Anda di halaman 1dari 34

DASAR-DASAR BISNIS ISLAM

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH ETIKA BISNIS ISLAM

Dosen Pengampu Mata Kuliah : Dr. H. Fachrurazi, M.M/ Ema Elisa, S.E.I., M.E.I

Disusun Oleh Kelompok 4 :

Diah Fadilah 11623003

Hilda Hidayati 11623134

Marni Fitri 11623125

PERBANKAN SYARIAH/ D/ 7

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONTIANAK

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kepada Allah swt. yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penyusunan makalah ini selesai. Penyusunan makalah ini bertujuan
untuk memenuhi tugas mata kuliah Etika Bisnis Islam dengan judul Dasar-Dasar Bisnis Islam.
Penyusun menyadari amatlah terbatas kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki
penyusun untuk menyusun makalah tanpa cela. Tentulah masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu segala kritik saran yang bersifat membangun dari segala pihak sangat penyusun
harapkan. Agar menjadi koreksi sehingga kelak penyusun mampu menyusun makalah yang
jauh lebih baik. Penyusun berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Pontianak, Oktober 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................

DAFTAR ISI......................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................

A. LATAR BELAKANG ...........................................................................................


B. RUMUSAN MASALAH.......................................................................................
C. TUJUAN ................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................................

A. KONSEP DASAR EKONOMI ISLAM ..............................................................


B. PANDANGAN ISLAM TENTANG BISNIS ......................................................
C. KONSEP DASAR BISNIS ISLAM .....................................................................
D. MAKSUD, TUJUAN, DAN ORIENTASI BISNIS ISLAM ..............................
E. PERBEDAAN ANTARA BISNIS ISLAM
DAN BISNIS KONVENSIONAL ........................................................................

BAB III PENUTUP ...........................................................................................................

A. KESIMPULAN .....................................................................................................
B. SARAN ...................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................


BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Salah satu kajian penting dalam Islam adalah persoalan etika bisnis. Pengertian
etika adalah acode or set of principles which people live (kaedah atau seperangkat
prinsip yang mengatur hidup manusia).
Etika adalah bagian dari filsafat yang membahas secara rasional dan kritis
tentang nilai, norma atau moralitas. Dengan demikian, moral berbeda dengan etika.
Norma adalah suatu pranata dan nilai mengenai baik dan buruk, sedangkan etika adalah
refleksi kritis dan penjelasan rasional mengapa sesuatu itu baik dan buruk. Menipu
orang lain adalah buruk. Ini berada pada tataran moral, sedangkan kajian kritis dan
rasional mengapa menipu itu buruk apa alasan pikirannya, merupakan lapangan etika.
Pada dasarnya etika (nilai-nilai dasar) dalam bisnis berfungsi untuk menolong
pebisnis (dalam hal ini pedagang) untuk memecahkan problem-problem (moral) dalam
praktek bisnis merek.
Di Indonesia, pengabaian etika bisnis sudah banyak terjadi khususunya oleh
para konglomerat. Para pengusaha dan ekonom yang kental kapitalisnya,
mempertanyakan apakah tepat mempersoalkan etika dalam wacana ilmu ekonomi?.
Munculnya penolakan terhadap etika bisnis, dilatari oleh sebuah paradigma klasik,
bahwa ilmu ekonomi harus bebas nilai (value free). Etika bisnis hanyalah
mempersempit ruang gerak keuntungan ekonomis. Padahal, prinsip ekonomi, menurut
mereka, adalah mencari keuntungan yang sebesar-besarnya.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana konsep dasar ekonomi Islam?
2. Bagaimana pandangan Islam tentang bisnis?
3. Bagaimana konsep dasar bisnis Islam?
4. Apa saja maksud, tujuan, dan orientasi bisnis Islam?
5. Apa saja perbedaan antara bisnis Islam dan bisnis konvensional?

C. TUJUAN PEMBAHASAN
1. Untuk mengetahui konsep dasar ekonomi Islam.
2. Untuk mengetahui pandangan Islam tentang bisnis.
3. Untuk mengetahui konsep dasar bisnis Islam.
4. Untuk mengetahui maksud, tujuan, dan orientasi bisnis Islam.
5. Untuk mengetahui perbedaan antara bisnis Islam dan bisnis konvensional.
BAB II

PEMBAHASAN

A. KONSEP DASAR EKONOMI ISLAM


Sistem ekonomi dapat diibaratkan sebagai sebuah bangunan rumah. Sebuah
rumah akan berdiri tegak dan kokoh apabila memiliki paduan tiga komponen yaitu
Fondasi, Tiang dan Atap. Demikian halnya suatu sistem ekonomi, termasuk ekonomi
Islam. Maka ekonomi Islam juga mempunyai fondasi, tiang penyangga dan atap.
Prinsip-prinsip ekonomi Islam membentuk keseluruhan kerangka, yang jika diibaratkan
sebagai sebuah bangunan sebagaimana divisualisasikan oleh Adiwarman sebagai
berikut:1

Secara umum prinsip ekonomi Islam terbagi menjadi tiga bagian. Prinsip-
prinsip ekonomi Islam didasarkan atas lima nilai universal yang
meliputi tauhid (keimanan), ‘adl (keadilan), nubuwwah (kenabian), khilafah (pemerin
tah) dan ma’ad (hasil). Dari kelima nilai universal tersebut, dibangunlah tiga prinsip

1
Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami cet. Ke-2 (Jakarta: Rajawali Pers, 2003), hlm. 52.
derivatif yaitu kepemilikan multijenis (multiple ownership), kebebasan bertindak atau
berusaha (freedom to act) serta keadilan sosial (social justice).

Lima nilai universal memiliki fungsi seperti pondasi, yaitu menentukan kuat
tidaknya suatu bangunan. Tauhid (keesaan Allah), memiliki arti bahwa semua yang kita
lakukan di dunia akan dipertanggungjawabkan kepada Allah di akhirat
kelak. ‘Adl (keadilan), memiliki arti bahwa Allah telah memerintahkan manusia untuk
berbuat adil dan tidak menzalimi pihak lain demi memeroleh keuntungan
pribadi. Nubuwwah (kenabian), menjadikan sifat dan sikap nabi sebagai teladan dalam
melakukan segala aktivitas di dunia. Khilafah (pemerintahan), peran pemerintah adalah
memastikan tidak ada distorsi sehingga perekonomian dapat berjalan dengan
baik. Ma’ad (hasil), dalam Islam hasil (laba) yang diperoleh di dunia juga menjadi laba
di akhirat.

Bagian kedua memiliki fungsi sebagai tiang yang merupakan turunan dari nilai-
nilai universa. Multitype Ownership (kepemilikan multijenis) merupakan turunan dari
nilai tauhid dan ‘adl. Islam mengakui kepemilikan pribadi, negara maupun
kepemilikan campuran, namun pemilik primer tetap Allah SWT. Freedom to
act (kebebasan bertindak atau berusaha) merupakan turunan dari nilai nubuwwah, ‘adl
dan khilafah. Nilai ini memiliki arti bahwa setiap manusia memiliki kebebasan untuk
bermuammah. Dalam bermuammalah, manusia diwajibkan untuk meneladani sifat
rasul (siddiq, amanah, fathanah, tabligh). Selain itu tetap harus menjunjung tinggi nilai
keadilan dan taat terhadap aturan yang berlaku dalam pemerintahan agar tidak terjadi
distorsi dalam perekonomian. Social Justice (keadilan sosial) merupakan turunan dari
nilai khilafah dan ma’ad. Nilai ini memiliki arti bahwa pemerintah bertanggung jawab
atas pemenuhan kebutuhan pokok dan terciptanya keseimbangan sosial sehingga tidak
terjadi ketimpangan antara kaya dan miskin.

Seperti fungsi atap dalam sebuah bangunan, nilai yang berfungsi untuk
melindungi bangunan dari ancaman dari luar adalah akhlak. Akhlak merupakan sikap
manusia dalam bertingkah laku yang diharapkan sesuai dengan teori dan sistem
ekonomi Islam. Akhlak menempati posisi yang puncak, karena inilah yang menjadi
tujuan Islam dan dakwah para Nabi, yakni untuk menyempurnakan akhlak manusia.
Akhlak inilah yang menjadi panduan para pelaku ekonomi dan bisnis dalam melakukan
aktivitasnya.
1. Nilai-nilai Universal: Teori Ekonomi
a. Tauhid (Keesaan Tuhan)
Tauhid merupakan fondasi ajaran Islam. Dengan Tauhid,
manusia menyaksikan bahwa “tiada sesuatu pun yang layak
disembah selain Allah,” dan “tidak ada pemilik langit, bumi dan
isinya, selain daripada Allah” Karena Allah adalah pencipta
alam langit, bumi dan isinya dan sekaligus pemiliknya, termasuk
pemilik manusia dan seluruh sumber daya yang ada. Oleh karena
itu, Allah adalah pemilik hakiki. Manusia hanya diberi amanah
untuk “memiliki” untuk sementara waktu, sebagai ujian bagi
mereka. Dalam Islam, segala sesuatu yang ada tidak diciptakan
dengan sia-sia, tetapi memiliki tujuan. Tujuan diciptakan
manusia adalah untuk beribadah kepadaNya. Karena itu segala
aktivitas manusia dalam hubungannya dengan alam (sumber
daya) dan manusia (mu’amalah) dibingkai dengan kerangka
hubungan dengan Allah. Karena kepadaNya kita akan
mempertanggungjawabkan segala perbuatan kita, termasuk
aktivitas ekonomi dan bisnis.

b. ‘Adl (Keadilan)
Allah adalah pencipta segala sesuatu, dan salah satu
sifatNya adalah adil. Dia tidak membeda-bedakan perlakuan
terhadap makhluk-Nya secara zalim. Manusia sebagai khalifah
di muka bumi, dan menjamin bahwa pemakaian segala sumber
daya diarahkan untuk kesejahteraan manusia, supaya semua
mendapat manfaat daripadanya secara adil dan baik.
Dalam banyak ayat, Allah memerintahkan manusia
untuk berbuat adil. Dalam Islam adil didefinisikan sebagai,
“tidak menzalimi dan tidak dizalimi.” Implikasi ekonomi dari
nilai ini adalah bahwa pelaku ekonomi tidak dibolehkan untuk
mengejar keuntungan pribadi bila hal itu merugikan orang lain
atau merusak alam. Tanpa keadilan, manusia akan terkelompok-
kelompok dalam berbagai golongan. Golongan yang satu akan
menzalimi golongan yang lain, sehingga terjadi eksploitasi
manusia atas manusia. Masing-masing berusaha mendapatkan
hasil yang lebih besar dari pada usaha yang dikeluarkannya
karena kerakusannya.

c. Nubuwwah (Kenabian)
Diutuslah para nabi dan rasul untuk menyampaikan
petunjuk dari Allah kepada manusia tentang bagaimana hidup
yang baik dan benar di dunia, dan mengajarkan jalan untuk
kembali ke asal muasal segala, Allah. Fungsi rasul adalah untuk
menjadi model terbaik yang harus diteladani manusia agar
mendapat keselamatan di dunia dan akhirat. Sifat-sifat utama
yang harus diteladani oleh manusia pada umumnya dan pelaku
ekonomi dan bisnis pada khususnya, adalah sebagai berikut:
1) Siddiq (benar, jujur)
Dari konsep sidq ini, muncullah konsep turunan
khas ekonomi dan bisnis, yakni efektivitas
(mencapai tujuan yang tepat, benar) dan efisiensi
(melakukan kegiatan dengan benar, yakni
menggunakan teknik dan metode yang tidak
menyebabkan kemubaziran.
2) Amanah (tanggung jawab, kepercayaan,
kredibilitas)
Sifat ini akan membentuk kredibilitas yang tinggi
dan sikap penuh tanggung jawab pada setiap
individu Muslim. Kumpulan individu dengan
kredibilitas dan tanggung jawab yang tinggi akan
melahirakan masyarakat yang kuat, karena
dilandasi oleh saling percaya antaranggotanya.
Sifat amanah memainkan peranan yang
fundamental dalam ekonomi dan bisnis, karena
tanpa kredibilitas dan tanggung jawab, kehidupan
ekonomi dan bisnis akan hancur.
3) Fathanah (Kecerdikan, kebijaksanaan,
intelektualita)
Implikasi ekonomi dan bisnis dari sifat ini adalah
bahwa segala aktivitas harus dilakukan dengan
ilmu, kecerdikan dan pengoptimalan semua
potensi akal yang ada untuk mencapai tujuan.
Jujur, benar, kredibel dan bertanggung jawab saja
tidak cukup dalam berekonomi dan berbisnis.
Para pelaku harus pintar dan cerdik supaya
usahanya efektif dan efisien, dan agar tidak
menjadi korban penipuan. Bandingkan ini
dengan konsep manajemen work hard vs work
smart. Dalam ekonomi Islam tidak ada dikotomi
ini, karena konsepnya work hard and smart.

4) Tabligh (Komunikasi, keterbukaan, pemasaran)


Sifat ini merupakan taktik hidup Muslim. Karena
setiap Muslim mengemban tanggung jawab
da’wah, yakni menyeru, mengajak, memberitahu.
Sifat ini bila sudah mendarah daging pada setiap
Muslim, apalagi yang bergerak dalam bidang
ekonomi dan bisnis, akan menjadikan setiap
pelaku ekonomi dan bisnis sebagai pemasar-
pemasar yang tangguh dan lihai. Karena sifat
tabligh menurunkan prinsip-prinsip ilmu
komunikasi (personal maupun massal),
pemasaran, penjualan, periklanan, pembentukan
opini massa, open management, iklim
keterbukaan, dan lain-lain.

d. Khilafah (Pemerintahan)
Dalam Islam, peranan yang dimainkan pemerintah
terbilang kecil akan tetapi sangat vital dalam perekonomian.
Peranan utamanya adalah memastikan bahwa perekonomian
suatu negara berjalan dengan baik tanpa distorsi dan telah sesuai
dengan syariah.

e. Ma’ad (Hasil)
Imam Ghazali menyatakan bahwa motif para pelaku
ekonomi adalah untuk mendapatkan keuntungan/ profit/ laba.
Dalam Islam, ada laba/ keuntungan di dunia dan ada laba/
keuntungan di akhirat.

2. Prinsip-prinsip Derivatif: Ciri-ciri Sistem Ekonomi Islam


a. Multitype Ownership (Kepemilikan Multi Jenis)
Nilai tauhid dan nilai adil melahirkan konsep multitype
ownership. Dalam sistem kapitalis, prinsip umum kepemilikan
yang berlaku adalah kepemilikan swasta; dalam sistem social,
kepemilikan Negara, sedangkan dalam Islam, berlaku prinsip
kepemilikan multijenis, yakni mengakui bermacam-macam
bentuk kepemilikan, baik oleh swasta, Negara atau campuran.
Prinsip ini adalah terjemahan dari nilai tauhid: pemilik
primer langit, bumi dan seisinya adalah Allah, sedangkan
manusia diberi amanah untuk mengelolanya. Jadi manusia
dianggap sebagai pemilik sekunder. Dengan demikian, konsep
kepemilikan swasta diakui. Namun untuk menjamin keadilan,
yakni supaya tidak ada proses penzaliman segolongan orang
terhadap segolongan yang lain, maka cabang-cabang produksi
yang penting dan menguasai hajat orang banyak dikuasai
Negara.
Dengan demikian, kepemilikan Negara dan nasionalisasi
juga diakui. Sistem kepemilikan campuran juga mendapat
tempat dalam Islam, baik campuran swasta-negara, swasta
domestik-asing, atau negara-asing. Semua konsep ini berasal
dari filosofi norma dan nilai-nilai Islam.

b. Freedom to Act (Kebebasan Bertindak Atau Berusaha)


Ketika menjelaskan nilai nubuwwah, kita sudah sampai
pada kesimpulan bahwa penerapan nilai ini akan melahirkan
pribadi-pribadi yang professional dalam segala bidang, termasuk
bidang ekonomi dan bisnis. Pelaku-pelaku ekonomi dan bisnis
menjadikan Nabi sebagai teladan dan model dalam melakukan
aktivitasnya. Sifat-sifat Nabi yang dijadikan model tersebut
terangkum ke dalam empat sifat utama, yakni siddiq, amanah,
fathonah dan tabligh. Sedapat mungkin setiap Muslim harus
dapat menyerap sifat-sifat ini agar menjadi bagian perilakunya
sehari-hari dalam segala aspek kehidupan.
Freedom to act merupakan turunan dari nilai nubuwwah,
adil dan khilafah. Freedom to act akan menciptakan mekanisme
pasar dalam perekonomian karena setiap individu bebas untuk
bermuamalah. Pemerintah akan bertindak sebagai wasit yang
adil dan mengawasi pelaku-pelaku ekonomi serta memastikan
bahwa tidak terjadi distorsi dalam pasar dan menjamin tidak
dilanggarnya syariah.

c. Social Justice (Keadilan Sosial)


Gabungan nilai khilafah dan nilai ma’ad melahirkan
prinsip keadilan sosial. Dalam Islam, pemerintah bertanggung
jawab menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya dan
menciptakan keseimbangan social antara yang kaya dan miskin.
Social Justice merupakan turunan dari nilai khilafah dan ma’ad.
Dalam ekonomi Islam, pemerintah bertanggungjawab menjamin
pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya dan menciptakan
keseimbangan sosial antara kaya dan miskin.
Segala aturan yang diturunkan Allah Swt. dalam sistem
Islam mengarah pada tercapainya kebaikan, kesejahteraan,
keutamaan, serta menghapuskan kejahatan, kesengsaraan, dan
kerugian pada seluruh ciptaan-Nya. Demikian pula dalam hal
ekonomi, tujuannya adalah membantu manusia mencapai
ketenangan di dunia dan di akhirat. Teori ekonomi Islam dan
sistemnya belumlah cukup tanpa adanya manusia yang
menerapkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

3. Akhlak: Perilaku Islami dalam Perekonomian


Sekarang kita telah memiliki landasan teori yang kuat, serta
prinsip-prinsip system ekonomi islami yang mantap. Namun, dua hal ini
belum cukup karena teori dan system menuntut adanya manusia yang
menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam teori dan system
tersebut. Dengan kata lain, harus ada manusia yang berprilaku,
berakhlak secara professional (ihsan, itqan) dalam bidang ekonomi.
Baik dia itu dalam posisi sebagai produsen, konsumen, pengusaha,
karyawan atau sebagai pejabat pemerintah. Karena teori yang unggul
dan system-sistem ekonomi yang sesuai dengan syariah sama sekali
bukan merupakan jaminan bahwa perekonomian umat Islam akan
otomatis maju. System ekonomi islami hanya memastikan bahwa tidak
ada transaksi ekonomi yang bertentangan dengan syariah. Tetapi kinerja
bisnis tergantung pada man behind the gun-nya. Karena itu pelaku
ekonomi dalam kerangka ini dapat saja dipegang oleh umat non-
Muslim. Perekonomian umat Islam baru dapat maju bila pola pikir dan
pola laku Muslimin dan Muslimat sudah itqan (tekun) dan ihsan
(professional). Ini mungkin salah satu rahasia Nabi saw: “Sesungguhnya
aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.” Karena akhlak (perilaku)
menjadi indicator baikburuknya manusia. Baik buruknya perilaku bisnis
para pengusaha menentukan gagal-suksesnya bisnis yang
dijalankannya.

B. PANDANGAN ISLAM TENTANG BISNIS


Dalam sejarah pemikiran ekonomi, kehadiran aliran atau mazhab ekonomi
biasanya bertujuan mengkritik, mengevaluasi atau mengoreksi aliran-aliran ekonomi
sebelumnya yang dinilai tidak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan ekonomi.
Dalam ekonomi konvensional (umum), kita mengenal aliran ekonomi klasik, neoklasik,
marxis, historis, institusional, moneteris, dan lain sebagainya. Ilmu ekonomi Islam pun
tidak luput dari aliran atau mazhab-mazhab ekonomi. Ketika menjelaskan hakikat
ekonomi Islam, maka akan tampak beberapa sudut pandang tentang ekonomi Islam.
Terlepas adanya beberapa perbedaan tersebut, semua mazhab yang ada menyepakati
bahwa ekonomi Islam selalu mengedepankan kemaslahatan di dalam segala
aktivitasnya.
Agama islam hanyalah satu, yaitu agama yang haq dari Allah SWT. Oleh
karenanya tidaklah mengherankan jika terdapat berbagai macam interpreatsi manusia
tentang islam, termasuk tentang masalah ekonomi dalam islam. Tetapi hal ini tidaklah
mengurangi arti eksistensi dan vitalitas islam. Justru merupakan keragaman yang
digunakan untuk memperkokoh islam. Dari sisi karakter dasar pemikiran ekonomi
islam pada saat ini, secara garis besar terdapat tiga mazhab (corak pemikiran) utama
yaitu:
1. Aliran Iqtishaduna
Mazhab ini dipelopori oleh Baqir as-sadr dengan bukunya yang
fenomenal yaitu Iqtishaduna (ekonomi kita). Muhammad Baqir al-Sadr
dilahirkan di Kadhimiyeh pada 25 Dzulqaidah 1353 H/ 1 Maret 1935 M.
Datang dari suatu keluarga yang terkenal dari sarjana-sarjana Shi’ite dan
para intelektual islam, Sadr mengikuti jejak mereka secara alami. Beliau
memilih untuk belajar studi-studi islam tradisional di hauzas (sekolah-
sekolah tradisional di Iraq), di mana Beliau belajar fiqh, ushul dan
teologi. Beliau adalah ulama syiah irak terkemuka, pendiri organisasi
hizbullah di Lebanon. Karyanya Falsafatuna (Filsafat Kita) dan
kemudian Iqtishaduna, memberikan suatu kritik komparatif terhadap
kapitalisme maupun sosialisme, dan pada saaat yang sama
menggambarkan pandangan-dunia (worldview) Islam bersama dengan
garis-garis besar sistem ekonomi Islam.
Mazhab ini berpendapat bahwa ilmu ekonomi tidak pernah bisa
sejalan dengan islam. Ekonomi tetap ekonomi dan islam tetap islam.
Keduanya tidak akan pernah dapat dipersatukan karena keduanya
berasal dari filosofi yang saling kontradiktif. Yang satu anti islam
sedangkan yang lainnya Islam.
Menurut mereka perbedaan filosofi ini berdampak pada
perbedaan cara pandang keduanya dalam melihat masalah ekonomi.
Menurut ilmu ekonomi, masalah ekonomi muncul karena adanya
keinginan manusia yang tidak terbatas dan ketersediaan sumberdaya
yang terbatas. Mazhab Baqir menolak pernyataan ini, karena menurut
mereka Islam tidak mengenal sumberdaya yang terbatas. Seperti yang
ada di dalam Alquran ” Sungguh telah kami ciptakan segala sesuatu
dalam ukuran yang setepat-tepatnya (54:49). Oleh karena itu segala
sesuatunya telah terukur dengan sempurna, Allah telah memberikan
sumberdaya yang cukup bagi seluruh manusia di dunia. Pendapat
bahwa keinginan manusia tidak terbatas juga ditolak. Contohnya
Manusia akan berhenti minum jika dahaganya telah terpuaskan.
Asumsi dasar dari buku tersebut adalah istilah rational economic
man tidak cocok dengan sistem ekonomi Islam. Sadr mengganti istilah
itu dengan Islamic man, yakni seorang individu yang merasa sebagai
bagian dari keseluruhan ummah, serta dilandasi oleh ruh dan praktik
keagamaan. Rational economic man bergantung pada dunia materi dan
kekuatan akal, dalam artian bahwa rational economic man
mempertimbangkan faktor-faktor psikologis, sejarah/kultural, dan
konteks kerangka sosial masyarakat sebagai landasan perilaku
ekonominya dan mengonseptualisasikan masyarakat sebagai sebuah
kumpulan dari individu-individu yang diikat pemenuhan nafsu pribadi.
Sedangkan Islamic man melandaskan perilaku ekonominya pada tauhid,
yakni keimanan kepada dunia spritual atau dunia “yang tak terlihat”.
Motivasi Rational economic man semata-mata adalah kepuasan pribadi,
sedangkan pemuasan pribadi Islamic man dipandu oleh “pengawas dari
dalam”. Bagi rational economic man, riba merupakan cara termudah
untuk mendapatkan pinjaman dan kompensasi yang layak bagi pemberi
pinjaman, sehingga rational economic man menghalalkan riba.
Pandangan tersebut tentu berbeda dengan Islamic man yang melarang
dengan tegas praktik riba.
Sadr menolak istilah “ekonomi” untuk disandingkan dengan kata
“Islam”, sebab menurutnya, sistem ekonomi Islam merupakan bagian
dari sistem Islam secara keseluruhan, sehingga ekonomi Islam haruslah
dipelajari sebagai suatu keseluruhan “interdisipliner” (bidang studi)
yang berdiri sendiri, serta haruslah beroperasi dengan sistem yang
sepenuhnya Islam. Ia menyarankan agar orang memahami dan
mempelajari pandangan dunia Islam lebih dulu, jika ingin mendapatkan
hasil yang memuaskan dalam menganilisis sistem ekonomi Islam. Sadr
mendefinisikan iqtihsaduna (ekonomi Islam) sebagai sebuah doktrin
yang membahas isu-isu yang merujuk pada keadilan seperti dimaksud
oleh sumber-sumber Islam sendiri. Sadr menegaskan bahwa iqtihsaduna
bukanlah ilmu pengetahuan, melainkan doktrin atau mazhab layaknya
kapitalisme dan sosialisme.
Mazhab Baqir berpendapat bahwa masalah ekonomi muncul
karena adanya distribusi yang tidak merata dan adil sebagai akibat
sistem ekonomi yang membolehkan exploitasi dari pihak yang kuat
terhadap yang lemah. Dimana yang kuat memiliki akses terhadap
sumberdaya sehingga menjadi sangat kaya sedangkan yang lemah tidak
meiliki akses ke sumberdaya sehingga menjadi sangat miskin. Oleh
karena itu masalah ekonomi bukan karena sumberdaya yang terbatas
tetapi karena keserakahan manusia yang tidak terbatas.
Oleh karena itu menurut mazhab ini istilah ekonomi islami
adalah istilah yang menyesatkan dan kontradiktif. Sebagai gantinya
ditawarkan dengan istilah yang berasal dari filosofi islam yaitu Iqtishad,
yang secara harfiah berarti keadaan sama seimbang. Semua teori yang
dikembangkan oleh ilmu ekonomi konvensional ditolak dan dibuang.
Sebagai gantinya maka disusunlah teori-teori ekonomi baru yang digali
dari Alquran dan Assunah. Selain Muhammad Baqir as-Sadr, tokoh-
tokoh mazhab ini adalah Abbas Mirakhor, Baqir alHasani, Kadim as-
Sadr, Iraj Toutouchian, Hedayati, dan lainnya.

2. Aliran Mainstream
Mazhab mainstrean berbeda pendapat dengan mazhab Baqir.
Mazhab ini justru setuju bahwa masalah ekonomi muncul dikarenakan
sumberdaya yang terbatas yang dihadapkan pada keinginan manusia
yang tidak terbatas. Seperti yang disabdakan Nabi Muhammad Saw.
Bahwa manusia tidak akan pernah puas. Bila diberikan emas satu
lembah, ia akan meminta emas dua lembah. Bila diberikan dua lembah
maka dia akan meminta tiga lembah dan seterusnya sampai ia masuk
kubur.
Keterbatasan sumber daya memang ada, bahkan diakui pula oleh
Islam. Dalil yang dipakai adalah:
"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan
berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar" (QS: Al-
Baqarah [2]: 155).

Sedangkan keinginan manusia yang tidak terbatas dianggap


sebagai hal alamiah. Dalilnya:

"Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke


dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat
perbuatanmu itu)" (QS: At-Takaastur [102]:1-3).

Dan sabda Nabi Muhammad Saw, bahwa manusia tidak akan


pernah puas. Bila diberikan emas satu lembah, ia akan meminta emas
dua lembah. Bila diberikan dua lembah, ia akan meminta tiga lembah,
dan begitu seterusnya sampai ia masuk kubur. Pandangan mahzab ini
tentang masalah ekonomi hampir tidak ada bedanya dengan pandangan
ekonomi konvensional. Kelangkaan sumber dayalah yang menjadi
penyebab munculnya masalah ekonomi. Perbedaan mazhab
mainstream dengan ekonomi konvensional terletak pada cara
menyelesaikan masalah tersebut.
Dengan demikian, pandangan mazhab ini tentang masalah
ekonomi hampir tidak ada bedanya dengan pandangan ekonomi
konvensional. Perbedaannya terletak pada cara menyelesaikan masalah
tersebut. Dilema sumberdaya terbatas dihadapkan dengan keinginan
manusia yang tidak terbatas memaksa manusia itu melakukan pilihan-
pilihan atas keinginannya. Kemudian manusia membuat skala prioritas
dalam memenuhi keinginannya.
Dalam Ekonomi konvensional pemilihan sekala prioritas
berdasarkan selera masing-masing pribadi. Manusia boleh
mempertimbangkan tuntutan agama atau boleh juga mengabaikannya.
Tetapi dalam ekonomi islami pilihan tidak dapat dilakukan semaunya,
harus berdasarkan tuntunan Alquran dan Assunah. Mazhab ini
berpendapat mengambil hal-hal yang baik dan bermanfaat yang
dihasilkan oleh bangsa dan budaya non islam tidak diharamkan. Nabi
bersabda hikmah atau ilmu itu bagi umat islam adalah ibarat barang
yang hilang. Dimana saja ditemukan maka umat islam paling berhak
mengambilnya.
Sesuai dengan namanya, maka mazhab pemikiran ekonomi
Islam ini mendominasi khasanah pemikiran ekonomi Islam di seluruh
dunia. Meluasnya mazhab ini dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu:
a. Secara umum pemikiran mereka relatif lebih moderat jika
dibandingkan dengan mazhab lainnya sehingga lebih mudah
diterima masyarakat.
b. Ide-ide mereka banyak ditampilkan dengan cara-cara ekonomi
konvensional, misalnya menggunakan economic modeling dan
quantitative methods sehingga mudah dipahami oleh
masyarakat luas. Sebenarnya hal ini tidak mengherankan, sebab
para pendukung mazhab ini kebanyakan memiliki latar
belakang pendidikan ekonomi konvensional, di samping
penguasaan ilmu keislaman yang memadai. Banyak diantara
mereka telah menempuh pendidikan dengan jenjang tinggi dan
tetap beraktivitas ilmiah di negara-negara Barat, misalnya Umar
Chapra, Muhammad Nejatullah Siddiqi, dan Muhammad Abdul
Mannan.
c. Kebanyakan tokoh merupakan staf, peneliti, penasehat, atau
setidaknya memiliki jaringan erat dengan lembaga-lembaga
regional dan internasional yang telah mapan seperti Islamic
Development Bank (IDB), International Institute of Islamic
thought (III T), Islamic research and Training Institute (IRTI),
dan Islamic Foundation pada beberapa universitas maju.
Lembaga-lembaga ini memiliki jaringan kerja yang luas
didukung dengan pendanaan yang memadai, sehingga dapat
mensosialisasikan gagasan ekonomi Islam dengan lebih baik.
Bahkan, gagasan ekonomi Islam diimplementasikan dalam
kebijakan ekonomi yang nyata, sebagaimana yang dilakukan
oleh IDB dalam membantu pembangunan di negara-negara
muslim.

Tokoh-tokoh mazhab ini di antaranya M. Umer Capra, M.A.


Mannan, M. Nejatullah Siddiqi, dan lainnya. Mayoritas dari mereka
bekerja di Islamic Development Bank (IDB), yang memiliki dukungan
dana dan akses ke berbagai negara, sehingga penyebaran pemikirannya
dapat dilakukan dengan cepat dan mudah. Mereka para doktor
sekaligus profesor di bidang ekonomi yang belajar (dan ada juga yang
mengajar) di universitas-universitas barat.
Memang, mengambil hal-hal baik dan bermanfaat yang
dihasilkan oleh bangsa dan budaya non-Islam sama sekali tidak
diharamkan. Nabi bersabda bahwa hikmah/ilmu itu bagi umat Islam
adalah ibarat barang yang hilang. Di mana saja ditemukan, maka umat
Islamlah yang paling berhak mengambilnya. Sejarah telah menujukkan
kepada kita bahwa para ulama dan ilmuwan Islam banyak yang
meminjam ilmu dari peradaban lain seperti Yunani, India, Persia, Cina
dan sebagainya. Pendek kata, yang bermanfaat atau sesuai dengan
Islam diambil, yang tidak bermanfaat atau bertentangan dengan ajaran
Islam ditinggalkan.

3. Aliran Alternatif Kritis (Alternatif)


Madzhab alternatif adalah sebuah madzhab yang kritis.
Madzhab ini berpendapat bahwa dalam bersikap kritis tidak hanya
terhadap kapitalisme dan sosialisme, tapi juga ekonomi islam itu
sendiri. Mereka meyakini bahwa islam pati benar, tapi ekonomi islam
belum tentu benar karena ekonomi islam menafsirkan dari Al-Qur'an
dan sunah sehingga nilai kebenarannya tidak mutlak. Dalam ekonomi
islam juga dibutuhkan pengujian kebenaran yang juga dilakukan oleh
ekonomi konvensional.
Pemikiran madzhab ini dipelopori oleh Timur Kuran
(Unifersity of Shoutherm California), Jomo (Hardvard Unifersity).
Madzhab ini juga mengkritik dua madzhab sebelumnya, yaitu yang
pertama Madzhab Baqir dikritik karena madzhab tersebut berusaha
menemukan sesuatau yang baru yang sebenarnya sudah sering
ditemukan orang lain, menghancurkan teori lama dan membangun teori
yang baru. Yang kedua yaitu mengkritik Madzhab Maenstream, karena
menurutnya madzhab ini sebagai jiplakan dari ekonomi neoklasik
dengan menghilangkan Riba dan memasukan Zakat serta niat.
Sementara itu mazhab alternatif yang dimotori oleh Prof. Timur
Kuran (Ketua Jurusan Ekonomi di University of Southern California),
Prof. Jomo dan Muhammad Arif, memandang pemikiran mazhab Baqir
Sadr berusaha menggali dan menemukan paradigma ekonomi Islam
yang baru dengan meninggalkan paradigma ekonomi konvensional,
tapi banyak kelemahannya, sedangkan mazhab mainstreammerupakan
wajah baru dari pandangan Neo-Klasik dengan menghilangkan unsur
bunga dan menambahkan zakat. Selanjutnya mazhab ini menawarkan
suatu kontribusi dengan memberikan analisis kritis tentang ilmu
ekonomi bukan hanya pada pandangan kapitalisme dan sosialisme
(yang merupakan representasiwajah ekonomi konvensional),
melainkan juga melakukan kritik terhadap perkembangan wacana
ekonomi Islam.

C. KONSEP DASAR BISNIS ISLAM


Islam memiliki pedoman dalam mengarahkan umatnya untuk melaksanakan
amalan. Pedoman tersebut adalah Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Sebagai sumber ajaran
islam, setidaknya dapat menawarkan nilai-nilai dasar atau prinsip-prinsip umum yang
penerapannya dalam bisnis disesuaikan dengan perkembangan zaman dan
mempertimbangkan dimensi ruang dalam waktu. Islam seringkali dijadikan sebagai
model tatanan kehidupan. Hal ini tentunya dapat dipakai untuk pengembangan lebih
lanjut atas suatu tatanan kehidupan tersebut, termasuk tatanan kehidupan bisnis.
Al-Qur’an dalam mengajak manusia untuk mempercayai dan mengamalkan
tuntutan-tuntutannya dalam segala aspek kehidupan seringkali menggunakan istilah-
istilah yang dikenal dalam dunia bisnis, seperti jual-beli, untung-rugi, dan sebagainya.
Dalam konteks ini al-Qur’an menjanjikan dalam surat At Taubah : 111 yang berbunyi:

     


    
      
     
  
    
      
   
     
 
Artinya: “ Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin harta dan jiwa
mereka dan sebagai imbalannya mereka memperoleh surga. Siapakah yang lebih
menepati janjinya (selain) Allah maka bergembiralah dengan Jual-Beli yang kamu
lakukan itu. Itulah kemenangan yang besar”.(QS At-Taubah :111)

Dan teradapat juga di surat Al Jumu’ah : 9 – 10 yang berbunyi :


   
    
     
     
      
    
     
   
  
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan
sembahyang pada hari jum’at. Maka bergegaslah kamu kepada mengingat Allah dan
tinggalkan jual-beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Apabila telah ditunaikan sembahyang maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” (Q.S Al-
Jumu’ah: 9-10)
Ayat ini memberi pengertian agar berbisnis (Mencari kelebihan karunia Allah)
dilakukan setelah melakukan shalat dan dalam pengertian tidak mengesampingkan dan
tujuan keuntungan yang hakiki yaitu keuntungan yang dijanjikan Allah. Oleh karena
itu, walaupun mendorong melakukan kerja keras termasuk dalam berbisnis, Al-Qur’an
menggaris bawahi bahwa dorongan yang seharusnya lebih besar bagi dorongan bisnis
adalah memperoleh apa yang berada di sisi Allah. Karena itu pula pada ayat yang
berbicara tentang naluri manusia (hub asy-syahwati) diatas, di akhiri dengan : WAllahu
indahu husnul ma’ab “(Disisi Allah kesudahan yang paling baik)”.
Atas dasar ini maka, pandangan orang yang bekerja dan berbisnis harus
melampaui masa kini dan masa depannya yang dekat. Dengan demikian visi masa
depan dalam berbisnis merupakan etika pertama dan utama yang digariskan al-Qur’an,
sehingga pelaku-pelakunya tidak sekedar mengejar keuntungan sementara yang akan
segera habis tetapi selalu berorientasi masa depan. Bisnis merupakan kegiatan
muamalah. Bisnis yang sehat adalah bisnis yang berlandaskan pada etika. Oleh karena
itu, pelaku bisnis muslim hendaknya memiliki kerangka etika bisnis yang kuat,
sehingga dapat mengantarkan aktivitas bisnis yang nyaman dan berkah.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam jual beli sehingga dapat
membawa pada pola transaksi jual beli yang sehat dan menyenangkan. Oleh karena itu,
tidaklah cukup mengetahui hukum jual beli tanpa adanya pengetahuan tentang konsep
pelaksanaan transaksi jual beli tersebut. Hal ini dimaksudkan agar transaksi tersebut
jauh dari perbuatan keji, kotor dan bahkan merugikan. Konsep tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Jujur
Sifat jujur merupakan sifat Rasulullah saw. yang patut ditiru.
Rasulullah saw dalam berbisnis selalu mengedepankan sifat jujur.
Beliau selalu menjelaskan kualitas sebenarnya dari barang yang dijual
serta tidak pernah berbuat curang bahkan mempermainkan timbangan.
Maka, latihlah kejujuran dalam pola transaksi jual beli karena kejujuran
dapat membawa keberuntungan. Sebagaimana penjelasan dalam Hadits:
“Artinya: Dari Abdullah bin Harits. Ia mengadu kepada Hakim bin
Hazim ra. Dan beliau berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: “penjual
dan pembeli dapat melakukan khiyar (memilih) selagi belum berpisah
atau sampai keduanya berpisah. Apabila keduanya telah setuju dan jelas
maka jual belinya mendapatkan berkah. Dan apabila keduanya saling
menekan dan berdusta maka dihapus keberkahan yang ada pada jual
belinya (tidak mendapatkan keberkahan)”. (HR. Al-Bukhari)

2. Amanah
Amanah dalam bahasa Indonesia adalah dapat dipercaya. Dalam
transaksi jual beli, sifat amanah sangatlah diperlukan karena dengan
amanah maka semua akan berjalan dengan lancar. Dengan sifat amanah,
para penjual dan pembeli akan memiliki sifat tidak saling mencurigai
bahkan tidak khawatir walau barangnya di tangan orang. Memulai bisnis
biasanya atas dasar kepercayaan. Oleh karena itu, amanah adalah
komponen penting dalam transaksi jual beli. Sebagaimana dalam
Alquran:
      
    
    
    
       
  
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya.”(QS. An-Nisa : 58)

Terdapat juga disurat Al Anfal : 27 yang berbunyi :


    
    
   
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu
mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang
kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal : 27)

3. Ramah
Banyak orang yang susah untuk berperilaku ramah antar sesama.
Sering kali bermuka masam ketika bertemu dengan orang atau bahkan
memilah milih untuk berperilaku ramah. Padahal, ramah merupakan
sifat terpuji yang dianjurkan oleh agama Islam untuk siapa saja dan
kepada siapa saja. Dengan ramah, maka banyak orang yang suka,
dengan ramah banyak pula orang yang senang. Karena sifat ramah
merupakan bentuk aplikasi dari kerendahan hati seseorang. Murah hati,
tidak merasa sombong, mau menghormati dan menyayangi merupakan
inti dari sifat ramah. Oleh karena itu, bersikap ramahlah dalam transaksi
jual beli karena dapat membuat konsumen senang sehingga betah atau
bahkan merasa tentram jika bertransaksi. Sebagaimana keterangan
dalam Hadits.
“Artinya: Dari Jabir Bin Abdullah ra. Sesungguhnya Rasulullah saw
bersabda: Allah swt akan mengasihi seseorang yang murah hati ketika
menjual, membeli dan meminta.” (HR. Al-Bukhari)

4. Adil
Adil merupakan sifat Allah swt. Dan Rasulullah saw merupakan
contoh sosok manusia yang berlaku adil. Dengan adil, tidak ada yang
dirugikan. Bersikap tidak membeda-bedakan kepada semua konsumen
merupakan salah satu bentuk aplikasi dari sifat adil. Oleh karena itu,
bagi para penjual semestinya bersikap adil dalam transaksi jual beli
karena akan berdampak kepada hasil jualannya. Para konsumen akan
merasakan kenyamanan karena merasa tidak ada yang dilebihkan dan
dikurangkan. Sebagaimana keterangan dalam Alquran surat An Nisa :
58 yang berbunyi :
      
    
    
    
       
  
Artinya: “ Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
melihat.” ( QS. An Nissa : 58 )

5. Sabar
Sabar merupakan sikap terakhir ketika sudah berusaha dan
bertawakal. Dalam jual beli, sifat sabar sangatlah diperlukan karena
dapat membawa keberuntungan. Bagi penjual hendaklah bersabar atas
semua sikap pembeli yang selalu menawar dan komplain. Hal ini
dilakukan agar si pembeli merasa puas dan senang jika bertransaksi.
Begitu pula dengan pembeli, sifat sabar harus ditanamkan jika ingin
mendapatkan produk yang memiliki kualitas bagus plus harga murah
dan tidak kena tipu. Sebagaimana keterangan dalam Alquran surat Ali
Imran : 120 yang berbunyi:
     
     
 
       
    
Artinya: “Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih
hati, tetapi jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira
karenanya. jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka
sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu.
Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan.
“(QS. Ali Imran : 120)

D. MAKSUD, TUJUAN, DAN ORIENTASI BISNIS ISLAM

   


    
     
  
     
     
   

     
   
Artinya :“Hai orang-orang yang beriman apabila diseru untuk menunaikan
sembahyang pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Apabila telah ditunaikan sembahyang maka bertebarankah di muka bumi dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyaak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-
Jumu’ah : 9-10)
Dalam firman Allah tersebut mengandung pengertian bahwa bisnis dilakukan
dengan tidak mengesampingkan tujuan hakiki. Visi masa depan dalam berbisnis
merupakan etika pertama dan utamayang digariskan Al-Qur’an, sehingga pelakunya
tidak sekedar mencari keuntungann sementara yang akan segera habis, tetapi selalu
berorientasi pada masa depan.
Dengan pernyataan di atas dapat diketahui maksud dilakukannya bisnis secara
Islami, antara lain:
1. Mencari ridho Allah (mardlotillah)
Bisnis yang dilakukan dengan niat mendapat ridlo Allah, memiliki
manfaat selain dalam hal ekonomi, tetapi juga non ekonomi dan non
finansial dalam ikut serta memecahkan permasalahan sosial masyarakat.
2. Pleasure of Allah (memperoleh kesenangan Allah)
Dengan meyakini bahwa bisnis yang dilakukan direstui dan
mendapatkan kesenangan dari-Nya, maka dapat diyakini pula
kebenarannya sesuai aqidah Islam dengan harapan bahwa bisnis yang
dilakukan mendatangkan kebahagiaan dan kesejahteraan dari Allah.
3. Mercy from Allah (mencari rahmat Allah)
Istilah rahmat diartikan sebagai karunia. Karunia dari Allah merupakan
suatu kondisi kehidupan yang sangat menentramkan dan menyenangkan
bagi perikehidupan muslim beriman serta menjadi dambaan oleh setiap
manusia.
4. Mencari dan memperoleh pahala dari Allah
Keuntungan materi dan ekonomik bukan satu-satunya tujuan yang
menjadi ujung tombak dalam meraih sukses. Tetapi lebih dari itu yang
meliputi pahala Allah di dunia dan akhirat merupakan keuntungan yang
utama.
5. Berdimensi dunia dan akhirat
Bisnis yang dilakukan berkonotasi dengan persiapan kehidupan akhirat.
Artinya lahan untuk beramal dan beribadah di dunia ini dengan bisnis
yang dilakukan disadari sebagai lahan untuk bekal kehidupan akhirat.
6. Bermanfaat dan dibutuhkan bagi kemaslahatan umat manusia
Segala aktivitas dan kiprah bisnis di masyarakat diharapkan
eksistensinya dibutuhkan masyarakat serta dapat memberikan
kontribusi atas permasalahan kemanusiaan.
7. Mendatangkan berkah dan rezeki dari Allah bagi semua pihak
Bisnis dengan menjalin hubungan yang saling menguntungkan antar
masyarakat dan pelaku bisnis maka dipastikan bahwa masing-masing
pihak akan saling memberikan dukungan dan perlindungan yang
dibutuhkan masing-masing pihak. Dengan demikian dapat
mendatangkan berkah dari Allah bagi semua pihak.

Adapun tujuan dan orientasi yang hendak dicapai dalam bisnis Islam, yaitu :
1. Target hasil: profit-materi dan benefit-nonmateri.
Target hasil: profit-materi dan benefit-nonmateri, maksudnya
adalah bahwa bisnis tidak hanya untuk mencari profit (qimahmadiyah
atau nilai materi) setinggi-tingginya, akan tetapi bisnis juga harus dapat
memperoleh dan memberikan benefit (keuntungan atau manfaat)
nonmateri kepada internal organisasi perusahaan dan eksternal
(lingkungan), seperti terciptanya suasana persaudaraan, kepedulian
sosial dan sebagainya.
Benefit, yang dimaksudkan tidaklah semata memberikan
manfaat kebendaan, tetapi juga dapat bersifat nonmateri. Islam
memandang bahwa tujuan suatu amal perbuatan tidak hanya berorientasi
pada berarti aktivitas dijadikan sebagai media untuk mendekatkan diri
kepada Allah Swt.2

2. Pertumbuhaan, artinya terus meningkat


Pertumbuhan, jika profit materi dan profit non materi telah
diraih, perusahaan akan mengupayakan pertumbuhan atau kenaikan
terus-menerus dari setiap profit dan benefitnya. Upaya penumbuhan ini
juga harus selalu dalam koridor syariah, contohnya, dalam
meningkatkan jumlah produksi seiring dengan perluasan pasar, inovasi
sehingga bisa menghasilkan produk baru dan sebagainya.

3. Keberlangsungan, dalam kurun waktu selama mungkin


Keberlangsungan, tidak berhenti pada target hasil dan
peertumbuhan, perlu diupayakan terus agar pertumbuhan target hasil
yang telah diperoleh dapat dijaga keberlangsunganya dalm kurun
waktu yang cukup lama. Begitu juga dalam upaya pertumbuhan, setiap
aktivitas untuk dijaga keberlangsunganya tetap dijalankan dalam batas
koridor syariah.

4. Keberkahan atau ridha Allah.


Keberkahan, orientasi untuk menggapai ridha Allah SWT
merupakan puncak kebahagiaan hidup manusia muslim bila ini tercapai,
menandakan terpenuhinya dua syarat diterimanya amal manusia, yaitu
adanya elemen niat ikhlas dan cara yang sesuai dengan tuntutan syariat.
Oleh karena itu para pengelola bisnis perlu mematok orientasi
keberkahan yang dimaksud agar pencapaian segala orientasi senantiasa
berada dalam batasan syariat yang menjamin keridhan Allah SWT.3

E. PERBEDAAN ANTARA BISNIS ISLAM DAN BISNIS KONVENSIONAL


Bisnis Islami yang dikendalikan oleh aturan hukum yang harus di terapkan
dalam berbisnis yaitu mengetahui aturan halal dan haram, baik dari cara perolehan

2
Muhammad Ismail Yusanto “Menggagas Bisnis Islami” Gema Insani Pers: Jakarta , tahun, hlm. 19
3
Hlm. 21
maupun pemanfaatan harta, sama sekali berbeda dengan bisnis nonIslami. Dengan
landasan sekularisme yang bersindikan pada nilai-nilai material, bisnis nonIslami tidak
memperhatikan aturan hukum mana itu yang bisnis halal dan bisnis yang haram dalam
setiap perencanaan, pelaksanaan, dan segala usaha yang dilakukan dalam meraih
tujuan-tujuan bisnis.
Dari asas sekularisme inilah, seluruh bangunan karakter bisnis nonIslami
diarahkan pada hal-hal yang bersifat bandawi dan menafikan nilai ruhiah serta
keterikatan pelaku bisnis pada aturan yang lahir dari nilai-nilai transendental (aturan
halal dan haram). Kalaupun ada aturan, semata bersifat etik yang tidak ada hubunganya
dengan dosa dan pahala.
Dengan melihat karakter yang dimiliki, bisnis Islami hanya akan hidup secara
ideal dalam sistem dan lingkungan yang Islami pula. Dalam lingkungan yang notabenya
tidak Islami, sebagaimana yang sekarang terjadi, disadari atau tidak, disengaja atau
tidak, suka atau tidak, pelaku bisnis Islami akan mudah sekali tersesat dan sukar berkelit
dalam kegiatan yang dilarang agama. Mulai dari uang pelican saat perizinan usaha,
menyimpan uang dalam rekening Koran yang berbunga, dan dana pinjaman atau modal
yang diperoleh dari bankbank konvensiaonal karena pendapat para pelaku bisnis
sekarang bank-bank konvensional lebih mudah dan lebih cepat daripada bank syariah,
hingga iklan yang di tampilkan tidak senonoh dan sebaliknya.
Bisnis nonIslami juga tidak akan hidup secara ideal dalam sistem dan
lingkungan yang Islami kecuali ia merubah dirinya menjadi bisnis yang memperhatikan
nilai-nilai Islam. Bisnis nonIslami dalam lingkungan Islam pasti akan berhadapan
dengan aturan-aturan yang melarang segala kegiatan yang bertentangan dengan syariat
Islam. Karena bisnis-bisnis maksiat semacam pub, diskotik, ”panti pijat”, perbankan
ribawi, prostitusi, judi, dan sebagainya pasti tidak akan tumbuh dalam sistem Islami.
Jadi, jelaslah bahwa tumbuh tidaknya jenis kegiatan bisnis akan sangat bergantung pada
macam sistem dan lingkungan yang ada. Muhammad Ismail Yusanto Dan Muhammad
Karebet Widjajakusuma menyebutkan ciri-ciri dari bisnis Islam dan bisnis nonIslam
dalam sebuah ilustrasi sebagai berikut:4

KARAKTERISTIK BISNIS BISNIS ISLAMI DAN BISNIS NON-ISLAMI

ISLAMI KARAKTER BISNIS KONVENSIONAL

4
Muhammad Ismail Yusanto “Menggagas Bisnis Islami” Gema Insani Pers: Jakarta , Tahun 2002, hlm. 22
Aqidah islam (nilai-nilai ASAS Sekularisme (Nilai-
transcendental) nilai material)
Dunia-Akhirat MOTIVASI Dunia
Profit dan benefit (non ORIENTASI Profit,
materi/qimah), Pertumbuhan,
Pertumbuhan, Keberlangsungan
Keberlangsungan,
Keberkahan
Tinggi, Bisnis adalah bagian ETOS KERJA Tinggi, Bisnis
dari ibadah adalah kebutuhan
duniawi
Maju & produktif, SIKAP MENTAL Maju & Produktif
Konsekuensi Keimanan & sekaligus konsumtif
manifestasi kemusliman Konsekuensi
aktualisasi diri
Cakap & ahli di bidangnya, KEAHLIAN Cakap & ahli di
Konsekuensi dari kewajiban bidangnya,
seorang muslim Konsekuensi dari
motivasi reward &
punishment
Terpercaya & bertanggung AMANAH Tergantung
jawab, Tujuan tidak kemauan individu
menghalalkan cara (pemilik capital),
Tujuan
menghalalkan cara
Halal MODAL Halal dan haram
Sesuai dengan akad kerjanya SDM Sesuai dengan akad
kerjanya atau sesuai
keinginan pemilik
modal
Halal SUMBER DAYA Halal dan Haram
Visi dan misi organisasi MANAJEMEN Visi dan misi
terkait erat dengan misi STRATEGIK organisasi
penciptaan manusia di dunia ditetapkan
berdasarkan pada
kepentingan
material belaka
Jaminan halal bagi setiap MANAJEMEN OPERASI Tidak ada jaminan
masukan, proses & keluaran, halal bagi setiap
mengedepankan masukan, proses &
produktivitas dalam koridor keluaran,
syariah mengedepankan
produktivitas dalam
koridor manfaat

Jaminan halal bagi setiap MANAJEMEN Tidak ada jaminan


masukan, proses & keluaran KEUANGAN halal bagi setiap
keuangan masukan, proses &
keluaran keuangan
Pemasaran dalam koridor MANAJEMEN Pemasaran
jaminan halal PEMASARAN menghalalkan cara
SDM profesional & MANAJEMEN SDM SDM professional,
berkepribadian islam, SDM SDM adalah factor
adalah pengelola bisnis, produksi, SDM
SDM bertanggung jawab bertanggung jawab
pada diri, majikan & pada diri dan
ALLAH SWT majikan

Dapat diketahui bahwa ciri-ciri dari bisnis Islam sangatlah berbeda dengan
bisnis konvensional yang hanya mengejar keuntungan saja. Sedangkan dalam bisnis
yang berdasarkan syariah, pelaku bisnisnya sangat berhati-hati dalam melakukan
kegiatan bisnisnya. Dari asas sampai menejemen SDM yang digunakan, bisnis berbasis
syariah selalu menjalankan kewajiban dan haknya antar sesama manusia dan kepada
Allah Swt.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Konsep dasar ekonomi Islam
Prinsip-prinsip ekonomi Islam didasarkan atas lima nilai universal yang
meliputi tauhid (keimanan), ‘adl (keadilan), nubuwwah (kenabian), khilafah (pemerinta
h) dan ma’ad (hasil). Dari kelima nilai universal tersebut, dibangunlah tiga prinsip
derivatif yaitu kepemilikan multijenis (multiple ownership), kebebasan bertindak atau
berusaha (freedom to act) serta keadilan sosial (social justice).

2. Pandangan Islam tentang bisnis


Secara garis besar terdapat tiga mazhab (corak pemikiran) utama dasar
pemikiran ekonomi islam pada saat ini yaitu Aliran Iqtishaduna, Aliran Mainstream,
Aliran Alternatif Kritis (Alternatif).
3. Konsep dasar bisnis Islam
Ada beberapa konsep dalam bisnis Islam yaitu jujur, amanah, ramah, adil, sabar.

4. Maksud, tujuan, dan orientasi bisnis Islam


Maksud dilakukannya bisnis secara Islami, antara lain mencari ridho Allah
(mardlotillah), pleasure of Allah (memperoleh kesenangan Allah), mercy from
Allah (mencari rahmat Allah), mencari dan memperoleh pahala dari Allah,
berdimensi dunia dan akhirat, bermanfaat dan dibutuhkan bagi kemaslahatan umat
manusia, mendatangkan berkah dan rezeki dari Allah bagi semua pihak. adapun
tujuan dan orientasi yang hendak dicapai dalam bisnis islam, yaitu target hasil:
profit-materi dan benefit-nonmateri, pertumbuhaan, artinya terus meningkat,
keberlangsungan, dalam kurun waktu selama mungkin, keberkahan atau ridha
Allah.

5. Perbedaan antara bisnis Islam dan bisnis konvensional


Dapat diketahui bahwa ciri-ciri dari bisnis Islam sangatlah berbeda dengan
bisnis konvensional yang hanya mengejar keuntungan saja. Sedangkan dalam bisnis
yang berdasarkan syariah, pelaku bisnisnya sangat berhati-hati dalam melakukan
kegiatan bisnisnya. Dari asas, motivasi, orientasi, etos kerja, sikap mental, keahlian,
amanah, modal, sdm, sumber daya, manajemen strategik, manajemen operasi,
manajemen keuangan, manajemen pemasaran, manajemen SDM yang digunakan,
bisnis berbasis syariah selalu menjalankan kewajiban dan haknya antar sesama
manusia dan kepada Allah Swt.

B. SARAN
Dari makalah ini semoga pembaca dapat memahami jika dalam hal berbisnis
selayaknya tidak hanya berorientasi pada keuntungan duniawi, akan tetapi juga harus
memperhatikan orientasi akhirat. Jadi, dunia itu hanya sebagai lahan manusia untuk
mencari kebahagiaan akhirat.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai