2.2 Etiologi
Setengah sampai tigaperempat pasien mengalami adenoma adrenal soliter,
kecil, dengan penampang berwarna kuning. Sisanya mengalami hiperplasia
adrenokortikal mikro/makronoduler. Gambaran patologi disebabkan oleh
hipertensi dan hipokalemia.4
2.3 Epidemiologi
Kasus hyperaldosteronism primer merupakan kasus yang jarang terjadi,
dengan estimasi prevalensi kira-kira < 10 % dari semua kasus hipertensi, dimana
terjadi pada 5-15% dari total pasien dengan hypertensi sekunder. Prevalensinya
lebih tinggi (10-23%) pada pasien dengan terapi hipertensi resisten atau berat.2
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa aldosteronoma adalah kasus
tersering pada kasus hyperaldosteronism primer (70-80% kasus). Kemudian studi
epidemiologi berikutnya menunjukkan bahwa prevalence primary
hyperaldosteronism lebih bessar daripada yang diperkirakan sebelumnya (±75%).2
Kasus hyperaldosteronism primer meliputi aldosterone-producing
adenomas (APAs), aldosterone-producing renin-responsive adenomas (AP-RAs),
bilateral adrenal (glomerulosa) hyperplasia atau IAH, primary adrenal hyperplasia
(PAH), adan bentuk lain dari hyperaldosteronism primer.2
2.5 Patogenesis
Peningkatan jumlah produksi aldosteron oleh adrenal pada kebanyakan
kasus disebabkan oleh adenoma atau hiperplasia adrenal yang menyebabkan
meningkatnya hormon aldosteron. Peningkatan aldosteron meningkatkan
reabsorpsi sodium dan air pada tubulus distal ginjal, sehingga terjadi retensi
sodium dan air yang dapat menyebabkan hipertensi. Hal tersebut terjadi simultan
dengan peningkatan ekskresi kalium dan ion hidrogen. Banyaknya ekskresi
kalium menyebabkan tubuh mengalami hipokalemia (K<3mMol/L). Banyaknya
ekskresi ion hidrogen menyebabkan tubuh mengalami metabolik alkalosis. Pada
hiperaldosteronism primer, terjadi 3 keadaan utama, yaitu hipertensi, hipokalemia,
dan metabolik alkalosis yang menimbulkan rangkaian gejala lainnya sebagai
komplikasi. Peningkatan aldosteron karena kelainan adrenal (primer) ditandai
dengan penurunan ACTH dan kadar renin yang normal, tidak seperti pada
hiperaldosteronism sekunder.
2.9 Terapi
Adapun tujuan utama terapi hiperaldosteronism primer meliputi:
a. Normalisasi tekanan darah
b. Normalisasi level serum potasium dan elektrolit
c. Normalisasi level serum aldosteron
2.9.1 Terapi medis (obat-obatan)
Pada terapi PH non-bedah, terapi obat merupakan pilihannya. Obat
yang menjadi pilihan utama untuk kebanyakan variant dari PH non-bedah
adalah spironolactone, yang digunakan untuk mencapai
normoaldosteronism dan mengontrol tekanan darah. Pada pasien yang
tidak merespon terhadap terapi spironolactone, dapat digunakan
potassium-sparing diuretics lainnya seperti amiloride dan triamterene.4
Berbagai antihipertensi dapat digunakan untuk mengontrol tekanan
darah seperti dihydropyridine calcium channel blockers (nifedipine) yang
secara langsung menghambat produksi aldosterone. Meskipun signifikan
pada hipertensi, level aldosterone, volume plasma, dan konsentrasi serum
potassium tetap tidak berubah walaupun dengan terapi nifedipine. Hal ini
tidak bisa diterangkan secara patofisiologi.4
Beberapa obat yang dipakai antara lain:
a. Aldosterone Antagonists
Agent ini berkompetisi dengan receptor sites aldosterone,
menurunkan edema dan ascites.
Spironolactone (Aldactone)
Secara kompetitif mengikat reseptor pada aldosterone-
dependent sodium-potassium bertukar tempat pada distal
convulated tubules (DCT). Meningkatkan ekskresi sodium dan
air dan menahan potassium, dimana ini merupakan efek
diuretic dan antihipertensi. Pemberian spironolactone saja atau
dengan diuretic lainnya bekerja pada proximal renal tubule.
Pada orang dewasa biasanya diberikan dalam dosis 25-200
mg/d PO (peroral) pada dosis tunggal atau divided doses,
sedangkan anak-anak 3,3 mg/kg PO qd atau dibagi q6-12h.
Pemberian spironolactone harus dihindari pada kehamilan,
hipersensitivitas, anuria, acute renal insufficiency karena dapat
menyebabkan dilutional hyponattremia, asidosis ringan, dan
gynecomastia, disfungsi ginjal akut, dan hyperkalemia.
Eplerenone (INSPRA)
Secara selektif memblok aldosterone pada reseptor
mineralocorticoid di epitel (ginjal) dan nonepitel (jantung,
pembuluh darah, dan otak) sehingga menurunkan tekanan
darah dan mereabsorpsi sodium. Pada orang dewasa diberikan
dengan dosis 50 mg PO qd; dosis dapat ditingkatkan setelah 4
minggu tapi tidak lebih dari 100 mg/d. Pemberian eplerenone
juga harus dihindari pada kehamilan, hypersensitivitas,
hyperkalemia atau pemberian dengan obat-obatan yang
meningkatkan potassium, diabetes type 2 dengan
mikroalbuminuria, renal insufficiency sedang hingga berat
(CrCl<50 mL/min atau serum creatinine level >2 mg/dL [laki-
laki] atau >1.8 mg/dL pada perempuan)
b. Potassium-sparing diuretics
Obat ini digunakan sebagai second-line untuk terapi PH akibat
nonlateralizing disease dan atau lateralizing disease yang
kontraindikasi dengan pembedahan. Sering digunakan dengan
antihipertensif lainnya untuk mencapai kontrol tekanan darah
yang baik, karena potassium-sparing diuretics bukan
antihipertensi yang poten.
Triamterene (Dyrenium)
Potassium-sparing diuretic memiliki natriuretic properties yang
relatif lemah. Efek diuretic pada distal renal tubule untuk
menghambat reabsorpsi sodium dalam pertukaran potassium
dengan hydrogen. Peningkatan ekskresi sodium dan penurunan
kehilangan potassium dan hydrogen yang berlebih
berhubungan dengan hydrochlorothiazide. Pada orang dewasa,
triamterene diberikan dengan dosis 100-300 mg PO qd. Jangan
diberikan pada orang hamil, hipersensitivitas, level serum
potassium tinggi (>5,5 mEq/L), gangguan fungsi ginjal (anuria,
renal insufficiency akut dan kronis, gangguan ginjal yang
signifikan), diabetes (hiperkalemia dilaporkan dapat terjadi
pada penderita diabetes yang menggunakan potassium-
conserving agents tanpa ada gangguan ginjal).4
Adapun efek samping obat ini meliputi:
1. Efek gastro-intestinal (jaundice, pancreatitis, gangguan
nafsu makan, perubahan rasa, mual,muntah, diarrhea,
konstipasi, anorexia, iritasi lambung, cramping)
2. Efek CNS (drowsiness, fatigue, insomnia, sakit kepala,
pusing, mulut kering, depresi, cemas, vertigo, restlessness,
paresthesias)
3. Efek Cardiovascular (tachycardia, nafas pendek, nyeri
dada, orthostatic hypotension)
4. Efek Renal (gagal ginjal akut, acute interstitial nephritis,
batu ginjal yang tersusun dari triamterene yang berkaitan
dengan materi kalkulus lainnya, dan perubahan warna urin)
5. Efek Hematologic (leukopenia, agranulocytosis
thrombocytopenia, aplastic anemia, hemolytic anemia,
megaloblastosis)
6. Efek Ophthalmic (xanthopsia, transient blurred vision)
7. Hipersensitivitas(eg, anaphylaxis, photosensitivity, rash,
urticaria, purpura, necrotizing angiitis [vasculitis, cutaneous
vasculitis], demam, respiratory distress [termasuk
pneumonitis])
8. Efek lainnya (kram otot dan weakness, penurunan gairah
seksual, sialadenitis)
Amiloride (Midamor)
Amiloride memiliki aktivitas potassium-conserving pada
pasien dengan terapi kaliuretic-diuretic. Amiloride bukan
merupakan aldosterone antagonist, dan efek sampingnya
terlihat tanpa ada aldosterone. Efeknya adalah menghambat
reabsorpsi sodium pada distal convulated tubule, cortical
collecting tubule, dan collecting duct. Hal ini menyebabkan
menurunnya potensial negative lumen tubular dan menurunkan
sekresi potassium dan hydrogen dan ekskresi komponen yang
berkaitan.
Amiloride biasanya bekerja dalam 2 jam setelah pemberian
dosis oral. Efek pada ekskresi elektrolit mencapai puncak
antara 6-9 jam dan berakhir sekitar 24 jam. Puncak level
plasma dalam 3-4 jam dan plasma half-live bervariasi dari 6-9
jam. Amiloride tidak dimetabolisme di hati dan ekskresinya
tidak diubah oleh ginjal. Sekitar 50% dosis amiloride
diekskresi dalam urin dan 40% di kotoran dalam waktu 72 jam.
Efeknya kecil pada filtrasi glomerular atau aliran darah renal.
Amiloride jarang diberikan dalam dosis tunggal karena
meningkatkan risiko hiperkalemia. Dosis tunggal hanya ketika
terjadi hipokalemia persisten dan dengan titrasi yang hati-hati
disertai pemantauan level serum elektrolitnya. Adapun
dosisnya pada orang dewasa adalah 5-20 mg/d PO. Jangan
diberikan pada penderita dengan kehamilan, hipersensitivitas;
peningkatan level serum potassium (>5.5 mEq/L), pasien yang
diterapi dengan obat potassium-conserving lainnya
(spironolactone, triamterene), suplemen potassium dalam
bentuk obat, gangguan fungsi ginjal (BUN level >30 mg/dL
atau serum creatinine levels >1.5 mg/dL), renal insufficiency
akut atau kronis, dan diabetic nephropathy.4
2.9.2 Terapi pembedahan
Pembedahan merupakan terapi pilihan utama variant primary
hyperaldosteronism (PH), yaitu typical aldosteronomas dan primary
adrenal hyperplasia(PAH). Sebelum operasi, berdasarkan diagnosa
konfirmasi biokimia dan anatomi, pasien harus diterapi dengan
spironolactone 3-5 minggu. Ini berfungsi sebagai alat diagnostik tambahan
(mengkonfirmasikan diagnosis PH) dan sebagai sarana untuk memprediksi
respons tekanan darah yang dapat diharapkan pada postsurgery.
Adrenolectomy melalui laparotomy formal atau dengan teknik
laparoscopic. Pilihan laparoscipic jika pada pasien tidak bisa dilakukan
laparotomy formal. Sebelum operasi, pasien harus menerima sedikitnya 8-
10 minggu terapi medis untuk menurunkan tekanan darah dan untuk
memperbaiki sindrom metabolik yang sering dikaitkan dengan PH. Pasca
operasi, profil metabolisme harus dimonitor secara seksama. Kebanyakan
pasien tidak menjadi hypomineralocorticoidism permanen dan karenanya
tidak memerlukan penggantian fludrocortisone. Pada pasien aldostrenomas
dengan kontraindikasi pembedahan diberikan terapi ethanol atau acetic
acid injeksi perkutan. Teknik ini perlu skill yang tinggi.4
2.9.3 Diet
Selain pembedahan dan terapi obat-obatan, harus diimbangi
dengan asupan gizi yang sesuai dan cukup. Dianjurkan diet rendah garam,
walaupun berpengaruh terhadap control tekanan darah pada PH, dapat
member hasil false-negative pada test biokimia.4
2.10 Komplikasi
Komplikasi spesifik berhubungan dengan komplikasi hipertensi kronis
(infark myokard, cerebrovascular disease, gagal jantung kongestif) dan juga
berkaitan dengan terapi spesifik (reaksi obat dan komplikasi pembedahan).3
Pertimbangkan diagnosis pada semua orang dengan hipertensi dan
hipokalemia. Membuat diagnosis yang benar merupakan cara untuk mencapai
kontrol tekanan darah yang adekuat sehingga mencegah kontrol hipertensi yang
buruk.4
2.11 Prognosis
Pasien yang menderita hiperalodosteron kemungkinan mengalami
komplikasi tekanan darah tinggi, dan memiliki resiko tinggi untuk mengalami
angina, gagal ginjal, stroke dan serangan jantung. Pada hiperaldosteron primer
yang disebabkan oleh adenoma soliter, kemungkinan pasien memiliki prognosis
yang baik. Setelah tumor dihilangkan maka tekanan darah akan menurun, dan
sekitar 70% pasien akan mengalami remisi. Sementara pada pasien
hiperaldosteron primer yang disebabkan oleh adrenal hiperplasia kemungkinan
tekanan darah pasien akan tetap tinggi dan pada pasien ini dapat diberikan obat
antihipertensi.4
DAFTAR PUSTAKA