Anda di halaman 1dari 5

1.

Keseimbangan cairan dan elektrolit


Keseimbangan cairan dan elektrolit sangat penting bagi setiap pasien yang sakit parah.
Pengukuran kadar natrium, kalium, urea dan kreatinin, juga karbonat, merupakan jenis pemeriksaan
profil biokimia serum darah yang paling banyak diminta. Hasil pemeriksaan ini tentu saja
memberikan informasi berharga terkait status elektrolit dan fungsi ginjal pasien.

 Elektrolit
Natrium (Na+ ) merupakan kation ekstraseluler utama, dan kalium (K+ ) merupakam
kation intraseluler yang paling utama pula. Di dalam sel, anion utamanya adalah protein
dan posfat, sementara pada ECF anion klorida (Cl- ) dan bikarbonat (HCO3) mendominasi.
 Konsentrasi
Perubahan konsentrasi dapat terjadi karena adanya perubahan terhadap salah satu maupun
kedua variabel tersebut. Misalnya, konsentrasi natrium sebesar 140 mmol/L dapat berubah
menjadi 130 mmol/L jika jumlah natrium yang terlarut berkurang, atau jika jumlah
pelarutnya bertambah.
 Osmolalitas
Osmolalitas larutan dinyatakan dalam satuan mmol solut per kilogram pelarut (mmol/kg).
Jika tidak dinyatakan lain, pelarut yang dimaksud adalah air. Pada tubuh manusia
osmolalitas serum (dan hampir semua jenis cairan tubuh kecuali urin) berkisar pada angka
285 mmol/kg. osmolalitas serum atau plasma sampel dapat diukur secara langsung, atau
dapat dihitung jika konsentrasi solut utamanya telah diketahui.
 Tekanan osmotik koloid
Pembatas kompartemen intravaskular dan iterstisial adalah membran kapiler. Molekul
berukuran kecil dapat bergerak bebas melewati membran ini, dan tentunya tidak bersifat
osmolalitas aktif saat melintasinya. Kebalikannya, protein plasma tidak dapat bergerak
bebas, dan harus menggunakan tekanan osmotik koloid untuk melintasi membran, yang
lebih dikenal dengan istilah tekanan onkotik (konsentrasi protein pada cairan interstisial
jauh lebih rendah dibandingkan darah).
Keseimbangan air dan natrium
Kandungan air dan elektrolit dalam tubuh selalu berada dalam keadaan aliran konstan. Manusia
minum, makan, berurinasi, bahkan berkeringat. Selama menjalani proses ini penting untuk tetap
mejaga kondisi tubuh dalam keadaan stabil. Jika tubuh secara mendadak kehilangan sejumlah besar
cairan dari kompartemen intravaskular, tentunnya tubuh akan mengalami masalah serius. Tubuh akan
rentan mengalami perubahan dalam kompartemen cairan, dan untungnya sejumlah mekanisme
homeostatik penting hadir untuk mengatasi atau meminimalisir kondisi berbahaya tersebut. Perubahan
konsentrasi elektrolit dijaga seminimal mungkin.
2. Hiponatremia
Hiponatremia terdefinisi jika konsentrasi natrium serum di bawah rentang rujukan 133 – 146 mmol/L.
hal ini merupakan abnormalitas elektrolita yang paling banyak dijumpai dalam bidang biokimia klinis.
Penyebab terjadinya hiponatremia :

 Kehilangan natrium
Penurunan natrium dapat terjadi karena kondisi patologis di saluran cerna atau saluran kemih.
Kehilangan natrium di saluran cerna umumnya disebabkan karena muntah dan diare. Pada
pasien yang menderita fistula akibat penyakit pada kantong kemih, kehilangan natriumnya
bisa sangat parah. Kehilangan melalui urin dapat terjadi karena defisiensi mineralokortikoid
 Retensi air
Retensi air di kompartemen tubuh akan melarutkan konstituen ekstrasluler termasuk sodium,
sehingga terjadilah hiponatremia. Retensi air lebih sering tercadi ketimbanga kehilangan
natrium.
Kehilangan cairan melalui saluran cerna atau saluran kemih harus selalu dikaitkan dengan
kemungkinan penyebab menurunnya kadar natrium. Meskipun jika sumber kehilangan tersebut belum
terdentifikasi, pasien harus ditanyakan tentang kemungkinan adanya gejala yang mengarah pada
penurunan kadar natrium, seperti pusing, lemah, dan sakit kepala ringan. Jika tidak ada riwayat
kehilangan cairan, kemungkinan berikutnya adalah akibat retensi cairan.

Hiponatremia: penilaian dan penatalaksanaan


Penilaian klinis Dokter
memeriksa pasien dengan gejala hiponatremia harus menanyakan beberapa hal berikut pada dirinya
sendiri:

 Apakah saya berhadapan dengan hiponatremia yang mematikan?

 Apakah saya berhadapan dengan retensi cairan atau kehilangan natrium?

 Bagaimana seharusnya pasien ini ditangani?


Untuk dapat menjawabpertanyaan – pertanyaan tersebut, dokter perlu memanfaatkan rekam medis
atau riwayat penyakit pasien, hasil pemeriksaan klinis, dan hasil pemeriksaan laboratorium

Tingkat keparahan
Dalam menilai kerentanan atau resiko kematian pada pasien dengan hiponatremia, beberapa hal yang
patut diperhatikan adalah:

 Adanya tanda atau gejala khas hiponatremia

 Bukti penurunan kadar natrium

 Konsentrasi natrium di dalam serum

 Seberapa cepat turunnya konsentrasi natrium dari kadar normal ke level saat ini.

Pengobatan Hiponatremia
Pengobatan hiponatremia disesuaikan dengan tingkat keparahan dan penyebabnya. Pada hiponatremia
ringan, penanganan bisa dilakukan dengan memperbaiki pola makan, gaya hidup, dan menyesuaikan
jenis dan dosis obat-obatan yang digunakan. Dokter juga akan meminta pasien mengurangi asupan
cairan untuk sementara. sPada hiponatremia berat, penanganan bisa dilakukan dengan Pemberian
cairan elektrolit melalui infus, untuk meningkatkan kadar natrium di dalam darah secara perlahan

3. Hipernatremia
Hipernatremia merupakan peningkatan konsentrasi natrium di dalam serum melebihi nilai batas 133–
146 mmol/L. Hipernatremia terjadi akibat kehilangan air atau penambahan natrium.
Ciri klinis
Pada kondisi hipernatremia ringan (natrium 180 mmol/L) perlu dipertimbangkan kondisi keracunan
garam jika tidak ada bukti klinis yang mengarah pada kondisi dehidrasi. Akan sangat jelas terlihat
betapa banyaknya jumlah cairan yang hilang sehingga memicu kenaikan kadar natrium ke level
tersebut. Peningkata kadar natrium dapat dilihat secra klinis melalui peningkatan tekanan vena
jugularis atau melalui edema paru.
Pengobatan
Pasien yang mengalami hipernatremia akibat kehilangan air murni harus segera diberi asupan air baik
secara oral maupun intrvena (larutan dekstrosa 5%). Jika terbukti secara klinis bahwa hipernatremia
juga dibarengi dengan kelilangan natrium, pemberian natrium juga perlu dilakukan. Keracunan garam
lebih sulit ditangani, namun dapat dibantu dengan pemberian diuretik. perlu kehati-hatian yang ketat
jika cairan dekstrosa diberikan secara intravena pada kasus keracunan garam, karena peningkatan
volume dapat mengakibatkan edema pulmonari.
4. Hiperkalemia
Hiperkalemia adalah kondisi ketika kadar kalium dalam darah terlalu tinggi. Kondisi ini paling sering terjadi
akibat gagal ginjal, baik akut maupun kronis. Gejala yang muncul akibat hiperkalemia bisa beragam, mulai
dari lemah otot, kesemutan, hingga gangguan irama jantung.
Hiperkalemia dapat disebabkan oleh peningkatan asupan, redistribusi keluar sel, atau penurunan
eksresi
Kalium dan serum dan keseimbangan kalium
Kadar kalium normal dalam darah adalah 3,5ꟷ5,0 mEq/L. Seseorang baru dikatakan menderita
hiperkalemia apabila kadar kalium dalam darahnya lebih dari 5,0 mEq/L.
Berdasarkan tingginya kadar kalium dalam darah, hiperkalemia terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu:

 Hiperkalemia ringan, yaitu kadar kalium dalam darah 5,1ꟷ6,0 mEq/L


 Hiperkalemia sedang, yaitu kadar kalium dalam darah 6,1 ꟷ7,0 mEq/L
 Hiperkalemia berat, yaitu kadar kalium dalam darah di atas 7,0 mEq/L

Pengobatan

 Kalsium, umumnya diberikan dalam bentuk kalsium glukonat atau kalsium klorida untuk
menetralkan efek hiperkalemia pada potensial istirahat membran sel.
 Insulin dan glukosa harus diberikan untuk merangsang uptake kalium oleh jaringan otot
 Penyebab yang mendasari penurunan GFR harus diperhatikan dan diperbaiki jika
memungkinkan. Jika GFR tidak dapat dipulihkan, berkemungkinan besar pasien harus
menjalani dialisa. Resin penukar kation juga dapat digunakan dalam penatalaksanaan
hiperkalemia parah.

5. Terapi cairan intravena


Terapi cairan intravena (IV) merupakan bagian terintegrasi dalam praktek klinis di rumah sakit.
Setiap dokter di rumah sakit harus familiar dengan prinsip yang mendasari pemberian cairan IV
secara tepat. Setiap saat cairan diresepkan, harus didasari atas beberapa pertanyaan berikut:
1. Apakah pasien memang menbutuhkan cairan IV?
Cara termudah dan terbaik untuk memberikan cairan adalah secara oral. Namun terkadang
meskipun pasien dapat menerima cairan secara oral, cairan IV tetap menjadi pilihan. Hal ini
dapat terjadi jika ada bukti klinis bahwa pasien telah kehilangan banyak cairan dalam waktu
relatif singkat, atau bukti biokimia yang menyatakan adanya gangguan keseimbangan
elektrolit tubuh yang diyakini akan membahayakan jika kondisi ini tidak segera diperbaiki.
Lebih cepat dari yang bisa dikoreksi oleh pemberian cairan secara oral
2. Cairan mana yang harus diberikan?
Daftar cairan IV yang tersedia dan dapat diresepkan tercantum dalam formularium rumah
sakit, dan umumnya merupakan daftar yang panjang. Dengan beberapa pengecualian, pilihan
cairan yang banyak tersebut dapat disederhanakan dalam tiga tipe dasar, yaitu: Plasma, whole
blood, atau plasma expander, Natrium klorida isotonik (0.9% NaCl), Air.
3. Seberapa banyak cairan yang harus diberikan?
Banyaknya cairan yang diberikan tergantung seberapa parah kehilangan cairan atau elektrolit
yang terjadi, atau berdasarkan kehilangan tersebut berapa banyak jumlah cairan yang perlu
diantisipasi dalam 24 jam ke depan. Cairan untuk antisipasi ini harus mempertimbangkan
kehilangan yang terukur, maupun yang tidak disadari.
4. Seberapa cepat cairan harus diberikan?
Kecepatan penggantian cairan yang baik sangat dipengaruhi oleh beragam kondisi klinis.
Misalnya, pada pasien diabetes yang dirinduksi oleh trauma (diabetes insipidus), pasien dapat
mehilangan urin hingga 15 L per hari.
5. Bagaimana sebaiknya cara memonitor terapi cairan yang dilakukan?
Tempat terbaik untuk mempelajari cara memonitor praktek penggantian cairan IV adalah di
ICU. Di sini, pengawasan komprehensif terhadap keseimbangan cairan dan elektrolit pasien
memungkinkan perencanaan peresepan managemen cairan dibuat khusus per individu pasien.

Terapi cairan intravena sangat umum digunakan untuk memperbaiki kondisi


ketidakseimbangan cairan dan elektrolit tubuh. Ada panduan sederhana yang dapat disimak
sebelum memutuskan untuk memulai terapi cairan IV pada pasien, yaitu:
1. Nilailah kondisi klinis pasien, dilanjutkan dengan penilaian biokimia, perhatikan dengan
seksama fungsi dan kinerja jantung serta fungsi renal.
2. Sedapat mungkin gunakan larutan sederhana.
3. Saat meresepkan cairan, lakukanlah untuk tujuan memperbaiki kekurangan dan
mengantisipasi kemungkinan kehilangan cairan di masa datang.
4. Monitor pasien secara seksama setiap saat selama menjalani terapi cairan.

Fungsi ginjal
Unit fungsional pada ginjal adalah nefron. Ginjal berfungsi untuk: (1) mengatur air, elektrolit,
dan keseimbangan asam basa tubuh, (2) mengeluarkan hasil metabolisme protein dan asam
nukleat seperti urea, kreatinin, dan asam urat

Fungsi glomerular
mengatur aliran darah ginjal, mengatur laju filtrasi pada sel, mengatur tekanan darah sistemik,
serta melakukan regulasi kadar natrium dalam tubuh.

Fungsi tubulus ginjal


Glomerulus memiliki mekanisme filtrasi yang efektif untuk menghilangkan limbah
metabolisme dan bahan beracun dari dalam tubuh. Untuk memastikan bahan-bahan penting
seperti air, natrium, glukosa, dan asam amino tidak ikut terbuang dari dalam tubuh, fungsi
reabsorbsi tubular juga harus sama efisiennya. Jika 180 L cairan melintasi filter glomerulus
setiap harinya, dan lebih dari 99% nya diperoleh kembali. Jika dibandingkan denga GFR yang
Page 8 of 11 merupakan penilaian terhadap fungsi glomerulus, maka tidak ada uji sederhana
untuk mengukur fungsi tubular secara kuantitativ.

Pengukuran osmolalitas dalam plasma dan urin


Sangat banyak fungsi yang dijalankan oleh tubulus ginjal. Fungsi tubulus normal salah
satunya dapat diamati dari osmolaitas urin. Hal ini dikarenakan, dari semua fungsi tubular
yang paling sering terserang penyakit adalah kemampuan tubulus untuk memekatkan urin.
Jika tubulus dan saluran pengumpul urin bekerja dengan efisien, dan jika ada AVP, maka
reabsorbsi air dapat dilakukan. Seberapa baiknya proses reabsorbsi ini terjadi, dapat diukur
dengan menganalisa kepekatan urin. Pengukuran ini dapat dengan mudah dilakukan dengan
menentukan osmolaitas urin, dan membandingkannya terhadap plasma.
pH urin dan uji beban asam
Pengukuran pH urin sangat bermanfaat sebagai langkah awal untuk mendiagnosa asidosis
tubular ginjal (RTA/renal tubular acidosis), yang dicirikan dengan meningkatnya
hiperkloraemik asidosis. RTA dapat dibedakan sebagai berikut:
Tipe I. Ada gangguan sekresi ion hidrogen di tubulus distal yang disebabkan baik oleh faktor
keturunan maupun diperoleh akibat gaya hidup.
Tipe II. Terjadi penurunan kapasitas untuk mereabsorbsi bikarbonat pada tubulus proksimal.
Tipe III. Variasi asidosis tubular ginjal tipe I Pada anak-anak.
Tipe IV. Terjadi kerusakan sistem reabsorbsi bikarbonat oleh tubulus ginjal sebgai akibat dari
kekurangan aldosteron, kerusakan reseptor aldosteron, atau penggunaan obat yang
menghambat kerja aldosteron.

Lagkah pertama dalam menegakkan diagnosa RTA adalah dengan menetapkan adanya kondisi
asidosis metabolik berkepanjangan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Jika RTA dicurigai
setelah menegakkan diagnosa lain dan akhirnya dikecualikan, maka spesimen segar urin harus
dikumpulkan kembali untuk mengukur pH urin. Jika spesimen tidak baru, maka bakteria pemecah
urin dapat membasakan spesimen sehingga menunjukkan hasil pengukuran pH yang tidak tepat.
Respon normal terhadap asidosis metabolik ini adalah dengan mengupayakan peningkatan eksresi
asam. Jika pH urin tidak secara meyakinkan bersifat asam, uji beban asam dapat dilakukan untuk
memperjelas kondisi ini. Prosedurnya melibatkan pemberian ammonium klorida yang akan
meningkatkan keasaman urin, dan mengukur pH urin pada sejumlah sampel yang dikumpulkan setiap
jam selama 8 jam kedepan.

Anda mungkin juga menyukai