TENTANG
ALIRAN ASY’ARIYAH
Disusun Oleh :
FAKULTAS SYARI’AH
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
Beragam aliran teologi yang tumbuh subur memiliki historisasi yang cukup panjang,
semuanya tidak terlepas dari para pendirinya dan latar belakang yang menyertai sampai
pada para pengikutnya yang memilki loyalitas terhadap aliran tersebut.
Makalah ini akan membahas tentang aliran Asy’ariyah yang berkembang pada abad ke-4
dan ke-5/ke-10 dan ke-11. Aliran ini merupakan salah satu aliran yang muncul atas reaksi
terhadap Muktazilah sebagai paham yang memprioritaskan akal sebagai landasan dalam
beragama. Ketidaksepakatan terhadap doktrin-doktrin Mu’tazilah tersebut memunculkan
aliran Asy’ariyah yang dipelopori oleh Abu Al-Hasan Al-Asy’ari. Doktrin-doktrin yang
dikemukan beliau dan para pengikutnya merupakan penengah diantara aliran-aliran yang
ada pada saat itu.
Pada perkembangan selanjutnya aliran ini banyak dianut oleh mayoritas umat Islam karena
dianggap sebagai aliran Sunni yang mampu mewakili cara berpikir yang diharapkan umat
Islam di tengah-tengah pergolakan hati akibat beberapa aliran yang datang lebih dulu.
B. Rumusa Masalah
1. Bagaimana sejarah berdiri dan perkembangan asy’ariyah ?
2. Apa istilah asy’ariyah dan ahlu sunnah wal jamaah itu ?
3. Apa saja pandangan-pandangan atau doktrin-doktrin asy’ariyah ?
4. Bagaimana perkembangan asy’ariyah saat ini ?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui sejarah berdiri dan berkembangnya asy’ariyah.
2. Mengetahui istilah asy’ariyah dan ahlu sunnah wal jamaah.
3. Mengetahui apa saja pandangan-pandangan asy’ariyah.
4. Mengetahui perkembangan asy’ariyah saat ini.
BAB II
PEMBAHASAN
Nama lengkapnya ialah Abu Al-Hasan Ali bin Ismail bin Abi Bisy bin Salim bin Ismail
bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Amir bin Abu Musa Abdullah bin Qais Al-
Asy’ari. Ia berasal dari suku Asy’ar dari Yaman, yang mana dari suku tersebut pernah lahir seorang
fuqoha’ sekaligus sahabat nabi yang dikenal alim yang tidak lain merupakan kakek beliau bernama
Abu Musa Al-Asy’ari.
Menurut Ibnu ‘Asakir, ayah kandung beliau adalah seorang yang berpaham sunni dan ahli
hadis. Ia wafat saat Al-Asy’ari masih kecil. Sebelum kematiannya, ia berwasiat kepada Zakaria
bin Yahya As-Saji yang tak lain adalah sahabatnya agar anak ini dididik setelah kematiannya.
Pasca kematian ayah kandungnya, ibunya menikah dengan salah satu tokoh Mu’tazilah yang
1 Muhammad Idrus Ramli, Mazhab Al-Asy’ari: Benarkah Ahlussunnah wal Jama’ah? (Surabaya: Penerbit Khalista,
2009), h. 2—12.
bernama Abu ‘Ali Al-Jubba’i. Dari didikan ayah tirinya inilah ia kemudian menjadi tokoh
Mu’tazilah, bahkan sering menggantikan ayah tirinya dalam perdebatan menentang lawan-lawan
Mu’tazilah.
Imam Asy’ari menganut aliran Mu’tazilah hingga usia 40 tahun. Anak tiri sekaligus murid
kepercayaan dari Al-Jubba’i yang serign mewakili Al-Jubba’i dalam forum perdebatan itu
akhirnya keluar dari aliran Mu’tazilah dengan mengumumkannya di hadapan para jamaah Masjid
Bashrah dan kembali pada aliran yang dianut ayah kandungnya yaitu aliran Ahlussunnah wal
Jama’ah
Dalam data sejarah yang disampaikan oleh para ulama, seperti Al-Hafizh Ibnu ‘Asakir
menyebutkan salah satu alasan yang melatarbelakangi pindahnya Al-Asy’ari ke aliran Sunni
adalah ketidak puasan beliau atas ideologi Mu’tazilah karena mendahulukam akal daripada teks,
bahkan terkesan bahwa teks itu ditinggalkan oleh aliran ini. Ketidak puasan dengan Mu’tazilah ini
memancing dirinya untuk mendebat gurunya tentang kebuntuan aliran ini.
Penyebab lainnya adalah ketika beliau mengaku bermimpi bertemu Rasulullah sebanyak tiga kali,
yaitu pada malam ke-10, ke-20, dan ke-30. Dalam tiga kali pertemuan dalam mimpi itu, Rasulullah
memperingatkannya supaya ia meninggalkan paham Mu’tazilah dan segera membela pemahaman
yang diriwaykan dengan mutawatir.2
B. Tokoh-tokoh Asy’ariyah
Setelah meninggalnya Abu Hasan al-Asy’ari maka aliran Asy’ariyah ini mengalami kemunduran
atau kesurutan. Maka pada saat itu juga muncul pihak-pihak yang yang menentang aliran
asy’ariyah tersebut, seperti pengikut mazhab Hambali. Ketika itu muncullah seorang menteri dari
Bani Saljuk yang bernama Nidhomul Muluk (m. 485 H/1092 M)[2], mendirikan dua buah
madrasah yang terkenal yaitu, Nidhomiyah di Naisabur dan di Baghdad.
Kemudian tokoh-tokoh ulama terkenal yang berperan dalam kemajuan aliran Asy’ariyah tersebut
adalah:
a. Abu Bakar bin Tayyib al- Baqillany ( 403 H/1013 M), lahir di kota Bashrah. Kitab
karangannya yang terkenal ialah at-Tamhid, berisi antara lain tentang atom, sifat dan cara
pembuktian.
2 Ramli, Mazhab Al-Asy’ari: Benarkah Ahlussunnah wal Jama’ah?, h. 2—12;Abdul Rozak & Rosihon Anwar, Ilmu
Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2016), h. 146—147.
b. Abu al- Ma’aly bin Abdillah al- Juwainy (419-478 H/1028-1085M), lahir di kota Naisabur,
kemudian pindah ke kota Mu’askar dan akhirnya sampai di Baghdad. Dia mengikuti ajaran-
ajaran al- Baqillany dan al- Asy’ari. Kitab karangannya dibidang tauhid yang terkenal antara
lain:
- Al Burhan fie Ashuli Fiqhi menerangkan tentang masalah iman dan ilmu yang digali
berdasarkan sumber-sumber makrifat dan obyeknya.
- Al Irsyad fie Qowathi’i I-llah fie Ushuli i-‘Aqaid menerangkan tentang pokok-pokok
kepercayaan dan kewajiban pertama seorang muslim dewasa terhadap agama.
- Masailul Imam Abdul Haqqi ash Shaqati wa Ajwibatihi lil Imam Abil Ma’ati, kitab ini berisi
jawaban masalah-masalah yang dipertanyakan orang seperti alam itu baru, isra’ mi’raj, dll.
- Nihayatul Mathlub fie Dirayatil Mazhab, kitab ini adalah pandangan fiqihnya menurut mazhab
Syafi’i.
c. Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad al-Qazali (450-505 H/1059-1111M) lahir di kota
Thus, negeri Khurasan. Gurunya adalah Imam Juwainy. Kitabnya yang terkenal adalah Bidayatul
Hidayah suatu kitab pengantar ilmu tasauf dan Ihya’ ‘Ulumudddin yang berisi tentang cara-cara
menghidupkan kembali jiwa beragama yang waktu itu mulai luntur.
d. Abu Abdillah Muhammad bin Yusuf as Sanusi, lahir di kota Tilimsan Aljazair (833-
895H/1427-1490M). Diantara kitab karangannya adalah: Aqidah Ahli Tauhid, berisi pandangan-
pandangan tauhid dan Ummul Barahin berisi pembagian sifat-sifat wajib, mustahil, dan jaiz bagi
Allah dan Rasul-Nya.
e. Imam Abu Abdillah Muhammad at-Taimi al Kubro ibnu Khatib Fahruddin ar Razi. Lahir di
Persia 543H. Dia menulis kitab ilmu kalam, fiqih, tafsir dan lain-lain.
f. Abdul Fattah Muhammad Abdul Karim ibnu Abi Bakar Ahmad asy Syahrastani. Lahir di
Khurasan (479-574H/1086-1153M). kitab karangannya yang terkenal al Milal Wan Nihal.
Menerangkan golongan-golongan dalam Islam dan berbagai paham keagamaan dan falsafat.
Kitab ini terdiri dari 3 juz dalam satu jilid. 3
3 Anwar, Rosihon, Ilmu Kalam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007. hlm. 98
Meskipun asy’riyan dan mu’tazilah sama-sama mengakui akan pentingnya akal dan wahyu,
namun mereka memiliki pandangan yang berbeda dalam menghadapi persoalan dalam
memperoleh penjelasan dari akal dan wahyu tersebut. Asy’ariyah lebih mengutamakan wahyu,
sedangkan mu;tazilah lebih mengutamakan akal.
Dalam menentukan pandangan akan baik dan buruk pun terjadi perbedaan pendapat, yakni
Asy’ri berpendapat bahwa tolak ukur antara perbuatan baik dan buruk itu berdasarkan wahyu,
sedangkan mu’tazilah berpandangan bahwa tolak ukur dari baik atau buruknya suatu perbuatan
itu berdasarkan pada akal. Namun kiranya pendapat dari mu’tazilah ini kurang relevan, karena
setiap akal pribadi manusi itu memiliki perspektif dan pendapar masing-masing yang tentu pasti
akan berbeda.
d. Melihat Allah
Dalam hal ini asy’riyah bertentangan pendapat dengan kelompok Zahidiyah dan kelompok
ortodoks ekstem, yang berpendapat bahwa Allah dapat dilihat kelak di akhirat dan memercayai
bahwa Allah memang benar-benar bersemayan di atas ‘ars (pemahaman secara harfiyah). Selain
itu juga, asy’riyah bertentangan dengan pendapat mu’tazilah yang mengingkari ru’yatullah
(melihat Allah) kelak diakhirat. Asy’ariyah yakin bahwa Allah dapat dilihat kelak di akhirat,
namun tak tergambarkan rupaNya. Hal ini didasarkan pada pendapat keyakinan asy’ari yang
menjelaskan bahwa sesuatu yang dapat dilihat adalah sesuatu yang mempunyai wujud. Karena
tuhan memiliki wujud, tuhan dapat dilihat, lebih jauh dikatakan tuhan melihat apa yang ada.
Dengan demikian, tuhan melihat diriNya juga. Jika tuhan melihat diriNya, tentu tuhan dapat
membuat manusia mempunyai kemampuan melihat diriNya. Hal ini disandarkan pada QS. Al-
Qiyamah :22
إلى ربّها ناظرة
“Kepada Tuhannyalah mereka melihat”
e. Keadilan
Pada dasarnya asy’ariyah dan mu’tazilah sama-sama meyakini bahwaAllah itu bersikap adil,
hanya berbedapandangan dalam hal makna adil tersebut. Mu’tazilah berpendapat bahwa maksud
dari keadilan disini adalah bahwa mereka mengharuskan Allah bebuat adil, sehingga Ia harus
menyiksa orang yang berbuat salah dan membiri pahala kepada orang ynag berbuat kebaikan.
Sedangkan asy’riyah berpendapat bahwa Allah tidak memiliki keharusan apapun akan hal
tersebut, karena ia merupakan penguasa mutlak. Dan kehendak untuk menyiksa dan memberi
pahala ada ditanganNya, hal ini berbeda dengan mu’tazilah yang menghruskan akan hal tersebut.
Jika mu’tazilah mengartikan keadilan dari sisi keyakinan bahwa manusia yang memiliki dirinya,
sedangkan asy’ariyah dari sisi bahwa Allah merupakan Pemilik Mutlak.
f. Kedudukan Orang Berdosa
Asy’ariyah berpendapat bahwa pelaku dosa besar tetap dikatakan sebagai orang beriman,
hanya saja mereka disebut sebagai orang fasik atau muslim ‘ashi. Hal ini disebabkan karena
keimanan seseorang itu tak akan hilang karena dosa selain kufur. Pandangan ini berbeda dengan
bebrapa aliran, termasuk aliran khawarij yang ekstrim yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar
dihukumi kafir.4
4 Hanafi Ahmad, Penghantar Teologo Islam, Penerbit Al-Husna, Jakarta, 1992,press, Jakarta, 1986 , Hal. 64
mengeluarkan perintah untuk menangkap pemuka-pemuka aliran al-Asy’ariyah seperti Abu al-
Qasim al-Qusyairi Dengan demikian terjadi pergolakan pemikiran teologis dalam tubuh al-
Asy’ary di satu pihak dan ancaman dari penguasa di lain pihak, sehingga hal ini nasib al-
Asy’ariyah bertambah suram pada saat itu.
Situasi seperti di atas mendadak berubah setelah tampilnya sosok al-Gazali dengan
penampilan memikat serta menggunakan metode lawan-lawannya seperti Neoplatonisme dan
Aristoteles, maka ia berhasil mengangkat kembali pamor Sunnisme dan membangunnya menjadi
lebih kokoh serta membuat aliran Sunni sebagai aliran yang kuat dan tak terpatahkan Keberhasilan
al-Gazali ini disebabkan oleh adanya Nizam al-Muluk, yakni seorang Perdana Menteri Dinasti
Saljuk yang menganut paham al-Asy’ariyah.
Karena keberhasilan al-Gazali, maka Perdana Menteri tersebut membangun sekolah-sekolah
Nizamiyah yang kepemimpinannya diserahkan kepada al-Gazali. Kesempatan ini lalu
dipergunakan al-Gazali untuk mengajarkan paham al-Asy’ariyah secara intensif, sehingga tokoh-
tokoh pembesar negara mengikuti paham Asy’ariyah ini. Oleh karenanya, aliran ini kemudian
tersebar bukan saja di wilayah Dinasti Saljuk, melainkan membias ke berbagai dunia Islam
lainnya.
Penyebaran pengaruh al-Asy’ariyah ke berbagai kawasan dunia Islam pada mulanya
melalui Mesir (Salahuddin al-Ayyubi) kemudian ke Maroko dan Andalusia (Ibn Tumart),
selanjutnya ke dunia Islam bagian Timur melalui Afghanistan oleh Mahmud al-Gaznawi.
Pengaruh dinasti ini akhirnya terus ke Punjab dan India serta sampai ke Irak melalui Persia.[29]
Sebagai aliran Sunni yang berkembang hingga abad ke-21 ini, al-Asy’ariyah masih harus
diakui eksistensinya serta memiliki prospek yang cerah di hati dan pemikiran umat Islam,
meskipun manusia di abad ini cenderung lebih rasional yang sudah tentu dapat memberi peluang
kepada berkembangnya aliran Mu’tazilah.
Peluang tetap berkembangnya al-Asy’ariyah sebagai aliran Ahl al-Sunnah di masa yang
akan datang dapat dilihat pada beberapa faktor:
1. Ajarannya yang sederhana dan tidak memerlukan pola pikir yang tinggi membuat umat Islam yang
awam semakin tertarik untuk mengikutinya.
2. Meskipun orang telah maju dalam pemikirannya tetapi naluri kemanusiaannya yang senantiasa
memiliki ketergantungan kepada Tuhan, dengan kata lain bahwa Tuhan masih mempunyai
intervensi pada perbuatan manusia, dapat memberi peluang kepada paham kemutlakan Tuhan yang
dikembangkan oleh Asy’ariyah.
3. Masih banyak tokoh-tokoh Asy’ariyah yang hidup di abad ini dan banyak pula buku-buku Ahl al-
Sunnah yang masih menjadi pegangan di berbagai madrasah dan pesantren, memungkinkan
Asy’ariyah tetap eksis sebagai aliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah di masa akan datang.5
5 http://abiavisha.blogspot.com/2015/12/asyariyah-perkembangan-dan-pengaruhnya.html ( di
akses minggu, 27 oktober 2019)
BAB III
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
http://abiavisha.blogspot.com/2015/12/asyariyah-perkembangan-dan-pengaruhnya.html ( di akses
minggu, 27 oktober 2019).
Hanafi Ahmad, Penghantar Teologo Islam, Penerbit Al-Husna, Jakarta, 1992,press, Jakarta, 1986.
Muhammad Idrus Ramli, Mazhab Al-Asy’ari: Benarkah Ahlussunnah wal Jama’ah? (Surabaya:
Penerbit Khalista, 2009).
Ramli, Mazhab Al-Asy’ari: Benarkah Ahlussunnah wal Jama’ah?, h. 2—12;Abdul Rozak &
Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2016).