Anda di halaman 1dari 14

PERKEMBANGAN RITEL DI INDONESIA

Bisnis Ritel secara umum adalah kegiatan usaha menjual aneka barang atau jasa untuk

konsumsi langsung atau tidak langsung. Dalam matarantai perdagangan bisnis ritel merupakan

bagian terakhir dari proses distribusi suatu barang atau jasa dan bersentuhan langsung dengan

konsumen. Secara umum ritel tidak membuat barang dan tidak menjual ke pengecer lain. Bisnis

Ritel di Indonesia sebenarnya terbagi menjadi dua, yaitu Ritel Tradisional dan Ritel Modern.

Namun seiring berjalannya waktu, ritel tradisional banyak ditinggalkan oleh para

konsumen. Sehingga peningkatan bisnis ritel modern di Indonesia melonjak tajam. Adapun

Perbedaan bisnis retail tradisional dengan retail modern adalah bisnis retail tradisional adalah

bisnis yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah daerah, Swasta, Badan Usaha

milik daerah termasuk kerja sama dengan swasta dengan tempat usaha berupa toko, kios dan

tenda yng dimiliki/dikelola oleh pedangan kecil, menengah, swadaya masyarakat atau koperasi

dengan usaha skala kecil, modal kecicl dengan proses jual beli barang dagangan melalui tawar

menawar. seperti pasar tradisional, toko kelontong dan lain-lain. sedangkan retail modern

berdasarkan definisi yang tertuang dalam keputusan presiden RI No. 112/Thn. 2007.

Di Indonesia, bisnis ritel merupakan salah satu sektor yang sangat prospektif. Menurut

survey Master Card, Indonesia merupakan Negara dengan pertumbuhan penjualan ritel tertinggi

setelah China. Terdapat empat fungsi utama ritel masih menurut Tjiptono, yaitu:

1.Membeli dan menyimpan barang

2.Memindahkan hak milik barang tersebut kepada konsumen akhir

3.Memberikan informasi mengenai sifat dasar dan pemakaian barang tersebut

4.Memberikan kredit kepada konsumen (dalam kasus tertentu)


Jika kita menilik sejarah ritel modern di indonesia sebenarnya sudah di mulai dari tahun 1960-an.

Pada saat itu sudah muncul department Store yang pertama yaitu SARINAH. Dalam kurun

waktu lebih dari 15 tahun kemudian, bisnis ritel di Indonesia bisa dikatakan berkembang dalam

level yang sangat rendah sekali. Hal ini bisa dikaitkan dengan kebijakan ekonomi Soeharto di

awal masa pemerintahan orde baru, yang lebih banyak membangun investasi di bidang

eksploitasi hasil alam (tambang & kayu), dibandingkan sektor usaha ritel barang dan jasa di

masyarakat.Awal tahun 1990-an merupakan titik awal perkembangan bisnis ritel di indonesia.

Ditandai dengan mulai beroperasinya salah satu perusahaan ritel besar dari Jepang yaitu

“SOGO”. Selanjutnya dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 99/1998, yang

menghapuskan larangan investor dari luar untuk masuk ke dalam bisnis ritel di indonesia,

perkembangannya menjadi semakin pesat. Bisnis Ritel adalah kegiatan/usaha menjual aneka

barang atau jasa untuk konsumsi langsung atau tidak langsung. Dalam matarantai perdagangan

bisnis ritel merupakan bagian terakhir dari proses distribusi suatu barang atau jasa dan

bersentuhan langsung dengan konsumen. Bisnis Retail sebenarnya adalah transformasi dari pasar

tradisional yang di bentuk dengan skala besar dan dilengkapi dengan perkembangan teknologi

serta teknik pemasaraan secara e-comerrce ini sangat berbanding terbalik dengan pasar

tradisional yang dikenal kumuh dsb.Bisnis Retail itu sangat berpengaruh untuk perkembangan

suatu daerah maupun nasional karena dapat dilihat dari sistemnya bisnis ini menyerap sangat

banyak tenaga kerja sehingga memperkecil angka pengangguran yang ada di Indonesia. Meski

tidak memungkiri bahwa bisnis ini dapat membunuh dengan mudah usaha kecil dsb.

Pada 2009 satu lagi ritel asing yaitu Grup Lotte dari Korea Selatan masuk ke Indonesia,

dengan mengakuisisi Makro yang sebelumnya dimiliki oleh SHV Holding dari Belanda senilai

US$ 223 juta. Setelah diakuisisi kini Makro berubah menjadi Lotte Mart. Grup Lotte
manjalankan bisnis ritel sejak 1979, mengoperasikan lebih dari 90 gerai di berbagai negara

diantaranya Cina, Rusia, Vietnam, dan India. Peta persaingan ritel semakin ketat, setelah 40%

saham Carrefour yang merupakan leader hypermarket diakuisisi oleh CT Corporation anak

perusahaan Grup Para dengan nilai sekitar US$ 350 juta pada 2010. Grup Para milik Chairul

Tanjung, seorang pengusaha lokal yang lebih dulu sudah menguasai bisnis televisi, perbankan,

asuransi, pembiayaan dan sebagainya.

Dalam lima tahun terakhir peningkatan omset ritel modern cukup pesat, hal ini juga

didukung oleh pertumbuhan jumlah ritel yang pesat yaitu mencapai 18.152 gerai pada 2011,

dibandingkan 10.365 gerai pada 2007. Menurut Asosiasi Perusahaan Ritel Indonesia (Aprindo)

pertumbuhan bisnis ritel di Indonesia antara 10-15% per tahun. Penjualan ritel pada 2006 masih

sebesar Rp 49 triliun, namun melesat hingga mencapai Rp 100 triliun pada 2010. Sedangkan

pada 2011 pertumbuhan ritel diperkirakan masih sama yaitu 10%-15% atau mencapai Rp 110

triliun, menyusul kondisi perekonomian dan daya beli masyarakat yang relatif bagus. Jumlah

pendapatan terbesar merupakan konstribusi dari hypermarket, kemudian disusul oleh minimarket

dan supermarket. Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 230 juta merupakan pasar potensial

bagi bisnis ritel modern. Dalam sepuluh tahun terakhir bisnis ritel modern dengan format

hypermarket, supermarket dan minimarket menjamur, menyusul maraknya pembangunan mall

atau pusat perbelanjaan di kota-kota besar. Peritel besar seperti hypermarket dan department

store menjadi anchor tenant yang dapat menarik minat pengunjung. Bahkan kini bisnis ritel

mulai merambah ke kota-kota kabupaten terutama jenis supermarket dan minimarket. Saat ini

bisnis ritel tumbuh pesat di pinggiran kota, mengingat lokasi permukiman banyak di daerah

tersebut. Dengan dibukanya pintu masuk bagi para peritel asing sebagaimana Keputusan

Presiden No. 118/2000 yang telah mengeluarkan bisnis ritel dari negative list bagi Penanaman
Modal Asing (PMA), maka sejak itu ritel asing mulai marak masuk ke Indonesia. Masuknya

ritel asing dalam bisnis ini, menunjukkan bisnis ini sangat menguntungkan. Namun di sisi lain,

masuknya hypermarket asing yang semakin ekspansif memperluas jaringan gerainya, dapat

menjadi ancaman bagi peritel lokal. Peritel asing tidak hanya membuka gerai di Jakarta saja,

misalnya Carrefour dalam lima tahun belakangan sudah merambah ke luar Jakarta termasuk ke

Yogyakarta, Surabaya, Palembang dan Makassar. Namun saat ini di wilayah DKI pemberian izin

minimarket diperketat karena sudah terlalu banyak. Keadaan ini mendorong peritel lokal yang

sudah lebih dulu menguasai pasar, misalnya Matahari Group yang sebelumnya kuat pada bisnis

department store, mengembangkan usahanya memasuki bisnis hypermarket. Demikian juga Hero

yang sebelumnya kuat dalam bisnis supermarket, akhirnya ikut bersaing dalam bisnis

hypermarket. Bahkan Hero mengubah sejumlah gerai supermarketnya menjadi format

hypermarket. Hingga saat ini, pangsa pasar modern mencapai 30%, sedangkan pasar tradisional

menguasai sekitar 70%. Hal ini menunjukkan peluang bisnis ritel (pasar modern) cukup

menjanjikan, setiap tahun selalu muncul dan berdiri gerai baru ritel di kota-kota besar. Saat ini

pengusah ritel mulai melebarkan sayap diluar pulau Jawa seperti Sumatra, Sulawesi, Kalimantan

dan Maluku. Sementara itu, peritel besar seperti Carrefour dan Giant memiliki pasar ritel lebih

luas dibandingkan competitor lain, sebab selain bermain di segmen hypermarket, kedua peritel

ini juga bersaing di segmen supermarket. Dengan membaiknya ekonomi Indonesia ditahun

mendatang diperkirakan akan semakin banyak peritel asing masuk ke Indoneisa, demikian juga

pemain lama menjadi semakin ekspansif menggarap setiap potensi pasar yang ada. Akibatnya

persaingan akan semakin ketat menyebabkan semua pemain berusaha keras menjalankan

berbagai strategi untuk mengalahkan persaingan yang kadang menjadi tidak fair lagi.
Struktur Bisnis Pasar Modern

Bisnis ritel telah menjadi bisnis global dan Indonesia tidak terhindarkan dari serbuan ritel

asing. Dengan kekuatan yang besar dari segi keuangan, manajemen, maupun jaringannya ritel

modern raksasa masuk ke Indonesia. Maka terjadi perubahan peta bisnis yang cukup signifikan

dalam lima terakhir akibat jatuh bangunnya bisnis ritel. Serbuan ritel modern di Indonesia bukan

kali ini terjadi, setiap dekade muncul format baru ritel modern yang menggeser ritel tradisional.

Ketika diawal tahun 1980’an supermarket mewah mulai menyerbu Jakarta, maka pasar

tradisionil seperti pasar Cikini, pasar Santa dan pasar lain yang melayani penduduk menengah

atas di pusat kota Jakarta mulai kehilangan pamor .Penyebaran supermarket yang gencar di awal

tahun 1990’an mulai mempersempit ruang gerak pasar dan ritel tradisionil. Pada waktu itu

diberbagai kawasan pemukiman di Jabotabek dan kota besar lainnya di P. Jawa supermarket

mulai menjamur.Memasuki pertengahan tahun 1990’an supermarket mulai mendapat saingan

dari hypermarket dengan munculnya Makro (sekarang bernama Lotte Mart). Format pasar

modern yang ditawarkan oleh Lotte Mart berbeda dengan supermarket terutama dari luas dan

produk yang ditawarkan,sedangkan dari segi pelayanan format hypermarket sangat berbeda

dengan supermarket karena pada Lotte Mart pelayanan dibuat seminim mungkin untuk mengejar

harga yang murah. Bersamaan dengan itu mulai berkembang supermarket skala kecil yaitu

format minimarket yang mampu bersaing dengan format supermarket. Kedua format pasar

modern ini sama-sama mempunyai jaringan yang kuat sehingga minimarket dapat menawarkan

harga yang bersaing dengan supermarket dan kenyaman yang sama bahkan minimarket bisa

berada lebih dekat dengan lokasi pelanggannya.Dari kelompok minimarket ini jaringan

Indomaret dan Alfa mulai merajai segmen pasar dari ritel bisnis ini. Hanya dalam waktu yang

relatif singkat jumlah gerai kedua jaringan minimart ini telah menggurita.
Namun serangan yang hebat terhadap keberadaan supermarket adalah ketika masuknya

format baru yaitu hypermarket yang dikembangkan oleh Carrefour dari Perancis. Dengan skala

gerainya yang jauh lebih besar, demikian juga pilihan item jauh lebih beraneka ragam, ditambah

dengan harga yang relatif lebih murah dari supermarket, maka posisi supermarket mulai tergeser.

Apalagi hypermarket tersebut berada dilokasi yang sangat strategis dipusat bisnis dan pusat

pemukiman kalangan menengah atas yang menjadi target pasar dari supermarket selama ini.

Akibat serangan dari format ritel seperti hypermarket dan minimarket, maka kelompok Hero

yang sebelumnya merajai bisnis supermarket mulai terdesak dan untuk bisa bertahan

menghadapi persaingan itu, kelompok ini mulai mengembangkan jaringan hypermarketnya

menggandeng jaringan ritel Giant Retail Sdn Bhd dari Malaysia. Menyadari Jakarta sudah padat

ditempati Carrefour maka Giant menempatkan pijakan awalnya di kota Surabaya dan di

Tangerang yang belum dimasuki hypermarket lainnya. Selain itu kelompok Hero juga

membangun jaringan minimarketnya melalui jaringan ritel Starmart. Tidak semua jaringan

supermarket mampu bertahan. Misalnya jaringan supermarket Tops milik jaringan ritel Aholds

dari Belgia yang banyak beroperasi di daerah Jawa Barat akhirnya diakuisi oleh kelompok

Hero.

Ritel modern memiliki banyak format yang berkembang sesuai dengan situasi pasar di

dalam negeri maupun sebagai dampak perubahan pasar di dunia. Format ritel modern ini masih

terus berkembang setiap saat masih selalu terjadi perubahan. Di Indonesia format ritel belum

diatur secara baku, atau kadang kala peraturan yang ada pun tidak mencerminkan keadaan bisnis

ritel yang ada. Secara umum format bisnis ritel yang saat ini berkembang pesat di Indonesia

adalah hypermarket, supermarket, minimarket atau convenience store , departemen store, dan

specialty store. Hypermarket, supermarket, dan minimarket pada dasarnya perkembangan dari
toko kelontong dan pasar tradisionil, sehingga kemudian ritel modern ini sering diberi istilah

pasar modern. Perbedaan untamanya terletak pada luas ruangan, range produk dan jasa yang

ditawarkan. Dalam tulisan ini yang dimaksud ritel modern dibatasi pada hypermarket,

Supermarket dan Minimarket.

Hypermarket

Hipermarket adalah bentuk pasar modern yang sangat besar, dalam segi luas tempat dan

barang-barang yang diperdagangkan. Selain tempatnya yang luas, hipermarket biasanya

memiliki lahan parkir yang luas. Konsep hypermarket ini pertama kali diperkenalkan oleh

carrefour dan kemudian berkembang dalam berbagai modifikasi. Dalam kategori ini juga

dimasukkan toko grosir seperti Makro yang mempunyai format yang hampir sama dengan

hipermarket yang lain namun target pasarnya bukan untuk perorangan tapi untuk pedagang dan

untuk kegiatan usaha seperti restoran, hotel, atau catering. Juga penjualannya dalam satuan yang

lebih besar.Hypermarket dapat dikategorikan dengan jumlah kasir per toko yang lebih dari 20

orang dan produk yang dijual sekurangnya 25.000 item temasuk kebutuhan sehari-hari, alat-alat

elektronik dan furnitur. Carrefour menyediakan 50.000 jenis produk di setiap gerainya, Giant

35.000-50.000 jenis produk. Tetapi Makro hanya menyediakan sekitar 15.000 jenis produk. Di

toko grosir seperti Makro, konsumen bisa mendapatkan harga lebih murah karena harus membeli

barang dalam jumlah lebih banyak, misaln¬ya untuk pembelian pasta gigi yang harga

persatuannya murah, namun mesti dibeli dalam jumlah minimal satu lusin. Karena itu konsumen

potensial gerai ritel grosiran tersebut adalah pemilik warung, toko kecil, hotel, restoran maupun

pengusaha katering.
Supermarket

Supermarket lebih dulu hadir dibandingkan Hypermarket dan dikenal sebagai bentuk

awal pasar modern. Supermarket berbeda dari pasar traditional diantaranya karena bersifat

swalayan.

Minimarket

Minimarket dikenal juga sebagai convenience store adalah perkembangan dari toko

kelontong yang menawarkan kenyamana dan jasa seperti supermarket tapi dalam skala yang

lebih kecil.

Perkembangan jumlah gerai

Dalam periode lima tahun terakhir dari 2007-2011 jumlah gerai usaha ritel di Indonesia

mengalami pertumbuhan rata-rata sekitar 17,57% per tahun. Pada 2007 jumlah usaha ritel di

Indonesia masih sebesar 10.365 gerai, kemudian pada 2011 diperkirakan akan mencapai 18.152

gerai yang tersebar di hampir seluruh kota-kota di Indonesia. Jumlah gerai hypermarket dari

hanya 99 pada 2007 meningkat menjadi 154 pada 2010. Sementara hingga akhir 2011

diperkirakan akan bertambah menjadi 167 gerai. Sedangkan pertumbuhan jumlah supermarket

relatif menurun. Jika pada 2007 tercatat 1.377 gerai maka pada 2010 mengalami penurunan

menjadi sekitar 1.230. Penurunan tersebut disebabkan beberapa supermarket terpaksa tutup

karena kelah bersaing dengan minimarket. Sementara sebagian gerai supermarket diubah

menjadi gerai hypermarket.

Kenaikan jumlah gerai ritel terutama dipicu oleh pertumbuhan gerai minimarket yang

fenomenal. Jika pada 2007 total gerai minimarket hanya 8.889 maka pada 2010 melonjak pesat
hingga mencapai sekitar 15.538 buah. Sedangkan pada 2011 diperkirakan akan meningkat

menjadi 16.720 gerai. Pertumbuhan bisnis minimarket ini didominasi oleh pertumbuhan outlet

Indomaret dan Alfamart, dengan frekuensi pertambahan jaringan relatif cepat dan penyebaran

yang cukup luas, baik melalui pola pengelolaan sendiri (reguler) maupun melalui sistem

waralaba (franchise).Terbanyak di Jakarta Sebagian besar pasar modern baik lokal maupun asing

masih terpusat di pulau Jawa, yang memiliki jumlah penduduk terbesar di Indonesia dan

merupakan pusat bisnis di Indonesia. Pada 2010 perkiraan jumlah gerai pasar modern di Jakarta

dan sekitarnya (Bogor, Tangerang, Bekasi, Depok) sekitar 38,1% (6.916 gerai), Jawa Barat

14,08% ( gerai), Jawa Timur 12,12% (2.556 gerai), Jawa Tengah 10,2% (1.852 gerai). Setelah

pulau Jawa, wilayah Sumatra menempati urutan kedua terbesar yaitu sekitar 8,2% (1.488 gerai).

Jakarta mendominasi jumlah gerai pasar modern untuk seluruh format. Dari total jumlah

hypermarket di Indonesia pada 2010 sebanyak 152 buah, diantaranya sekitar 44 buah atau 28%

ada di Jakarta, supermarket sekitar 21% dan minimarket sekitar 40% berada di Jakarta.Melihat

pertumbuhan ritel yang terus menggurita, dimana jumlah hypermarket dianggap sudah terlalu

banyak. Untuk membenahi keberadaan hypermarket yang kian marak di Jakarta, pada Juli 2006

Pemprov DKI telah merevisi Peraturan Daerah (Perda) No 2/2002 tentang perpasaran swasta.

Berdasarkan Perda No.2/2002, izin lokasi usaha ritel modern harus berjarak dari pasar

lingkungan yaitu peritel seluas 100 – 200 m2 harus berjatak 0,5 km, peritel seluas 1.000 – 2.000

m2 harus berjarak 1,5 km, peritel seluas 2.000 – 4.000 m2 harus berjarak 2 km dan peritel seluas

> 4.000 m2 harus berjarak 2,5 km. Sebagai salah satu alternatif solusi masalah zonasi bagi

pelaku pasar modern skala besar, maka kini hypermatket diharuskan berada dalam mall. Sebab

izin pendirian mall diberikan setelah memenuhi aturan jarak dengan pasar tradisional.
Sejauh ini, tampaknya izin lokasi ini tidak ditaati oleh sejumlah pemilik hypermarket. Hal

ini karena pengusaha masih menggunakan kekuatan modal, sehingga dapat mempengaruhi pihak

otoritas yang tidak tegas. Contohnya, Plaza Semanggi dengan Pasar Benhil berjarak kurang dari

2,5 kilometer. Bahkan Surat Keputusan Gubernur No 44 Tahun 2003 tentang Petunjuk

Pelaksanaan Perpasaran Swasta di DKI, dibatalkan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)

karena diprotes pengelola hypermarket. Untuk tahun ini Pemprov DKI hanya akan mengeluarkan

izin usaha ritel seluas > 5.000 m2 jika berada di gedung pusat perbelanjaan/mall. Pemprov tidak

akan memperpanjang izin ritel yang dikelola dalam gedung tersendiri (stand alone). Namun,

rencana Pemprov DKI yang melarang pembukaan toko ritel besar di gedung sendiri, mendapat

penolakan dari beberapa peritel besar seperti Carrefour dan Giant. Sebagai gambaran, dari

beberapa hypermarket yang berada di Jakarta hanya Makro yang seluruh outletnya menempati

gedung sendiri. Sedang Carrefour hanya memiliki 5 gerai yang stand alone dan Giant 3 gerai

saja. Sebagian besar gerai Carrefour, Giant dan Hypermart lainnya berada di dalam shopping

centre/mall sebagai anchor tenant.

Ritel asing semakin kuat

Kehadiran Carrefour sejak 1998 mengubah peta persaingan bisnis ritel di Indonesia.

Sebelum Carrefour, ritel asing yang masuk ke Indonesia adalah Walmart, Makro, dan Continent

yang akhirnya diambil alih Carrefour. Menyusul kemudian Dairy Farm International Giant Retail

Sdn Bhd dari Malaysia yang menggandeng PT.Hero Supermarket Tbk mendirikan hypermarket

Giant. Sebelumnya Hero Group sangat berpengalaman dan merajai bisnis supermarket di

Indonesia, melalui jaringan Hero supermarket. Suksesnya investor asing dengan format ritel

hypermart, mendorong peritel lokal seperti Matahari Group untuk ikut bersaing dalam bisnis

hypermarket, dengan membangun jaringan hypermarketnya yaitu Hypermart. Awalnya Matahari


Group sangat berpengalaman dan dikenal cukup berhasil dengan jaringan department store

Matahari yang memiliki gerai di banyak kota besar di Indonesia.

Pada 2009 Lotte Group dari Korea menyerbu Indonesia dengan langkah strategis yaitu

mengambil alih Makro yang awalnya dimiliki oleh SHV Holding NV asal Belanda. Untuk

akuisisi tersebut Lotte mengeluarkan dana sekitar US$ 223 juta. Lotte Group dirintis oleh Shin

Kyuk Ho pada 1973, kini memilki 45 anak usaha yang bergerak dalam bidang perhotelan,

makanan, distribusi, ritel, kimia, dan jasa konstruksi. Grup ini merambah bisnis ritel sejak 1979,

mengoperasikan lebih dari 90 gerai di berbagai negara, antara lain Cina, Rusia, Vietnam, dan

India. Lotte Group adalah grup bisnis kelima terbesar di Korea Selatan dengan total aset

mencapai 31 miliar Euro dan pendapatan bersih sebesar 23 miliar Euro pada 2007.Namun

demikian, dominasi asing mulai berkurang seiring dengan pengambilalihan Carrefour oleh Grup

Para pada akhir 2010. Para Group yang dikenal juga dengan CT Corporation milik Chairul

Tanjung, pengusaha pribumi mengakuisisi 40 persen saham PT Carrefour Indonesia. Saat ini

Trans Ritel menjadi pemegang saham tunggal terbesar, pemegang saham lainnya adalah

Carrefour SA (39%), Carrefour Nederland BV (9,5 persen), dan Onesia BV (11,5 persen).

Pembelian 40% saham tersebut sekitar US$350 juta, dimana CT Corporation mendapat pinjaman

dari Credit Suisse, Citibank, ING dan JP Morgan. pemegang saham lainnya adalah Carrefour SA

(39%), Carrefour Nederland BV (9,5 persen), dan Onesia BV (11,5 persen)

SEMAKINPESATNYALAJUPERKEMBANGANBISNIS-BISNISRITELMODERNDIINDONESIA

Informasi yang sudah diperoleh dari Data Consult (Business Research Studies Report),

dalam periode lima tahun terakhir (2014-2018) bahwa jumlah gerai-gerai jenis ritel modern di
Indonesia mengalami peningkatan pertumbuhan yang begitu pesat, hingga menembus sekitar

17,57% per tahunnya. Padahal sejak tahun 2014 lalu, jumlah pertumbuhan gerai-gerai di

Indonesia yang hanya sekitar kurang lebih adalah 10.365 gerai dan pada tahun 2018 ini, jumlah

dari gerai-gerai tersebut sudah mencapai sekitar 18.152 gerai yang banyak tersebar di seluruh

kota-kota besar di Indonesia.Selain itu, yang lebih mengejutkan lagi adalah diketahui bahwa

jumlah gerai-gerai dari salah satu raksasa ritel modern Indonesia, yaitu Hypermarket naik

menjadi lebih dari 50%, yakni dari hanya 99 gerai saja sekarang menjadi 154 gerai (2014-2018).

Agak berbeda dengan gerai hypermarket, pertumbuhan gerai ritel modern jenis supermarket

lebih cenderung malah semakin menurun, yaitu pada tahun 2014 lalu tercatat hanya sekitar 1.377

gerai yang turun menjadi sekitar 1.230 gerai (2018). Penurunan tersebut terjadi dan disebabkan

karena beberapa supermarket tersebut terpaksa harus tutup dan sepertinya mereka sudah benar-

benar kalah telak dalam bersaing dengan minimarket. Sementara sebagian besar dari gerai-gerai

supermarket banyak yang malah dirubah menjadi gerai jenis hypermarket. Kenaikan dari jumlah

gerai-gerai tersebut, terutamanya adalah dipicu karena pesatnya pertumbuhan dari gerai-gerai

ritel modern jenis minimarket, dengan pemain utamanya adalah dari Alfamart dan Indomaret.

Jika pada tahun 2014 silam, total dari gerai-gerai minimarket hanya sekitar 8.889, maka pada

tahun 2017 lalu, malah semakin melonjak naik hingga mencapai sekitar kurang lebih 15.538

gerai.

Dua pemain utama dari bisnis minimarket tersebut menjadi semakin agresif dan

mempercepat penambahan serta penyebaran dari outlet-outletnya, baik itu adalah melalui

pengelolaan sendiri atau dengan cara menggunakan sistem waralaba (franchise). Perkembangan

dari gerai minimarket yang memang lebih cenderung sangat cepat. Bayangkan saja jika jumlah
gerai-gerai dari Alfamart dan Indomaret saja untuk saat ini sudah mencapai sekitar kurang lebih

adalah 13.000 gerai, belum lagi terhitung untuk jenis gerai-gerai dari minimarket lokal lainnya.

Beberapa tahun belakangan ini muncul fenomena convenience store (toserba/toko serba

ada). Meskipun di Indonesia sendiri juga masih belum ada peraturan tentang pendirian dari

convenience store, namun menurut lembaga riset Nielsen Indonesia yang telah dikutip dari situs

Berita Bisnis, jumlah total dari convenience store di Indonesia dua tahun silam (toko ritel yang

hanya lebih berfokus untuk menjual produk fast moving non sembako dan memiliki konsep gerai

seperti halnya lokasi hangout) minimal adalah telah mencapai 450 gerai.

Bisnis ritel yang sebenarnya adalah jenis usaha dengan tingkat keuntungan yang tidak

terlalu tinggi, yaitu net income dari bisnis ritel itu sendiri hanya sekitar 1,5%-2%, namun juga

jenis bisnis seperti ini juga memiliki tingkat likuiditas yang lebih tinggi daripada yang lainnya,

karena penjualannya kepada para konsumen yang selama ini lebih banyak dilakukan secara

tunai, sementara untuk pembayaran kepada pemasok biasanya dapat dilakukan secara bertahap

(kredit).

Ritel Modern Menjadi Alternatif Pilihan Lain Bagi Konsumen

Sampai saat ini ritel tradisional masih menguasai pasar sekitar 60%, dan hal seperti ini

menunjukkan bahwa peluang untuk bisnis ritel modern terbilang masih cukup menjanjikan.

Selalu akan muncul dan banyak berdiri gerai-gerai baru dari ritel modern di seluruh Indonesia,

karena para pengusaha ritel juga semakin gencar dalam melebarkan jaringannya sampai ke

berbagai daerah-daerah di Indonesia, bahkan untuk yang paling pelosok sekalipun. Dengan

semakin membaiknya perekonomian di Indonesia, maka akan menjadi semakin membaik pula

tingkat daya beli dan konsumsi masyarakat di Indonesia, dan untuk hal seperti ini juga akan
semakin mengubah gaya hidup masyarakat sekitar. Masyarakat yang selalu menginginkan

adanya tempat untuk berbelanja yang lebih nyaman, aman, dan bersih dengan berbagai pilihan

produk-produk yang berkualitas baik. Sangat memungkinkan bahwa jenis bisnis ritel-ritel

tradisional akan menjadi semakin tergerus dengan keberadaan dari ritel-ritel modern yang terus

meningkat tersebut jika sama sekali tidak ada perubahaan inovasi yang dilakukan terhadap ritel

tradisional. Sedangkan untuk kriteria dari jenis-jenis produk pangan yang telah dipilih oleh para

konsumen, mereka lebih cenderung tidak hanya mencari produk-produk yang berkualitas saja,

namun juga yang lebih bergizi, juga harus bermanfaat untuk kesehatan tubuh, karena itu, para

pengusaha ritel juga harus benar-benar menyeleksi barang yang akan masuk, harus lebih teliti

terhadap para produsen. Dan tidak hanya sekedar menyediakan produk pangan yang enak saja,

namun juga cukup aman dan bergizi jika dikonsumsi oleh para konsumen.

Anda mungkin juga menyukai