Anda di halaman 1dari 40

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena atas berkat dan

rahmat-Nya sehingga segala sesuatu yang berkaitan dengan penyusunan tulisan ini

dapat terlaksana. Tak lupa pula penulis haturkan salawat dan salam pada junjungan

Nabi Muhammad SAW. yang terlah membimbing manusia dari alam kegelapan

menuju ke alam yang terang benderang.

Tulisan ini berjudul “PERANAN OBAT-OBAT IMUNOMODULATOR

TERHADAP TERAPI DENGUE” yang dibuat dan disusun sebagai tugas

kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam.

Berbagai kesulitan dan hambatan penulis temui, namun atas bantuan dan

bimbingan dari berbagai pihak, akhirnya tulisan ini dapat terselesaikan.

Makassar, 10 Maret 2017

Penulis

1
2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................ i
KATA PENGANTAR................................................................................. ii
DAFTAR ISI .............................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………….. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………..……………………………..
A. DENGUE HEMORAGIC FEVER………….…………… 16
B. IMUNOMODULATOR…………………………………. 42
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................

3
BAB I

PENDAHULUAN

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu contoh dari Arthropoda
borne diseases yang merupakan penyakit pada manusia ditularkan oleh vektor berupa
serangga (Arthropoda). Di Indonesia, penyakit-penyakit yang ditularkan melalui
serangga merupakan penyakit endemis pada daerah tertentu. Penyakit yang
diperantarai oleh vektor serangga menyebabkan kematian sekitar 1,5 juta manusia
setiap tahunnya. Selain menyebabkan mortalitas juga morbiditas, akibat infeksi
penyakit tersebut menyebabkan kerugian ekonomi yang besar terutama pada negara-
negara berkembang4.
Berbagai macam teknologi vaksin telah diterapkan untuk pengembangan vaksin
melawan demam berdarah, termasuk virus hidup yang dilemahkan (LAV), pemurnian
virus inaktif (PIV), vaksin DNA rekombinan. Pengembangan vaksin setelah tahun
1971 antara lain adalah mengembangkan vaksin gabungan terhadap semua 4 serotipe
DV yang disebut dengan Tetravalen Dengue Vaccine (TDV). TDV dikembangkan
dengan cara membuat vaksin hidup dari keempat serotipe virus dengue (Live
Attenuated Tetravalent Dengue Vaccine), yang telah dilakukan di Thailand. Namun
ada kendala dalam pengembangan TDV yaitu kesulitan dalam melemahkan secara
optimal empat serotipe DENV4.
Dari berbagai macam vaksin tersebut di atas nampak bahwa semua pendekatan
masih dalam tahap pengembangan dan sampai saat ini dilaporkan belum ada vaksin
berlisensi atau obat untuk pencegahan penyakit DBD, satu-satunya metode pada saat
ini yang digunakan adalah dengan mengendalikan vektor Aedes aegypti dan Ae
albopictus. Ekstrak kelenjar saliva Ae. aegypti yang berfungsi sebagai faktor
imunomodulator. Oleh karena itu perlu dilakukan pendekatan baru dalam
pengembangan vaksin melawan DBD yang lebih inovatif dan juga berperan dalam

4
menghambat transmisi patogen penyebab penyakit DBD sehingga menanggulangi
epideminya yaitu dengan pengembangan Transmission-Blocking Vaccine (TBV)4.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Dengue Haemorragic Fever (DHF)


2.1 Definisi
Demam dengue (DD) adalah suatu penyakit infeksi akut, yang
disebabkan oleh virus Dengue yang mempunyai 4 macam serotipe (DEN-1,
DEN-2, DEN-3, DEN-4). Dengan ciri-ciri demam yang bersifat bifasik, mialgia,
sakit kepala, nyeri di beberapa bagian tubuh, rash, limfadenopati, dan
leukopenia. Dalam kebanyakan kasus, DD bersifat self-limited, akan tetapi ada
resiko perkembangan progresif menjadi demam berdarah dengue (DBD) atau
sindrom syok dengue (SSD). 5
DBD adalah suatu penyakit demam yang berat dengan ciri-ciri
hemostasis yang abnormal, dan meningkatnya permeabilitas vaskuler serta
perkembangan progresif dapat menjadi SSD. SSD adalah suatu kondisi syok
hipovolemik yang secara klinis dikaitkan dengan hemokonsentrasi dan dapat
menyebabkan kematian bila penanganan yang adekuat tidak diberikan. 5

2.2 Epidemiologi
Awal mula penyakit demam berdarah berasal dari Mesir yang kemudian
menyebar keseluruh dunia. Nyamuk hidup dengan subur di belahan dunia yang
mempunyai iklim tropis dan subtropik seperti Asia, Afrika, Australia dan
Amerika. Di Indonesia kasus demam berdarah pertama kali dilaporkan di
Jakarta dan Surabaya pada tahun 1968. Tahun-tahun selanjutnya kasus demam
berdarah berfluktuasi dan jumlahnya setiap tahun dan cenderung meningkat.5

Di Indonesia DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat selama


41 tahun terakhir. Sejak tahun 1968 telah terjadi peningkatan persebaran jumlah

6
provinsi dan kabupaten/kota yang endemis DBD, dari 2 provinsi dan 2 kota,
menjadi 32 (97%) dan 382 (77%) kabupaten/kota pada tahun 2009. Provinsi
Maluku, dari tahun 2002 sampai tahun 2009 tidak ada laporan kasus DBD.
Selain itu terjadi juga peningkatan jumlah kasus DBD, pada tahun 1968 hanya
58 kasus menjadi 158.912 kasus pada tahun 2009.3 Di Sulawesi, khususnya
sulawesi selatan, insidensi demam berdarah sebesar 44,71 % dan jumlah
penderita sebanyak 3411 jiwa.4

Saat ini diperkirakan sekitar 50-100 juta kasus DD pertahun di seluruh


dunia, 500.000 di antaranya dalam bentuk penyakit yang berat, yaitu DBD dan
SSD. Suvei serologi yang telah dilakukan di Indonesia menunjukkan bahwa
DEN-1 dan DEN-2 merupakan serotipe virus yang paling dominan, namun
epidemi baru-baru ini telah terjadi pergeseran, yaitu virus DEN-3 yang
dominan.5

2.3 Etiologi
1 Virus
Virus Dengue terdiri atas untaian tunggal RNA termasuk dalam
keluarga Flaviviridae. Virus dengue mempunyai diameter envelope 40-60
nm. Ditemukan pertama kali oleh Albert Sabin tahun 1944, ada 4 macam
serotipe yang diklasifikasikan menurut kriteria biologis dan imunologis.
Panjang genom virus sekitar 11kb. Virion dewasa terdiri atas 3 struktural
(inti, premembran, dan envelop) dan 7 protein non-struktural, yaitu NS1,
NS2a, NS2b, NS3, NS4a, NS4b, dan NS5. Protein envelop diperlukan untuk
berbagai fungsi biologis utama bagi virus, yaitu berikatan dengan reseptor di
permukaan sel inang, sehingga memungkinkan virus masuk sel target. 5

7
2 Vektor
Aedes aegypti dan nyamuk lainnya memiliki siklus hidup yang
kompleks dengan perubahan dramatis dalam bentuk, fungsi , dan habitat .
Nyamuk betina bertelur di dalam, dinding basah wadah dengan air. Larva
menetas saat air menggenangi telur sebagai akibat dari hujan atau
penambahan air oleh orang-orang. Pada hari-hari berikutnya, larva akan
memakan mikroorganisme dan bahan organik partikulat , mencurahkan kulit
mereka tiga kali untuk dapat tumbuh dari awal sampai instar keempat.
Ketika larva telah memperoleh cukup energi dan ukuran dan dalam instar
keempat , metamorfosis dipicu , mengubah larva menjadi pupa. Pupa tidak
makan ; mereka hanya mengubah dalam bentuk sampai tubuh orang dewasa.
Kemudian, orang dewasa yang baru terbentuk muncul dari air setelah
melanggar kulit kepompong. Seluruh siklus hidup berlangsung 8-10 hari
pada suhu kamar, tergantung pada tingkat makan . Dengan demikian , ada
fase air ( larva , pupa ) dan fase terestrial ( telur , dewasa ) di siklus hidup
Aedes aegypti.6

Gambar 1 : siklus hidup Aedes aegypti


(Dikutip dari kepustakaan 6)

8
Aedes aegypti memiliki tubuh yang kecil, berwarna gelap dengan
garis punggung putih.nyamuk lebih memilih untuk menggigit dalam
ruangan dan terutama menggigit manusia. Nyamuk ini dapat menggunakan
lokasi alami atau habitat (misalnya lubang di pohon) dan wadah buatan
dengan air untuk bertelur . Mereka bertelur di siang hari dalam air yang
mengandung bahan organik (misalnya, daun membusuk, ganggang, dll)
dalam wadah bermulut lebar dan lebih memilih wadah berwarna gelap yang
terletak di tempat teduh. Sekitar tiga hari setelah menghisap darah, nyamuk
meletakkan telur-telurnya di dalam wadah . Telur diletakkan selama
beberapa hari, tahan terhadap pengeringan dan dapat bertahan untuk periode
enam bulan atau lebih. Ketika hujan, telur banjir dengan air, larva
kemudian menetas. Umumnya larva makan organisme air kecil, ganggang
dan partikel tanaman dan hewan dalam wadah berisi air. Siklus di air (telur
hingga dewasa) dapat terjadi dalam waktu 7-8 hari . Rentang hidup untuk
nyamuk dewasa adalah sekitar tiga minggu. Tempat produksi telur berada di
dalam atau di dekat rumah. Aedes aegypti tidak dapat hidup dalam tahap
telur di iklim dingin.7
Habitat Aedes aegypti sangat umum di daerah yang kekurangan
sistem air perpipaan, dan sangat tergantung pada wadah penyimpanan air
untuk bertelur. Nyamuk Dewasa pria dan wanita memakan nektar tanaman;
Namun, nyamuk betina membutuhkan darah untuk menghasilkan telur, dan
aktif di siang hari. Telur memiliki kemampuan untuk bertahan dalam jangka
waktu yang lama , memungkinkan telur untuk dapat dengan mudah
menyebar ke lokasi baru. Wadah penyimpanan air, pot bunga, ban bekas,
piring di bawah pot tanaman, ember, kaleng bekas, air mancur hias, drum,
mangkuk air untuk hewan peliharaan yang berada di dalam atau dekat
dengan tempat di mana manusia hidup adalah habitat ideal untuk larva
nyamuk ini.7

9
Perilaku Menggigit Aedes aegypti menggigit terutama pada siang
hari . Jenis ini paling aktif selama kurang lebih dua jam setelah matahari
terbit dan beberapa jam sebelum matahari terbenam , tetapi dapat menggigit
pada malam hari di daerah baik menyala. Nyamuk ini bisa menggigit orang
tanpa diketahui karena mendekati dari belakang dan gigitan pada
pergelangan kaki dan siku. Aedes aegypti lebih suka menggigit orang tetapi
juga gigitan anjing dan hewan domestik lainnya, sebagian besar mamalia.
Hanya betina menggigit untuk mendapatkan darah untuk bertelur.7
Aedes albopictus - juga disebut nyamuk macan Asia - adalah nyamuk
yang dapat menularkan virus yang menyebabkan demam berdarah. Nyamuk
betina bertelur dalam wadah penampungan air di sekitar atau lebih jauh dari
rumah , lubang pohon dan ruas bambu. Spesies ini dapat bertahan hidup
sepanjang tahun di iklim tropis dan subtropis. Aedes albopictus mempunyai
badan yang kecil , nyamuk gelap dengan garis punggung putih. Nyamuk
menggigit manusia, tapi juga kucing, anjing , tupai , rusa dan mamalia
lainnya, serta burung.8

Nyamuk ini dapat menggunakan lokasi alami atau habitat (misalnya


lubang pohon dan tanaman) dan kontainer buatan dengan air untuk bertelur.
Siklus hidup dari telur hingga dewasa dapat terjadi dalam waktu 7-9 hari .
Rentang hidup untuk nyamuk dewasa adalah sekitar tiga minggu. Mereka
memiliki jarak terbang pendek (kurang dari 200 m), sehingga lokasi
produksi telur cenderung dekat dengan tempat nyamuk ini ditemukan.
Nyamuk Aedes albopictus tetap hidup melalui musim dingin dalam tahap
telur di daerah beriklim sedang (daerah dengan empat musim ) tetapi aktif
sepanjang tahun di lokasi yang tropis dan subtropis. Perilaku menggigit
Aedes albopictus adalah siang hari dan penggigit sangat agresif. Kali makan
puncaknya adalah pada pagi hari dan sore hari. 8

10
2.4 Patogenesis

Gambar 2 : Hipotesis infeksi sekunder


(Dikutip dari kepustakaan 9)

Mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah


dengue, dan sindrom renjatan dengue. Respon imun yang diketahui berperan
adalah: a) respon humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam
netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitoksisitas yang
dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam
mempercepat replikasi virus pada monosit maupun makrofag. Hipotesis ini
disebut antibody dependent enhancement (ADE); b) limfosit T baik T helper
(CD4) maupun T sitotoksik (CD8) berperan dalam respon imun seluler terhadap
virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan memproduksi interferon
gamma, IL-2, dan limfokin, sedangkan TH2 akan memproduksi IL-4, IL-5, IL-
6, dan IL-10; c) monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis bakteri
dengan opsonisasi antibodi. Namun proses fagositosis ini menyebabkan
replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag; d) selain itu aktivasi
komplemen oleh kompleks imun akan menyebabkan terbentuknya C3a dan
C5a.1
Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterelogous
infection yang menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang

11
virus dengue tipe yang berbeda.Re-infeksi menyebabkan reaksi anamnestik
yang tinggi sehingga mengakibatkan konsentrasi kompleks imun yang tinggi.
Kurane dan Enis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead dan peneliti
lain; menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag
yang memfagositosis kompleks virus-antibody non netralisasi sehingga virus
bereplikasi dalam makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue
mengakibatkan aktivasi sel T helper dan T sitotoksik sehingga diproduksi
limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit
sehingga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-a, IL-1, PAF
(platelet activating factor), IL-6 dan histamin yang mengakibatkan terjadinya
disfungsi endotel dan terjadi kebocoran plasma.1
Penyakit ini ditularkan orang yang dalam darahnya terdapat virus
Dengue. Orang ini biasanya menunjukan gejala sakit tetapi juga tidak sakit
yaitu jika mempunyai kekebalan yang cukup terhadap virus Dengue. Jika orang
digigit nyamuk Ae. aegypti maka virus akan masuk bersama darah yang
dihisapnya. Di dalam tubuh nyamuk itu, virus Dengue akan berkembang biak
dengan cara membelah diri dan menyebar di seluruh bagian tubuh nyamuk.
Dalam waktu satu minggu jumlahnya dapat mencapai puluhan atau bahkan
ratusan ribu sehingga siap untuk ditularkan atau dipindahkan kepada orang lain.
Selanjutnya pada waktu nyamuk menggigit orang lain, maka setelah alat tusuk
nyamuk (proboscis) menemukan kapiler darah, sebelum darah orang tersebut
dihisap terlebih dahulu dikeluarkan air liur dari kelenjar air liur nyamuk agar
darah yang dihisap tidak membeku.5
Bersama dengan air liur nyamuk Ae. aegypti yang membawa virus
Dengue itu akan terserang penyakit demam berdarah, orang yang mempunyai
kekebalan yang cukup terhadap virus Dengue, tidak akan terserang penyakit ini,
meskipun di dalam darahnya terdapat virus tersebut. Sebaliknya pada orang
yang tidak mempunyai kekebalan yang cukup terhadap virus Dengue, dia akan

12
sakit demam ringan bahkan sakit berat yaitu demam tinggi disertai perdarahan
bahkan syok, tergantung dari tingkat kekebalan tubuh yang dimilikinya.5
Masa inkubasi 3-15 hari (rerata 7-10 hari). Begitu memasuki tubuh, virus
Dengue ikut dalam sirkulasi sistemik dan berusaha menemukan sel target.
Makrofag merupakan sel target utama infeksi virus Dengue. Sebelum mencapai
makrofag, virus Dengue akan dihadang oleh respons imun. Berbagai komponen
imunitas non spesifik terlibat antara lain fagosit, sel NK, dan sistem komplemen
akan berusaha untuk menahan intervensi virus Dengue. Masuknya virus Dengue
akan direspons melalui mekanisme pertahanan nonspesifik dan spesifik. Pada
sistem imun nonspesifik akan melibatkan pertahanan humoral dan seluler.
Imuntas spesifik melalui respons limfosit timbul lebih lambat.5

Pada pertahanan humoral, berbagai komponen seperti komplemen,


interferon α dan interferon β dan kolektin ikut berperan dalam mekanisme
pertahanan. Untuk menghambat laju intervensi virus Dengue, interferon α dan
interferon β berusaha mencegah replikasi virus Dengue di intraseluler. Dengan
demikian diharapkan virus Dengue tidak mencapai sel target makrofag
berikutnya. Di sisi lain limfosit b, sel plasma akan merespon melalui
pembentukan antibodi guna mengeliminasi virus Dengue. Limfosit T yang
teraktivasi mengakibatkan ekspresi protein permukaan yang disebut ligan CD40
(CD40L atau CD154), yang kemudian mengikat CD40 pada limfosit B,
makrofag, sel dendritik, sel endotel serta mengaktivasi berbagai sel tersebut.
CD40L merupakan mediator penting terhadap berbagai fungsi efektor sel T
helper, termasuk menstimulasi sel B memproduksi antibodi dan aktivasi
makrofag untuk menghancurkan virus Dengue. Limfosit dan makrofag yang
terpapar virus secara perlahan sebagian akan mengalami kematian terprogram.
Makrofag yang terpapar virus Dengue mengalami aktivasi, meningkatkan
produksi dan sekresi enzim phospolipase A2-activating protein (PLA2). PLA2
mempunyai efek metabolik dan memicu metabolisme asam arakhidonat.

13
Pelepasan asam arakhidonat memicu biosintesis eicosanoids, terjadi produksi
dan sekresi mediator sekunder yang antara lain adalah prostasiklin,
prostaglandin E2, tromboksan A2, leukotrien. Berbagai mediator ini
berpengaruh dalam mempercepat pelebaran celah endotel. Interleukin 1b dan
interleukin-6 menyebabkan disfungsi endotel, tnf-α menyebabkan destruksi
endotel. Dengan demikian pengaruh komplemen, sitokin dan mediator sekunder
tersebut membuka peluang terjadi perpindahan plasma yang berlangsung hebat.
10

Intervensi virus dengue menyebabkan gangguan pada sistem


hematopoetik sentral dan perifer. Di sentral hematopoeisis atau di sumsum
tulang belakang, terutama pada mekanisme aferen virus dengue yang
mengintervensi makrofag, memicu makrofag menjadi aktif melakukan
fagositosis diikuti replikasi virus.5 Pada infeksi virus Dengue, viremia terjadi
sangat cepat, hanya dalam beberapa hari dapat terjadi infeksi di beberapa tempat
tapi derajat kerusakan jaringan (tissue destruction) yang ditimbulkan tidak
cukup untuk menyebabkan kematian karena infeksi virus; kematian yang terjadi
lebih disebabkan oleh gangguan metabolik.10

Mekanisme perdarahan

Manifestasi perdarahan pada DBD yang paling sering didapatkan berupa


petekie di kulit dan kadang-kadang pada submukosa. Tes tourniquet positif
merupakan peningkatan fragilitas kapiler yang dijumpai lebih awal. Gejala
perdarahan yang berat sering terjadi adalah perdarahan gastrointestinal dalam
bentuk hematemesis dan atau melena. Pada kasus dengan prolonged shock
dapat terjadi perdarahan masif di jantung, paru, hati, dan otak.5
Peningkatan nilai hematokrit merupakan manifestasi hemokonsentrasi
yang terjadi akibat kebocoran plasma ke ruang ekstravaskuler disertai efusi
cairan serosa, melalui kapiler yang rusak. Akibat kebocoran ini volume plasma

14
menjadi berkurang yang dapat mengakibatkan terjadinya syok hipovolemik dan
kegagalan sirkulasi. Kadar hemoglobin pada hari-hari pertama biasanya normal
atau sedikit menurun. Tetapi kemudian kadarnya akan naik mengikuti
peningkatan hemokonsentrasi dan merupakan kelainan hematologi paling awal
yang dapat ditemukan pada DBD.5

Vaskulopati

Karakterisktik DBD adalah adanya plasma leakage dengan manifestasi


hemokonsentrasi, efusi, dan atau asites. Sebelumnya plasma leakage diduga
akibat peningkatan permeabilitas vaskuler selain adanya penemuan baru, yaitu
menduga adanya destruksi sel endotel disertai pelepasan mediator inflamasi (il-
6, il-8) yang dilepas oleh virus Dengue. Virus Dengue juga mengaktivasi
komplemen dan menimbulkan ekspresi molekul adhesi seperti icam-1, ekspresi
dari icam-1 bersama dengan il-8 akan meningkatkan permeabilitas vaskuler
pula.5

Trombopati dan trombositopenia merupakan salah satu kriteria sederhana


yang di ajukan oleh WHO sebagai diagnosis klinis DBD. Trombositopenia dan
hemokonsentrasi merupakan dua keadaan yang hampir selalu muncul akibat
infeksi virus Dengue.5 Empat mekanisme umum bertanggung jawab untuk
trombositopenia: penurunan produksi trombosit, penurunan kelangsungan hidup
platelet, penyerapan limpa, dan dilusi intravaskular sirkulasi trombosit.11

2.5 Gejala Klinis

Menurut WHO (2009) tanda dan gejala pasien DBD diklasifikasikan


sebagai berikut:12

15
1 Fase Demam (Febris)

Pasien biasanya demam tinggi secara tiba-tiba. Pada fase demam akut
ini, biasanya berlangsung dari 2-7 hari dan kompensasinya sering terjadi
nyeri sendi, eritema, seluruh badan terasa sakit, myalgia, athralgia dan nyeri
kepala. Anoreksia, nausea, dan muntah sering terjadi. Tes tourniquet positif.
Manifestasi dari perdarahan seperti petekie dan perdarahan membran
mukusa (seperti epistaksis, perdarahan gusi). Perdarahan vagina yang massif
(pada wanita usia subur), namun perdarahan gastroinstestinal jarang terjadi.
Hepatomegali sering timbul setelah beberapa hari setelah terjadi demam.
Terjadi penurunan jumlah sel darah putih yang harus diwaspadai untuk
tingginya kemungkinan terjadinya DBD. 12

2 Fase Kritis

Terjadi saat suhu tubuh mengalami penurunan sampai normal, saat


suhu turun dari 37,5-38°C atau suhu dibawah normal, biasanya terjadi pada
hari ketiga sempai ketujuh saat permeabilitas kapiler meningkat dengan
adanya peningkatan hematokrit. Periode saat fase kritis terjadi saat terjadi
kebocoran plasma dan biasanya berakhir 24-48 jam. Leukopenia diikuti
dengan penurunan trombosit secara cepat biasanya terjadi sebelum adanya
kebocoran plasma. Pasien yang tidak mengalami peningkatan permeabilitas
kapiler akan membaik, sedangkan pasien yang mengalami peningkatan
permeabilitas kapiler akan memburuk akibat volume plasma yang hilang.
Tingkat kebocoran plasma bervariasi. Efusi pleura dan asites secara klinis
terdeteksi tergantung pada tingkat kebocoran plasma dan terapi cairan yang
diberikan. Rontgent dada dan USG abdomen dapat digunakan untuk
menegakkan diagnosis. Tingkat kenaikan hematokrit dapat menunjukkan
beratnya kebocoran plasma. 12

16
Gambar 3 : Tes tourniquet positif (petekie)
(Dikutip dari kepustakaan 11 )

Syok terjadi saat terjadi kebocoran plasma yang didahului dengan


tanda peringatan (nyeri abdomen, muntah berkepanjangan, perdarahan
mukosa, latergi atau gelisah, hepatomegali lebih dari 2 cm, hematokrit
menurun disertai penurunan trombosit). Selama terjadi syok, suhu tubuh
dibawah normal. Saat syok berkepanjangan pasien mengalami hipoperfusi
organ, asidosis metabolik, dan terjadi peningkatan koagulasi intravaskuler.
Perdarahan yang parah terjadi akibat penurunan hematokrit.Leukopenia
biasanya terdeteksi sebelum fase demam. Pada pasien dengan perdarahan
hebat jumlah sel darah putih akan meningkat. 12

Pasien yang membaik setelah suhu badan mengalami penurunan


hingga normal dapat dikatakan mengalami demam berdarah yang tidak
parah. Beberapa pasien menjadi kritis karena kebocoran plasma tanpa
mengalami penurunan suhu tubuh menjadi normal. Pasien memburuk jika
terjadi manifestasi dari tanda peringatan. DBD dengan tanda bahaya akan
teratasi dengan rehidrasi intravena. 12

17
3 Fase Pemulihan

Jika pasien membaik pada 24-48 jam setelah fase kritis, reabsorpsi
berangsur-angsur terjadi akibat dari cairan kompartemen ektraseluler pada
48-72 jam. Kondisi umum mengalami perbaikan, nafsu makan membaik,
gangguan gastroinstestinal membaik, dan status hemodinamik stabil.
Beberapa pasien mengalami rash dengue dan adanya prurutis.12

Hematokrit menjadi stabil atau menurun akibat dari efek pengenceran


terapi cairan. Jumlah sel darah putih biasanya meningkat setelah penurunan
suhu tubuh sampai normal tetapi pemulihan jumlah trombosit lebih lambat
dari pemulihan sel darah putih. Distress pernafasan dari efusi pleura yang
masif dan asites akan terjadi kapan saja jika terjadi kelebihan terapi cairan
intravena. Sejak fase kritis dan/ penyembuhan, terapi cairan yang berlebih
akan menyebabkan edema pulmo atau congestive heart failure. 12

Gambar 4: Perjalanan infeksi dengue


(Dikutip dari kepustakaan 12)

4 Demam Berdarah Berat

Demam berdarah berat didefinisikan oleh satu atau lebih hal berikut:
(1) Kebocoran plasma yang dapat menyebabkan shock dan/ atau kelebihan

18
cairan dengan atau tidak adanya distress pernafasan dan/ atau (2)perdarahan
berat, dan /atau (3) kerusakan organ. 12

Penurunan permeabilitas vaskuler, hipovolemia memburuk yang


dapat menyebabkan syok yang biasanya terjadi saat penurunan suhu tubuh
menjadi normal pada hari keempat atau kelima (kisaran hari ketiga-ketujuh)
yang didahului dengan tanda-tanda peringatan. Pada fase awal syok,
mekanisme kompensisi yang mempertahankan tekanan darah sistolik juga
menyebabkan takikardi dan vasokonstriksi perifer dengan penurunan perfusi
jaringan yang menyebabkan akral dingin, dan menurunnya waktu pengisian
kapiler. Pasien dengan demam berdarah berat ini biasanya masih sadar.
Pasien sering mengalami dekompensasi dan tekanan sistolik dan diastolik
tiba-tiba menghilang. Syok hipotensi dan hipoksia yang berkepanjangan
dapat menyebabkan kegagalan multi organ dan sulit untuk menangani
masalah klinis pasien. 12

Pasien dianggap syok jika tekanan darah (yaitu perbedaan antara


tekanan sistolik dan diastolik) ≤ 20 mmHg atau terjadinya penurunan perfusi
jaringan (ekstremitas dingin, lambatnya pengisian kapiler, atau nadi
meningkat). Untuk dewasa, tekanan darah ≤ 20 mmHg dapat
mengidentifikasi syok yang lebih parah. Hipotensi biasanya menunjukkan
adanya syok bekepanjangan yang komplikasinya menyebabkan perdarahan.
12

Pasien demam berdarah dengan syok mengalami abnormalitas


koagulasi darah tetapi biasanya tidak menyebabkan perdarahan hebat.
Namun saat terjadi perdarahan hebat biasanya selalu menyebabkan syok
berulang. Hal ini juga disebabkan karena adanya trombositopenia, hipoksia,
asidosis, yang dapat menyebabkan kerusakan multi.12

19
2.6 Pemeriksaan Penunjang
Temuan laboratorium selama DF episode akut penyakit adalah sebagai berikut:

1 Leukosit biasanya normal pada awal demam; maka leukopenia berkembang


dengan penurunan neutrofil dan berlangsung selama periode demam.2
2 Jumlah trombosit biasanya normal , seperti komponen lain dari mekanisme
pembekuan darah . Trombositopenia ringan (100 000-150 000 sel/mm3)
adalah umum dan sekitar setengah dari semua Pasien DF memiliki jumlah
trombosit di bawah 100 000 sel/mm3; tetapi trombositopenia berat (< 50
000 sel/mm3 ) jarang.2
3 kenaikan hematokrit ringan (≈ 10 %) dapat ditemukan sebagai akibat dari
dehidrasi terkait dengan demam tinggi , muntah , anoreksia dan asupan
mulut yang buruk.2
4 Serum biokimia biasanya normal tetapi enzim hati dan transferase aspartat
amino (AST ) mungkin meningkat.2
5 Imunoserologi dilakukan pemeriksaaan IgM dan IgG terhadap dengue. IgM:
terdteksi mulai hari ke 3-5. Meningkat sampai minggu ke-3, menghilang
setelah 60-90 hari. IgG : pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari
ke-14. 1
6 NS1: antigen NS1 dapat dideteksi pada awal demam hari pertama sampai
hari ke delapan. Sensitivitas antigen NS1 berkisar 63%-93,4% dengan
spesifisitas 100% sama tingginya dengan spesifisitas gold standar kultur
virus. 1
7 Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan
tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat
ditemukan pada kedua hemitoraks. Pemeriksaan sebaiknya dalam posisi
lateral dekubitus kanan. Asites dan efusi pleura dapat pula ideteksi dengan
pemeriksaan USG.1

20
2.7 Diagnosis
Dengue viremia pada pasien pendek , biasanya terjadi 2-3 hari sebelum
timbulnya demam dan berlangsung selama empat sampai tujuh hari penyakit .
Selama periode ini virus dengue , asam nukleat dan beredar antigen virus dapat
dideteksi.5

Respon antibodi terhadap infeksi menyebabkan munculnya berbagai jenis


imunoglobulin; IgM dan IgG imunoglobulin isotypes memiliki nilai diagnostik.
Antibodi IgM terdeteksi pada hari 3-5 setelah onset penyakit , meningkat
dengan cepat sekitar dua minggu dan menolak untuk tidak terdeteksi setelah 2-3
bulan . Antibodi IgG terdeteksi pada tingkat rendah pada akhir minggu pertama
, kemudian meningkat dan tetap untuk jangka waktu lama (selama bertahun-
tahun). Karena penampilan akhir antibodi IgM, yaitu setelah lima hari sejak
timbulnya demam, tes serologi berdasarkan antibodi dilakukan selama lima hari
pertama dari penyakit klinis biasanya negatif.5

Selama infeksi Dengue sekunder (ketika tuan rumah sebelumnya telah


terinfeksi oleh DBD virus), titer antibodi meningkat pesat. Antibodi IgG
terdeteksi pada tingkat tinggi, bahkan di awal fase, dan bertahan dari beberapa
bulan sampai jangka waktu seumur hidup. Tingkat antibodi IgM secara
signifikan lebih rendah dalam kasus-kasus infeksi sekunder. Oleh karena itu,
rasio IgM / IgG umumnya digunakan untuk membedakan antara Infeksi dengue
primer dan sekunder. Trombositopenia biasanya diamati antara ketiga dan hari
kedelapan penyakit diikuti oleh perubahan hematokrit lainnya.5

1 Kriteria untuk diagnosis klinis DBD / DSS


Manifestasi klinis:2

a. Demam: onset akut, tinggi dan terus menerus, berlangsung dua sampai
tujuh hari dalam banyak kasus.

21
b. Salah satu manifestasi perdarahan berikut termasuk tourniquet positif
test (yang paling umum), petechiae, purpura (di lokasi venepuncture),
ecchymosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan / atau melena.
c. Pembesaran hati (hepatomegali) diamati pada beberapa tahap dari
penyakit pada 90% -98% dari anak-anak.
d. Syok, dimanifestasikan oleh takikardia, perfusi jaringan yang buruk
dengan denyut nadi lemah dan tekanan nadi menyempit (20 mmHg atau
kurang) atau hipotensi dengan kehadiran dingin, kulit lembab dan dingin
dan / atau kegelisahan.
Temuan Laboratorium:2

a. Trombositopenia (100 000 sel per mm3 atau kurang)


b. Hemokonsentrasi; Peningkatan hematokrit ≥ 20%
Duakriteria klinispertama, ditambahtrombositopenia hemokonsentrasi
atauhematokritmeningkat, yangcukup untuk menetapkandiagnosis
klinisDBD. Pembesaran hatidi sampingdua kriteriaklinis pertamaadalah
sugestif dariDBDsebelum timbulnyakebocoranplasma. Kehadiranefusi
pleura(dada X-ray atauUSG) adalah bukti yang
palingobyektifkebocoranplasmasementarahipoalbuminemiamemberikanbukt
i pendukung. 2

DF/DHF Grade Tanda dan gejala Temuan laboratorium


DF Demam dengan 2  Leukopenia (WBC
(dengue gejala dibawah ini : ≤500/mm3)
fever)  Sakit kepala  Tromobositopenia
 Nyeri retro-orbital (<150000/mm3)
 Nyeri Otot  Peningkatan
 Ruam hematokrit (5%-10%)

 Tidak ada bukti Tidak ada bukti

22
kebocoran plasma kebocoran plasma
DHF Demam dan Tromobositopenia
(dengue manifestasi perdarahan <100000/mm3,
haemorr I (tes tourniquet +) dan hematokrit meningkat ≥
hagic bukti kebocoran plasma 20%
fever)
DHF Grade 1 + perdarahan Tromobositopenia
(dengue spontan <100000/mm3,
haemorr II hematokrit meningkat ≥
hagic 20%
fever)
DHF Grade 2 + tanda Tromobositopenia
(dengue kegagalan sirkulasi <100000/mm3,
haemorr III (kulit dingin dan hematokrit meningkat ≥
hagic lembab serta gelisah) 20%
fever)
DHF Syok berat disertai Tromobositopenia
(dengue dengan tekanan darah <100000/mm3,
haemorr IV dan nadi yang tidak hematokrit meningkat ≥
hagic terukur 20%
fever)

2.8 Diagnosis Banding

Demam Berdarah Dengue dapat didiagnosis banding dengan beberapa penyakit,


sebagai berikut: 13

1 Awal perjalanan penyakit : demam tifoid, campak, influenza, hepatitis,


demam chikungunya, leptospirosis, dan malaria

23
2 Demam chikungunya (DC)
Serangan demam mendadak, masa demam lebih pendek, suhu lebih tinggi,
hampir selalu disertai ruam makulo papular, injeksi konjungtiva, lebih
sering dijumpai nyeri sendi, biasanya menyerang seluruh anggota keluarga
dan penularannya mirip influenza. Tidak ditemukan adanya perdarahan
gastrointestinal dan syok.
3 Perdarahan juga terjadi pada penyakit infeksi seperti sepsis dan meningitis
meningokokus.
Pada sepsis pasien tampak sakit berat dari semula, demam naik turun,
ditemukan tanda-tanda infeksi, leukositosis disertai dominasi sel
polimormonuklear. Pada meningitis meningokokus jelas terdapat gejala
rangsang meningeal dan kelainan pada pemeriksaan cairan serebro spinalis.
4 ITP dengan DBD derajat II
Pada ITP demam cepat menghilang (atau bisa tanpa demam), tidak ada
leukopenia, tidak ada hemokonsentrasi, tidak dijumpai pergeseran ke kanan
pada hitung jenis. Pada fase konvalesen DBD jumlah trombosit lebih cepat
kembali ke normal dari pada ITP.
5 Perdarahan dapat juga terjadi pada leukemia atau anemia aplastik.
Pada leukemia demam tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba, anak sangat
anemis, dan apusdarah tepi/sumsum tulang menunjukkan peningkatan sel
blast. Pada anemia aplastik anak sangat anemik, demam timbul karena
infeksi sekunder, dan pansitopenia

2.9 Penatalaksanaan
Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis.
Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat
kebocoranplasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana
diperlukan. Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan
adalah pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris. Proses kebocoran

24
plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke 4
hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma
akan berkurang dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular.
Terapi cairan pada kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain
pemantauan untuk menilai apakah pemberian cairan sudah cukup atau kurang,
pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya
efusi pleura ataupun asites yang masif perlu selalu diwaspadai.13 14
Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada
trombositopenia yang berat)dan pemberian makanan dengan kandungan gizi
yang cukup, lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi
saluran cerna. Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa
parasetamol, serta obat simptomatis untuk mengatasi keluhan dispepsia.
Pemberian aspirin ataupun obatanti inflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari
karena berisiko terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagian atas
(lambung/duodenum).15

25
Gambar
5 : Tatalaksana DBD dewasa
tanpa syok dan tanpa perdarahan
(Dikutip dari kepustakaan 15)

26
Gambar 6 : Tatalaksana DBD dewasa
dengan perdarahan tanpa syok
(Dikutip dari kepustakaan 15)

27
Gambar 7 : Tatalaksana DBD dewasa
dengan syok tanpa perdarahan
(Dikutip dari kepustakaan 15)

28
Gambar 8 : Tatalaksana DBD dewasa
dengan syok dan perdarahan masif
(Dikutip dari kepustakaan 15)

29
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan
khususnya pada penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama adalah jenis
cairan dan kedua adalah jumlah serta kecepatan cairan yang akan diberikan.
Karena tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan cairan di ruang
intravaskular,pada dasarnya baik kristaloid(ringer laktat, ringer asetat,cairan
salin) maupun koloid dapat diberikan. WHO menganjurkan terapi kristaloid
sebagai cairan standar pada terapi DBD karena dibandingkan dengan koloid,
kristaloid lebih mudah didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang ideal yang
sebenarnya dibutuhkan dalam penatalaksanaan antaralain memiliki sifat
bertahan lama di intravaskular, amandan relatif mudah diekskresi,tidak
mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan memiliki efek alergi yang minimal. 15

Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD aman dan


efektif. Beberapa efek samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan
kristaloid adalah edema, asidosis laktat,instabilitas hemodinamik dan
hemokonsentrasi.12,13 Kristaloid memiliki waktu bertahan yang singkat di dalam
pembuluh darah. Pemberian larutan RL secara bolus (20 ml/kgBB) akan
menyebabkan efek penambahan volume vaskular hanya dalam waktu yang
singkat sebelum didistribusikan ke seluruh kompartemen interstisial
(ekstravaskular) dengan perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus tersebut
dalam waktu satu jam hanya 5 ml yang tetap berada dalam ruang intravaskular
dan 15 ml masuk ke dalam ruang interstisial. Namun demikian, dalam
aplikasinya terdapat beberapa keuntungan penggunaan kristaloid antara lain
mudah tersedia dengan harga terjangkau, komposisi yang menyerupai
komposisi plasma, mudah disimpan dalam temperatur ruang, dan bebas dari
kemungkinan reaksi anafilaktik. 15

Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki beberapa


keunggulan yaitu:pada jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi
volume plasma (intravaskular) yang lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih

30
lama di ruang intravaskular. Dengan kelebihan ini, diharapkan koloid
memberikan oksigenasi jaringan lebih baik dan hemodinamik terjaga lebih
stabil. Beberapa kekurangan yang mungkin didapatkandengan penggunaan
koloid yakni risiko anafilaksis, koagulopati, danbiaya yang lebih besar. Namun
beberapa jenis koloid terbukti memiliki efek samping koagulopati dan alergi
yang rendah (contoh: hetastarch). 15

Penelitian cairan koloid dibandingkan kristaloid pada sindrom renjatan


dengue (DSS) pada pasien anak dengan parameter stabilisasi hemodinamik pada
1 jam pertama renjatan, memberikan hasil sebanding pada kedua jenis cairan. 15

Sebuah penelitian lain yang menilai efektivitas dan keamanan


penggunaan koloid pada penderita dewasa dengan DBD derajat 1 dan 2 di
Indonesia telah selesai dilakukan, dan dalam proses publikasi. Jumlah cairan
yang diberikan sangat bergantung dari banyaknya kebocoran plasma yang
terjadi serta seberapa jauh proses tersebut masih akan berlangsung. Pada kondisi
DBD derajat 1 dan 2, cairan diberikan untuk kebutuhan rumatan (maintenance)
dan untuk mengganti cairan akibat kebocoran plasma. Secara praktis, kebutuhan
rumatan pada pasien dewasa dengan berat badan 50 kg, adalah sebanyak kurang
lebih 2000 ml/24 jam; sedangkan pada kebocoran plasma yang terjadi sebanyak
2,5-5% dari berat badan sebanyak 1500-3000ml/24 jam. Jadi secara rata-rata
kebutuhan cairan pada DBD dengan hemodinamik yang stabil adalah antara
3000-5000 ml/24 jam. Namun demikian, pemantauan kadar hematokrit perlu
dilakukan untuk menilai apakah hemokonsentrasi masih berlangsung dan
apakah jumlah cairan awal yang diberikan sudah cukup atau masih perlu
ditambah. Pemantauan lain yang perlu dilakukan adalah kondisi klinis pasien,
stabilitas hemodinamik serta diuresis. Pada DBD dengan kondisi hemodinamik
tidak stabil (derajat 3 dan 4) cairan diberikan secara bolus atau tetesan cepat
antara 6-10 mg/kg berat badan, dan setelah hemodinamik stabil secara bertahap
kecepatan cairan dikurangi hingga kondisi benar-benar stabil. Pada kondisi di

31
mana terapi cairan telah diberikan secara adekuat, namun kondisi hemodinamik
belum stabil, pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit perlu dilakukan
untuk menilai kemungkinan terjadinya perdarahan internal.13 14

Tanda-tanda perbaikan.2

1 Stabil nadi, tekanan darah dan denyut pernapasan.


2 Suhu normal.
3 Tidak ada bukti perdarahan eksternal atau internal.
4 Kembali nafsu makan.
5 Tidak ada muntah, tidak ada rasa sakit perut.
6 Output urin baik.
7 Stabil hematokrit pada tingkat dasar.

2.10 Komplikasi
Ada beberapa komplikasi yang dapat terjadi, yakni: 13 14

1. Ensefalopati Dengue
Umumnya terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan dengan
perdarahan tetapi dapat jugaterjadi pada DBD tanpa syok. Didapatkan
kesadaran pasien menurun menjadi apatis/somnolen, dapatdisertai kejang.
Penyebabnya berupa edema otak perdarahan kapiler serebral, kelainan
metabolic, dan disfungsi hati. Tatalaksana dengan pemberian NaCl 0,9
%:D5=1:3 untuk mengurangi alkalosis, dexametason 0,5 mg/kgBB/x tiap 8
jam untuk mengurangi edema otak (kontraindikasi bila ada perdarahan
sal.cerna), vitamin K iv 3-10 mg selama 3 hari bila ada disfungsi hati, GDS
diusahakan >60 mg, bila perlu berikan diuretik untuk mengurangi jumlah
cairan, neomisin dan laktulosa untuk mengurangi produksi amoniak.
2. Kelainan Ginjal

32
Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal sebagai akibat
dari syok yang tidak teratasidengan baik. Diuresis merupakan parameter
yang penting dan mudah dikerjakan untuk mengetahui apakah syok telah
teratasi. Dieresis diusahakan > 1 ml/kg BB/jam.
3. Dengue Shock Syndrome
Sindrom syok adalah tingkat infeksi virus dengue yang terparah, karena
disertai dengan kebocoran cairan di luar pembuluh darah, pendarahan parah
dan syok, biasanya setelah 2-7hari demam. Tubuh yang dingin, sulit tidur,
dan sakit di bagian perut adalah tanda-tanda awal yang umum sebelum
terjadinya syok. Sindrom syok terjadi biasanya pada anak-anak (kadang kala
terjadi pada orang dewasa) yang mengalami infeksi dengue untuk kedua
kalinya. Hal ini umumnya sangat fatal dan dapat berakibat pada kematian,
terutama pada anak-anak, bila tidak ditangani dengan tepat dan cepat.
Durasi syok itu sendiri sangat cepat. Pasien dapat meninggal pada kurun
waktu 12-24 jam setelah syok terjadi atau dapat sembuh dengan cepat bila
usaha terapi untuk mengembalikan cairan tubuh dilakukan dengan tepat.
4. Edema Paru
Edema paru adalah komplikasi akibat pemberian cairan yang berlebih
(overload cairan).Semua terapi cairan harus dihentikan .Pada tahap awal
overload cairan , beralih dari kristaloid koloid solusi sebagai cairan bolus.
Dekstran 40 efektif sebagai 10 ml / kg infus bolus, tetapi dosisnya dibatasi
untuk 30 ml / kg / hari karena efek pada ginjal. Dekstran 40 diekskresikan
dalam urin dan akan mempengaruhi osmolaritas urine. Pada tahap akhir
overload cairan atau mereka dengan edema paru, furosemide mungkin
diberikan jika pasien memiliki tanda-tanda vital stabil. Jika syok, cairan
10ml / kg / jam koloid (dekstran) harus diberikan. Ketika tekanan darah
stabil, biasanya dalam waktu 10 sampai 30 menit, injeksi IV furosemide 1
mg / kg / dosis dan lanjutkan dengan infus dekstran sampai selesai. Cairan

33
intravena harus dikurangi menjadi serendah 1 ml / kg / jam sampai
penghentian ketika hematokrit menurun dan tanda vital membaik.

2.11 Pencegahan dan Kontrol


Kunci kontrol dari demam berdarah dan DHF / DSS adalah kontrol dari
Aedes aegypti. Nyamuk ini bPerkembang biak terutama pada wadah yang
digunakan untuk penyimpanan air, vas bunga, guci tua, kaleng tipis, dan
menggunakan ban dalam dan di sekitar tempat tinggal manusia. penghapusan
tempat-tempat perkembangbiakan ini merupakan metode yang efektif dan
definitif pengendalian vektor dan mencegah penularan DBD. Penggunaan
larvasida dan insektisida selama wabah terbatas. upaya sekarang berfokus pada
pendidikan kesehatan dan partisipasi masyarakat dalam upaya untuk
mengendalikan vektor dengan mengurangi tempat perkembangbiakan.12 13
B. IMUNOMODULATOR
Imunomodulator adalah substansi yang mempengaruhi sistem imun.
Berdasarkan cara kerjanya Imunomodulator dibedakan menjadi
imunostimulant dan imunosupresant. Imunomodulator yang baik berasal dari
bahan alam maupun sintetik. Imunostimulan alami misalnya komponen
bakteri dan substansi yang diisolasi dari jamur atau tumbuhan.
Imunomodulator yang dikenal pula sebagai biological respons modifier,
8
imunoaugmentor adalah berbagai macam bahan baik rekombinan, sintetik
9
maupun alamiah yang merupakan obat-obatan yang mengembalikan ketidak
10
seimbangan sistim imun yang dipakai pada imunoterapi. Imunoterapi
merupakan suatu pendekatan pengobatan dengan cara merestorasi,
meningkatkan atau mensupresi respon imun Berdasarkan hal terebut
imunoterapi diklasifikasikan menjadi activation immunotherapy dan
9
suppression immunotherapy.

34
2.1 Indikasi Imunosupresan

Indikasi imunosupresan digunakan untuk tiga indikasi utama yaitu,


transplantasi organ, penyakit autoimun, dan pencegahan hemolysis Ehesus
pada neonatus.

2.1.1 Transplantasi Organ

Imunosupresan sangat diperlukan untuk mencegah reaksi penolakan


transplantasi. Pada awalnya, obat yang digunakan adalah sitotoksik
nonspesifik (azatioprin dan siklofosfamid) dan kortikosteroid. Selanjutnya
ditemukan siklosporin dan yang lebih baru lagi mikofenol mofetil.

2.1.2 Pencegahan Hemolysis Rhesus pada Neonatus

Eritroblastosis fetalis terjadi bila seorang ibu rhesus negatif mengandung bayi
rhesus positif. Darah bayi mengandung antigen D dapat masuk ke sirkulasi ibu
waktu persalinan atau bila ada resiko solution plasenta atau kehamilan
ektopik. Proses ini akan menyebabkan ibu membentuk antibody terhadap
terhadap eritrosit Rh (+). Pada kehamilan selanjutnya, antibody terhadap
Rh(+) akan semakin meningkat dengan resiko transfer antibody ke sirkulasi
janin terutama pada trimester akhir dan menyebabkan hemolysis pada janin
(eritroblastosis fetalis). Untuk pencegahan eritroblastosis fetalis, antibody Rh
(D) diberikan pada ibu Rh(-) dalam waktu 72 jam setelah melahirkan.

2.1.3 Pengobatan Penyakit Autoimun

Penyakit autoimun berkembang bila system imun mengalami sensitasi oleh


protein asing. Hal ini merangsang pembentukan antibody atau perkembangan
sel T yang dapat bereaksi dengan antigen endogen ini. Efektivitas terapi
imunosupresan bervariasi tergantung dari jenis penyakit, dan umumnya
kurang efektif disbanding dengan pencegahan reaksi transplantasi atau

35
pencegahan reaksi hemolysis Rhesus. Berbagai penyakit autoimun seperti ITP
(Idiophatic Thrombocytopenic Purpura), anemia hemolitik autoimun, dan
glomerulonephritis akut, umumnya memberi respons cukup baik terhadap
pemberian prednisone saja. Untuk kasus berat diperlukan penambahan obat
sitotoksik.

2.2 Prinsip Umum Terapi Imunosupresan

Prinsip umum terapi imunosupresan adalah sebagai berikut:

1. Respon imum primer lebih mudah dikendalikan dan ditekan dibandingkan


dengan respon imun sekunder. Tahap awal respons imun primer
mencakup: pengolahan antigen oleh APC, sintesis limfokin, proliferasi
dan diferensiasi sel-sel imun. Tahap ini merupakan yang paling sensitive
terhadap obat imunosupresan. Sebaliknya, begitu terbentuk sel memori
maka efektivitas obat imunosupresan akan jauh berkurang
2. Obat imunosupresan memberikan efek yang berbeda terhadap antigen
yang berbeda. Dosis yang dibutuhkan untuk menekan respon imun
terhadap suatu antigen berbeda dengan dosis untuk antigen lain.
3. Penghambatan respon imun lebih berhasil bila imunosupresan diberikan
sebelum paparan terhadap antigen. Sayangnya, hamper semua penyakit
autoimun baru bisa dikenal setelah autoimunitas berkembang, sehingga
relative sulit diatasi.
2.3 Jenis Obat Imunosupresan
1. Kortikosteroid: digunakan sebagai obat tunggal atau dalam kombinasi
dengan imunosupresan lain untuk mencegah reaksi penolakan
transplantasi dan untuk mengatasi penyakit autoimun.
2. Penghambat kalsineurin siklosporin dan takrolimus: menghambat
kalisneurin sehingga akan menghambat transkripsi gen-gen tertentu.
3. Sitotoksik: menghambat perkembangan sel limfosit B dan T

36
4. Antibody: antibody monoclonal dan poliklonal untuk mencegah
penolakan transplantasi pada berbagai penyakit autoimun.
2.4 Indikasi Imunostimulan
Imunostimulan ditujukan untuk perbaikan fungsi imun pada kondisi-
kondisi imunosupresi. Kelompok obat ini dapat mempengaruhi respon
imun seluler maupun humoral. Kelemahan obat ini adalah efeknya yang
menyeluruh dan tidak bersifat spesifik untuk satu jenis sel atau antibody
tertentu.
2.5 Jenis Imunostimulan
1. Adjuvant natural: seperti BCG, isoprinosin, levamisole, talidomid
2. Sitokin: merupakan kelompok protein yang diproduksi oleh leukosit
dan sel-sel yang berikatan, dan memiliki peranan khusus dalam system
imun dan hematopoiesis.
2.6 Peran Imunomodulator terhadap Virus Dengue
TBV adalah vaksin yang menghambat penyebaran penyakit dengan target
antigen berasal dari tubuh vektor (artropoda), salah satunya dari saliva
nyamuk. Tujuan dari TBV adalah mencegah transmisi patogen dari inang
vertebrata yang terinfeksi ke inang yang belum terinfeksi. TBV banyak
digunakan untuk membangkitkan antibodi guna melawan molekul vektor
yang terlibat dalam perkembangan patogen. Pengembangan TBV yang
merupakan vaksin berbasis vektor tidak hanya pendekatan baru untuk
pengendalian penyakit tetapi juga merupakan pendekatan yang lebih
disukai. Vaksin berbasis vektor tidak hanya akan melindungi terhadap
pathogen yang ditularkan oleh vektor tetapi juga terhadap orang lain yang
belum terinfeksi. Perkembangan penelitian yang terbaru menunjukkan
bahwa saliva nyamuk dan arthropoda lain mengandung bahan yang
bersifat imunogenik yaitu dapat memunculkan respon imun adaptif yang
menghasilkan antibodi melawan komponen saliva. Dengan alasan tersebut

37
maka komponen saliva dapat dijadikan target dalam pengembangan TBV
untuk menghambat transmisi patogen.
Saliva vektor arthropoda sukses dalam mentransmisikan patogen ke inang
karena didalam saliva tersebut mengandung sejumlah komponen
vasodilator dan imunomodulator yang mempunyai aktivitas sebagai
antikoagulan, vasodilatasi, anti inflamasi dan bersifat imunosupresif. Jika
salivary gland vektor arthropoda yang mengandung factor
imunomodulator dapat meningkatkan infeksi pathogen, maka
memungkinkan untuk melakukan pengontrolan transmisi tersebut dengan
cara melakukan vaksinasi terhadap host dengan molekul yang bersifat
melawan protein dalam salivary gland. Penelitian terhadap potensi saliva
gland Aedes aegypti sebagai kandidat target dalam pengembangan TBV
melawan DBD merupakan langkah yang sangat penting untuk mencegah
sekaligus menanggulangi kasus DBD khususnya di Indonesia.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Sundaru Heru, Sukamto. Demam Berdarah. Dalam : Sudoyo Aru.W, dkk. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Depertemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ; 2006. h 2772-5
2. WHO. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and
Dengue Haemorrhagic Fever Revised and Expanded Edition. India: WHO
Library Cataloguing; 2011. h 5-53
3. Pangribowo Supriyono, Tryadi Andri, Indah Intan S. Demam Berdarah Dengue.
Dalam: Pangribaowo Supriyono, Tryadi Andri, Indah Intan S, editor. Buletin
Jendela Epidemiologi.Volume 2. Jakarta: Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia; 2010. h 1
4. Oktarianti, Rike.2013.Pengembangan Transmission Blocking Vaccine (TBV)
Melawan Demam Berdarah Dengue (DBD) :Identifikasi Faktor Imunomodulator
Putatif dari Salivary Gland Aedes aegypti Berbasis Reaksi Antigen-Antibodi
Vektor dan Inang Manusia.Universitas Jember.
5. Nasronudin. Patofisiologi Infeksi Virus Dengue dalam : Penyakit Infeksi di
Indonesia Solusi Kini & Mendatang. Nasronudin. Surabaya : Airlangga
University Press: 2011. H 103-7
6. Centers for Disease control and Prevention. Mosquito Life-Cycle. . [Online : 27
September 2012]. [cited : 26 Februari 2017] Avalaible from : URL :
http://www.cdc.gov/dengue/entomologyecology/m_lifecycle.html
7. National Centre for Emerging and Zoonotic Infectious Disease Division of
Vector-Borne Disease, Dengue Branch. Dengue and the Aedes aegypti mosquito.
[Online : 30 Januari 2012]. [cited : 26 Februari 2017] Avalaible from : URL :
www.cdc.gov/dengue/resources/30Jan2012/aegyptifactsheet.pdf
8. National Centre for Emerging and Zoonotic Infectious Disease Division of
Vector-Borne Disease, Dengue Branch. Dengue and the Aedes albopictus

39
mosquito. [Online : 30 Januari 2012]. [cited : 01 Maret 2017] Avalaible from :
URL: http://www.cdc.gov/dengue/resources/30Jan2012/albopictusfactsheet.pdf
9. Wills BA, Nguyen MD, Dong TH, et al. Comparison of Three Fluid Solutions for
Resuscitation in Dengue Shock Syndrome. In: Engl J Med: s.n.; 2005. P 887-89.
10. Candra, Arya. Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan Faktor
Resiko Penularan. [online: 2010]. [diakses: 20 Februari 2017]. Tersedia di: URL:
Journal.litbang.depkes.go.id/index.php/aspirator/article/.../2951/2136 -Journal of
Vector-borne Disease Studies, 2010 - ejournal.litbang.depkes.go.id
11. Naomi L, Roberta JE. Alterations in Hemostasis and Blood Coagulation. In:
Capstead Lee, Banasik Jacquelyn, editors. Pathophysiology. 4th Ed. USA:
Saunders Elsevier; 2010. p 340
12. Michael B. Nathan, Ranu DD, Maria G. Clinical Management and Dilivery of
Clinical Service. WHO: s.l; 2009. P 23-66
13. Sutaryo. Perkembangan Patogenesis Demam Berdarah Dengue. Jakarta: s.n.;
1999. P 32-43
14. Anne TB. Dengue Viruses. Sweden: Departement of Microbiology, Tumor and
Cell Biology, Karolinska Institutet, Stockholm: 2013.
15. W.Sudoyo Aru, Bambang Siyohadi , et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,
Demam Berdarah Dengue. Jilid II. Edisi. Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam Dipenogoro; 2009. H 2773-9

40

Anda mungkin juga menyukai