahankan
sampai
dengan
tahun
2014
ketika
Pajak
Rokok
diberlakukan.Pajak
Rokok
adalah
pajak
provinsi.Ketika
Pajak
Rokok
nanti
telah
diberlakukan,
DBH
CHT
dapat
dihapuskan.
Namun
Pajak
Rokok
kemudian
harus
di-‐earmarked
untuk
pengeluaran
sektor
tertentu.
Sebagai
alternatif
adalah
pengeluaran
untuk
kesehatan,
pemberantasan
rokok
ilegal,
dan
juga
mendorong
petani
tembakau
dan
produsen
rokok
untuk
menggeser
kegiatannya
ke
non
tembakau/rokok.
P A J A K
B U M I
&
B A N G U N A N
( P B B )
D A N
B P H T B
( B E A
P E R O L E H A N
H A K
A T A S
T A N A H
D A N
B A N G U N A N )
PBB
sudah
didaerahkan
khususnya
yang
perdesaan
dan
perkotaan.
Masih
ada
PBB
lain:
kehutanan,
perkebunan,
dan
migas.
PBB
kehutanan
dan
perkebunan,
bagi
hasilnya
merujuk
ke
UU
33/2004.
Tetapi
untuk
PBB
Migas
agak
berbeda
karena
ada
metode
bagi
hasil
tersendiri,
menggunakan
formula
tertentu
sehingga
setiap
daerah
mendapatkan
(ada
dimensi
pemerataan).
Revisi
UU
33/2004
sebaiknya
menerapkan
DBH
yang
based
on
originserta
menjadi
sumber
hukum
utama
dalam
penyusunan
berbagai
peraturan
lain
yang
terkait
dengan
DBH.
Dalam
PBB
bagian
pusat
ada
yang
dibagikan
berdasarkan
bagi
rata,
upah
pungut,
dan
insentif.Metode
bagi
rata
ini
sebenarnya
tidak
tepat,
karena
hal
itu
sudah
menjadi
bagian
dari
DAU.
Untuk
upah
pungut,
daerah
mendapatkan
dari
PBB
migas,
pertambangan,
dan
perkebunan.Padahal
daerah
tidak
memberi
kontribusi
apapun
didalam
pengumpulannya–kontribusi
daerah
hanya
untuk
perkotaan
dan
perdesaan.Kedepannya
PBB
hanya
bagian
pusat,
dan
bagian
daerah
saja.Biaya
pungut
seharusnya
tidak
lagi
menjadi
komponen
bagi
hasil,
dan
dimasukkan
saja
menjadi
bagian
dari
belanja
instansi
yang
bertanggung
jawab.
Revisi
UU
33/2004
harus
melakukan
perbaikan
atas
proporsi
bagi
hasil
antara
pemerintah
pusat,
provinsi,
dan
kabupaten/kota.
Dihilangkannya
metode
bagi
rata
dan
biaya
pungut,
berarti
bagian
pusat
hanya
tinggal
3%,
sesuai
dengan
praktek
yang
telah
terjadi
sampai
dengan
saat
ini.
Sebesar
97%
dialokasikan
ke
daerah.
Yang
dialokasikan
ke
daerah
ini
akan
dibagi
ke
provinsi
sebesar
17%
dan
kabupaten/kota
sebesar
80%.
D A N A
B A G I
H A S I L
N O N -‐P A J A K
(SDA)
Salah
satu
sumber
penerimaan
daerah
yang
cukup
penting
adalah
bagi
hasil
pajak
dari
pengelolaan
Sumber
Daya
Alam.Penggunan
Dana
Bagi
Hasil
Sumber
Daya
Alam(DBH
SDA)
ini
bersifat
unconditional,
dimana
daerah
dapat
membelanjakan
sesuai
dengan
kebutuhan
daerah
tanpa
ada
persyaratan
atau
arahan
tertentu
dari
Pusat.
DBH
SDA
termasuk
dalam
kategori
DBH
non-‐pajak.
Dalam
perkembangannya,
DBH
SDA
terdiri
dari
DBH
yang
berasal
dari
penerimaan
negara
bukan
pajak
(PNBP)
dari
minyak
bumi,
gas
alam,
panas
bumi,
pertambangan
umum,
kehutanan,
dan
perikanan.
Oleh
karena
itu,
Penerimaan
Negara
Bukan
Pajak
(PNBP)
dari
sumber
daya
alam
yang
dapat
dibagihasilkan
harus
memenuhi
kriteria
berikut:
DBH
SDA
mencakup
DBH
Minyak
Bumi,
Gas
Alam,
dan
Panas
Bumi,
Pertambangan
Umum,
Kehutanan,
dan
Perikanan.
Beberapa
pemikiran
yang
perlu
dipertimbangkan
untuk
perbaikan
alokasi
DBH
SDA
di
masa
yang
akan
datang
antara
lain:
M I N Y A K
B U M I ,
G A S
A L A M ,
D A N
P A N A S
B U M I
DBH
dari
minyak
bumi
dan
gas
alam
didasarkan
pada
penerimaan
negara
berdasarkan
perjanjian
KPS
yang
tidak
termasuk
dalam
penerimaan
pajak.
Basis
dari
penerimaan
negara
untuk
minyak
bumi
dan
gas
alam
adalah
berdasarkan
jumlah
lifting
(hasil
produksi
yang
siap
dijual).
Alokasi
DBH
SDA
terutama
dari
sumber
penerimaan
minyak
bumi
dan
gas
cenderung
sensitif
dengan
perubahan
tingkat
harga
minyak
bumi
dan
gas.
Fluktuasi
tingkat
harga
adalah
salah
satu
kendala
dari
penyaluran
DBH
sehingga
menyebabkan
penerimaan
pemerintah
daerah
dari
DBH
SDA
relatif
tidak
stabil.
Alternatif
dari
risiko
fluktuasi
penerimaan
DBH
dapat
diminimalisir
dengan
penyaluran
yang
berdasarkan
prognosa
dengan
asumsi
risiko
dan
juga
windfall
dari
fluktuasi
harga
SDA
akan
ditanggung
sebagian
besarnya
oleh
pemerintah
pusat.
Penyaluran
tersebut
dilakukan
per
triwulan
dimana
tiga
triwulan
pertama
masing-‐
masing
sebesar
25%
dari
alokasi
sementara
DBH
SDA
dan
penyaluran
untuk
triwulan
keempat
berdasarkan
prognosa
realisasidengan
memperhitungkan
penyaluran
3
(tiga)
triwulan
sebelumnya.
Untuk
itu,
penetapan
capping
130
persen
terhadap
asumsi
dasar
harga
minyak
bumi
dan
gas
bumi
tidak
perlu
dicantumkan.
Cappingterhadap
tingkat
harga
yang
dijadikan
dasar
alokasi
DBH
menjadi
tidak
lagi
relevan
ketika
alokasi
DBH
SDA
adalah
berdasarkan
asumsi
harga
yang
ditetapkan
di
APBN.
Earmark
DBH
Minyak
Bumi
dan
Gas
Alam
sebesar
0.5
persen
sebaiknya
dihapuskan
terutama
karena
porsi
yang
relatif
kecil
dan
kurang
cost-‐efektif
jika
dikaitkan
dengan
monitoring
dan
pengawasan
dari
penggunaan
dana
tersebut.
Conditionality
penggunaan
DBH
untuk
program
pengeluaran
tertentu
juga
tidak
sesuai
dengan
tujuan
awal
DBH
yang
semata-‐mata
adalah
untuk
vertical
sharing
arrangement.
P E R T A M B A N G A N
U M U M
Penerimaan
dari
pertambangan
umum
yang
layak
dibagihasilkan
adalah
jenis
sumber
penerimaan
yang
relatif
besar.
Untuk
itu,
jenis
pertambangan
dan
juga
jumlah
deposit
menentukan
apakah
kegiatan
pertambangan
umum
tersebut
berada
dibawah
pengelolaan
pemerintah
pusat,
yang
selanjutnya
dapat
dibagihasilkan
ke
pemerintah
daerah.
Jumlah
DBH
SDA
relatif
besar
untuk
beberapa
pemerintah
daerah
sementara
kemampuan
belanja
rendah
dan
kapasitas
SDM
pemerintah
daerah
tersebut
relatif
terbatas.
Dalam
hal
ini,
seyogyanya
penggunaan
dana
transfer
ini
tidak
dapat
dilihat
dalam
konteks
pengeluaran
melalui
satu
tahun
berjalan
saja.
Endowment
fund
kemungkinan
diperlukan
terlebih
karena
DBH
SDA
terutama
SDA
yang
tidak
terbarukan
memiliki
jangka
waktu
tertentu
sesuai
dengan
deposit
SDA
tersebut
dan
juga
kapasitas
dan
tingkat
kegiatan
produksi.Hal
ini
juga
dikaitkan
dengan
kemungkinan
masih
terdapat
eksternalitas
(negatif)
yang
perlu
ditangani
bahkan
setelah
kegiatan
eksploitasi
dan
eksplorasi
SDA
selesai.
K E H U T A N A N
Penerimaan
yang
dibagihasilkan
terkait
dengan
PNBP
di
Kehutanan
adalah
Iuran
Hak
Pengusahaan
Hutan
(IHPH),
Provisi
Sumber
Daya
Hutan
(PSDH),
dan
Dana
Reboisasi.Tujuan
pemungutan
Dana
Reboisasi
adalah
untuk
sepenuhnya
kegiatan
reboisasi,
dan
tidak
dapat
dijadikan
sebagai
DBH.Untuk
itu,
sebaiknya
Dana
Reboisasi
diserahkan
ke
pemerintah
daerah
berdasarkan
regulasi
yang
ketat,
terutama
terkait
dengan
kewenangan
melakukan
reboisasi
hutan
yang
merupakan
tanggung
jawab
pemerintah
daerah.
P E R I K A N A N
Tidak
seperti
alokasi
DBH
SDA
lainnya,
alokasi
DBH
dari
SDA
perikanan
tidak
mengikuti
formula
tertentu
dan
hanya
dibagi
sama
rata
untuk
seluruh
pemerintah
daerah.
Dalam
hal
ini,
jumlah
pemerintah
daerah
yang
cenderung
terus
meningkat
cukup
kontras
dengan
penerimaan
dari
sektor
perikanan
yang
dibagihasilkan
yang
justru
cenderung
terus
menurun.
Sebagai
contoh,
untuk
tahun
2009,
total
DBH
dari
perikanan
yang
dibagihasilkan
ke
daerah
hanyalah
sebesar
160
milyar
IDR,
dan
jumlah
ini
bahkan
menurun
di
tahun
2010
menjadi
hanya
sekitar
120
milyar
IDR
(PMK
No.
157
Tahun
2008,
PMK
No.
201
Tahun
2009).
Terkait
dengan
relatif
kecilnya
penerimaan
dari
perikanan
dan
juga
pembagian
yang
sulit
untuk
dihubungkan
dengan
potensi
SDA
perikanan
setiap
daerah,
maka
revisi
UU
33/2004
sebaiknya
menghapuskan
saja
DBH
SDA
perikanan.
Pemungutan
PNBP
dari
SDA
perikanan
dialihkan
ke
pemerintah
daerah,
baik
itu
pemerintah
kabupaten/kota
maupun
pemerintah
provinsi.
K O N D IS I
S A A T
I N I
Untuk
melihat
kondisi
saat
ini
dari
kebijakan
DBH
dapat
ditinjau
dari
beberapa
segi:
Formula
alokasi
DBH.
Persentase
yang
dibagi-‐hasilkan
dengan
Daerah
relatif
tidak
mengalami
perubahan
semenjak
ditetapkan
kebijakan
tersebut
pada
tahun
2001.
Pengecualian
terjadi
untuk
besarnya
persentase
bagi-‐hasil
minyak
dan
gas
bumi,
yang
mengalami
kenaikan
sebesar
0,5%
pada
tahun
2004.
Rumusan
bagi
hasil
untuk
setiap
jenis
pajak
dan
juga
penerimaan
sumber
daya
alam
(SDA)
sangat
bervariasi
satu
dengan
yang
lain.
Selain
itu,
semenjak
ditetapkan
rumusan
alokasi
ini
pada
tahun
2001,
tidak
ada
argumentasi
yang
jelas
tentang
formula
bagi
hasil
tersebut.
Formula
DBH
menjadi
makin
kompleks
karena
pemberlakuan
formula
yang
berbeda
untuk
daerah
otonomi
khusus
(Nanggroe
Aceh
Darussalam
dan
Papua).
Dasar
nilai
penetapan
bagi
hasil.
Selain
dari
beragamnya
formula,
yang
juga
menambah
rumit
alokasi
DBH
adalah
beragamnya
dasar
penetapan
untuk
bagi
hasil.
Saat
ini,
untuk
Minyak
dan
Gas
Bumi,
yang
dibagihasilkan
kepada
Daerah
adalah
nilai
net-‐operating
income
setelah
dikurangi
berbagai
jenis
pajak
(PPh,
PPN,
dan
PBB),
dengan
formula
yang
berbeda
untuk
minyak
bumi
dan
gas
alam.
Sedangkan
untuk
Pertambangan,
Kehutanan
dan
Perikanan,
nilai
yang
dibagihasilkan
pada
dasarnya
ada
dua
jenis,
yaitu
biaya
sewa
perijinan
usaha
dan
royalti
untuk
produksi
yang
dihasilkan.
Pemanfaatan
DBH
di
Daerah.
Bagi
pemda
yang
memperoleh
alokasi
DBH
yang
cukup
signifikan,
seyogyanya
pemanfaatan
dana
tersebut
dilakukan
secara
optimal
dalam
rangka
meningkatkan
pelayanan
publik
dan
pengembangan
infrastruktur
dasar
di
daerah.
Namun
demikian,
arah
penggunaan
DBH
tampaknya
belum
jelas
di
daerah,
bahkan
terkadang
terjadi
tumpang
tindih
program
kegiatan
antara
provinsi
dan
kabupaten/kota,
misalnya
pembangunan
lapangan
udara
pada
lokasi
yang
berdekatan
dengan
anggaran
berbeda,
yaitu
dari
provinsi
dan
yang
satunya
dari
kabupaten.
K O N D IS I
Y A N G
D IH A R A P K A N
Berdasarkan
uraian
atas
berbagai
kompleksitas
alokasi
DBH
tersebut,
diharapkan
di
masa
mendatang
akan
dapat
didesain
suatu
sistem
bagi
hasil
yang
lebih
sederhana.
Meskipun
demikian,
DBH
harus
tetap
mengemban
fungsinya
untuk
mengurangi
ketidakseimbangan
vertikal
dengan
tetap
menjaga
kesinambungan
fiskal
nasional.
Penjabaran
strategi
dan
rencana
aksi.
Beberapa
kebijakan
sampai
dengan
tahun
2030
yang
dapat
diimplementasikan
dalam
rangka
penyederhanaan
alokasi
DBH
dapat
diuraikan
sebagai
berikut:
1. Menata
kembali
jenis
pendapatan
negara
yang
layak
dan
dapat
dibagihasilkan.
Mengingat
ada
kecenderunganDaerah
untuk
menuntut
bagihasil
bagi
seluruh
jenis
pendapatan
negara,
maka
perlu
diterapkan
kriteria
yang
tegas
agar
kecenderungan
tersebut
lebih
rasional.
3. Mengembangkan
sistem
penyaluran
DBH
yang
lebih
baik
dan
tepat
waktu,
agar
alokasi
DBH
ke
daerah
penghasil
menjadi
tepat
waktu
dan
tepat
jumlah,
sehingga
dana
tersebut
dapat
dimanfaatkan
secara
optimal
sesuai
dengan
yang
direncanakan.
Jika
mekanisme
penyaluran
berdasarkan
realisasi
tidak
dapat
diperbaiki
ketepatan
waktunya,
perlu
dipertimbangkan
penetapan
DBH
yang
didasarkan
kepada
anggaran
dan
penyalurannya
dilakukan
secara
berkala
dan
tepat
waktu.
4. Dana
Bagi
Hasil
darisumberdaya
alam
(misalnya
dari
Provisi
Sumber
daya
Hutan)
yang
menjadi
bagian
daerah
dan
porsi
tertentu
akan
dibagikan
untuk
kabupaten/kota
lainnya
(non-‐penghasil)
dalam
provinsi
yang
bersangkutan,
menjadi
kewenangan
Gubernur
sebagai
wakil
Pemerintah
Pusat
di
daerah
untuk
membaginya
berdasarkan
formula
tertentu
yang
ditujukan
untuk
mengurangi
ketimpangan
fiskal
antar
Kabupaten/Kota
dalam
Provinsi
yang
bersangkutan.
Kondisi
saat
ini,
porsi
yang
dibagikan
untuk
kabupaten/kota
lainnya
dalam
provinsi
yang
bersangkutan,
dibagikan
secaramerata
untuk
daerah
non-‐
penghasil.
BAB
8
TRANSFER
LAINNYA
P E N G A N T A R
Definisi
Transfer
Lainnya
(TL)
di
sini
adalah
semua
transfer
ke
daerah
yang
selama
ini
tidak
termasuk
dalam
kategori
Dana
Perimbangan
(DAU,
DAK,
DBH)
dan
Dana
Otsus
dan
Penyesuaian.
Secara
definitif,
yang
termasuk
dalam
DTL
adalah:
Dana
Percepatan
Infrastruktur
Daerah
(DPID),
Dana
Insentif
Daerah
(DID),
dan
Hibah.
Sebagian
besar
alokasi
DTL
diputuskan
secara
ad-‐hoc
atau
tidak
mengikuti
pola
yang
regular.Kesepakatan
politis
memegang
peranan
penting
di
sini.DTL
dicirikan
dengan
tingginya
fleksibilitas
alokasi
dan
biasanya
diiringi
dengan
ketidaksiapan
administrasi.Fleksibilitas
ini
sebenarnya
memberikan
keuntungan
dalam
menyesuaikan
dengan
target
dan
variasi
kondisi
daerah.
Tetapi
di
lain
pihak,
fleksibilitas
juga
berarti
rawan
terhadap
potensi
penyimpangan.
Isu
penyimpangan
dan
penyaluran
alokasi
sering
menerpa
DTL,
seperti
yang
dewasa
ini
diberitakan
4
menyangkut
DPID .
H IB A H
Dalam
sistem
hubungan
keuangan
Pusat-‐Daerah,
Hibah
sebenarnya
dapat
menjadi
dana
transfer
yang
mempunyai
peran
yang
cukup
penting.
Tetapi
ketidakjelasan
perannya
membuat
Hibah
hanya
menjadi
salah
satu
bentuk
pemberian
atau
penyaluran
dari
pihak
di
luar
pemerintah
ke
daerah.
Dalam
kondisi
seperti
ini
substansi
Hibah
menjadi
kabur
dengan
DAK
atau
dana
adhoc
lainnya.
Besaran
alokasi
total
dari
APBN
untuk
program
Hibah
juga
tidak
dirancang
secara
integral
bersama
dengan
dana
transfer
lainnya.
Pada
Bab
5,
Hibah
dalam
negeri
dimasukkan
dalam
kelompok
DAK.
Secara
nomenklatur
dari
jenis
hibah
yang
selama
ini
diaplikasikan
oleh
pemerintah
pusat,
hibah
yang
bersumber
dari
Rupiah
(APBN
murni)
tidak
berbeda
dengan
konsep
DAK
adhoc
atau
berbasis
program,
yaitu
ketika
pemerintah
bertujuan
membantu
pembiayaan
suatu
program
tertentu
misalnya
ketika
suatu
daerah
menjadi
tuan
rumah
event
internasional
atau
nasional.
Sedangkan
untuk
Hibah
yang
bersumber
dari
bantuan
LN,
pemerintah
pusat
biasanya
hanya
menyalurkan.Pengaturan
yang
dilakukan
untuk
alokasi
besaran
dan
daerah
agak
terbatas,
sedangkan
untuk
administrasi
dan
mekanisme
penyaluran
biasanya
diserahkan
pada
pemerintah.
Sesuai
dengan
konsep
DAK
yang
dijelaskan
pada
Bab
5,
sebaiknya
tidak
ada
lagi
jenis
transfer
lainnya
yang
selama
ini
diberikan
dengan
berbagai
macam
nama
termasuk
4
Lihat
misalnya
di:
http://nasional.kompas.com/read/2011/06/29/11284141/KPK.Didesak.Usut.Calo.A
nggaran.di.DPR
atau
http://www.investor.co.id/home/kpk-‐diminta-‐selidiki-‐dugaan-‐
calo-‐anggaran-‐dpid/13904
DPID
dan
DID.
DPID
dapat
dimasukkan
dalam
kategori
DAK
Prioritas
(kompetisi/merit-‐based)
ataupun
DAK
adhoc.Sedangkan
DID
sesuai
untuk
dimasukkan
ke
dalam
DAK
Prioritas
(merit-‐based).
Seperti
yang
didiskusikan
pada
Bab
1
mengenai
Urbanisasi,
ada
beberapa
mitos
yang
–sayangnya–
sering
dipakai
sebagai
dasar
beberapa
kebijakan
transfer;
misalnya
anggapan
mengenai
bahwa
disparitas
horizontal
akan
meningkat
dengan
tingginya
urbanisasi
sehingga
alokasi
dana
transfer
lebih
besar
untuk
daerah
non-‐
Jawa.
Pada
kenyataannya,
tidak
ada
perubahan
signifikan
pada
disparitas
Jawa
vs.
non-‐Jawa
setelah
10
tahun
desentralisasi
fiskal.
Dengan
kebijakan
transfer
yang
menekankan
aspek
redistributif
fiskal
dibandingkan
fokus
pada
pembentukan
aset/modal,
justru
membuat
banyak
daerah
dalam
kondisi
kekurangan
infrastruktur.
Belanja
infrastruktur
sebagian
besar
bersifat
lumpy
dan
sulit
untuk
mengadopsi
sistem
distributif/ekualitas
ketika
negara
sendiri
mempunyai
keterbatasan
fiskal.
Pilihannya
adalah
membagikan
dana
yang
tersebar
merata
tetapi
masing-‐masing
berjumlah
kecil
atau
memilih
prioritas.
Beberapa
hal
yang
harus
disadari
dari
keuntungan
membangun
kota
vs
membangun
desa,
adalah
kenyataan
bahwa
tingkat
kemiskinan
lebih
tinggi
di
pedesaan
atau
dengan
kata
lain
kesejahteraan
penduduk
kota
lebih
tinggi,
skala
ekonomi
dan
efisiensi
yang
lebih
tinggi
di
kota,
basis
pajak
yang
lebih
tinggi
di
kota,
dan
output
pendidikan
yang
lebih
baik
di
kota.
Kekurangan
yang
masih
ada
sekarang
adalah
kualitas
infrastruktur
perkotaan
masih
kurang
dan
kebijakan
yang
belum
mampu
menginternalisasi
eksternalitas
antardaerah.
Sedangkan
mengabaikan
pemba-‐
ngunan
desa
juga
akan
berakibat
menurunnya
produksi
sektor
pertanian
dan
meningkatkan
ketimpangan
sosial
dan
keadilan.
Karena
itu
pembangunan
daerah
pedesaan
(melalui
transfer)
tetap
harus
dilakukan
dengan
bertumpu
pada
potensi
ekonomi
daerah
tersebut
dan
memperhatikan
aspek
keadilan.
Kota
juga
umumnya
harus
menanggung
tambahan
beban
dari
daerah
sekitarnya.
Sebagai
contoh,
banyak
penduduk
non-‐urban
yang
mengirimkan
anaknya
sekolah
di
kota,
berobat
di
RS
di
kota,
atau
mencari
hiburan
dan
melakukan
aktivitas
ekonomi
lainnya
di
kota.
Selain
menikmati
eksternalitas
positif
seperti
keuntungan
dari
potensi
ekonomi
dan
skala
ekonomi,
di
saat
yang
sama
kota
juga
harus
menanggung
eksternalitas
negatif
misalnya
menyediakan
barang
publik
untuk
dikonsumsi
oleh
non-‐resident
(penduduk
luar),
serta
beban
lingkungan
yang
meningkat
seperti
tambahan
polusi,
kekurangan
daya
dukung
air,
penambahan
limbah,
dan
kemacetan.
Faktor-‐faktor
tersebut
selama
ini
belum
diakomodasi
dalam
sistem
transfer.Dalam
alokasi
DAU
yang
mempertimbangkan
variabel
penduduk,
yang
dihitung
adalah
jumlah
penduduk
sesuai
wilayah
administrasi
tanpa
mempertimbangkan
mobilitas
yang
menimbulkan
eksternalitas.
Pada
sisi
lainnya,
daerah
periperi
yang
menyangga
kota
juga
mempunyai
beban
tambahan
dari
pertumbuhan
kota
tersebut.
Pasokan
air,
pembuangan
limbah,
jalan
penghubung,
industri
manufaktur
dan
penyangganya,
biasanya
jatuh
menjadi
beban
daerah
periperi.
Jadi
terdapat
eksternalitas
dua
arah
antara
kota
dan
daerah
periperinya
yang
satu
sama
lain
belum
tentu
sama
besarnya,
sehingga
kebijakan
membiarkan
(atau
tidak
adanya
kebijakan
internalisasi/kompensasi
dari
eksterna-‐
litas)
tidaklah
berarti
akan
berakhir
dengan
suatu
keseimbangan
akibat
efek
meniadakan
satu
sama
lain
(canceled-‐out).
REFERENSI
Adioetomo,
Sri
Moetiningsih
Setyo,
2005,
“Bonus
Demografi:
Menjelaskan
Hubungan
Antara
Pertumbuhan
Penduduk
dengan
Pertumbuhan
Ekonomi”,
Pidato
Pengukuhan
Guru
Besar
Tetap
Dalam
Bidang
Ekonomi
Kependudukan
Pada
Fakultas
Ekonomi
Universitas
Indonesia,
Jakarta
30
April
2005.
Aldenderfer, Mark dan Roger Balshfield, 1984, "Cluster Analysis", Sage Publications.
Bloom,
D.E.
and
J.E.
Finlay,
2009.
“Demographic
Change
and
Economic
Growth
in
Asia.”
Asian
Economic
Policy
Review
(4),
p.45-‐64.
Bloom,
D.E.,
D.
Canning,
dan
P.N.
Malaney,
1999.
“Demographic
Change
and
Economic
Growth
in
Asia.”
CID
Working
Paper
No.15,
Mei
1999
Everitt, B., 1979, “Unresolved Problems in Cluster Analysis,” Biometrics 35, 169-‐181.
Felecia
P.Adam.
“Tren
Urbanisasi
di
Indonesia”,
Program
Studi
Agrobisnis
Fakultas
Pertanian
Universitas
Pattimura.
Lorr, Maurice, 1983, "Cluster Analysis for Social Scientists", Jossey-‐Bass Publishers.
Maskell,
Peter
dan
Leïla
Kebir,
"What
Qualifies
as
a
Cluster
Theory?",
2009
DRUID
Working
Paper
No.
05-‐09.
Nazara,
Suahasil,
2010,“Pemerataan
Antardaerah
Sebagai
Tantangan
Utama
Transformasi
Struktural
Pembangunan
Ekonomi
Indonesia
Masa
Depan”,
Pidato
pada
Upacara
Pengukuhan
Sebagai
Guru
Besar
Tetap
dalam
bidang
Ilmu
Ekonomi
pada
Fakultas
Ekonomi
UI,
Jakarta
10
Maret
2010.
Porter,
Michael
E.,
2000,
"Location,
Competition,
and
Economic
Development:
Local
Clusters
in
a
Global
Economy",
Economic
Development
Quarterly
14,
15-‐34.
Shah,
Anwar,
2004,
“Fiscal
Decentralization
in
Developing
and
Transition
Economies:
Progress,
Problems,
and
the
Promise”,
World
Bank
Policy
Research
Working
Paper
3282,
April
2004.
Syed
Abdul
Razak
B.
Sayed
Mahadi.“Perubahan
Struktur
Umur
Penduduk:
Impak
dan
Cabaran
Kepada
Pembangunan
Negara”,
Rancangan
Pengkajian
Kependudukan
Fakultas
Sastra
dan
Sains
Sosial.