Anda di halaman 1dari 6

1.

Perubahan Manusia
Perubahan menurut pandangan Kurt Lewin 1951, seseorang yang akan
mengadakan suatu harus memiliki konsep tentang perubahan yang tercantum
dalam tahap proses perubahan agar proses perubahan tersebut menjadi terarah
dan mencapai tujuan yang ada. Tahap tersebut antara lain :
a) Tahap Pencairan ( Unfreezing ). Pada tahap awal ini yang dapat di
lakukan bagi seseorang yang mau mengadakan proses perubahan adalah
harus memiliki motivasi yang kuat untuk merubah dari keadaan semula
dengan merubah terhadap keseimbangan yang ada. Di samping itu juga
perlu menyiapkan diri dan siap untuk merubah atau melakukan
perubahan.
b) Tahap Bergerak ( Moving ). Pada tahap ini sudah dimulai adanya suatu
pergerakan kearah sesuatu yang baru atau perkembangan terbaru. Proses
perubahan tahap ini dapat terjadi apabila seseorang telah memiliki
informasi yang cukup serta sikap dan kemampuan untuk berubah, juga
memiliki kemampuan dalam memahami masalah serta mengetahui
langkah-langkah dala menyelesaikan masalah.
c) Tahap Pembekuan ( Refreezing ). Tahap ini merupakan tahap pembekuan
di mana seseorang yang mengadakan perubahan kelak mencapai tingkat
atau tahapan yang baru dengan keseimbangan yang baru. Proses
pencapaian yang baru perlu dipertahankan dan selalu terdapat upaya
mendapatkan umpan balik, pembinaan tersebut dalam upaya
mempertahankan perubahan yang telah dicapai. Menurut Rogers E untuk
menandakan suatu perubahan perlu ada beberapa langkah yang ditempuh
sehingga harapan atau tujuan akhir dari perubahan dapat tercapai.
Langkah-langkah tersebut antara lain :
1) Tahap Awareness. Tahap ini merupakan tahap awal yang mempunyai
arti bahwa dalam mengadakan perubahan diperlukan adanya
kesadaran untuk berubah apabila tidak ada kesadran untuk berubah,
maka tidak mungkin tercipta suatu perubahan.
2) Tahap Interest. Tahap yang kedua dalam mengadakan perubahan
harus timbul persaan minat terhadap perubahan yang selalu
memperhatikan terhadap sesuatu yang baru dari perubahan yang
dikenalkan. Timbulnya minat akan mendorong dan menguatkan
kesadaran untuk berubah.
3) Tahap Evaluasi. Tahap ini terjadi penilaian terhadap sesuatu yang
baru agar tidak terjadi hambatan yang akan ditemukan selama
mengadakan perubahan. Evaluasi ini dapat memudahkan tujuan dan
langkah dalam melakukan perubahan.
4) Tahap Trial. Tahap ini merupakan tahap uji coba terhadap sesuatu
yang baru atau hasil perubahan dengan harapan sesuatu yang baru
dapat di ketahui hasilnya sesuai dengan kondisi atau situasi yang ada,
dan memudahkan untuk diterima oleh lingkungan.
5) Tahap Adoption. Tahap ini merupakan tahap terakhir dari perubahan
yaitu pross penerimaan terhadap sesuatu yang baru setelah di lakukan
uji coba dan mersakan adanya manfaat dari sesuatu yang baru
sehingga selalu mempertahankan hasil perubahan.
Lippit memandang teori perubahan dapat dilaksanakan dari tinjauan
sebagai seorang pembaharu, dengan memperkenalkan terjadinya
perubahan, sehingga terdapat beberapa langkah yang di tempuh untuk
dapat mengadakan pembaharuan. Langkah yang di maksud adalah :
1) Menentukan diagnosis terlebih dahulu masalah yang ada
2) Mengadakan pengkajian terhadap motivasi perubahan serta
kemampuan perubahan
3) Melakukan pengkajian perubahan terhadap hasil atau manfaat dari
suatu perubahan
4) Menetapkan tujuan perubahan yang di laksanakan berdasarkan langkah
yang ditempuhnya
5) Menetapkan peran dari pembaharuan sebagai pendidik, peneliti atau
pemimpin dalam pembaharuan
6) Mempertahankan dari hasil perubahan yang di capainya
7) Melakukan penghentian bantuan secara bertahap dengan harapan peran
dan tanggung jawab dapat tercapai secara bertahap.
Teori ini merupakan modifikasi dari teori Lewin dengan menekankan
perencanaan yang akan mempengaruhi perubahan. Enam tahap sebagai
perubahan menurut Havelock, yaitu :
1) Membangun suatu hubungan
2) Mendiagnosi masalah
3) Mendapatkan sumber-sumber yang berhubungan
4) Memilih jalan keluar
5) Meningkatkan penerimaan
6) Stabilisasi dan perbaikan diri sendiri
Spradley menegaskan bahwa perubahan terencana harus secara konstan
dipantau untuk mengembangkan hubungan yang bermanfaat antara agen
berubah dan sistem berubah. Berikut adalah langkah dasar dari model
Spardley yaitu mengenali gejala, mendiagnosis masalah, meganalisa jalan
keluar, memilih perubahan, merencanakan perubahan, melaksanakan
perubahan, mengevaluasi perubahan, dan menstabilkan perubahan.
2. Perubahan dalam sejarah perkembangan pelayanan dan pendidikan kebidanan
a. Perkembangan Kebidanan di Indonesia
1) Pelayanan Kebidanan di Indonesia
Sejak dlu sampai sekarang tenaga yang memegang peranan dalam
pelayanan kebidanan ialah “Dukun bayi” ia merupakan tenaga
terpercaya dalam lingkungannya terutama dalam hal-hal yang
berkaitan dengan reproduksi, kehamilan, persalinan dan nifas. Pada
zaman pemerintahan Hindia Belanda, angka kematian ibu dan anak
sangat tinggi. Tenaga penolong persalinan adalah dukun. Pada tahun
1807 ( zaman Gubernur Jendral Hendrik William Deandels ) para
dukun dilatih dalam pertolongan persalinan, tetapi keadaan ini tidak
berlangsung lama karena tidak adanya pelatih kebidanan. Adapun
pelayanan kebidanan hanya diperuntukkan bagi orang-orang Belanda
yang ada di Indonesia. Tahun 1849 di buka pendidikan Dokter Jawa di
Batavia ( di rumah sakit Militer Belanda sekarang RSPAD Gatot
Subroto ). Saat itu ilmu kebidanan belum merupakan pelajaran, baru
tahun 1889 oleh Straat, Obstetrikus Austria dan Masland, Ilmu
kebidanan diberikan sukarela. Seiring dengan di bukanya pendidikan
dokter tersebut, pada tahun 1851, dibuka pendidikan bidan bagi
wanita pribumi di Batavia oleh seorang dokter militer Belanda ( dr.
W. Bosch ). Mulai saat itu pelayanan kesehatan ibu dan anak di
lakukan oleh dukun dan bidan. Pada tahun 1952 mulai diadakan
pelatihan bidan secara formal agar dapat meningkat kualitas
pertolngan persalinan. Perubahan pengetahuan dan keterampilan
tentang pelayanan kesehatan ibu dan anak secara menyeluruh di
masyarakat di lakukan melalui kursus tambahan yang di kenal dengan
istilah
Kursus Tambahan Bidan ( KTB ) pada tahun 1953 si Yogyakarta
yang akhirnya di lakukan pula di kota-kota besar lain di Nusantara.
Seiring dengan pelatihan tersebut didirikanlah balai kesehatan ibu dan
anak (BKIA). Dari BKIA inilah yang akhirnya menjadi suatu
pelayanan terintegrasi kepada masyarakat yang di namakan Pusat
Kesehatan Masyarakat ( Puskesmas ) pada tahun 1957. Puskesmas
memberikan pelayanan berorientasi pada wilayah kerja. Bidan yang
bertugas di Puskesmas berfungsi dalam memberikan pelayanan
kesehatan ibu dan anak termasuk pelayana keluarga berencana. Mulai
tahun 1990 pelayanan kebidanan di berikan secara merata dan dekat
dengan masyarakat. Kebijakan ini melalui Instruksi Presiden secara
lisan pada Sidang Kabinet tahun 1992 tentang perlunya mendidik
bidan untuk penempatan bidan di desa. Adapun tugas pokok bidan di
desa adalah sebagai pelaksana kesehatan KIA. Khususnya dalam
pelayanan kesehatan ibu hamil, bersalin dan nifas serta pelayanan
kesehatan bayi baru lahir, termasuk pembinaan dukun bayi. Dalam
melaksanakan tugas pokoknya bidan di desa melaksanakan kunjungan
rumah pada ibu dan anak yang memerlukannya, mengadakan
pembinaan pada Posyandu di wilayah kerjanya serta mengembangkan
pondok bersalin sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Hal
tersebut di atas adalah pelayanan yang di berikan oleh bidan di desa.
Pelayanan yang di berikan beriorentasi pada kesehatan masyarakat
berbeda halnya dengan bidan yang bekerja di rumah sakit, di mana
pelayanan yang di berikan berorientasi pada individu. Bidan di rumah
sakit memberikan pelayanan poliklinik antenatal, gangguan kesehatan
reproduksi di poliklinik keluarga berencana, senam hamil, pendidikan
perinatal, kamar bersalin, kamar operasi kebidanan, ruang nifas dan
ruang perinatal. Titik tolak dari Konferensi Kependudukan Dunia di
Kairo pada tahun 1994 yang menekankan pada reproduktive health
(kesehatan reproduksi), memperluas area garapan pelayanan bidan.
Area tersebut meliputi :
a) Safe Motherhood, termasuk bayi baru lahir dan perawatan dan
perawatan , abortus
b) Family Planing
c) Penyakit menular seksual termasuk infeksi saluran alat reproduksi
d) Kesehatan reproduksi pada remaja
e) Kesehatan reproduksi pada orang tua.
Bidan dalam melaksanakan peran, fungsi dan tugasnya didasarkan
pada kemampuan dan kewenangan yang diberikan. Kewenangan
tersebut diatur melalui Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes).
Permenkes yang menyangkut wewenang bidan selalu mengalami
perubahan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat.
Permenkes tersebut dimulai dari :
1) Permenkes No. 5380/IX/1963, wewenang bidan terbatas pada
pertolongan persalinan normal secara mandiri, di dampingi tugas
lain
2) Permenkes No. 363/IX/1980, yang kemudian di ubah menjadi
Permenkes 623 atau 1989 wewenang bidan dibagi menjadi dua
yaitu wewenang umum dan khusus ditetapkan bila bidan
melaksanakan tindaka khusus di bawah pengawasan dokter.
Pelaksanaan dsri Permenkes ini, bidan dalam melaksanakan
praktek perorangan di bawah pengawasan dokter
3) Permenkes No. 572/VI/1996, wewenang ini mengatur tentang
registrasi dan praktek bidan. Bidan dalam melaksankan
prakteknya di beri kewenangan yang mandiri. Kewenangan
tersebut di sertai dengan kemampuan dalam melaksanakan
tindakan. Dalam wewenang tersebut mencakup: Pelayanan
kebidanan yang meliputi pelayanan ibu dan anak, pelayananan
keluarga berencana, pelayanan kesehatan masyarakat
4) Kepmenkes No. 900/Menkes/SK/VII/2002 tentang registrasi dan
praktek bidan revisi dari Permenkes No. 572/VI/1996. Dalam
melaksanakan tugasnya, bidan melakukan kolaborasi, konsultasi
dan merujuk sesuai dengan kondisi pasien, kewenanangan dan
kemampuannya. Dalam keadaaan darurat bidan juga di beri
wewenang pelayanan kebidanan yang di tujukan untuk
penyelamatan jiwa. Dalam aturan tersebut juga di tegaskan bahwa
bidan dalam menjalankan praktek harus sesuai dengan
kewenangan, kemampuan, pendidikan, pengalaman serta
berdasarkan standar profesi. Pencapaian kemampuan bidan sesuai
dengan Kepmenkes No.900/2002 tidaklah mudah karena yang di
berikan oleh Dapartemen Kesehatan mengandung tuntuntan akan
kemampuan bidan sebagai tenaga profesional dan mandiri.
2) Perkembangan Pelayanan Kebidanan
Perawatan zaman dahulu atau sekarang dilakukan oleh dukun pria
atau wanita, dukun menjalankan perawatan biasanya di rumah
penderita atau di rawat di rumah dukunnya sendiri. Cara-cara
mengobati penderita itu sendiri antara lain :
1) Dengan membaca mantra-mantra memohon pertolongan kepada
Tuhan YME
2) Dengan cara mengusir setan-setan yang mengganggu dengan
menyajikan kurban-kurban di tempat itu, macamnya kurban di
tentukan oleh dukun
3) Melakukan massage mengurut penderita
4) Penderita harus melakukan pantangan atau diet yang oleh dukun
itu pula
5) Kadang-kadang dukun bertapa untuk mendapatkan ilham cara
bagaimana menyembuhkan penderita itu
6) Memakai obat-obatan banyak dipakai dari tumbuhan-tumbuhan
yang segar dari daun mudanya, batang, kembang akarnya.
a. Perawatan Kebidanan
1) Kehamilan
Semua wanita hamil diadakan pemeriksaan kehamilan yang di
lakukan oleh dukun bayi dan dukun memberikan nasehat-
nasehat seperti : melakukan pantangan seperti pantangan
makanan tertentu, pantangan terhadap pakaian, pantangan
terhadap jangan pergi malam, pantangan jangan duduk di
muka pintu. Kenduri, kenduri pertama kali di lakukan pada
waktu kehamilan 3 bulan sebagai tanda wanita itu hamil.
Kenduri kedua di lakukan pada umur kehamilan 7 bulan.
2) Persalinan
Biasanya persalinan di lakukan dengan duduk di atas tikar, di
lantai dukun yang menolong menunggu sampai persalinan
selesai. Cara bekerjanya dengan mengurut-ngurut perut ibu.
Menekannya serta menarik anak apabila anak suda kelihatan.
Selama menolong dukun banyak membaca mantra-mantra.
Setelah anak lahir anak di ciprati dengan air agar menangis.
Tali pusat di potong dengan hinis atau bambo kemudian tali
pusatnya di beri kunyit sebagai desinfektan.
3) Nifas
Setelah bersalin ibu di mandikan dukun selanjutnya ibu harus
bisa merawat dirinya sendiri lalu ibu di berikan juga jamu
untuk peredaran darah dan untuk laktasi.
b. Perubahan perkembangan pendidikan bidan di Indonesia
Perkembangan pendidikan bidan berhubungan dengan
perkembangan pelayanan kebidanan. Keduanya berjalan seiring
untuk menjawab kebutuhan masyarakat akan pelayanan
kebidanan. Yang di maksud dalam pendidikan ini adalah
pendidikan forman dan pendidikan nnon formal. Pendidikan bidan
di mualai pada masa penjajahan Hindia Belanda. Pada tahun 1851
seorang dokter militer Belanda ( dr. W. Bosch ) membuka
pendidikan bidan bagi wanita pribumi di Batavia. Pendidikan ini
tidak berlangsung lama karena kurangnya peserta didik yang
disebabkan karena adanya larangan ataupun pembatasan bagi
wanita untuk keluar rumah. Pada tahun 1902 pendidikan bidan di
buka lagi bagi wanita pribumi di rumah sakit militer di batavia dan
pada tahun 1904 pendidikan bidan bagi wanita Indonesia di buka
di Makassar. Lulusan pendidikan ini harus bersedia untuk di
tempatkan di mana saja

Anda mungkin juga menyukai