Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan Islam PDF
Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan Islam PDF
DAN TOKOH-TOKOHNYA
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Menurut Islam, pendidikan adalah corak hitam putihnya perjalanan hidup
seseorang. Oleh karena itu ajaran Islam menetapkan bahwa pendidikan
merupakan salah satu kegiatan yang wajib hukumnya bagi pria dan wanita,
dan berlangsung seumur hidup – semenjak dari buaian hingga ajal datang (Al-
Hadis) – life long education.
Kedudukan tersebut secara tidak langsung telah menempatkan pendidikan
sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan hidup dan kehidupan umat
manusia. Dalam hal ini Dewey berpendapat bahwa: “Pendidikan sebagai salah
satu kebutuhan hidup (a necessity of life), salah satu fungsi sosial (a social
function), sebagai bimbingan (as direction), sebagai sarana pertumbuhan (as
means of growth), yang mempersiapkan dan membukakan serta membentuk
disiplin hidup,1 lewat transmisi baik dalam bentuk informal, formal maupun
nonformal”. Bahkan jauh Lodge mengatakan bahwa: “Pendidikan dan proses
hidup dan kehidupan manusia itu berjalan serempak, tidak terpisah satu sama
yang lain – life is education, and education is life.”2
Dengan demikian, pendidikan menyandang misi keseluruhan aspek
kebutuhan hidup dan berproses sejalan dengan dinamikanya hidup serta
perubahan-perubahan yang terjadi. Sebagai akibat logisnya maka pendidikan
senantiasa mengandung pemikiran dan kajian, baik secara konseptual maupun
operasionalnya, sehingga diperoleh relevansi dan kemampuan menjawab
tantangan serta memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh umat
manusia.
1
John Dewey, Democracy and Education, (New York: The Free Press, 1966), hlm. 1-54.
2
Rupert C. Lodge, Philosophy of Education, (Hareh & Brothers, New York, 1947), hlm.
23
1
Pemikiran dan kajian tentang pendidikan dilakukan oleh para ahli dalam
berbagai sudut tinjauan dan disiplin ilmu, seperti agama, filsafat, sosiologi,
ekonomi, politik, sejarah, dan antropologi. Sudut tinjauan ini menyebabkan
lahirnya cabang ilmu pengetahuan kependidikan yang berpangkal dari sudut
tinjauannya, yaitu pendidikan agama, filsafat pendidikan, sosiologi
pendidikan, dan sebagainya.
Berikut ini akan dibahas tentang aliran-aliran utama dalam filsafat
pendidikan beserta dengan tokoh-tokohnya.
2. Tujuan Pembahasan
a. Memahami aliran-aliran utama filsafat pendidikan Islam dan tokoh-
tokohnya
b. Menambah khazanah keilmuan dalam bidang filsafat pendidikan Islam
6
Imam al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, terj. Ahmad Maimun, (Cet. 3; Bandung:
Penerbit Marja, 2012), hlm. 17-18.
7
Ahmad Fuad al-Ahwani, Al-Tarbiyah fi al-Islam, (Mesir: Dar al-Misriyah, tanta tahun),
hlm. 238.
5
Menurut H.M. Arifin sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata, al-
Ghazali adalah penganut faham idealism yang konsekuen terhadap
agama sebagai dasar pandangannya. Dalam masalah pendidikan, al-
Ghazali lebih cenderung berpaham empirisme. Hal ini antara lain
disebabkan karena ia sangat menekankan pengaruh pendidikan
terhadap anak didik. Menurutnya, seorang anak tergantung kepada
orang tua dan anak yang mendidiknya.8
Tujuan pendidikan menurut al-Ghazali adalah mendekatkan diri
kepada Allah SWT., bukan untuk mencari kedudukan, kemegahan dan
kegagahan atau mendapatkan kedudukan yang menghasilkan uang.
Karena jika tujuan pendidikan diarahkan bukan pada mendekatkan diri
kepada Allah, akan dapat menimbulkan kedengkian, kebencian, dan
permusuhan.9
Rumusan tujuan pendidikan yang demikian ini sejalan dengan
firman Allah SWT. tentang tujuan penciptaan manusia, yaitu:
2. Pendidik
Sejalan dengan pentingnya pendidikan mencapai tujuan di atas, al-
Ghazali juga menjelaskan tentang ciri-ciri pendidik yang boleh
melaksanakan pendidikan. Ciri-ciri tersebut adalah:
a. Guru harus mencintai muridnya seperti mencintai anak
kandungnya sendiri.
8
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Cet. 1; Jakarta: Ciputat: Logos Wacana Ilmu,
1997), hlm. 161.
9
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam…., hlm. 162.
6
b. Guru jangan mengharapkan materi (upah) sebagai tujuan dari
pekerjaannya (mengajar), karena mengajar adalah tugas yang
diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW. sedangkan upahnya
adalah terletak pada terbentuknya anak didik yang mengamalkan
ilmu yang diajarkannya.
c. Guru harus mengingatkan muridnya agar tujuannya dalam
menuntut ilmu bukan untuk kebanggaan diri atau mencari
keuntungan pribadi, tetapi untuk mendekatkan diri kepala Allah.
d. Guru harus mendorong muridnya agar mencari ilmu yang
bermanfaat, yaitu ilmu yang membawa pada kebahagiaan dunia
dan akhirat.
e. Di hadapan muridnya, guru harus memberikan contoh baik, seperti
berjiwa halus, sopan, lapang dada, murah hati dan berakhlak terpuji
lainnya.
f. Guru harus mengajarkan pelajaran yang sesuai dengan tingkat
intelektual dan daya tangkap anak didiknya.
g. Guru harus mengamalkan yang diajarkannya, karena ia menjadi
idola di mata anak didiknya.
h. Guru harus memahami minat, bakat dan jiwa anak didiknya,
sehingga di samping tidak akan salah dalam mendidik, juga akan
terjalin hubungan yang akrab dan baik antara guru dengan anak
didiknya.
i. Guru harus dapat menanamkan keimanan ke dalam pribadi anak
didiknya, sehingga akal pikiran anak didik tersebut akan dijiwai
oleh keilmuan itu.10
Jika tipe ideal guru yang dikehendaki al-Ghazali tersebut di atas
dilihat dari persfektif guru sebagai profesi nampak diarahkan pada
aspek moral dan kepribadian guru, sedangkan keahlian, profesi dan
penguasaan terhadap materi yang diajarkan dan metode yang harus
10
Sa‟id Hawwa, Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus, terj. Abdul Amin dkk. (Cet. V;
Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007), hlm. 23-25.
7
dikuasainya nampaknya kurang diperhatikan. Hal ini dapat dimengerti
karena paradigma (cara pandang) yang digunakan untuk menentukan
guru tersebut adalah paradigma tasawuf yang menempatkan guru
sebagai figur sentral, idola, bahkan mempunyai kekuatan spiritual,
dimana sang murid sangat bergantung kepadanya. Dengan posisi
seperti ini nampak guru memegang peranan penting dalam pendidikan.
Hal ini mungkin kurang sejalan lagi dengan pola dan pendekatan
dalam pendidikan yang diterapkan pada masyarakat modern saat ini.
Tipe ideal guru yang dikemukakan al-Ghazali yang demikian sarat
dengan normal akhlak itu, masih dianggap relevan jika tidak dianggap
satu-satunya model, melainkan jika dilengkapi dengan persyaratan
yang lebih bersifat akademis dan profesi. Guru yang ideal di masa
sekarang adalah guru yang memiliki persyaratan kepribadian
sebagaimana dikemukakan al-Ghazali dan persyaratan akademis
profesional.
3. Murid
Sejalan dengan prinsip bahwa menuntut ilmu pengetahuan itu
sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah, maka bagi murid
dikehendaki hal-hal sebagai berikut:
a. Seorang murid di hadapan guru selayaknya senantiasa memulai
pertemuan dengan mengucapkan salam kepada guru, tidak
banyak berbicara di hadapannya.
b. Ikut berdiri ketika dia berdiri dan tidak mengatakan, “fulan
mengatakan sesuatu yang berbeda dengan yang Anda katakan.”
c. Tidak bertanya kepada teman ketika duduk di hadapan guru.
d. Tidak tertawa ketika guru berbicara.
e. Tidak memperlihatkan kepadanya apa yang bertentangan
dengan pendapatnya.
f. Tidak memegang bajunya ketika dia berdiri.
8
g. Tidak meminta penjelasan tentang suatu masalah di tengah
perjalanan hingga sampai ke rumahnya dan tidak bertanya
ketika dia merasa jenuh.11
Ciri-ciri murid yang demikian itu nampak juga masih dilihat dari
persfektif tasawuf yang menempatkan murid sebagaimana murid
tasawuf di hadapan gurunya. Ciri-ciri tersebut untuk masa sekarang
tentu masih perlu ditambah dengan ciri-ciri yang lebih membawa
kepada kreatifitas dan kegairahan dalam belajar.
4. Kurikulum
Secara tradisional kurikulum berarti mata pelajaran yang diberikan
kepada anak didik untuk menanamkan sejumlah pengetahuan agar
mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Kurikulum tersebut
disusun sedemikian rupa agar dapat mencapai tujuan yang telah
ditentukan.
Pandangan al-Ghazali tentang kurikulum dapat dipahami dari
pandangannya mengenai ilmu pengetahuan. Ia membagi ilmu
pengetahuan kepada yang terlarang dan yang wajib dipelajari oleh
anak didik menjadi tiga kelompok, yaitu:
a. Ilmu yang tercela, banyak atau sedikit. Ilmu ini tidak ada
manfaatnya bagi manusia di dunia ataupun di akhirat, misalnya
ilmu sihir, nujum, dan ilmu perdukunan. Bila ilmu ini dipelajari
akan membawa mudharat dan akan meragukan terhadap
kebenaran adanya Tuhan. Oleh karena itu ilmu ini harus
dijauhi.
b. Ilmu yang terpuji, banyak atau sedikit. Misalnya ilmu tauhid
dan ilmu agama. Ilmu ini bila dipelajari akan membawa
seseorang kepada jiwa yang suci bersih dari kerendahan dan
keburukan serta dapat mendekatkan diri kepada Allah.
11
Al-Ghazali, Majmu‟ah Rasa‟il al-Imam al-Ghazali, terj. Irwan Kurniawan, (Cet. 1;
Bandung: Pustaka Hidayah, 2010), hlm. 17.
9
c. Ilmu yang terpuji pada taraf tertentu, yang tidak boleh
diperdalam, karena ilmu ini dapat membawa kepada
kegoncangan iman dan ilhad (meniadakan Tuhan) seperti ilmu
filsafat.12
Jika diamati secara seksama, nampak al-Ghazali menggunakan dua
pendekatan dalam membagi ilmu pengetahuan. Pertama pendekatan
fiqih yang melahirkan pembagian ilmu pada yang wajib dan fardhu
kifayah. Kedua pendekatan tasawuf (akhlak) yang melahirkan
pembagian ilmu pada yang terpuji dan tercela. Hal ini akan semakin
jelas jika dihubungkan dengan tujuan pendidikan tersebut di atas, yaitu
pendekatan diri kepada Allah.
Dari keseluruhan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan, bahwa
al-Ghazali adalah seorang ulama besar yang menaruh perhatian yang
cukup tinggi terhadap pendidikan. Corak pendidikan yang
dikembangkannya tampak dipengaruhi oleh pandangannya terhadap
tasawuf dan fikih. Hal ini tidak mengherankan karena dalam kedua
bidang ilmu tersebut itulah al-Ghazali memperlihatkan
kecenderungannya yang besar. Konsep pendidikan yang
dikemukakannya nampak selain sistematik dan komprehensif juga
secara konsisten sejalan dengan sikap dan kepribadiannya sebagai
seorang sufi.
2. Ikhwan Al-Shafa
a. Riwayat Singkat Ikhwan Al-Shafa
Ikhwan al-Shafa adalah perkumpulan para mujtahidin dalam
bidang filsafat yang banyak memfokuskan perhatiannya pada bidang
dakwah dan pendidikan. Perkumpulan ini berkembang pada abad ke
dua Hijriah di kota Bashrah, Irak. Organisasi ini antara lain
mengajarkan tentang dasar-dasar agama Islam yang didasarkan pada
persaudaraan Islam, yaitu suatu sikap yang memandang iman seorang
12
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam…, hlm. 166.
10
muslim tidak akan sempurna kecuali ia mencintai saudaranya seperti
mencintai dirinya sendiri. Sebagai sebuah organisasi ia memiliki
semangat dakwah dan tabligh yang amat militan dan kepedulian yang
tinggi terhadap orang lain.13 Semua anggota perkumpulan ini wajib
menjadi guru dan mubaligh terhadap orang lain yang terdapat di
masyarakat. Di sinilah letak relevansinya berbicara Ikhwan al-Shafa
terhadap pendidikan.
Informasi lain menyebutkan bahwa organisasi ini didirikan oleh
kelompok masyarakat yang terdiri dari para filosof. Organisasi yang
mereka dirikan bersifat rahasia dan memiliki misi politis. Namun
bersamaan dengan itu ada pula yang mengatakan bahwa organisasi ini
lebih bercorak kebatinan. Mereka sangat mengutamakan pendidikan
dan pengajaran yang berkenaan dengan pembentuk pribadi, jiwa, dan
akidah.
b. Pandangan Pendidikan
Batasan ilmu menurut Ikhwan al-Shafa adalah gambaran tentang
sesuatu yang diketahui pada benak (jiwa) orang yang mengetahui.
Lawan dari ilmu adalah kebodohan, yaitu tiadanya gambaran yang
diketahui pada jiwanya. Jiwa para ilmuwan, secara riil-aktual berilmu,
sedangkan jiwa para pelajar, berilmu secara potensial. Belajar dan
mengajar tiada lain adalah mengaktualisasikan hal-hal potensial,
melahirkan hal-hal yang terpendam dalam jiwa. Akitivitas seperti itu
bagi guru dinamakan dengan mengajar, dan bagi pelajar dinamakan
dengan belajar.
Ikhwan al-Shafa mengatakan bahwa jiwa pelajar adalah berilmu
(mengetahui) secara potensial, artinya kesiapan untuk belajar
(educable). Dengan demikian, proses pengajaran adalah usaha
transformative terhadap kesiapan ajar agar benar-benar menjadi riil
atau upaya transformative terhadap jiwa pelajar yang semula berilmu
13
Ahmad Fu‟ad al-Ahwani, Al-Tarbiyah fi al-Islam…., hlm. 227
11
(mengetahui) secara potensial agar menjadi berilmu (mengetahui)
secara riil-aktual.14
Inti proses pendididkan adalah pada kiat tranformasi potensi-
potensi manusia agar menjadi kemampuan psikomotorik. Konsep
seperti ini jelas berbeda dengan konsep pengetahuan intuitif yang
cenderung diapresiasi oleh ilmuwan aliran Konservatif dalam
pemikiran pendidikannya.
Hasil penelitian para ahli menyebutkan bahwa Ikhwan al-Shafa
lebih dekat kepada aliran John Locke yang bersifat empirisme. Aliran
ini menilai bahwa awal pengetahuan terjadi karena panca indera
berinteraksi dengan alam nyata. Sebelum berinteraksi dengan alam
nyata itu di dalam akal tidak terdapat pengetahuan apapun.15
Jika ilmu pengetahuan itu harus diusahakan, maka bagaimanakah
cara untuk mendapatkan ilmu tersebut? Ikhwan al-Shafa berpendapat
bahwa cara untuk mendapatkan ilmu tersebut adalah dengan cara
membiasakan berpegang teguh pada pembiasaan dan perenungan.
Dalam hubungan ini ia mengatakan: “Hendaknya diketahui bahwa
pembiasaan ini dan latihan itu harus dilakukan secara kontinyu, dan
dari pembiasaan ini akan dihasilkan akhlak yang kokok, sebagaimana
hal itu terjadi di dalam bidang ilmu. Pembiasaan itu juga berhubungan
dengan mudzakarah yang dapat memperkuat daya ingatan dan
kedalaman ilmu.”16
Sejalan dengan pendapatnya yang mengatakan bahwa ilmu itu
harus diusahakan, maka dalam usaha tersebut memerlukan guru. Nilai
seorang guru menurutnya bergantung kepada caranya dalam
menyampaikan ilmu pengetahuan. Untuk ini mereka mensyaratkan
agar guru memiliki syarat-syarat yang sesuai dengan sikap dan
pandangan politik Ikhwan al-Shafa serta sesuai pula dengan tujuan
14
Muhammad Jawwad Ridha, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam…, hlm. 77.
15
Ahmad Fu‟ad al-Ahwwani, Al-Tarbiyah fi al-Islam…, hlm. 228
16
Ahmad Fu‟ad al-Ahwwani, Al-Tarbiyah fi al-Islam…, hlm. 228
12
syiar dakwahnya. Keberhasilan seorang pelajar tergantung kepada guru
yang cerdas, baik akhlaknya, lurus tabi‟atnya, bersih hatinya,
menyukai ilmu, bertugas mencari kebenaran, dan tidak bersifat
fanatisme terhadap sesuatu aliran.
Syarat-syarat guru yang demikian hanya muncul dari orang-orang
yang berada dalam organisasinya. Berkenaan dengan ini mereka
memiliki aturan tentang jenjang seorang guru yang oleh istilah mereka
dikenal dengan nama ashhab al-namus. Mereka itu adalah mu‟allim,
ustadz, dan muaddib. Guru ashhab al-namus adalah malaikat, dan guru
malaikat adalah jiwa yang universal, dan guru jiwa universal adalah
akal aktual; dan akhirnya Allah-lah sebagai guru dari segala sesuatu.
Guru, ustadz atau muaddib dalam hal ini berada pada posisi ketiga.
Urutan ini selanjutnya digambarkan sebagai berikut:
a. Al-Abrar dan al-Ruhama, yaitu orang yang memiliki syarat
kebersihan dalam penampilan batinnya dan berada pada usia
kira-kira 25 tahun.
b. Al-Ru‟asa dan al-Malik, yaitu mereka yang memiliki
kekuasaan yang usianya kira-kira 30 tahun, dan disyaratkan
memelihara persaudaraan dan bersikap dermawan.
c. Muluk dan Sulthan, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan dan
telah berusia 40 tahun.
d. Tingkatan yang mengajak manusia untuk sampai pada
tingkatannya masing-masing, yaitu berserah dan menerima
pembiasaan, menyaksikan kebenaran yang nyata, kekuatan ini
terjadi setelah berusia 50 tahun.17
Dari uraian tersebut, nampak bahwa pandangan Ikhwan al-Shafa
mengenai pendidikan sangat dipengaruhi oleh pandangan
kelompoknya dan terkesan ekslusif dan berorientasi pada pemenuhan
kebutuhan spiritulitas belaka, kurang membicarakan mengenai
proyeksi kehidupan di dunia. Namun demikian, sebagai sebuah
17
Ahmad Fu‟ad al-Ahwwani, Al-Tarbiyah fi al-Islam…, hlm. 230.
13
organisasi ia nampak solid dalam menggalang misi dakwah yang
dianutnya.
3. Ibnu Khaldun
a. Biografi
Tokoh ini mempunyai nama lengkap „Abd Al-Rahman ibn
Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Al-Hasan ibn Jabir
ibn Muhammad ibn Ibrahim ibn Khalid ibn „Usman ibn Hani ibn Al-
Khattab ibn Kuraib ibn Ma‟adikarib ibn Al-Haris ibn Wail ibn Hujr.18
Sejarawan yang mempunyai nama kecil „Abd Al-Rahman ini biasa
dipanggil dengan nama keluarga (kunyah) Abu Zaid, yang diambil dari
nama putra sulungnya, Zaid. Akan tetapi dia lebih popular dengan
panggilan Ibnu Khaldun,19 yang dinisbatkan kepada nama kakeknya
yang kesembilan, yaitu Khalid.
Ibnu Khaldun hidup pada periode akhir dari Dinasti Mamluk, yaitu
periode sejarah keruntuhan peradaban Islam di Baghdad karena
serangan bangsa Tartar pada tahun 656 H s/d 923 H.20 Beliau
meninggal pada tahun 808 H.21
18
Husein „Ashi, Ibnu Khaldun Muarrikhan, (Cet. 1; Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah,
1991), hlm. 7 dan Mohammad Abdullah Enan, Ibn Khaldun: His Life and Work (New Delhi: Kitab
Bhavan, 1979), hlm. 3. Ibnu Khaldun sendiri sebenarnya ragu dengan silsilah ini. Menurutnya,
masih ada sekitar 20 nama nenek moyangnya yang ketinggalan dan itu tidak dapat diketahui. Baca
A. Mukti Ali, Ibn Chaldun dan Asal-Usul Sosiologi, Bagian Pertama, (Cet. 1; Yogyakarta:
Yayasan Nida, 1970), hlm. 13.
19
Ali Muhammad Wafi, Ibnu Khaldun, Riwayat dan Karyanya, alih bahasa Ahmadie
Thaha, (Cet. 1; Jakarta: Grafitipers, 1985), hlm. 3.
20
Ali Al-Jumbulati, Dirasatun Muqaaranatun fit-Tarbiyatil Islamiyyah, terj. M. Arifin,
(Cet. 1; Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hlm. 174.
21
Ali Al-Jumbulati, Dirasatun Muqaaranatun fit-Tarbiyatil Islamiyyah…, hlm. 185.
14
af‟idah (jamak dari fu‟ad). Ada tiga tingkatan proses berpikir menurut
Ibnu Khaldun.22 Tingkatan pertama disebut al-„aql-al-tamyizi, yaitu
pemahaman intelektual manusia terhadap segala sesuatu yang ada di
luar alam semesta dalam tatanan alam yang berubah, dengan maksud
supaya manusia mampu menyeleksinya dengan kemampuannya
sendiri. Bentuk pemikiran seperti ini kebanyakan berupa persepsi-
persepsi yang dapat membantu manusia membedakan segala sesuatu
yang bermanfaat bagi dirinya, dengan menolak yang tidak bermanfaat.
Tingkatan kedua disebut al-„aql al-tajribi, yaitu pikiran yang
memperlengkapi manusia dengan ide-ide dan perilaku-perilaku yang
dibutuhkan dalam pergaulan dengan orang lain. Bentuk pemikiran
seperti ini kebanyakan berupa apersepsi yang dicapai manusia melalui
pengalaman, hingga benar-benar dirasakan manfaatnya.
Tingkatan ketiga disebut al-„aql al-nazhari, yaitu pikiran yang
memperlengkapi manusia dengan pengetahuan atau pengetahuan
hipotesis mengenai sesuatu yang berada di belakang persepsi indra
tanpa tindakan praktis yang menyertainya. Bentuk pemikiran seperti
ini merupakan gabungan persepsi dan apresiasi yang tersusun secara
khusus yang dapat membentuk sebuah pengetahuan. Dengan
pengetahuan semacam ini, manusia mencapai kesempurnaan
realitasnya yang disebut al-haqiqah al-insaniyyah. Ketiga tingkatan
yang disebut berpikir ini merupakan pembeda manusia dengan
makhluk lainnya.
3. Tujuan Pendidikan
Fathiyyah Hasan Sulaiman dalam pandangan Ibnu Khaldun tentang
Ilmu dan Pendidikan menyebutkan bahwa tujuan pendidikan menurut
Ibnu Khaldun adalah.24
a. Memberikan kesempatan kepada pikiran untuk aktif dan
bekerja, karena aktifitas penting bagi terbukanya pikiran dan
kematangan individu, yang pada gilirannya kematangan
individu ini bermanfaat bagi manusia.
b. Memperoleh berbagai ilmu pengetahuan, sebagai alat yang
membantu manusia agar dapat hidup dengan baik, dalam
rangka mewujudkan masyarakat yang maju dan berbudaya.
c. Memperoleh lapangan pekerjaan yang dapat digunakan untuk
mencari penghidupan.
Dari tujuan di atas, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa “pendidikan
atau ilmu dan mengajar merupakan suatu kemestian dalam
membangun masyarakat manusia.”25 Pernyataan ini mengindikasikan
bahwa maksud pendidikan menurut Ibnu Khaldun adalah
mentransformasikan nilai-nilai yang diperoleh dari pengalaman untuk
24
Fathiyyah Hasan Sulaiman, Pandangan Ibnu Khaldun tentang Ilmu dan Pendidikan,
alih bahasa HMD. Dahlan, (Cet. 1; Bandung: Diponegoro, 1987), hlm. 35-36.
25
Dikutip dari Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, alih bahasa
Ibrahim Husein, (Cet. 1; Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 107.
16
dapat mempertahankan eksistensi manusia dalam peradaban
masyarakat. Pendidikan adalah upaya melestarikan dan mewariskan
nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, agar masyarakat tersebut bisa
tetap eksis. Inilah kiranya tujuan utama pendidikan menurut Ibnu
Khaldun. Dalam konteks ini Ibnu Khaldun telah memandang
pendidikan sebagai bagian dari proses peradaban manusia.
26
Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun…, hlm. 360
17
“Wahai muta‟allim, ketahuilah bahwa saya di sini akan memberi
petunjuk yang bermanfaat bagi studimu. Apabila kamu
menerimanya dan mengikutinya dengan sungguh-sungguh, kamu
akan mendapatkan suatu manfaat yang besar dan mulia. Sebagai
pendahuluan yang akan membantumu memahaminya, saya dapat
katakan kepadamu bahwa kemampuan berpikir manusia adalah
suatu anugerah khusus yang Allah ciptakan baginya.”27
5. Metode Pendidikan
Kepada peserta didik yang berada dalam taraf wildan, Ibnu
Khaldun menganjurkan agar ta‟lim diberikan dengan metode al-qurb
wa al-mulayanah yang diterjemahkan Franz Rosenthal menjadi kindly
and gently28 (kasih sayang dan lemah lembut). Ibnu Khaldun menolak
27
Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun…, hlm. 472
28
Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun…., hlm. 426.
18
metode kekerasan dan kekasaran dalam proses pengajaran wildan.
Alasan yang dikemukakan Ibnu Khaldun adalah bahwa siapa yang
biasa dididik dengan kekerasan, ia akan selalu dipengaruhi kekerasan
itu. Selain itu, ia akan selalu merasa sempit hati, kurang aktif bekerja,
dan memiliki sifat pemalas, menyebabkan ia berdusta serta melakukan
hal-hal buruk, karena takut akan dijangkau oleh tangan-tangan kejam.
Hal ini selanjutnya akan membuat ia suka menipu dan berbohong.
Sifat-sifat ini akan menjadi kebiasaan dan perangainya. Lebih parah
lagi, hancurlah arti kemanusiaan yang ada pada dirinya.29
Adapaun terhadap peserta didik muta‟allim, Ibnu Khaldun
menyarankan agar pendidikan dilakukan dengan metode yang
memerhatikan kondisi peserta didik, baik psikis maupun fisik. Ibnu
Khaldun menulis:
“Kita saksikan banyak pengajar dari generasi kita yang tidak tahu
sama sekali cara-cara mengajar. Akibatnya, mereka sejak
permulaan memberikan kepada para muta‟allim masalah-masalah
ilmu pengetahuan yang sukar dipelajari, dan menuntutnya agar
memeras otak untuk menyelesaikannya. Para pengajar ini mengira
cara ini merupakan suatu latihan yang tepat. Mereka memaksa para
muta‟allim memahami berbagai persoalan yang dijejalkan
kepadanya. Pada permulaan pelajaran, para muta‟allim diajarkan
bagian-bagian pelajaran yang paling lanjut, sebelum mereka siap
memahaminya. Ini dapat membingungkan para muta‟allim, sebab
kesanggupan dan kesiapan menerima suatu ilmu itu hanya dapat
dikembangkan sedikit demi sedikit….Kesanggupan itu akan
tumbuh sedikit demi sedikit melalui kebiasaan dan pengulangan
terhadap ilmu yang dipelajarinya…..Bila mereka masih terus
dilibatkan dalam masalah-masalah yang sukar dan
29
M. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, alih bahasa Bustami A.
Gani dan Djohar Bahry, (Cet. VII; Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 157.
19
membingungkan, selagi mereka belum terlatih dan belum sanggup
memahaminya, niscaya otaknya akan dihinggapi kejemuan.”
6. Kurikulum Pendidikan
Menurut Ibnu Khaldun, ada tiga kategori kurikulum yang perlu
diajarkan kepada peserta didik. Pertama, kurikulum yang merupakan
alat bantu pemahaman. Kurikulum ini mencakup ilmu bahasa, ilmu
nahwu, ilmu balaghah, dan syair. Kedua, kurikulum sekunder, yaitu
matakuliah yang menjadi pendukung untuk memahami Islam.
kurikulum ini meliputi ilmu-ilmu hikmah falsafi, seperti logika, fisika,
metafisika, dan matematika, yang tergolong dalam al-„ulum al-
„aqliyyah. Ketiga, kurikulum primer, yaitu matakuliah yang menjadi
inti ajaran Islam. Kurikulum ini meliputi semua bidang al-„ulum al-
naqliyyah, seperti ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu qira‟at, ilmu ushul fiqh
dan fiqh, ilmu kalam, tasawuf, dan lain-lain.
Dari uraian di atas, terlihat bahwa Ibnu Khaldun adalah seorang
tokoh yang menaruh perhatian besar terhadap pendidikan. Konsep
pendidikan yang dikemukakannya nampak sangat dipengaruhi oleh
pandangannya terhadap manusia sebagai makhluk yang harus dididik,
dalam rangka melaksanakan fungsi sosialnya di tengah-tengah
30
Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam…, hlm. 149.
31
Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun…, hlm. 148.
20
masyarakat. Pendidikan adalah alat untuk membantu seseorang agar
dapat hidup bermasyarakat dengan baik.
D. Penutup
1. Kesimpulan
a. Aliran-aliran Filsafat Pendidikan Islam
Ada tiga aliran utama dalam filsafat pendidikan Islam, pertama,
aliran konservatif, Aliran ini cenderung bersikap murni keagamaan.
Para ahli dalam aliran ini memandang ilmu dengan batasan yang
sempit, yaitu hanya mencakup ilmu-ilmu yang dibutuhkan saat
sekarang atau hidup di dunia ini, yang jelas-jelas akan membawa
manfaat kelak di Akhirat. Kedua, Aliran Religius-Rasional (al-Diniy
al-„Aqlany), Menurut Ridha, aliran ini tidak jauh berbeda dengan
aliran pemikiran tradisionalis-tekstualis (Naqliyyun) – nama lain dari
Konservatif – dalam hal relasi pendidikan dengan tujuan agama. Aliran
pemikiran pendidikan ini mengakui bahwa semua ilmu dan sastra yang
tidak mengantarkan pemiliknya menuju kehidupan akhirat, dan tidak
memberikan makna sebagai bekal di sana, maka ilmu demikian hanya
akan menjadi bomerang bagi si pemilik tadi kelak di akhirat. Ketiga,
Aliran Pragmatis (al-Dzaraa‟iy). Tokoh utama aliran ini adalah Ibnu
Khaldun. Pemikiran Ibnu Khaldun lebih banyak bersifat pragmatis dan
lebih berorientasi pada dataran aplikatif-praktis. Dia
mengkalsifikasikan ilmu pengetahuan berdasarkan tujuan
fungsionalnya, bukan berdasar nilai substansialnya semata. Aliran
Pragmatis yang digulirkan Ibnu Khaldun merupakan wacana baru
dalam pemikiran pendidikan Islam. Apabila kalangan Konservatif
mempersempit ruang lingkup sekuler di hadapan rasionalitas Islam dan
mengaitkannya secara kaku dengan pemikiran atau warisan salaf,
sedangkan kalangan Rasionalis dalam sistem pendidikan (program
kurikuler) berpikiran idealistik sehingga memasukkan semua disiplin
keilmuan yang dianggap substantif bernilai, maka Ibnu Khaldun
21
mengakomodir ragam jenis keilmuan yang nyata terkait dengan
kebutuhan langsung manusia, baik berupa kebutuhan spiritual-
ruhaniah maupun kebutuhan material-jasmaniah.
23
Daftar Pustaka
A. Mukti Ali, Ibn Chaldun dan Asal-Usul Sosiologi, Bagian Pertama, Cet. 1;
Yogyakarta: Yayasan Nida, 1970.
Ahmad Fuad al-Ahwani, Al-Tarbiyah fi al-Islam, Mesir: Dar al-Misriyah, tanta
tahun.
Ali Muhammad Wafi, Ibnu Khaldun, Riwayat dan Karyanya, alih bahasa
Ahmadie Thaha, Cet. 1; Jakarta: Grafitipers, 1985.
Ali Al-Jumbulati, Dirasatun Muqaaranatun fit-Tarbiyatil Islamiyyah, terj. M.
Arifin, Cet. 1; Jakarta: Rineka Cipta, 1994.
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. 1; Ciputat: Logos Wacana Ilmu,
1997.
Al-Ghazali, Majmu‟ah Rasa‟il al-Imam al-Ghazali, terj. Irwan Kurniawan, Cet. 1;
Bandung: Pustaka Hidayah, 2010.
Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, alih bahasa Ibrahim
Husein, Cet. 1; Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Fathiyyah Hasan Sulaiman, Pandangan Ibnu Khaldun tentang Ilmu dan
Pendidikan, alih bahasa HMD. Dahlan, Cet. 1; Bandung: Diponegoro,
1987.
Husein „Ashi, Ibnu Khaldun Muarrikhan, Cet. 1; Beirut: Dar al-Kutub al-
„Ilmiyyah, 1991.
Imam al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, alih bahasa Ahmad Maimun, Cet. 3;
Bandung: Penerbit Marja, 2012.
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Cet. 1; Mesir: Al-Azhariyyah, 1930.
John Dewey, Democracy and Education, New York: The Free Press, 1966.
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2000
M. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, alih bahasa
Bustami
Mohammad Abdullah Enan, Ibn Khaldun: His Life and Work, New Delhi: Kitab
Bhavan, 1979
24
Muhammad Jawwad Ridha, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam
(Persfektif Sosiologis-Filosofis), alih bahasa Mahmud Arif dari judul “al-
Fikr al-Tarbawi al-Islamiyyu Muqaddimat fi Ushulih al-Ijtima‟iyati al-
Aqlamiyyat”, Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2002.
Rupert C. Lodge, Philosophy of Education, Hareh & Brothers, New York, 1947.
Sa‟id Hawwa, Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus, terj. Abdul Amin dkk. cet. V;
Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007.
25