Anda di halaman 1dari 144

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 OTOT

2.1.1 Defenisi

Otot merupakan suatu organ/alat yang dapat bergerak ini adalah sutau penting bagi

organisme. Gerak sel terjadi karena sitoplasma merubah bentuk. Pada sel-sel sitoplasma ini

merupakan benang-benang halus yang panjang disebut miofibril. Jika sel otot yang

mendapatkan rangsangan maka miofibril akan memendek, dengan kata lain sel oto akan

memendekkan dirinya kearah tertentu.

2.1.2 Jenis-jenis otot

Dalam garis besarnya sel otot dapat dibagi menjadi 3 (tiga) golongan yaitu:

a. Otot Polos

Otot polos terdiri dari sel-sel otot polos. Sel otot ini bentuknya seperti gelendongan,

dibagian tengan terbesar dan kedua ujungnya meruncing. Otot polos memilki serat yang

arahnya searah panjang sel tersebut miofibril. Serat miofilamen dan masing-masing

mifilamen teridri dari protein otot yaitu aktin dan miosin. Otot polos bergerak secara

teratur, dan tidak cepat lelahg. Walaupun tidur. Otot masih mampu bekerja. Otot polos

terdapat pada alat-alat dinding tubuh dalam, misalnya pada dinding usus, dinding pembuluh

darah, pembuluh limfe, dinding saluran pencernaan, takea, cabang tenggorok, pada

muskulus siliaris mata, otot polos dalam kulit, saluran kelamin dan saluran ekskresi

(Ville,1984)

Cara kerja otot polos

Bila otot polos berkontraksi, maka bagian tengahnya membesar dan otot menjadi

pendek. Kerutan itu terjadi lambat, bila otot itu mendapat suatu rangsang, maka reaksi

1
2

terhadap berasal dari susunan saraf tak sadar (otot involunter), oleh karena itu otot polos

tidak berada di bawah kehendak. Jadi bekerja di luar kesadaran kita.

b. Otot lurik

Sel-sel otot lurik berbentuk silindris atau seperti tabung dan berinti banyak,

letaknya di pinggir, panjangnya 2,5 cm dan diameternya 50 mikron. Sel otot lurik ujungnya

sel nya tidak menunjukkan batas yang jelas dan miofibril tidak homogen akibatnya tampak

serat-serat lintang. Otot lurik di bedakan menjadi 3 macam, yaitu : otot rangka, otot lurik,

dan otot lingkar. Otot-otot rangka mempunyai hubungan dengan tulang dan berfungsi

menggerakkan tulang. Otot ini bila di lihat di bawah mikroskop, maka tampak susunannya

serabut-serabut panjang yang mengandung banyak inti sel, dan tampak adanya garis-garis

terang di selingi gelap yang melintang (Ville,1984).

Otot-otot kulit seperti yang terdapat pada roman muka termasuk otot-otot lurik

berada di bawah kehendak kita. Perlekatannya pda tulang dan kulit, tetapi ada juga terdapat

dalam kulit seluruhnya. Otot-otot yang merupakan lingkaran di sebuah otot lingkaran,

misalnya otot yang mengelilingi mulut dan mata

Cara kerja otot lurik

Bila otot lurik berkontraksi, maka menjadi pendek dan setiap serabut turut dengan

berkontraksi. Otot-otot jeis ini hanya berkontraksi jika di rangsangan oleh rangsangan saraf

sadar (otot valunter). Kerja otot lurik adalah bersifat sadar, karena itu disebut otot sadar,

artinya bekerja menurut kemauan, karena itu di sebut otot sadar, artinya bekerja menurut

kemauan atau perintah otak. Reaksi kerja otot lurik terhadap perangsang cepat tapi tidak

tahan kelelahan.
3

c. Otot jantung

Otot jantung merupakan otot “istimewa”. Otot ini bentuknya seperti otot lurik

perbedaanya ialah bahwa serabutnya bercabang dan bersambung satu sama lain. Berciri

merah khas dan tidak dapat dikendalikan kemauan. Kontraksi tidak di pengaruhi saraf,

fungsi saraf hanya untuk percepat atau memperlambat kontraksi karena itu disebut otot tak

sadar. Otot jantung di temukan hanya pada jangtung (kor), mempunyai kemampuan khusus

untuk mengadakan kontraksi otomatis dan gerakan tanpa tergantung pada ada tidaknya

rangsangan saraf. Cara kerja otot jantung ini disebut miogenik yang membedakannya

dengan neurogonik.

2.2 THORAX

Thorax merupakan rongga yang berbentuk kerucut, pada bagian bawah lebih besar

dari pada bagian atas dan pada bagian belakang lebih panjang dari pada bagian depan.

Rongga dada berisi paru-paru dan mediastinum. Mediastinum adalah ruang di dalam

rongga dada di antara kedua paru-paru. Di dalam rongga dada terdapat beberapa sistem

diantaranya yaitu sistem pernafasan dan peredaran darah. Organ pernafasan yang

terletak dalam rongga dada yaitu esofagus dan paru, sedangkan pada sistem peredaran

darah yaitu jantung, pembuluh darah dan saluran limfe. Pembuluh darah pada sistem

peredaran darah terdiri dari arteri yang membawa darah dari jantung, vena yang

membawa darah ke jantung dan kapiler yang merupakan jalan lalu lintas makanan dan

bahan buangan.
4

Gambar 2.1 Anatomi Thoraks

Kerangka rongga thorax, meruncing pada bagian atas dan berbentuk kerucut terdiri

dari sternum, 12 vertebra thoracalis, 10 pasang iga yang berakhir di anterior dalam

segmen tulang rawan dan 2 pasang yang melayang. Kartilago dari 6 iga memisahkan

articulasio dari sternum, kartilago ketujuh sampai sepuluh berfungsi membentuk tepi

kostal sebelum menyambung pada tepi bawah sternu. Perluasan rongga pleura di atas

klavicula dan di atas organ dalam abdomen penting untuk dievaluasi pada luka tusuk.

Musculus pectoralis mayor dan minor merupakan muskulus utama dinding anterior

thorax. Muskulus latisimus dorsi, trapezius, rhomboideus, dan muskulus gelang bahu

lainnya membentuk lapisan muskulus posterior dinding posterior thorax. Tepi bawah

muskulus pectoralis mayor membentuk lipatan/plika aksilaris posterior.

Dada berisi organ vital paru dan jantung, pernafasan berlangsung dengan bantuan

gerak dinding dada. Inspirasi terjadi karena kontraksi otot pernafasan yaitu muskulus

interkostalis dan diafragma, yang menyebabkan rongga dada membesar sehingga udara

akan terhisap melalui trakea dan bronkus.

Pleura adalah membran aktif yang disertai dengan pembuluh darah dan limfatik.

Disana terdapat pergerakan cairan, fagositosis debris, menambal kebocoran udara dan
5

kapiler. Pleura visceralis menutupi paru dan sifatnya sensitif, pleura ini berlanjut

sampai ke hilus dan mediastinum bersama – sama dengan pleura parietalis, yang

melapisi dinding dalam thorax dan diafragma. Pleura sedikit melebihi tepi paru pada

setiap arah dan sepenuhnya terisi dengan ekspansi paru – paru normal, hanya ruang

potensial yang ada.

Diafragma bagian muskular perifer berasal dari bagian bawah iga keenam kartilago

kosta, dari vertebra lumbalis, dan dari lengkung lumbokostal, bagian muskuler

melengkung membentuk tendo sentral. Nervus frenikus mempersarafi motorik dari

interkostal bawah mempersarafi sensorik. Diafragma yang naik setinggi putting susu,

turut berperan dalam ventilasi paru – paru selama respirasi biasa / tenang sekitar 75%.

Otot-otot dinding dada maupun dinding abdomen tersusun dalam beberapa lapisan

yaitu lapisan eksternal, lapisan medial dan lapisan internal. Untuk dinding toraks,

lapisan eksternal, medial dan internal berturut-turut adalah musculus intercostalis

externus, musculus intercostalis internus, dan musculus subcostalis serta musculus

transversus thoracis.

2.3 MEDIASTINUM

Di dalam cavitas thoracis terdapat pulmo, pleura dan mediastinum. Mediastinum

sendiri adalah struktur yang terletak di bagian tengah cavitas thoracis, berada di antara

pleura parietalis sinister dan pleura parietalis dexter (pleura mediastinalis sinister et dexter).

Meluas dari sternum di bagian ventral sampai columna vertebralis di bagian dorsal. Di

sebelah cranial dibatasi oleh apertura thoracis superior, dan di bagian caudal dibatasi oleh

apertura thoracis inferior. Di dalam mediastinum terdapat :

Mediastinal + cor

pembuluh darah besar, seperti aorta, arteri dan vena

trachea

oesophagus
6

nevus vagus

nervus phrenicus

ductus thoracicus

kelenjar thymus

lymphonodus paratrachealis

jaringan ikat, yang membuat mediastinum menjadi “ mobil “ dan dapat bergerak

mengikuti irama gerakan pulmo dan cor, serta mengikuti gerakan oesophagus sewaktu

menelan.

Oleh suatu bidang horizontal, yang melalui angulus sternalis Louisi dan tepi caudal

corpus vertebrae thoracalis IV, mediastinum dibagi menjadi dua bagian, yaitu mediastinum

superius dan mediastinum inferius. Mediastinum inferius dibagi menjadi mediastinum

anterius yang berada di sebelah ventral pericardium, mediastinum medius yang ditempati

oleh pericardium dan mediastinum posterius yang terletak di sebelah posterior pericardium.

2.3.1 Mediastinum Superior

Di sebelah ventral dibatasi oleh manubrium sterni bersama ujung caudal

m.sternohyoideus dan m.sternothyreoideus. batas di sebelah dorsal adalah corpus vertebrae

thoracalis I – IV, bersama discus intervertebralis, ligamentum longitudinalis anterior dan

ujung caudal m.longus colli. Di sebelah lateral dibatasi oleh pleura mediastinalis. Sebagai

batas caudal adalah suatu bidang datar imaginer yang ditarik melelui angulus sternalis

Louisi. Mediastinum superius berisikan:

a. Organ yang terletak retrosternal

kelenjar thymus dan pembuluh vena besar, yang terletak retrosternal. Tiga buah

vena besar yang terdapat di tempat ini adalah vena anonyma sinistra, vena anonyma dextra

dan vena cava superior (vena anonyma = vena innonimata = vena brachiocephalica).

- Vena anonima sinistra. Merupakan vena yang membawa darah dari kepala dan leher

sebelah kiri dan extremitas superior sinister. Merupakan persatuan dari vena jugularis
7

interna sinistra dan vena subclavia sinistra di sebelah dorsal dari pars sternalis

claviculae sinistra. Vena tersebut berjalan di sebelah dorsal manubrium sterni dan

bermuara kedalam vena anonyma dextra.

- Vena anonyma dextra. Dibentuk oleh vena jugularis interna dextra dan vena

subclavia dextra, berada di sebelah dorsal pars sternalis clavicula dextra.

- Vena cava superior. Berjalan vertikal di sebelah kanan sternum. Pada ujunng

terminal vena cava superior bermuara vena azygos.

b. Organ yang terletak prevertebralis

Organ-organ yang dimaksud adalah oesophagus, trachea , nervus recurrens sinister

dan ductus thoracicus, yang berjalan paralel melalui mediatinum superior sebagai suatu

unit (kesatuan).

c. Organ yang terletak di bagian intermedia

Arcus aortae merupakan lanjutan dari aorta ascendens, Nervus vagus berjalan di

sebelah lateral a.carotis communis, masuk kedalam cavitas thoracis, berada di sebelah

dorsal vena anonyma.

2.3.2 Mediastinum Inferior

Dibagi menjadi tiga bagian yaitu mediatinum anterius, mediastinum medium dan

mediastinum posterius.

a. Mediatinum anterius

Dibatasi di sebelah ventral oleh corpus sterni, m.transversus thoracis sinister,

sebagian dari ujung costa IV – VII. Di sebelah dorsal dibatasi oleh percardium parietalis

yang meluas ke arah caudal mencapai diaphragma thoracis. Berisi beberapa buah

lymphonodi, jaringan ikat dan jaringan lemak.

b. Mediastinum Medium

Berada diantara pleura parietalis sinister dan pleura parietalis dexter. Merupakan

bagian yang paling luas. Berisi percardium bersama cor di dalamnya, aorta ascendens, pars
8

caudalis vena cava superior, muara vena azygos, vena pulmonalis sinistra dan vena

pulmonalis dextra dan n.phrenicus sinister et dexter.

c. Mediastinum Posterius

Dibatasi di sebelah ventral oleh pericardium dan diaphragma thoracis, di sebelah

dorsal oleh tepi caudal vertebra thoracalis 4 – vertebra thoracalis 12, dan di sebelah lateral

oleh pleura mediastinalis sinister et dexter. Berisi aorta thoracalis, vena azygos, vena

hemiazygos, N.vagus, n.pherenicus, bifurcatio trachea, bronchus, oesophagus, ductus

thoracicus dan lymphonodi.

 Aorta Descendens (= Aorta Thoracica)

Dimulai pada tepi caudal vertebra thoracalis IV, merupakan lanjutan dari arcus

aortae, berada di sebelah kiri columna vertebralis.

 Ductus Thoracicus

Merupakan lanjutan ke arah cranial dari cisterna chili yang masuk ke dalam cavitas

thoracis dengan melewati hiatus aorticus. Berjalan di dalam mediatinum posterius, berada

di antara aorta thoracica dan vena azygos. Setinggi corpus vertebrae thoracalis V ductus

thoracicus bergeser ke kiri dan masuk kedalam mediatinum superius. Berada di sebelah

dorsal arteria subclavia sinistra dan bermuara kedalam angulus venosus sinister (pertemuan

vena jugularis interna dan vena subclavia sinistra).

 Vena Azygos

Dimulai sebagai vena lumbalis ascendens dextra setinggi vertebra lumbalis 1 atau

2, berjalan melalui hiatus aorticus masuk kedalam mediatinum posterius, bermuara

kedalam vena cava superior. Di dalam mediastinum posterius vena azygos berjalan di

sebelah kanan aorta thoracalis dan ductus thoracicus.

 Vena Hemiazygos

Vena hemiazygos adalah lanjutan dari vena lumbalis ascendens sinistra, naik ke

cranialis di lateral kiri columna vertebralis. Setinggi corpus vertebrae thoracalis 9 vena
9

hemiazygoa menyilang columna vertebralis secara horizontal dan bermuara pada vena

azygos.

 Vena Hemiazygos Accessoria

Berjalan descendens di sebelah kiri columna vertebralis, menyilang corpus

vertebrae thoracalis 8, bermuara pada vena azygos atau pada vena hemiazygos.

2.4 RHABDOMIOSARCOMA

2.4.1 Definisi

Rhabdomiosarkoma adalah jenis sarkoma (tumor jaringan lunak) dan

sarkoma ini berasal dari otot skeletal. Rhabdomiosarkoma juga bisa menyerang

jaringan otot, sepanjang intestinal atau dimana saja termasuk leher. Umumnya

terjadi pada anak-anak usia 1-5 tahun dan bisa ditemukan pada usia 15-19 tahun

walaupun insidennya sangat jarang. Rhabdomiosarkoma relatif jarang terjadi.

Dua bentuk yang sering terjadi adalah embrional rhabdomiosarkoma dan

alveolar rhabdomiosarkoma7.

2.4.2. Etiologi

Hingga saat ini penyebab Rhabdomiosarkoma belum diketahui

secara pasti. Faktor genetik dan lingkungan diduga sebagai penyebab timbulnya

penyakit ini. Tumor ini merupakan tumor langka dan hanya terjadi pada

beberapa pasien. Walaupun sebagian besar rhabdomiosarkoma terjadi secara

sporadik, namun demikian 10-33% rhabdomiosarkoma dapat berkembang

karena faktor genetik8.

Anak-anak dengan gangguan genetik langka tertentu memiliki risiko

lebih tinggi terkena rhabdomiosarkoma. Beberapa anak dengan cacat lahir


10

tertentu mengalami peningkatan risiko, dan beberapa keluarga memiliki mutasi

gen memungkinkan risiko terserang kanker ini7.

Rhabdomiosarkoma walaupun jarang dapat dihubungkan dengan

sindroma kanker familial seperti Sindrom Li-Fraumeni,

Blastomapleuropulmonary, Neurofibromatosistipe 1, Sindrom Beckwith-

Wiedemann, Sindrom Costello, Sindrom Noonan8.

Anggota keluarga dengan sindroma Li-Fraumeni lebih sering

berkembang menjadi penyakit rhabdomiosarkoma, leukemia, kanker payudara,

dan beberapa kanker lainnya seperti karsinoma adrenokortikal. Sindrom Li-

Fraumeni berhubungan dengan mutasi germline dari gen p536.

Rhabdomiosarkoma juga berhubungan dengan sindrom Beckwith–

Wiedemann. Sindrom ini berhubungan dengan kelainan pada kromosom 11p15.

Pada lokasi tersebut terdapat gen IGFII4.

Sindrom Costello merupakan kelainan kongenital yang sangat jarang

terjadi. Anak-anak dengan kelainan ini terdapat gangguan dominan autosomal

yang ditandai dengan retardasi pertumbuhan pascanatal, wajah kasar, kulit

longgar dan keterlambatan perkembangan. Pada sindrom ini terdapat

peningkatan risiko perkembangan tumor padat dan paling sering menimbulkan

rhabdomiosarkoma4.

Sindrom Noonan adalah kelainan bawaan dominan autosomal dominan

yang relatif sering ditemukan baik pria dan wanita. Gambaran klinis sindrom ini

adalah cacat jantung bawaan biasanya stenosis katup pulmonal, atrium septal

defect, hypertrophic cardiomyopathy, perawakan pendek, masalah belajar,

pectusexcavatum, gangguan pembekuan darah, dan konfigurasi karakteristik


11

fitur wajah termasuk leher berselaput dan jembatan hidung datar. Pada sindrom

ini sangat berisiko terjadinya rhabdomiosarkoma9.

Sindrom lain yang berhubungan dengan rhabdomiosarkoma adalah

neurofibromatosis type 1. Neurofibromatosis type 1 disebut juga Von Reckling

Hausen Disease, tumor syaraf multipel dapat meningkatkan resiko terjadinya

rhabdomiosarkoma10.

Beberapa faktor lingkungan yang diduga berperan dengan prevalensi

rhabdomiosarkoma Penggunaan orang tua terhadap marijuana dan kokain,

penyinaran sinar X, makanan dan pola makan, polusi lingkungan yang

mengandung zat-zat karsinogen, penggunaan obat-obat sitostatika dalam hal ini

obat kemoterapi, sering kontak dengan sinar matahari terutama pada anak-anak,

penggunaan alkohol sebelumnya, kontak dengan zat-zat karsinogen di daerah

tempat bekerja khususnya pada orang dewasa5.

Di dalam inti sel terdapat 23 pasang kromosom. Kromosom tersebut

diturunkan oleh induk kepada anaknya. Kromosom ini terdiri atas dua tali

pintalan panjang Deoksiribo Nukleat Acid (DNA) membentuk heliks ganda.

Setiap tangga terdiri atas nukleotida yang tersusun atas 4 bagian dari DNA yaitu

Adenin, Guanin, Tiamin, Sitosin. Urutan susunan 3 dari 4 nukleotida ini

menentukan cara kerja dan fungsi gen. Dasar perubahan kearah keganasan

terletak pada mutasi. Mutasi sering disebut defek pada struktur DNA di dalam

suatu gen11.

Pada rhabdomiosarkoma alveolar terjadi translokasi antara lengan

panjang kromosom 2 dengan lengan panjang kromosom 13 tepatnya pada

t(2;13)(q35;q14).7,10 Translokasi ini melibatkan gen PAX3 atau gen PAX7


12

yang terletak pada kromosom 1p36 yang dipercaya mengatur transkripsi selama

perkembangan dari neuromuskular dan gen FKHR atau yang dikenal dengan gen

FOXO1a yaitu gen transkripsi13.

2.4.3 Manifestasi Klinis

Menurut American Cancer Society, manifestasi klinis

rhadomyosarcoma dapat ditemukan di berbagai bagian tubuh. Gejala yang

dirasakan tergantung pada lokasi tumor, besar tumor dan persebarannya ke

bagian tubuh yang lain7.

 Tumor pada leher, dada, punggung dan lengan dan selakangan (termasuk

pada bagian testis) dapat menimbulkan gejala pertama berupa benjolan atau

pembengkakan. Seringkali gejala disertai dengan rasa nyeri, kemerahan dan

keluhan lain.

 Tumor pada sekitar mata menyebabkan mata terdorong ke depan.

Penglihatan dapat terganggu

 Tumor pada telinga atau sinus nasalis dapat penyebaban nyeri telinga, sakit

kepala atau kongesti sinus.

 Tumor pada kandung kemih atau prostat dapat menyebabkan adanya darah

pada urin, sedangkan tumor pada vagina dapat menyebabkan perdarahan

vagina. Tumor dapat membesar dan menyebabkan rasa nyeri atau kesulitan

buang air besar.

 Tumor pada abdomen dan pelvis dapat menyebabkan rasa mual, nyeri perut

atau konstipasi.
13

 Rhabdomyosarcoma jarang ditemukan di saluran empedu. Tetapi tumor

pada bagian ini dapat menyebabkan warna kuning pada mata dan kulit

(jaundice)

 Tumor rhabdomyosarcoma yang lebih progresif, dapat menyebabkan

adanya benjolan pada kulit (pada leher, di bawah lengan, di selakangan),

nyeri tulang, batuk terus- menerus dan penurunan berat badan.

Gambaran yang paling umum terdapat adalah masa yang mungkin nyeri

atau mungkin tidak nyeri. Gejala disebabkan oleh penggeseran atau obstruksi

struktur normal. Tumor yang berasal dari nasofaring dapat disertai kongesti

hidung, bernafas dengan mulut, epistaksis dan kesulitan menelan dan

mengunyah. Perluasan luas ke dalam kranium dapat menyebabkan paralisis

saraf kranial, buta dan tanda peningkatan tekanan intrakranial dengan sakit

kepala dan muntah. Bila tumor timbul di muka atau di leher dapat timbul

pembengkakan yang progresif dengan gejala neurologis setelah perluasan

regional. Tumor primer di orbita biasanya didiagnosis pada awal perjalanan

karena disertai proptosis, edem periorbital, ptosis, perubahan ketajaman

penglihatan dan nyeri lokal. Bila tumor ini timbul di telinga tengah, gejala awal

paling sering adalah nyeri, kehilangan pendengaran, otore kronis atau massa di

telinga, perluasan tumor menimbulkan paralisis saraf kranial dan tanda dari

massa intrakranial pada sisi yang terkena. Croupy cough yang tidak mau reda

dan stridor progresif dapat menyertai rhabdomiosarkoma laring12.

Rhabdomiosarkoma pada tubuh atau anggota gerak pertama-tama

sering diketahui setelah trauma dan mungkin mula-mula dianggap sebagai

hematom. Bila pembengkakan itu tidak mereda atau malah bertambah,


14

keganasan harus dicurigai. Keterlibatan saluran urogenital dapat menyebabkan

hematuria, obstruksi saluran kencing bawah, infeksi saluran kencing berulang,

inkontinensia atau suatu massa yang terdeteksi pada pemeriksaan perut atau

rektum. Rhabdomiosarkoma pada vagina dapat muncul sebagai tumor seperti

buah anggur yang keluar lewat vagina (sarkoma boitriodes) dan dapat

menyebabkan gejala saluran kencing dan usus besar. Perdarahan vagina atau

obstruksi uretra atau rektum dapat terjadi11,12.

2.4.4 Biomolekuler

Penentuan histiotipe spesifik perlu untuk terapi dan prognosis. Ada 4

tipe subhistologi yang telah diketahui. Tipe embrional menyebabkan sekitar 60%

dari semua kasus dan mempunyai prognosis sedang. Tipe botrioid, merupakan

suatu varian bentuk embrional dimana sel tumor dan stroma yang membengkak

menonjol ke dalam rongga badan seperti sekelompok buah anggur,

menyebabkan 6% kasus dan paling sering tampak di vagina, uterus, kandung

kemih, nasofaring dan telinga tengah. Tumor alveolar yang menyebabkan kira-

kira 15% kasus, ditandai dengan translokasi kromosom t(2;13). Sel tumor

cenderung tumbuh dalam inti (core) yang sering mempunyai ruang mirip celah

yang menyerupai alveoli. Tumor alveolar paling sering terjadi pada tubuh dan

anggota gerak dan mempunyai prognosis yang paling buruk. Tipe pleomorfik

(bentuk dewasa) jarang pada anak-anak (1% kasus). Kira-kira 20% penderita

diperkirakan mempunyai sarkoma tidak berdiferensiasi12.


15

Gambar 2.2 Translokasi kromosom

Translokasi kromosom t(2;13) Tipe pleomorfik (sangat jarang) terjadi

pada pasien-pasien di atas 45 tahun yang lainnya tiga dalam 90% kasus terjadi

sebelum usia 20 tahun. Varian pleomorfik mempunyai sel-sel tumor atipik yang

besar, beberapa memperlihatkan sitoplasma yang banyak dengan corakan

berlurik yang khas bagi diferensiasi otot rangka. Varian-varian lain pada

dasarnya adalah tumor-tumor kecil sel biru primitif, berdiferensiasi buruk yang

mempunyai diferensiasi otot rangka fokal (rabdomioblas dengan sitoplasma

eosinofilik dan corakan lurik). Diferensiasi rabdomioblastik mungkin hanya

tampak dengan mikroskopis elektron atau teknik imunohistokimia (kompleks

ribosom-miosin atau imunoperoksidase positif untuk desmis/mioglobin).

Varians alveolar ditandai dengan translokasi 2;13 kromosomal)1.

Embrional rhabdomiosarkoma merupakan jenis yang paling sering

ditemukan pada anak, kira-kira 60% dari semua kasus rhabdomiosarkoma.

Tumor bisa muncul dimana saja, tetapi paling sering pada genitourinarius,

kepala atau leher. Pada pemeriksaan histologi jenis ini mempunyai variabilitas

histologi yang tinggi, dimana menggambarkan beberapa tingkatan dari

morfogenesis otot skeletal. Merupakan neoplasma dengan diferensiasi tinggi


16

yang terdiri dari rabdomioblas dengan sitoplasma eosinofilik. Desmin dan aktin

yang terdapat pada otot digunakan untuk mendiagnosis rhabdomiosarkoma16.

Gambar 2.3 Imunohistokimia pada alveolar dan


embrional rhabdomyosarcoma

Imunohistokimia pada alveolar dan embrional rhabdomiosarkoma.

Menurut Reksoprodjo berdasarkan pemeriksaan histologik maka dapat

ditentukan derajat keganasannya (grading)14 :

G1 : well differentiated (baik)

G2 : moderately differentiated (sedang)

G3 : poorly differentiated (buruk)

Menurut Duan, Rhabdomyosarcoma dibagi menjadi 5 kategori

histologi: embrional, alveolar, botyroid, spindle cell embrional dan anaplastik15.

Rhabdomyosarcoma embrional adalah subtipe yang paling sering

dijumpai pada anak, yaitu sekitar 60% kasus diderita pasien anak. Embrional

rhabdomyosarcoma memiliki karakteristik molekuler yang unik. Sel embrional


17

rhabdomyosarcoma menunjukkan hilangnya material genom spesifik pada

lengan pendek kromosom 11. Hilangnya material gen 11p15 secara konsisten

mungkin menunjukkan adanya tumor supresor gen pada lokasi tersebut. Bentuk

molekuler lain adalah hilangnya amplifikasi gen. Selain itu kandungan seluler

DNA pada rhabdomyosarcoma embrional adalah hiperdiploid16.

Rhabdomyosarcoma alveolar adalah subtype yang terjadi pada 31%

kasus rhabdomyosarcoma. Rhabdomyosarcoma alveolar lebih sering dijumpai

pada usia remaja dan pada pasien dengan keluhan atau tumor yang muncul pada

ektremitas, trunk, regio perirectal dan perianal. Rhabdomyosarcoma alveolar

memiliki karakteristik molekuler yang berbeda dengan rhabdomyosarcoma

embrional. Pada rhabdomyosarcoma alveolar terjadi translokasi antara gen

FKHR pada kromosom 13 dengan gen PAX3 pada kromosom 2 (70%) atau gen

PAX7 pada kromosom 1 (30%). Individu dengan tranlokasi PAX7 berusia lebih

muda dan memiliki event free survival yang lebih lama. Tidak seperti

rhabdomyosarcoma embrional, rhabdomyosarcoma alveolar biasanya

menunjukkan adanya amplifikasi gen dan kandungan seluler DNA secara khas

adalah tetraploid13.

Rhabdomyosarcoma botyroid adalah bagian dari rhabdomyosarcoma

embrional, berupa 6% kasus rhabdomyosarcoma. Karakteristik tumor tipe ini

adalah tumor ini muncul dari permukaan mukosa dan rongga tubuh, oleh

karena itu tumor ini seringkali ditemukan pada area yang dapat diobservasi

seperti vagina, kandung kemih, dan hidung. Tumor ini dibedakan dari bentuknya

yang polipoid dan berbentuk masa seperti anggur. Secara histologis,

rhabdomyosarcoma menunjukkan gambaran sel ganas17.


18

 Spindle cell rhabdomyosarcoma adalah subtype rhabdomyosarcoma

embrional, yaitu 3% kasus rhabdomyosarcoma. Secara histologis tumor ini

berbentuk fasicular, spindle dengan leiomyomatous growth pattern. Subtipe

ini biasanya terjadi di region paratesticular dan jarang sekali pada kepala

dan leher18.

 Rhabdomyosarcoma anaplastik, sebelumnya disebut pleomorphic

rhabdomyosarcoma adalah jenis terakhir dari rhabdomyosarcoma. Tumor

ini sering diderita pasien usia 30-50 tahun dan jarang ditemukan pada anak.

Rhabdomyosarcoma anaplastik didefinisikan berdasarkan luas tumor,

nucleus yang hiperkromasi dan bentuk mutasi multipolar17.

2.4.5 Histopatologi

a. Makroskopis

Gambaran makroskopisnya bervariasi. Sebagian tumor, terutama yang

timbul di daerah genitourinaria bawah, daerah leher dan kepala, mungkin

bermanifestasi sebagai massa lunak gelatinosa mirip anggur yang disebut

sarkoma botrioides. Pada kasus lain, polanya berupa massa infiltratif dengan

batas tidak jelas19.

Gambar 2.4 Embryonal rhabdomyosarcoma


19

b. Mikroskopis

Rhabdomiosarkoma embrional terdiri dari sel-sel mesenkimal primitif

dengan berbagai macam tahapan miogenesis dengan tonjolan sel eosinofilik.

Tahap akhir diferensiasi sel ini ditunjukkan dengan multinukleasi, sitoplasma

dengan striae silang dan eosinofilik. Diferensiasi akan semakin terlihat seiring

dengan dilakukannya kemoterapi. Sel-sel maligna cenderung mengelompok

tepat di bawah permukaan mukosa, suatu konfigurasi yang dikenal sebagai

lapisan kambium Selain itu, pada rhabdomiosarkoma embrional juga terlihat sel

otot embrional yang membentuk agregat mioblast dan jaringan mesodermal

miksoid. Pada pola alveolar, rhabdomiosarkoma ditunjang dengan septum

fibrosa yang menjadikannya mirip dengan rongga alveolus di paru. Varian

pleimorfik berisi sel ganas yang sangat pleimorfik, termasuk sel raksasa yang

aneh20.

Ciri khas dari neoplasma ini adalah adanya sel spindle, yaitu sel yang

mirip seperti sel otot polos dengan nukleus bulat tumpul. Adanya sel-sel yang

membesar dan atipikal dengan inti sel hiperkromatik menunjukkan bahwa sel-

sel tersebut mengalami anaplasi. Anaplasi bisa terjadi lokal maupun difus.

Diagnosis rhabdomiosarkoma didasarkan pada pembuktian dengan adanya

diferensiasi otot rangka, baik dalam bentuk sarkomer di bawah mikroskop

elektron atau adanya antigen terkait otot dalam preparat imunohistokimia18.


20

Gambar 2.5 Pleimorphic rhabdomyosarcoma

c. Klasifikasi dan staging


Klasifikasi berdasarkan IRSG (Intergroup Rhabdomyosarcoma Study
Group)10.
Group I Terlokalisisasi, limfonodus regional tidak terlibat, dapat
direseksi secara lengkap
A : Terbatas pada otot atau organ asli
B : Infiltrasi keluar otot atau organ asli
Group II Tumor dapat direseksi (dengan sisa mikroskopis) dengan
atau tanpa penyebaran ke limfonodus
A : Lokal, residual mikroskopis, penyebaran limfonodus
negative
B : Regional , direksesi secara lengkap (keterlibatan
limfonodus positif atau negatif)
C : Regional dengan melibatkan limfonodus, dapat
direseksi secara luas tetapi dengan sisa mikroskopis
Group III Reseksi incomplete atau hanya biopsi dengan penyakit
sisacukup besar
Group IV Telah ada metastasis saat ditegakkan diagnosis
21

Staging berdasarkan sistem TNM10.

Stage I T1 Terlokalisasi (tumor <5cm)


N0 Tidak ditemukan keterlibatan
kelenjar regional
M0 tidak terdapat metastasis jauh
Stage II T2 Melibatkan satu atau lebih
jaringan atau organ yang
berdekatan (tumor >5cm
greatest dimension)
N0 Tidak ditemukan keterlibatan
kelenjar regional
M0 tidak terdapat metastasis jauh
Stage III T1/ T2 Melibatkan limfonodus
regional
N1 Regional lymph node
metastasis
M0 tidak terdapat metastasis jauh
Stage IV T1/T2 Metastasis
N0/N1 No regional lymph node
metastasis/Regional lymph
node metastasis
M1 Distant metastasis

2.4.6 Diagnosis

a. Anamnesis

Gejala yang muncul tergantung pada lokasi tumor primer dan adanya metastasis.

Keluhan yang paling banyak adalah adanya massa. Anemia dan perdarahan juga

kadang dikeluhkan oleh pasien20.

b. Pemeriksaan fisik

Pada saat pemeriksaan fisik teraba adanya massa yangg tidak nyeri. Temuannya

tergantung pada letak tumor primer dan metastasisnya. Bisa ditemukan adanya
22

proptosis mata, poliposis (telinga, hidung, vagina), hidung selalu berdarah,

gangguan saraf otak, rangsang meningen positif, sesak nafas, retensi urine, anemia,

dan perdarahan. Tumor superficial akan mudah teraba dan terdeteksi awal,

sedangkan tumor profundal bisa jadi membesar sebelum menimbulkan gejala20,21.


c.
Pemeriksaan penunjang22.

1) Pemeriksaan laboratorium

a) Darah

Pada pemeriksaan darah ditemukan adanya anemia akibat proses

inflamasi/pansitopenia juga dapat terlihat pada bone marrow

b) Tes fungsi hati (AST, ALT, level bilirubin)

Metastasis pada hati mempengaruhi nilai-nilai protein tersebut. Tes fungsi hati

harus dilakukan sebelum melakukan kemoterapi.

c) Tes fungsi ginjal

Pengukuran BUN dan kreatinin juga harus dilakukan sebelum melakukan

kemoterapi.

d) Urinalisis

Bila terjadi hematuria dapat mengidentifikasi terlibatnya saluran genitourinaria

dalam proses metastasis tumor

e) Elektrolit dan kimia darah

2) Pemeriksaan radiologi16.

a) Foto polos

Pada rontgen dada sangat membantu mengetahui adanya kalsifikasi dan

keterlibatan tulang dan untuk mengetahui apakah terdapat metastasis pada paru

paru
23

b) MRI

MRI dapat meningkatan kejelasan mengenai gambaran invasi tumor pada organ

tubuh

3) Pemeriksaan histopatologi (diagnosis pasti)18.

Pemeriksaan ini dapat membedakan 4 tipe rhabdomiosarkoma, yaitu

alveolar, embrional, pleimorfik, dan undifferentiated.

4) Pungsi lumbal19.

Pungsi lumbal dilakukan bila perlu saja, biasanya untuk pemeriksaan

sitologi.

5) Pemeriksaan sitogenetik22.

Pemeriksaan ini dilakukan dengan metode fluorescent in situ

hybdridization (FISH). Dengan FISH, pemeriksa bisa menilai ada tidaknya

translokasi yang berhubungan dengan diagnosis tipe alveolar.

6) RT PCR21.

PCR ini dilakukan bila pemeriksaan sitogenetik tidak memadai atau

kurang memuaskan. RT PCR bisa digunakan untuk menilai karakteristik translokasi

pada rhabdomiosarkoma alveolar20.

2.4.7 Tatalaksana

a. Operasi

Baik anak-anak maupun orang dewasa dengan rhabdomyosarcoma

dilakukan tindakan operasi guna mengangkat tumor dan harus dilakukan tanpa

menyebabkan kerusakan pada jaringan yang lain. Dalam tindakan operasi juga

perlu dilakukan biopsi pada limfonodi disekitar jaringan kanker untuk mengetahui
24

apakah sel kanker telah menyebar, terutama jika jaringan kanker berada dekat

dengan testis pada pria, pada lengan, dan juga kaki. Operasi yang dilakukan pada

daerah kepala dan leher membutuhkan tim dokter dari bagian telinga, hidung, dan

tenggorokan, dokter bedah plasrik, bedah maxillofacial, dan juga bedah saraf

karena ditakutkan jika jaringan tumor yang akan diangkat berukuran besar maka

akan memperngaruhi penampilan ataupun masalah lainnya24.

b. Kemoterapi

Pada pasien yang telah dilakukan tindakan operasi, dengan seluruh atau

sebagian jaringan tumor sudah terangkat, tetap dilakukan kemoterapi. jika tidak sel

kanker dapat muncul kembali atau bermetastasis ke tempat lain. Kemoterapi

berguna untuk membunuh sel- sel kanker yang dapat bermetastasis ke limfa nodus,

hepar, paru-paru, sumsum tulang, atau organ lainnya. Efek samping dari kemoterapi

diantaranya: hilangnya nafsu makan, kerontokan rambut, mual dan muntah,

peningkatan terjadinya infeksi, dan mudah terjadi memar dan perdarahan22.

c. Radiotherapy

Radioterapi menggunakan radiasi berenergi tinggi untuk membunuh

sel kanker. Radioterapi dapat digunakan pada sel kanker yang masih tertinggal

setelah dilakukan tindakan operasi. Radioterapi biasanya dilakukan 6-12 minggu

setelah kemoterapi. Efek samping dari radioterapi diantaranya dapat

mengakibatkan luka bakar ringan hingga sedang pada kulit. Jika radioterapi pada

daerah perut, pasien dapat merasakan mual, muntah, dan diare. Sindrom nervus

cranialis dapat timbul ketika terjadi metastasis pada tulang dasar tengkorak

sehingga dapat mengakibatkan keluhan nyeri pada bagian wajah, kelemahan,

kehilangan rangsang sensorik, perubahan suara, dan dysphagia. Metastasis ke


25

tulang tengkorak dapat mengakibatkan peningkatan tekanan intracranial, epilepsi,

dan hemiparesis. Hal ini dapat diterapi dengan radioterapi pada tulang tengkorak

dan penambahan dexametason24.

2.4.8 Rehabilitasi Medis

Tindakan operasi yang digabungkan dengan radioterapi merupakan

terapi pilihan pada pasien dengan rhabdomiosarcoma. Namun, pasien yang

menjalani radioterapi terkadang mengeluhkan kekakuan sendi dan lymphedema.

Kekakuan sendi dapat terjadi hingga 2 tahun post-treatmen. Oleh sebab itu maka

rehabilitasi pada pasien dengan rhabdomiosarcoma juga menjadi hal yang perlu

mendapat perhatian23.

Rehabilitasi post operasi pada pasien dengan rhabdomiosarcoma bertujuan

untuk memaksimalkan Range of Motion (ROM), kekuatan otot dan fungsinya.

Rehabilitasi ini sebaiknya dilakukan sesegera mungkin agar hasil yang didapatkan

juga lebih memuaskan23,24.

Penanganan secara psikologis dapat dilakukan intervensi pada

pasien dengan menjelaskan mengenai kemungkinan akibat dari operasi yang

berhubungan dengan kemampuan fungsi di kemudian hari. Pasien juga dapat

mengalami depresi dan anxietas berhubungan dengan keadaannya, oleh sebab itu

maka pendekatan psikologis sangat dibutuhkan. Terutama apabila terjadi

metastasis sehingga dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya depresi dan

distress23,24.
26

2.3.9 Prognosis

Prognosis pasien dengan rhabdomiosarcoma bergantung dari ukuran, asal

tumor, gambaran histologi. Pasien dengan ukuran tumor lebih kecil dari 5 cm

memiliki prognosis yang lebih baik daripada tumor dengan ukuran yang lebih besar.

Pasien yang telah mengalami metastasis juga memiliki prognosis lebih buruk

daripada yang belum bermetastasis25.

Berdasarkan staging penyakit, pasien pada group I memiliki survival rate

5 tahun sebesar 90%, pasien pada group II, kemampuan bertahan hidupnya

berkurang menjadi 80%, dan pasien pada group III memiliki kemampuan bertahan

hidup selama 5 tahun sebesar 70 %16.


BAB III
DIAGNOSIS BANDING RHABDOMIOSARKOMA

3.1 LIMFOMA MALIGNA

3.1.1 Definisi

Limfoma maligna adalah suatu penyakit keganasan primer dari jaringan

limfoid dan jaringan pendukungnya. Penyakit ini dibagi dalam 2 golongan besar

yaitu Limfoma Hodgkin dan Limfoma non hodgkin.

Sel ganas pada limfoma hodgkin berasal dari sel retikulum dengan

gambaran histologis yang dianggap khas adalah adanya sel Reed-Stemberg atau

variasinya yang disebut sel hodgkin. Limfosit limfosit yang merupakan bgian

integral poliferasi sel pada penyakit ini diduga merupakan manifestasi reaksi

kekebalan seluler terhadap sel-sel ganas tadi.

Sedangkan LNH pada dasarnya adalah sel limfosit yang berada pada salah

satu tingkat defernsiasinya dan berpoliferasi secara banyak

3.1.2 Epidemiologi

Limfoma maligna ditemukan diseluruh bagian dunia pada semua suku

bangsa dengan frekuensi yang berbeda-beda. Insiden limfoma maligna diberbagai

negara bervariasi antara 2-6 penderita per 100.000 penduduk.

Beberapa LNH mempunyai pola epidemiologi yang karakteristik. Limfoma

burkitt karakteristik terjadi pada anak-anak di Afrika Tengah walaupun beberapa

kasus dalam jumlah yang kecil dengan klinis yang berbeda-beda pernah dilaporkan

di Amerika Serikat.

27
28

Limfoma abdominal yang memproduksi fragmen Heavy chain of

immunoglobulin di daerah laut tengah, sedangkan di daerah lain hampir tidak

pernah ditemukan.

3.1.3 Etiologi

Penyebab yang pasti dari limfoma maligna masih belum diketahui dengan

jelas. Walaupun demikian bukti-bukti epidemiologi, serologi dan histologi

menyatakan bahwa faktor infeksi terutama infeksi virus diduga memegang peranan

penting sebagai etiologi

3.1.4 Gejala dan Klasifikasi

untuk menentukan prognosis dan respons terhadap pengobatan penderita

limfoma maligna selain menentukan stadium klinis juga harus ditentukan

klasifikasihistopatologinya.

IWF Raport Lukes & collins

*Low Grade Lymphoma

- small lymphocyte DLWD SL

- Folliculer, small cleaved cell NLPD SC-FCC

- Folliculer, mixed small cleaved NML SC-FCC; Lg C-Fcc

- Folliculer, mixed small cleaved

and large cell

*Intermediate Grade Lymphoma

-Folliculer, large cell NH Lg C; Lg NC-FCC

-Diffuse, small cleaved cell DLPD SC-FCC-D

DM SC-D; Lg C-D
29

-Diffuse, mixed (small and large DH LgC-Fcc-D; LgNC-Fcc-

cell) D

-Difuse, large cell

*High Grade

-Immunoblastik (large cell) Lymphoblastic Lb1 sarcoma

-Lymphoblastic Burkit Convulated T cell

-Small non cleaved cell SNC-FCC

Keterangan

DLWD =Diffuse Lymphocyte Well Differentiated

NLPD = Noduler Lymphocytic poorly Differentiated

DLPD = Diffuse Lymphocytic poorly Differentiated

DML = Diffuse Mixed Lymphoma

DHL = Diffuse Hitiocytic Lymphoma

DUL = diffuse Undifferentiated lymphoma

NML = Noduler mixed lymphoma

NH = Noduler Histiocytic

NC = Non cleaved

FCC = Folliculer centre cell

Lbl = Lymphoblastic

C = Cleaved

S = Small

Lg = Large

D = Diffuse
30

Gejala klinis meliputi keluhan – keluhan penderita dan gejala sistemik,

pembesaran kelenjar dan penyebaran ektra nodal. Pembesaran kelenjar getah

bening merupakan keluhan utama sebagian besar penderita limfoma maligna yaitu

56,1%. Urutan kelenjar getah bening yang paling sering terkena adalah kelenjar

servikal (78,1%), kelenjar inguinal (65,6%), kelenjar aksiler (46,6%), kelenjar

mediastinal (21,8%), kelenjar mesenterial (6,2%). Penyebaran extra nodal yang

paling sering dijumpai adalah ke hepar, pleura, paru-paru dan sum-sum tulang.

Penyebaran yang jarang tapi pernah dilaporkan adalah ke kulit, kelenjar prostat,

mammae, ginjal, kandung kencing, ovarium, testis, medula spinalis serta traktus

digestivus.

Ukurannya bervariasi, mungkin akan berikatan dengan jaringan ikat tapi mudah

digerakkan dibawah kulit. Pada jenis yang ganas dan pada penyakit yang sudah

stadium lanjut sering dijumpai gejala sistemik.

3.1.5 Stadium Klinis Limfoma Maligna

Untuk menentukan stadium penyakit atau menentukan luasnya penyebaran

penyakit dipakai staging menurut simposium penyakit Hodgkin di Ann Arbor yaitu

Rye staging yang disempurnakan oleh kelompok dari Stanford University yang

ditetapkan pada simposium tersebut.

Stadium klinik dari limfoma maligna menurut ANN Arbor

Stadium Kelenjar – organ yang terserang


31

I I Tumor terbats pada kelenjar getah bening di satu regio

IE Bila mengenai satu organ ekstralimfatik/ektranodal

II II Tumor mengenai dua kelenjar getah bening di satu sisi

diafragma

IIE Satu organ ekstra limfatik disertai kelenjar getah bening

di dua sisi diafragma

IIS Limpa disertai kelenjar getah bening di satu diafragma

IIES Keduanya

III III Tumor mengenai kelenjar getah bening di dua sisi

diafragma

IIIE Satu organ ekstralimfatik disertai kelenjar getah bening

di dua sisi diafragma

IIIS Limpa disertai kelenjar getah bening di dua sisi

diafragma

IIIES Keduanya

IV IV Penyebaran luas pada kelenjar getah bening dan organ

ekstralimfatik

Masing-masing stadium masih dibagi lagi menjadi dua subklasifikasi A dan B

A. Bila tanpa keluhan

B. Bila terdapat keluhan sistemik sebagi berikut:

- Panas badan yang tidak jelas sebabnya, kumat-kumatan dengan suhu

diatas 38oC

- Penurunan berat badan lebih dari 10% dalam kurun waktu 6 bulan
32

- Keringat malam dan gatal-gatal

3.1.6 Patogenesis

Pada sebuah penelitian Lukes mengeluarkan kelenjar getah bening regional

beberapa hari setelah vaksinasi cacar. Temyata folikel-folikel dalam kelenjar getah

bening regional akan membesar. Di samping itu jumlah sel besar ("blast — like"

cells) dalam centrum germinativum akan amat meningkat hingga sebagian dari

folikel-folikel ini penuh berisi sel-sel limfoblast yang besar tadi.Juga dalam daerah

paracortex akan ditemukan. kenaikan jumlah sel-sel yang bentuknya menyerupai

limfoblast tadi. Berdasarkan data di atas Lukes membuat suatu teori mengenai

urutan transformasi limfosit bila ada rangsangan antigen .Bila ada rangsangan

antigen makal imfosit-limfosit B dalam kelenjar getah bening akan bertransformasi

menjadi sel yang intinya melekuk ( "cleaved cells"). Sel "cleaved" yang kecil ini

kemudian akan membesar dan memiliki sejumlah sitoplasma yang berwarna biru.

Lukes menamakannya "large cleaved cells " dan menganggap kejadian ini sebagai

stadium ke—2 dari proses transformasi limfosit B. Pada stadium ke—3 lekukan

pada inti sel tadi akan meng hilang, inti sel berubah menjadi bulat dan tampak

adanya anak inti. Sel yang dinamakannya "small non cleaved cells' ini mempunyai

sitoplasma lebih besar dari sel pada stadium 2 "Small non—cleaved cells" ini akan

membesar lagi hingg; diameternya mencapai 4—5 kali semula. Sel yang dinamakan

"large non—cleaved cells " ini mempunyai inti yang jelas dan sitoplasma yang

besar serta berwarna biru tua. Stadium 1 sampai dengan 4 ini terjadi dalam centrun

germinativum sel folikel. Sel-sel pada stadium 1 s/d 3 tak banyak mengalami mitosi

sedangkan sel-sel "large non—cleaved " aktif bermitosis. Sel "large non—cleaved"
33

ini kemudian akan keluar dai folikel dan masuk ke dalam daerah paracortex. Di sini

sel tersebut akan bertransformasi menjadi sel yang mempunyai sitoplasma besar,

biru tua dan beranak inti besar biasanya hanya sebuah. Sel yang tersebut terakhir

ini dinamakan imunoblast. Imunoblast kemudian akan berubah menjadi

"plasmablast" yang selanjutnya berubah menjadi sel plasma. Sel plasmalah yang

kemudian membuat imunoglobulin (antibodi). Apabila ada antigen masuk ke dalam

tubuh kita maka limfosit T juga akan bertransformasi menjadi imunoblast. Secara

morfologik amat sukar untuk membedakan imunoblast T dan imunoblast B.

Perbedaan antara proses transformasi pada limfosit T dan B adalah bahwa, pada

limfosit T, proses ini tidak melampaui ke—4 stadium diatas, serta imunoblast T

tidak bertransformasi lebih lanjut menjadi sel plasma. Sedangkan pada limfosit B,

rangsangan antigen menyebabkan transformasi sel yang akhirnya menghasilkan

sel-sel plasma. Sel plasma inilah yang membentuk antibodi ("reaksi immunitas

humoral"). Penerapan pemeriksaan imunologik pada kelenjar-kelenjar getah bening

menunjukkan bahwa sel besar yang terdapat pada centrum germinativum adalah

limfosit B semata-mata. Di samping itu limfosit-limfosit B dari centrum

germinativum mempunyai kekhususan yakni memiliki reseptor yang kuat terhadap

komplemen, di samping memiliki imunoglobulin pada permukaan sel (surface

immunoglobulin). Sel plasma yang merupakan produk akhir dari limfosit B tidak

lagi memiliki imunoglobulin pada permukaan selnya. Selsel ini juga tidak memiliki

reseptor terhadap komplemen, namun sebaliknya ia memiliki imunoglobulin

intraseluler (intracytoplasmic immunoglobulin). Di antara kedua stadium ini

terdapat stadium pro—sel plasma yang hanya memiliki imunoglobulin pada

permukaan sel tanpa memiliki reseptor pada komplemen. Di antarastadium pro—


34

sel plasma dan limfosit (B) dari centrum germinativum ada lagi suatu stadium

dengan sifat imunologik tertentu pula. Sebelum limfosit B menjadi limfosit centrum

germinativum, ia harus melalui beberapa stadium, antara lain stadium pro—limfosit

B (pre—B limphocyte)dsb. Semua stadium ini telah diketahui sifat-sifat

imunologiknya.

Para ahli hematologi di pusat-pusat penelitian ' yang besar, kemudian

melakukan pemeriksaan sitologik (cleaved cells, dsb) dan imunologik (ada tidaknya

imunoglobulin pada permukaan selnya, dsb) dari sel kanker kelenjar getah bening.

Salah seorang yang mempunyai pengalaman cukup banyak adalah Habishaw dari

Inggris yang telah melakukan pemeriksaan yang cermat pada 157 penderita kanker

kelenjar getah bening jenis non—Hodgkin. Dari penelitiannya Habeshaw melihat

bahwa sel-sel (imfoma malignum ini ternyata pada umumnya dapat dibagi dalam 3

golongan besar : Golongan yang sel-selnya mempunyai sifat morfologik maupun

imunologik dari salah satu atau beberapa stadium sel centrum germinativum (small

cleaved,large cleaved,dsb) Golongan yang sel-selnya mempunyai sifat morfologik

maupun imunologik dari salah satu atau beberapa stadium "post follicular"

(immunoblast, proplasma cells, plasma cells,memory B cells). Golongan yang sel-

selnya mempunyai sifat morfologik maupun imunologik dari salah satu atau

beberapa stadium "pre—follicular" (pre—B limphocyte, dsb). Pemeriksaan

semacam di atas juga menunjukkan bahwa semua sel kanker limfoma malignum

yang berasal dari limfosit B selalu mempunyai sifat monoklonal. Maksudnya, ada

limfoma malignum yang terdiri dari limfosit B pembentuk imunoglobulin M—

kappa, ada yang terdiri dari limfosit B pembentuk imunoglobulin M—lamda, G—

kappa, G—lamda dan seterusnya. ara peneliti lain kemudian dapat menunjukkan
35

bahwa frekuensi limfoma malignum pada penderita-penderita pe-nyakit

imunologik jauh lebih tinggi dari pada mereka yang tidak menderita penyakit ini,

bahkan ada yang cenderung untuk mengatakan bahwa sebagian besar penderita-

penderita penyakit Syorgen akan berubah menjadi penderita limfoma malignum.

Kelainan kromosom (terutama kromosom 14) yang didapat pada penyakit defisiensi

imunologik ternyata juga ditemukan pada sel-sel limfoma malignum. Data-data di

atas menyebabkan sebagian besar peneliti beranggapan bahwa penyakit limfoma

malignum (non— Hodgkin) sebenarnya hanyalah suatu reaksi imunologik yang

abnormal semata-mata. Jauh sebelum adanya hasil-hasil penelitian di atas

sebenarnya Salmon dan Saligman (1974) telah mengajukan hipotesa di atas. Hasil

penelitian lebih lanjut ternyata banyak menyokong hipotesa kedua ahli ini. Salmon

dan Saligman berpendapat bahwa penyakit limfoma malignum ini diaklbatkan oleh

suatu "oncogenic event" terhadap sekelompok limfosit B yang bereaksi terhadap

suatu antigen asing. Oncogenic event ini menyebabkan terjadinya hambatan

transformation pada salah satu stadium transformasi sel limfosit B. Karena

stimulasi antigen ini tetap ada, sedangkan limfositlimfosit B tadi tak dapat

membentuk antibodi yang diperlukan karena transformasinya terhenti sebelum

menjadi sel plasma: reaksi imunologik ini akan terus menerus berlangsung.

Akibatnya terjadilah penimbunan sel-sel limfosit B pada salah satu (atau beberapa)

stadium transformasinya. Karena proliferasi sel ini disebabkan stimulasi suatu

antigen "tertentu" maka limfosit B yang bertransformasi hanya limfosit B yang

"bersangkutan" pula. Oleh karena itu pada penyakit limfoma malignum selalu

didapat sel B yang monoklonal (immunoglobulin M—kappa, M—lamda, G—

kappa dst.)
36

3.1.7 Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis Limfoma maligna diperlukan berbagai

macam pemeriksaan, disamping untuk memastikan penyakitnya juga untuk

menentukan jenis histopatologinya maupun staging penderita

Stadium klinis

Pemeriksaan-pemeriksaan yang diperlukan untuk menentukan stadium klinik

adalah:

1. Anamnesa mengenai keluhan pembesaran kelenjar dan keluhan sistemik

berupa demam, penurunan berat badan, keringat malam dan gatal-gatal.

Penderita tanpa keluhan masuk dalam subklasifikasi A, sedangkan bila

disertai keluhan sistemik masuk dalam subklasifikasi B dari Ann Arbor.

2. Pemeriksaan fisik dengan mencari adanya pembesaran kelenjar getah

bening diseluruh tubuh, cincin waldeyer, pembesaran organ ekstra limfatik

yang sering terjadi pada limfoma non hodgkin

3. Biopsi kelenjar getah bening untuk menentukan apakah penderita LH atau

LNH.

4. Pemeriksaan radiologi meliputi foto dada PA/ lateral, tomografi

mediastinum, limfografi kedua tungkai bawah.

5. Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan darah lengkap, tes faal hati

termasuk alkali fosfatase dan elektroforese protein, tes faal ginjal termasuk

urin lengkap, BUN, serum kreatinin, asam urat dan elektrolit namun

semuanya pemeriksaan ini tidak spesifik


37

3.2 NEUROBLASTOMA

3.2.1 Definisi

Neuroblastoma adalah tumor embrional dari sistem saraf otonom yang mana

sel tidak berkembang sempurna. Neuroblastoma umumnya terjadi bayi usia rata-

rata 17 bulan. Tumor ini berkembang dalam jaringan sistem saraf simpatik,

biasanya dalam medula adrenal atau ganglia paraspinal, sehingga menyebabkan

adanya sebagai lesi massa di leher, dada, perut, atau panggul. Insiden

neuroblastoma adalah 10,2 kasus per juta anak di bawah 15 tahun. Yang paling

umum kanker didiagnosis ketika tahun pertama kehidupan41.

Neuroblastoma merupakan tumor lunak, padat yang berasal dari sel-sel

crest neuralis yang merupakan prekusor dari medula adrenal dan sistem saraf

simpatis. Neuroblastoma dapat timbul di tempat terdapatnya jaringan saraf

simpatis. Tempat tumor primer yang umum adalah abdomen, kelenjar adrenal atau

ganglia paraspinal toraks, leher dan pelvis. Neuroblastoma umumnya bersimpati

dan seringkali bergeseran dengan jaringan atau organ yang berdekatan42.

Neuroblastoma adalah tumor padat ekstrakranial pada anak yang paling

sering, meliputi 8-10% dari seluruh kanker masa knak-kanak, dan merupakan

neoplasma bayi yang terdiagnosis adalah 2 tahun, 90% terdiagnosis sebelum 5

tahun. Neuroblastoma berasal dari sel krista neuralis sistem saraf simpatis dan

karena itu dapat timbul di manapun dari fossa kranialis posterior sampai koksik.

Sekitar 70% tumor tersebut timbul di abdomen, 50% dari jumlah itu di kelenjar

adrenal. Dua pulu persen lainnya timbul di toraks, biasanya di mediastinum

posterior. Tumor itu paling sering meluas ke jaringan sekitar dengan invasi lokal

dan ke kelenjar limfe regional melalui nodus limfe. Penyebaran hematogen ke


38

sumsum tulang, kerangka, dan hati sering terjadi. Dengan teknik imunologik sel

tumor dapat dideteksi dalam darah tepi pada lebih dari 50% anak pada waktu

diagnosis atau relaps. Penyebaran ke otak dan paru pada kasus jarang43.

Neuroblastoma adalah tumor ganas yang berasal dari sel Krista neurak

embronik, dapat timbul disetiap lokasi system saraf simpatis, merupakan tumor

padat ganas paling sering dijumpai pada anak. Insiden menempati 8% dari tumor

ganas anak, atau di posisi ke-4. Umumnya ditemukan pada anak balita, puncak

insiden pada usia 2 tahun. Lokasi predeileksi di kelenjar adrenal retroperitoneal,

mediastrinum, pelvis dan daerah kepala-leher. Tingkat keganasan neuroblastoma

tinggi, sering metastasis ke sumsum tulang, tulang, hati, kelenjar limfe, dll 44.

Tumor ini biasanya tidak memungkiri asalnya, dengan mengeluarkan

hormon katekolamin. Tekanan darah tinggi yang merupakan akibat tumor ini jarang

menimbulkan keluhan, tetapi dapat berfungsi sebagai zat penanda tumor: di dalam

air kemih dapat dilihat hormon yang dikeluarkan, sehingga diagnosis tumor

menjadi jelas. Dengan dapat dipastikan, apakah tumornya neuroblastoma atau

nefroblastoma45.

3.2,2 Etiologi

Kebanyakan etiologi dari neuroblastoma adalah tidak diketahui. Ada

laporan yang menyebutkan bahwa timbulnya neuroblastoma infantile (pada anak-

anak) berkaitan dengan orang tua atau selama hamil terpapar obat-obatan atau zat

kimia tertentu seperti hidantoin, etanol, dll44.

Kelainan sitogenik yang terjadi pada neuroblastoma kira-kira pada 80%

kasus, meliputi penghapusan (delesi) parsial lengan pendek kromosom 1, anomali


39

kromosom 17, dan ampifilatik genomik dari oncogen N-Myc, suatu indikator

prognosis buruk43.

Beberapa faktor resiko yang berpengaruh terhadap kemunculan dari

neuroblastoma adalah sebagai berikut46:

 Gaya Hidup

Gaya hidup yang berhubungan dengan faktor risiko seperti berat

badan, aktivitas fisik, diet, dan penggunaan tembakau memainkan peran

utama dalam kanker dewasa. Namun faktor-faktor ini biasanya memakan

waktu bertahun-tahun untuk mempengaruhi risiko kanker, dan dapat

berpengaruh banyak peran dalam kanker pada anak, termasuk

neuroblastoma. Tidak ada faktor lingkungan (seperti eksposur selama

kehamilan ibu atau pada awal masa kanak kanak) diketahui dapat

meningkatkan kesempatan untuk mendapatkan neuroblastoma.

 Usia

Neuroblastoma paling sering terjadi pada anak-anak yang sangat

muda, tetapi hal ini sangat jarang terjadi pada orang di atas usia 10 tahun.

 Keturunan

Pada sekitar 1% sampai 2% dari semua neuroblastomas, anak

mungkin telah mewarisi peningkatan risiko terjadinya neuroblastoma.

Namun mayoritas dari neuroblastomas tampaknya tidak diwariskan. Anak-

anak dengan bentuk keluarga dari neuroblastoma (mereka yang memiliki


40

kecenderungan diwariskan kepada mengembangkan kanker ini) biasanya

datang dari keluarga dengan satu atau lebih anggota yang terkena dampak

yang memiliki neuroblastoma saat bayi. Usia rata-rata pada diagnosis kasus

keluarga adalah awal dari usia untuk sporadis (tidak mewarisi) kasus. Anak-

anak dengan neuroblastoma keluarga dapat berkembang 2 atau lebih dari

kanker ini di berbagai organ (misalnya, dalam kedua kelenjar adrenal atau

lebih dari satu ganglion simpatik).

Sangatpenting untuk membedakan neuroblastomas yang dimulai di

lebih dari satu organ dari neuroblastomas yang telah dimulai pada satu organ

dan kemudian menyebar ke orang lain (metastasis neuroblastomas). Ketika

tumor berkembang di beberapa tempat sekaligus itu menunjukkan suatu

bentuk familial yang mungkin berarti bahwa anggota keluarga yang lain

harus mempertimbangkan konseling genetik dan pengujian. Metastasis

dapat terjadi dengan baik.

3.3.3 Epidemiologi

Neuroblastoma adalah tumor yang paling umum pada bayi dan anak,

mewakili 6% sampai 10% dari semua kanker pada anak dan 15% dari semua

penyebab kematian anak akibat kanker di Amerika Serikat44. Sekitar 600 kasus baru

didiagnosa setiap tahun di Amerika Serikat, sekitar 8-10% dari keganasan pada

anak dan sepertiga pada bayi. Neuroblastoma menyumbang lebih dari 15% dari

kematian akibat kanker pada anak-anak. Usia rata-rata anak-anak di diagnosis

neuroblastoma adalah 22 bulan, dan 90% dari kasus yang didiagnosis pada usia 5

tahun. Meskipun penelitian ilmu yang luas sedang berlangsung secara klinis dan
41

dasar, neuroblastoma tetap tumor misterius dengan etiologi tidak diketahui dan

perjalanan klinis tidak terduga44.

3.3.4 Patofisiologi

Neuroblastomas timbul dari primordial sel pial neural, yang bermigrasi

selama embriogenesis untuk membentuk medula adrenal dan ganglia simpatik.

Sebagai Hasilnya, neuroblastomas terjadi di medula adrenal atau di mana saja

sepanjang simpatik ganglia, terutama di retroperitoneum dan mediastinum

posterior. Nomenklatur luas neuroblastomas didasarkan pada spektrum diferensiasi

selular. Neuroblastoma merupakan tumor yang ganas dan buruk, sedangkan

ganglioneuroma merupakan tumor yang jinak dan tidak berbahaya.

Ganglioneuroblastoma mewakili keduanya karena memiliki diferensiasi buruk dari

neuroblasts dan sel ganglion matang47.

 Histologi

Neuroblastoma terdiri dari neuroblasts kecil mature, sel seragam

padat, inti dan sitoplasma yang sedikit hyperchromati. Diferensiasi sel

memiliki penampilan sel ganglion lebih matang dengan baik didefinisikan

dan nukleolus eosinofilik sitoplasma44. Banyaknya neuropil juga

merupakan ciri khas dari pembedaantumor. Klasifikasi Shimada telah

banyak digunakan untuk mengkarakterisasi dan memprediksi perilaku

tumor, dengan mempertimbangkan usia pasien bersama dengan fitur

histologis seperti tingkat schwannian stroma, diferensiasi selular, dan

indeks mitosis-karyorrhexis45.
42

Klasifikasi Shimada diubah pada tahun 1999 sebagai Klasifikasi

Internasional dari Patologi Neuroblastoma, berguna untuk memprediksi

perilaku biologis dan prognosis tumor44. Indikator prognosis yang

menguntungkan adalah usia kurang dari 1 tahun, klinis tahap 1, 2,

nonamplification 4S, dan N-myc. Faktor prognosis baik lainnya adalah

diferensiasi dan indeks mitosis karyorrhexis yang rendah (Didefinisikan

sebagai kurang dari 100 mitosis atau sel karyorrhectic per 5000 sel)45.

 Sitogenetik

Kelainan sitogenetika telah diidentifikasi di neuroblastoma. Di

beberapa hal tertentu, hilangnya heterzygosity (LOH) pada kromosom 1

(wilayah penghapusan 1p36) terjadi pada lebih dari 70% dari tumor . Cacat

ini sangat berkorelasi dengan amplifikasi N-myc dan prognosis tidak

menguntungkan. Penghapusan kromosom 11q dan 14q juga umum

ditemukan di neuroblastoma. Laporan terbaru menunjukkan bahwa LOH

1p36 dan LOH 11q yang tidak seimbang terkait dengan hasil buruk pada

pasien yang memiliki neuroblastoma, menunjukkan penambahan

sitogenetika ini sebagai penanda untuk variabel prognostik, yang saat ini

digunakan44,45.

Meskipun fitur kromosom umum neuroblastoma menunjukkan

keberadaan gen penekan tumor, namun hal tersebut tidak ditemukan hingga

sekarang. Selain itu, DNA indeks neuroblastomas berkorelasi dengan

chemosensitivity dan prognosis keseluruhan. Kehadiran hyperdiploid

konten DNA dikaitkan dengan stadium tumor awal dan peningkatan


43

prognosa. Tumor dengan konten diploid DNA yang ditemukan pada

sekitardua pertiga dari stadium lanjut neuroblastomas dan sering resisten

terhadap pilihan kemoterapi47.

3.3.5 Manifestasi Klinis

Neuroblastoma dapat menyerang setiap situs jaringan sistem saraf simpatik.

Sekitar setengah dari tumor neuroblastoma timbul di kelenjar adrenal, dan sebagian

besar sisanya berasal dari ganglia simpatis paraspinal. Metastaseditemukan lebih

sering pada anak pada usia > 1 tahun dari saat di diagnosis, terjadi melalui invasi

lokal, hematogen, atau limfogen. Organ yang paling umum dituju oleh proses

metastasis ini adalah kelenjar getah bening regional atau yang jauh, tulang panjang

dan tengkorak, sumsum tulang, hati, dan kulit. Metastasis ke paru-paru dan otak

jarang terjadi, terjadi pada kurang dari 3% kasus47.

Neuroblastoma dapat menyerupai gangguan lain sehingga sulit untuk

mendiagnosa. Tanda-tanda dan gejala dari neuroblastoma mencerminkan lokasi

tumor dan luasnya penyakit. Proses Metastasis dapat menyebabkan berbagai tanda

dan gejala, termasuk demam, iritabel, kegagalan dalam amsa berkembang, nyeri

tulang, sitopeni, nodul kebiruan pada subkutan , proptosis orbital, dan ekimosis

periorbital. Penyakit lokal dapat bermanifestasi sebagai massa asimptomatik atau

sebagai gejala yang muncul terkait massa, termasuk kompresi sumsum tulang

belakang, obstruksi usus, dan sindrome vena cava superior48.


44

Gambar 3.12 Metastase periorbital dari neuroblastoma dengan proptosis


dan ekimosis46.

Menurut Cecily & Linda, gejala dari neuroblastoma yaitu: a) Gejala yang

berhubungan dengan massa retroperitoneal, kelenjar adrenal, paraspinal42.

1. Massa abdomen tidak teratur,tidak nyeri tekan, keras, yang melintasi garis

tengah.

2. Perubahan fungsi usus dan kandung kemih

3. Kompresi vaskuler karena edema ekstremitas bawah

4. Sakit punggung, kelemahan ekstremitas bawah

5. Defisit sensoris

6. Hilangnya kendali sfingter

b) Gejala-gejala yang berhubunngan dengan masa leher atau toraks.

1. Limfadenopati servikal dan suprakavikular

2. Kongesti dan edema pada wajah

3. Disfungsi pernafasan

4. Sakit kepala

5. Proptosis orbital ekimotik


45

6. Miosis

7. Ptosis

8. Eksoftalmos

9. Anhidrosis

Menurut Willie manifestasi klinis dari neuroblastoma berbeda tergantung

dari lokasi metastasenya44:

o Neuroblastoma retroperitoneal

Massa menekan organ dalam abdomen dapat timbul nyeri abdomen,

pemeriksaan menemukan masa abdominal yang konsistensinya keras dan nodular,

tidak bergerak, massa tidak nyeri dan sering melewati garis tengah. Pasien stadium

lanjut sering disertai asites, pelebaran vena dinding abdomen, edema dinding

abdomen.

o Neurobalstoma mediastinal

Kebanyakan di paravertebral mediastinum posterior, lebih sering di

mediastinum superior daripada inferior. Pada awalnya tanpa gejala, namun bila

massa besar dapat menekan dan timbul batuk kering, infeksi saluran nafas, sulit

menelan. Bila penekanan terjadi pada radiks saraf spinal, dapat timbul parastesia

dan nyeri lengan.

o Neuroblastoma leher

Mudah ditemukan, namun mudah disalahdiagnosis sebagai limfadenitis

atau limfoma maligna. Sering karena menekan ganglion servikotorakal hingga

timbul syndrome paralisis saraf simpatis leher(Syndrom horner), timbiul miosis

unilateral, blefaroptosis dan diskolorasi iris pada mata.

o Neuroblastoma pelvis
46

Terletak di posterior kolon presakral, relative dini menekan organ

sekitarnya sehingga menimbulkan gejala sembelit sulit defekasi, dan retensi urin.

o Neuroblastoma berbentuk barbell

yaitu neuroblastoma paravertebral melalui celah intervertebral ekstensi ke

dalam canalis vertebral di ekstradural. Gejala klinisnya berupa tulang belakang

kaku tegak, kelainan sensibilitas, nyeri. Dapat terjadi hipomiotonia ekstremitas

bawah bahkan paralisis.

Gambar 3.13. Manifestasi Klinis Neuroblastoma48.

Karena neuroblastomas paling banyak terjadi di retroperitoneum atau

posterior mediastinum, gejala awal biasanya tidak spesifik (malaise umum, berat

badan menurun, demam yang tidak jelas). Intra-abdominal neuroblastomas sering

hadir sebagai maasa asimptomatik yang terdeteksi secara kebetulan oleh orang tua
47

atau dokter anak selama kunjungan klinik rutin. Tumor panggul dapat

memampatkan rectosigmoid usus atau kandung kemih, sehingga terjadi sembelit

atau retensi urin48.

Secara khusus, neuroblastoma toraks biasanya hadir dengan gejala

nonspesifik dan terdeteksi sebagai massa insidental pada rontgen dada rutin yang

diambil karena adanya gangguan nafas ringan. Perdarahan spontan dapat terjadi

pada tumor, sehingga onset akut nyeri perut dengan malaise karena anemia. Pada

pemeriksaan, massa yang relatif tetap dalam perut mungkin teraba. Metastasis

hematogen sering hadir pada saat diagnosis49.

Nyeri tulang dengan perubahan yang cepat dalam tingkat aktivitas dapat

meramalkan tulang metastasis. Periorbital ecchymosis atau proptosis sebagai akibat

keterlibatan tengkorak dapat menimbulkan kekeliruan yang dikaitkan dengan

trauma. Nyeri lebam dengan warna kebiruan yang berbeda pada bayi yang memiliki

penyakit stadium 4S disebut blueberry muffin dan menunjukkan kondisi yang

menguntungkan dengan potensi tumor regresi secara spontan (American Cancer

Society, 2012).Massa serviks yang kronis pada bayi dan anak, limfadenopati rutin,

dapat mewakili primer atau metastasis neuroblastoma. Sebuah tumor paraspinal

melalui foramina vertebralis dan kompresi sumsum tulang belakang,

menghasilkanmotorik defisit dan paraplegia progresif47.

Syndromes

Pada kesempatan langka, pasien yang memiliki neuroblastoma dapat hadir dengan

paraneoplastic sindrom. Opsomyoclonus ditandai dengan gerakan anggota badan

yang menyentak dan cepat, serta gerakan mata yang tak terarah. Gejala-gejala ini
48

secara klasik digambarkan sebagai "mata menari, menari kaki "dan dianggap

sebagai hasil dari respon cerebellar untuk antibodi,sering terlihat di tahap awal

tumor, biasanya bertahan meskipun pengobatan terhadap tumor berhasil, sehingga

terjadi keterlambatan perkembangan. Dehidrasi dan hipokalemia akibat diare

sekretorik adalah ciri gejala vasoaktif neuroblastoma mensekresi usus polipeptida.

Secara umum, sindrom ini terjadi lebih umum dengan ganglioneuroblastoma dan

ganglioneuroma, dan gejala hilang setelah reseksi tumor45.

3.2.6 Stadium

Beberapa system penentuan stadium staging, sistem kelompok evans dan

kelompok Onkologi Pediatrik (Pediatrik Oncology Group POG ). Sistem klasifikasi

stadium neuroblastoma terutama memakai sistem klasifikasi stadium klinis

neuroblastoma internasional (INSS)47.

Stadium Karakteristik

Stadium 1 Tumor terbatas pada organ primer, secara makroskopik reseksi

utuh, dengan atau tanpa residif mikroskopik. Kelenjar limfe

Stadium 2A regional ipsilateral negatif.

Operasi tumor terbatas tak dapat mengangkat total, kelenjar

Stadium 2B limfe regional ipsilateral negatif

Operasi tumor terbatas dapat ataupun tak dapat mengangkat

Stadium 3 total, kelenjar limfe regional ipsilateral positif

Tumor tak dapat dieksisi, ekspansi melewati garis tengah,

dengan atau tanpa kelenjar limfe regional ipsi atau tanpa kelenjar

Stadium 4 limfe regional ipsilateral positif


49

Tumor primer menyebar hingga kelenjar limfe jauh, tulang,

Stadium 4S sumsum tulang, hati, kulit atau organ lainnya

Usia <1 tahun, tumor metastasis ke kulit,hati, sumsum tulang,

tapi tanpa metastasis tulang

Tabel 1. Klasifikasi Stadium INSS49.

System Pediatric Oncologic group (POG) membagi stadium neuroblastoma

menjadi47:

o Stadium A

Tumor yang direseksi sacara kasar.

o Stadium B

Tumor local tidak direseksi.

o Stadium C

Metastasis ke kelenjar limfe intraktivita yang tidak berdekatan

o Stadium D

Metastasis di luar kelenjar limfe

o Stadium Ds

Bayi dengan adrenal kecil terutama dengan penyakit metastasis terbatas pada kulit,

hati dan sumsum tulang

o Stadium D Neonatus

Telah diketahui dengan mengalami remisi spontan. Keterlibatan sumsum tulang

pada stadium ini merupakan factor prognosis yang buruk46.


50

3.2.7 Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan diagnostik pada neuroblastoma menurut Suriadi dan Rita

antara lain45:

a) Foto abdomen bisa memperlihatkan klasifikasi tumor. Tumor adrenalis

menggeser ginjal, tetapi biasanya tidak merubah system pelvicalyces pada urogram

intravena atau pemeriksaan ultrasonografi.

b) Peningkatan kadar kartekolamin urina (VMA dan VA) mengkonfirmasi

diagnosis pada 90% kasus dan juga merupakan indicator rekuensi yang sensitive.

Kadang-kadang timbul metastasis tulang.

c) CT Scan untuk mengetahui keadaan tulang pada tengkorak, leher, dada dan

abdomen.

d) Punksi sumsum tulang untuk mengetahui lokasi tumor atau metastase tumor.

e) Analisa urine untuk mengetahui adanya Vanillymandelic acid (VMA)

homovillic acid (HVA), dopamine, norepinephrine.

f) Analisa kromosom untuk mengetahui adanya gen N myc.

g) Meningkatnya ferritin, neuron spesific enolase (NSE), ganglioside (GDZ).

3.2.8 Radioterapi

Secara umum, neuroblastoma dianggap radiosensitive. Ada sedikit manfaat

radioterapi untuk tahap 1 dan 2 tumor meskipun ada sisa45. Radioterapi,

bagaimanapun, telah terbukti mengurangi tingkat kekambuhan lokal untuk

neuroblastomas resiko tinggi. Iradiasi lokal ke hati ditunjukkan pada bayi yang

memiliki neuroblastoma stadium 4S dan gangguan pernapasan akibat

hepatomegali46.
51

Iradiasi lesi intraspinal kurang ideal karena seiring kerusakan tubuh

vertebral mengakibatkan hambatan pertumbuhan dan scoliosis. Kombinasi

radioterapi dan kemoterapi telah digunakan baru-baru ini untuk stadium lanjut

penyakit untuk meningkatkan resectability. Penggunaan lain dari radioterapi untuk

radiasi total tubuh, untuk mencapai ablasi sumsum tulang sebelum transplantasi

sumsum. Target MIBG pengobatan, digunakan secara luas di Eropa, menunjukkan

manfaat dalam pengobatan stadium lanjut neuroblastomas sebagai lini pertama

terapi dan untuk neuroblastomas refraktori, Namun, sejumlah komplikasi seperti

terjadinya keganasan sekunder dan tiroid disfungsi telah dilaporkan45.

Neuroblastoma resiko tinggi terus menunjukkan respon yang jelek untuk

modalitas pengobatan gabungan dan tetap sulit bagi kelompok tumor untuk

mencapai kontrol lokal. Baru-baru ini, agresif bedah pengobatan dengan iradiasi

lokal dan kemoterapi myeloablative dengan penyelamatan sel induk telah

menunjukkan kontrol lokal yang sangat baik di neuroblastomas resiko tinggi.

3.3 SARKOMA

Istilah jaringan lunak menuju pada jaringan penyangga ekstraskeletal selain

tulang yang terdiri dari 50 % berat badan manusia. Termasuk didalamnya adalah

otot, tendon, lemak, fascia, dan sinovium, serta tak ketiinggalan system saraf tepi.1

Setiap tumor ganas yang terjadi pada jaringan lunak disebut sebagai

sarkoma jaringan lunak. Sarkoma jaringan lunak tergolong keganasan yang relative

jarang ditemukan. Di Amerika, angka kejadian 7800 kasus baru per tahun dan

hampir 50% meninggal akibat penyakit tersebut.2 Dari semua jenis kanker yang

ada, insiden kanker ini 2 dari 100.000,mendekati angka 1%.3,4,5. Sarkoma jaringan
52

lunak dapat timbul di semua usia, tetapi sering ditemukan pada kelompok usia 30-

35 tahun. Statistik RS Kanker Univ. Sun Yat Sen, selama 10 tahun terakhir

menunjukkan kasus berusia 35 tahun ke atas menempati sekitar 63,3%, pria

dibanding wanita 2-3 : 1.6

Sarkoma jaringan lunak dapat terjadi di semua bagian tubuh, presileksi

tersering ada di akstremitas (59%), torso (19%), retroperitoneum (13%), kepala dan

leher (9%) 3,6,7

Gambar 3.14 Site-specific histopathologic subtype distribution of 3336 patients

with soft tissue sarcoma treated at Memorial Sloan-Kettering Cancer Center from

July 1, 1982, through June 30, 2002. MFH, malignant fibrous histiocytoma; MPNT,

malignant peripheral nerve tumor.5

Jenis sarkoma jaringan lunak sangat banyak, selain dapat dibagi menurut

jenis jaringan asalnya, dengan ditambah dengan akhiran “ -sarkoma”, untuk

menunjukkan sifatnya (mis. Liposarkoma). Untuk sarkoma jaringan lunak

berdiferensiasi sangat buruk, tidak dapat dibedakan jaringan lunaik asalnya maka

diberi nama menurut morfologi selnya, mis. Sarkoma sel bulat, sarkoma sel

pleomorfik.6
53

Gambar 3.15 Histopathologic subtype distribution of 5069 patients with soft

tissue sarcoma treated at Memorial Sloan-Kettering Cancer Center from July 1,

1982, through June 30, 2002. These data include extremity, trunk, visceral, and

retroperitoneal tumors. MFH, malignant fibrous histiocytoma; MPNT, malignant

peripheral nerve tumor.5

Sarkoma jaringan lunak merupakan salah satu manifestasi yang terjadi pada

Sindroma Li-Fraumeni. Pada pasien dengan penyakit von Recklinghausen, memilki

tendensi untuk mengalami keganasan pada fibromatosa atau neurofibromatosa.

Pasien dengan limfoedema kronik dapat menjadi limfangiosarkoma (Sindroma

Stewart-Treves) 3,4

3.4.1 Etiologi

Etiologi sarkoma jaringan lunak belum jelas hingga kini, tetapi relatif berkaitaan

erat dengan beberapa faktor berikut:

 Faktor kimia6,7
54

Survey epidemiologi sudah menemukan kontak jangka panjang dengan zat

kimia tertentu, seperti vinil klorida dan dietilstilbesterol, membuat kejadian

sarkoma jaringan lunak lebih tinggi dari kelompok orang normal.

 Paparan radiasi7

Terapi radiasi eksternal meningkatkan risiko sarkoma jaringan lunak.

Pasien yang menerima terapi tersebut ( pasien dengan kanker payudara,

kanker serviks, kanker ovarium, testis, dan system limfatik) memiliki risiko

8-50 kali lebih tinggi untuk mengalami sarkoma jaringan lunak.

 Genetik7

Beberapa onkogen yang berkaitan dengan sarkoma jaringan lunak

diantaranya MDM2, N-myc, C-erbB2. Analisis sitogenik dari sarkoma

jaringan lunak mengidentifikasi adanya translokasi kromosom yang

berhubungan dengan subtype histologi.

Inaktivasi gen supresor tumor (antionkogen) dapat terjadi secara herediter,

misalnya 2 gen yang berhubungan dengan sarkoma jaringan lunak adalah

retinoblastoma gen supresor tumor dan p53. Sedangkan neurofibromatosis

tipe I yang dikenal juga sebagai penyakit von Recklinghausen, disebabkan

karena adanya variasi mutasi NF-1 (gen supresor tumor pada kromosom

17).

Para ahli bedah baik di dalam maupun luar negeri umumnya berpendapat bahwa

etiologi sarkoma jaringan lunak tidak berdiri sendiri, dalam mekanisme akhirnya

berefek saling silang, saling memacu, saling mempengaruhi.6


55

3.4.2 Patologi

Sarkoma jaringan lunak terjadi dimana terdapat jaringan mesenkim.3,4 Klasifikasi

histopatologi sarkoma jaringan lunak


56

Walaupun, sarkoma jaringan lunak memiliki banyak variasi subtipe histologik,

lebih dari 50 subtipe, sarkoma jaringan lunak memiliki manifestasi yang sama dan

hanya dibedakan dari :2,3,5,6,7

 Lokasi anatomis (kedalamannya)

 Ukuran

 Grade histopatologi

 Metastase

Sarkoma jaringan lunak biasanya berkonsistensi lembut, kenyal, padat, secara

visual pada irisan melintang dapat tempak seperti daging ikan berwarna putih

kelabu, mukoid, karena tumor tumbuh terlalu cepatdan berkonsitensi rapuh di

tengah, sering timbul nekrosis, perdarahan. Jaringan sekitar tumor, karena


57

neovaskularisasi tampak perubahan granulomatosa mesenkimal sehingga

membentuk “kapsul semu”. Sarkoma jaringan lunak berdiferensiasi buruk sering

kali dapat menembus kapsul semu, menginvasi jaringan normal di sekitarnya

membentuk “nodul satelit”.

Sarkoma jaringan lunak tumbuh invasif. Sarkoma jaringan lunak juga dapat

menelusuri jaringan interstisial untuk menginfiltrasi tempat yang jauh. Fascia

merupakan hambatan alamiah yang kuat, hanya dalam stadium yang lanjut sarkoma

dapat menembus fascia memasuki kompartemen otot didekatnya.6 Pola metastasis

sarkoma jaringan lunak dominan melalui hematogen. Biasanya sarkoma pada

ekstremitas menyebar ke paru-paru sedangkan sarkoma retroperitoneal ke hati.

Metastasis limfogen walaupun jarang terjadi tapi sering ditemukan pada sarkoma

jaringan lunak dengan gradasi histologik tinggi seperti rabdomiosarkoma,

histiositoma fibrosa maligna, sinoviosarkoma6, sarkoma epithelial, clear cell

carcinoma, angiosarkoma.3,7

Gambaran patologik subtipe sarkoma jaringan lunak:8

 Malignant fibrous histiocytoma (MFH)

Merupakan tumor dewasa tua dengan insiden puncak di dekade 70an.

Awalnya, terlihat massa tanpa nyeri. Predileksi tersering ada di

ekstremitas bawah, diikuti dengan ektremitas atas, dan retroperitoneum.

 Liposarkoma

Tumor pada orang dewasa dengan insiden puncak antara usia 50-65

tahun. Dapat terjadi di lokasi manapun di tubuh, tetapi yang paling

sering terjadi di retroperitoneum. Liposarkoma berdiferensiasi baik, tak

bermetastasis. Liposarkoma sklerosing merupakan lesi tingkat rendah,


58

myxoid dan liposarkoma sel bulat (lipoblastik) merupakan sarkoma

tingkat rendah hingga menengah. Liposarkoma fibroblastic dan

pleomorfik merupakan lesi tingkat tiinggi.

 Leimiosarkoma dapat muncul dimana saja, tetapi lebih dari setengah

berlokasi di uterus, retroperitoneum, atau region intraabdominal. Dapat

juga terjadi di struktur vascular yang besar sehingga menyumbat aliran

darah, tempat yang sering adalah arteri pulmonalis (manifestasi klinis

menyerupai emboli pulmonal).

 Sinoviosarkoma sering terjadi di sendi lutut. Tak seperti yang lainnya,

lesi disertai rasa nyeri.

 Rabdomiosarkoma adalah tumor ganas otot lurik. Dibagi menjadi,

pleomorfik, alveolar, embrional, dan botryoid. Rabdomiosarkoma

pleomorfik biasanya terjadi di ekstremitas, pada usia 30 tahun. Bersifat

anaplastic. Angka survival 5 tahun mencapai 25%. Tipe alveolar bersifat

agresif, meyerang dewasa muda. Survival rate 5 tahun mencapai 10%.

Rabdomiosarkoma embrional muncul di kepala dan leher, terutama di

daerah orbita. Menyerang bayi dan anak-anak, insiden puncak usia 4

tahun. Tumor ini , yang paling sensitive terhadap kemoterapi. Angka

kesembuhannya tinggi dengan terapi kombinasi. Tipe botryoid memiliki

penampilan sperti massa polipoid dengan predileksi di daerah genital dan

traktus urinarius. Terjadi pada anak dengan usia rata-rata 7 tahun.

3.3.3 Manifestasi Klinis

Lebih dari separuh pasien datang pertama kali karena keluhan adannya

massa atau pembesaran tanpa rasa nyeri.1,7,8,9 Ukuran massa tersebut tergantung
59

pada lokasi tumor. Tumor yang lebih kecil terdapat pada ekstremitas bawah namun

pada ekstremitas atas dan retroperitoneum dapat tumbuh sangat besar.1,7,8

Sarkoma pada retroperitoneal mencapai 15% dari semua sarkoma. Adanya

massa pada abdomen ditemukan pada hampir semua kasus (80%) dan merasakan

rasa nyeri perut. Nyeri terasa tak spesifik, jarang menimbulkan penurunan berat

badan, dengan keluhan awal mual dan muntah pada kurang dari 40% kasus.

Manifestasi neurologic berupa parestesia, terjadi pada lebih dari 30% kasus.1,7,8

Sarkoma viseral, sebanyak 15% dari semua kasus sarkoma jaringan lunak.

Gejala dan tanda berhubungan dengan asal dari jaringan. Sebagai contoh, sarkoma

gaster sering timbul dengan keluhan dyspepsia atau perdarahan saluran cerna.

Perdarahan rectum dan tenesmus ditemukan pada sarkoma rectum. Disfagia dan

nyeri dada sering menandakan gejala dari sarkoma esophagus. Perdarahan dari

vagina tanpa disertai rasa nyeri ditemukan pada leimiosarkoma uteri.8

Untuk tumor yang letaknya lebih dalam khususnya yang ada dalam rongga

badan, sering sulit di deteksi. Tumor ireguler, lobular, atau nodular, untuk stadium

dini tumor masih bersifat mobile, belum ada fiksasi dengan jaringan sekitar ataupun

keterlibatan kulit, otot, tulang, pembuluh darah, dan saraf. Pertumbuhan yang

progresif menandakan keganasan.1,7

Sarkoma jaringan lunak umumnya tidak menimbulkan rasa nyeri tapi ketika

tumor mengenai jaringan saraf sekitar, tulang, atau disertai infeksi maka timbul rasa

nyeri. Nyeri yang samar-samar menunjukkan tumor mengalami nekrosis yang

meluas atau kompresi saraf sensorik somatic. Timbulnya nyeri pada sarkoma sering

menandakan prognosis buruk. Tumor pada retroperitoneum juga dapat


60

menimbulkan perdarahan gastrointestinal, obstruksi usus, atau gangguan

neurovascular.2

Dari pemeriksaan yang harus dilakukan, informasi yang didapatkan

mengenai lokasi, ukuran, warna, batasnya, konsistensi, nyeri atau tidaknya, mobile

atau tidak, fiksasi pada jaringan sekitar, keterlibatan lesi kulit, otot, tulang,

bendungan pembuluh darah, dan saraf, pembesaran kelenjar getah bening sekitar.1

3.3.4 Diagnosis

Untuk lebih meyakinkan diagnosa selain dari anamnesis dan pemeriksaan

fisik diperlukan evaluasi yang lainnya seperti pemeriksaan radiologi untuk

menentukan ukuran dan pennyebarannya, sedangkan pemeriksaan patologi untuk

menentukan subtipe dan tingkat dari sarkoma tersebut.

Imaging

Gambaran radiologic dipergunakan untuk beberapa tujuan,

diantaranya untuk mengetahui perluasan local dari tumor, untuk membantu

biopsi, diagnosis sarkoma jaringan lunak termasuk ganas atau tidak dengan

menentukan grade-nya, untuk memonitoring perubahan tumor setelah

dilakukan terapi (radioterapi maupun kemoterapi pre operatif), serta untuk

deteksi rekurensi post reseksi.7

Selain dilakukan imaging pada tumor, dilakukan juga foto toraks

untuk menilai sudah atau belum terjadinya metastasis ke paru-paru. Pada

pasien dengan stadium yang tinggi dengan ukuran tumor > 5 cm perlu

dilakukan pemeriksaan CT-scan untuk melihat metastasis. Untuk massa

yang ada di daerah ekstremitas, MRI lebih baik digunakan sebagai pilihan
61

karena dapat membedakan dengan jelas antara tumor, otot, dan pembuluh

darah yang berdekatan. CT-scan lebih baik digunakan untuk retroperitoneal

dan abdominal sarkoma. Dapat pula dilakukan pemeriksaan dengan

menggunakan USG, jika ditemukan tumor inhomogen dengan tepi tak tegas,

itu sering merupakan suatu pertanda dari tumor yang ganas.1,3,8

Gambar 3.16 Chest Computed Tomograph scan from a young male patient

with widespread lung metastases

Biopsi

Pada dewasa, biopsi sebaiknya dilakukan pada massa jaringan yang

simtomatik atau semakin lama semakin membesar, lebih dari 5 cm, dan

sudah bertahan lebih dari 4-6 minggu.8

1. Fine needle aspiration

Dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu keganasan

namun FNA saja tak dapat menentukan klasifikasi dan

grading dari sarkoma.1,5Prosedur ini dapat digunakan

sebagai dokumentasi rekurensi.5 Sejak grading didasarkan

oleh keadaan selular, sifat invasive dari tumor, FNAB tak

memiliki fungsi yang bermakna untuk mendiagnosis

sarkoma.3,7
62

2. Core needle biopsy

Bersifat lebih aman, akurat, dan prosedur diagnostic yang

ekonomis untuk mendiagnosa sarkoma. Core needle biopsy

secara akurat tepat di titik lokasi tumor berada. Penggunaan

satu titik ini berfungsi untuk mencegah pengambilan sampel

nondiagnostik (jaringan yang nekrotik/kistik).7

3. Biopsi insisional

Saat jaringan tidak bisa dilakukan prosedur FNAB ataupun

core needle biopsi, ini merupakan suatu indikasi untuk

dilakukannya tindakan insisional. Jika tumornya kecil < 3

cm superfisial, dilakukan biopsi eksisional. Sedangkan untuk

tumor yang besar dan dalam berkaitan dengan struktur vital,

dilakukan biopsi insisional.2,3 Insisi dilakukan di tengah-

tengah massa, kemudian hemostasis dijaga, jangan sampai

sel tumor ke jaringan sekitarnya.3


63

3.3.5 Klasifikasi Stadium Sarkoma Jaringan Lunak

Fig.2 Staging system of soft tissue sarcoma5

Tingkat histologic dari sarkoma merupakan indikator prognosis yang baik

untuk perkembangan kekambuhan dari sarkoma. Gambaran patologik ditentukan

oleh selularitas, diferensiasi, pleomorfisme, nekrosis, dan banyaknya mitosis.7,8

Low- grade sarcoma High-grade sarcoma

Good differentiation Poor differentiation

Hypocellular Hypercellular

Increased stroma Minimal stroma

Hypovascular Hypervascular

Minimal necrosis Much necrosis


64

< 5 mitoses per-high power field > 5 mitoses per-high power field

Histologic grading8

3.4.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan tergantung dari diagnosa spesifik dan stadium sarkoma jaringan

lunak, tujuannya untuk mengeliminasi tumor primer dan metastasisnya.

Pembedahan

Tipe reseksi bedah ditentukan oleh lokasi tumor, ukuran tumor, kedalaman

invasi, dan keterlibatan struktur sekitar, kebutuhan untuk skin graft, atau

kemampuan rekonstruksi jaringan, kondisi pasien.7

Untuk sarkoma pada ekstremitas, harus menggunakan pendekatan

multidisiplin, termasuk penggunaan reseksi dengan margin negative ditambah

dengan radioterapi yang menghasilkan angka control hingga 90%.7 Sarkoma

jaringan lunak memiliki pseudokapsul, penting untuk tak memotongnya karena

berhubungan dengan rekurensi.3 Lokal kontrol dari sarkoma jaringan lunak

memerlukan reseksi dengan tepi dari jaringan normal. Untuk sarkoma tingkat

rendah (selain epiteloid) seminimal mungkin memiliki tepi yang bersih dari

sarkoma sebanyak 1 cm. Sedangkan untuk, tingkat tinggi, jarak yang diperlukan

adalah 4 cm. Untuk tumor yang berada dibagian tengah otot, tujuan dapat dicapai

dengan membuang atau mengangkat seluruh bagian dari origo hingga insersio, yang

mana menyebabkan morbiditas fungsi dan kosmetik. 3% dari sarkoma jaringan

lunak pada ekstremitas terjadi pada bagian yang dalam dan hanya setengahnya yang

bias diterapi dengan reseksi bagian tersebut atau miektomi primer.1


65

Gambar 3.16 Compartmentectomy. The diagram illustrates the wide surgical

excision of soft tissue situated, in this case, in the rectus femoris.4

Pengelolaan sarkoma jaringan luunak di daerah ekstremitas sedapat

mungkin haruslah dengan tindakan “limb-sparing operation” dengan atau tanpa

terapi ajuvan (radiasi atau kemoterapi). Tindakan amputasi harus ditempatkan

sebagai pilihan terakhir. Pada pasien dengan tumor yang tak dapat direseksi dengan

prosedur limb-sparing dan penyelamatan fungsi < 5%, amputasi merupakan

pilihannya.1,7. Untuk sarkoma tingkat tinggi pada kaki, amputasi di bawah lutut

dibutuhkan, sedangkan pada panggul dilakukan hemipelvitomi.1

Radioterapi

Radioterapi digunalan untuk terapi primer untuk mencegah kekambuhan

sarkoma dan mengurangi efek dari operasi definitive.


66

External Beam Radiation Therapy (EBRT) merupakan radiasi yang paling

sering digunakan saat lebih mudah digunakan dibandingkan dengan brachytherapy

(implantasi radioaktif yang bersifat sementara di dasar tumor). Keduanya

menunjukkan penurunan resiko kekambuhan, tapi ERBT meingkatkan control lokal

dari sarkoma tingkat rendah.9

. Tumor dengan ukuran kecil (≤ 5 cm) tidak berhubungan dengan

kekambuhan sehingga radioterapi tidak terlalu diperlukan Batas radiasi yang

standar adalah 5-7 cm. Radioterapi preoperasi menggunakan dosis 50 Gy diberikan

dalam 25 fraksi. Rencana radioterapi post operatif didasarkan oleh tingkat tumor,

penilaian terhadap tepi yang dibedah, dan pilihan institusi. Dosis post operatif yang

digunakan 60-70 Gy.9

Kemoterapi9

Ajuvan

Penelitian menunjukkan kemoterapi gagal menunjukkan

peningkatan kesembuhan pasien. Meta analisis dari 14 penelititan

doxorubicin menunjukkan peningkatan free-survival rate, tetapi angka

absolut dari semuanya yang dapat meningkatkan survival hanya 4 %.

Neoajuvan (preoperative kemoterapi)

Angka rasional penggunaan neoajuvan hanya 30-50% yang berspon

terhadap kemoterapi standar. Neoajuvan memperlihatkan onkologis untuk

mengidentifikasi pasien yang berspon terhadap kemoterapi. Pendekatan

penatalaksaan nya adalah kombinasi kemoterapi sistemik dengan


67

radiosensitisasi, EBRT. Penggunaan kemoterapi, radiasi, dan pembedahan ,

dan rehabilitasi membutuhkan waktu 6-9 bulan.

Gambar 3.17 Algorithm for management of primary (with no metastases)

extremity or trunk soft tissue sarcoma, using a biologic rationale (i.e., size and

grade of tumor). CT, computed tomography; MRI, magnetic resonance imaging;

EBRT, external beam radiation therapy; BRT, brachytherapy.5


68

Gambar 3.18 Algorithm for management of primary retroperitoneal or visceral

soft tissue sarcoma. Fine-needle aspiration biopsy is not routinely used. CT,

computed tomography; XRT, x-ray therapy5


BAB IV
MODALITAS RADIOLOGI

4.1 Radiografi Konvensional

Radiografi adalah proses pencatatan bayangan dengan menggunakan sinar-X

pada bahan yang peka terhadap sinar-X atau cahaya tampak (radiation-sensitive

materials) (Yosainto, 2011).

4.1.1 Konsep Dasar Sinar-X

Sinar-X merupakan sinar yang terbentuk dengan menembaki target dengan

elektron cepat dalam tabung sinar katoda (Beiser, 1999). Penemuan sinar-X

berawal dari penemuan Rontgen (1845-1923), seorang fisikawan Universitas

Wutsburg sewaktu bekerja dengan tabung sinar katoda pada tahun 1895. Rontgen

menemukan bahwa sinar dari tabung dapat menembus bahan yang tak tembus

cahaya dan mengaktifkan layar pendar atau film foto. Sinar ini berasal dari titik

dimana elektron dalam tabung mengenai sasaran di dalam tabung tersebut atau

tabung kaca (Beiser, 1999:59).

Sinar-X adalah pancaran gelombang elektromagnetik yang sejenis dengan

gelombang radio, panas, cahaya dan sinar ultraviolet, tetapi dengan panjang

gelombang yang sangat pendek. Sinar-X berifat heterogen, yakni memiliki

panjang gelombang yang bervariasi. Sinar-X merupakan gelombang

elektromagnetik yang memiliki panjang gelombang antara 10-9 sampai 10-8 m

yang lebih pendek dibanding cahaya tampak, sehingga energi yang dihasilkan

jauh lebih besar. Besar energinya (E dalam Joule) dapat ditentukan dengan

menggunakan persamaan 2 (Bambang, 1986).

69
70

Keterangan:

E = besarnya energi (Joule)

h = konstanta planck (6,627 x 10-34 Js)

c = kecepatan cahaya (3x108 m/s)

=panjang gelombang (m)

Panjang gelombang dari sinar-X yang lebih pendek tersebut yang

menyebabkan sinar-X memiliki sifat dapat menembus benda. Panjang gelombang

yang digunakan dalam dunia kedokteran antara 0,5Å – 0,125Å. Bentuk dari

spektrum gelombang elektromagnetik ditunjukkan pada Gambar (2.1).

Gambar 4.1.Spektrum Gelombang Elektromagnetik

Besarnya energi foton sinar-X adalah (1-100 keV) dengan sebesar 1

Angstrom. Adapaun besarnya energi elektron dipercepat dengan beda potensial,

dirumuskan pada persamaan (2.2) berikut:

E adalah energi elektron (eV), V merupakan beda potensial (Volt), dan e

adalah muatan elementer elektron (1,6x10-19 C).


71

4.1.2 Proses terjadinya Sinar-X

Sinar-X dapat terbentuk melalui proses perpindahan elektron atom dari

tingkat energi yang lebih tinggi menuju tingkat energi yang lebih rendah. Sinar-X

yang terbentuk melalui proses ini mempunyai energi sama dengan selesih energi

antara kedua tingkat energi elektron tersebut. Keunggulan dari sinar-X ini sendiri

yaitu memiliki daya tembus yang tinggi dan tidak bermuatan (netral), sehingga

tidak dapat dibelokkan oleh medan magnet maupun medan listrik (tidak

dipengaruhi oleh medan magnet dan medan listrik) (Helmy, 2011). Keadaan fisik

dari sinar-X yang menjadi sifat-sifat sinar-X antara lain adalah daya tembusnya

besar dengan frekuensi yang tinggi, memiliki berkas sinar yang lurus dan koheren,

dalam medan magnet maupun medan listrik tidak dibelokkan karena tidak

bermuatan (tidak dipengaruhi oleh medan magnet dan medan listrik), dapat

menghitamkan plat film (Roy, 2012).

Syarat-syarat terbentuknya sinar-X didalam tabung sinar-X yaitu sumber

elektron, gaya pemercepat, ruang yang hampa udara, alat pemusat berkas elektron,

dan benda penghenti gerakan elektron/target. Komponen- komponen utama tabung

sinar-X adalah katoda/ elektroda negatif (sumber elektron). Katoda ini terbuat dari

nikel murni dimana celah antara 2 batang katoda disisipi kawat pijar (filamen) yang

menjadi sumber elektron pada tabung sinar-X. Filamen terbuat dari kawat

wolfram (tungsten) digulung dalam bentuk spiral. Bagian yang mengubah energi

kinetik elektron yang berasal dari katoda adalah sekeping logam wolfram yang

ditanam pada permukaan anoda. Arus yang diberikan pada tabung sinar-X pada

kisaran milliampere (mA) berfungsi untuk memijarkan filamen sehingga terbentuk

awan elektron pada filamen. Selanjutnya beda potensial dalam kisaran kilovolt
72

(kV) berfungsi untuk memeberikan energi kinetik pada elektron- elektron tersebut

(Radiologi Sciences, 2011).

Anoda atau elektroda positif biasa disebut sebagai target, jadi anoda disini

berfungsi sebagai tempat tumbukan elektron. Focussing cup ini terdapat pada

katoda yang berfungsi sebagai alat untuk mengarahkan elektron secara konvergen

ke target agar elektron tidak terpancar kemana- mana. Rotor atau stator terdapat

pada bagian aoda yang berfungsi sebagai alat untuk memutar anoda. Glass metal

envelope (vacum tube) adalah tabung yang gunanya membungkus komponen-

komponen penghasil sinar- X agar menjadi vacum atau menjadikan ruang hampa

udara. Oil adalah komponen yang cukup penting karena saat elektron-elektron

menabrak target pada anoda, energi kinetik yang berubah menjadi sinar-X

hanyalah

1% selebihnya berubah menjadi panas mencapai 20000C, jadi peran oil ini

sebagai pendingin tabung sinar-X. Window atau jendela adalah tempat keluarnya

sinar-X, window ini terletak dibagian bawah tabung. Tabung bagian bawah dibuat

lebih tipis dari tabung bagian atas, dikarenakan agar sinar-X dapat keluar melalui

window tersebut tanpa mempengaruhi komponen-komponen lain

Gambar 4.2. Skema proses terjadinya sinar-X


73

Pada Gambar 2.2, menunjukkan proses pembentukan sinar-X yang terjadi

didalam tabung sinar-X yaitu didalam tabung sinar-X terdapat katoda dan anoda

(sebagai filamen) dan tabung tersebut merupakan tabung hampa udara. Filamen

merupakan bagian yang berfungsi sebagai penghasil elektron. Untuk

menghasilkan elektron, filamen harus dipanaskan dengan cara mengalirkan arus

listrik pada filamen tersebut. Setelah filamen berpijar, maka akan terbentuk awan-

awan elektron disekitar filamen tersebut. Setelah eleketron terbentuk, elektron siap

ditembakkan ke anoda dengan kecepatan yang tinggi. Untuk menembakkan

elektron ke anoda diperlukan suatu tegangan yang tinggi hingga ribuan volt

(kilovolt). Elektron-elektron yang ditembakkan akan menumbuk target dan akan

berinteraksi dengan atom-atom dari target tersebut. Setelah itu, sinar-X akan

keluar melalui jendela tabung yang terletak dibagian bawah tabung.

Arus (mA) berpengaruh pada filamen agar filamen tersebut panas sehingga

menghasilkan elektron. Semakin besar arus yang diberikan semakin banyak

elektron yang dihasilkan. Semakin besar arus filamen semakin tinggi suhu

filamen dan berakibat semakin banyak electron dibebaskan persatuan waktu.

Sedangkan tegangan (kV) berpengaruh pada katoda, sehingga semakin besar

tegangan (kV) yang diberikan semakin cepat elektronditembakkan ke target

(anoda) (Susanto, 2011). Tegangan dan arus ini saling berhubungan dalam

menghasilkan sinar-X. Tegangan dibutuhkan untuk menghasilkan sumber

elektron, arus dibutuhkan untuk memanaskan filamen.

4.1.3 Sifat-sifat Sinar-X

Sinar-X juga memiliki sifat-sifat. Beberapa sifat-sifat yang dimiliki oleh

sinar-X antara lain yaitu (Malueka, 2007:2-3):


74

1. Memiliki daya tembus

Sinar-X dapat menembus bahan dengan daya tembus yang sangat besar dan

digunakan dalam radiografi. Daya tembusnya dipengaruhi oleh tegangan listrik

filament serta oleh jenis bahan yang disinari. Semakin tinggi tegangan tabung yang

digunakan, semakin besar daya tembusnya. Semakin rendah kepadatan suatu

benda, semakin besar daya tembusnya.

2. Hamburan

Sinar-X yang melalui suatu bahan akan bertabrakan kesegala arah, hal tersebut

menimbulkan radiasi hambur pada bahan yang dilalui. Hal ini akan

mengakibatkan terjadinya gambar radiograf dan film akan tampak penghamburan

kelabu secara menyeluruh.

3. Absorbsi

Sinar-X dalam radiogarfi diserap oleh bahan sesuai dengan kepadatan bahan

tersebut. Semakin tinggi kepadatanya, semakin besar penyerapannya.

4. Efek fotografik

Efek fotografik ini, sinar-X menghitamkan emulsi film (emulsi perak bromida)

setelah diproses secara kimiawi.

5. Menimbulkan efek biologis

Sinar-X dapat menimbulkan kelainan somatik yang merupakan akibat langsung

dari radiasi sinar-X terhadap tubuh, misalnya tumor. Sinar-X juga dapat

menyebabkan kelainan genetis, yang merupakan akibat tidak langsung, misalnya

mutasi genetik. Efek biologis ini digunakan dalam radioterapi.

6. Fluoresensi
75

Sinar-X menyebabkan bahan-bahan tertentu seperti kalsium- tungstat atau zink-

sulfid memendarkan cahaya (luminisensi), bila bahan tersebut dikenai radiasi

sinar-X.

7. Ionisasi

Efek primer sinar-X apabila mengenai suatu bahan atau zat akan menimbulkan

ionisai partikel-partikel bahan atau zat tersebut.

4.1.4 Radiografi Sinar-X

Radiografi sinar-X adalah ilmu yang mempelajari citra suatu obyek yang

diradiasi dengan sinar-X. Radiasi yang dilewatkan pada sutau obyek sebagian

radiasi yang ada akan diteruskan, sehingga citra obyek dapat direkam oleh film.

Keluaran dari sistem generator sinar-X yang dipengaruhi oleh arus, waktu ekspos,

besarnya tegangan dan jarak target, secara

matematis dapat dinyatakan dengan persamaan (2.7) berikut:

dimana :

k = konstanta penyinaran

I = arus tabung

t= waktu penyinaran

V = potensial tabung sinar-X

d = jarak target terhadap sumber radiasi

Satuan yang biasa digunakan untuk penyinaran radiografi adalah Rontgen, disingkat

R. Satu Rontgen mempunyai energy rata-rata antara 0,1 MeV – 3,0 MeV yang
76

mampu menghasilkan dosis serap sebesar 0,96 rad, dapat dikatakan 1R sama

dengan 1 rad.

Sinar X merupakan bagian dari spektrum elektomagnetik, dipancarkan

akibat pengeboman anoda wolfram oleh elektron-elektron bebas dari suatu katoda.

Film polos dihasilkan oleh pergerakan elektron-elektron tersebut melintasi pasien

dan menampilkan film radiografik. Tulang dapat menyerap sebagian besar radiasi,

menyebabkan pajanan pada film paling sedikit, sehingga film yang dihasilkan

tampak berwarna putih. Udara paling sedikit menyerap radiasi, menyebabkan

pajanan pada film maksimal, sehingga film tampak berwarna hitam. Diantara kedua

keadaan ekstrem ini, penyerapan jaringan sangat berbeda-beda menghasilkan citra

dalam skala abu-abu (grey scale). Film polos bermanfaat untuk: Dada, abdomen,

sistem tulang: trauma, tulang belakang, sendi, penyakit degeneratif, metabolik dan

metastatik (tumor).

Terminologi yang digunakan dalam Radiografi Sinar X :

a. Hiperradiolusen : udara bebas

b. Radiolusen : Paru normal, lemak

c. Intermediate : Soft tissue/ cairan, jantung,hepar, ginjal, ascites, urine, darah, dan

sebagainya.

d. Radiopak : Ca-density / Bone density, tulang, perkapuran. e. Hyperradiopak :

Metal density, logam


77

Gambar 4.3 Contoh gambar Foto X- Ray

4.2 CT-SCAN

Pemeriksaan dengan menggunakan CT Scan dapat mendeteksi kelainan - kelainan

seperti perdarahan otak, tumor otak, kelainan - kelainan tulang, kelainan di rongga

dada & rongga perut dan khususnya mendeteksi kelainan pembuluh darah jantung

(koroner) dan pembuluh darah umumnya (seperti penyempitan pembuluh darah

ginjal, dll) Lama pemeriksaan mulai dari beberapa detik sampai 2 jam.
78

Gambar 4.4 Penggunaan alat CT-Scan

CT Scan menggunakan sinar X tetapi saat ekspos sinar tidak langsung

mengenai film tetapi ditangkap oleh detektor diteruskan ke komputer monitor lalu

ke printer. Ukuran gambar (piksel) yang didapat pada CT Scan adalah

Radiodensitas ukuran tersebut menggunakan skala Houndsfield Unit (HU),

Hounsfield nama orang yang menemukan dan memperkenalkan CT-scan. Nilai HU

sendiri adalah merupakan

pengukuran densitas jaringan.

Jaringan HU Warna
Udara -1000 Hitam ↓↓↓

Lemak LCS Otak-100 Hitam ↓↓ Hitam ↓

Darah Tulang 0 Abu-abu (-) Putih ↑↑

30 Putih ↑↑↑

+100
Terminologi yang digunakan :
+1000
a. Isodens : Jaringan Otak Normal

b. Hipodens : Abses otak, infark

c. Hiperdens : perdarahan Otak


79

4.3 MRI (MAGNETIC RESONANCE IMAGING)

MRI atau Magnetic Resonance Imaging menggunakan medan magnit dan

frekuensi radio, jadi tidak mengionisasi jaringan, tidak ada efek biologik. Memakai

istilah isointens, hipointens, hiperintens, kekuatan magnit disebut dengan satuan

TESLA (1 Tesla= 10.000 Gauss). MRI adalah suatu alat diagnostik teknologi tinggi

yang digunakan untuk membuat visualisasi dari penampang tubuh manusia.

Pemeriksaan MRI memakai prinsip magnetik, tidak menggunakan sinar X

(tidak ada radiasi). Melalui pemeriksaan ini dapat mendeteksi kelainan – kelainan

saraf & jaringan lunak seperti pada keluhan: sakit/nyeri kepala, sakit daerah

punggung, pinggang, nyeri/bengkak daerah persendian, kelainan payudara,

kelainan pembuluh darah, kelainan pada abdomen (perut), dan lain lain. Lama

pemeriksaan 20 menit – 1.5 jam

MRI memberikan hasil yang diperlukan oleh dokter untuk menegakkan

diagnosa atas penyakit yang diderita oleh pasien dan juga menentukan rencana

pengobatan yang tepat sesuai dengan indikasi penyakit yang diderita oleh pasien.

a. Keuntungan menggunakan MRI :

- Tidak menggunakan sinar X,

- Tidak Merusak Kesehatan pada penggunaan yang tepat,

- Banyak pemeriksaan tanpa memerlukan zat kontras,

- Detail anatomis yang sangat baik terutama pada jaringan lunak,

- Dapat memperlihatkan pembuluh darah tanpa kontras : Magnetic resonansi

angiography (MRA).
80

b. Kerugian menggunakan MRI

- Biaya operasional mahal,

- Citra yang kurang baik pada lapangan paru,

- MRI lebih sulit ditoleransi dengan waktu pemeriksaan yang lebih lama

dibandingkan CT scan,

- Kontra indikasi pada pasien yang mengunakan pacemaker, benda asing logam

pada mata dan penggunaan protesa logam.

Gambar 4.5 MRI

4.4 USG (ULTRASONOGRAFI)

Ultrasonografi (USG) merupakan salah satu imaging diagnostik ( pencitraan

diagnostik) untuk pemeriksaan alat alat dalam tubuh manusia, diman kita dapat

mempelajari bentuk, ukuran anatomis, gerakan serta hubungan dengan jaringan

sekitarnya. Pemeriksaan ini bersifat non-invasif, tidak menimbulkan rasa sakit pada

penderita, dapat dilakukan dengan cepat, aman dan data yang diperoleh mempunyai

nilai diagnostik yang tinggi. Tak ada kontra indikasinya, karena pemeriksaan ini

sama sekali tidak akan memperburuk penyakit penderita. Dalam 20 tahun terakhir

ini, diagnostik ultrasonik berkembang dengan pesatnya, sehingga saat ini USG

mempunyai peranan penting untuk meentukan kelainan berbagai organ tubuh.


81

4.4.1 Sejarah USG

Pertama kali ultrasonik ini digunakan dalam bidang teknik untuk radar, yaitu

teknik SONAR ( Sound, Navigation and Ranging) oleh Langevin (1918), seorang

Perancis, pada waktu perang dunia ke I, untuk mengetahui adanya kapal selam

musuh. Kemudian digunakan dalam pelayaran untukmenentukan kedalaman laut.

Menjelang perang dunia ke II (1937), teknik ini digunakan pertama kali untuk

pemeriksaan jaringan tubuh, tetapi hasilnya belum memuaskan.

Berkat kemampuan dan kemajuan teknologi yang pesat, setelah perang dunia keII,

USG berhasil digunakan untuk pemeriksaan alat-alat tubuh.

Hoery dan Bliss pada tahun 1952, telah melakukan pemeriksaan USG pada beberapa

organ, misalnya pada hepar dan ginjal. Sekarang Usg merupakan alat praktis dengan

pemeriksaan klinis yang luas.

4.4.2 Prinsip USG

Ultrasonik adalah gelombang suara dengan frekwensi lebih tinggi daripada

kemampuan pendengaran telinga manusia, sehingga kita tidak bisa mendengarnya

sama sekali. Suara yang dapat didengar manusia mempunyai frekwensi antara 20 –

20.000 Cpd (Cicles per detik- Hertz).. Sedangkan dalam pemeriksaan USG ini

menggunakan frekwensi 1- 10 MHz ( 1- 10 juta Hz).

Gelombang suara frekwensi tingi tersebut dihasilkan dari kristal-kristal yang

terdapat dalam suatu alat yang disebut transducer. Perubahan bentuk akibat gaya

mekanis pada kristal, akan menimbulkan tegangan listrik. Fenomena ini disebut

efek Piezo-electric, yang merupakan dasar perkembangan USG selanjutnya. Bentuk

kristal juga akan berubah bila dipengaruhi oleh medan listrik. Sesuai dengan
82

polaritas medan listrik yang melaluinya, kristal akan mengembang dan mengkerut,

maka akan dihasilkan gelombang suara frekwensi tingi.

Sumber Cahaya

Teknologi radiasi yang diyakini paling kecil bahayanya atau bahkan tidak

ada sama sekali adalah MRI. Pasalnya, diagnostic imaging berteknologi tinggi ini

menggunakan medan magnet, frekuensi radio, dan seperangkat komputer untuk

menghasilkan gambar berupa potongan-potongan penampang tubuh manusia.

Gambar ini diperoleh dari hasil interaksi antara molekul sel tubuh dan sinyal yang

dipancarkan oleh frekuensi radio. Data yang didapat kemudian diolah komputer

gambar yang kemudian dicetak dalam bentuk foto.

Citra yang dihasilkan dari USG adalah memanfaatkan hasil pantulan (echo) dari

gelombang ultrasonik apabila ditrasmisikan pada tissue atau organ tertentu. Echo

dari gelombang tersebut kemudian dideteksi dengan transduser, yang mengubah

gelombang akusitik ke sinyal elektronik untuk dioleh dan direkonstruksi menjadi

suatu citra. Perkembangan tranduser ultrasonik dengan kemampuan resolusi yang

baik, diikuti dengan makin majunya teknologi komputer digital serta perangkat

lunak pendukungnya, membuat pengolahan citra secara digital dimungkinkan

dalam USG, bahkan untuk membuat rekonstruksi bentuk janin bayi dalam 3

dimensi dan 4 dimensi sudah mulai dikenal.

Peralatan Yang Digunakan

1. Transduser

Transduser adalah komponen USG yang ditempelkan pada bagian tubuh yang akan

diperiksa, seperti dinding perut atau dinding poros usus besar pada pemeriksaan
83

prostat. Di dalam transduser terdapat kristal yang digunakan untuk menangkap

pantulan gelombang yang disalurkan oleh transduser. Gelombang yang diterima

masih dalam bentuk gelombang akusitik (gelombang pantulan) sehingga fungsi

kristal disini adalah untuk mengubah gelombang tersebut menjadi gelombang

elektronik yang dapat dibaca oleh komputer sehingga dapat diterjemahkan dalam

bentuk gambar.

2.Monitor yang digunakan dalam USG

3. Mesin USG

Mesin USG merupakan bagian dari USG dimana fungsinya untuk mengolah data

yang diterima dalam bentuk gelombang. Mesin USG adalah CPUnya USG sehingga

di dalamnya terdapat komponen-komponen yang sama seperti pada CPU pada PC

Gambar 4.6 Tampak dalam sonogram seorang bayi dalam kandungan

ibunya.
84

Gambar 4.7 Sonograf ini menunjukkan citra kepala sebuah janin dalam

kandungan.

Proses Pengambilan Gambar

Prinsip kerjanya menggunakan Gelombang Ultrasonik yang dibangkitkan

oleh kristal yang diberikan gelombang listrik.Gelombang ultrasonik adalah

gelombang suara yang melampaui batas pendengaran manusia yaitu diatas 20 kHz

atau 20.000 Hz atau 20.000 getaran perdetik.Kristal nya bisa terbuat dari berbagai

macam, salah satunya adalah Quartz. Sifat kristal semacam ini, akan memberikan

getaran jika diberikan gelombang listrik.Alat ultrasonik sendiri ada berbagai tipe.

Ada Tipe Scan A, B dan C.Yang biasa untuk mendeteksi crack pada baja adalah tipe

A.Prinsip kerjanya mudah sekali. Tinggal menggunakan sensor ultrasonik untuk

mengirimkan gelombang ultrasonik dan menangkapnya kembali.

Tipe B yaitu pada layar monitor (screen) echo nampak sebagai suatu titik dan garis

terang dan gelapnya bergantung pada intensitas echo yang dipantulkan dengan

sistem ini maka diperoleh gambaran dalam dua dimensi berupa penampang irisan

tubuh.Yang tipe C dapat menampilkan Citra 3 Dimensi dengan cara menangkap


85

pantulan-pantulan yang berbeda dari tebal tipisnya benda dalam suatu cairan.

Karena ada berbagai macam gelombang ultrasonik yang dipantulkan dalam waktu

yang berbeda, gelombang-gelombang ini lalu diterjemahkan oleh prosesor untuk

dirubah menjadi gambar.

Sensor yang digunakan pada alat Ultrasonografi yakni sensor pizoelektrik, yang

diletakkan pada komponen receiver yang menerima pantulan (refleksi) pola energi

akustik yang dinyatakan dalam frekuensi. Sensor ini akan mengubah pergeseran

frekuensi gelombang suara 1 – 3 MHz yang dipancarkan melalui transmitter pada

jaringan tubuh dan kemudian gelombang tersebut dipantulkan (direfleksikan) oleh

jaringan dan akan diterima oleh receiver dan selanjutnya diteruskan ke prosessor.

Sensor pizoelektrik terdiri dari bagian seperti housing, clip-type spring, crystal, dan

seismic mass. Prinsipnya yakni ketika frekuensi energi akustikyang dipantulkan

diterapkan, maka clip-type spring yang terhubung dengan seismic mass akan

menekan crystal, karena energi akustik tersebut disertai oleh gaya luar sehingga

crystal akan mengalami ekspansi dan kontraksi pada frekuensi tersebut. Ekspansi

dan kontraksi tersebut mengakibatkan lapisan tipis antara crystal dengan housing

akan bergetar. Getaran dari crystal tersebut akan menghasilkan sinyal berupa

tegangan yang nantinya akan diteruskan keprosesor.Jadi USG menampilkan citra

dari suara yang ditangkap.Jadi mungkin untuk saat ini hasil dari USG belum

termasuk dalam karya fotografi. Berbeda dengan Scanner dan kamera lubang jarum

yang masih “melukis dengan cahaya”.

4.4.3 Cara Kerja alat Ultrasonografi

Transducer bekerja sebagai pemancar dan sekaligus penerima gelombang

suara. Pulsa listrik yang dihasilkan oleh generator diubah menjadi energi akustik
86

oleh transducer, yang dipancarkan dengan arah tertentu pada bagian tubuh yang

akan dipelajari. Sebagian akan dipantulkan dan sebagian lagi akan merambat terus

menembus jaringan yang akan menimbulkan bermacam-macam echo sesuai dengan

jaringan yang dulaluinya.

Pantulan echo yang berasal dari jaringan-jaringan tersebut akan membentur

transducer, dan kemudian diubah menjadi pulsa listrik lalu diperkuat dan

selanjutnya diperlihatkan dalam bentuk cahaya pada layar oscilloscope. Dengan

demikian bila transducer digerakkan seolah0olah kita melakukan irisan-irisan pada

bagian tubuh yang dinginkan, dan gambaran irisan-irisan tersebut akan dapat dilihat

pada layar monitor.

Masing-masing jaringan tubuh mempunyai impedance accoustic tertentu. Dalam

jaringan yang heterogen akan ditimbulkan bermacam-macam echo, jaringan

tersebut dikatakan echogenic. Sedang jaringan yang homogen hanya sedikit atau

sama sekali tidak ada echo, disebut anecho atau echofree . Suatu rongga berisi cairan

bersifat anechoic, misalnya : kista, asites, pembuluh darah besar, pericardial dan

pleural efusion.

Display Mode’s

Echo dalam jaringan dapat diperlihatkan dalam bentuk :

1. A- mode L : Dalam sistem ini, gambar yang berupa defleksi vertikal pada

osiloskop. Besar amplitudo setiap defleksi sesuai dengan energy eko yang diterima

transducer.

2. B- mode : Pada layar monitor (screen) eko nampak sebagai suatu titik dan garis

terang dan gelapnya bergantung pada intensitas eko yang dipantulkan dengan sistem
87

ini maka diperoleh gambaran dalam dua dimensi berupa penampang irisan tubuh,

cara ini disebut B Scan.

3. M- mode : Alat ini biasanya digunakan untuk memeriksa jantung. Tranducer

tidak digerakkan. Disini jarak antara transducer dengan organ yang memantulkan

eko selalu berubah, misalnya jantung dan katubnya.

Penyulit

Suatu penyulit yang umum pada pemeriksaan USG disebabkan karena

USG tidak mampu menembus bagian tertentu badan. Tujuh puluh persen

gelombang suara yang mengenai tulang akan dipantulkan, sedang pada perbatasan

rongga-rongga yang mengandung gas 99% dipantulkan. Dengan demikian

pemeriksaan USG paru dan tulang pelvis belum dapat dilakukan. Dan diperkirakan

25% pemeriksaan di abdomen diperoleh hasil yang kurang memuaskan karena gas

dalam usus. Penderita gemuk agak sulit, karena lemak yang banyak akan

memantulkan gelombang suara yang sangat kuat.

Persiapan pasien

Sebenarnya tidak diperlukan persiapan khusus. Walaupun demikian pada

penderita obstivasi, sebaiknya semalam sebelumnya diberikan laksansia. Untuk

pemeriksaan alat-alat rongga di perut bagian atas, sebaiknya dilakukan dalam

keadaan puasa dan pagi hari dilarang makan dan minum yang dapat menimbulkan

gas dalam perut karena akan mengaburkan gambar organ yang diperiksa. Untuk

pemeriksaan kandung empedu dianjurkan puasa sekurang-kurangnya 6 jam sebelum

pemeriksaan, agar diperoleh dilatasi pasif yang maksimal. Untuk pemeriksaan

kebidanan dan daerah pelvis, buli-buli harus penuh.


88

Pemakaian Klinis

USG digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dalam berbagai

kelainan organ tubuh.

USG digunakan antara lain :

1. Menemukan dan menentukan letak massa dalam rongga perut dan pelvis.

2. membedakan kista dengan massa yang solid.

3. mempelajari pergerakan organ ( jantung, aorta, vena kafa), maupun pergerakan

janin dan jantungnya.

4. Pengukuran dan penetuan volum. Pengukuran aneurisma arterial,

fetalsefalometri, menentukan kedalaman dan letak suatu massa untuk bioksi.

Menentukan volum massa ataupun organ tubuh tertentu (misalnya buli-buli,

ginjal, kandung empedu, ovarium, uterus, dan lain-lain).

5. Bioksi jarum terpimpin. Arah dan gerakan jarum menuju sasaran dapat

dimonitor pada layar USG.

6. Menentukan perencanaan dalam suatu radioterapi. Berdasarkan besar tumor

dan posisinya, dosis radioterapi dapat dihitung dengan cepat. Selain itu setelah

radioterapi, besar dan posisi tumor dapat pula diikuti.


89

4.4.4 Jenis Pemeriksaan USG

1. USG 2 Dimensi

Menampilkan gambar dua bidang (memanjang dan melintang). Kualitas gambar

yang baik sebagian besar keadaan janin dapat ditampilkan.

2. USG 3 Dimensi

Dengan alat USG ini maka ada tambahan 1 bidang gambar lagi yang disebut

koronal. Gambar yang tampil mirip seperti aslinya. Permukaan suatu benda (dalam

hal ini tubuh janin) dapat dilihat dengan jelas. Begitupun keadaan janin dari posisi

yang berbeda. Ini dimungkinkan karena gambarnya dapat diputar (bukan janinnya

yang diputar).

3. USG 4 Dimensi

Sebetulnya USG 4 Dimensi ini hanya istilah untuk USG 3 dimensi yang dapat

bergerak (live 3D). Kalau gambar yang diambil dari USG 3 Dimensi statis,

sementara pada USG 4 Dimensi, gambar janinnya dapat “bergerak”. Jadi pasien

dapat melihat lebih jelas dan membayangkan keadaan janin di dalam rahim.

4. USG Doppler

Pemeriksaan USG yang mengutamakan pengukuran aliran darah terutama aliran

tali pusat. Alat ini digunakan untuk menilai keadaan/kesejahteraan janin. Penilaian

kesejahteraan janin ini meliputi:

- Gerak napas janin (minimal 2x/10 menit).

- Tonus (gerak janin).

- Indeks cairan ketuban (normalnya 10-20 cm).

- Doppler arteri umbilikalis.

- Reaktivitas denyut jantung janin.


90

Pemeriksaan menggunakan gelombang suara/ultrasound untuk mendeteksi

kelainan – kelainan di organ perut (hati, kandung empedu, limpa, ginjal, dll),

payudara, kandungan, kehamilan, pembuluh darah, dll. Khususnya pada kehamilan,

USG 3D/4D dapat melihat rupa janin seperti sebuah foto dan dapat melihat gerakan

bayi yang dapat direkam dalam CD. Untuk payudara, USG biasanya dipakai untuk

skrinning benjolan/keluhan pada wanita – wanita usia < 35 tahun atau sebagai

pemeriksaan pelengkap dan atau lanjutan setelah dilakukan mammografi pada

wanita usia > 35 tahun.

Gambar 4.7 Contoh Foto USG pada ginjal (tanda panah : batu ginjal)

Terminologi yang sering digunakan pada ultrasonografi antara lain:

-Isoechoic atau normoechoic, misalnya untuk hepar, lien, atau ginjal yang normal.

-Hypoechoic atau echopoor atau echoluscent, misalnya abses hepar dan tumor

uterus.
91

-Hyperechoic atau echorich atau echodens, misalnya batu ginjal dan adanya

kalsifikasi di suatu jaringan.

-Unechoic atau echofree (hitam), misalnya urine, ascites dan darah.

Pemeriksaan ultrasonografi biasanya ditujukan untuk kepala bayi, tiroid,

mammae, jantung, organ abdomen, kebidanan dan kandungan serta pada tulang.

4..5 MEDIA KONTRAS

Media kontras merupakan zat yang membantu visualisasi beberapa struktur

selama melakukan beberapa teknik pemeriksaan radiodiagnostik, bekerja

berdasarkan prinsip penyerapan sinar X, sehingga mencegah pengiriman sinar

tersebut pada pasien. Zat kontras yang paling sering digunakan adalah barium sulfat

yang dapat memperlihatkan bentuk saluran pencernaan dan sediaan iodine organic

yang banyak digunakan secara intravena pada CT untuk memperjelas gambaran

vaskuler dan berbagai organ. Agen-agen kontras juga dapat digunakan pada lokasi

tertentu, misalnya:

- Arteriografi pada sistem arterial

- Venografi pada sistem vena

- Mielografi pada teka spinalis

- Kolangiografi pada sistem bilier

- Artrografi pada persendian

- Histerosalpingografi pada uterus dan

- Sialografi pada kelenjar saliva.


92

Gambar 4.5 Contoh foto yang menggunakan media kontras pada foto BNO

setelah 10 menit

Contoh dibawah adalah pemakaian kontras pada foto CT scan (atas) dan

foto MRI (bawah) pada pasien yang menderita tumor pada otak gambar (-) adalah

gambar non kontras sedangkan gambar (+) adalah gambar dengan kontras. Gambar

tanda panah kuning memperlihatkan gambar pembuluh darah bagian luar tumor

sedangkan tanda panah merah adalah pembuluh darah yang normal.


93

Gambar 4.6 Contoh hasil CT Scan dan MRI kontras non kontras

Pemakaian media kontras seringkali digunakan untuk melihat adanya tumor

diotak dengan menggunakan CT-scan ataupun MRI dan hasil foto dengan media

kontras ini bisa digunakan untuk memprediksi apakah tumornya jinak atau ganas

dengan melihat banyak tidaknya pembuluh darah disekitar tumor, walaupun untuk

memastikannya dilakukan dengan biopsi dan pemeriksaan PA/Patologi Anatomi.

Saluran pencernaan ataupun saluran sistem eksresi seperti pada foto BNO diatas

juga sering menggunakan media kontras.


94

Modalitas Sensitivitas Spesifisitas


WB MRI 94-99 82-94
Bone Scintigraphy 70-95 71-96
PET-CT 90 92-96
BAB V
GAMBARAN RADIOLOGI

Tampilan radiologi pada kasus rhabdomiosarkoma tidak menunjukkan

gambaran radiologi yang spesifik dan tidak dapat membedakannya dari sarkoma

lain, namun penggunaan modalitas radiologi dalam menentukan lokasi dan

demografi pasien berguna dalam mempersempit diferensial diagnosis.

5.1 Foto Polos

5.1.1 Rhabdomiosarkoma

Foto polos tidak spesifik dalam menegakan diagnosis rabdomiosarkoma,

namun foto polos adalah langkah pertama yang berguna karena mereka dapat

memberikan pandangan global yang cepat dan mengidentifikasi kalsifikasi dalam

massa, keterlibatan tulang dan metastasis. Jika massa muncul pada ekstremitas

anak-anak, rhabdomyosarcomas embrional dapat menyebabkan membungkuknya

tulang panjang yang berdekatan. Ini tidak boleh dianggap sebagai menyarankan

pertumbuhan lambat atau perilaku lamban.

95
96

Gambar 5.1 (a).Thoraks X-ray menunjukkan tumor rhabdoid yang melibatkan

jaringan lunak sisi kiri leher dan dinding dada, (b) potongan coronal MRI T2 pada

pasien yang sama

5.1.2 Limfoma Maligna

Penampilan tidak spesifik, biasanya menunjukkan massa jaringan lunak

intrathoracic atau intra-abdominal. Tekanan pada tulang yang berdekatan dapat

menyebabkan remodeling tulang rusuk, tubuh vertebral atau penipisan pedikel.

Hingga 30% mungkin memiliki bukti kalsifikasi pada film biasa.


97

Hodgkin Disease. Upper: Frontal and Lateral radiographs of the chest show large,

bulky, lobulated soft tissue masses in the mediastinum (white arrows).

5.1.3 Neuroblastoma

Radiografi polos abdomen menunjukkan massa di panggul. Kalsifikasi

tampak pada hingga 30% dari radiografi. Hepatomegali dapat terjadi sekunder

apabila terjadi metastase. Foto thoraks sering menunjukkan massa di

mediastinum posterior. Erosi tulang rusuk dapat terlihat pada pasien dengan

neuroblastoma tumor primer yang berlokasi di dada.11


98

Gambar 1. Foto thorak menunjukkan massa di dada tepat di belakang

jantung. Perubahan tulang rusuk posterior dan tampilan lateral (terlihat pada

gambar berikutnya) mengkonfirmasi bahwa ini adalah massa di mediastinum

posterior, penipisan tulang rusuk bawah di sebelah kanan.

Gambar 2. Foto thoraks lateral pada pasien yang sama seperti pada gambar

sebelumnya memastikan massa di mediastinum posterior.


99

Efusi pleura dan nodul pleura dapat terlihat pada radiografi thoraks.

Metastase pada parenkim paru-paru jarang terlihat pada radiografi tetapi seringkali

terdeteksi pada otopsi. Metastase pada tulang (terlihat pada gambar di bawah)

biasanya terjadi pada tulang panjang dan biasanya terlihat sebagai lusen tidak

teratur atau lesi litik di metaphysis atau tulang submetaphyseal.

5.2 Ultrasonografi

5.2.1 Rhabdomiosarkoma

Gambar 5.2 (a) Potongan sagital T1 MRI RMS pada vesical urinaria dekelilingi

hipointense urin (b) Ultrasound vesical urinaria pada pasien yang sama

5.2.2 Limfoma Maligna

Sonographic features of benign and malignant neck nodes


100

Sonographic
Benign nodes Malignant nodes
features
Persistent or slight
Size changes in serial Increase in serial examinations
examinations
Shape Elliptical (S/L <0.5) Round (S/L >0.5)
Sharp. Proven malignant nodes with
Nodal border Unsharp unsharp borders indicate extracapsular
spread
Echogenic hilus Present Absent
Hyperechoic in metastatic nodes from
Echogenicity Hypoechoic papillary thyroid carcinoma. Other
malignant nodes tend to be hypoechoic
Intranodal
Absent Common in lymphomatous nodes
reticulation
Punctate and peripherally located
Intranodal
Absent calcification is common in metastatic
calcification
nodes from papillary thyroid carcinoma
Common in metastatic nodes from
Intranodal cystic Common in
papillary thyroid carcinoma and
necrosis tuberculous nodes
squamous cell carcinoma
Common in May be found in patients with previous
Matting
tuberculous nodes neck radiation therapy
May be found in patients with previous
Adjacent soft Common in neck radiation therapy. May be found in
tissue oedema tuberculous nodes malignant nodes with extracapsular
spread
Intranodal Hilar vascularity or
Peripheral or mixed vascularity
vascular pattern apparently avascular
Stiffness Soft Hard
101

Transverse shear wave elastogram in a patient with carcinoma of the larynx shows

a metastatic lymph node in the internal jugular chain. The lymph node has

relatively higher stiffness values compared with the reactive lymph node in Fig.

14. The large circle measures the overall stiffness of the lymph node, and the

small circle measures the relatively harder area within the node.

5.2.3 Neuroblastoma

Neuroblastoma pada USG menunjukkan massa heterogen dengan

vaskularisasi internal. Seringkali ada area nekrosis yang muncul sebagai daerah

dengan echogenisitas rendah. Kalsifikasi mungkin atau mungkin tidak terbukti pada

USG.
102

A 3 year old child presented with abdominal distention of 2 months duration. An

ultrasound was performed.

Caption: Magnified image of the right upper quadrant mass

Description: The internal characteristics of a section of the mass are displayed in

this image. Also noted are multiple, small rounded hypoechoic structures in close

vicinity to the mass, most likely representing metastatic nodes.


103

16 month old with 1 month of poor appetite and lethargy. Mom recently noticed a
distended belly. Large heterogeneous, solid intra-abdominal mass. It appears to
arise from the left retroperitoneum and causes substantial mass effect on the left
kidney without appearing to arise from the left renal parenchyma.

5.3 CT-Scan

5.3.1 Rhabdomiosarkoma

CT-Scan pada kasus rhabdomyosarcoma memberikan gambaran seperti ;

- Gambaran jaringan lunak yang memadat

- Gambaran enhancement setelah pemberian kontras

- Kerusakan tulang yang berdekatan dengan massa (pada 20 % kasus)


104

Gambar 5.3 (a) Coronal CT RMS nasopharyngeal meluas ke ethmoid

sinistra dan sinus maxilaris serta ke fossa orbita (b) Axial T1 MRI

menggambarkan intracranial ekstensi dari tumor pada pasien yang sama

5.3.2 Limfoma Maligna

Keterlibatan paru parenkim terjadi pada 1/3 pasien dengan Hodgkin.

Hampir semua memiliki adenopati hilar atau mediastinum. Manifestasi paling

umum. Hadir pada 90-99%. Kelompok limfonodi multipel yang terlibat. Anterior

mediastinal dan retrosternal. Biasanya terlibat. Terkurung pada mediastinum

anterior pada 40%. % dengan nodus mediastinum memiliki limfadenopati hilar juga

nodus limfa hilar terlibat secara bilateral pada 50% bentuk bronkovaskular (tipe

keterlibatan yang paling umum) Pola retikulonodular kasar yang bersebelahan

dengan mediastinum dari ekstensi langsung dari nodus mediastinum bersama

limfatik Nodula lesi parenkim nodul milier nodul keterlibatan saraf terhadap

atelektasis sekunder obstruksi endobronkial (jarang) Atelektasis sangat jarang dan

hampir selalu disebabkan oleh lesi endobronkial. Kavitasi sekunder akibat nekrosis

(jarang). Bentuk subpleural Massa subpleural yang dibatasi Efusi pleura akibat

obstruksi limfatik. Sekitar 1/3 mengalami efusi pleura. Biasanya dilakukan tidak
105

mengandung sel-sel ganas Bentuk pneumonia Infiltrat nonsegmental difus (tipe

pneumonic) Infiltrat lobar masif (30%) Infiltrat konfluen homogen dengan batas

shaggy Berisi bronkogram udara Nodular multipel nodul <1 cm dengan diameter

Manifestasi ekstraparenkim di dada Hilar adenopati biasanya tidak normal tetapi

tidak sama Simpul mediastinum anterior yang sering terlibat Mereka dapat

mengapur setelah terapi radiasi

Axial contrast-enhanced CT scan of the chest again demonstrates massive

mediastinal soft tissue masses consistent with lymphoma (white arrows).)


106

5.3.3 Neuroblastoma

Pada CT, tumor biasanya heterogen dengan kalsifikasi yang terlihat pada

80-90% kasus 2. Area nekrosis memiliki atenuasi rendah.

Morfologi tumor sering membantu, dengan massa terlihat menyinari dirinya

sendiri di bawah aorta dan mengangkatnya dari kolom tulang belakang. Ini

cenderung membungkus pembuluh dan dapat menyebabkan kompresi. Organ-

organ yang berdekatan biasanya tergeser, walaupun pada tumor yang lebih agresif

invasi langsung dari otot psoas atau ginjal dapat terlihat. Dalam yang terakhir, itu

dapat membuat neuroblastoma yang membedakan dari tumor Wilms sulit (lihat

neuroblastoma vs tumor Wilms). Pembesaran kelenjar getah bening sering terjadi.

Large right enhancing mass with central hypoattenuation.

5.4 MRI

5.4.4 Rhabdomiosarkoma

Gambaran MRI pada rhabdomyosarcoma meliputi :

a. T1
107

- Intensitas redah-sedang, isointens pada jaringan yang berdekatan

dengan otot

- Area pendarahan sering terjadi pada subtype alveolar dan pleomorfik

b. T2

- Hiperintense

- prominent flow voids dapat terlihat khususnya pada lesi ekstremitas

- T1 C + (Gd) : menunjukkan gambaran peningkatan enhancement

Rhabdomiosarkoma tipe embryonal menunjukan gambaran MRI yang lebih

homogenous,sedangkan subtype alveolar dan pleomorphic

rhabdomiosarkoma seringkali menunjukkan gambaran nekrosis dengan

gambaran cincin pada pemberian kontras

Gambar 5.4 (a) gambaran MRI potongan axial T1 pada muskulus temporalis

dextra, (b) MRI coronal T2 pada lesi yang sama


108

5.4.2 Limfoma Maligna

Karakteristik pencitraan akan tergantung pada lokasi dan subtipe

limfoma. CT adalah kuda penarik pencitraan dalam limfoma dan memainkan peran

penting dalam pementasan (lihat artikel utama: pementasan limfoma). AS dan MRI

juga digunakan; misalnya, ketika menilai kelenjar getah bening serviks (AS) atau

limfoma SSP (MRI). FDG-PET digunakan untuk pementasan dan pementasan

kembali limfoma.

WB-MRI of a 16-year-old female with Hodgkin disease. (A) Coronal T1-


weighted WB-MRI. (B) Close-up image shows bilateral enlarged cervical lymph
nodes (arrows) and a large mediastinal mass (arrowheads) consistent with
confluent lymphadenopathy.

5.4.3 Neuroblastoma

MRI lebih unggul dari semua modalitas lain dalam menilai organ asal,

penyakit intrakranial atau intraspinal dan penyakit sumsum tulang 2.

T1: heterogen dan iso-hypointense

T2
109

heterogen dan hyperintense

daerah kistik / nekrotik intensitasnya sangat tinggi

kekosongan sinyal mungkin jelas

C + (Gd): peningkatan variabel dan heterogen

16 month, A right right suprarenal mass is seen. MRI abdomen reveals a well

defined mass lesion in right suprarenal region. Characteristic site of mass lesion

and typical correlative clinical features led to presumptive diagnosis of

neuroblastoma.Peroperatively lesion was found to be neuroblastoma.


BAB VI
GAMBAR RADIOLOGI

6.1 RHABDOMIOSARCOMA

Gambar 6.1 CT-scan female 25 years with rhabdomyosarcoma of the right psoas

muscle.

Gambar 6.2 CT-Scan male 15 years with a soft tissue mass in the inferior aspect

of the orbit inseparable from inferior rectus muscle. The mass results in proptosis

and deforms the posterior aspect of the globe.

110
111

Gambar 6.3 Three selected images from an MRI of the lumbar region of a child

demonstrate marked increase in size of the paraspinal muslces on the right. The

muscle is enlarged, isointense to adjacent muscles on T1 (A and B),

heterogeneously hyperintense on T2 STIR and demonstrates relatively

homogeneous increased contrast enhancement (C).


112

Gambar 6.4 Ultrasound study shows a large left paratesticular mass compressing

the left testicle. The mass has heterogenous echotexture, with central hypoechoic

ill-defined areas that may represent necrosis. (A).Longitudinal (B) Oblique

Gambar 6.5 A large soft tissue mass with bulk dimensions of 7.8X6.7X8.6 cm is

seen occupying the palm of the hand along its volar and dorsal aspect being more

sizable at the volar side. The lesion elicits intermediate signal on T1, a high

signal on T2 and STIR with marked heterogeneous enhancement in the post-


113

gadolinium series. The mass is filling the inter-meta-carpo-phalangeal spaces and

infiltrating the related muscles and encasing the flexor tendons of the hand and

flexor pollicis tendons. The mass breaches dorsally surrounding the extensor

tendons as well. The neoplastic mass is seen infiltrating the second to fifth

metacarpal bones most evident at the fourth meta-carpal bone extending to

involve a 3.7 cm segment with total erosion of the proximal portion. It is seen also

eroding the distal row of carpal bones.

(A) Coronal, (B) Coronal STIR

Gambar 6.6 6 years old male with abnormal belly of opponens pollicis with T2

hyperintensity and abnormal enhancement. (A). MRI T1, (B) MRI T2


114

Gambar 6.7 25-year-old man with embryonal rhabdomyosarcoma in right

parapharyngeal space at initial presentation.

A, Axial gadolinium chelate–enhanced T1-weighted MRI shows heterogeneous

enhancement of right parapharyngeal space mass (M) that appears contiguous

with deep lobe of parotid gland (thin arrow) and associated airway narrowing

(thick arrow).

Gambar 6.8 25-year-old man with embryonal rhabdomyosarcoma in right

parapharyngeal space at initial presentation.


115

B, Coronal STIR image shows mass (M) to be hyperintense, extending from level

of upper medial pterygoid (arrow) to submandibular gland.

Gambar 6.9 23-year-old woman who presented with multiple soft-tissue masses

representing alveolar rhabdomyosarcoma, with unknown primary tumor site.

A, Initial contrast-enhanced CT examinations of chest. Axial soft-tissue window

shows multiple large heterogeneous lobulated soft-tissue masses in anterior

mediastinum (long thin arrow, A), multiple enlarged bilateral axillary lymph

nodes (short arrows, A), and lytic lesion of manubrium (thick arrow, A). Multiple

paracardiac soft-tissue masses (arrows, B) and retroperitoneal metastatic soft-

tissue nodules were also present (not shown). According to these findings,

differential diagnoses included non-Hodgkin lymphoma and unusual presentations

of sarcoma and adenocarcinoma.


116

Gambar 6.10 23-year-old woman who presented with multiple soft-tissue masses

representing alveolar rhabdomyosarcoma, with unknown primary tumor site.

B, Initial contrast-enhanced CT examinations of chest. Axial soft-tissue window

shows multiple large heterogeneous lobulated soft-tissue masses in anterior

mediastinum (long thin arrow, A), multiple enlarged bilateral axillary lymph

nodes (short arrows, A), and lytic lesion of manubrium (thick arrow, A). Multiple

paracardiac soft-tissue masses (arrows, B) and retroperitoneal metastatic soft-

tissue nodules were also present (not shown). According to these findings,

differential diagnoses included non-Hodgkin lymphoma and unusual presentations

of sarcoma and adenocarcinoma.


117

Gambar 6.11 23-year-old woman who presented with multiple soft-tissue

masses representing alveolar rhabdomyosarcoma, with unknown primary tumor

site.

C, Coronal contrast-enhanced chest CT examination 3 years after treatment with

combination chemotherapy showed progression of disease in form of increased

mediastinal (short thick arrow) and bilateral supraclavicular (long thin arrows)

lymphadenopathy, new pulmonary metastases (not shown), and small bilateral

pleural effusions.
118

Gambar 6.6.12 23-year-old woman who presented with multiple soft-tissue

masses representing alveolar rhabdomyosarcoma, with unknown primary tumor

site.

D, Axial contrast-enhanced abdominal CT images show increase in

retroperitoneal disease (arrowheads), new metastases in pancreatic body (thick

black arrows) with resultant distal pancreatic ductal dilation (white arrow, D),

new liver metastases (thin arrow, E), peritoneal deposits, and pelvic ascites (not

shown).
119

Gambar 6.13 23-year-old woman who presented with multiple soft-tissue masses

representing alveolar rhabdomyosarcoma, with unknown primary tumor site.

E, Axial contrast-enhanced abdominal CT images show increase in retroperitoneal

disease (arrowheads), new metastases in pancreatic body (thick black arrows) with

resultant distal pancreatic ductal dilation (white arrow, D), new liver metastases

(thin arrow, E), peritoneal deposits, and pelvic ascites (not shown).
120

Gambar 6.14 54-year-old woman with high-grade pleomorphic

rhabdomyosarcoma of left groin.

A, Axial fat-suppressed T2-weighted MRI shows heterogeneous-signal-intensity

lobulated mass (arrow) centered in left iliopsoas muscle of proximal thigh

posterior to femoral vessels and just anterior to left femur.

Gambar 6.15 54-year-old woman with high-grade pleomorphic

rhabdomyosarcoma of left groin.

B, Axial fat-suppressed T1-weighted MRI shows nonspecific central high-signal-

intensity area within mass (arrow).


121

Gambar 6.16 54-year-old woman with high-grade pleomorphic

rhabdomyosarcoma of left groin.

C, Axial fat-suppressed gadolinium chelate–enhanced T1-weighted MRI shows

heterogeneous enhancement of partly necrotic mass (arrow).

Gambar 6.17 21-year-old man with sclerosing rhabdomyosarcoma in left

posterior thigh; MRI examinations are from initial presentation, and pathology

images are from surgically resected specimens.


122

A, Coronal T2-weighted fat-suppressed MRI shows left posterior proximal thigh

mass involving semitendinous muscle with heterogeneous high signal intensity

and thin linear hyperintense component at its inferior extent (arrow), which was

also tumor component.

Gambar 6.18 —21-year-old man with sclerosing rhabdomyosarcoma in left

posterior thigh; MRI examinations are from initial presentation, and pathology

images are from surgically resected specimens.

B, Axial T1-weighted fat-suppressed MRI shows mass is of heterogeneously high

signal intensity, likely because of large areas of collagenous stroma.


123

Gambar 6.19 —20-year-old woman with primary alveolar rhabdomyosarcoma of

right axilla at initial presentation. Coronal fat-suppressed gadolinium chelate–

enhanced T1-weighted MRI shows centrally necrotic heterogeneously enhancing

right axillary mass with minimal infiltration of underlying right anterolateral chest

wall (long arrow). Note multiple enlarged adjacent right axillary lymph nodes (short

arrows). Further imaging revealed metastatic nodal disease in left axillary,

supraclavicular, mediastinal, and mesenteric regions with retroperitoneal

metastases (not shown).


124

Gambar 6.20 —21-year-old man with pleomorphic rhabdomyosarcoma of

perineum.

A, Axial STIR MRI shows lobulated high-signal-intensity heterogeneous mass

centered in left perineum, predominantly in ischioanal fossa, causing deviation of

anal canal (arrow).

https://www.ajronline.org/doi/10.2214/AJR.11.8213

Gambar 6.21—21-year-old man with pleomorphic rhabdomyosarcoma of

perineum.

Axial fat-suppressed gadolinium chelate–enhanced T1-weighted MRI shows

heterogeneous enhancement of left ischioanal fossa mass with areas of necrosis and

involvement of root of penis (arrow).


125

Gambar 6.22—21-year-old man with pleomorphic rhabdomyosarcoma of

perineum.

C, Sagittal fat-suppressed gadolinium chelate–enhanced T1-weighted MRI shows

cranial extent of heterogeneously enhancing partly necrotic mass closely abutting

anal canal (arrow).

https://www.ajronline.org/doi/10.2214/AJR.11.8213

Gambar 6.23—21-year-old man with pleomorphic rhabdomyosarcoma of

perineum.
126

D, Axial contrast-enhanced CT scan of abdomen obtained 18 months after

neoadjuvant radiation, complete resection of primary perineal mass, and

combination chemotherapy shows progression of peritoneal carcinomatosis (white

arrows) and interval development of small-bowel obstruction (black arrow).

Gambar 6.24—57-year-old woman with pleomorphic rhabdomyosarcoma of

right thigh and groin at initial presentation.

A, Coronal fat-suppressed T2-weighted MRI shows heterogeneous signal in

anterior component of mass (M) centered in muscles of anterior compartment of

right thigh with enlarged metastatic hyperintense right external iliac node (arrow).
127

Gambar 6.25—57-year-old woman with pleomorphic rhabdomyosarcoma of

right thigh and groin at initial presentation.

B, Coronal T1-weighted fat-suppressed gadolinium chelate–enhanced MRI shows

peripheral enhancement of posterior component of primary right thigh mass (long

arrow) as well as right common iliac node (short arrow).

Gambar 6.26—57-year-old woman with pleomorphic rhabdomyosarcoma of

right thigh and groin at initial presentation.


128

C, Axial T1-weighted fat-suppressed contrast-enhanced MRI shows right thigh

mass (short arrow) abutting femoral vessels (thin arrow), with marrow enhancement

due to intramedullary tumor extension (long thick arrow) from destruction of

medial cortex of right femur just below lesser trochanter (not shown).

https://www.ajronline.org/doi/10.2214/AJR.11.8213

Gambar 6.27—57-year-old woman with pleomorphic rhabdomyosarcoma of

right thigh and groin at initial presentation.

D, Axial contrast-enhanced CT image of right thigh and groin after 3 months of

neoadjuvant chemotherapy and local radiation therapy shows unchanged low-

attenuation peripherally enhancing mass (thick white arrow) abutting femoral

vessels (thin white arrow), with intramedullary tumor (black arrow) in right

proximal femur.
129

https://www.ajronline.org/doi/10.2214/AJR.11.8213

Gambar 6.28—23-year-old woman who presented with multiple soft-tissue

masses representing alveolar rhabdomyosarcoma, with unknown primary tumor

site (same patient as in Fig. 2A, 2B, 2C, 2D, 2E, and 2F); FDG PET/CT images

were obtained after treatment with combination chemotherapy but 3 months

before follow-up CT scan showing multiple FDG-avid soft-tissue masses due to

alveolar rhabdomyosarcoma.

A, Axial unenhanced chest CT (A) and axial fused PET/CT (B) images reveal

intensely FDG-avid enlarged right internal mammary (short arrows) and left

posterior mediastinal (long arrows) lymph nodes.


130

Gambar 6.29—23-year-old woman who presented with multiple soft-tissue

masses representing alveolar rhabdomyosarcoma, with unknown primary tumor

site (same patient as in Figs. 2A, 2B, 2C, 2D, 2E, and 2F); FDG PET/CT images

were obtained after treatment with combination chemotherapy but 3 months

before follow-up CT scan showing multiple FDG-avid soft-tissue masses due to

alveolar rhabdomyosarcoma.

B, Axial unenhanced chest CT (A) and axial fused PET/CT (B) images reveal

intensely FDG-avid enlarged right internal mammary (short arrows) and left

posterior mediastinal (long arrows) lymph nodes.

Gambar 6.30—23-year-old woman who presented with multiple soft-tissue

masses representing alveolar rhabdomyosarcoma, with unknown primary tumor

site (same patient as in Figs. 2A, 2B, 2C, 2D, 2E, and 2F); FDG PET/CT images

were obtained after treatment with combination chemotherapy but 3 months

before follow-up CT scan showing multiple FDG-avid soft-tissue masses due to

alveolar rhabdomyosarcoma.
131

C, Coronal maximum-intensity-projection image shows intensely FDG-avid

enlarged lymph nodes in right upper neck (arrowhead), right axilla (long white

arrow), mediastinum (thick black arrow), and right subdiaphragmatic regions with

moderately FDG-avid metastatic disease in upper lobe of right lung, pancreas (short

white arrow), left perinephric space (thin long black arrow), peritoneum in left iliac

fossa (thin short black arrow), and right acetabulum (curved black arrow). Right

acetabular marrow metastatic lesion was not seen on follow-up CT in spite of

progression of metastatic visceral disease at multiple other sites on CT, thus

reflecting importance of PET/CT in evaluation of bone marrow metastatic disease.

Gambar 6.31—54-year-old woman with metastasis from high-grade pleomorphic

rhabdomyosarcoma of left groin found at follow-up.

A, Initial axial chest CT shows small subcentimeter pulmonary nodule (arrow) in

left lower lobe, highly suspicious for metastasis.


132

Gambar 6.32—54-year-old woman with metastasis from high-grade pleomorphic

rhabdomyosarcoma of left groin found at follow-up.

B, Axial contrast-enhanced T1-weighted MRI of chest done after 1 year shows new

right lower lobe pulmonary nodule (white arrow) with new metastases in left breast

(black arrow) and multiple new pulmonary nodules (not shown). Patient declined

treatment between these two scans after neoadjuvant chemoradiation and resection

of primary mass.

Gambar 6.33 9C—54-year-old woman with metastasis from high-grade

pleomorphic rhabdomyosarcoma of left groin found at follow-up.


133

C, Follow-up coronal contrast-enhanced chest CT showed significant progression

of disease in form of increased size of pulmonary mass (black arrow) and left

breast metastases (white arrow). New metastases in right gluteal muscle (not

shown) were also present. Patient died of metastatic disease 2 years after initial

diagnosis of primary tumor.

6.2 LIMFOMA MALIGNA

Gambar 6.34 35 years old male There is circumferential pleural

thickening greater than 1 cm with mediastinal pleural involvement at the left side.

Pulmonary parenchyma infiltration also is noted with CT angiogram sign. Fluid

collection also is seen at left pleural space.


134

Gambar 6.35

Complete collapse of the L1 vertebral body, with compression of the conus by

soft tissue. The disks on either side are preserved.


135

Gambar 6.36 Retroperitoneal lymphoma

27 years old male with Large ill defined heterogeneous soft tissue mass is seen

centered on the left posterior para renal space. It infiltrates the transversalis fascia,

muscles of the posterior abdominal wall, infiltrates the left psoas muscle and

medial aspect of the left kidney and displaces the left kidney forward and
136

upward.The mass shows minimal enhancement with extensive central necrosis.

Hepatosplenomegaly, adrenal gland enlargement and para aortic lymph nodes are

other findings.

6.3 Neuroblastoma
137

Gambar 6.37 years old male The computed tomography confirms the presence of

a solid mass in the right paravertebral region at the level of T9-T12, with small

calcifications inside. The lesion appears relatively well defined. At its medial edge

contacts the intervertebral foramen at T10-T11 level without signs suggesting

intraspinal extension. In its posterior edge is accompanied by pleural thickening

and contacts the rib cage and extrapleural soft tissue at the level of the intercostal

space T9 - T10, without signs suggesting secondary bone involvement. Anterior

portion extends to the right and prevertebral paraaortic region. Rest of the

examination without alterations


138

Gambar 6.38 Neuroblastoma


139

Gambar 6.39 16 month, A right right suprarenal mass is seen. MRI abdomen

reveals a well defined mass lesion in right suprarenal region. Characteristic site of

mass lesion and typical correlative clinical features led to presumptive diagnosis

of neuroblastoma.Peroperatively lesion was found to be neuroblastoma.


BAB VII
KESIMPULAN

Rhabdomiosarkoma adalah adalah kanker jaringan lunak dengan derajat

keganasan tinggi dan timbul dari sel-sel mesenkimal primitif yang akan menjadi

otot lurik2. Tumor ini berkembang di bagian manapun dari tubuh. Daerah yang

sering ditemukan adalah kepala, leher, saluran urogenital, testis, rahim atau vagina,

lengan atau kaki. Kadang-kadang tumor juga ditemukan dalam otot atau anggota

badan, di dada atau di dinding perut. Jika tumor di kepala atau leher, kadang-kadang

dapat menyebar ke otak atau cairan sekitar saraf tulang belakang3.

Hingga saat ini penyebab Rhabdomiosarkoma belum diketahui

secara pasti. Faktor genetik dan lingkungan diduga sebagai penyebab timbulnya

penyakit ini. Tumor ini merupakan tumor langka dan hanya terjadi pada beberapa

pasien. Walaupun sebagian besar rhabdomiosarkoma terjadi secara sporadik,

namun demikian 10-33% rhabdomiosarkoma dapat berkembang karena faktor

genetik8.

Prognosis pasien dengan rhabdomiosarcoma bergantung dari ukuran, asal

tumor, gambaran histologi. Pasien dengan ukuran tumor lebih kecil dari 5 cm

memiliki prognosis yang lebih baik daripada tumor dengan ukuran yang lebih besar.

Pasien yang telah mengalami metastasis juga memiliki prognosis lebih buruk

daripada yang belum bermetastasis23.

140
DAFTAR PUSTAKA

1. Cotran, Kumar, Robbins. Dasar Patologi Penyakit. Jakarta: EGC,


1999.761-762.

2. Wang J, Tu X, Weiqi Sheng W.2008. Sclerosing Rhabdomyosarcoma A


Clinicopathologic and Immunohistochemical Study of Five Cases. Am J
Clin Pathol. 2008;129:410-5.

3. Lubis B. Rhabdomiosarkoma Retroperitoneal. e-USU Repository ©2005


Universitas Sumatra Utara 2005:1-8.

4. Ulutin C, Bakkal BH, Kuzhan O. A Cohort Study of Adult


Rhabdomyosarcoma: A Single Institution Experience.World J. Med. Sci.
2008;3(2):54-9

5. Edhy ATRK, Gatot D, Windiastuti E. Rhabdomiosarkoma pada anak:


luaran klinis pada pasien yang mendapat terapi. Indonesion Journal of
Cancer. 2011;5(2):83-87.

6. Stuart A, Radhakrishnan J. Rhabdomyosarcoma. Indian J Pediatr.


2004.71(4):331-337

7. American Cancer Society. 2014. Sign and Symptomps of


Rhabdomyosarcoma.
http://www.cancer.org/cancer/rhabdomyosarcoma/detailedguide/rhabdomy
osarcoma-signs-symptoms (diakses 27 februari 2019).

8. McDowell HP. Update on childhood rhabdomyosarcoma. Arch Dis Child.


2003;88:354–57.

9. Cao L, Yu Y, Bilke S, Walker RL, Mayeenuddin LH, Azorsa DO, et al.


2010. Genome-wide identification of PAX3-FKHR binding sites in
rhabdomyosarcoma reveals candidate target genes important for
development and cancer. Cancer Res;70(16):6497-508.

10. Cavalli F, Hansen HH, Kaye SB (2004). Textbook of Oncology. Edisi ke-3.
Oxfordshire : Taylor and Francis Group

11. Davicioni E, Anderson MJ, Finckenstein FG, et al. Molecular classification


of rhabdomyosarcoma—genotypic and phenotypic determinants of
diagnosis a report from the children’s oncology group. Am J Pathol.
2009;174:550–64

12. Crist WM. Sarkoma Jaringan Lunak. Dalam: Nelson WE(eds). Ilmu
Kesehatan Anak. Edisi ke-15. Jakarta: EGC, 2004.1786-1789.

141
142

13. Williamson D, Missiaglia E, de Reynie`s A, et al. Fusion gene– negative


alveolar rhabdomyosarcoma isclinically and molecularly indistinguishable
fromembryonal rhabdomyosarcoma. J Clin Oncol. 2010;28:2151-8. 12.
Cardoso PCdS, Bahia MdO, Bar

14. Reksoprodjo S et al. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta : Binarupa


Aksara, 1995.402-405.

15. Duan F, Smith LM, Gustafson DM, Zhang C, Dunlevy MJ, Gastier-Foster
JM, et al. 2012. Genomic and clinical analysis of fusion gene amplification
in rhabdomyosarcoma: A report from the Children's Oncology Group.
Genes Chromosomes Cancer.

16. Drake AF, Lee SC, Kelley DJ, Talavera F. 2014. Rhabdomyosarcoma.
Medscape. emedicine.medscape.com/article/873546-overview. Diakses 19
Mei 2015

17. Ferguson MO. Pathology: Rhabdomyosarcoma.


http://www.emedicine.com. (diakses 05 maret 2019).

18. Fletcher CDM, Unni KK, Mertens F (2006). Pathology and genetics of
tumor soft tissue and bone. Lyon : International Agency for Research on
Cancer, pp:147-148

19. Kumar V, Cotran RSC, Robbins SL (2007). Robbins Basic Pathology. Ed


ke-7. Vol 2. New York : W.B Saunders Company, pp:878-879

20. IDAI (2011). Pedoman Pelayanan Medis. Edisi ke-2. Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia

21. Timothy PC (2014). Pediatric Rhabdomyosarcoma.


http://emedicine.medscape.com/article/988803-overview. Diakses Mei
2015

22. Missiaglia E, Williamson D, Chisholm J, Wirapati P, Pierron G, Petel F, et


al. 2012. PAX3/FOXO1 Fusion Gene Status Is the Key Prognostic
Molecular Marker in Rhabdomyosarcoma and Significantly Improves
Current Risk Stratification. J Clin Oncol

23. National Canver Institute. 2009. Childhood Rhabdomyosarcoma


Treatment.http://www.meb.unibonn.de/cancer.gov/CDR0000062792.html.
Diakses 17 Mei 2015

24. Rankin J, Robb K, Murtagh N, Cooper J, Lewis S. 2008. Rehabilitation in


cancer care. United Kingdom: Wiley-Black Well, pp: 171-179
143

25. Van der Burgt I. 2007. Review Noonan syndrome. Orphanet Journal of Rare
Diseases. 2007;2(4):1-6
26. American Joint Cancer Comitee. 2012. Comparison Guide Cancer Staging
Manual. AJCC: Chicago. www.cancerstaging.com

27. Boediwarsono., Soebandiri., sugianto., Armi. A., Sedana. M.P., Ugroseno.,


2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. FK UNAIR: Surabaya

28. Kumar. V., Cotran. R.S., Robbins. S.L., 2007. Buku ajar Patologi. EGC:
Jakarta

29. Harrison. 2005. Harrison’s Manual of Medicine 16th Edition. McGraw-


Hill: New York

30. Harryanto A.R. 1980. Limfoma Malignum Kanker atau Reaksi Imunologik
yang Abnormal. Cermin Dunia Kedokteran: Jakarta
www.kalbe.co.id/files/cdk /files/cdk_018_darah.pdf
31. De Jong,Wim. 2005. Kanker, Apakah itu? Pengobatan, Harapan Hidup,
dan Dukungan Keluarga. Jakarta: ARCAN.

32. Cecily, dkk. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatri Edisi 3. Jakarta: EGC.

33. Cheung, Nai-Kong & Chon, Susan L. 2005. Neuroblastoma-Pediatric


Onkology. New York: Springer Herlin Heidelberg

34. Japaries, Willie. 2008. Buku Ajar Onkologi Klinis Edisi 2. Jakarta: FKUI.
Kim & Chung. Pediatric Solid Malignancies : Neuroblastoma and Wilm’s
Tumor. Dari
http://pax6.org/physician/WilmsTumorPediatricSolidMalignancies.pdf
diakses pada 05 Maret 2019.

35. Henry, dkk. Neuroblastoma Update. dari


http://www.pediatricsurgicalservices.com/docs/Neuroblastoma.pdf diakses
pada 03 Maret 2019

36. Nelson. 2011. Nelson Textbook of Pediatric 19th Edition. Philadelphia:


Elsevier Saunders.

37. American Cancer Society. Neuroblastoma. dari


http://www.cancer.org/acs/groups/cid/documents/webcontent/003125-pdf.
diakses pada 09 Maret 2019.

38. Maris, Jhon. 2010. Recent Advances in Neuroblastoma.


dari http://www.nejm.org/ diakses pada 5 maret 2019.

39. National Cancer Institute. Information of Neuroblastoma. Disitasi dari


http://www.cancer.gov/cancertopics/pdq/treatment/neuroblastoma/HealthP
rofessional/page 3 diakses pada 03 Maret 2019
144

40. Thiele CJ. Neuroblastoma Cell Lines. dari


http://home.ccr.cancer.gov/oncology/oncogenomics/Papers/Neuroblastom
a%20Cell%20Lines%20--%20Molecular%20Features.pdf pada 03 Maret
2019

41. Gray H, Anatomy of the Human Body 12th ed. www.bartleby.com. 2015

42. Luhulima JW, et al, Muskuloskeletal, Sistem Cardiovaskular, Sistem

Respirasi,

43. Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran Unhas. 2015.

44. Moore KL, Clinically Oriented Anatomy 5th ed, Lippicott W W, Baltimore,

2006.

45. Netter, FH, Atlas of Human Anatomy 5th ed, Saunders Elsevier,

Philadelphia, 2011.

46. Spalteholz, Atlas Anatomi, 2005.

47. Ville dkk. 1984. Zoologi Umum. PT Gelora Aksara Pratama. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai