Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Sindrom insufisiensi korteks adrenal terjadi akibat defisiensi kortisol dan


aldosteron. Apabila tidak diobati, maka penyakit ini dapat menyebabkan
kematian. Penyebab utama insufisiensi korteks adrenal adalah (1) penyakit
primer korteks adrenal atau (2) defisiensi sekresi hormone aldosteron
kortikotropik (ACTH). Defisiensi corticotrophin-realising hormone (CHR)
saja yang dapat menyebabkan defisiensi ACTH dan kortisol, tetapi penyakit ini
hanya dijumpai padsa pajanan kronik glukokortikoid farmakologik atau setelah
pengangkatan adenoma adenokorteks penghasil kortisol.
Apabila penyebab insufisiensi korteks adrenal adalah suatu proses patologik
di korteks adrenal, maka penyakit ini disebut Penyakit Addison. Pasien dengan
penyakit Addison memperlihatkan memperlihatkan keterlibatan ketiga zona
korteks sehingga terjadi defisiensi sekresi korteks adrenal.
Pasien Addison jarang dijumpai dan memiliki prevalensi 4 dari 100.000
orang. Dahulu, tuberkulosis adalah penyebab utama penyakit Addison. Saat ini,
dengan kemoterapi yang lebih baik, hanya sedikit pasien tuberkulosis yang
mengalami insufusiensi adrenal.

1.2 Tujuan

1. Mampu menerapkan ilmu-ilmu dasar kedokteran dan ilmu kedokteran klinik


2. Untuk mengetahui secara keseluruhan mengenai penyebab timbulnya
Penyakit Addison
3. Agar dapat mendiagnosis, perjalanan timbulnya Penyakit Addison
4. Dapat mengetahui adanya tanda-tanda klinis dari Penyakit Addison
5. Mampu mengatasi dan memberikan pengobatan terhadap pasien yang
mengalami Penyakit Addison

1
6. Untuk memenuhi tugas kelompok mengenai Penyakit Addison

1.3 Rumusan masalah

1. Bagaimana cara mendiagnosis Penyakit Addison?


2. Bagaimana anatomi dan fisiologi kelenjar adrenal ?
3. Bagaimana etiologi dari Penyakit Addison?
4. Bagaimana patofisiologi dari Penyakit Addison ?
5. Bagaimana manifestasi klinis dari Penyakit Addison?
6. Bagaimana diagnosis banding Penyakit Addison ?
7. Apa saja pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penyakit
Penyakit Addison ?
8. Bagaimana penatalaksaan dari Penyakit Addison?

1.5 Manfaat

Penulisan makalah ini diharapkan dapat sebagai pembelajaran mahasiswa


dalam rangka mempelajari dan memahami ilmu mengenai Sistem Endokrin
serta berguna dalam meningkatkan pengetahuan dan kemampuan mempelajari,
mengidentifikasi masalah, menganalisa, dan mengambil satu kesimpulan,
dalam pemahaman tentang penatalaksanaan Penyakit Addison

BAB II

PEMBAHASAN PENYAKIT ADDISON

2
2.1 Definisi

Kegagalan kelenjar adrenal untuk memproduksi hormone dalam jumlah yang


adekuat sehingga akan mempengaruhi kerja tubuh dalam menekan dan
meregulasi tekanan darah serta mengatur keseimbangan air dan garam.

2.2 Etiologi

Ada beberapa keadaan yang diperkirakan sebagai penyebab dari penyakit


Addison, diantaranya :
 Adrenalitis autoimun membentuk 75 % hingga 90 % kasus penyakit
Addison di Negara berkembang. Penyakit ini dapat bersifat sporadic
atau familial. Pada separuh pasien, penyakit autoimun tampaknya
terbatas di kelenjar adrenal; pada pasien lainnya, juga terdapat penyakit
autoimun lain, seperti penyakit Hashimoto, anemia pernisiosa, diabetes
mellitus tipe 1, dan hipoparatiroidisme idiopatik. Istilah sindrom
poliglandular tipe 1 atau II pernah digunakan untuk menamai berbagai
kombinasi keterlibatan organ yang mingkin ditemukan. Sindrom
poliglandular tipe I adalah suatu penyakit resesif autosomal yang
berkaitan dengan mutasi gen regulator autoimun di kromosom 21q.
sebaliknya, sindrom poliglandular tipe II dan adrenalitis autoimun saja
adalah penyakit multifactor, dengan keterkaitan kuat ke antigen
histokompatibilitas tertentu., terutama HLA-B8, HLA-DR3, dan HLA-
DQ5. Pada pasien dengan semua varian adrenalitis autoimun, ditemukan
antibody terhadap enzim steroid, seperti 21-hidroksilase dan 17α-
hidroksilase.1
 Infeksi, terutama tuberkulosis dan yang disebabkan oleh jamur, juga
dapat menyebabkan adenokorteks kronis primer. Adrenalitis
tuberkulosis, yang pernah membentuk hingga 90 % kasus penyakit
Addison, kini semakin jarang ditemukan berkat ditemukannya terapi
antituberkulosis. Pasien dengan sindrom immunodefisieinsi (AIDS)

3
dapat beresiko mengalami insufisiensi adrenal akibat beberapa penyulit
infeksi (sitomegalovirus, Mycrobacterium avium-intracellulare) dan
noninfeksi (sarcoma Kaposi) dari penyakit mereka.1
 Neoplasma metastatic yang mengenai adrenal adalah penyebab
potensial lain insufisiensi adrenal. Adrenal merupakan tempat yang
cukup sering mengalami metastasis pada pasien dengan karsinoma
diseminata. Meskipun fungsi adrenal dipertahankan pada sebagian besar
pasien ini, pertumbuhan metastatic kadang-kadang merusak cukup
banyak korteks adrenal sehingga terjadi insufisiensi adrenal.1

2.3 Epidemiologi

Penyakit Addison sudah dikenal sejak 150 tahun lalu, yang pertama kali
dikemukakan oleh Thomas Addison pada tahun 1855. Penyakit Addison jarang
dijumpai dan memiliki prevalensi 4 dari 100.000 orang; dua pertiga pasien
adalah perempuan. Diagnosis ditegakkan antara usia 20 sampai 50 tahun.2
Dahulu, tuberkulosis adalah penyebab utama penyakit Addison. Saat ini
dengan kemoterapi yang baik, hanya sedikit pasien tuberkulosis yang
mengalami penyakit Addison.

2.4 Anatomi dan Fisiologi

4
Kedua kelenjar adrenal (glandula suprarenalis) merupakan organ
retroperitoneal yang berwarna kekuningan pada polus superior ren. Glandula
suprarenalis ini dikelilingi oleh fascia renalis (tetapi dipisahkan oleh capsula
adiposa). Setiap glandula mempunyai cortex dan medulla yang berwarna coklat
tua. Arteri yang memperdarahi masing-masing glandula suprarenalis ada tiga
buah : (1) arteria phrenica inferior, (2) aorta, (3) arteri renalis. Sebuah vena
keluar dari hilum masing-masing glandula suprarenalis dan mengalirkan
darahnya ke vena cava inferior pada sisi kanan dan vena renalis pada sisi kiri.4
Tiap kelenjar terdiri atas dua bagian yang berbeda, yakni medulla adrenal, dan
korteks adrenal. Medulla adrenal , yang merupakan 20 persen bagian kelenjar
terletak dipusat kelenjar, dan secara fungsional berkaitan dengan system saraf
simpatis; menyekresi hormone epinefrin dan norepinefrine sebagai respon
terhadap ransangan simpatis.
Korteks adrenal menyekresi kelompok hormone yang berbeda sama sekali,
yakni kortikosteroid. Hormon ini seluruhnya disintesis dari kolesterol steroid,
dan semuanya mempunyai rumus kimia yang sama. Akan tetapi, perbedaan
yang sedikit dalam struktur molekulnya memberikan beberapa fungsi penting
yang berbeda.5

5
Kortikosteroid— Mineralkortikoid, Glukokortikoid, dan Androgen. Ada
dua jenis hormone adrenokortikal yang utama, yakni mineralkortikoid dan
glukokortikoid, yang disekresikan oleh korteks adrenal. Selain hormon ini,
korteks adrenal juga menyekresi hormon kelamin, terutama hormon androgen,
yang efeknya pada tubuh hamper mirip dengan hormone kelamin pria
testosteron. 5
Sintesis dan Sekresi Hormon Adrenokortikal. Korteks adrenal memiliki tiga
lapisan yang relative berbeda.
1. Zona glomerulosa, lapisan tipis sel-sel yang terletak tepat dibawah kapsul,
membentuk sekitar 15 persen korteks adrenal, pada kelenjat adrenal, sel-sel
tersebut merupakan satu-satunya yang mnyekresi aldosteron dalam jumlah
yang berarti karena sel-sel tersebut mengandung enzim aldosteron sintase,
yang dibutuhkan untuk sintesis aldosteron. Sekresi sel-sel tersebut diatur
terutama oleh konsentrasi angiotensin II dan kalium cairan ekstrasel, yang
keduanya merangsang sekresi aldosteron.
2. Zona fasikulata. Yakni lapisan tengah dan terlebar; memebentuk sekitar 75
persen korteks adrenal dan mnyekresi glukokortikoid kortisol dan
koertikosteron, dan dalam sejumlah kecil androgen dan esterogen adrenal.
Sekresi sel-sel tersebut diatur sebagian besar oleh sumbu hipotalamus-
hipofisis lewat hormone adenokortikotropik (ACTH).
3. Zona retikularis, yang merupakan lapisan terdalam dari korteks menyekresi
androgen adrenal dehirdroepiandosteron (DHEA) dan andostenedion, juga
sejumlah kecil estrogen dan beberapa glukokortikoid.5

Mineralkortikoid – Aldosteron
Aldosteron meningkatkan reabsorbsi natriun dan sekresi kalium di
tubulus ginjal. Bahwa aldosteron mengkatkan absorbs natrium dan secara
bersamaan meningkatkan sekresi ginjal, terutama sel mprinsipal di sel tubulus
kolektifus dan sedikit tubulus dan koligentes. Oleh karena itu, aldosteron
menyebabkan natrium disimpan cairan ektrasel sementara meningkatkan
eksresi kalium di urin.

6
Bila kosentrasi aldosteron dalam plasma tinggi maka keadaan ini akan
mengurangi jumlah natrium yang hilang secara sementara ked dalam urin
sedimikian kecil sehinga hanya beberapa miliekuivalen tiap hari. Pada saat yang
sama, kalium yang hilang dalam urin menigkat beberapa kali lipat. Oleh karena
itu, hasil akhir efek aldosteron dalam plasma adalah untuk meningkatkan
jumlah total natrium dalam cairan ektra sel sementara menurunkan jumlah
kalium.
Sebaliknya, tidak di sekresikan aldosteron sama sekali dapat menyebabkan
natrium yang dalam urin mencapai 10 sampai 20 gram perhari, jumlah yang
sesuai dengan sepersepuluh sampai seperlima jumlah natrium dalam tubuh.
Pada saat yang sama, kalium akan di simpan secara kuat dalam cairan ektrasel.

Aldosteron yang berlebihan meningkatkan volume cairan ektrasel dan


tekanan arteri tetapi hanya sedikit mempengaruhi kosentrasi natrium
plasma. Walaupun aldosteron mempunyai efek yang poten dalam menurunkan
kecepatan ekskresi ion natrium oleh ginjal, kosentrasi natrium di dalam cairan
ektrasel oleh gijal, kosentrasi natrium di dalam cairan ektrasel sering kali hanya
meningkat beberapa milikuivalen. Alasaanya kerena ketika kalsium di
reabsobsi oleh tubulus, secara bersamaan terjadi absorbs air dalam jumlah yang
hamper semua melalui proses osmotic. Sedikit peningkatan kosentrasi natrium
cairan ektrasel juga merangsang rasa haus dan meningkatkan asupan air,
volume cairan ektra sel meningkat hamper sama banyak dengan natrium yang
tertinggal tetapi tanpa mengubah kosentrasi natrium.
Walaupun aldosteron di dalam tubuh merupakan hormone penahan natrium
yang kuat. Hanya sedikit natrium saja yang sementara tertahan saat natrium
tersebut di sekresikan dalam jumlah yang besar. Peningkatan volume cairan
ektrasel yang di perantai aldosteron yang berlangsung selama lebih dari 1
sampai 2 hari dapat mengarah kepada peningkatan arteri. Peningkatan arteri
kemudia meningkatkan ekresi garam dan air. Jadi setelah volume cairan
ektrasel menigkat 5 sampai 15 persen di atas normal, tekanan arteri juga

7
meningkat 15 sampai 25 mmHg, dan peningkatan tekanan dara mengembalikan
kekuatan garam dan air oleh ginjal kembali ke normal walaupun ada kelebihan
aldosteron.
Kembali nya ekresi ginjal dan garam kembali ke normal oleh ginjal sebagai
akibat dari natriuresis dan dieresis tekanan di sebut sebagai pelolosan
aldosteron. Setelah itu, kecepatan perolehan garam dan air oleh tubuh adalah
nol, dan keseimbangan di pertahnkan antara asupan dan keluaran garam dan
oleh air ginjal ewalupun aldosteron berlebih terus berlanjut. Tetapi, untuk
sementara waktu orang tersebut mengalai hipertensi, yang berlangsung selama
orang terpapar dengan aldosteron yang berkadar tinggi.
Sebaliknya, ketika aldosteron menjadi nol, sejumlah besar garam hilang dalam
urin, tidak hanya mengurangi jumlah natrium klorida di dalam cairan ektrasel
tetapi juga mengurangi volume cairan ekrtasel . hasilnya adalah dehidrasi
cairan ektrasel yang sengat berat dan volume dara yang rendah , megarah syok
sirkulasi. Tanpa pengobatan, keadaan ini biasanya menyebabkan kematian
dalam beberapa hari setelah kelenjar adrenal tiba-tiba menghentika sekresi
aldosteron.

Aldosteron berlebihan menyebabkan hipokalemia dan kelemahan otot,


terlalu sedikit aldosteron menyebabkan hiperkalemi dan keracunan
jantung. Aldosteron berlebihan tidak hanya menyebabkan hilangnya ion
kalsium secara berlebihan dari cairan ektrasel ke dalam urin namun juga
merangsang pengkutan cairan ektrasel ke dalam banyak sel tubuh. Oleh kerena
itu, sekresi aldosteron berlebihan, seperti yang terjadi pada beberapa tumor
adrenal, dapat menyebabkan penurunan besar-besaran kosentrasi kalsium
plasma, kadang-kadang akan menurunkan kosentrasi kalium plasma, kadang
akan menurunkan kosentrasi tersebut dari nilai normal 4,5 mEq/L sampai
serendah 1 sampai 2 mEq/L. keadaan ini di sebuut sebagai hipokalemia. Bila
kosentrasi ion kalsium turun sampai kira-kira di bawah setengah dari nilai
normalnya, kelemahan otot yang berat sering timbulnya perubahan eksitasi
listrik membrane saraf dan membrane serabut otot, yang akan mencegah
penjalaran potensial aksi yang normal.

8
Sebaliknya, bila ada defesiensi aldsoteron, maka besarnya kosentrasi ion
kalsium dalam cairan ektrasel akan menigkat sampai jauh di atas nilai normal.
Bila kenaikannya mencapai 60-100 persen di atas normal, keracunan jantung
yang berat, meliputu kelemahan kontraksi jantung dan timbulnya aritmia
jantung, akan menjadi lebih jelas, kosentrasi kalium secara berangsur-angsur
meningkat lebih tinggi tidak teelakkan lagi akan menyebabkan gagal jantung.

Aldosteron berlebihan meningkatkan sekresi ion hydrogen tubulus, dan


menyebabkan alkalosis ringan. Aldosteron todak hanya menyebabkan
sekresi kalium ke dalam tubulus untuk di tukar dengam reabsorbsi natrium di
dalam sel principal tubulus kolektivus ginjal tetapi juga menyebabkan sekresi
ion hydrogen yang di tukar dengan natrium di dalam sel interkalasi tubulus
kolektivus korteks. Penurunan kosentrasi ion hydrogen dalam cairan ektrasel
ini menimbulkan alkalosis ringan.

Mekanisme selular kerja aldosteron. Walaupun selama bertahun-tahun kita


telah mengetahui seluruh efek mineralortikoid terhadap tubuh, namun dasar
kerja aldosteron terhadap sel-sel tubular untuk menigkatkan pengangkutan
natrium tidak sepenuhnya di pahami. Akan tetapi, rangkaian peristiwa yang
menimbulkan penigkatan reabsorbsi natrium tampaknya sebagai berikut.
Pertama, oleh karena sifat membran sel yang mudah larut di dalam lemak,
aldosteron mudah berdifusi ke dalam sel epitel tubulus.
Kedua, dalam sitoplasma sel-sel tubulus, aldosteron akan berkaitan dengan
protein reseptor sitoplasma yang sangat spesifik, yaitu protein yang mempunyai
konfigurasi stereomolekular yang hanya membolehkan aldosteron atau
senyawa yang sangat mirip denga aldosteron berikatan dengan protein reseptor
tersebut.
Ketiga, kompleks reseptor aldosteron atau produk dari kompleks ini berdifusi
ke dalam inti sel yang mengadakan perubahan selanjutnya, dan akhir
menginduksi satu atau lebih gugus spesifik DNA untuk membentuk satu atau
beberapa jenis RNA mesenger yang berkaitan dengan proses pengkutan kalium
dan natrium

9
Keempat, RNA mesenger berdifusi kembali ke dalam sioplasma, yaitu saat
RNA mesenger bekerja sama dengan natrium bekerja bersama dangan ribosom
dan menyebabkan terbentuknya protein . protein yang terbentuk merupakan
cairan dari (1) satu atau lebih enzim (2) protein transpor membran, yang kerja
samanya dibutuhkan untuk tranpor natrium dan kalium dan hidrogen melalui
membran sel, salah satu enzim yang terutama di tingkatkan adalah natrium
kalium adenosin trifosfetasi, yang bekerja sebagai bagian utama dari pompa
pertukaran kalium dan natrium pada membran basolateral sel tubulus ginjal.
Protein lain yang sama pentingnya , merupakan suatu protein kanal natrium
epitel yang di masukkan ke dalam membran luminal dari sel tubulus ginjal yang
sama sehingga membuat ion natrium dapat berdifusi dengan cepat dari lumen
tubulus masuk ke dalam sel, kemudian natrium selanjutnya di pompa natrium
kalium yang terletak di dalam membran basolateral sel.
Jadi, sebenarnya aldsteron tidak mempunyai efek yang cepat pada
pengangkutan natrium, namun, pengaruh ini harus menunggu timbulnya
rangkaian peristiwa yang menyebabkan terbentuknya bahan-bahan spesifik
intrasel yang di butuhkan waktu kira-kira 30 menit lamanya sebelum RNA
yang baru muncul, di butuhkan waktu kira-kira 45 menit sebelum pengkutan
natrium melaui meningkat efek maksimunya akan tercapai hanya dalam waktu
beberapa jam sesudahnya.

Kemungkinan kerja nongenomik aldosteron dan hormon steroid lainya.


penilitian terkini menduga bahwa banyak steroid, termasuk aldosteron,
menimbulkan tidak hanya perkembangan eek genomik yang lambat, yang
mempunyai latensi 60 sampai 90 menit dan membutuhkan trankripsi gen dan
sintesis protein, nanmun efek nongenomik yang berlangsung dalam hitungan
beberapa detik sampai menit.
Kerja nongenomik tersebut di yakini di perantai oleh peningkatan steroid ke
reseptor membran sel yang bergandengan dengan sistem secon
mesengger,mirpip yang di gunakan untuk transduksi sinyal hormon peptida.
Contohnya, aldosteron telah menujukkan dapat eningkatkan peningkatan
pembentukan cAMP di el otot polos pembuluh dara dan sel epitel tubulus

10
kolektivus ginjal waktu kurang dari 2 menit, waktu yang sangat sngkat trinkripsi
gen dan sntesis protein yang baru. Pada jenis sel lainya aldosteron telah
menunjukkan dapat meningkatkan sistem second messenger fofadilinosital
secara cepat. Namun, strultur tepat dari reseptor yang bertanggung jawab pada
efek aldosteron yang cepat belum di tentukan, dan kepentingan fisiologis kerja
non genmik dari steroid juga tidak di mengerti secara jelas.

Pengaturan sekresi aldosteron. Pengaturan aldosteron sangat berkaitan


dengan pengaturan besarnya kosentrasi elektrolit dalam cairan ektrasel, volume
cairan ektra sel, volume darah, tekanan arteri, dan banyak aspek khusus dari
fungsi ginjal sehingga sulit untuk membicarakan pengaturan sekresi aldosteron
tanpa mengait-ngaitkan faktordi atas.
Pengaturan sekresi aldosteron oleh sel-sel zona glomerulosa hampir sama sekali
tidak berhubungan dengan hormon kortisol dan androgen oleh zona fesikulata
dan zona retikularis
Di kenal empat faktor yang memainkan peranan penting dalam pengaturan
aldosteron. Menurut urutan manfaatnya, keempat faktor tersebut sebagai
berikut :
1. Penigkatan kosentrasi ion kalsium di dalam cairan diektrasel yang sangat
mengingkatkan sekresi aldosteron
2. Peningkatan aktifitas sistem renin-angiotensinogen juga sangat
menigkatkan sekresi aldosteron
3. Penigkatan kosentrasi ion natrium di dalam cairan ektrasel sangat sedikit
menurukan sekresi aldosteron
4. ACTH dari kelenjar hipofisis anterior di perlukan untuk sekresi aldosteron
tetapi mempunyai efek yang kecil dalam mengatur kecepatan sekresi

Dari faktor-faktor tersebut, kosentrasi ion kalium dan sistem renin


angiotensinogen sejauh ini merupakan faktor yang paling kuat dalam mengatur
sekresi aldosteron. Sedikt pengkatan persentasi kosentrasi kalium dapat
menyebakan beberapa kali peningkatan sekresi aldosteron. Selain itu, aktifitas
renin angiotensinoge, biasanya sebagai respon terhadap berkurangnya aliran
darah ke ginjal atau karena kehilangan natrium, dapat menyebabkan

11
peningkatan sekresi aldosteron beberapa kali lipat. Selanjutnya, aldosteron akan
bekerja pada ginjal dengan membantu ginjal mengeluarkan kelebihan ion
kalium dan meningkatkan volume darah dan tekanan areteri, jadi
mengembalikkan sitem renin angiotensinogen ke kadar aktifitas normal.
Mekanisme pengaturan umpan balik ini penting untuk mempertahankan
kehidupan.

Efek terhadap kosentrasi aldosteron plasma yang di sebabkan oleh


penghambatan pembentukan angiotensinogen II oleh inhibator angiotensin
coverting enzim setelah diet rendah natrium setelah beberapa minggu yang
meningkatkan kosentrasi aldosteron plasma beberpa kali lipat. Penghambatan
pembentukan angiotensinogen II secara bermakna akan menurunkan kosentrasi
aldosteron dalam plasma tanpa mengubah kosentrasi kortisol secara nyata, hal
ini menunjukkan bahwa angiotensinogen II berperan penting dalam
merangsang sekresi aldosteron ketika asupan natrium dan volume cairan
ektrasel di turunkan.

Sebaliknya, efek kosentrasi ion natrium senata ACTH dalam megatur sekresi
aldosteron biasanya kecil. Walaupun demikian, penurunan kosentrasi ion
natrium cairan ektraselular sebesar 10 sampai 20 persen, seperti yang terjadi
pada kasus yang jarang, mungkin dapat mengandakan sekresi aldosteron.
Mengenai ACTH, bila terdapat bahkan sejumlah kecil ACTH di sekresikan
oleh kelanjar hipofisis anterior, biasanya jumlah tersebut cukup untuk membuat
kerja adrenal menyekresikan beberapa pun jumlah aldosteron yang di butuhkan,
tetapi tidak adanya ACTH secara menyeluruh dapat mengurangi aldosteron
secara bermakna.

Glukokortikoid – Kortisol

Efek kortisol terhadap metabolisme karbohidrat


Perangsangan glukoneogenesis. Sejauh ini efek metabolik yang paling
terkenal dari kortisol dan glukokortikoid lainnya terhadap metabolisme adalah

12
kemampuan kedua hormon ini untuk merangsang proses glukoneogenesis (
pembentukan karbohidrat dari protein beberapa zat lain ) oleh hati, sering
meningkatkan kecepatan glukoneogenesis sebesar 6 sampai 10 kali lipat.
Keadaan ini terutama disebabkan oleh dua efek kortisol.
1. Kortisol meningkatkan enzim-enzim yang dibutuhkan untuk mengubah
asam-asam amino menjadi glukosa dalam sel-sel hati. Hal ini dihasilkan dari
efek glukokortikoid untuk mengaktifkan transkripsi DNA di dalam inti sel
hati dengan cara yang sama seperti fungsi aldosteron didalam sel-sel tubulus
ginjal, disertai dengan pembentukan RNA messenger yang selanjutnya
dapat dipakai untuk menyusun enzim-enzim yang dibutuhkan dalam proses
glukoneogenesis.
2. Kortisol menyebabkan pengangkutan asam-asam amino dari jaringan
ekstrahepatik, terutama dari otot. Akibatnya, semakin banyak asam
aminotersedia dalam plasma untuk masuk dalam proses glukoneogenesis di
hati dan oleh karena itu akan meningkatkan pembentukan glukosa.
Salah satu efek peningkatan glukoneogenesis adalah sangat meningkatnya
jumlah penyimpanan glikogen dalam sel-sel hati. Pengaruh kortisol tersebut
membuat hormon glikolitik lain, seperti epinefrin dan glukagon
memobilisasi glukosa pada saat diperlukan nanti, seperti pada keadaan di
antara makan.

Penurunan pemakaian glukosa oleh sel. Kortisol juga menyebabkan penurunan


kecepatan pemakaian glukosa oleh kebanyakan sel tubuh. Walaupun penyebab
penurunan ini tidak diketahui, sebagian besar ahli fisiologi percaya bahwa pada
suatu tempat yang terletak diantara tempat masuknya glukosa ke dalam sel dan
tempat pecah nya yang terakhir, kortisol secara langsung memperlambat
kecepatan pemakaian glukosa. Dugaan mekanisme ini didasarkan pada
pengamatan yang menunjukkan bahwa glukokortikoid menekan proses oksidasi
nikotinamid-adenin-dinukloetida (NADH) untuk bentuk NAD+. Karena NADH
harus dioksidasi agar menimbulkan glikolisis, efek ini dapat berperan dalam
mengurangi pemakaian glukosa oleh sel.

13
Peningkatan konsentrasi glukosa dalam darah dan diabetes adrenal. Peningkatan
kecepatan glukoneogenesis dan berkurangnya kecepatan pemakaian glukosa
oleh sel-sel dapat meningkatkan konsentrasi glukosa darah. Peningktan glukosa
darah selanjutnya merangsang sekresi insulin. Peningkatan kadar plasma insulin,
walau demikian, menjadi tidak efektif dalam menjaga glukosa plasma seperti
ketika dalam kondisi normal. Karena alasan yang belum sepenuhnya jelas, tinggi
nya kadar glukokortikoid menurunkan senstiivitas banyak banyak jaringan,
terutama otot rangka dan jaringan lemak, terhadap efek rangsangan insulin pada
ambilan dan pemakaian glukosa. Satu penjelasan yang mungkin adalah bahwa
kadar asam lemak yang tinggi, disebabkan pengaruh glukokortikoid
memobalisasi lipid dari simpanan lemak, dapat merusak kerja insulin pada
jaringan. Dengan cara ini, sekresi glukokortikoid berlebihan dapat menimbulkan
gangguan metabolisme karbohidrat dengan cara yang sama, yang ditemukan
pada pasien dengan kadar hormon pertumbuhan berlebih.

Peningkatan konsentrasi gula darah kadangkala cukup besar (50 persen atau
lebih diatas normal) ayng merupakan suatu keadaan yang disebut diabetes
adrenal. Pada diabets adrenal, pemberian hanya sedikit menurunkan tingginya
konsentrasi glukosa darah- tidak sebanyak pada diabetes pankreatik-karena
jaringan bersifat resisten terhadap pengaruh insulin.

Efek Kortisol Terhadap Metabolisme Protein

Pengurangan Protein Sel. Salah satu efek utama kortisol terhadap sistem
metabolisme tubuh adalah kemampuannya untuk mengurangi penyimpanan
protein di seluruh sel tubuh kecuali protein dalam hati. Keadaan ini disebabkan
oleh berkurangnya sintesis protein dan meningkatnya katabolisme protein yang
sudah ada di dalam sel. Kedua efek ini mungkin sebagai akibat dari
berkurangnyapengangkutan asam amino ke dalam jaringan ekstrahepatik, seperti
yang akan dibicarakan nanti; keadaan ini mungkin bukan merupakan satu-
satunya penyebab, oleh karena kortisol juga menekan pembentukan RNA dan
sintesis protein selanjutnya di sebagian besar jaringan ekstrahepatik, terutama di
otot dan jaringan limfoid. Bila kelebihan kortisol sangat banyak, otot dapat
menjadi begitu lemah sehingga orang tersebut tidak dapat berdiri dari posisi

14
jongkok dan fungsi imunitas dari jaringan limfoid dapat diturunkan hingga
sedikit kurang dari normal.

Kortisol Meningkatkan Protein Hati dan Protein Plasma. Bersamaan dengan


berkurangnya protein di seluruh tubuh, ternyata protein di dalam hati justru
meningkat. Selanjutnya, protein plasma (yang dihasilkan oleh hati dan kemudian
dilepaskan ke dalam darah)juga akan meningkat. Peningkatan ini merupakan
pengecualian untuk pengurangan protein yang terjadi di bagian tubuh yang lain.
Diyakini bahwa perbedaan ini dihasilkan oleh suatu efek kemungkinan dari
kortisol dalam meningkatkan pengangkutan asam amino ke dalam sel-sel hati
(tetapi bukan ke dalam sebagian besar sel-sel lain) dan dalam meningkatkan
jumlah enzim-enzim hati yang dibutuhkan untuk sintesis protein.

Peningkatan Asam Amino Darah, Berkurangnya Pengangkutan Asam Amino ke


Sel-Sel Ekstrahepatik, dan Peningkatan Pengangkutan Asom Amino ke Sel-Sel
Hati. Penelitian terkini pada jaringan yang diisolasi menunjukkan bahwa kortisol
menekan pengangkutan asam amino ke dalam sel-sel otot dan mungkin juga ke
sel-sel ekstrahepatik lainnya. berkurangnya asam amino yang diangkut ke sel-
sel ekstrahepatik akan mengurangi konsentrasi asam amino intrasel dan
akibatnya akan mengurangi sintesis protein. Namun proses katabolisme protein
yang terjadi di dalam sel terus melepaskan asam amino dari protein yang sudah
ada, dan asam amino ini akan berdifusi keluar dari sel-sel untuk meningkatkan
konsentrasi asam amino dalam plasma. Oleh karena itu, kortisol memobilisasi
asam amimo dari jaringan-jaringan nonhepatik akan mengurangi simpanan
protein di dalam jaringan.

Konsentrasi asam amino yang meningkat dalam plasma peningkatan


pengangkutan asam amino oleh kortisol ke dalam sel-sel hati dapatjuga berperan
dalam meningkatkan pemakaian asam amino oleh hati yang menyebabkan
timbulnya pengaruh seperti (1) peningkatan kecepatan deaminasi asam amino
oleh hati, (2) peningkatan sintesis protein dalam hati, (3) peningkatan
pembentukan protein plasma oleh hati, dan (4) peningkatan perubahan asam
amino menjadi glukosa-yaitu, meningkatkan glukoneogenesis. Jadi, mungkin
sebagian besar efek kortisol terhadap sistem metabolisme tubuh terutama berasal

15
dari kemampuan kortisol untuk memobilisasi asam amino dari jaringan perifer,
sementara pada waktu yang sama meningkatkan enzim-enzim hati yang
dibutuhkan untuk menimbulkan efek hepatik.

Efek Kortisol Terhadap Metabolisme Lemak

Mobilisasi Asam Lemak. Dengan pola yang sangat mirip dengan pola yang
dipakai oleh kortisol untuk meningkatkan mobilisasi asam amino dari otot,
kortisol juga meningkatkan mobilisasi asam lemak dari jaringan lemak.
Peristiwa ini akan meningkatkan konsentrasi asam lemak bebas di dalam plasma,
yang juga akan meningkatkan pemakaiannya untuk energi. Kortisol
tampaknyajuga memiliki efek langsung untuk meningkatkan oksidasi asam
lemak di dalam sel.

Mekanisme apa yang dipakai oleh kortisol untuk meningkatkan mobilisasi asam
lemak masih belum sepenuhnya diketahui. Akan tetapi, sebagian efek itu
mungkin dihasilkan dari berkurangnya pengangkutan glukosa ke dalam sel-sel
lemak. Ingatlah bahwa a-gliserofosfat, yang berasal dari glukosa, dibutuhkan
untuk penyimpanan dan mempertahankan jumlah trigliserida di dalam sel-sel
lemak, dan bila bahan ini tidak ada maka sel-sel lemak itu akan mulai
melepaskan asam-asam lemaknya. Peningkatan mobilisasi lemak oleh kortisol,
digabungkan dengan peningkatan oksidasi asam lemak di dalam sel, membantu
menggeser sistem metabolisme sel dari penggunaan glukosa untuk energi
menjadi penggunaan asam lemak. Akan tetapi, mekanisme kortisol ini
membutuhkan waktu beberapa jam untuk bekerja penuh-tidak secepat atau
sekuat efek pergeseran yang disebabkan oleh penurunan insulin,. Walaupun
demikian, peningkatan penggunaan asam lemak untuk energi metabolisme
merupakan faktor yang penting untuk penyimpanan glukosa tubuh dan glikogen
jangka panjang.

Obesitas Akibat Kortisol Berlebihan. Walaupun kortisol dapat menyebabkan


timbulnya mobilisasi asam lemak secukupnya dari jaringan lemak, banyak
pasien yang kelebihan sekresi kortisol sering kali menderita kegemukan yang
khas, dengan penumpukan lemak yang berlebihan di daerah dada dan di daerah

16
kepalanya, sehingga badannya seperti sapi dan wajah bulat "moonface."
Walaupun penyebabnya tidak diketahui, ada pendapat yang mengatakan bahwa
kegemukan ini disebabkan oleh perangsangan asupan bahan makanan secara
berlebihan, disertai pembentukan lemak di beberapa jaringan tubuh yang
berlangsung lebih cepat daripada mobilisasi dan oksidasinya.

Mekanisme Selular dari Kerja Kortisol. Kortisol, sepeti hormon steroid


lainnya membawa pengaruhnya dengan pertama kali berinteraksi dengan
reseptor intrasel pada sel target. Karena kortisol larut lemak, kortisol dapat
dengan mudah berdifusi melalui membran sel. Setelah berada di dalam sel,
kortisol berikatan dengan reseptor protein di dalam sitoplasma, dan kompleks
hormon-reseptor kemudian berinteraksi dengan urutan DNA pengatur spesifik,
yang disebut elemen respons glukokortikoid, untuk membangkitkan atau
menekan transkripsi gen. Protein lain di dalam sel, disebut faktor transkripsi,
juga diperlukan agar kompleks hormon-reseptor dapat berinteraksi secara
benar.dengan elemen respons glukokortikoid.

Glukokortikoid meningkatkan atau menurunkan transkripsi banyak gen untuk


memengaruhi sintesis mRNA untuk protein yang memerantarai berbagai
pengaruh fisiologis. Jadi, banyak efek metabolik kortisol yang tidak berlangsung
segera namun membutuhkan waktu 45 sampai 60 menit untuk disintesis, dan
sampai beberapa jam atau berhari-hari untuk sepenuhnya terbentuk. Bukti terkini
mengindikasikan bahwa glukokortikoid, terutama pada konsentrasi tinggi, dapat
juga memiliki beberapa efek non-genomik yang cepat pada transpor ion
membran sel yang dapat menambah kegunaan terapi.

Pengaturan Sekresi Kortisol oleh Hormon Adrenokortikotropik dari


Kelenjar Hipofisis

ACTH Merangsang Sekresi Kortisol. Tidak seperti sekresi aldosteron oleh


zona glomerulosa, yang terutama diatur oleh kalium dan angiotensin yang
bekerja secara langsung terhadap sel-sel adrenokortikal, ternyata hampir tidak
ada rangsangan yang mempunyai efek langsung Ierhadap sel-sel adrenal yang
menyekresi kortisol. Sebaliknya, sekresi kortisol hampir seluruhnya diatur oleh

17
ACTH yang disekresi oleh kelenjar hipofisis anterior. Hormon ini, yang disebut
juga sebagai kortikotropin atau adrenokortikotropin,juga meningkatkan
produksi androgen adrenal.

Sifat Kimia ACTH. ACTH sudah dapat diisolasi dalam bentuk yang murni dari
kelenjar hipofisis anterior. Bahan ini rnerupakan polipeptida besar, yang
mempunyai panjang 39 rantai asam amino. Suatu polipeptida yang iebih kecil,
produk pencernaan ACTH yang mempunyai panjang 24 rantai asam amino,
mempunyai semua efek molekul seluruhnya.

Sekresi ACTH Diatur oleh Faktor Pelepas-Kortikotropin dari


Hipotalomus. Seperti hormon hipofisis lain yang sekresinya diatur oleh faktor
pelepas dari hipotalamus, sekresi ACTH juga diatur oleh suatu faktor pelepas
yang penting. Faktor pelepas ini disebut faktor pelepas kortikotropin (CRF).
Faktor pelepas kortikotropin disekresikan ke dalam pleksus kapiler utama dari
sistem portal hipofisis di eminensia mediana hipotalamus dan kemudian dibawa
ke kelenjar hipofisis anterior, tempat faktor pelepas kortikotropin akan
merangsang sekresi ACTH. CRF merupakan suatu peptida yang terdiri dari 41
asam amino. Badan sel neuron yang menyekresi CRF terutama terletak di
nukleus paraventrikular hipotalamus. Nukleus ini selanjutnya menerima banyak
hubungan saraf dari sistem limbik dan batang otak bagian bawah.

Bila tidak ada CRF, maka kelenjar hipofisis anterior ini hanya dapat menyekresi
sedikit ACTH. Sebaliknya, sebagian besar kondisi yang menyebabkan tingginya
kecepatan sekresi ACTH, mengawali sekresi ini melalui sinyal yang dimulai di
daerah basal otak, termasuk hipotalamus, dan kemudian dihantarkan oleh CRF
ke kelenjar hipotalamus anterior.

ACTH Mengaktifkan Sel Adrenokortikol untuk Memproduksi Steroid


Melalui Peningkatan Siklik Adenosin Monofosfat (cAMP). Efek utama
ACTH terhadap sel-sel adrenokortikal adalah mengaktifkan adenilil siklase
dalam membran sel. Adenilil siklase ini selanjutnya akan meginduksi
pembentukan cAMP dalanr sitoplasma sel, mencapai efek maksimumnya dalam
waktu kira-kira 3 menit. cAMP ini selanjutnya akan mengaktifkan enzim-enzim

18
intrasel yang menyebabkan terbentuknya hormon adrenokortikal. Hal ini
merupakan contoh lain cAMP yang bekeda sebagai sistem sinyal second
messenger.

Langkah yang paling penting dari ACTH yang sudah dirangsang dalam
mengatur sekresi adrenokortikal adalah mengaktifkan enzim protein kinase
A,yang menyebabkan perubahan awal dari kolesterol menjadi pregnenolon.
Perubahan awal ini adalah langkah "pembatasan kecepatan" untuk semua hornon
adrenokortikal, yang akan menjelaskan mengapa untuk pembentukan hormon
adrenokortikal secara nonnal dibutuhkan ACTH. Perangsangan dalam jangka
waktu panjang pada korteks adrenal oleh ACTH tidak hanya akan meningkatkan
aktivitas sekretoriknya. namun juga menyebabkan hipertrofi dan proliferasi
selsel adrenokortikal, khususnya pada zona fasikulata dan retikularis, tempat
kortisol dan androgen disekresikan.

Stres Fisiologis Meningkatkan Sekresi ACTH dan Sekresi Adrenokortikal.


Pada bagian awal bab ini telah dinyatakan, bahwa hampir setiap jenis stres fisik
atau stres mental dalam waktu beberapa menit saja sudah dapat sangat
meningkatkan sekresi ACTH dan akibatnya sekresi kortisol juga akan sangat
meningkat, sering kali meningkat sampai 20 kali lipat. Efek ini digambarkan
oleh respons sekresi adrenokortikal yang cepat dan kuat setelah trauma.
Rangsangan sakit yang disebabkan oleh jenis stres fisik atau kerusakan jaringan
pertama-tama dihantarkan ke atas melalui batang otak dan akhirnya ke
eminensia mediana hipotalamus. Di sini, CRF disekresikan ke dalam sistem
portal hipofisis. Dalam beberapa menit, seluruh rangkaian pengaturan mengarah
kepada sejumlah besar kortisol di dalam darah. Stress mental dapat
menyebabkan peningkatan secara cepat sekresi ACTH yang sebanding. Keadaan
ini dianggap sebagai akibat dari naiknya aktivitas dalam sistem limbik,
khususnya dalam regio amigdala dan hipokampus, yang kemudian menjalarkan
sinyal ke bagian posterior medial hipotalamus.

Efek Penghambat Kortisol Terhadap Hipotalamus dan kelenjar Hipofisis


Anterior yang Menurunkan Sekresi ACTH. Kortisol mempunyai efek umpan
balik negatif langsung terhadap (l) hipotalamus unfuk menurunkan pembentukan

19
CRF dan (2) kelenjar hipofisis anterior untuk menurunkan pembentukan ACTH.
Kedua umpan balik ini membantu mengatur konsentrasi kortisol dalam plasma.
Jadi, bila konsentrasi kortisol menjadi sangat tinggi, maka umpan balik ini secara
otomatis akan mengurangi jumlah ACTH sehingga kembali lagi ke nilai
normalnya.

2.5 Patofisiologi

Defisiensi Mineralkortikoid. Kurangnya sekresi aldosteron sangat


menurunkan reabsorpsi natrium tubukus ginjal dan akibatnya akan
menyebabkan hilangnya banyak ion natrium, ion klorida, dan air kedalam urin.
Hasil akhirnya sangat berkurangnya volume cairan ekstrasel. Selanjutnya
pasien akan mengalami hiponatremia, hiperkalemia, dan asidosis ringan akibat
gagalnya sekresi ion kalium dan hidrogen guna menggantikan reabsorpsi
natrium.
Desfisiensi Glukortikoid. Hilangnya sekresi kortisol akan menyebabkan
pasien penyakit Addison tidak dapat mempertahankan konsentrasi normal
glukosa darah diantara waktu makan, sebab pasien tidak dapat mensintesis
glukosa dalam jumlah yang cukup melalui glukoneogenesis. Selanjutnya,
kurangnya kortisol akan mengurangi mobilisasi protein dan lemak dari jaringan,
sehingga akan menekan banyak fungsi metabolisme lain dari tubuh.
Kelambanan mobilisasi sewaktu tidak ada kortisol ini merupakan salah satu
efek yang sangat menggangu akibat kurangnya glukokortikoid.
2.6 Manifestasi Klinis

Gambaran klinis Penyakit Addison terjadi akibat kurangnya kortisol,


aldosteron, dan androgen.
 Insufisiensi kortisol menyebabkan berkurangnya glukoneogenesis,
penurunan glikogen hati, dan peningkatan kepekaan jaringan perifer
terhadap insulin. Kombinasi dari berbagai perubahan dalam metabolisme
karbohidrat ini dapar menyebabkan tubuh tidak mampu mempertahankan
kadar glukosa darah yang normal sehingga terjadi hipoglikemia pada saat

20
puasa. Karena rendahnya kandungan glikogen di hati, maka pasien
insufiensi adrenal tidak tahan dengan kekurangan makanan yang lama.
Peningkatan kepekaan terhadap insulin akibat defisiensi kortisol mungkin
menjadi masalah dengan pasien dengan diabetes mellitus tipe 1 atau 2 yang
memerlukan insulin yang juga mengalami insufisiensi korteks adrenal. Para
pasien ini mungkin mengetahui bahwa dosis insulin yang dahulu sudah
dapat mengontrol kadar gula darah sekarang menyebabkan hipoglikemia.2
Konsekuensi lain dari defisiensi kortisol adalah peningkatan umpan
balik negative dalam sekresi peptide yang berasal dari propiomelanokortin
(POMC), termasuk ACTH dan melanocyte-stimulating hormone -α dan –β.
Konsekuensi klinis adalah hiperpigmentasi, yang biasanya terjadi dibagian
distal ekstremitas didaerah yang terpajan matahari walaupun dapat juga
mengenai daerah yang dalam keadaan normal tidak terpajan matahari.
Daerah- daerah ini mencakup puting payudara, permukaan ekstensor
ekstremitas, genitalia, mukosa pipi, lidah, lipatan ditelapak tangan, dan
buku jari.2
Karena kortisol diperlukan tubuh untuk melakukan respon normal
terhadap stres, maka pasien dengan defisiensi kortisol tidak dapat menahan
stress bedah, anastesi, trauma, infeksi, dan penyakit demam lainnya. Pada
keadaan ini pasien mungkin mengalami insufisiensi adrenal akut yang
mengancam nyawa. 2
 Defisiensi Aldosteron bermanifestasi sebagai meningkatnya pengeluaran
natrium dan reabsorpsi kalium diginjal. Deplesi garam menyebabkan
berkurangnya air dan volume plasma. Menurunnya volume plasma
menimbulkan hipotensi postural. Pasien dengan penyakit Addison mungkin
memiliki tekanan darah yang normal saat berbaring tetapi mengalami
hipotensi mencolok dan takikardia saat berdiri beberapa menit. Berdasarkan
definisi , hipotensi postural terjadi apabila tekanan sistolik dan diastolik
turun lebih dari 20 mmHg saat pasien mengambil posisi tegak. Takikardia
postural terjadi apabila kecepatan nadi meningkat lebih dari 20 denyut
permenit (bpm) pada keadaan seperti diatas. Berkurangnya tekanan darah
dan meningkatnya kecepatan nadi biasanya menetap lebih dari 3 menit

21
setelah perubahan posisi. Dengan demikian, pasien penyakit Addison
mungkin memiliki tekanan darah 120/80 mmHg saat berbaring, tetapi
tekanan darah tersebut turun menjadi 60/40 mmHg setelah pasien berdiri.
Demikian juga kecepatan nadi dapat meningkat dari 80 menjadi 140 bpm
dengan perubahan posisi tersebut. 2
Berkurangnya volume intravascular dan tekanan arteroil aferen
ginjal merangsang pelepasan rennin dan meningkatkan pembentukan
angiotensin II. Namun, Karena korteks adrenal rusak, maka angiotensin II
tidak dapat merangsang produksi aldosteron dan memulihkan kadarnya ke
kadar basal. Kadar rennin yang tinggi dan aldosteron yang rendah
merupakan cirri defisiensi aldosteron primer. 2
 Defisiensi Androgen dapat mempengaruhi pertumbuhan rambut ketiak dan
pubis. Efek ini tertutupi pada laki-laki, yang memiliki androgen testis untuk
menimbulkan efek metabolic androgenic. Pada perempuan insufisiensi
adrenal menyebabkan hilangnya rambut ketiak dan pubis serta
berkurangnya rambut di ekstremitas. 2

2.7 Diagnosis

Diagnosis penyakit Addison sudah dapat diperkirakan berdasarkan gambaran


klinis defisiensi kortisol, aldosteron, dan androgen. Diagnosis dipastikan
dengan pemeriksaan laboratorium yang sesuai.
Apabila gejala timbul dalam beberapa minggu atau bulan, maka
diagnosisnya adalah insufisiensi adrenal kronik. Sebaiknya, gejala dapat timbul
secara cepat dan mengarah pada diagnosis insufisiensi adrenal akut atau krisis
addisonian. Penyakit ini dapat terjadi apabila diagnosis dan pengobatan tertunda
dan gejala bertambah parah atau saat pasien dengan diagnosis yang sudah jelas
mengalami penyakit akut yang tidak dicakup oleh dosis steroid untuk stress.

22
Infusiensi adrenal akut adalah kedaruratan medis. Pasien dating dengan muntah,
dehidrasi, hipotensi, dan hipoglikemia.
Diagnosis insufisiensi adrenal ditegakkan dengan pemeriksaan
laboratorium spesifik. Pasien dengan infusiensi adrenal primer memperlihatkan
penurunan kadar kortisol dan aldosteron tetapi peningkatan kadar ACTHdan
renin.2

2.8 Pemeriksaan Penunjang

Perlu diperhatikan prosedur berikut untuk memastikan diagnosis dan


penanganannya. Sampel darah harus diambil untuk pemeriksaan kortisol darah.
Kemudian diberikan NaCl 0,9 % intravena 1 liter / jam dan pada setiap liter
ditambahkan deksametason sodium fosfat 4 mg dan aqueos tetrosuctin 200 mg.
Setelah 1 jam, ulangi pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan kortisol
darah. Cara ini efektif dan pemeriksaan kortisol darah dapat memastikan
diagnosis klinis dan pemeriksaan respon adrenal. 3

Pemeriksaan penunjang dan penegakan diagnosis pada Penyakit Addison


Tes hormon Metode Hasil
kortisol plasma basal diukur kadar kortisol pk normal : 6-24 microg/dl
08.00 -09.00 serta pk insufisiensi adrenal : ≤3
17.00 mcg/dl
bukan insufisiensi adrenal :
≥ 19 mcg/dl
tes stimulasi ACTH kortisol darah/urin kadar kortisol rendah atau
pendek (tes synacten) diukur sebelum dan tidak naik sama sekali
sesudah pemberian sesudah injeksi
injeksi ACTH sintetik.
tes pendek : ukur kadar
kortisol sebelum dan 30-
60 menit sesudah injeksi

23
tes stimulasi ACTH pemberian injeksi tidak ada peningkatan kadar
panjang ACTH sintetik selama kortisol pada insufisiensi
48-72 jam primer (Addison)
tes autoantibodi imunoflouresensi ditemukan antibodi
indirek menunjukan adanya
insufisiensi adrenal primer
autoimun.

2.9 Penatalaksanaan

Terapi untuk penyakit Addison adalah terapi sulih dengan kortisol, biasanya 20
sampai 30 mg/hari dalam dosis terbagi, dan suatu analog aldosteron, 9-alfa-
fluorokortisol. Apabila dosis steroid-steroid ini sudah di sesuaikan dengan
benar, maka status metabolik pasien kembali ke normal dan ia mampu
menjalani hidup secara normal. Dosis kortisol dan 9-alfa-fluorokortisol perlu
ditingkatkan dua sampai tiga kali lipat saat stress (misalnya, penyakit demam,
pembedahan, trauma), karena apabila tidak, maka pasien dapat mengalami
insufisiensi adrenal akut. Terapi pada insufisiensi adrenal sekunder hanya
memerlukan penggantian dengan kortisol terapi. Pasien harus diperiksa untuk
memastikan apakah sekresi aldosteronnya normal.2
2.10 Prognosis

Kecuali risiko krisis adrenal, kesehatan dan usia pasien biasanya normal,
sedangkan pigmentasi dapat menetap.3

24
BAB III

PENUTUP

1.1 Kesimpulan

Penyakit Addison adalah penyakit yang terjadi akibat insufisiensi korteks


adrenal berupa defisiensi kortisol,aldosteron, dan androgen. Penyakit ini jarang
ditemukan dan lebih sering ditemukan pada wanita dari pada pria. Indikasi
diagnostic dari penyakit ini diantaranya; (1) menurunnya kortisol serum (2)
meningkatnya ACTH (3) hiponatrenia, hiperkalsemia dan asidosis metabolic
(4) tingginya rennin serum, dan (5) rendahnya aldosteron serum.

25
Penatalaksanaan dapat dilakukan dengan terapi kortisol, yang apabila
penatalaksaan dan pemberian dosis sudah disesuaikan dengan benar, maka
status metabolic pasien kembali normal dan ia mampu menjalani hidup secara
normal.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Robins and Cotran Pathologic Basis of


Disease. 7th Edition. Elsevier Saunders : China; 2005, p.835-836.

2. Price Sylvia A, Wilson Lorraine M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis


Proses-proses penyakit. Edisi 6. Volume 2. Jakarta: EGC: 1254-1257

26
3. Persatuan Ahli Penyakit Dalam. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi 2. Jilid 1. Jakarta : Balai Penerbit FKUI: 1986.

4. Snell, S. Richard. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran.


Edisi 6. Jakarta : EGC : 256

5. Guyton, A.C & Hall, J.E. 2007. Buku Ajar Fisiologi kedokteran. Edisi
11. Jakarta: EGC: 804-808.

LAMPIRAN

27
28
29

Anda mungkin juga menyukai