Anda di halaman 1dari 34

SYNDROME 

OF INAPPROPRIATE ANTID
IURETIC HORMONE SECRETION
(SIADH)

Bestina Nindy Virgiani, S.Kep.,Ns.,M.Kep


Syndrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone Secretion (SIADH) di
definisikan sebagai suatu keadaan hiponatremia dan hipoosmolalitas yang disebabkan
oleh adanya suatu kondisi yang tidak tepat, sekresi yang terus menerus
atau kinerja hormon yang tidak normal, atau terjadinya peningkatan volume plasma
yang menyebabkan terganggunya ekskresi air (Thomas et al. 2016)
SIADH adalah penyakit yang disertai dengan adanya kadar ADH dalam plasma
dengan jumlah yang cukup tinggi namun tidak sesuai untuk osmolaritas plasma pada
keadaan tersebut.
Retensi cairan yang disertai dengan adanya asupan cairan yang normal, menyebabkan
hiponatremia dan hipoosmolaritas. Pada pasien SIADH, urin biasanya lebih pekat
dibandingkan plasma. Keseimbangan natrium tetap normal.
Antidiuretik Hormon (ADH) diproduksi oleh hipotalamus dan disimpan dalam
kelenjar hipofisis posterior (neurohipofisis). Fungsi utama hormon ini adalah
mereabsorpsi air dari tubulus distal ginjal untuk berespon terhadap osmolalitas serum
dan menambah permeabilitas tubulus ginjal terhadap air. 
Antidiuretik berarti melawan diuresis. Jika osmolalitas serum meningkat sampai
dengan >295 mOsm/Kg (cairan tubuh pekat) maka akan semakin besar pula ADH
yang disekresi oleh kelenjar hipofisis sehingga akan semakin banyak air yang akan
direabsorpsi, sebaliknya jika osmolalitas tubuh berkurang sampai dengan<280
mOsm/Kg, sekresi ADH oleh kelenjar hipofisis akan berkurang dan dampaknya akan
semakin banyak air yang di ekskresi melalu ginjal.
Pada kasus SIADH sekresi ADH berlebih yang terjadi bukan dipengaruhi oleh kadar
osmolalitas serum.
Sindrom ketidaktepatan ADH ditandai dengan adanya peningkatan terhadap
pelepasan ADH dari hipofisis posterior tanpa adanya stimulus normal untuk
pelepasan ADH.
Peningkatan pelepasan ADH biasanya terjadi sebagai respons terhadap
pengingkatan osmolaritas plasma atau penurunan tekanan darah dalam
tingkat yag lebih rendah. Pada kondisi SIADH, kadar ADH berada dalam
jumlah yang lebih tinggi walaupun osmolalitas plasma rendah.
Osmolalitas plasma terus berkurang karena ADH menstimulus reabsorbsi air
oleh ginjal. Pelepasan ADH berlanjut tanpa kontrol umpan balik walaupun
osmolalitas plasma rendah dan volume darah meningkat (corwin. 2009)
ETIOLOGI
Hiponatremia (serum Na < 135 mmol/L atau < 135 mEq/L) merupakan temuan yang biasa ditemui
dirumah sakit pada pasien SIADH. Hiponatremia telah dilaporkan terjadi pada 15 – 22 % dari pasien
rawat inap dan 7% dari pasien rawat jalan. Hiponatremia sedang sampai berat (serum Na < 130 mmol/L
< 130 mEq/L) ditemukan dalam 2,5 % dari pasien rawat inap, dua pertiga diantaranya menunjukan
adanya perkembangan gangguan selama menjalani rawat inap. Salah satu studi prospektif menemukan
bahwa SIADH sering teridentifiksi pada pasien rawat inap dengan hiponatremia (serum Na < 130
mmol/L < 130 mEq/L).
Sebuah studi kelompok pada lebih dari 120.000 pasien yang berada pada IGD dan ruang rawat inap
menemukan bahwa 42,6% dari pasien rawat jalan memiliki serum Na <135 mmol / L (<135 mEq / L),
6,2% <126 mmol / L (<126 mEq / L), dan 1,2% <116 mEq / L (<116 mEq / L). Insiden hiponetremia
juga ditemukan berada pada kisaran yang tinggi (18%) di antara pasien panti jompo. Sebuah laporan dari
184 kejadian hiponetremia berat (dilaporkan sebagai ≤ 120 mmol / L [≤120 mEq / L) di rumah sakit di
Amerika Serikat dan Inggris menemukan bahwa 21% dari pasien tersebut mengalami hiponatremia akut
dan 79% lainnya mengalami hiponatremia kronis. Hidrasi yang berlebihan (21%), terutama iatrogenik,
adalah penyebab utama dari hiponatremia, sementara SIADH menyumbang sebanyak 8% pada insidensi
hidrasi (BMJ, 2016).
Bertambah usia (> 30 tahun) merupakan faktor untuk terjadinya hiponatremia ringan atau
sedang, namun tidak sampai pada keadaan parah. Berat badan rendah juga merupakan
faktor resiko untuk hiponatremia. Perempuan tampaknya lebih rentan terhadap
hiponatremia yang diakibatkan oleh induksi obat dan aktifitas yang dapat menyebabkan
hiponatremia seperti berlari maraton (Thomas, 2016).
SIADH paling sering disebabkan oleh gangguan yang berupa adanya hipersekresi ADH
dari sumber hipotalamus normal atau dengan produksi ektopik. Penyebab SIADH dapat
dibagi menjadi empat katagori yaitu : gangguan sistem saraf, neoplasia, penyakit paru,
dan obat yang diinduksi (termasuk obat yang dapat merangsang pelepasan AVP,
mempotensi efek dari AVP, atau obat yang memiliki mekanisme tidak pasti)(Thomas et
al,2016)
GANGGUAN SITEM SARAF
MELIPUTI:
1. Abes otak 11.Hipoksia ensefalopati iskemik
2. Kecelakaan serebrovaskular 12.Meningitis
3. Lupus 13.Multiple sclerosis
4. Tremens delirium 14.Hipoksia perintal
5. Ensefalitis 15.Rocky mountain spotted fever
6. Epilepsi 16.Skizofrenia
7. Sindrom guillain-bare 17.Perdarahan subarachnoid
8. Trauma kepala 18.Hematoma subdural
9. Herpes zoster 19.Obstruksi shunt ventriculoatrial
10.Hidrosefalus
GANGGUAN NEOPLASIA
MELIPUTI :
1. Paru: karsinoma paru dan mesothelioma
2. Gastrointestinal: karsinoma pada duodenum, pankreas, dan usus besar
3. Genetalia dan urinaria: karsinoma adrenocortical, karsinoma serviks,
ureter/kandung kemih, dan prostat, tumor ovarium
4. Lainya: tumor otak, tumor karsinoid, Ewing sarcoma, leukemia, limfoma,
karsinoma nasofaring, neuroblastoma (pada indra penciuman), dan thymoma.
PENYAKIT PARU MELIPUTI:
1. Bronkitis akut / bronchiolitis
2. Kegagalan pernafasan akut
3. Asma
4. Atelektasis
5. Pneumonia
6. Penyakit paru obstruktif kronis
7. Empisema
8. Empiema
9. Pneumotoraks
10. Tuberkulosis
OBAT-OBATAN YANG DAPAT
MENYEBABKAN SIADH SEPERTI:
1. Cholorpropamid (obat yang menurunkan gula darah)
2. Carbamazepine (obat anti kejang)
3. Tricilyc (anti depresan)
4. Vasopressin dan oxytocin (hormone anti diuretic buatan)
5. Obat yang merangsang atau melepaskan vasopressin: vinuristin, cisplatin, dan
ocytocin
KLASIFIKASI
SIADH dapat dibagi sesuai dengan pola sekresi ADH di berbagai osmolalitas
plasma (Hannon & Thompson, 2010)
Tipe A
Bentuk yang paling umum dari SIADH. Pengeluaran ADH tidak teratur.
Terjadi pada sekitar 39% pasien. Peningkatan tingkat level plasma ADH yang
berubah-ubah tidak berhubungan dengan perubahan osmolaritas plasma
selama pemberian infus saline hipertonik. Terlihat pada pasien dengan kanker
paru-paru dan tumor nasofaring.
Tipe B
Bentuk umum dari SIADH. Kebocoran ADH secara lambat. Terjadi pada sekitar
30% pasien. Peningkatan ringan pada plasma ADH dibandingkan dengan mengetik
A. Plasma AVP tetap stabil selama infus saline hipertonik dan hanya naik ketika
kadar natrium serum mencapai kisaran normal.
Tipe C
Terjadi osmostat bertulang. Terjadi pada sekitar 30% pasien. Tingkat ADH rendah
selama keadaan hyponatreamic. Namun, tingkat ADH meningkat secara tidak wajar
selama pemberian infus saline hipertonik sebelum hiponatremia dikoreksi.
Tipe D
Pseudo-SIADH. Sekitar 10% terjadi pada pasien. ADH dalam keadaan rendah atau
tidak terdeteksi. Rendahnya tingkat ADH selama keadaan hyponatreamic dengan
osmoregulasi yang normal pada pengeluaran ADH. Antidiuresis terjadi melalui
mekanisme alternatif, salah satunya adalah sindrom nefrogenik dari diuresis yang
tidak pantas ( Syndrome of Inappropriate Diuresis, SIAD), kelainan genetik yang
ditandai dengan peningkatan fungsi mutasi reseptor vasopressin 2 (V2).
PATOFISIOLOGI
Hormon Antidiuretik (ADH) bekerja pada sel-sel duktus koligentes ginjal
untuk meningkatkan permeabilitas terhadap air. ini mengakibatkan peningkatan
reabsorbsi air tanpa disertai reabsorbsi elektrolit. Air yang direabsorbsi
ini meningkatkan volume dan menurunkan osmolaritas cairan ekstraseluler (CES).
Pada saat yang sama keadaan ini menurunkan volume dan meningkatkan konsentrasi
urine yang diekskres.
Pengeluaran berlebih dari ADH menyebabkan retensi air dari tubulus ginjal dan
duktus. Volume cairan ekstra selluler meningkat dengan hiponatremi delusional.
Dimanaakan terjadi penurunan konsentrasi air dalam urin sedangkan kandungan
natrium dalam urin tetap,akibatnya urin menjadi pekat
Dalam keadaan normal ADH mengatur osmolalitas plasma, bila osmolalitas menurun
mekanisme feed back akan menyebabkan inhibisi ADH. Hal ini akan mengembalikan
dan meningkatkan eksresi cairan oleh ginjal untuk meningkatkan osmolalitas plasma
menjadi normal. Pada SIADH osmolalitas plasma terus berkurang akibat ADH
merangsang reabsoprsbsi air oleh ginjal (Cospstead dan Banasik, 2013).

Hormon Antidiuretik (ADH) bekerja pada sel-sel duktus koligentes ginjal untuk
meningkatkan permeabilitas terhadap air. Ini mengakibatkan peningkatan reabsorbsi air
tanpa disertai reabsorbsi elektrolit. Air yang direabsornsi ini meningkatkan volume dan
menurunkan osmolaritas cairan ekstraseluler (CES). Pada saat yang sama keadaan ini
menurunkan volume dan meningkatkan konsentrasi urine yang diekskresi.
Terdapat beberapa keaadan yang dapat menggangu regulasi cairan tubuh dan dapat
menyebabkan sekresi ADH yang tidak normal. Tiga mekanisme patofisiologi yang
bertanggung jawab akan SIADH, meliputi:
1. Sekresi ADH yang abnormal dari sitem hipofise. Adanya sekresi ADH yang
abnormal disebabkan oleh kelainan sistem saraf pusat seperti trauma kepala,
stroke, meningitis, tumor, ensafalitis, sindrom guillain Barre. Pasien yang
mengalami syok, status asmatikus, nyeri hebat atau stress tingkat tinggi, atau
tidak adanya tekanan positif pernafasan juga akan mengalami SIADH.
2. ADH atau substansi ADH dihasilkan oleh sel-sel diluar system supraoptik-
hipofisis, yang disebut sebagai sekresi ektopik (misalnya pada infeksi).
3. Kerja ADH pada tubulus ginjal bagian distal mengalami pemacuan. Bermacam-
macam obat menstimulasi atau mempotensiasi pelepasan ADH. Obat-obat tersebut
termasuk nikotin, transquilizer, barbiturate, anestesi umum, suplemen kalium,
diuretik tiazid, obat-obat hipoglikemia, asetominofen, isoproterenol dan empat anti
neoplastic: sisplatin, siklofosfamid, vinblastine dan vinkristin. (Otto, 2003)
Terjadinya SIADH ditandai dengan adanya peningkatan pelepasan ADH dari kelenjar
hipofisis posterior tanpa adanya rangsangan normal untuk melepaskan ADH yang
berlanjut menyebabkan retensi air dari tubulus ginjal dan duktus. Volume cairan ekstra
seluler meningkat dengan ditandai hiponatremi. Kondisi hiponatremi dapat menekan
renin dan skresi aldosteron yang menyebabkan penurun kadar Na diabsorbsi tubulus
proximal. Hal ini menyebabkan penurunan konsentrasi air dalam urin sedangkan
kandungan natrium urin tetap, akibatnya urin menjadi pekat.
MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis pada pasien SIADH biasanya adalah:
1. Mengalami retensi air dan kenaikan berat badan
2. Mual dan muntah yang memburuk sejalan dengan derajat intoksikasi air
3. Hiponatremi (penurunan kadar natrium)
4. Takhipnea
5. Letargi
6. Penurunan kesadaran sampai koma
7. Osmolalitas urine melebihi osmolalitas plasma, menyebabkan produksi urine yang kurang
terlarut
8. Ekskresi natrium melalui urine yang berkelanjutan
9. Penurunan osmolalitas serum dan cairan ekstraselular
Menurut price dan Lorraine (2005), tanda dan gejala yang dialami oleh pasien
dengan SIADH tergantung pada derajat lamanya retensi air dan hiponatremia. Perlu
untuk dilakukan pemeriksaan tingkat osmolalitas serum, kadar BUN, kreatinin,
Natrium, Kalium, CI dan tes kapasitas pengisian cairan:
1. Na serum >125 mEq/L  Pasien akan mengalami: anoreksia, gangguan
penyerapan, dan kram otot
2. Na serum = 115 – 120 mEq/L  Pasien akan mengalami: sakit kepala, perubahan
kepribadian, kelemahan dan letargia, mual dan muntah, kram abdomen
3. Na serum <115 mEq/L  Pasien akan mengalami: kejang dan koma, reflek tidak
ada atau terbatas, tanda babinski, papiledema, edema diatas sternum.
Penentuan diagnosa SIADH yang paling baik adalah dengan menggunakan kriteria
klasik bartter-schwartz, yang dapat diringkas sebagai baerikut:
1. Hiponatremia yang berhubungan dengan hipo-osmolalita
2. Sekresi ginjal secara terus menerus terhadap natrium
3. Keenceran urine kurang dari batas maksimal
4. Tidak ditemukan penyebab lain dari hiponatremia
5. Koreksi hiponatremia dengan restriksi cairan
Sedangkan dalam greenspan dan baxter (1998) dan davey (2002) disebutkan bahwa
kriteria diagnostik SIADH termasuk:
1. Hiponatremia berhubungan dengan hipoosmolalitas plasma (<280 mosm/kg
H2O)
2. Urin tidak maksimal di dilusi, contoh pemekatan tidak sesuai (> 100 mosm/kg
H2O)
3. Euvolemia, termasuk tidak adanya gagal jantung kongestif, sirosis dan sindrom
nefrotik
4. Peningkatan kadar Natrium urin
5. Tidak ada insufisiensi kelenjar adrenal, tiroid, ginjal atau penanganan diuretik.
Tergantung pada perkembangan penyakit, hiponatremia mungkin saja dapat atau
mungkin saja tidak menimbulkan gejala pada pasien denga SIADH.
Sejarah dalam kasus SIADH memperhitungkan pertimbangan sebagai berikut:
1. Secara umum, hiponatremia yang berkembang secara lambat merupakan gejala
yang lebih sedikit ditemukan daripada gejala penurunan narium serum secara
cepat dengan nilai yang sama.
2. Tanda dan gejala dari hiponatremia akut tidak berhubungn dengan keparahan.
3. Pasien mungkin memiliki gejala seperti yang menunjukan adanya peningkatan
sekresi ADH seperti nyeri kronis dan gejala yang timbul pada individu yang
memiliki gangguan sistem saraf pusat, tumor paru, cidera kepala dan penggunaan
narkoba.
4. Sumber dari adanya intake cairan yang berlebihan harus dievaluasikeparahan
kondisi harus dipertimbangkan (Thomas. 2016)
Setelah mengidentifikasi adanya hiponatremia, pendekatan yang dilakukan kepada
pasien tergantung hanya pada keadaan hiponatremia akut atau hiponatremia dengan
onset yang cepat yang meliputi:
1. Kebingungan, disorientasi, mengigau
2. Kelemahan otot secara general, mioklonus, tremor, asterxis, hiporefleksia,
ataksia, disatria, pernafasan cheyne-stokes, refleks paltologis
3. Kejang menyeluruh, koma
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tes laboratorium mungkin dapat membantu penegakan diagnosa SIADH:
Tes laboratorium tersebut meliputi:
1. Serum natrium, kalium, klorida dan bikarbonat
2. Osmolalitas plasma
3. Kreatinin serum
4. Nitrogen urea darah
5. Gula darah
6. Osmolalitas urin
7. Serum asam urat
8. Serum kortisol
9. Hormon perangsang kelenjar tiroid
Hipovolumia. Pemeriksaan pencitraan yang dapat membantu meliputi:
1. Radiografi dada, untuk mendeteksi penyebab masalah paru yang mendasari
munculnya SIADH.
2. Computer tomography atau pencitraan resonansi magnetik kepala, untuk
mendeteksi edema serebral yang terjadi sebagai komplikasi dari SIADH, untuk
identifikasi gangguan sistem saraf pusat yang memiliki keterkaitan dengan
SIADH, atau untuk membantu yang menyingkirkan penyebab potensial lain dari
perubahan status mental
PENATAKSANAAN MEDIS
1. Pengobatan penyakit yang mendasari, yaitu pengobatan yang ditunjukan untuk
mengatsai penyakiy yang menyebabkan SIADH. Misalnya berasal dari tumor
ektopik, maka terapi yang ditunjukan adalah mengatasi tumor tersebut.
2. Mengurangi retensi cairan yang berlebihan. Pada kasus ringan retensi cairan
dapat dikurangi dengan membatasi masukan cairan. Pedoman umum penanganan
SIADH adalah bahwa sampai konsentrasi. Pada kasus yang berat, pemberian
larutan normal cairan hipertonik dan furesemid adalah terapi pilihan.
3. Semua asuhan yang diperlukan saat pasien mengalami penurunan tingkat
kesadaran (kejag, koma, dan kematian) seperti pemantauan yang cermat masukan
dan haluaran urin. Kebutuhan nutrisi terpenuhi dan dukungan emosional
Pengobatan SIADH dan kecepatan koreksi hiponatremia tergantung pada faktor
berikut ini:
1. Tingkat hiponatremia
2. Apakah pasien menunjukan gejala terhadap SIADH
3. Apakah pasien mengalami sindrom akut (< 48 jam) atau kronis
4. Osmolalitas urin dan kreatinin
Jika durasi hiponatremia tidak diketahui dan pasien asimtomatik, maka pasien
dianggap mengalami SIADH kronis. Dalam kondisi darurat, resiko terhadap central
pontine myelinolysis (CMP) selalu menjadi pertimbangan dalam melakukan
pengobatan secara cepat terhadap hiponatremia. Pengobatan tersebut sebagai berikut:
1. Diindikasikan pada pasien yang memiliki gejala yang parah (misalnya kejang,
pingsan, koma dan terjadi henti nafas) terlepas dari tingkat hiponatremia.
2. Sangat dipertimbangkan untuk pasien dengan hiponatremia sedang sampai berat
dengan durasi dokumntasi kurang dari 48 jam
Tindakan yang bertujuan untuk memperbaiki hiponatremia pada tingkat yang tidak
menyebabkan komplikasi neurologis adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan natrium serum dengan 0,5 – 1 mEq/jam dan tidak lebih dari 10 –
12 mEq pada 24 jam pertama.
2. Mengarahkan natrium serum maksimal 125 – 130 mEq/L.
Dalam pengaturan akut (< 48 jam sejak onset) di mana gejala sedang diamati, pilih
pengobatan untuk hiponatremia adalah sebagi berikut:
1. 3% hipertonik salin (513 mEq/L)
2. Diuretik loop dengan saline
3. Pemberian vasopressin-2 receptor antagonis (aquaretics, seperti conivaptan)
4. Pembatasan cairan
Dalam keadaan asimpomatik kronis, pilihan utama pengobatan adalah sebagai
berikut:
1. Pembatasan cairan
2. Pemberian vasopressin 2 receptor antagonis
3. Jika vasopresin 2 antagonis reseptor tidak tersedia atau jika pengalaman terhadap
vasopressin 2 receptor antagonis terbatas, agen lain yang harus dipertimbangkan
termasuk diuretik loop dengan asupan meningkat garam, urea, manitol, dan
demeclocycline
Terapi SIADH tergantung dari disebabkan yang mendasarinya. Pasien dengan
SIADH yang diinduksi oleh obat-obatan diterapi dengan menghentikan pemakaian
terhadap obat-obatan tersebut. Pada pasien dengan karsinoma bronkogenik. Terapi
SIADH menjadi lebih sukar dengan prognosis yang buruk.
Terapi pada pasien SIADH ditunjukan untuk mengembalikan osmolalitas plasma
menjadi normal tanpa menyebabkan ekspansi lebih lanjut dari komponen cairan
ekstraseluer, yang dapat terjadi pada pemberian infus cairan hiperosmotik:
1. Restriksi cairan
Bentuk terapi paling sederhana adalah dengan melakukan pembatasan asupan cairan,
walaupun pada masa yang paling panjang, haus hebat yang menyertai cara terapi ini
sulit untuk dikelola
2. Diuretik
Bila osmolalitas plasma rendah, dibutuhkan koreksi dengan cepat diuretik seperti
furosemid dengan dosis 1 mg/kg 1 jam dapat dipergunakan. Agen-agen ini mencegah
gradien konsentrasi pada medula dari peningkatan sehingga menurunkan efektivitas
ADH. Karena diuresis disertai dengan hilangnya kalium, kalsium dan magnesium
secara signifikan melalui urun, maka elektroli-elektrolit ini diberikan pada pasien
dengan cara infus intravena
3. Motode-metode terapi lain
Pada keadaan darurat bila terjadi hiponatremia yang berat, salin hipertonis, misalnya
natrium klorida 3% yang diberikan sendiri atau bersama furosemid. Ratio infus 20-
40 ml akan meningkatkan natrium serum 1-2 meg/L perjam pada kebanyakan pasien
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai