Anda di halaman 1dari 38

GANGGUAN BICARA PADA ANAK

Bab I
PENDAHULUAN

Bab II
PEMBAHASAN
2.1 Perkembangan bahasa normal
2.2 Prevalensi
2.3 Etiologi
2.4 Patofisiologi
2.5 Manifestasi Klinik
2.6 Diagnosis
2.7 Penatalaksanaan
2.8 Prognosis
2.9 Pencegahan

Bab III
PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

Bahasa merupakan simbolisasi dari pikiran berupa kode yang telah kita pelajari; atau
suatu sistem yang telah disepakati yang memungkinkan kita untuk mengomunikasikan ide-
ide serta mengekspresikan keinginan dan kebutuhan kita. Membaca, menulis, gerakan tubuh,
dan berbicara adalah semua bentuk dari bahasa. Bahasa terbagi menjadi dua bagian besar,
yaitu bahasa reseptif: memahami apa yang tertulis atau apa yang dikatakan, dan bahasa
ekspresif: kemampuan untuk berbicara dan menulis.1
Kemampuan bahasa membedakan manusia dengan hewan. Orang tua dengan antusias
menunggu awal perkembangan bicara anak mereka. Bila anak tidak dapat bicara normal,
maka mereka mengira bahwa anak mereka bodoh atau mengalami retardasi. Sering orang tua
memperkirakan bahwa perkembangan bicara anak di luar normal merupakan suatu hal yang
mengkhawatirkan, sehingga orang tua membawa anak ke dokter.2,3
Kemampuan berbahasa merupakan indikator seluruh perkembangan anak. Karena
kemampuan berbahasa sensitif terhadap keterlambatan atau kerusakan pada sistem lainnya,
sebab melibatkan kemapuan kognitif, sensori motor, psikologis, emosi, dan lingkungan di
sekitar anak. Seorang anak tidak akan mampu berbicara tanpa dukungan dari lingkungannya.
Mereka harus mendengar pembicaran yang berkaitan dengan kehidupannya sehari-hari
maupun pengetahuan tentang dunia. Mereka harus belajar mengekspresikan dirinya,
membagi pengalamannya dengan orang lain dan mengemukakan kinginannya.2,3
Pada umumnya bila seorang anak pada umur 2 tahun belum dapat mengucapkan kata-
kata harus dicari penyebabnya. Anak disebut slow talker bila perkembangan lainnya normal,
kecuali terlambat dalam bicara dan pada anamnesis didapatkan di dalam keluarga juga
terdapat anggota keluarga lain yang terlambat bicaranya. Seorang anak rata-rata mulai
mengeluarkan kata-kata tunggal antara umur 10-12 bulan, mulai mengucapkan kalimat
pendek pada umur 18 bulan dan kalimat sempurna kira-kira pada umur 30 bulan.4
Sedangkan Attension deficit hyperactivity disorder (ADHD) adalah gangguan
perkembangan dalam peningkatan aktivitas motorik anak-anak sehingga menyebabkan
aktivitas anak-anak yang tak lazim dan cenderung berlebihan. Anak tidak dapat duduk
tenang, dan selalu meninggalkan keadaan yang tetap seperti sedang duduk atau sedang
berdiri. Tiga gejala pokok yang sering terlihat kesulitan memusatkan perhatian, hiperaktivitas
dan impulsivitas.
Penyebab pasti ADHD yang tampak berlaku bagi semua gangguan belum diketahui
dan diduga penyebabnya ialah disfungsi frontolimbik. Berbagai virus, zat-zat kimia
berbahaya yang banyak dijumpai di lingkungan sekitar, faktor genetika, masalah selama
kehamilan atau kelahiran, atau apa saja yang dapat menimbulkan kerusakan perkembangan
otak, berperan penting sebagai penyebab ADHD ini.
Diagnosis anak dengan ADHD tidak mudah, kadang-kadang terdapat dua faktor
normal yang salah didiagnosis. Tidak ada satu tes untuk mendiagnosis anak secara pasti
mengingat gejala bervariasi, tergantung usia dan lingkungan. Identifikasi dengan DSM IV
memerlukan informasi dari keluarga orang tua, guru, pengasuh dan pemeriksaan dokter anak,
psikologi pertama kali dan dokter psikiatris.
Penanganan pada anak ADHD difokuskan untuk mengurangi gejala-gejala ADHD dan
memperbaiki fungsi. Penanganan dalam bidang rehabilitasi medic berupa terapi relaksasi,
terapi perilaku kognitif, sensori integrasi, terapi snozellen, serta terapi music dan social
medic. Diperlukan penanganan medikasi yang umum digunakan yaitu obat stimulant dan non
stimulant, dan obat untuk memperbaiki fungsi fisik. Pengobatan dengan psikoterapi termasuk
terapi perilaku. Sangat diperlukan kerjasama orangtua, guru, dan caregiver dalam
keberhasilan penanganan anak dengan ADHD.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PERKEMBANGAN BAHASA

2.1.1 Definisi Bahasa

Bahasa merupakan sarana untuk berkomunikasi dengan cara

menyimbolkan pikiran dan perasaan untuk menyampaikan makna kepada

oranglain. Menurut Parke, ada 4 komponen bahasa yaitu :

a) Fonologi : Sistem dari suara yang digunakan dalam bahasa. Fonologi terdiri

dari fonem yang merupakan bagian dari sistem fonetik bahasa. Fonem merupakan

bagian terkecil dari unit bahasa yang mempuyai arti.

b) Semantik : Mempelajari arti dari kata dan kombinasi kata, seperti frase,

klausa(anak kalimat) dan kalimat

c) Tata bahasa (Grammar) : Struktur dari bahasa, yang terdiri dari morfologi dan

sinaksis. Morfologi adalah bagian terkecil dari bahasa yang memiliki arti seperti

mofem. Sintaksis adalah bagian dari tata bahasa yang menggambarkan bagaimana

mengkombinasikan kata-kata menjadi frase, klausa dan kalimat.

d) Pragmatik : Aturan dari bahasa yang digunakan dalam konteks sosial,

pengetahuan yang individu miliki tentang peraturan-peraturan yang mendasari


penggunaan bahasa. Pragmatik tidak hanya mencakup tentang berbicara dan

menulis tetapi juga berhubungan dengan bagaimana sumber komunikasi

mengemukakan bahasanya sehingga dapat dimengerti orang lain.


2.1.2 Teori Perkembangan Bahasa

Mykellbust dalam teorinya menjelaskan bahwa perkembangan bahasa

tidak bisa terlepas dari perkembangan bahasa reseptif dan ekspresif. Bahasa

reseptif adalah kemampuan untuk mengerti apa yang dilihat dan apa yang

didengar. Dengan kata lain, kemampuan reseptif merupakan kemampuan anak

untuk mengenal dan bereaksi terhadap seseorang, kejadian disekitar, mengerti

maksud mimic, dan nada suara kemudian akhirnya dapat mengerti kata. Bahasa

ekspresif adalah kemampuan berkomunikasi secara simbolik baik visual maupun

1
auditorik. Fungsi ekspresif ini mencakup kemampuan anak untuk mengutarakan

pikirannya, dimulai dari komunikasi preverbal (sebelum anak dapat berbicara),

komunikasi dengan ekspresi wajah, gerakan tubuh, dan akhirnya dengan

menggunakan kata atau komunikasi verbal.

Perkembangan anak yang normal mengalami kemajuan di setiap tahapan

umurnya. Berikut merupakan tahapan perembangan bahasa menurut aspek reseptif

dan eksprsif berdasarkan usia anak : Tabel 2. Tahapan Perkembangan Bahasa

Umur Reseptif Ekspresif


Bayi 1) Mendengarkan percakapan orang 1) Membuat suara-suara
baru Sekitar untuk mengkomunikasikan
lahir 2) Terkejut dengan suara yang keras kebahagiaan maupun rasa
atau mengagetkan sakit
3) Sadar terhadap suara lingkungan
sekitar
4) Akan berusaha berhenti untuk
mendengar suara suara yang baru
0-3 1) Tersenyum terhadap suara yang 1) Tersenyum dan berbisik
bulan familiar 2) Membedakan tangisan
2) Mengingat dan merasa tenang bila (Contoh tangisan ketika
mendengar suara yang dikenal lapar atau tangisan
3) Merespon suara yang tidak ketika merasa sakit)
mengganggu meskipun belum
familiar
4-6 1) Respon terhadap kata “Tidak” 1) Membuat suara-suara
bulan 2) Peka terhadapan perubahan pada gurgling ketika seseorang
suara yang familiar mengajak bermain
2) Mulai melakukan
bubbling seperti
suara“pppp”,”bbbb”,atau
“mmmm”
3) Menggunakan gesture
untuk berkomunikasi
7-12 1) Merespon pada ajakan atau 1) Babbling berubah
bulan permintaan ( contoh : ketika diminta mengalami kemajuan. Ada
untuk memberikan sesuatu pada orang tambahan huruf-huruf
lain) konsonan dan vocal lainnya
2) Mengingat objek yang familiar 2) Lebih menggunakan
3) Menemukan permainan yang suara-suara atau tangisan
menyenangkan (contoh : Cilukba) dibandingkan tangisan
untuk mendapatkan
perhatian
3) Bisa mengguanakan kata
kata seperti “Dadah”,
“Mama”, “Papa” walaupun
dalam pengucapannya
masih belum jelas
1-2 1) Identifikasi gambar 1)Pertambahan kosa kata
tahun 2) Identifikasi anggota tubuh setiap bulannya
3) Mengikuti perintah yang mudah 2)Bertanya dengan
dan dapat menjawab pertanyaan yang menggunakan 2 kata,
Sederhana seperti “Apa itu?”
4) Mendengarkan dan menikmati 3)Mulai mengkombinasik
cerita yang sederhana, lagu serta melodi an minimal 2 kata
5) Menikmati pengulangan cerita, 4)Pengucapan menjadi
lagu, dan melodi lebih mudah dan jelas

2-3 1) Memahami perintah 1)Terjadi pertambahan


tahun 2) Memahami konsep lawan kata suku kata yang
3) Peka terhadap suara seperti suara signifikan “Vocabulary
telfon dan akan sangat gembira Exploding”
akan hal tersebut 2)Hampir mempunyai
semua kosa kata
3) Tertarik untuk
menamai benda atau
mengkomentari
sesuatu, seperti ukuran,
warna, ataupun konsep
jauh-dekat.
4) Menggabungkan 2 atau
4 kata bersamaan.
3-4 1) Mengerti konsep “Siapa?”, “Apa?”, 1) Menggunakan kalimat
tahun “Bagaimana?” yang lebih panjang
2) Dapat mendengar dan mengerti 2) Tertarik untuk
suara yang familiar maupun yang membicarakan hal yang
tidak meskipun dari jarak yang terjadi di rumah, sekolah
jauh maupun hal yang pernah
dialami.
3) Biasanya sudah bicara
dengan lancer dan jelas
dan Oranglain dapat
mengerti apa yang
dikatakan

2.1.3 Neurolinguistik

Neurolinguistik merupakan cabang ilmu yang keterkaitan antara fungsi

otak dan perkembangan bahasa. Dalam sistem koordinasi tubuh manusia, pusat

pengendalian bahasa terletak di beberapa bagian otak. Secara garis besar otak

bekerja sesuai stimulus yang di terima dalam berbahasa. Ada 2 stimulus yang

memegang peranan penting dalam perkembangan bahasa yaitu stimulus visual

dan auditorik.

Ketika anak menerima stimulus berupa visual maka korteks visual akan

menerima respon tersebut dan dilanjutkan ke gyrus fusiformus untuk

pembentukan kata dari stimulus visual tersebut. Setelah itu akan dilanjutkan ke

area posterotemporoparietal untuk mengkonversi ke fonologi. Area

posterotemporal akan membentuk akses leksikal yang berarti makna kata yang

sudah terbentuk itu telah sesuai dengan refernnya atau dengan kata lain sudah
sesuai dengan hasil observasi indra dan merupakan makna yang sesungguhnya

dalam kehidupan.

Stimulus auditorik akan diterima oleh korteks temporoparietal posterior

(area wernick) yang kemudian akan dibandingkan dengan ingatan yang sudah

disimpan. Kemudian jawaban akan diformulasikan dan disalurkan oleh fasciculus

arcuata ke bagian anterior otak dimana jawaban akan dikoordinasikan dengan

jawaban motorik. Apabila ada kelainan disalah satu aspek dari perjalanan impuls

berbicara maka akan terjadi kelainan berbahasa. Kerusakan pada bagian posterior

akan mengakibatkan kelainan bahasa reseptif dan kerusakan didaerah anterior

akan mengakibatkan kelainan bahasa ekspresif.

2.1.4 Epidemiologi Perkembangan Bahasa

Gangguan bicara dan bahasa dialami oleh 8% anak usia prasekolah.

Hampir sebanyak 20% dari anak berumur 2 tahun mempunyai gangguan

keterlambatan bicara. Keterlambatan bicara paling sering terjadi pada usia 3-16

tahun. Pada anak-anak usia 5 tahun, 19% diidentifikasi memiliki gangguan bicara

dan bahasa (6,4% keterlambatan berbicara, 4,6% keterlambatan bicara dan bahasa,

dan 6% keterlambatan bahasa).

Laki-laki diidentifikasi memiliki gangguan bicara dan bahasa hampir dua

kali lebih banyak daripada wanita. Sekitar 3-6% anak usia sekolah memiliki

gangguan bicara dan bahasa tanpa gejala neurologi, sedangkan pada usia

prasekolah prevalensinya lebih tinggi yaitu sekitar 15%. Menurut penelitian anak

dengan riwayat sosial ekonomi yang lemah memiliki insiden gangguan bicara dan
bahasa yang lebih tinggi daripada anak dengan riwayat sosial ekonomi menengah

ke atas.

Studi Cochrane terakhir telah melaporkan data keterlambatan bicara,

bahasa dan gabungan keduanya pada anak usia prasekolah dan usia sekolah.

Prevalensi keterlambatan perkembangan bahasa dan bicara pada anak usia 2

sampai 4,5 tahun adalah 5-8%, prevalensi keterlambatan bahasa adalah 2,3-19%.

Prevalensi keterlambatan perkembangan berbahasa di Indonesia belum

pernah diteliti secara luas. Data di Departemen Rehabilitasi Medik RSCM tahun

2006, dari 1125 jumlah kunjungan pasien anak terdapat 10,13% anak terdiagnosis

keterlambatan bahasa. Tidak berbeda jauh dengan penelitian di RSCM, data

penelitian mengenai perkembangan bahasa di Semarang terakhir dilaporkan pada

tahun 2007. Penelitian di Poliklinik Tumbuh Kembang Anak RSUP Dr. Kariadi

Semarang memaparkan hasil yang cukup signifikan mengenai gangguan

perkembangan bahasa dan bicara. Dari 436 kunjungan baru di tahun 2007, 22,9%

dari jumlah tersebut mengalami gangguan keterlambatan bahasa.4

2.1.5 Instrumen Pengukuran Perkembangan Bahasa Anak

Terdapat bermacam-macam alat skrining yang ditunjukkan untuk

menemukan kelainan perkembangan. Penggunaannya disesuaikan dengan

kebutuhan. Instrumentasi skrining terdiri dari tiga jenis yaitu skrining

perkembangan umum, domain spesifik dan spesifik. Instrumentasi untuk

perkembangan bahasa ini termasuk kedalam skrining perkembangan domain

15
spesifik. Contoh dari instrument skrining untuk bahasa dintaranya :
1) Capute Scales (Congnitive adaptive test/Clinical auditory milestone

scale)

2) CSBS-DP (Communication and Symbolic Behaviour Scales-

Development Profile)

3) ELMS-2(Early Language Milestone Scale)

2.1.5.1 Caput scale

Capute scales terdiri dari 2 jenis pemeriksaan yaitu cognitive adaptive test

(CAT) dan clinical linguistic and auditory milestone scale (CLAMS). Uji CLAMS

berisi 29 milestones sekuensial sejak lahir hingga usia 36 bulan. Capute dkk

(1986) menemukan bahwa CLAMS mempunyai korelasi yang kuat dengan

Bayley Scales of Infant Development (BSID) dalam mengidentifikasi anak-anak

dengan masalah kognitif. Untuk membedakan gangguan bahasa tersendiri atau

gangguan komunikasi sebagai bagian dari gangguan kognitif global maka set

pengujian visual- motor ditambahkan pada set pengujian skala bahasa yang telah

ada, sehingga disebut sebagai cognitive adaptive test/clinical linguistic and

auditory milestone scale (CAT/CLAMS). Set pengujian visual-motor dimodifikasi

dari Cattell test of development sehingga lebih praktis untuk digunakan.

Pelaksanaan Capute Scales yang mudah dan cepat dengan validitas yang

sama dengan baku emas/gold standard Bayley Scales of Infant Development telah

dibuktikan antara lain pada :


1) Anak dengan keterlambatan perkembangan pada penelitian Hoon dkk (1993),

Wachtel dkk (1994), dan Kube dkk (2000).

2) Anak dengan faktor risiko.

Selama ini Capute Scales telah digunakan secara luas untuk clinical

assessment oleh neurodevelopmental pediatricians. Namun dengan latihan yang

singkat alat ini dapat dikerjakan dengan baik di tingkat pelayanan primer oleh

pediatric neurologist, psikiater anak, dokter anak, residen anak, dokter umum dan

dokter keluarga, mahasiswa kedokteran, perawat, siswa perawat, dan asisten

dokter.

2.1.5.2 Aplikasi klinis dari Capute Scale

Pemeriksaan CLAMS mengukur milestones bahasa reseptif dan ekspresif.

Milestones bahasa ekspresif diperoleh dari laporan orangtua terhadap kemampuan

verbal anak. Di dalam CLAMS terdapat 26 milestones bahasa ekspresif yang

meliputi 19 tingkat usia pengujian, yaitu usia 1-12 bulan (interval 1 bulan), usia

14,16,18 bulan (interval 2 bulan), usia 21 dan 24 bulan (interval 3 bulan), usia 30

dan 36 bulan (interval 6 bulan). Milestones bahasa reseptif diperoleh dari

kombinasi laporan orangtua dan demonstrasi langsung berupa pengertian konsep

spesifik oleh anak. Sebelas dari 17 kemampuan bahasa reseptif membutuhkan

demonstrasi langsung. Setiap uji harus dimulai pada dua kelompok umur di bawah

tingkatan/ level fungsional anak dan diteruskan hingga kelompok umur tertinggi

dimana anak dapat menyelesaikan tugas.


Pemeriksaan DQ dan masalah-masalah perkembangan (delay, deviasi, dan

disosiasi) digunakan secara diagnostik dalam interpretasi Capute scales. Jika

terlihat keterlambatan pada aspek kognitif bahasa dan visual- motor, dan tidak

terdapat disosiasi di antara keterlambatan tersebut, maka retardasi mental

dipertimbangkan sebagai diagnosis utama. Jika keterlambatan hanya terlihat pada

aspek perkembangan bahasa dengan laju perkembangan yang normal pada aspek

visual-motor, maka akan ditemukan disosiasi. Pola perkembangan seperti ini dan

aspek bahasa terlambat sedangkan aspek visual-motor dalam batas normal,

menunjukkan kognisi keseluruhan normal namun terdapat suatu gangguan

komunikasi. Deviasi ditemukan bila aspek bahasa reseptif pada seorang anak jauh

melebihi kemampuan bahasa ekspresifnya. Pola deviasi menggambarkan adanya

gangguan bahasa ekspresif. Sedangkan jika kemampuan bahasa reseptif dan

ekspresif terlambat dan terdapat disosiasi dengan kemampuan visual-motor, maka

terdapat gangguan komunikasi berupa gangguan bahasa reseptif dan ekspresif.

2.1.6 Faktor Perkembangan Bahasa

Perkembangan bahasa merupakan hasil interaksi dari genetik (nature) dan

lingkungan (nurture). Berdasarkan periodenya, faktor-faktor yang mempengaruhi

2
perkembangan bahasa dibagi menjadi faktor prenatal, natal, dan postnatal.

1) Faktor Prenatal

a) Faktor penyakit metabolik/hormonal Ibu

Salah satu penyakit metabolik adalah Diabetes Melitus (DM). Anak dari

16
Ibu dengan riwayat DM akan mengalami hambatan dalam perkembangan otak.
Bayi dari ibu DM cenderung memiliki perkembangan bahasa dan bicara yang

lambat karena kadar glukosa yang terganggu dapat mempengaruhi memori bayi

dan kemudian dapat mempengaruhi kemampuan kognitif serta kemampuan

bahasa dan bicaranya.17

b) Faktor bahan kimia

Konsumsi bahan kimia seperti alkohol, rokok, narkoba maupun obat-

obatan medikasi tertentu selama masa kehamilan dapat menimbulkan efek buruk

bagi janin serta kehidupan selanjutnya. Nikotin yang terkandung dalam rokok

dapat melewati barrier plasenta sehingga dapat menyebabkan defisit pada

pertumbuhan dan perkembangan neurologis. Defisit ini memiliki efek jangka

panjang terhadap fungsi otak serta kognisi yang dapat bermanifestasi pada

gangguan kemampuan komunikasi anak.18

c) Faktor Penyakit Infeksi

Infeksi yang sering mengakibatkan kelainan kongenital adalah

toxoplasmosis, rubella, cytomegalovirus, dan herpes simplex. Infeksi rubella

dapat menyebabkan sindroma infeksi rubella yang terdiri dari gangguan

pendengaran, kelainan mata, kelainan jantung serta disabilitas sepanjang hayat

seperti autism, DM, dan disfungsi tiroid. Gangguan pendengaran pada infeksi

rubella secara tidak langsung memberikan efek pada kemampuan anak dalam

berbicara. 19

d) Hipertensi Kehamilan / Preeklampsia

Preeklampsia merupakan peningkatan tekanan darah ibu pada usia

kehamilan lebih dari 20 minggu. Preeklampsia dapat menyebabkan masalah pada


plasenta dan dapat membuat bayi lahir dengan preterm serta mengalami gangguan

20
perkembangan.

2) Faktor Periatal

a) Faktor Umur Kehamilan

Anak lahir premature atau preterm didefinisikan sebagai anak yang lahir

pada usia <37 minggu kelahiran. Usia kelahiran preterm merupakan faktor risiko

terjadinya gangguan perkembangan bahasa pada anak. Hal ini dikarenakan adanya

keterlambatan pada pematangan fisiologis dan neurobiologis kelahiran prematur

mengakibatankan gangguan pada proses plastisitas. Proses plastisitas sangat aktif

pada usia sekitar 36 minggu, maka jika ada gangguan diusia kehamilan tersebut

maka aka nada gangguan perkembangan yang mencakup gangguan bahasa dan

21
bicara pada anak.

b) Berat Lahir

Bayi berat lahir rendah didefinisikan sebagai bayi dengan berat lahir

<2500 gram. Anak yang lahir dengan riwayat berat lahir rendah mengalami

gangguan dalam berbicara. Pada penelitian yang dilakukan dengan sample anak

usia 2 tahun didapatkan hasil bahwa anak yang memiliki riwayat BBLR

menggunakan kalimat yang immature dan cenderung lebih pendek saat berbicara.

Studi lain dilakukan pada anak usia 4 tahun dengan riwayat BBLR dan didapatkan

hasil bahwa anak dengan riwayat BBLR mengalami defisiensi dalam kemampuan

bicara dan bahasa, seperti sulit untuk menginterpretasikan maupun

mendiskriminasikan suara.22
c) Asfiksia

Riwayat asfiksia dapat diketahui dari riwayat lahir tidak langsung

bernafas/mengap-mengap, kulit sianosis atau pucat, denyut jantung <100, dan

23
tonus otot yang melemah. Asfiksia perinatal berhubungan dengan ensephalopati

neonatus yang dapat mempengaruhi fungsi kognitif dan kemampuan bahasa anak.

3) Faktor Postnatal

a) Faktor kelainan genetik/kongenital

Beberapa kelainan genetik seperti sindroma down, fragile-X Syndrome,

sindroma Angelman dan sindroma lainnya dapat menyebabkan gangguan

24
perkembangan. Sindroma Down banyak ditemukan di Indonesia. Anak dengan

Sindroma Down dapat mengalami retradasi mental, gangguan motorik serta

gangguan perkembangan bahasa dan bicara.

b) Kelainan Neurologis

Salah satu kelainan neural adalah cerebral palsy (CP). CP didefinisikan

sebagai kelainan postur dan gerakan motoric yang persisten tetapi tidak progresif.

CP berasosiasi dengan keterbatasan fisik, fungsional, kognisi dan masalah

25
komunikasi.

c) Emosi dan Stress

Seorang anak yang memiliki stressor yang tinggi dalam hidupnya sangat

rentan untuk terjadi gangguan perkembangan. Hal seperti ini terjadi pada anak-

anak yang kehamilannya tidak diinginkan ataupun kepada anak yang mendapat

kekerasan secara fisik emosional maupun seksual. Stres dapat memicu

teraktivasinya glukokortikoid, neuroadrenergik, dan system oksitosin-vasopressin


sebagai respon pertahanan yang dapat merusak otak sehingga dapat mengganggu

26
proses tumbuh kembang anak.

d) Infeksi Kronis

Anak yang menderita sakit kronis seperti HIV, Hepatitis B, dapat

terganggu tumbuh kembang serta pendidikannya. Anak bisa menjadi stress

berkepanjangan akibat infeksi kronis. Anak dengan infeksi kronis sangat rentan

27
untuk mengalami gangguan perkembangan.

Teori lain mengenai faktor yang mempengaruhi perkembangan bahasa

anak dijelaskan oleh Carl Roger. Dalam teori tersebut dipaparkan bahwa ada dua

faktor yang berperan dalam pengembangan bahasa pada anak, yaitu faktor internal

dan eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang ada pada diri anak

sedangkan faktor eksternal merupakan faktor luar yang dapat mempengaruhi

perkembangan bahasa anak.

1) Faktor Internal

a) Faktor Intelegensi

Anak dengan Intelegensi yang tinggi akan memperlihatkan superioritas

28
linguistik baik dari segi kuantitas maupun kualitas.

b) Faktor jenis kelamin

Anak perempuan melebihi anak laki-laki dalam aspek bahasa. Namun,

perbedaan jenis kelamin ini akan menghilang seiring dengan bertambahnya usia

dan berjalannya fase perkembangan.29

c) Faktor kondisi fisik

Kondisi fisik berhubungan dengan gangguan penyakit yang berpengaruh


pada kelancaran kerja indera. Misalnya, anak cacat atau anak yang memiliki

30
penyakit fisik bawaan seperti bibir sumbing.

d) Status Gizi

Status Gizi berhubungan dengan perkmbangan bahasa anak. Anak dengan

status gizi buruk hingga kurang mengalami perkembangan yang lebih lambat

disbanding dengan anak dengan status gizi baik dan lebih.

2) Faktor eksternal

a) Faktor keluarga

Stimulasi dari orangtua memiliki peran penting terhadap perkembangan

bahasa anak. Anak-anak memiliki perkembangan yang bervariasi selaras dengan

lingkungan yang ada disekitar anak dan diatas landasan lingkungan itulah

kebudayaan mereka dibangun. Setiap anak memiliki sifat dan pengalaman yang

khas yang tidak dimiliki oleh anak lain, karena itu terciptalah perbedaan

individual diantara anak.

Anak dapat mentransfer bahasa dari kelompoknya, begitu pula sebaliknya.

Terkadang anak menguasai puluhan kata dan memahami maknanya dengan baik,

tetapi dia tidak mampu menggunakan kata yang menurut mereka sulit, anak hanya

menggunakan beberapa buah kata saat berinteraksi dengan sekitar. Hal ini

bergantung pada intensitas stimulasi yang diberikan oleh orangtua mereka atau

keluarga yang berada disekitar mereka.

b) Faktor sosial ekonomi

Anak yang berasal dari keluarga berpendapatan tinggi dan menengah lebih

cepat perkembangan bahasanya dari anak yang berasal dari kalangan bawah.
Pendidikan ibu serta pengasuhan anak juga berbengaruh terhadap kemampuan

bahasa anak.

c) Faktor stimulasi

Stimulasi memberikan peranan penting terhadap perkembangan bahasa

anak. Stimulasi ada berbagai macam jenisnya, bisa berupa lingkungan, kelompok

bermain maupun berupa media. Media yang bisa dijadikan stimulasi

perkembangan bahasa misalnya alat permainan edukatif, televisi, video games,

31
DVD edukatif dan media interaktf.

2.2 Media Interaktif dan Perkembangan Bahasa Anak

Saat ini anak tinggal di era media interaktif, mereka tumbuh dan

berkembang dalam keadaan dimana media digital menjadi alat yang mereka

32
pergunakan sehari-hari di sekolah, di rumah mapun didalam kehidupan sosial.

Media interaktif sendiri didefinisikan sebagai material analog dan digital yang

mencakup program peranti lunak, aplikasi, streaming media, program televisi

anak, e-books, dan segala macam desain lain yang bisa memfasilitasi keaktifan

dan kekreatifitasan anak serta dapat meningkatkan ikatan sosial dengan anak

lainnya maupun orang dewasa contohnya seperti CD Interaktif dan Permaianan

Edukasi. 31

The American Academy of Pediatric menjelaskan bahwa paparan terhadap

media seperti televisi, film, video, games, internet, lirik musik, koran, majalah,

buku dan iklan sangat besar potensinya untuk dapat memicu adanya gangguan

kesehatan namun disisi lain media juga bisa membawa efek positif di kehidupan

anak maupun dewasa.31 Media Edukasi seperti media interaktif, DVD edukasi,
serta program televisi yang berbasis edutainment merupakan hal sangat potensial

untuk menjadikan suatu media berefek positif dan meminimalisir efek negatif dari

penggunaan media tersebut.

Media Interaktif memiliki beberapa keunggulan dibandingkan media yang

lain, diantaranya lebih reaktif, lebih interaktif, serta menampilkan fitur 3 dimensi

sehingga membuat anak tidak bosan.33 Media interaktif dalam penggunaannya

harus memperhatikan usia anak. Menurut Council Communication and Media of

American Academy of Pediatric, penggunaan media pada anak usia dibawah 2

tahun secara signifikan membawa dampak negatif pada perkembangan anak. Anak

yang memulai menggunakan media pada usia 2 sampai 3 tahun memberikan

dampak yang lebih baik pada tes kemampuan bahasa dibandingkan anak yang

34
mulai menggunakan media saat usia 4 sampai dengan 5 tahun. Oleh karena hal

itu peneliti memilih usia anak 2 sampai 3 tahun sebagai sample penelitian.

Penelitian yang dilakukan Oleh Guernsey pada tahun 2012 memaparkan

bahwa syarat media yang baik untuk anak yaitu harus memerhatikan 3C yaitu

34
content, context and child. Sedangkan menurut American Academy of Pediatric

syarat media yang baik untuk anak diantaranya digunakan pada anak lebih dari 2

tahun, pendampingan orang dewasa saat penggunaan dan paparan dalam sehari

tidak lebih dari 2 jam.31

Media interaktif memiliki efek positif pada perkembangan bahasa anak

jika dilakukan berdasarkan anjuran yang telah ditetapkan dalam penggunaannya.

Mark Prensky dalam bukunya yang berjudul “Don’t bother me Mum. I’m learning

now!” menjelaskan bahwa media interaktif pada anak dapat berefek dalam
perkembangan bahasa anak dalam meningkatkan konsentrasi,

mengasosiasikan kata dan symbol dengan objek, diskriminasi, identifikasi

persamaan dan perbedaan, mengklasifikasi objek, melihat ada tidaknya

hubungan, mengembangkan konsep bentuk ukuran dan ruang,

35
meningkatkan rasa keingintahuan, serta menggunakan kreatifitas anak.

Semakin banyak bentuk stimulus yang diterima maka anak akan lebih

mudah memahami hal tersebut karena pada media interaktif ini anak

menerima 3 jenis stimulus yaitu visio-motor dan auditorik. Selain itu

penyajian dari media interaktif yang menampilkan simbol simbol yang

sesuai dengan kehidupan nyata akan meningkatkan kemampuan mengingat

pada anak.

Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)

2.2 DEFINISI ADHD


Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) adalah gangguan
perkembangan dalam peningkatan aktivitas motorik anak-anak sehingga
menyebabkan aktivitas anak-anak yang tidak lazim dan cenderung berlebihan.
Attention Deficit Hyperactivity Disorder secara istilah adalah hambatan pemusatan
perhatian disertai kondisi hiperaktif.

2.2.1 GANGGUAN NEUROTOMI PADA ADHD


Penelitian neuropsikologi menunjukkan korteks frontal dan sirkuit yang
menghubungkan fungsi eksekutif basal ganglia. Dopaminergik dan noradrenergic
merupakan target utama dalam pengobatan ADHD. Perubahan lainnya terjadi
gangguan fungsi otak tanpa disertai perubahan struktur dan anatomi yang jelas.
Penyimpangan ini menyebabkan terjadinya hambatan stimulus atau justru timbulnya
stimulus yang berlebihan yang menyebabkan penyimpangan yang signifikan dalam
perkembangan hubungan anak dan orangtua serta lingkungan sekitarnya.
Pada pemeriksaan radiologis otak PET (position emission tomography)
didapatkan gambaranbahwa pada anak penderita. ADHD dengan gangguan hiperaktif
yang lebih dibandingkan anak yang normal.

2.2.2 EPIDEMIOLOGI
Prevalensi ADHD pada anak usia sekolah di seluruh dunia dilaporkan sekitar 3-
7% dan di Amerika prevalensi ADHD dilaporkan sekitar 2-26%. Kejadian ADHD di
negara-negara lain bervariasi antara 2-20% misalnya di Ukraina prevalensi ADHD
pada anak sekolah dilaporkan sebesar 20%. Prevalensi ADHD di Indonesia belum
diketahui secara pasti. Penelitian yang secara terbatas dilakukan di Jakarta dilaporkan
prevalensi ADHD sebesar 4,2%, paling banyak pada anak usia sekolah dan pada anak
laki-laki.
Di Bali laporan mengenai besaran kejadian ADHD hanya bersumber dari laporan
kasus di Poliklinik atau pusat terapi tumbuh kembang anak. Selama tahun 2012
jumlah pasien ADHD yang berkunjung ke poliklinik. ADHD merupakan gangguan
neuro-behavioral pada anak yang terbanyak, mencakup sekitar 50% yang dirujuk ke
neurologis anak, neuropsikologis, dan psikiatri anak. Prevalensi gangguan ini sebesar
2,2% untuk tipe hiperaktif-impulsif 5,3% untuk tipe campuran hiperaktif-impulsif dan
inatensi, serta 15,3% untuk ADHD tipe inatensi. ADHD terjadi pada 3-5% populasi
anak dan didiagnosis 2-16% pada anak usia sekolah. Terdapat kecenderungan ADHD
lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan dengan
perbandingkan 3:1.

2.2.3 PENYEBAB ADHD


Penyebab pasti dari ADHD sampai saat ini belum ditemukan. Faktor risiko yang
diduga meningkatkan kejadian ADHD adalah genetic. Mutasi gen pengkode
neurotransmitter dan reseptor dopmin (D2 dan D4) pada kromosom 11p memegang
peranan terjadinya ADHD, dalam hal ini reseptor D2 dan D4. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa bila orangtua mengalami ADHD, sebagian anak mereka
dijumpai mengalami gangguan tersebut. Faktor risiko lain adalah berbagai zat yang
dikonsumsi oleh ibu saat hamil yaitu tembakau dan alcohol. Riwayat BBLR juga
diduga dapat meningkatkan risiko kejadian ADHD pada anak, meskipun belum
diketahui apakah gejala ADHD aka nada sampai anak menjadi dewasa. Faktor riwayat
lahir premature juga diduga meningkatkan kejadian ADHD dan hal ini diperkuat
beberapa penelitian lain yang melaporkan bahwa 30% anak yang lahir pada usia
kehamilan 36 minggu mengalami ADHD pada usia sekolah. Bayi premature juga
lebih rentan terhadap masalah perkembangan termasuk ADHD. Faktor risiko lain
yang juga diduga dapat meningkatkan kejadian ADHD tetapi belum banyak dilakukan
penelitianadalah riwayat persalinan dengan ekstraksi forceps. Faktor riwayat kejang
demam juga diduga meningkatkan kejadian ADHD selain faktor riwayat trauma
kepala pada anak. Hasil penelitian lain yang cukup menarik adalah dugaan bahwa
konsumsi makanan manis dapat meningkatkan kejadian ADHD.
ADHD cenderung meningkat karena adanya kecenderungan peningkatan jumlah
kasus. Selain itu beban ADHD pada orangtua dan keluarga dirasakan cukup berat,
baik dari sisi medis, psikologis, social dan financial. Upaya komprehensif diperlukan
untuk mencegah terjadinya ADHD dan untuk itu diperlukan lebih banyak penelitian
untuk mengetahui faktor risiko yang memicu terjadinya ADHD. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang meningkatkan risik terjadinya ADHD
pada anak.

2.2.4 KLASIFIKASI DAN GEJALA KLINIK


Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa tidak mudah untuk membedakan
penyandang ADHD terutama yang tergolong ringan dengan anak normal yang sedikit
lebih aktif disbanding anak yang lainnya. Tidak ada tes untuk mendiagnosis secara
pasti jenis gangguan ini, mengingat gejalanya bervariasi tergantung pada usia, situasi,
dan lingkungan. Hal ini menunjukkan ADHD merupakan suatu gangguan yang
kompleks berkaitan dengan pengendalian diri dalam berbagai variasi gangguan
tingkah laku.
Ciri-ciri ADHD muncul pada masa kanak-kanak awal, bersifat menahun, dan
tidak diakibatkan oleh kelainan fisik yang lain, mental, maupun emosional. Ciri utama
individu dengan gangguan pemusatan perhatian, meliputi : gangguan pemusatan
perhatian (inattention), gangguan pengendalian diri (impulsivity), dan gangguan
dengan aktivitas yang berlebihan (hiperactivity). Terdapat 3 subtipe ADHD, yaitu:
1. predominan hiperaktif-impulsif (ADHD/HI) : simtom terbanyak (≥6) ialah
kategori hiperaktif-impulsif, <6 simtom inatensi.
2. Predominan inatensi : simtom terbanyak (≥6) ialah kategori inatensi dan <6
simptom dari hiperaktif-impulsif. Anak dengan subtype ini kurang berperan
atau mempunyai kesulitan bersama dengan anak lain. Mereka duduk tenang,
tetapi tidak memberikan perhatian kepada apa yang dilakukan. Orang tua
mungkin tidak memperhatikan simtom ADHD.
3. Kombinasi hiperaktif-impulsif dan inatensi : ≥6 simptom inatensi dan ≥6
simtom hiperaktif-impulsif.
Kebanyakan anak dengan ADHD mempunyai tipe kombinasi.

2.2.5 DIAGNOSIS
Kriteria diagmostik ADHD berdasarkan DSM-IV ialah satu dari kriteria berikut:
1. Gangguan pemusatan perhatian (inatensi): ≥6 gejala inatensi berikut telah
menetap selama sekurang-kurangnya 6 bulan bahkan sampai tingkat yang
maladaptive dan tidak konsisten dengan tingkat perkembangan.
 Sering gagal dalam memberikan perhatian pada hal yang detil dan
tidak teliti dalam mengerjakan tugas sekolah, pekerjaan atau aktivitas
lainnya.
 Sering mengalami kesulitan dalam mempertahankan perhatian
terhadap tugas atau aktivitas bermain.
 Sering tampak tidak mendengarkan apabila berbicara langsung.
 Sering tidak mengikuti intruksi dan gagal menyelesaikan tugas
sekolah, pekerjaan sehari-hari, atau tugas di tempat kerja (bukan
karena perilaku menentang atau tidak dapat mengikuti instruksi).
 Sering mengalami kesulitan dalam menyusun tugas dan aktivitas.
 Sering menghindari, membenci atau enggan untuk terlibat dalam tugas
yang memiliki usaha mental yang lama (seperti tugas di sekolah dan
pekerjaan rumah).
 Sering menghilangkan atau ketinggalan hal-hal yang perlu untuk tugas
atau aktivitas.
 Sering menghilangkan atau ketinggalan hal-hal yan perlu untuk tugas
dan aktivitas
 Sering mudah dialihkan pehatiannya oleh stimulasi dari luar.
 Sering lupa dalam aktivitas sehari-hari.

2. Hiperaktivitas-impulsivitas : ≥6 gejala hiperaktivitas berikut ini telah


menetap selama sekurang-kurangnya 6 bulan sampai tingkat yang maladaptive
dan tidak konsisten dengan tingkat perkembangan.
Gejala hiperaktivitas ialah sebagai berikut:
 Sering gelisah dengan tangan dan kaki atau sering menggeliat-geliat di
tempat duduk.
 Sering meninggalkan tempat duduk di kelas atau di dalam situasi yang
diharapkan anak tetap duduk.
 Sering berlari-lari atau memanjat secara berlebihan dalam situasi yang
tidak seharusnya. Sering mengalami kesulitan bermain atau terlibat
dalam aktivitas waktu luang secara tenang.
 Sering dalam keadaan “ siap bergerak/pergi” (atau bertindak seperti
digerakkan oleh mesin).
 Sering bicara berlebihan.
Gejala impulsivitas ialah sebagai berikut:
 Tidak sabar, sering menjawab pertanyaan tanpa berpikir lebih dahulu
sebelum pertanyaan selesai.
 Sering sulit menunggu giliran.
 Sering menyela atau mengganggu orang lain sehingga menyebabkan
hambatan dalam lingkungan social, pendidikan, dan pekerjaan.

Beberapa gejala hiperaktif-impulsif atau inatentif yang menyebabkan


gangguan telah ada sebelum usia 7 tahun. Beberapa gangguan akibat
gejala ada selama dua atau lebih situasi. Harus terdapat bukti jelas
adanya gangguan yang bermakna secara klinis dalam fungsi social,
akademik, atau fungsi pekerjaan. Gejala tidak semata-mata selama
perjalanan gangguan perkembangan pervasive, skizofrenia, atau
gangguan psikotik lain, dan tidak diterangkan lebih baik oleh gangguan
mental lain.
Kriteria diagnosis ADHD menurut DSM IV dan DSM IV-TR ini telah
mengalami revisi melalui DSM V. Daftar gejala pada DSM V tidak
berbeda dengan DSM IV dan IV-TR. Perbedaan yang tampak ialah
pada DSM V setelah dituliskan gejala akan diberikan beberapa contoh
yang dapat muncul pada penderita ADHD, termasuk contoh gejala
yang timbul pada masa remaja dan dewasa. Selain itu perbedaan
ditunjukkan pada onset timbulnya gejala ADHD yang dimulai pada
usia 12 tahun.

2.7 DIAGNOSIS BANDING


Dalam praktik sehari-hari, ADHD sering kali memiliki gejala yang tumapng
tindih dengan autism spectrum disorder (ASD) dan communication disorder- speech
delayed. Pada penderita speech delayed harus dipastikan ada tidaknya gangguan
pendengaran, retardasi mental atau kurang stimulasi. Persamaan ADHD dengan ASD
ialah adanya gangguan konsentrasi, tak mampu menunggu giliran, meminta sesuatu
dengan cara non-verbal, kurang peduli dengan lingkungan dan bila marah sulit
ditenangkan.

2.8 PENATALAKSANAAN
ADHD merupakan gangguan yang bersifat heterogen dengan manifestasi klinis
beragam. Sampai saat ini belum ada satu jenis terapi yang dapat diakui untuk
menyembuhkan anak dengan ADHD secara total. Berdasarkan National Institute of
Mental Health, serta organisasi profesi lainnya di dunia seperti American Academy of
Child and Adolescent Psychiatry (AACAP), penanganan anak dengan ADHD
dilakukan dengan pendekatan komprehensif berdasarkan prinsip pendekatan yang
multidisiplin dan multimodal.
Tujuan utama penanganan anak dengan ADHD ialah:
 Memperbaiki pola perilaku dan sikap anak dalam menjalankan fungsinya
sehari-hari terutama dengan memperbaiki fungsi pengendalian diri.
 Memperbaiki pola adaptasi dan penyesuaian social anak sehingga terbentuk
kemampuan adaptasi yang lebih baik dan matang sesuai dengan tingkat
perkembangan anak.

Berdasarkan prinsip pendekatan yang multidisiplin dan multimodal ini maka


terapi yang diberikan dapat berupa obat, diet, latihan, terapi perilaku, terapi
kognitif dan latihan keterampilan social juga psikoedukasi kepada orangtua,
pengasuh serta guru yang sehari-hari berhadapan dengan anak tersebut.
1. Medikamentosa : cara ini dapat mengontrol ADHD sampai 70-80%. Obat
yang merupakan pilihan pertama ialah obat golongan psikostimulan.
Meskipun disebut stimulant, pada dasarnya obat ini memiliki efek yang
menenangkan pada penderita ADHD. Yang termasuk stimulant antara lain:
amphetamine, dextroamphetamine dan derivatnya. Pemberian obat psiko-
stimulan dikatakan cukup efektif mengurangi gejala-gejala ADHD. Obat
ini mempengaruhi sistem dopaminergik atau sirkuit noradrenergic korteks
lobus frontalis-subkortikal, meningkatkan kontrol inhibisi dan
memperlambat potensiasi antara stimulasi dan respon, sehingga
mengurangi gejala impulsive dan tidak dapat menyelesaikan tugas. Efek
sampingnya ialah penarikan diri dari lingkungan social, focus yang
berlebih, iritabel, sakit kepala, cemas, sulit tidur, hilang nafsu makan,
sindrom Tourette, serta munculnya tic.
2. Diet : Meta- analisis menemukan bahwa menghindari pewarna makanan
buatan dan bahan pengawet sintetik secara statistic bermanfaat mencegah
terjadinya ADHD. Keseimbangan diet karbohidrat dan asam amino
(tryptophan sebagai serotonin substrate) juga dapat menjadi upaya lain.
Belum ada bukti bahwa pemanis buatan seperti aspartame memperburuk
ADHD.
3. Rehabilitasi Medik : mengembangkan kemampuan fungsional dan
psikologis seorang individu dan mekanismenya sehingga dapat mencapai
kemandirian dan menjalani hidup secara aktif.
Penanganan rehabilitasi medic pada anak dengan ADHD:
 Terapi okupasi
Terapi okupasi terdiri dari terapi relaksasi, terapi perilaku kognitif, terapi
sensori integrasi, terapi snoezellen, dan terapi musik. Terapi relaksasi adalah
terapi yang menggunakan kekuatan pikiran dan tubuh untuk mencapai suatu
perasaan rileks. Terapi relaksasi bertujuan untuk dapat mengontrol ansietas,
stress, ketakutan dan ketegangan, memperbaiki konsentrasi, meningkatkan
kontrol diri, meningkatkan harga diri dan kepercayaan diri, serta
meningkatkan kreativitas.
Terapi perilaku kognitif bertujuan untuk mengubah perilaku seseorang
dengan mengubah pemikiran dan persepsi terutama pola berpikirnya. Terapi
perilaku berfokus untuk mengurangi respon kebiasaan dengan cara mengenal
situasi atau stimulus. Terapi ini melatih kemampuan bepikir, menggunakan
pendapat dan membuat keputusan, dengan focus memperbaiki deficit
memori, konsentrasi dan atensi, persepsi, proses belajar, membuat rencana,
serta pertimbangan. Pada anak-anak, terapi ini memerlukan dukungan penuh
dari orangtua atau anggota keluarga lain. Intervensi pada terapi ini juga harus
menarik seperti menggunakan media gambar kartun, role play, menggunakan
bahasa menarik sesuai usianya, media latihan yang menyenangkan dan penuh
warna. Bentuk lain dari intervensi ini dpat juga berupa metode self recording.
Terapi sensori integrasi bertujuan untuk meningkatkan kemampuan proses
sensori dengan cara:
 Mengembangkan modulasi sensoris yang berhubungan dengan atensi dan
kontrol perilaku.
 Mengintegrasikan informasi sensoris untuk membentuk skema persepsi
baik sebagai dasar ketrampilan akademis, interaksi social dan kemandirian
fungsional.
 Focus terapi diarahkan untuk memunculkan motivasi instrinsik anak untuk
bermain interaktif dan bermakna.
Terapi sensori integrasi memberikan stimulasi sensori dan interaksi fisik untuk
dapat meningkatkan integrasi sensori dan peningkatan kemampuan belajar dan
perilaku. Terapi ini merupakan terapi modalitas yang kompleks dan memerlukan
partisipasi aktif pasien dan bersifat individual melalui aktivitas yang bertujuan
melibatkan stimulasi sensorik untuk perbaikan organisasi dan proses neurologis.
Terapi snozellen dilakukan untuk mempengaruhi sistem saraf pusat melalui
pemberian rangsangan yang cukup pada sistem sensori primer dan juga pada
sistem sensori internal. Dalam bahasa Belanda kata Snozellen merupakan
gabunga dari 2 kata, yaitu: “snufflen” yang berarti eksplorasi aktif dan
“doezelen” yang berarti relaksasi atau pasif. Tujuan terapi snoezellen pada anak
ADHD ialah anak mampu konsentrasi dan atensi terhadap satu stimulus.
 Anak mampu rileks secara psikis sehingga mengurangi perilaku impulsive.
 Anak mampu memberikan reaksi yang tepat terhadap lingkungan
 Anak mampu melakukan kontak dengan orang lain
 Anak punya rasa percaya diri
 Anak mampu mengeksplorasi lingkungan
 Anak mampu rileks secara fisik yang ditandai dengan penurunan muscle
tension.
Ruangan snoezellen khusus dirancang untuk member stimulasi pada
berbagai sensasi, menggunakan efek lampu/cahaya, warna, music, wangi-
wangian dan sebagainya. Kombinasi dari bahan berbeda pada dinding
dieksplorasi menggunakan sensasi taktil, dan pada lantai disesuaikan untuk
merangsang sensasi keseimbangan. Idealnya, snoezellen merupakan terapi
yang tidak diarahkan dan dapat bertahap memberikan pengalaman multi
sensorik atau fokus pada I sensorik saja, secara sederhana melalui adaptasi
terhadap lampu atau cahaya, atmosfer, suara, dan tekstur kepada kebutuhan
spesifik pasien.
Lingkungan snoezellen memberikan stimulasi langsung dan tidak langsung
dari modalitas sensorik dan dapat digunakan secara individu atau
berkelompok untuk memberikan pendekatan sensorik.
Peralatannya disesuaikan dengan tiap- tiap anak ADHD:
 Stimulasi visual : serat optic semprot, proyektor dengan gambar
 Stimulasi pendengaran : kaset relaksasi, getaran suara dari peralatan musik.
 Olfaktori : aroma terapi mengurangi tingkat kecemasan
 Gustatory : setiap zat makanan menyediakan rasa yang berbeda atau
tekstur.
 Stimulasi taktil: bantal dan kasur dengan vibrasi, kain bertekstur.
 Rangsangan propioseptif dan vestibular : kursi goyang, rocking horses

Terdapat beberapa macam ruang snoezellen yang ditata dengan tujuan yang berbeda
contohnya:
 Ruang relaksasi : ruang ini dipenuhi dengan warna yang lembut dan tidak
mencolok, lagu-lagu lembut atau music relaksasi, pemberian aroma ruangan
dengan aroma yang lembut, lampu penerangan yang lembut.
 Ruang aktivitas/ adventure : ruangan ini dipenuhi dengan warna-warna yang
mencolok , stimulasi visual yang dinamis, music yang dinamis, dan alat-alat
permainan aktif.
 Ruang natural : ruangan alami seperti kebun bunga/taman, kolam
ikan/akuarium, terdapat pasir, tanah dan air.

Terapi music merupakan terapi efektif dan alat edukasi untuk anak dengan ADHD
sehingga dapat mempengaruhi perubahan keterampilan yang penting pada gangguan
belajar atau perilaku. Terapi music mencakup beberapa hal, yaitu:
 Keterampilan kognitif : music dapat menstimulasi dan memfokuskan atensi
dan terutama untuk orang yang tidak respon dengan intervensi lain. seluruh
intervensi terapeutik akan terstruktur dengan music, untuk mempertahankan
atensi.
 Keterampilan fisik : terdapat bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa ritme
teratur dapat menstimulasi dan mengorganisasikan respon otot untuk
menimbulkan rasa rileks.
 Keterampilan komunikasi : efektif untuk menstimulasi dan memotivasi bicara,
serta member ruang untuk komunikasi non-verbal.
 Keterampilan social: memberi kesempatan untuk orang dengan disabilitas
perkembangan untuk berinteraksi dan bekerja sama dengan orang lain.
 Keterampilan emosional : musik member kesempatan untuk mengekspresikan
dan merasakan berbagai emosi. Keinginan untuk berpartisipasi pada music
dapat membantu untuk mengntrol emosi yang meledak-ledak, mengubah
mood, serta dapat mencapai efek positif dari harga diri.

 Terapi psikologi
Psikoterapi yang diberikan pada penderita ADHD termasuk dalam
pelatihan kepada orangtua untuk memperbaiki lingkungan di sekitar rumah
dan sekolah. Terdapat berbagai pendekatan psikoterapi yang dapat dilakukan
oleh seorang psikolog;penggunaannya tergantung kepada pasien dan
simptomnya yang meliputi support group, parent training, dan social skills
training.
Memperbaiki lingkungan di sekitar rumah dan sekolah dapat
mempebaiki perilaku anak dengan ADHD, namun kendalanya ialah orangtua
dari anak ADHD memperlihatkan kekurangan yang sama terhadap diri
mereka sendiri, sehingga mereka tidak dapat cukup membantu anaknya
dengan kesulitannya. Intervensi pendidikan yang berbeda untuk orangtua
disebut sebagai parent management training. Teknik ini meliputi operant
conditioning yaitu sebuah aplikasi rewards untuk suatu perilaku yang baik
dan hukuman untuk perilaku yang buruk.
Manajemen di dalam kelas dilakukan sama dengan parent
management training yaitu guru diajari tentang ADHD dan teknik untuk
memperbaiki perilaku yang diaplikasikan diruangan kelas. Strategi yang
digunakan meliputi peningkatan penyusunan aktivitas di kelas atau daily
feedback.
 Terapi social medik
Penanganan ADHD dalam peran social medic difokuskan pada
bantuan perorangan dan keluarga yang kesulitan dalam penyesuaian diri dan
pelaksanaan fungsi-fungsi social diakibatkan oleh kondisi-kondisi yang
disfungsi. Terapi ini berkaitan dengan usaha untuk menjangkau dan
memanfaatkan sumber dalam pemecahan masalah social dengan tujuan
pelayanan untuk sosialisasi dan pengembangan, penyembuhan, pemberian
bantuan, rehabilitasi dan perlindungan social, serta pemberian informasi dan
nasehat.
 Terapi perilaku
Strategi spesifik yang dapat dilakukan untuk terapi perilaku ini ialah:
- Reward system ( anak diberikan ‘hadiah’ bila dapat menyelesaikan tugas
atau berperilaku baik)
- Time out (misal: anak yang memukul adiknya dihukum duduk di pojok
ruangan selama 5 menit)
- Response cost (misal : anak dilarang nonton TV bila tidak menyelesaikan
PR)
- Token economy (anak mendapatkan bintang bila menyelesaikan tugas dan
kehilangan bintang bila berjalan-jalan dikelas. Jumlah bintang
menentukan reward yang diterima)
Penting pula ditekankan bahwa dukungan orang tua sangat menentukan
suksesnya terapi sehingga terapi perilaku ini disertai dengan edukasi dan
pelatihan pasien serta keluarganya.

 Mofifikasi lingkungan
Anak-anak dengan ADHD tidak beradaptasi dengan baik untuk
mengubah dan tidak berfungsi dengan baik dalam lingkungan yang sangat
memberikan banyak stimulasi. Di sekolah, mereka harus ditempatkan dibarisan
depan sehingga mereka dapat lebih memperhatikan guru.
Seringkali, anak dengan ADHD mendapatkan keuntungan lebih dari metode
mengajar satu-satu atau pengajaran dalam kelompok kecil. Rutinitas kelas harus
diprediksi dan hanya satu tugas yang diberikan kepada anak pada suatu waktu.
Rutinitas di rumah juga harus terstruktur dengan baik dan teratur. Keluarga harus
menghindari keramaian, supermarket dan pusat perbelanjaan besar yang dapat
memberikan terlalu banyak stimulasi bagi anak. Kelelahan juga harus dihindari
ketika anak menjadi tak terkontrol dan hiperaktivitas meningkat ketika anak
menjadi lelah. Saran dari psikiater, dokter anak dan social worker diperlukan
dalam kasus-kasus individual karena mungkin ada kebutuhan untuk penempatan
sekolah khusus atau program khusus untuk modifikasi perilaku. Anak yang
cerdas juga dapat ditempatkan dalam program sekolah normal. Obat jarang
diindikasikan kecuali terdapat indikasi tertentu seperti hiperaktif atau
ketidakstabilan suasana hati.

2.9 PROGNOSIS
Perjalanan anak dengan ADHD bervariasi: ada yang mengalami remisi, tetapi
ada juga yang menetap.
1. Persisten atau menetap: pada 40-50% kasus, gejala akan persisten hingga
masa remaja atau dewasa. Gejala akan lebih cenderung menetap jika terdapat
riwayat keluarga, peristiwa negative dalam hidupnya, komorbiditas dengan
gejala-gejala perilaku, depresi dan gangguan cemas. Pada beberapa kasus,
hiperaktivitas akan menghilang, tetapi tetap mengalami inatensi dan kesulitan
mengontrol impuls. Anak ini rentan dengan penyalahgunaan alcohol dan
narkoba, kegagalan disekolah, sulit mempertahankan pekerjaan, serta
cenderung melakukan pelanggaran hokum.
2. Remisi : pada 50% kasus, gejalanya akan meringan atau menghilang pada
masa remaja atau dewasa muda. Biasanya remisi terjadi anara usia 12 hingga
20 tahun. Gejala yang pertama kali memudar ialah hiperaktivitas dan yang
paling terakhir ialah distractibility.
a. Remisi total: anak yang mengalami remisi total akan memiliki masa
remaja dan dewasa yang produktif, hubungan interpersonal yang
memuaskan, dan memiliki gejala sisa yang sedikit.
b. Remisi parsial : pada masa dewasanya, anak dengan remisi parsial mudah
menjadi antisocial, mengalami gangguan mood, sulit mempertahankan
pekerjaan, mengalami kegagalan di sekolah, melanggar hukum, dan
menyalahgunakan alcohol serta narkoba.

BAB III
PEMBAHASAN

2.1 Perkembangan bahasa normal5

Pengertian antara berbicara (speech) dan bahasa (language) sering kali


membingungkan, tetapi keduanya memiliki perbedaan.
Berbicara (speech) adalah ekspresi verbal dari bahasa yang meliputi artikulasi sebagai
sarananya sehingga terbentuk kata-kata yang dapat kita dengar.
Bahasa (language) memiliki penertian yang lebih luas, meliputi seluruh sistem
pengekspresian dan penerimaan informasi yang memiliki makna. Bahasa dapat
dimengerti secara pasif dan aktif melalui komunikasi – verbal, non verbal, dan
tertulis.

Di bawah 12 bulan

Penting pada anak-anak usia ini untuk diobservasi bahwa mereka menggunakan
bahasa untuk berkomunikasi dengan lingkungan mereka. Tertawa dan mengoceh
adalah fase awal dari perkembangan berbicara. Seiring dengan pertambahan usia bayi
(sekitar usia 9 bulan), mereka mulai merangkai suara-suara, menggabungkan kata-
kata dengan nada yang berbeda, dan mengucapka kata-kata seperti “mama” dan
“dada” (tanpa mengetahui makna dari kata-kata tersebut). Sebelum usia 12 bulan,
anak-anak seharusnya sudah peka terhadap suara. Bayi yang pandangannya fokus
sekali tetapi tidak bereaksi terhadap suara mungkun memiliki gangguan pada
pendengarannya.

12 sampai 15 bulan

Anak pada usia ini pada normalnya harus mengoceh lebih banyak lagi dan sedikitnya
mengeluarkan satu atau lebih kata yang bermakna (tidak termasuk “mama” dan
“dada”). Kata benda biasanya muncul lebih awal seperti “baby” dan “ball”. Anak
seharusnya juga mampu untuk memahami dan menuruti satu perintah (contoh,
“tolong ambilkan mainanmu.”).

18 sampai 24 bulan

Anak sudah memiliki sekitar 20 perbendaharaan kata pada usia 18 bulan dan 50 atau
lebih kata-kata yang belum sempurna saat usia mereka mencapai 2 tahun. Ketika usia
2 tahun, anak-anak sudah belajar untuk mengombinasikan dua kata, seperti “adik
nangis” atau “ayah besar.” Seorang anak yang berusia 2 tahun harus sudah mampu
untuk melaksanakan dua buah perintah (seperti "tolong ambilkan mainanmu dan
ambil gelasmu”).

2 sampai 3 tahun

Pada usia ini anak akan mengalami perkembangan bahasa yang pesat dan
perbendaharaan kata yang amat meningkat. Mereka sudah bisa menggabungkan tiga
atau lebih kata-kata menjadi satu kalimat. Kemampuan anak dalam memahami bahasa
juga meningkat pada usia 3 tahun. Mereka mulai memahami apa maksud dari “taruh
di meja itu” atau “taruh itu di bawah tempat tidur.” Anak juga sudah harus mulai bisa
menyebutkan warna dan memahami konsep deskriptif (contonya membedakan besar
dan kecil).
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1. IDENTITAS PASIEN
Nama : An.PN
Umur : 2 Tahun 9 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Kristen Protestan
Suku : Batak
Alamat : Asrama Brimob
No. DM : 447135

3.2. ANAMNESIS
Anamnesis diperoleh dengan cara alloanamnesis terhadap keluarga pasien (ibu
kandung) saat kontrol di Poli rehab medik RSUD dok 2.
3.2.1. KELUHAN UTAMA
Anak belum dapat berbicara dengan jelas seperti anak seusianya

3.2.2. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


• Pasien datang untuk pertama kalinya ke poli diantar oleh ibunya, ibu pasien
mengeluh anaknya belum dapat berbicara dengan baik dan jelas seperti anak
seusianya. Saat ini pasien berusia 2 tahun dan hanya bisa mengoceh dengan
artikulasi yang tidak jelas. Kata yang bisa diucapkan oleh pasien adalah mama dan
papa, menghitung 1-10 menggunakan bahasa inggris, dan biru/merah. Kata mama
dan papa baru bisa diucapkan pasien saat berusia 18 bulan. Pasien belum dapat
mengucapkan beberapa kata atau menyusun kalimat. Apabila dipanggil oleh orang di
sekitarnya, pasien kurang merespon dengan baik. Tetapi jika bunyi kencang seperti
suara “buang angin” atau suara motor pasien baru menoleh. Pasien hanya bisa
memberikan isyarat dengan gerakan tubuh apabila menginginkan sesuatu, seperti
menunjuk jika menginginkan sesuatu. Jika diperintah pasien harus diberikan isyarat
dengan gerakan tubuh terlebih dahulu. Pasien sudah bisa duduk tegak tanpa
dibantu. Sudah dapat berjalan dan berlari, berlompat. Pasien sudah dapat bermain
sendiri, dan makan sendiri. Dapat bermain dengan orang dewasa dan teman sebaya.
Menurut ibu pasien, pasien sebenarnya adalah anak yang cerdas, yang jika diajarkan
sesuatu hal seperti menggambar, mewarnai, memegang sendok, cara memegang
pensil pasien cukup sekali dua kali diajarkan setelah itu pasien bisa melakukan
sendiri. Tetapi untuk mengajarkan membaca ibu pasien merasa kesulitan karena
anak dirasakan belum dapat berbicara dengan jelas. Keluhan gangguan pemusatan
perhatian, kontak mata yang buruk, lebih tertarik atau terfokus pada suatu hal, sikap
acuh tak acuh, suka melakukan hal yang sama secara berulang-ulang, pengulangan
kata atau kalimat tertentu yang diulan-ulang, gangguan konsentrasi, sering ngeces,
atau gangguan menelan dan mengunyah makanan disangkal.

3.2.3. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


Respiratory Distress e.c susp Hyalin Membran Disease, NKB (31
minggu)/SMK/Letak Kepala/ BBLSR.
3.2.4. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Pasien dilahirkan secara Sectio caesarea pada tanggal 14 april 2018
diRSUD jayapura atas indikasi anak mahal serta ibu dengan hipertensi kronis
pada usia kehamilan 31 minggu dengan berat badan sangat rendah 1200 gram.
Riwayat ibu P1A3.

3.3. PEMERIKSAAN FISIK


 Motorik kasar tidak sesuai usia
 Motorik halus tidak sesuai usia
 Personal sosial tidak sesuai usia
 Bahasa tidak sesuai usia
Pasien dengan usia 1 tahun 4 bulan mengalami keterlambatan perkembangan
setara dengan usia 4-6 bulan.
3.3.1. DIAGNOSA KLINIS
Gangguan Bahasa Ekspresif
3.3.2. DIAGNOSA BANDING
Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD)
Autism Spectrum Disorder (ASD)
Gangguan Pendengaran

3.4. TATALAKSANA
3.4.1. REHABILITASI MEDIK
a. Terapi wicara
b. Terapi okupasi

BAB III
PENUTUP

Kemampuan berbahasa merupakan indikator seluruh perkembangan anak.


Karena kemampuan berbahasa sensitif terhadap keterlambatan atau kerusakan pada
sistem lainnya, sebab melibatkan kemapuan kognitif, sensori motor, psikologis,
emosi, dan lingkungan di sekitar anak.2,3 Diperkirakan gangguan bicara dan bahasa
pada anak adalah sekitar 4-5 %.2
Secara umum, gangguan berbahasa dapat dibagi dalam tiga tipe, yaitu: (1)
Kegagalan memperoleh kemampuan berbahasa apapun. Keadaan ini misalnya
terdapat pada anak yang menderita retardasi mental berat; (2) Kendala kemampuan
bahasa yang telat didapat, yang dapat disebabkan oleh trauma fisik damupun psikis,
atau oleh gangguan neurologist; (3) Gangguan perkembangan berbahasa. Tipe inilah
yang dikategorikan dalam gangguan perkembangan spesifik. Terdapat dua sub tipe,
yaitu (a) tipe reseptif, yaitu kesukaranuntuk menrima dan mengerti bahasa yang
dibicarakan, dan (b) tipe ekspresif, yaitu kesukaran dalam mengekspresikan bahasa
secara verbal.11
Deteksi dan penanganan dini pada gangguan keterlambatan bicara dan bahasa
dapat membantu baik anak atau orang tua untuk memperkecil kesulitan di masa
sekolah anak.3 Dalam diagnosa dan penanganannya diperlukan ahli yang beragam
seperti dokter, ahli terapi: ahli terapi bicara dan ahli fisioterapi, psikolog, perawat, dan
pekerja sosial.9
DAFTAR PUSTAKA

1. Caroline Bowen. Speech And Language Development In Infants And Young


Children, dalam Caroline Bowen Phd Speech-Language Pathologist.
Didapatkan dari URL: http://www.speech-language-therapy.com/devel1.htm.
Diakses pada tanggal 22 Mei 2007.
2. Soetjiningsih. Gangguan Bicara dan Bahasa Pada Anak, dalam I.G.N.Gde
Ranuh (ed): Tumbuh Kembang Anak. EGC, Surabaya, 18, 237-247.
3. Behrman Kliegmar Jenson. Disorders of Hearing, Speech, and Language,
dalam Nelson Textbook of Pediatrics, 17th. Saunders, Philadelphia, 2004.
4. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Gangguan Bicara Pada Anak, dalam Buku Kuliah 1 Ilmu Kesehatan
Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta, 1985, 6, 102-105.
5. Nemours Foundation. Delayed Speech Or Language Development, dalam
Kids Health For Parents. Didapatkan dari URL:
http://www.kidshealth.org/parent/growth/communication/not_talk.html.
Diakses pada tanggal 22 Mei 2007.
6. Screening for Speech and Language Delay in Preschool Children: Systematic
Evidence Review for the US Preventive Services Task Force, dalam Official
Journal Of The American Academy Of Pediatrics. Didapatkan dari URL:
http://pediatrics.aappublications.org/cgi/content/full/117/2/e298. Diakses pada
tanggal 22 Mei 2007.
7. Come Unity. Children with Communication Disorders, dalam Children’s
Disabilities And Special Needs. Didapatkan dari URL:
http://www.comeunity.com/disability/speech/communication.html. Diakses
pada tanggal 22 Mei 2007.
8. Arthur C. Guyton, John E. Hall, Neurofisiologi Motorik dan Integratif, dalam
Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC, Jakarta.
9. Forfar and Arneil’s. Psychomotor and Intellectual Development, dalam
A.G.M. Campbell, Neil Mc Intosh (eds): Textbook of Paediatrics, 4th.
10. Ganguan Keterlambatan Bicara, dalam Pontianak Post. Didapatkan dari URL:
http://www.pontianakpost.com/berita/index.asp?
berita=Konsultasi&id=126200. Diakses pada tanggal 22 Mei 2007.
11. A.H. Markum. Gangguan Perkembangan Bahasa, dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Anak Jilid 1. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta, 1991, 2, 65.

Anda mungkin juga menyukai