Anda di halaman 1dari 5

Bagaimana terjadinya HE?

Hal inilah yang perlu kita pelajari lebih jauh sehingga tidak mengklaim
bahwa jika ada unsur HE, itu hanya terjadi karena ketidaktahuan. HE mempunyai banyak bentuk dan
terjadi atas berbagai sebab di belakangnya. Ada dua pandangan atas HE ini yang dijadikan mahzab
bagi yang berkecimpung di dunia analisis kecelakaan. Yang pertama adalah HE merupakan sebab
terjadinya kecelakaan, sebaliknya kelompok kedua memandang HE sebagai akibat dari suatu proses
sebelum error terjadi.

HE sendiri umumnya memperlihatkan adanya keterkaitan antara error yang satu dengan lainnya,
begitu juga adanya pengaruh-pengaruh dari luar si manusia itu sendiri, seperti manajemen, organisasi
serta insitusi. Untuk itu sebaiknya kita kenal terlebih dahulu tiga level performance berdasarkan
psychological and situational mode, yaitu: Skill-based, Rule-based dan Knowledge-based
performance.

1. Skill-based performance merupakan performance seseorang atas suatu kondisi rutin. Kegiatan
yang dilakukan secara rutin menjadikannya bisa berada pada level terbaiknya karena sudah
terprogram dan dilakukan secara terus-menerus.
2. Rule-based performance merupakan performance seseorang atas suatu kondisi yang berada
pada situasi antara rutin dan tidak. Di sini seseorang terkadang harus berhadapan pada situasi
yang mengharuskannya mengacu pada panduan-panduan yang ada. Dalam menghadapi situasi
ini seseorang akan melakukan suatu tindakan berdasarkan kondisi yang dialaminya yang
disesuaikan dengan panduan yang ada.
3. Knowledge-based performance merupakan performance seseorang atas suatu kondisi non-
routine dan tidak ada panduan untuk mengatasinya. Kondisi ini menjadikan seseorang harus
melakukan tindakan yang dia tidak mempunyai referensi sehingga berada pada bukan pada level
terbaik performance –nya.

Ketiga kondisi diatas bisa saja terjadi secara bersamaan, seperti pada dua kejadian di dunia
penerbangan Indonesia yang akan saya jadikan contoh. Berdasarkan performance level diatas, maka
bisa dikategorikan HE, yang secara umum adalah slips, lapses, mistakes dan violations:

1. Slips dan Lapses

Kedua kelompok ini diasosiasikan dengan errors dalam kategori skills. Ini terjadi pada situasi rutin
namun tindakan yang diambil tidak berjalan sesuai prosedur. Slips berhubungan dengan observasi
dimana biasanya akan terjadi attentional or perceptual failures (kesalahan pengamatan atau
persepsi). Sedangkan lapses lebih kepada internal seseorang, yaitu berhubungan dengan memori
atau ingatan.
2. Mistakes

Errors dalam kategori ini berhubungan dengan dua hal, yaitu rule (peraturan) dan knowledge
(pengetahuan). Kondisi ini terjadi karena berada dalam situasi tidak sepenuhnya mengetahui solusi
dari apa yang terjadi karena di luar rutinitas sehingga seseorang harus mengambil keputusan
berdasarkan keadaan yang ditemui dan panduan yang dia miliki.

Beberapa kemungkinan kesalahan bisa terjadi karena tindakan dilakukan atas dasar panduan yang
dimiliki, terlepas dari benar salahnya panduan yang ada. Dan ini merupakan mistakes yang
berhubungan dengan rule.

Sedangkan errors dalam kategori knowledge terjadi karena tidak adanya pengetahuan dalam
menghadapi suatu masalah karena ketiadaan persiapan sehingga suatu keputusan harus diambil
tanpa/kurangnya pengetahuan.

3. Violations

Untuk kategori ini, errors terjadi karenanya deviasi dari prosedur-prosedur atau standar-standar
operasi yang aman. Dalam menentukan level violation (pelanggaran) pun harus berhati-hati karena
banyak faktor yang mempengaruhi. Misalnya pelanggaran rutin yang dilakukan karena lemahnya
sanksi perusahaan dan biasanya pelanggaran ini dilakukan karena seseorang merasa memiliki skill
yang bagus sehingga beberapa prosedur yang bisa diabaikan akan diabaikan. Ada pula pelanggaran
yang dilakukan karena motivasi, misalnya ingin memperlihatkan kemampuan landing di tengah situasi
yang mengharuskan pilot untuk go around. Namun ada juga violations yang memang harus dilakukan,
seperti menolak perintah manajemen untuk terbang karena kondisi pesawat bisa membahayakan
penerbangan.

Management of Human Error


Ditulis oleh Agus Hariadi, MSc, AvMP
Kategori Induk: Artikel
Dibuat: 19 Mei 2015

Human factor (faktor manusia) maupun human error (kesalahan manusia) telah dibahas di berbagai forum dan tulisan.
Di tulisan sebelumnya kita telah membahas Human factor analysis, dan sekarang kita membahas bagaimana
mengendalikan human error. Karena cakupan area yang sangat luas dalam kesempatan ini kita akan membahas
hanya dalam lingkup flight operations. Selagi masih ada keterlibatan manusia dalam aktifitas penerbangan,
maka human error akan selalu ada. Oleh karena itu dunia penerbangan saat ini terus-menerus mencari solusi supaya
tingkat keselamatan penerbangan semakin baik. Sampai dengan saat ini human error paling tidak bisa dikendalikan
dengan menerapkan tiga strategi yaitu:
1. Crew Resources Management (CRM)

Human factor training sudah menjadi suatu mandatory requirement (persyaratan mutlak) bagi personel yang terlibat
dalam aktifitas penerbangan. Pelatihan ini harus diulangi (refreshed) dalam jangka waktu tertentu. CRM
adalah management human factor yang diterapkan pada flight operations crew , awak pesawat. Di
dunia maintenance pelatihan ini sering disebut HFAM (Human factor in Aircraft Maintenance). Pada CRM
modern, human error adalah sesuatu yang berhubungan dengan kebiasaan dan sifat manusia yang sulit untuk
dihindari tetapi harus dilawan (counter-measure) dengan tiga perlawanan (Helmreich et al, 1999), yaitu:

 Avoidance: Yaitu mencoba untuk menghindari error sekuatnya dengan cara tidak mengoperasikannya.

 Trapping: Memerangkap error sedini mungkin sebelum timbul bahaya.

 Mitigation: Mitigasi akibat dari error yang terjadi dan error yang mungkin tidak terperangkap.

2. Line Operation Safety Audit (LOSA)

LOSA telah diberlakukan oleh ICAO sejak 1999. LOSA dipercaya sebagai alat utama untuk mengendalikan human
error. LOSA biasanya dilakukan oleh seorang observer (auditor) yang duduk di jump seat di belakang penerbang
selama penerbangan. Tugasnya mengamati awak pesawat bagaimana sikap mereka dalam menerapkan strategi untuk
mengendalikan threat/ error.

Auditor tidak mencari kesalahan yang dilakukan oleh awak pesawat selama penerbangan. Observasi ini dilakukan
dengan jaminan bahwa awak pesawat tidak akan di kenakan tindakan apapun dari perusahaan mengenai apa yang
telah dilakukan atau diamati oleh auditor selama penerbangan. Document LOSA bisa ditemukan di ICAO Doc. No
9803.

3. Threat and Error Management (TEM)

Sebelum kita bahas mengenai control strategy, ada baiknya kita ketahui definisi dari “threat”, “error” dan akibat
terburuk dari kedua hal tersebut yaitu “undesirable aircraft state”:

 Threat: Ancaman yang bisa berupa event (peristiwa/kejadian) atau error yang terjadi bukan karena awak
pesawat . Threat ini meningkatkan kompleksitas operasi penerbangan, dan memerlukan perhatian awak
pesawat untuk mempertahankan keselamatan suatu penerbangan.

 Error: Suatu tindakan lambat atau kurang tepat dari awak pesawat yang menimbulkan suatu penyimpangan
dari maksud dan tujuan. Error mengakibatkan berkurangnya tingkat keselamatan dan operasi suatu
penerbangan baik di darat maupun saat di udara.

 Undesirable aircraft state: Suatu error yang tidak di manage dengan baik yang bisa menimbulkan suatu
peristiwa yang membahayakan keselamatan penerbangan. Contoh yang nyata adalah posisi, kecepatan,
altitude dari suatu pesawat yang diakibatkan dari error oleh awak pesawat baik salah bertindak atau lambat
ambil tindakan yang mengancam keselamatan penerbangan.

Error Control Strategy

Keselamatan penerbangan yang terus-menerus berevolusi memberikan peningkatan kearah yang lebih baik dari waktu
ke waktu. Sebagai salah satu dari tiga penyebab kecelakaan, human error, telah dikendalikan dan dikurangi supaya
tidak menimbulkan ancaman bagi keselamatan penerbangan. Setidaknya ada 2 control strategy yang ada pada
penerbangan modern saat ini:

1. Hardware: (Engineering based tool) merupakan perangkat yang terpasang di pesawat untuk
mengendalikan error. Contohnya seperti cockpit automation, instrument/ warning display. Alat TAWS (Terrain
Awareness Warning System) atau nama lainnya E/GPWS (Enhance/Ground Proximity warning Systems) adalah
sebuah contoh kongkrit. Alat ini akan memberikan peringatan saat pesawat mendekati daratan dengan memberikan
peringatan audio dan visual agar pilot melakukan tindakan untuk mengoreksi. Stall warning juga termasuk dalam
contoh ini.

Walaupun demikian, perangkat perangkat otomatis yang canggih bukan berarti selalu aman. Pada awal perkembangan
teknologimicroprocessor di pesawat terbang 3 dekade lalu banyak alat yang bertujuan membuat
perangkat cockpit dioperasikan secara otomatis. Hal ini justru berakibat pada bertambahnya kompleksitas suatu sistem
(njlimet).

Ada dua kesalahan dalam tujuan ini, yang pertama adalah alangkah tidak amannya suatu sistem bila benar benar
dioperasikan secara otomatis. Sistem tersebut hendaknya di set-up dan dioperasikan oleh manusia.

Yang kedua, jika sistem ini ‘fail’ maka di perlukan manual mode yang memungkinkan manusia untuk mengambil alih
pada saat terjadi deviasi. Hal ini disadari oleh para design engineer yang berprinsip bahwa efek human
factor di cockpit bisa dibuat seaman mungkin dengan menawarkan sebuah simplification to automation. Bahasa
daerahnya, kalo ada yang sederhana dan aman kenapa harus otomatis tapi njlimet dan was-was. Sehingga pada
akhirnya dilakukan perbaikan pada sistem generasi selanjutnya. Contoh nyata hal ini ada pada dua produsen Airbus
dan Boeing.

Berbeda dengan Boeing, pada FMS generasi awal yang terpasang di Airbus bisa dibilang tidak memerlukan process
approval step by step pada saat pengoperasiannya. Tidak ada campur tangan pilot untuk mengoreksi apabila ada
deviasi. Ketika automation berjalan melenceng tanpa sepengetahuan awak pesawat ternyata akan mungkin
mengakibatkan kondisi yang serba terlambat untuk mengatasinya.

Namun hal ini dijadikan perbaikan oleh Airbus pada FMS generasi berikutnya.

2. Software: (Administrative) yang melingkupi checklist, rule/ regulation, prosedur, yang mengarahkan awak
pesawat member untuk mengambil langkah preventif dalam suatu kondisi.

Awak pesawat dengan pesawat yang bersistem otomatis cenderung pasrah dengan peralatan tersebut. Konsekuensi
dari sistem dengan teknologi otomatis ini adalah dibutuhkannya awak pesawat yang menguasai pengoperasian alat
tersebut dengan sebaik baiknya.

Di samping itu, komunikasi verbal saat ini juga menjadi bagian yang paling lemah dalam sistem pesawat modern.
ASRS (Aviation Safety Reporting System) mencatat 70 persen dari laporan yang masuk berhubungan dengan
masalah oral communication baik terjadi di cockpit maupun dari ground ke cockpit. Salah satu dari penyebab
permasalahan ini adalah pelanggaran terhadap ‘Sterile Cockpit Rule’ di mana pilot seharusnya konsentrasi dan tidak
seharusnya membicarakan hal hal yang tidak berhubungan dengan pekerjaannya pada saat kritis yaitu taxi, take off,
landing, dan saat di bawah 10.000 feet kecuali pada saat cruising, atau ketinggian jelajah.
Dengan CRM, LOSA dan TEM, pelatihan konsep pada awak pesawat di modern airlines sekarang ini perlu ditekankan
pengoperasian dan penguasaan/communication skill pada teknologi mutakhir untuk menghindari atau
memerangkap human error secara keseluruhan sehingga konsekuensi yang lebih buruk bisa dihindari.

Anda mungkin juga menyukai