Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena atas berkat dan
rahmat-Nya sehingga segala sesuatu yang berkaitan dengan penyusunan tulisan ini
dapat terlaksana. Tak lupa pula penulis haturkan salawat dan salam pada junjungan
Nabi Muhammad SAW. yang terlah membimbing manusia dari alam kegelapan
Berbagai kesulitan dan hambatan penulis temui, namun atas bantuan dan
Penulis
1
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................ i
KATA PENGANTAR................................................................................. ii
DAFTAR ISI .............................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………….. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………..……………………………..
A. DENGUE HEMORAGIC FEVER………….…………… 16
B. IMUNOMODULATOR…………………………………. 42
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
3
BAB I
PENDAHULUAN
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu contoh dari Arthropoda
borne diseases yang merupakan penyakit pada manusia ditularkan oleh vektor berupa
serangga (Arthropoda). Di Indonesia, penyakit-penyakit yang ditularkan melalui
serangga merupakan penyakit endemis pada daerah tertentu. Penyakit yang
diperantarai oleh vektor serangga menyebabkan kematian sekitar 1,5 juta manusia
setiap tahunnya. Selain menyebabkan mortalitas juga morbiditas, akibat infeksi
penyakit tersebut menyebabkan kerugian ekonomi yang besar terutama pada negara-
negara berkembang4.
Berbagai macam teknologi vaksin telah diterapkan untuk pengembangan vaksin
melawan demam berdarah, termasuk virus hidup yang dilemahkan (LAV), pemurnian
virus inaktif (PIV), vaksin DNA rekombinan. Pengembangan vaksin setelah tahun
1971 antara lain adalah mengembangkan vaksin gabungan terhadap semua 4 serotipe
DV yang disebut dengan Tetravalen Dengue Vaccine (TDV). TDV dikembangkan
dengan cara membuat vaksin hidup dari keempat serotipe virus dengue (Live
Attenuated Tetravalent Dengue Vaccine), yang telah dilakukan di Thailand. Namun
ada kendala dalam pengembangan TDV yaitu kesulitan dalam melemahkan secara
optimal empat serotipe DENV4.
Dari berbagai macam vaksin tersebut di atas nampak bahwa semua pendekatan
masih dalam tahap pengembangan dan sampai saat ini dilaporkan belum ada vaksin
berlisensi atau obat untuk pencegahan penyakit DBD, satu-satunya metode pada saat
ini yang digunakan adalah dengan mengendalikan vektor Aedes aegypti dan Ae
albopictus. Ekstrak kelenjar saliva Ae. aegypti yang berfungsi sebagai faktor
imunomodulator. Oleh karena itu perlu dilakukan pendekatan baru dalam
pengembangan vaksin melawan DBD yang lebih inovatif dan juga berperan dalam
4
menghambat transmisi patogen penyebab penyakit DBD sehingga menanggulangi
epideminya yaitu dengan pengembangan Transmission-Blocking Vaccine (TBV)4.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Epidemiologi
Awal mula penyakit demam berdarah berasal dari Mesir yang kemudian
menyebar keseluruh dunia. Nyamuk hidup dengan subur di belahan dunia yang
mempunyai iklim tropis dan subtropik seperti Asia, Afrika, Australia dan
Amerika. Di Indonesia kasus demam berdarah pertama kali dilaporkan di
Jakarta dan Surabaya pada tahun 1968. Tahun-tahun selanjutnya kasus demam
berdarah berfluktuasi dan jumlahnya setiap tahun dan cenderung meningkat.5
6
provinsi dan kabupaten/kota yang endemis DBD, dari 2 provinsi dan 2 kota,
menjadi 32 (97%) dan 382 (77%) kabupaten/kota pada tahun 2009. Provinsi
Maluku, dari tahun 2002 sampai tahun 2009 tidak ada laporan kasus DBD.
Selain itu terjadi juga peningkatan jumlah kasus DBD, pada tahun 1968 hanya
58 kasus menjadi 158.912 kasus pada tahun 2009.3 Di Sulawesi, khususnya
sulawesi selatan, insidensi demam berdarah sebesar 44,71 % dan jumlah
penderita sebanyak 3411 jiwa.4
2.3 Etiologi
1 Virus
Virus Dengue terdiri atas untaian tunggal RNA termasuk dalam
keluarga Flaviviridae. Virus dengue mempunyai diameter envelope 40-60
nm. Ditemukan pertama kali oleh Albert Sabin tahun 1944, ada 4 macam
serotipe yang diklasifikasikan menurut kriteria biologis dan imunologis.
Panjang genom virus sekitar 11kb. Virion dewasa terdiri atas 3 struktural
(inti, premembran, dan envelop) dan 7 protein non-struktural, yaitu NS1,
NS2a, NS2b, NS3, NS4a, NS4b, dan NS5. Protein envelop diperlukan untuk
berbagai fungsi biologis utama bagi virus, yaitu berikatan dengan reseptor di
permukaan sel inang, sehingga memungkinkan virus masuk sel target. 5
7
2 Vektor
Aedes aegypti dan nyamuk lainnya memiliki siklus hidup yang
kompleks dengan perubahan dramatis dalam bentuk, fungsi , dan habitat .
Nyamuk betina bertelur di dalam, dinding basah wadah dengan air. Larva
menetas saat air menggenangi telur sebagai akibat dari hujan atau
penambahan air oleh orang-orang. Pada hari-hari berikutnya, larva akan
memakan mikroorganisme dan bahan organik partikulat , mencurahkan kulit
mereka tiga kali untuk dapat tumbuh dari awal sampai instar keempat.
Ketika larva telah memperoleh cukup energi dan ukuran dan dalam instar
keempat , metamorfosis dipicu , mengubah larva menjadi pupa. Pupa tidak
makan ; mereka hanya mengubah dalam bentuk sampai tubuh orang dewasa.
Kemudian, orang dewasa yang baru terbentuk muncul dari air setelah
melanggar kulit kepompong. Seluruh siklus hidup berlangsung 8-10 hari
pada suhu kamar, tergantung pada tingkat makan . Dengan demikian , ada
fase air ( larva , pupa ) dan fase terestrial ( telur , dewasa ) di siklus hidup
Aedes aegypti.6
8
Aedes aegypti memiliki tubuh yang kecil, berwarna gelap dengan
garis punggung putih.nyamuk lebih memilih untuk menggigit dalam
ruangan dan terutama menggigit manusia. Nyamuk ini dapat menggunakan
lokasi alami atau habitat (misalnya lubang di pohon) dan wadah buatan
dengan air untuk bertelur . Mereka bertelur di siang hari dalam air yang
mengandung bahan organik (misalnya, daun membusuk, ganggang, dll)
dalam wadah bermulut lebar dan lebih memilih wadah berwarna gelap yang
terletak di tempat teduh. Sekitar tiga hari setelah menghisap darah, nyamuk
meletakkan telur-telurnya di dalam wadah . Telur diletakkan selama
beberapa hari, tahan terhadap pengeringan dan dapat bertahan untuk periode
enam bulan atau lebih. Ketika hujan, telur banjir dengan air, larva
kemudian menetas. Umumnya larva makan organisme air kecil, ganggang
dan partikel tanaman dan hewan dalam wadah berisi air. Siklus di air (telur
hingga dewasa) dapat terjadi dalam waktu 7-8 hari . Rentang hidup untuk
nyamuk dewasa adalah sekitar tiga minggu. Tempat produksi telur berada di
dalam atau di dekat rumah. Aedes aegypti tidak dapat hidup dalam tahap
telur di iklim dingin.7
Habitat Aedes aegypti sangat umum di daerah yang kekurangan
sistem air perpipaan, dan sangat tergantung pada wadah penyimpanan air
untuk bertelur. Nyamuk Dewasa pria dan wanita memakan nektar tanaman;
Namun, nyamuk betina membutuhkan darah untuk menghasilkan telur, dan
aktif di siang hari. Telur memiliki kemampuan untuk bertahan dalam jangka
waktu yang lama , memungkinkan telur untuk dapat dengan mudah
menyebar ke lokasi baru. Wadah penyimpanan air, pot bunga, ban bekas,
piring di bawah pot tanaman, ember, kaleng bekas, air mancur hias, drum,
mangkuk air untuk hewan peliharaan yang berada di dalam atau dekat
dengan tempat di mana manusia hidup adalah habitat ideal untuk larva
nyamuk ini.7
9
Perilaku Menggigit Aedes aegypti menggigit terutama pada siang
hari . Jenis ini paling aktif selama kurang lebih dua jam setelah matahari
terbit dan beberapa jam sebelum matahari terbenam , tetapi dapat menggigit
pada malam hari di daerah baik menyala. Nyamuk ini bisa menggigit orang
tanpa diketahui karena mendekati dari belakang dan gigitan pada
pergelangan kaki dan siku. Aedes aegypti lebih suka menggigit orang tetapi
juga gigitan anjing dan hewan domestik lainnya, sebagian besar mamalia.
Hanya betina menggigit untuk mendapatkan darah untuk bertelur.7
Aedes albopictus - juga disebut nyamuk macan Asia - adalah nyamuk
yang dapat menularkan virus yang menyebabkan demam berdarah. Nyamuk
betina bertelur dalam wadah penampungan air di sekitar atau lebih jauh dari
rumah , lubang pohon dan ruas bambu. Spesies ini dapat bertahan hidup
sepanjang tahun di iklim tropis dan subtropis. Aedes albopictus mempunyai
badan yang kecil , nyamuk gelap dengan garis punggung putih. Nyamuk
menggigit manusia, tapi juga kucing, anjing , tupai , rusa dan mamalia
lainnya, serta burung.8
10
2.4 Patogenesis
11
virus dengue tipe yang berbeda.Re-infeksi menyebabkan reaksi anamnestik
yang tinggi sehingga mengakibatkan konsentrasi kompleks imun yang tinggi.
Kurane dan Enis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead dan peneliti
lain; menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag
yang memfagositosis kompleks virus-antibody non netralisasi sehingga virus
bereplikasi dalam makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue
mengakibatkan aktivasi sel T helper dan T sitotoksik sehingga diproduksi
limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit
sehingga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-a, IL-1, PAF
(platelet activating factor), IL-6 dan histamin yang mengakibatkan terjadinya
disfungsi endotel dan terjadi kebocoran plasma.1
Penyakit ini ditularkan orang yang dalam darahnya terdapat virus
Dengue. Orang ini biasanya menunjukan gejala sakit tetapi juga tidak sakit
yaitu jika mempunyai kekebalan yang cukup terhadap virus Dengue. Jika orang
digigit nyamuk Ae. aegypti maka virus akan masuk bersama darah yang
dihisapnya. Di dalam tubuh nyamuk itu, virus Dengue akan berkembang biak
dengan cara membelah diri dan menyebar di seluruh bagian tubuh nyamuk.
Dalam waktu satu minggu jumlahnya dapat mencapai puluhan atau bahkan
ratusan ribu sehingga siap untuk ditularkan atau dipindahkan kepada orang lain.
Selanjutnya pada waktu nyamuk menggigit orang lain, maka setelah alat tusuk
nyamuk (proboscis) menemukan kapiler darah, sebelum darah orang tersebut
dihisap terlebih dahulu dikeluarkan air liur dari kelenjar air liur nyamuk agar
darah yang dihisap tidak membeku.5
Bersama dengan air liur nyamuk Ae. aegypti yang membawa virus
Dengue itu akan terserang penyakit demam berdarah, orang yang mempunyai
kekebalan yang cukup terhadap virus Dengue, tidak akan terserang penyakit ini,
meskipun di dalam darahnya terdapat virus tersebut. Sebaliknya pada orang
yang tidak mempunyai kekebalan yang cukup terhadap virus Dengue, dia akan
12
sakit demam ringan bahkan sakit berat yaitu demam tinggi disertai perdarahan
bahkan syok, tergantung dari tingkat kekebalan tubuh yang dimilikinya.5
Masa inkubasi 3-15 hari (rerata 7-10 hari). Begitu memasuki tubuh, virus
Dengue ikut dalam sirkulasi sistemik dan berusaha menemukan sel target.
Makrofag merupakan sel target utama infeksi virus Dengue. Sebelum mencapai
makrofag, virus Dengue akan dihadang oleh respons imun. Berbagai komponen
imunitas non spesifik terlibat antara lain fagosit, sel NK, dan sistem komplemen
akan berusaha untuk menahan intervensi virus Dengue. Masuknya virus Dengue
akan direspons melalui mekanisme pertahanan nonspesifik dan spesifik. Pada
sistem imun nonspesifik akan melibatkan pertahanan humoral dan seluler.
Imuntas spesifik melalui respons limfosit timbul lebih lambat.5
13
Pelepasan asam arakhidonat memicu biosintesis eicosanoids, terjadi produksi
dan sekresi mediator sekunder yang antara lain adalah prostasiklin,
prostaglandin E2, tromboksan A2, leukotrien. Berbagai mediator ini
berpengaruh dalam mempercepat pelebaran celah endotel. Interleukin 1b dan
interleukin-6 menyebabkan disfungsi endotel, tnf-α menyebabkan destruksi
endotel. Dengan demikian pengaruh komplemen, sitokin dan mediator sekunder
tersebut membuka peluang terjadi perpindahan plasma yang berlangsung hebat.
10
Mekanisme perdarahan
14
menjadi berkurang yang dapat mengakibatkan terjadinya syok hipovolemik dan
kegagalan sirkulasi. Kadar hemoglobin pada hari-hari pertama biasanya normal
atau sedikit menurun. Tetapi kemudian kadarnya akan naik mengikuti
peningkatan hemokonsentrasi dan merupakan kelainan hematologi paling awal
yang dapat ditemukan pada DBD.5
Vaskulopati
15
1 Fase Demam (Febris)
Pasien biasanya demam tinggi secara tiba-tiba. Pada fase demam akut
ini, biasanya berlangsung dari 2-7 hari dan kompensasinya sering terjadi
nyeri sendi, eritema, seluruh badan terasa sakit, myalgia, athralgia dan nyeri
kepala. Anoreksia, nausea, dan muntah sering terjadi. Tes tourniquet positif.
Manifestasi dari perdarahan seperti petekie dan perdarahan membran
mukusa (seperti epistaksis, perdarahan gusi). Perdarahan vagina yang massif
(pada wanita usia subur), namun perdarahan gastroinstestinal jarang terjadi.
Hepatomegali sering timbul setelah beberapa hari setelah terjadi demam.
Terjadi penurunan jumlah sel darah putih yang harus diwaspadai untuk
tingginya kemungkinan terjadinya DBD. 12
2 Fase Kritis
16
Gambar 3 : Tes tourniquet positif (petekie)
(Dikutip dari kepustakaan 11 )
17
3 Fase Pemulihan
Jika pasien membaik pada 24-48 jam setelah fase kritis, reabsorpsi
berangsur-angsur terjadi akibat dari cairan kompartemen ektraseluler pada
48-72 jam. Kondisi umum mengalami perbaikan, nafsu makan membaik,
gangguan gastroinstestinal membaik, dan status hemodinamik stabil.
Beberapa pasien mengalami rash dengue dan adanya prurutis.12
Demam berdarah berat didefinisikan oleh satu atau lebih hal berikut:
(1) Kebocoran plasma yang dapat menyebabkan shock dan/ atau kelebihan
18
cairan dengan atau tidak adanya distress pernafasan dan/ atau (2)perdarahan
berat, dan /atau (3) kerusakan organ. 12
19
2.6 Pemeriksaan Penunjang
Temuan laboratorium selama DF episode akut penyakit adalah sebagai berikut:
20
2.7 Diagnosis
Dengue viremia pada pasien pendek , biasanya terjadi 2-3 hari sebelum
timbulnya demam dan berlangsung selama empat sampai tujuh hari penyakit .
Selama periode ini virus dengue , asam nukleat dan beredar antigen virus dapat
dideteksi.5
a. Demam: onset akut, tinggi dan terus menerus, berlangsung dua sampai
tujuh hari dalam banyak kasus.
21
b. Salah satu manifestasi perdarahan berikut termasuk tourniquet positif
test (yang paling umum), petechiae, purpura (di lokasi venepuncture),
ecchymosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan / atau melena.
c. Pembesaran hati (hepatomegali) diamati pada beberapa tahap dari
penyakit pada 90% -98% dari anak-anak.
d. Syok, dimanifestasikan oleh takikardia, perfusi jaringan yang buruk
dengan denyut nadi lemah dan tekanan nadi menyempit (20 mmHg atau
kurang) atau hipotensi dengan kehadiran dingin, kulit lembab dan dingin
dan / atau kegelisahan.
Temuan Laboratorium:2
22
kebocoran plasma kebocoran plasma
DHF Demam dan Tromobositopenia
(dengue manifestasi perdarahan <100000/mm3,
haemorr I (tes tourniquet +) dan hematokrit meningkat ≥
hagic bukti kebocoran plasma 20%
fever)
DHF Grade 1 + perdarahan Tromobositopenia
(dengue spontan <100000/mm3,
haemorr II hematokrit meningkat ≥
hagic 20%
fever)
DHF Grade 2 + tanda Tromobositopenia
(dengue kegagalan sirkulasi <100000/mm3,
haemorr III (kulit dingin dan hematokrit meningkat ≥
hagic lembab serta gelisah) 20%
fever)
DHF Syok berat disertai Tromobositopenia
(dengue dengan tekanan darah <100000/mm3,
haemorr IV dan nadi yang tidak hematokrit meningkat ≥
hagic terukur 20%
fever)
23
2 Demam chikungunya (DC)
Serangan demam mendadak, masa demam lebih pendek, suhu lebih tinggi,
hampir selalu disertai ruam makulo papular, injeksi konjungtiva, lebih
sering dijumpai nyeri sendi, biasanya menyerang seluruh anggota keluarga
dan penularannya mirip influenza. Tidak ditemukan adanya perdarahan
gastrointestinal dan syok.
3 Perdarahan juga terjadi pada penyakit infeksi seperti sepsis dan meningitis
meningokokus.
Pada sepsis pasien tampak sakit berat dari semula, demam naik turun,
ditemukan tanda-tanda infeksi, leukositosis disertai dominasi sel
polimormonuklear. Pada meningitis meningokokus jelas terdapat gejala
rangsang meningeal dan kelainan pada pemeriksaan cairan serebro spinalis.
4 ITP dengan DBD derajat II
Pada ITP demam cepat menghilang (atau bisa tanpa demam), tidak ada
leukopenia, tidak ada hemokonsentrasi, tidak dijumpai pergeseran ke kanan
pada hitung jenis. Pada fase konvalesen DBD jumlah trombosit lebih cepat
kembali ke normal dari pada ITP.
5 Perdarahan dapat juga terjadi pada leukemia atau anemia aplastik.
Pada leukemia demam tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba, anak sangat
anemis, dan apusdarah tepi/sumsum tulang menunjukkan peningkatan sel
blast. Pada anemia aplastik anak sangat anemik, demam timbul karena
infeksi sekunder, dan pansitopenia
2.9 Penatalaksanaan
Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis.
Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat
kebocoranplasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana
diperlukan. Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan
adalah pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris. Proses kebocoran
24
plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke 4
hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma
akan berkurang dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular.
Terapi cairan pada kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain
pemantauan untuk menilai apakah pemberian cairan sudah cukup atau kurang,
pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya
efusi pleura ataupun asites yang masif perlu selalu diwaspadai.13 14
Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada
trombositopenia yang berat)dan pemberian makanan dengan kandungan gizi
yang cukup, lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi
saluran cerna. Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa
parasetamol, serta obat simptomatis untuk mengatasi keluhan dispepsia.
Pemberian aspirin ataupun obatanti inflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari
karena berisiko terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagian atas
(lambung/duodenum).15
25
Gambar
5 : Tatalaksana DBD dewasa
tanpa syok dan tanpa perdarahan
(Dikutip dari kepustakaan 15)
26
Gambar 6 : Tatalaksana DBD dewasa
dengan perdarahan tanpa syok
(Dikutip dari kepustakaan 15)
27
Gambar 7 : Tatalaksana DBD dewasa
dengan syok tanpa perdarahan
(Dikutip dari kepustakaan 15)
28
Gambar 8 : Tatalaksana DBD dewasa
dengan syok dan perdarahan masif
(Dikutip dari kepustakaan 15)
29
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan
khususnya pada penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama adalah jenis
cairan dan kedua adalah jumlah serta kecepatan cairan yang akan diberikan.
Karena tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan cairan di ruang
intravaskular,pada dasarnya baik kristaloid(ringer laktat, ringer asetat,cairan
salin) maupun koloid dapat diberikan. WHO menganjurkan terapi kristaloid
sebagai cairan standar pada terapi DBD karena dibandingkan dengan koloid,
kristaloid lebih mudah didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang ideal yang
sebenarnya dibutuhkan dalam penatalaksanaan antaralain memiliki sifat
bertahan lama di intravaskular, amandan relatif mudah diekskresi,tidak
mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan memiliki efek alergi yang minimal. 15
30
lama di ruang intravaskular. Dengan kelebihan ini, diharapkan koloid
memberikan oksigenasi jaringan lebih baik dan hemodinamik terjaga lebih
stabil. Beberapa kekurangan yang mungkin didapatkandengan penggunaan
koloid yakni risiko anafilaksis, koagulopati, danbiaya yang lebih besar. Namun
beberapa jenis koloid terbukti memiliki efek samping koagulopati dan alergi
yang rendah (contoh: hetastarch). 15
31
mana terapi cairan telah diberikan secara adekuat, namun kondisi hemodinamik
belum stabil, pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit perlu dilakukan
untuk menilai kemungkinan terjadinya perdarahan internal.13 14
Tanda-tanda perbaikan.2
2.10 Komplikasi
Ada beberapa komplikasi yang dapat terjadi, yakni: 13 14
1. Ensefalopati Dengue
Umumnya terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan dengan
perdarahan tetapi dapat jugaterjadi pada DBD tanpa syok. Didapatkan
kesadaran pasien menurun menjadi apatis/somnolen, dapatdisertai kejang.
Penyebabnya berupa edema otak perdarahan kapiler serebral, kelainan
metabolic, dan disfungsi hati. Tatalaksana dengan pemberian NaCl 0,9
%:D5=1:3 untuk mengurangi alkalosis, dexametason 0,5 mg/kgBB/x tiap 8
jam untuk mengurangi edema otak (kontraindikasi bila ada perdarahan
sal.cerna), vitamin K iv 3-10 mg selama 3 hari bila ada disfungsi hati, GDS
diusahakan >60 mg, bila perlu berikan diuretik untuk mengurangi jumlah
cairan, neomisin dan laktulosa untuk mengurangi produksi amoniak.
2. Kelainan Ginjal
32
Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal sebagai akibat
dari syok yang tidak teratasidengan baik. Diuresis merupakan parameter
yang penting dan mudah dikerjakan untuk mengetahui apakah syok telah
teratasi. Dieresis diusahakan > 1 ml/kg BB/jam.
3. Dengue Shock Syndrome
Sindrom syok adalah tingkat infeksi virus dengue yang terparah, karena
disertai dengan kebocoran cairan di luar pembuluh darah, pendarahan parah
dan syok, biasanya setelah 2-7hari demam. Tubuh yang dingin, sulit tidur,
dan sakit di bagian perut adalah tanda-tanda awal yang umum sebelum
terjadinya syok. Sindrom syok terjadi biasanya pada anak-anak (kadang kala
terjadi pada orang dewasa) yang mengalami infeksi dengue untuk kedua
kalinya. Hal ini umumnya sangat fatal dan dapat berakibat pada kematian,
terutama pada anak-anak, bila tidak ditangani dengan tepat dan cepat.
Durasi syok itu sendiri sangat cepat. Pasien dapat meninggal pada kurun
waktu 12-24 jam setelah syok terjadi atau dapat sembuh dengan cepat bila
usaha terapi untuk mengembalikan cairan tubuh dilakukan dengan tepat.
4. Edema Paru
Edema paru adalah komplikasi akibat pemberian cairan yang berlebih
(overload cairan).Semua terapi cairan harus dihentikan .Pada tahap awal
overload cairan , beralih dari kristaloid koloid solusi sebagai cairan bolus.
Dekstran 40 efektif sebagai 10 ml / kg infus bolus, tetapi dosisnya dibatasi
untuk 30 ml / kg / hari karena efek pada ginjal. Dekstran 40 diekskresikan
dalam urin dan akan mempengaruhi osmolaritas urine. Pada tahap akhir
overload cairan atau mereka dengan edema paru, furosemide mungkin
diberikan jika pasien memiliki tanda-tanda vital stabil. Jika syok, cairan
10ml / kg / jam koloid (dekstran) harus diberikan. Ketika tekanan darah
stabil, biasanya dalam waktu 10 sampai 30 menit, injeksi IV furosemide 1
mg / kg / dosis dan lanjutkan dengan infus dekstran sampai selesai. Cairan
33
intravena harus dikurangi menjadi serendah 1 ml / kg / jam sampai
penghentian ketika hematokrit menurun dan tanda vital membaik.
34
2.1 Indikasi Imunosupresan
Eritroblastosis fetalis terjadi bila seorang ibu rhesus negatif mengandung bayi
rhesus positif. Darah bayi mengandung antigen D dapat masuk ke sirkulasi ibu
waktu persalinan atau bila ada resiko solution plasenta atau kehamilan
ektopik. Proses ini akan menyebabkan ibu membentuk antibody terhadap
terhadap eritrosit Rh (+). Pada kehamilan selanjutnya, antibody terhadap
Rh(+) akan semakin meningkat dengan resiko transfer antibody ke sirkulasi
janin terutama pada trimester akhir dan menyebabkan hemolysis pada janin
(eritroblastosis fetalis). Untuk pencegahan eritroblastosis fetalis, antibody Rh
(D) diberikan pada ibu Rh(-) dalam waktu 72 jam setelah melahirkan.
35
pencegahan reaksi hemolysis Rhesus. Berbagai penyakit autoimun seperti ITP
(Idiophatic Thrombocytopenic Purpura), anemia hemolitik autoimun, dan
glomerulonephritis akut, umumnya memberi respons cukup baik terhadap
pemberian prednisone saja. Untuk kasus berat diperlukan penambahan obat
sitotoksik.
36
4. Antibody: antibody monoclonal dan poliklonal untuk mencegah
penolakan transplantasi pada berbagai penyakit autoimun.
2.4 Indikasi Imunostimulan
Imunostimulan ditujukan untuk perbaikan fungsi imun pada kondisi-
kondisi imunosupresi. Kelompok obat ini dapat mempengaruhi respon
imun seluler maupun humoral. Kelemahan obat ini adalah efeknya yang
menyeluruh dan tidak bersifat spesifik untuk satu jenis sel atau antibody
tertentu.
2.5 Jenis Imunostimulan
1. Adjuvant natural: seperti BCG, isoprinosin, levamisole, talidomid
2. Sitokin: merupakan kelompok protein yang diproduksi oleh leukosit
dan sel-sel yang berikatan, dan memiliki peranan khusus dalam system
imun dan hematopoiesis.
2.6 Peran Imunomodulator terhadap Virus Dengue
TBV adalah vaksin yang menghambat penyebaran penyakit dengan target
antigen berasal dari tubuh vektor (artropoda), salah satunya dari saliva
nyamuk. Tujuan dari TBV adalah mencegah transmisi patogen dari inang
vertebrata yang terinfeksi ke inang yang belum terinfeksi. TBV banyak
digunakan untuk membangkitkan antibodi guna melawan molekul vektor
yang terlibat dalam perkembangan patogen. Pengembangan TBV yang
merupakan vaksin berbasis vektor tidak hanya pendekatan baru untuk
pengendalian penyakit tetapi juga merupakan pendekatan yang lebih
disukai. Vaksin berbasis vektor tidak hanya akan melindungi terhadap
pathogen yang ditularkan oleh vektor tetapi juga terhadap orang lain yang
belum terinfeksi. Perkembangan penelitian yang terbaru menunjukkan
bahwa saliva nyamuk dan arthropoda lain mengandung bahan yang
bersifat imunogenik yaitu dapat memunculkan respon imun adaptif yang
menghasilkan antibodi melawan komponen saliva. Dengan alasan tersebut
37
maka komponen saliva dapat dijadikan target dalam pengembangan TBV
untuk menghambat transmisi patogen.
Saliva vektor arthropoda sukses dalam mentransmisikan patogen ke inang
karena didalam saliva tersebut mengandung sejumlah komponen
vasodilator dan imunomodulator yang mempunyai aktivitas sebagai
antikoagulan, vasodilatasi, anti inflamasi dan bersifat imunosupresif. Jika
salivary gland vektor arthropoda yang mengandung factor
imunomodulator dapat meningkatkan infeksi pathogen, maka
memungkinkan untuk melakukan pengontrolan transmisi tersebut dengan
cara melakukan vaksinasi terhadap host dengan molekul yang bersifat
melawan protein dalam salivary gland. Penelitian terhadap potensi saliva
gland Aedes aegypti sebagai kandidat target dalam pengembangan TBV
melawan DBD merupakan langkah yang sangat penting untuk mencegah
sekaligus menanggulangi kasus DBD khususnya di Indonesia.
38
DAFTAR PUSTAKA
1. Sundaru Heru, Sukamto. Demam Berdarah. Dalam : Sudoyo Aru.W, dkk. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Depertemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ; 2006. h 2772-5
2. WHO. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and
Dengue Haemorrhagic Fever Revised and Expanded Edition. India: WHO
Library Cataloguing; 2011. h 5-53
3. Pangribowo Supriyono, Tryadi Andri, Indah Intan S. Demam Berdarah Dengue.
Dalam: Pangribaowo Supriyono, Tryadi Andri, Indah Intan S, editor. Buletin
Jendela Epidemiologi.Volume 2. Jakarta: Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia; 2010. h 1
4. Oktarianti, Rike.2013.Pengembangan Transmission Blocking Vaccine (TBV)
Melawan Demam Berdarah Dengue (DBD) :Identifikasi Faktor Imunomodulator
Putatif dari Salivary Gland Aedes aegypti Berbasis Reaksi Antigen-Antibodi
Vektor dan Inang Manusia.Universitas Jember.
5. Nasronudin. Patofisiologi Infeksi Virus Dengue dalam : Penyakit Infeksi di
Indonesia Solusi Kini & Mendatang. Nasronudin. Surabaya : Airlangga
University Press: 2011. H 103-7
6. Centers for Disease control and Prevention. Mosquito Life-Cycle. . [Online : 27
September 2012]. [cited : 26 Februari 2017] Avalaible from : URL :
http://www.cdc.gov/dengue/entomologyecology/m_lifecycle.html
7. National Centre for Emerging and Zoonotic Infectious Disease Division of
Vector-Borne Disease, Dengue Branch. Dengue and the Aedes aegypti mosquito.
[Online : 30 Januari 2012]. [cited : 26 Februari 2017] Avalaible from : URL :
www.cdc.gov/dengue/resources/30Jan2012/aegyptifactsheet.pdf
8. National Centre for Emerging and Zoonotic Infectious Disease Division of
Vector-Borne Disease, Dengue Branch. Dengue and the Aedes albopictus
39
mosquito. [Online : 30 Januari 2012]. [cited : 01 Maret 2017] Avalaible from :
URL: http://www.cdc.gov/dengue/resources/30Jan2012/albopictusfactsheet.pdf
9. Wills BA, Nguyen MD, Dong TH, et al. Comparison of Three Fluid Solutions for
Resuscitation in Dengue Shock Syndrome. In: Engl J Med: s.n.; 2005. P 887-89.
10. Candra, Arya. Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan Faktor
Resiko Penularan. [online: 2010]. [diakses: 20 Februari 2017]. Tersedia di: URL:
Journal.litbang.depkes.go.id/index.php/aspirator/article/.../2951/2136 -Journal of
Vector-borne Disease Studies, 2010 - ejournal.litbang.depkes.go.id
11. Naomi L, Roberta JE. Alterations in Hemostasis and Blood Coagulation. In:
Capstead Lee, Banasik Jacquelyn, editors. Pathophysiology. 4th Ed. USA:
Saunders Elsevier; 2010. p 340
12. Michael B. Nathan, Ranu DD, Maria G. Clinical Management and Dilivery of
Clinical Service. WHO: s.l; 2009. P 23-66
13. Sutaryo. Perkembangan Patogenesis Demam Berdarah Dengue. Jakarta: s.n.;
1999. P 32-43
14. Anne TB. Dengue Viruses. Sweden: Departement of Microbiology, Tumor and
Cell Biology, Karolinska Institutet, Stockholm: 2013.
15. W.Sudoyo Aru, Bambang Siyohadi , et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,
Demam Berdarah Dengue. Jilid II. Edisi. Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam Dipenogoro; 2009. H 2773-9
40