Anda di halaman 1dari 57

LAPORAN PRAKTIKUM LAPANGAN

PENCEGAHAN HIV/AIDS DAN PENYALAHGUNAAN NAPZA

NABILAH IFFAH
I1A016105

KEMENTERIAN RISET TEKONOLOGI PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT
PURWOKERTO
2019
LAPORAN PRAKTIKUM LAPANGAN

PENCEGAHAN HIV/AIDS DAN PENYALAHGUNAAN NAPZA

KLINIK VCT RSUP DR SARDJITO YOGYAKARA

NABILAH IFFAH
I1A016105

KEMENTERIAN RISET TEKONOLOGI PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT
PURWOKERTO
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Permasalahan HIV dan AIDS menjadi tantangan kesehatan hampir di

seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Sejak pertama kali ditemukan sampai

dengan Juni 2018, HIV/ AIDS telah dilaporkan keberadaannya oleh 433

(84,2%) dari 514 kabupaten/kota di 34 provinsi di Indonesia. Jumlah kumulatif

infeksi HIV yang dilaporkan sampai dengan Juni 2018 sebanyak 301.959 jiwa

(47% dari estimasi ODHA jumlah orang dengan HIV AIDS tahun 2018

sebanyak 640.443 jiwa) dan paling banyak ditemukan di kelompok umur 25-

49 tahun dan 20-24 tahun. Adapun provinsi dengan jumlah infeksi HIV

tertinggi adalah DKI Jakarta (55.099), diikuti Jawa Timur (43.399), Jawa Barat

(31.293), Papua (30.699), dan Jawa Tengah (24.757) (Kemenkes RI, 2018).

Di Indonesia, HIV AIDS pertama kali ditemukan di Provinsi Bali pada

tahun 1987. Hingga saat ini HIV AIDS sudah menyebar di 407 dari 507

kabupaten/kota (80%) di seluruh provinsi di Indonesia. Berbagai upaya

penanggulangan sudah dilakuakan oleh pemerintah bekerjasama dengan

berbagai lembaga di dalam maupun di luar negeri (Pusdatin, Kemenkes, 2016)

Menurut Depkes RI (2003), definisi HIV yaitu virus yang menyebabkan

AIDS dengan cara menyerang sel darah putih yang bernama sel CD4 sehingga

dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia. Gejala-gejala timbul


tergantung dari infeksi oportunistik yang menyertainya. Infeksi oportunistik

terjadi oleh karena menurunnya daya tahan tubuh (kekebalan) yang disebabkan

rusaknya sistem imun tubuh akibat infeksi HIV tersebut.

Resiko penularan HIV dapat diturunkan menjadi 1-2% dengan tindakan

intervensi pencegahan, yaitu melalui layanan konseling VCT dan tes HIV

sukarela, pemberian obat antiretroviral, oleh karena itu untuk meminimalisir

resiko penularan HIV, WHO mengembangkan program penganggulangan HIV

berupa Guideline on HIV infection and AIDS in Prison Geneva dan juga HIV

testing and counseling in Prison and other closed setting yang dilaksanakan

sejak tahun 2007. Indonesia telah mengembangkan upaya pencegahan HIV

melalui pelayanan Voluntary Counseling and testing atau yang dikenal dengan

singkatan VCT (WHO, 2007).

Sampai saat ini HIV/AIDS belum ada vaksin maupun obatnya. Obat yang

ada (ARV=Anti Retroviral Virus) hanyalah untuk menekan perkembangan

virus. Pengobatan HIV/AIDS sangat mahal karena harus diminum seumur

hidup. Karena itu, cara yang paling efektif adalah pencegahan yaitu

menghindari hubungan seks di luar nikah, bagi kelompok risiko tinggi

menggunakan kondom bila berhubungan seks, tidak menggunakan narkoba

suntik. (Kemenkes, 2009)

Oleh karena itu peneliti berkeinginan untuk mencari informasi mengenai

pelayanan VCT di RSUP Kariadi Semarang sebagai bahan pembelajaran diluar

kelas perkuliahan.
B. Perumusan Masalah

Bagaimana pelayanan yang dilakukan pihak di Klinik VCT Rumah Sakit

Umum Pusat Dokter Sardjito Yogyakarta?

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Memahami alur pelayanan dan upaya penanggulangan komprehensif yang

dilakikan oleh klinik VCT di RSUP Dokter Sardjito Yogyakarta

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui gambaran epidemiologi HIV/AIDS di klinik VCT RSUP

Dokter Sardjito Yogyakarta

b. Mengetahui input berupa SDM, dana, sarana prasarana, dan metode

dalam konseling dan tes HIV di Klinik VCT RSUP Dokter Sardjito

Yogyakarta

c. Mengetahui konseling pra tes HIV berupa pelaksanaan, materi/cara

penyampaian, dan kendala yang dihadapi di Klinik VCT RSUP Dokter

Sardjito Yogyakarta

d. Mengetahui tes HIV berupa inform consent, reagen,

pembacaan/kerahasiaan hasil, dan kendala

e. Mengetahui konseling pasca tes HIV berupa penerimaan, konseling

lanjutan, dan kendala

f. Mengetahui diagnosis pengobatan anti retroviral (ARV)

D. Manfaat
1. Bagi Institusi

Adanya kerjasama antara instansi terkait dengan Jurusan Kesehatan

Masyarakat dimana instansi terkait merupakan pengguna lulusan Kesehatan

Masyarakat. Oeh sebab itu maka kegiatan praktikum lapangan ini

diharapkan dapat menjembatani kebutuhan intansi terkait selaras dengan

visi dan misi jurusan Kesehatan Masyarakat UNSOED.

2. Bagi Jurusan Kesehatan Masyarakat

Dapat menjadi makalah ilmiah dan memberi manfaat berupa

pembelajaran yang diperoleh dari praktikum lapangan mahasiswa

3. Bagi Mahasiswa

Dapat membekali dan mempersiapkan mahasiswa untuk menjadi

lulusan yang diharapkan dengan mengacu pada kurikulum. Dan sebagai

sarana pembelajaran diluar kampus dan mengenal lebih luas mengenai

materi yang sudah disampaikan di perkuliahan


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. HIV / AIDS

1. Pengertian

HIV (Human Immunodeficiency Virus) virus ini adalah virus yang


diketahui sebagai penyebab AIDS (Acquired Immune Deficiency
Syndrome). HIV merusak sistem ketahanan tubuh, sehingga orang-orang
yang menderita penyakit ini kemampuan untuk mempertahankan dirinya
dari serangan penyakit menjadi berkurang. Seseorang yang positif
mengidap HIV belum tentu mengidap AIDS. Namun, HIV yang ada pada
tubuh seseorang akan terus merusak sistem imun. Akibatnya, virus, jamur
dan bakteri yang biasanya tidak berbahaya menjadi sangat berbahaya
karena rusaknya sistem imun tubuh (Sopiah, 2009)
HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup

dalam sel atau media hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh

ke dalam kondisi AIDS, apalagi tanpa pengobatan. Umumnya keadaan

AIDS ini ditandai dengan adanya berbagai infeksi baik akibat virus, bakteri,

parasit maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal dengan infeksi

oportunistik (Zein, dkk, 2006).

AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome,

yang berarti kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan

tubuh yang disebabkan infeksi virus HIV. Tubuh manusia mempunyai

kekebalan untuk melindungi diri dari serangan luar seperti kuman, virus,

dan penyakit. AIDS melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh ini,
sehingga akhirnya berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain (Yatim,

2006).

AIDS merupakan singkatan dari Acquired Immune Deficiency

Syndrome, yaitu menurunya kekebalan tubuh terhadap penyakit karena

infeksi virus HIV (Human Immunodeviciency Virus) (Djoerban & Djazuli,

2006). Dari keterangan tersebut jelas bahwa sebelum seseorang menderita

AIDS dalam tubuhnya, terlebih dahulu terjadi kerusakan sistem kekebalan

tubuh. Akibat kerusakan kekebalan tubuh tersebut tubuh penderita menjadi

peka terhadap infeksi kuman yang dalam keadaan normal sebenarnya tidak

berbahaya. Infeksi kuman bentuk ini disebut infeksi oportunistik. Infeksi

oportunistik adalah infeksi yang timbul karena mikroba yang berasal dari

luar tubuh maupun dalm tubuh manusia, namun dalam keadaan normal

terkendali oleh kekebalan tubuh (Yunihastuti, dkk, 2005).

2. Penularan

HIV dapat ditularkan dengan berbagai cara antara lain hubungan

seksual bebas, seperti hubungan seksual dengan pasangan berganti-ganti

dan hubungan heteroseksual dengan pasangan yang menderita infeksi HIV

tanpa menggunakan pelindung (kondom), HIV juga dapat ditularkan

melalui pemakaian jarum suntik yang terkontaminasi secara bergantian,

juga melalui perantara produk darah seperti tranfusi darah atau organ lain

(Smeltzer & Bare, 2001) Penularan HIV juga dapat terjadi dari ibu pada

bayinya, penularan HIV dari ibu bisa terjadi pada saat kehamilan (in utero),

penularan juga terjadi selama proses persalinan melalui tranfusi


fetomaternal atau kontak antara membaran mukosa bayi dengan darah atau

sekresi darah saat melahirkan, dan transmisi lain yang dapat ditularkan dari

ibu terhadap anaknya pada saat periode post partum melalui ASI.

Sedangakan pada alat-alat yang dapat menoreh kulit juga dapat ikut andil

dalam penularan HIV misalnya alat tajam dan runcing seperti jarum, pisau,

silet (Nursalam, 2007).

3. Stadium HIV/AIDS

Secara klinik gambaran yang terlihat terbagi dalam 4 tahap urutan yaitu:

a. Tahap infeksi primer (primary infection) yaitu beberapa minggu dari

saat infeksi ditandai dengan gejala umum seperti sakit pada

tenggorokan, nyeri otot, sendi, rasa lemah. Terdapat satu masa transisi

virus antigenemia yaitu antigen virus tidak dapat dideteksi di dalam

serum darah pengidap sebelum terbentuknya zat anti terhadap virus

HIV. Sesaat setelah terjadinya infeksi HIV pertama kali virus akan

bereplikasi dalam kelenjar limfe regional, terjadi 10 peningkatan jumlah

virus secara cepat di dalam plasma. Fase ini disertai dengan penyebaran

HIV ke organ limfoid, saluran cerna dan organ genetalia. Setelah

mencapai puncak viremia, jumlah virus akan mmenurun bersamaan

dengan berkembangnya respon imunitas seluler berhubungan dengan

kondisi penyakit pada 60- 90% pasien. Penyakit muncul dalam kurun

waktu 3 bulan setelah infeksi, dengan gejala klinis menyerupai

glandular fever like illness dengan ruam, demam, nyeri kepala, malaise
dan limfadenopati luas. Fase ini akan mereda secara spontan dalam 14

hari.

b. Tahap infeksi dini/infeksi HIV asimtomatis yaitu tahap masa laten virus

dan lamanya berlangsung beberapa tahun sampai 5-10 tahun. Biasanya

Asimtomatik/beberapa dengan pembesaran kelenjar limfe. Komplikasi

dermatologis biasa terjadi seperti dermatitis seboroik terutama pada

garis rambut/lipatan nasolabial dan munculnya atau memburuknya

seseorang dengan penyakit psoriasis. Pada stadium ini bisa muncul

kondisi yang berhubungan dengan aktivasi imunitas seperti purpura

trombositopenia idiopatik, polimiositis, sindroma Gullain-Barre dan

Bell’s palsy.

c. Tahap infeksi menengah yaitu tahap reaktivasi virus HIV dengan

munculnya kembali antigen HIV dan turunnya jumlah limfosit T4. Ada

juga yang menyebut sebagai fase AIDS Related Complex 11 yaitu sutau

keadaan yang ditandai dengan tanda-tanda konstitusional yang menetap

sekurang-kurangnya 3 bulan dan hasil laboratorium minimal satu

macam tanpa gejala infeksi oportunistik. Tanda-tanda tersebut meliputi:

peningkatan suhu badan 380C berlangsung terus-menerus, penurunan

berat badan sekitar 10% atau lebih, kelelahan sampai hilangnya

aktivitas dan keluarnya keringat pada malam hari. Komplikasi

dermatologis, oral dan konstitusional lebih sering terjadi pada fase ini.
d. Tahap sakit HIV berat (severe HIV atau full blown AIDS) yaitu ditandai

oleh infeksi oportunistik dan neoplasma dengan angka kematian yang

tinggi dan persisten terhadap terapi. (Nursalam, 2009).

4. Pencegahan HIV/AIDS

Menurut (Effendi dan Makhfudli, 2009), penvegahan HIV/AIDS adalah :

a. Melakukan hubungan seksual dengan pasangan tetap.

b. Menggunakan kondom ketika melakukan hubungan seksual beresiko

tinggiseperti dengan pekerja seks komersil (PSK)

c. Hindari hubungan seksual diluar nikah 12

d. Hindari transfuse darah yang tidak jelas sumber asalnya

e. Gunakan alat-alat medis dan nonmedis yang terjamin sreril

B. Retrovirus

Retrovirus mempunyai afinitas yang kuat terhadap limfosit T (Hudak &

Gallo, 2010). Disebut retrovirus RNA karena virus tersebut menggunkan RNA

sebagai molekul pembawaan informasi genetik dan memiliki Enzim Reverse

Transciptase. Enzim ini memungkinkan virus mengubah informasi genetiknya

yang berada dalam RNA ke dalam bentuk Deoxy Nucleic Acid (DNA) yang

kemudian diintegrasikan pada informasi genetik sel limfosit yang diserang.

Dengan demikian HIV dapat memanfaatkan mekanisme sel limfosit untuk

menduplikasi dirinya menjadi virus baru yang memiliki ciri HIV (Widoyono,

2011).

C. VCT
VCT harus dikerjakan secara professional dan konsisten untuk memperoleh

intervensi efektif dimana memungkinkan klien, dengan bantuan konselor

terlatih, menggali dan memahami diri akan resiko infeksi HIV, mendapatkan

informasi HIV dan AIDS, mempelajari status dirinya, dan mengerti tanggung

jawab untuk menurunkan perilaku berisiko dan mencegah penyebaran infeksi

kepada orang lain guna mempertahankan dan meningkatkan perilaku sehat

(KPA, 2007).

Konseling dalam VCT adalah kegiatan konseling yang menyediakan

dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIV dan AIDS, mencegah

penularan HIV, mempromosikan perubahan perilaku yang

bertanggungjawaban, pengobatan ARV dan memastikan pemecahan berbagai

masalah terkait dengan HIV dan AIDS (Depkes RI, 2006).

Testing HIV dilakukan secara sukarela tanpa paksaan dan tekanan, segera

setelah klien memahami berbagai keuntungan, konsekuensi, dan risiko.

Konseling dan tes HIV sukarela uyang dikenal sebagai Voluntary Counseling

and Testing (VCT) merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat sebagai

pintu masuk ke seluruh layanan kesehatan HIV dan AIDS berkelanjutan.

Program VCT dapat dilakukan berdasarkan kebutuhan klien dengn

memberikan layanan dini dan memadai baik kepada mereka dengan HIV positif

maupun negatif. Layanan ini termasuk pencegahan primer melalui konseling

dan KIE ( Komunikasi, Informasi dan Edukasi ) seperti pemahaman HIV,

pencegahan penularan dari ibu ke anak (Prevention of Mother To Child


Transmission – PMTCT ) dan akses terapi infeksi oportunistik, seperti

tuberculosis (TBC) dan infeksi menular seksual (KPA, 2007).


BAB III

METODE PELAKSANAAN KEGIATAN

A. Rencana Kegiatan

Kegiatan ini merupakan kunjungan praktikum lapangan yang dilakukan di

Rumah Sakit Umum Pusat Dokter Sardjito Yogyakarta. Tujuannya untuk

mengetahui keseluruhan mengenai Klinik VCT di Rumah Sakit tersebut.

Peneliti melakukan kunjungan beruapa observasi dan wawancara bersama

pihak Klinik VCT di Rumah Sakit Umum Pusat Dokter Sardjito Yogyakarta.

Hasil kegiatan berupa catatan dituliskan di log book peneliti. Tak hanya itu,

peneliti juga mengambil beberapa foto untuk dokumentasi penelitian.

B. Lokasi Kegiatan

1. Nama Instansi : Rumah Sakit Umum Pusat Dokter Sardjito Yogyakarta

2. Alamat Instansi : Jalan Kesehatan No.1, Senolowo, Sinduadi. Kec. Miati,

Kab. Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55281

C. Waktu Kegiatan : 24 April 2019


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Situasi Umum

Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) dr. Sardjito merupakan rumahsakit


terbesar di Daerah Istimewa Yogyakarta. RSUP dr. Sardjito berusaha
mengembangkan diri menjadi rumah sakit bertaraf internasional agar mampu
menangani permasalahan kesehatan dengan lebih baik. Saat ini, RSUP dr.
Sardjito telah bekerja sama dengan berbagai rumah sakit internasional yang
berada di luar negeri. Mitra Terpercaya Menuju Sehat menjadi semangat yang
dibawa oleh setiap staff kesehatan dan pengelola RSUP Dr. Sardjito. Segala
fasilitas dan tenaga ahli yang kompeten di bidangnya telah disiapkan untuk
untuk anda yang membutuhkan pelayanan kesehatan.

Secara struktural, RSUP dr. Sardjito merupakan Unit Pelaksana Teknis di


Lingkungan Departemen Kesehatan yang berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan
yang mempunyai tugas menyelenggarakan upaya penyembuhan dan pemulihan
yang dilaksanakan secara serasi, terpadu, dan berkesinambungan dengan upaya
peningkatan kesehatan dan pencegahan serta melaksanakan upaya rujukan dan
upaya lain sesuai kebutuhan.

B. Hasil Kegiatan

Jumlah total pasien RSUP dr. Sardjito yang datang untuk memanfaatkan

klinik VCT berjumlah 3.700an orang, 1000 diantaranya merupakan rujukan

dari 25 Rumah Sakit lain. Pasien senantiasa mengalami perubahan karena

adanya pasien yang meninggal, lost follow up, pindah rujukan. Problematika

yang paling kronis terjadi yaitu pasien lost follow up, hampir 25-30% pasien.
Dikhawatirkan pasien yang lost follow up itu menjadi sumber agen penularan

penyakit HIV pada yang lainnya. Trend penderita HIV/AIDS kebanyakan

adalah LSL, dengan metode penularan melalui hubungan seksual. Populasi

kuncinya berupa LSL, Penasun, Waria, dan pekerja seks komersial.

Input di klinik VCT RSUP dr. Sardjito terdiri dari SDM sejumlah 3015
orang per 31 Des 2015 yang terdiri dari Medis 389 orang, Keperawatan 1.202
orang, Tenaga Kesehatan Lain 570 orang, dan Non Medis : 380 orang. Dana
pengelolaan seperti poli klinik pada umumnya, tidak terdapat dana dari luar.
Banyak pasien yang sudah tercover dengan pembiayaan BPJS. Sarana
prasarana yang tersedia berupa Layanan Pengobatan ARV, Layanan VCT,
Layanan IMS, Layanan Konsultasi Gizi dan Farmasi, Konsultasi Psikologi, dan
Laboratorium test dan penelitian.

Metode konseling dan test HIV di klinik VCT dr. Sardjito Yogyakarta

melalui dua pendekatan yaitu:

a. Voluntary Couseling and Testing (VCT) atau pasien yang melakukan tes

dan konseling secara sukarela.

b. Provider Inisiative Testing and Counseling (PITC) atau petugas yang

berinisiatif melakukan test dan konseling pada pasien yang terduga

memiliki gejala seperti HIV/AIDS.

Setiap pasien yang datang, hal yang harus dilakukan yaitu konseling

bersama konselor untuk mengetahui factor resiko yang dilakukan pasien,

memberi pemahaman mengenai HIV/AIDS dan konsekuensinya, setelah itu

akan dilakukan tes HIV, lalu pasien menandatangani inform konsen dan diambil

darahnya. Setelah itu akan diketahui dan dibacakan hasilnya. Apabila hasilnya
negatif dan belum yakin, maka akan dilakukan pemeriksaan ulang yang

dilaksanakan 3 bulan setelah factor resiko terakhir dilakukan.

Konseling pra test HIV dengan cara menggali lebih dalam pengetahuan

pasien mengenai HIV sejauh mana, kemudian ditanyakan kapan terakhir kali

berhubungan seksual atau menggunakan suntik narkoba agar diketahui

windows periode HIV pada penderita. Kendala dari pra test hiv yaitu ketika

dilakukan metode PITC banyak pasien yang tidak mau menerima kenyataan

yang dideritanya dan menganggap dirinya baik-baik saja.

Penularan HIV dari ibu kepada bayi nya dapat dicegah, salah satunya dengan

melakukan Caesar saat melahirkan karena konsentrasi virus HIV banyak terdapat

pada darah dan sel kelamin, dengan melakukan Caesar maka dapat meminimalisisr

penularan HIV dari ibu kepada bayinya. Selain itu, pencegahan dapat dilakukan

dengan cara terapi ARV selama 6 bulan sebelum melahirkan dan tidak memberikan

ASI kepada bayi.

Kendala yang dihadapi pada saat melakukan pengobatan bagi pasien adalah

menurunnya kemauan untuk mengkonsumsi obat seumur hidupnya, stigma yang

masih terlalu kuat pada ODHA, dan alasan ekonomi. Informasi terkait pengetahuan

HIV dan hasil tes HIV dijabarkan sesuai kebutuhan pasien. Selain stigma dari

masyarakat, beberapa pasien juga mengaku mendapat stigma negatif dari petugas

kesehatan.

Standar Nasional tes HIV dengan metode rapid test dilakukan menggunakan 3

reagen, yaitu :
a. Oncoprup

Apabila tes menggunakan reagen ini hasilnya negatif, maka tidak perlu

dilakukan pemeriksaan menggunakan reagen kedua.

b. VPA

Apabila tes menggunakan reagen pertama hasilnya positif maka

dilanjutkan menggunakan reagen kedua,

c. Intake

Apabila hasil tes menggunakan reagen kedua dan ketiga positif, maka

orang tersebut dinyatakan positif terkena HIV. Namun apabila hasil tes

menggunakan reagen ketiga negatif, maka akan dilakukan pemeriksaan

ulang.

Kerahasiaan hasil tes seorang pasien tergantung pada kemauan pasien, bukan

petugas. Contohnya apabila pasien membolehkan keluarganya mengetahui tentang

HIV pada dirinya, maka petugas akan memberitahu menganai HIV kepada keluarga

pasien. Petugas yang melayani pasien, dialah yang mengetahui hal tersebut sehingga

petugas lain tidak mengetahuinya.

Konseling yang wajib dilakukan pra tes HIV yaitu mengenai kesiapan

mengkonsumsi obat seumur hidup yang harus dilakukan oleh pasien. Sedangkan untuk

pemeriksaan VCT mobile tidak dilakukan oleh RSUP Kariadi.

Dalam pengobatan anti retroviral yang dilakukan di Klinik VCT RSUP dr. Sardjito

Yogyakarta terdapat beberapa syarat-syarat, diantaranya yaitu :


a. Terapi ARV dilakukan oleh pasien yang positif terinfeksi HIV

b. Pasien harus siap untuk mengkonsumsi obat seumur hidup

c. ODHA dengan jumlah CD4 <350

d. Semua ODHA yang positif HIV dengan stadium 3 dan 4 (tidak wajib bagi

penderita HIV stadium 1 dan 2)

e. Semua ODHA yang hamil

f. Semua ODHA yang bekerja sebagai PSK

g. Semua ODHA yang tergolong kelompok LSL / Lelaki Suka Lelaki

h. Semua ODHA yang memiliki pasangan, baik yang positif maupun negative

HIV

i. Semua ODHA yang terinfeksi hepatitis B

Seseorang yang terinfeksi HIV, maka sel CD4 di dalam tubuhnya lah yang

diserang, sehingga lambat laun jumlahnya makin menurun.Normalnya, CD4

dalam tubuh berjumlah sekitar 700, pada pasien HIV akan terus menerus turun

jumlahnya hingga bisa menjadi berjumlah <100. Infeksi opoturnistik pada

pasien HIV menentukan stadium AIDS nya. Berikut daftar stadium HIV beserta

gejala yang menyertai :

a. Stadium awal

Pada stadium ini, penderita belum terkena AIDS dan masih terlihat

dalam kondisi sehat

b. Stadium 1
Pada stadium ini, penderita mengalami asimptomatik, salah satunya

yaitu pembesaran kelenjar getah bening

c. Stadium 2

Pada stadium ini, penderita mengalami penurunan berat badan namun

tidak begitu terlihat, banyak infeksi opoturnistik yang menyerang kulit

seperti herpes, prerutik eruption, dermatitis sibroid, kulit kepala

mengelupas, rambut rontok hingga habis, dan infeksi jamur.

d. Stadium 3

Pada stadium ini, penderita mengalami gangguan saluran cerna, berat

badan turun sekitar 10%, banyak terdapat infeksi jamur di mulut,

gangguan saluran nafas, dan terkena TB.

e. Stadium 4

Pada stadium ini, penderita mengalami gangguan sistemik, seperti

wastein (kurus sekali), infeksi menyerang ke seluruh tubuh seperti

toxoplasma, TB di luar paru-paru, dan kanker.

Apabila seorang pasien menderita TB-HIV, maka penangan awal yaitu pada

TB nya, setelah selesai melakukan pengobatan TB, sebulan kemudian akan

dilakukan terapi ARV. Terapi ARV berbentuk kapsul dan tablet serta dikonsumsi

melalui oral. Bagi pasien bayi yang terinfeksi HIV, pemberian ARV dilakukan

ketika lahir selama 6 minggu. Setelah 18 bulan, pemberian ARV dilakukan seperti

pada umumnya.
C. Pembahasan

Dari wawancara yang dilakukan peneliti kepada pihak konselor Klinik VCT

RSUP dr. Sardjito Yogyakarta, dikatakan bahwa faktor resiko terbesar kasus

HIV/AIDS adalah laki-laki seks laki-laki (LSL), karena beliau melihat dari

kasus yang ditangani di klinik tersebut. Namun menurut Ditjen P2P dalam

Pusdatin Kemenkes tahun 2017, disebutkan bahwa pada tahun 2016 proporsi

kasus HIV/AIDS terbesar terjadi pada heteroseksual, dengan kasus HIV positif

sebesar 35,5% dan AIDS sebesar 74,07%. Namun selain heteroseksual, factor

resiko terbesar kedua adalah LSL, sesuai dengan data yang didapatkan ketika

peneliti melakukan kunjungan lapangan di Klinik VCT RSUP dr Sardjito

Yogyakarta.

Dalam satu tahun terakhir, di RSUP dr. Sardjito tercatat kasus HIV pada 8

pasangan suami istri. Menurut penelitian Darmayasa (2013) di Bali bahwa

terdapat hubungan antara status HIV suami dengan ibu hamil terinfeksi HIV.

Selanjutnya diketahui bahwa status HIV suami dapat meningkatkan risiko

terjadinya ibu hamil terinfeksi HIV sebesar 12 kali.

Selain itu, peneliti melihat ada pasien yang terdiri dari Ayah, Ibu, dan 2

anaknya. Mereka teratur mengunjungi Klinik VCT dan ruang pemeriksaan

penyakit tropic. Menurut konselor, mereka sangat teratur menggunakan ARV.

Menurut penelitian Marlinda dan Muhammad (2017) didapatkan hasil bahwa

separuh informan mengaku sangat ingin memiliki anak atau keturunan.

Sebagian kecil informan sudah tidak ada niatan punya anak lagi karena sudah
cukup dengan anak yang sekarang. Semua informan mengakau jika ingin

memiliki keturunan yang aman dari penularan HIV/AIDS harus dengan

program terlebih dahulu. Program anak dengan konsultasi dokter terlebih

dahulu dan mengikuti prosedurnya.

Salah satu kendala yang dialami ODHA dalam pengobatan HIV adalah

stigma yang ditujukan kepada mereka. Menurut penelitian dari Ardani dan Sri

(2017) menunjukkan stigma dari masyarakat bisa berasal dari keluarga

terdekat, teman dan tetangga, serta dari akses layanan publik. Stigma dari

keluarga diterima ODHA pecandu narkoba suntik dalam bentuk diskriminasi

dan pembiaran. Diskriminasi terjadi karena keluarga merasa takut tertular

infeksi virus HIV. Bentuk deskriminasi seperti barangbarang yang dipisahkan

penggunaannya, barang yang disentuh ODHA langsung dibersihkan, dan

dikucilkan dengan tidak membolehkan anak-anak bermain bersama ODHA.

Menurut Shaluhiyah, dkk (1025) faktor yang memengaruhi stigma terhadap

ODHA di Kabupaten Grobogan adalah sikap keluarga terhadap ODHA dan

persepsi responden terhadap ODHA. Keluarga dengan sikap negatif terhadap

ODHA memiliki kemungkinan empat kali lebih besar memberikan stigma

terhadap ODHA, sedangkan responden dengan sikap negatif terhadap ODHA

memiliki kemungkinan dua kali lebih besar dalam memberikan stigma terhadap

ODHA.

Selain hambatan stigma pada ODHA, permasalahan pada pasien ODA yaitu

kemauan meminum obat seumur hidupnya atau kepatuhan dalam konsumsi


ARV. Menurut Martoni, dkk (2013) membuktikan bahwa pengetahuan tentang

terapi ARV merupakan faktor yang paling kuat dalam mempengaruhi

kepatuhan terapi ARV. Selain itu, menurut Latif, dkk (2014) menunjukan

bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara efek samping pengobatan

dengan kepatuhan pengobatan antiretroviral pasien penderita HIV di klinik

VCT Puskesmas Jumpandang Baru Kota Makassar.

Tren yang peneliti dapatkan ketika wawancara dengan konselor di VCT dr

Sardjito, yaitu jumlah pasien HIV laki-laki yang teringeksi HIV karena

homoseksual. Hal ini berbeda dengan dengan penelitian Moore (2011) bahwa

orang dengan risiko perilaku penyalahgunaan narkoba suntik memiliki

persentase terendah terdiagnosis infeksi (perempuan, 13,7%; laki-laki, 14,5%)

dibandingkan dengan tingkat 26,7% pada pria yang terpapar melalui kontak

heteroseksual dan 23,5% di LSL.


BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Gambaran epidemiologi HIV/AIDS di RSUP dr Sardjito yaitu saat ini

jumlah total pasien RSUP dr. Sardjito yang datang untuk memanfaatkan

klinik VCT berjumlah 3.700an orang, 1000 diantaranya merupakan

rujukan dari 25 Rumah Sakit lain. faktor resiko terbesar dalam sepuluh

tahun terakhir adalah homoseksual.

2. SDM yang bekerja di klinik VCT RSUP dr Sardjito terdapat dokter

umum, dokter spesialis penyakit dalam, perawat, konselor, apoteker,

dan administrasi. Sarana yang ada berupa tempat konseling, form, dan

tes pengambilan darah.

3. Konseling dilakukan pra, proses, dan pasca pemeriksaan.

4. Tidak semua pasien diobati dengan ARV, ada beberapa syarat tertentu

dalam pengkonsumsian ARV.

B. Saran

1. RSUP dr Sardjito dapat mempertahankan dan lebih memperbaiki

kualitas pelayannya.

2. RSUP dr Sardjito terus memberi arahan kepada rumah sakit lain agar

bertambah jumlah tempat rujukan terutama di Jawa.


3. Pemerintah memberi dana kepada rumah sakit rujukan terutama pada

kasus HIV, agar pengobatan tetap gratis sehingga banyak pasien HIV

yang dapat mempertahankan hidupnya.


DAFTAR PUSTAKA
Ardani, I, Dan Sri Handayani. 2017. Stigma Terhadap Orang Dengan Hiv/Aids (Odha)
Sebagai Hambatan Pencarian Pengobatan: Studi Kasus Pada Pecandu Narkoba
Suntik Di Jakarta. Buletin Penelitian Kesehatan; Vol. 45, No.2.
Darmayasa, Made. 2013. Hubungan Antara Umur, Pendidikan, Dan Pekerjaan Istri
Serta Status Suami Dengan Risiko Terjadinya Infeksi Human Immunodeficiency
Virus Pada Ibu Hamil Di Bali. Bagian/Smf Obstetri Dan Ginekologi Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/ Rsup Sanglah Denpasar
Depkes RI. (2003). Hiv/Aids Dan Pencegahannya. Ditjen Pp&Pl. Jakarta
Depkes RI. 2006. Situasi Hiv/Aids Di Indonesia Tahun 1987-2006. Jakarta : Depkes
RI
Djoerban, Zubairi, Dan Djauzi,S.. 2006. Hiv/Aids Di Indonesia. Dalam A.W. Sudoto,
B. Setiyohadi, I. Alwi, M. Simadibrata K, S. Setiati: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid Iii. Edisi Iv. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Ui. P.1803-1808.
Effendi, F & Makhfudli. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori Dan Praktek
Dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Hudak & Gallo (2010). Keperawatan Kritis Edisi 6. Jakarta; Egc
Kemenkes RI. 2018. Hari AIDS Sedunia, Momen STOP Penularan HIV: Saya Berani,
Saya Sehat!. http://www.depkes.go.id/article/view/18120300001/hari-aids-
sedunia-momen-stop-penularan-hiv-saya-berani-saya-sehat-.html diakses pada
12 Mei 2019.

KPA. 2007. Strategi Nasional Penanggulangan Hiv Dan Aids 2007-2010. Draft Final
040107. Jakarta: Kemenkes.
Latif, F, Dkk. 2014. Efek Samping Obat Terhadap Kepatuhan Pengobatan
Antiretroviral Orang Dengan Hiv/Aids. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional;
Vol. 9, No. 2.
Marlinda,Y, Dan Muhammad, A. 2017. Perilaku Pencegahan Penularan Hiv/Aids.
Jurnal Of Health Education. Vol. 2, No. 2.
Martoni, Dkk. 2013. Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Pasien Hiv/Aids
Di Poliklinik Khusus Rawat Jalan Bagian Penyakit Dalam Rsup Dr. M. Djamil
Padang Periode Desember 2011- Maret 2012. Jurnal Farmasi Andalas; Vol.1,
No.1.
Moore, R.D. 2011. Epidemiology Of Hiv Infection In The United States: Implications
For Linkage To Care. Suplementary Article; Vol.52, S208.
Nursalam. (2007). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi Hiv/Aids. Jakarta ;
Salemba Medika
Nursalam. (2009). Proses Dan Dokumentasi Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Pusdatin, Kemenkes. 2016. Situasi Penyakit Hiv Aids Di Indonesia. Dari
Http://Www.Pusdatin.Kemkes.Go.Id. Diakses Pada Tanggal 19 Juni 2018.
Shaluhiyah, Z, Dkk. 2015. Stigma Masyarakat Terhadap Orang Dengan Hiv/Aids.
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional; Vol.9, No. 4.
Smeltzer, S. C., Bare, B. G., 2001, “Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner
&Suddarth. Vol. 2. E/8”, Egc, Jakarta.
Who, 2007. Who Case Definitions Of Hiv For Surveillance And Revised Clinical
Staging And Immunological Classification Of Hiv-Related Disease In Adult And
Children. Http:/Www.Who.Int/Hiv/Pub/Guidelines?Hivstaging150307. Diakses
20 Juni 2018.
Widoyono. 2011. Penyakit Tropis : Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, Dan
Pemberantasannya. Jakarta: Erlangga.
Yatim, D.I. 2006. Dialog Seputar Aids. Jakarta: Pt Gramedia Widiasarana Indonesia.
Yunihastuti E, Dkk. 2005, Infeksi Oportunistik Aids. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Zein, Umar, Dkk., 2006. 100 Pertanyaan Seputar Hiv/Aids Yang Perlu Anda Ketahui.
Medan: Usu Press; 1-44.
LAMPIRAN
LAPORAN PRAKTIKUM LAPANGAN

PENCEGAHAN HIV/AIDS DAN PENYALAHGUNAAN NAPZA

LEMBAGA REHABILITASI KUNCI PECANDU NARKOBA “DRUGS


ADDICT REHABILITATION CENTER” YOGYAKARTA

NABILAH IFFAH
I1A016105

KEMENTERIAN RISET TEKONOLOGI PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT
PURWOKERTO
2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

NAPZA adalah zat yang mempegaruhi struktur atau fungsi beberapa bagian

tubuh orang yang mengkonsumsinya. Manfaat maupun risiko penggunaan

NAPZA bergantung pada seberapa banyak, seberapa sering, cara

menggunakannya, dan bersamaan dengan obat atau NAPZA lain yang

dikonsumsi (Kemenkes RI, 2010).

Menurut Badan Narkotika Nasional (BNN), provinsi Jawa Tengah sangat

rentan terhadap penyalahgunaan NAPZA. Berdasarkan hasil penelitian BNN

dan Puslitkes Universitas Indonesia pada tahun 2011 jumlah penyalahguna

NAPZA di Jawa Tengah mencapai 493.533 orang (BNN, 2013).

Penyalahgunaan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif (NAPZA) saat ini

semakin marak terjadi. Penyalahgunaan ini akhirnya menimbulkan

ketergantungan. Ketergantungan dapat menyebabkan masalah serius dalam hal

ekonomi, sosial, mental, kriminalitas dan penyakit fisik. Penyalahgunaan

NAPZA terjadi seperti fenomena gunung es dimana terdapat peningkatan

prevalensi namun hanya sedikit yang terlihat. Hal ini disebabkan karena

peredaran gelap yang tidak bisa dicegah sehingga mendapatkan zat tersebut

menjadi mudah.
Menurut Hawari dalam Azmiyati, dkk (2014), ketergantungan tersebut

terjadi karena sifat-sifat narkoba yang dapat menyebabkan keinginan yang tidak

tertahankan (an over powering desire) terhadap zat yang dimaksud dan kalau

perlu dengan jalan apapun untuk memperolehnya, kecenderungan untuk

menambahkan takaran atau dosis dengan toleransi tubuh, ketergantungan

psikologis yaitu apabila pemakaian zat dihentikan akan menimbulkan

gejalagejala kejiwaan sperti kegelisahan, kecemasan, depresi, dan sejenisnya,

ketergantungan fisik yaitu apabila pemakaian zat dihentikan akan menimbulkan

gejala fisik yang dinamakan gejala putus obat (withdrawal symptoms).

Untuk itu diperlukan rehabilitasi bagi mereka yang ketergantungan NAPZA

sebagai upaya untuk mencetak generasi yang lebih baik dan memperbaiki dari

segi ekonomi, sosial, maupun mental pecandu NAPZA agar bias hidup

layaknya manusia normal di lingkungannya.

B. Perumusan Masalah

Bagaimana pengelolaan rehabilitasi yang diterapkan di Panti Rehabilitasi

Lembaga Rehabilitasi Kunci “Drugs Addict Rehabilitation Center”

Yogyakarta?

C. Tujuan

1. Tujuan Umum :

Memahami pelayanan, sumber daya, fasilitas dan pembiayaan di Lembaga

Rehabilitasi Kunci “Drugs Addict Rehabilitation Center” Yogyakarta.


2. Tujuan Khusus :

a. Mengetahui gambaran pengelolaan Lembaga Rehabilitasi Kunci

“Drugs Addict Rehabilitation Center” Yogyakarta

b. Mengetahui pokok pelayanan di Lembaga Rehabilitasi Kunci “Drugs

Addict Rehabilitation Center” Yogyakarta

c. Memahami gambaran epidemiologi residen Lembaga Rehabilitasi

Kunci “Drugs Addict Rehabilitation Center” Yogyakarta

d. Mengetahui dukungan sumber daya Lembaga Rehabilitasi Kunci

“Drugs Addict Rehabilitation Center” Yogyakarta

D. Manfaat

1. Bagi Institusi

Adanya kerjasama antara instansi terkait dengan Jurusan Kesehatan

Masyarakat dimana instansi terkait merupakan pengguna lulusan Kesehatan

Masyarakat. Oeh sebab itu maka kegiatan praktikum lapangan ini

diharapkan dapat menjembatani kebutuhan intansi terkait selaras dengan

visi dan misi jurusan Kesehatan Masyarakat UNSOED.

2. Bagi Jurusan Kesehatan Masyarakat

Dapat menjadi makalah ilmiah dan memberi manfaat berupa

pembelajaran yang diperoleh dari praktikum lapangan mahasiswa

3. Bagi Mahasiswa

Dapat membekali dan mempersiapkan mahasiswa untuk menjadi

lulusan yang diharapkan dengan mengacu pada kurikulum. Dan sebagai


sarana pembelajaran diluar kampus dan mengenal lebih luas mengenai

materi yang sudah disampaikan di perkuliahan


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. NAPZA

1. Pengertian NAPZA

NAPZA merupakan kepanjangan dari narkotika dan obat berbahaya

sering disebut juga (narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya). Istilah

NAPZA umumnya digunakan oleh pihak kedokteran yang menitikberatkan

pada upaya penanggulangan dari segi kesehatan fisik, psikis, dan sosial

(Martaatmadja, 2007)

2. Jenis NAPZA

1) Narkotika

a. Pengertian

Menurut UU No. 35 Tahun 2009, narkotika adalah zat atau obat

yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun

semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan

kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa

nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

b. Penggolongan narkotika Menurut UU No. 35 Tahun 2009 sebagai


berikut :

a) Narkotika golongan satu

b) Narkotika golongan dua

c) Narkotika golongan tiga


c. Dampak penyalahgunaan narkotika Menurut Badan Narkotika
Nasional (BNN) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2015

a) Dampak fisik

i. Gangguan pada system syaraf (neurologis) seperti

:kejang-kejang,halusinasi,gangguan

kesadaran,kerusakan syaraf tepi

ii. Gangguan pada jantung dan pembuluh darah

(kardiovaskuler) seperti : infeksi akut otot

jantung,gangguan peredaran darah

iii. Gangguan pada kulit (dermatologis) seperti : penanahan

(abses), alergi, eksim

iv. Gangguan pada paru-paru (pulmoner) seperti :

penekanan fungsi pernafasan, kesukaran bernafas,

pengerasan jaringan paru-paru

v. Sering sakit kepala, mual-mual dan muntah, suhu tubuh

meningkat, pengecilan hati dan sulit tidur

vi. Dampak terhadap reproduksi secara umum adalah

gangguan pada endokrin, seperti : penurunan fungsi

hormon reproduksi (estrogen,progesteron, testosteron),

serta gangguan fungsi seksual


vii. Dampak terhadap reproduksi remaja perempuan antara

lain perubahan periode menstruasi, ketidakteraturan

menstruasi dan amenorhoe (tidak haid)

viii. Bagi pengguna melalui jarum suntik resikonya adalah

tertular penyakit seperti hepatitis B,C dan HIV

ix. Overdosis yang berujung kematian

b) Dampak psikis

i. Malas belajar,ceroboh, sering tegang dan gelisah

ii. Hilang kepercayaan diri, apatis, pengkhayal, penuh

curiga

iii. Agitatif, menjadi ganas dan tingkah laku yang brutal

iv. Sulit berkonsentrasi, perasaan kesal dan tertekan

v. Cenderung menyakiti diri, perasaan tidak aman, bahkan

bunuh diri

c) Dampak sosial

i. Gangguan mental, anti-sosial dan asusila, dikucilkan

oleh lingkungan

ii. Merepotkan dan menjadi beban keluarga

iii. Pendidikan menjadi terganggu dan masa depan suram

2) Psikotropika
a. Pengertian
Psikotropika adalah zat atau obat, baik alami maupun sintesis bukan

narkotik yang berkhasia psikoaktif melalui pengaruh selektif pada

susunan saraf dan menyebabkan perubahan khas pada aktifitas

mental dan perilaku. (UU RI No 22 / 1997 ).

b. Penggolongan Psikotropika

UU No 5 Tahun 1997 menggolongkan psikotropika sebagai berikut

a) Psikotropika golongan 1 ialah psikotropika yang hanya

digunakan sebagai tujuan ilmu pengetahuan dan juga tidak

digunakan dalam terapi serta

b) Psikotropika golongan 2 ialah psikotropika yang berkhasiat

untuk pengobatan dan juga dapat digunakan dalam terapi serta

atau dan juga

c) Psikotropika golongan 3 ialah psikotropika yang berkhasiat

dalam pengobatan dan juga banyak digunakan dalam terapi dan

untuk tujuan ilmu pengetahuan dan mempunyai potensi ringan

menimbulkan ketergantungan

d) Psikotropika golongan 4 ialah psikotropika yang berkhasiat

dalam pengobatan dan juga sangat luas digunakan dalam terapi

serta untuk tujuan ilmu pengetahuan dan dan mempunyai

potensi ringan menimbulkan ketergantung

3) Zat adiktif
Zat adiktif ialah bahan lain yang bukan narkotika maupun

psikotropika yang merupakan suatu inhalasi yang penggunaannya akan

dapat menimbulkan ketergantungan. Miras juga merupakan salah satu

bagian dari NAPZA golongan zat aditif yang mempunyai pengarauh

psikoaktif tetapi di luar narkotika dan psikotropika. Menurut Menteri

Kesehatan RI No. 86/Men.Kes/Per/IV/1977 tanggal 29 April 1977 yang

dimaksud dengan minuman keras adalah semua jenis minuman

beralkohol, tetapi bukan obat yang meliputi 3 golongan sebagai berikut

a. Golongan A (Bir), dengan kadar etanol 1% sampai dengan 5%.

Golongan ini dapat menyebabkan mabuk emosional dan bicara tidak

jelas.

b. Golongan B (Champagne, Wine), dengan kadar etanol 5% sampai


dengan 20%. Golongan ini dapat menyebabkan gangguan

penglihatan, kehilangan sesorik, ataksia, dan waktu reaksi yang

lambat.

c. Golongan C (Wiski), dengan kadar atanol lebih dari 20 sampai 50%.


Golongan ini dapat menyebabkan gejala ataksia parah, penglihatan

ganda atau kabur, pingsan dan kadang terjadi konvulsi. (Koes

Irianto, Pencegahan dan Penanggulangan Keracunan Bahan Kimia

Berbahaya, hlm. 98).


B. Penyalahgunaan NAPZA

Penyalahgunaan NAPZA adalah penggunaan NAPZA yang bersifat

patologis, paling sedikit telah berlangsung satu bulan lamanya sehingga

menimbulkan gangguan dalam pekerjaan dan fungsi social. Sebetulnya

NAPZA banyak dipakai untuk kepentingan pengobatan, misalnya

menenangkan klien atau mengurangi rasa sakit. Tetapi karena efeknya “enak”

bagi pemakai, maka NAPZA kemudia dipakai secara salah, yaitu bukan untuk

pengobatan tetapi untuk mendapatkan rasa nikmat. Penyalahgunaan NAPZA

secara tetap menyebabkan pengguna merasa ketergantungan pada obat tersebut

sehingga menyebabkan kerusakan fisik (Sumiati, 2009).

C. Rehabilitasi NAPZA

1. Pengertian Rehabilitasi NAPZA

Rehabilitasi adalah fasilitas yang sifatnya semi tertutup, maksudnya

hanya orang – orang tertentu dengan kepentingan khusus yang dapat

memasuki area ini. Rehabilitasi narkoba adalah tempat yang memberikan

pelatihan ketrampilan dan pengetahuan untuk menghindarkan diri dari

narkoba (Soeparman, 2000).

Setiawan (2017) menyatakan bahwa pelaksanaan bimbingan dan

konseling pada setting rehabilitasi sampai sejauh ini di Indonesia belum

berkembang secara maksimal, hal tersebut dapat dibuktikan dengan

implementasi bimbingan dan konseling selama ini dilakukan oleh kalangan

tenaga medis dan tenaga kesehatan mental (psikolog, terapis dan psikiater)

dengan lebih menekankan pada proses terapeutik. Meskipun demikian


bukan berarti potensi untuk mengimplementasikan bimbingan dan

konseling menjadi sesuatu yang tidak mungkin khususnya bagi kalangan

konselor berlatarbelakang kesarjanaan dan keprofesian bimbingan dan

konseling.

Penerapan bimbingan dan konseling dengan setting rehabilitasi dapat

kita lihat dari sejumlah peraturan perundangundangan yang dikeluarkan

pemerintah seperti Permen Kemnsos RI No. 22 Tahun 2014 tentang Standar

Rehabilitasi Sosial dengan Pendekatan Profesi Pekerjaan Sosial

menyebutkan diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Bab II Rehabilitasi Sosial Bagian 2 Bentuk Rehabilitasi Sosial

Pasal 7 disebutkan bahwa rehabilitasi sosial diberikan dalam berbagai

bentuk. Salah satu bentuk yang berhubungan dengan bimbingan dan

konseling adalah: motivasi, bimbingan mental spiritual, bimbingan fisik,

bimbingan sosial dan konseling psikososial.

2. Bab II Rehabilitasi Sosial Bagian 3 Tahapan Rehabilitasi Sosial

Pasal 19 ayat 1 bahwa dilaksanakan dengan tahapan: pendekatan awal;

pengungkapan dan pemahaman masalah; penyusunan rencana pemecahan

masalah; pemecahan masalah; resosialisasi; terminasi; dan bimbingan

lanjut (Setiawan, 2017).

2. Jenis Rehabilitasi NAPZA

Menurut UU RI No. 35 Tahun 2009, ada dua jenis rehabilitasi, yaitu :

a. Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara

terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika.


b. Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara

terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika

dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.

3. Syarat Rehabilitasi NAPZA


Pusat atau Lembaga Rehabilitasi yang baik haruslah memenuhi

persyaratan antara lain :

a. Sarana dan prasarana yang memadai termasuk gedung, akomodasi,

kamar mandi/WC yang higienis, makanan dan minuman yang bergizi

dan halal, ruang kelas, ruang rekreasi, ruang konsultasi individual

maupun kelompok, ruang konsultasi keluarga, ruang ibadah, ruang olah

raga, ruang ketrampilan dan lain sebagainya;

b. Tenaga yang profesional (psikiater, dokter umum, psikolog, pekerja

sosial, perawat, agamawan/ rohaniawan dan tenaga ahli

lainnya/instruktur). Tenaga profesional ini untuk menjalankan program

yang terkait;

c. Manajemen yang baik;

d. Kurikulum/program rehabilitasi yang memadai sesuai dengan

kebutuhan;

e. Peraturan dan tata tertib yang ketat agar tidak terjadi pelanggaran

ataupun kekerasan;
f. Keamanan (security) yang ketat agar tidak memungkinkan peredaran

NAZA di dalam pusat rehabilitasi (termasuk rokok dan minuman keras)

(Hawari,2009).
BAB III
METODE PELAKSANAAN KEGIATAN

A. Rencana Kegiatan

Kegiatan ini berupa kunjungan praktikum lapangan dengan mengunjungi

Lembaga Rehabilitasi Kunci “Drugs Addict Rehabilitation Center”

Yogyakarta. Peneliti mendatangi tempat tersebut dan melakukan wawancara

bersama pihak dari panti rehabilitasi kunci yaitu salah satu pengurus dan

residen. Hasil wawancara dan kunjungan akan ditulis di log book masing-

masing peneliti sebagai acuan dalam membuat laporan.

B. Lokasi Kegiatan

1. Nama Instansi : Lembaga Rehabilitasi Kunci “Drugs Addict

Rehabilitation Center” Yogyakarta.

2. Alamat Instansi : Nandan, RT 01/RW 36, Sanharjo, Ngaglik, Sleman

55581 Yogyakarta.

C. Waktu Kegiatan : 24 April 2019


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Situasi Umum

Lembaga Rehabilitasi Kunci “Drugs Addict Rehabilitation Center”

Yogyakarta yang berdiri dari tahun 2005 melakukan assessment setiap saat dan

advokasi untuk memasarkan program kepada masyarakat. Lembaga

Rehabilitasi Kunci “Drugs Addict Rehabilitation Center” Yogyakarta melayani

residen dari berbagai provinsi terkait penyalahgunaan NAPZA. Program yang

menjadi andalan dalam panti ini yaitu TC atau terapeutik community yang

berarti mengumpulkan beberapa korban penyalahgunaan NAPZA dalam satu

kelompok dengan memiliki tujuan yang sama yaitu ingin terbebas dari NAPZA

dan pendekatan secara agama kristiani.

B. Hasil Kegiatan

Tujuan dari Lembaga Rehabilitasi Kunci “Drugs Addict Rehabilitation

Center” Yogyakarta yaitu agar residen menjadi Clean and Sober atau dapat

bebas dari rokok, bebas dari zat aditif, dan jauh dari kelompoknya serta timbur

kesadaran untuk hidup mandiri dan bermanfaat. Pendekatan kepada residen

adalah salah satu cara agar residen bersedia direhabilitasi di panti tersebut.

Residen di Lembaga Rehabilitasi Kunci “Drugs Addict Rehabilitation Center”

Yogyakarta berumur 22 hingga 40 tahun. Beberapa bulan awal menjalani

rehabilitasi, residen tidak diperkenankan untuk melakukan aktifitas diluar panti


seperti bersekolah. Sampai pada 24 April 2019, jumlah residen yang sedang

menjalani proses rehabilitasi sejumlah 8 orang.

Panti rehabilitasi ini hanya menerima residen laki-laki, dikarenakan belum

adanya pembatas antara laki-laki dan perempuan. Sebelum residen

direhabilitasi, dilakukan tes HIV untuk mengetahui apakah calon residen

mengidap HIV atau tidak. Beberapa aturan yang terdapat dalam Lembaga

Rehabilitasi Kunci “Drugs Addict Rehabilitation Center” Yogyakarta yaitu :

1. No Drugs

2. No Seks

3. Tidak boleh merusak

4. Tidak boleh memukul

5. Tidak boleh mencuri

Dalam panti rehabilitasi ini, residen dididik dan dilatih untuk hidup bersih

dan mandiri. Beberapa contoh kegiatan dalam panti ini yaitu morning meeting,

diskusi, seminar, coffe break, weekend wake up (evaluasi kemajuan kegiatan

dalam sepekan) dan daily wake up (evaluasi kemajuan kegiatan rutinan setiap

hari).

Prosedur penerimaan residen di Panti ini adalah sebagai berikut :

1. Calon residen dating secara sukarela (dating sendiri)

2. Diantar oleh orang tua/wali/keluarga

3. Rujukan antar lembaga


4. Putusan dari pengadilan untuk direhabilitasi

Pelayanan di Lembaga Rehabilitasi Kunci “Drugs Addict Rehabilitation

Center” Yogyakarta salah satunya yaitu diadakan bimbingan untuk orang tua

pasien mengenai NAPZA khusunya bagi keluarga mereka yang menjadi

penghuni panti, kegiatan ini disebut Family Group Discussion. Pada saat calon

residen datang, maka hal yang dilakukan yaitu pendekatan, tes urine, dan

skrinning. Jenis rehabilitasi yang ada di Lembaga Rehabilitasi Kunci “Drugs

Addict Rehabilitation Center” Yogyakarta ada dua macam, yaitu rehabilitasi

medis dan rehabilitasi social. Rehabilitasi medis bertujuan untuk memulihkan

residen dari NAPZA, hal itu dilakukan oleh tenaga medis. Sedangkan

trehabilitasi social bertujuan untuk mengembalikan fungsi social residen ketika

nanti mereka kembali kepada keluarga dan masyarakat.

Proglam layanan atau metode yang digunakan dalam rehabilitasi ini yaitu:

1. Motivational & diagnosis psikososial

2. Perawatan dan pengasuhan

3. Pelayanan aksesibilitas

4. Therapy psikososial dengan metode therapeutic community (TC)

Modifikasi

5. Art Therapy

6. Bimbingan mental spiritual

7. Bimbingan fisik dan vokasional

8. Bantuan dan asistensi sosial


9. Resosialisasi

10. Bimbingan lanjut

11. Rujukan.

Outcome yang diharapkan oleh Lembaga Rehabilitasi Kunci “Drugs Addict

Rehabilitation Center” Yogyakarta ada 3 hal, yaitu :

1. Pemulihan dari ketergantungan NAPZA

2. Pemulihan fisik, mental, dan social

3. Penyiapan kembali ke lingkungan keluarga dan masyarakat

Kriteria residen yang diterima di Lembaga Rehabilitasi Kunci “Drugs

Addict Rehabilitation Center” Yogyakarta adalah sebagai berikut :

1. Merupakan korban penyalahgunaan NAPZA

2. Berjenis kelamin laki-laki

3. Memiliki orang tua / wali / keluarga yang bertanggung jawab

4. Tidak sedang berhadapan dengan hokum (sudah mendapat putusan

pengadilan)

Sumber daya manusia yang dimiliki Panti Sosial Rehabilitasi Sosial Korban

Penyalahgunaan NAPZA terdiri dari pekerja social, konselor adiksi, dokter,

perawat, psikolog, instruktur, staff, penyuluh, staff TU, dan pembimbing

rohani. Fasilitas yang dimiliki Lembaga Rehabilitasi Kunci “Drugs Addict

Rehabilitation Center” Yogyakarta berupa ruang seminar, ruang observasi,


asrama, poliklinik, ruang vokasional, ruang makan, ruang konseling, wisma

tamu. Residen yang datang ke panti me

C. Pembahasan

Pada tahun 2016, BNN telah memberikan layanan rehabilitasi terhadap

22.485 pecandu dan penyalahgunaan narkotika dan layanan pasca rehabilitasi

terhadap 10.782 mantan pecandu dan penyalahgunaan narkotika. Dari jumlah

tersebut terdapat 15.971 pecandu dan penyalahguna narkotika yang telah

selesai program rehabilitasi dan 9.408 mantan pecandu dan penyalahguna

narkotia yang telah selesai program pasca rehabilitasi. Kemudia dari jumlah

tersebut terdata 7.292 mantan pecandu yang tidak kambuh kembali dari

lembaga rehabilitasi instansi pemerintah maupun komponen masyarakat dan

2.131 mantan pecandu dari lembaga pasca rehabilitasi. (Pusdatin, 2017)

Berdasarkan pendataan dari aplikasi Sistem Informasi Narkoba BNN

(2017) jumlah kasus narkotika yang berhasil diungkap selama 5 tahun terakhir

dari tahun 2012-2016 per tahun sebesar 76,53%. Kasus yang paling banyak

ditemukan adalah penggunaan shabu sebanyak 3.059 kasus dikuti ekstasi

sebanyak 194 kasus dan ganja 172 kasus. Berbeda dengan hasil yang peneliti

peroleh, bahwa residen di Lembaga Rehabilitasi Kunci “Drugs Addict

Rehabilitation Center” Yogyakarta banyak yang menggunakan atau

mengkonsumsi obat-obatan yang tidak sesuai dosis nya atau berlebihan

sehingga merusak kesehatan mereka, psikotropika, dan alcohol.


Salah satu informasi yang peneliti dapatkan adalah bahwa di Lembaga

Rehabilitasi Kunci “Drugs Addict Rehabilitation Center” Yogyakarta terdapat

kegiatan siraman rohani untuk para residen disana. Hidayati (2016) dalam

penelitiannya menyebutkan bahwa penyalahgunaan Napza merupakan salah

satu ketegangan psikososial yang berdampak pada berbagai sendi kehidupan

khususnya bagi pribadi korban. Berbagai penderitaan yang dialami baik secara

fisik, psikis, spiritual, maupun sosial berakibat pada perasaan tertekan serta

melemahnya kemampuan untuk bangkit dari keterpurukan. Dampak tersebut

membutuhkan penanganan dalam menguatkan kemampuan resiliensi korban

penyalahgunaan Napza. Salah satu cara untuk menguatkan resiliensi yaitu

dengan jalan dakwah. Dakwah merupakan proses untuk mengajak individu atau

kelompok membentuk ajaran dan peradaban Islam sehingga terwujudnya

kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dakwah berfungsi untuk mengajak mad’u

yang sesat dan menyimpang dari syariat agama atau keluar dari fitrahnya,

supaya kembali kepada jalan agama. Sementara untuk menguatkan resiliensi

korban penyalahgunaan Napza, terdapat beberapa metode yang digunakan yaitu

metode personal approach, metode bi al hal, dan metode konseling. Metode

dakwah yang digunakan diharapkan mampu menguatkan resiliensi

penyalahguna Napza sehingga mampu bangkit kembali dari berbagai tekanan

dan mengadapi kehidupan selanjutnya dengan cara pandang yang lebih baik.

Selain itu, ketika peneliti melihat langsung salah seorang residen di

Lembaga Rehabilitasi Kunci “Drugs Addict Rehabilitation Center”


Yogyakarta, dia menyebutkan bahwa dia menjadi pecandu narkoba karena

tuntutan pekerjaan. Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Sari (2018)

mendeskripsikan bahwa pelaksanaan konseling di Yayasan Rehabilitasi Mental

Sinai Sukoharjo dilaksanakan melui beberapa tahap, yaitu pra konseling, tahap

pembuka, tahap transisi atau tahap peralihan, tahap kegiatan dimana dalam

tahap kegiatan konselor menggunakan teknik REBT (Rational Emotive

Behavior Therapy), dan Logoterapi. Pada tahap REBT konselor merubah

pikiran irasional menjadi rasional setelah itu tahap logotherapi konselor

mengarahkan kepada pasien agar menemukan makna dalam hidupnya

diberbagai keadaan yang dialami oleh pasien, keadaan senang maupun yang

tidak menyenangkan, kemudian tahap akhir atau tahap evaluasi dan pasca

konseling.

Beberapa metode yang diterapkan dalam Lembaga Rehabilitasi Kunci

“Drugs Addict Rehabilitation Center” Yogyakarta adalah terapetik komunitas,

putus zat, dan vokasional. Namun, hal ini berbeda dengan penelitian Lestari

(2012) bahwa metode rehabilitasi di Pondok Pesantren Suryalaya Metode

penyadaran atau pembinaan yang dilakukan oleh PP Suryalaya melalui Pondok

Inabah terhadap korban penyalahgunaan napza melalui seperangkat kurikulum

yang dilaksanakan secara ketat dan intensif dalam suatu feriode tertentu.

Adapun metode yang diterapkan adalah melalui pendekatan Ilaahiyah yang

terdiri dari mandi taubat, shalat fardlu dan sunah, dzikir jahar dan khofi, serta

puasa. Adapun materi rehabilitasi selain keempat komponen tersebut adalah


melalui membaca Al-Qur’an, pengajian rutin mingguan dan bulanan, do’adoa,

dan pembelajaran tentang keimpuan seperti Fiqh, Tauhid, Akhlak, Tasawuf,

dan lain sebagainya.

Sebagian besar informasi yang peneliti dapatkan ketika berada di Lembaga

Rehabilitasi Kunci “Drugs Addict Rehabilitation Center” Yogyakarta memiliki

kemiripan dengan hasil penelitian Sharifi, et al (2012) di Iran bahwa sebagian

besar kasus mengacu pada pusat perawatan adalah laki-laki (95,2%). Usia rata-

rata pasien adalah 35,48 ± 10,57 tahun (rentang 14 hingga 75 tahun). Lebih dari

20% dari subyek yang buta huruf atau memiliki dasar tingkat pendidikan;

35,9% memiliki sekolah menengah atau pendidikan tingkat sekolah menengah,

32,4% memiliki ijazah, dan 10,9% memiliki gelar sarjana. Dari 1372 pasien,

mayoritas, 938 (68,4%) memiliki setidaknya satu kegagalan upaya sebelumnya

ketika mencari pengobatan ulang. Sebanyak 9,3% lebih menyukai pemeriksaan

dan rehabilitasi di pusat rehabilitasi, kamp, penjara atau layanan NA (Narcotic

Anonymous) dan 35,3% menggunakan kombinasi metode yang disebutkan

sebelumnya atau sudah mencoba metode lain.


BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Pengelolaan Lembaga Rehabilitasi Kunci “Drugs Addict Rehabilitation

Center” Yogyakarta sudah tergolong sangat baik karena sudah sesuai

dengan standar nasional dan menampung berbagai residen dari berbagai

residen di Indonesia.

2. Pokok pelayanan Lembaga Rehabilitasi Kunci “Drugs Addict

Rehabilitation Center” Yogyakarta yaitu Terapetik Komunitas (TC)

Modifikasi, terapi putus zat, dan pendekatan agama.

3. Gambaran epidemiologi pasien Lembaga Rehabilitasi Kunci “Drugs

Addict Rehabilitation Center” Yogyakarta yaitu semua pasiennya laki-

laki, mereka sukarela menjadi residen disana, sebagian besar adalah

pekerja yang dituntut jam kerja yang tinggi, tren penggunaan NAPZA

saat ini yaitu shabu, psikotropika, dan alcohol.

4. Sumber daya di Lembaga Rehabilitasi Kunci “Drugs Addict

Rehabilitation Center” Yogyakarta yaitu SDM yang terdiri dari dokter,

konselor, pekerja sosial, psikolog, instruktur, staff, dan pembimbing

rohani. Fasilitas disana terlihat sudah cukup lengkap dari mulai asrama

hingga ruang-ruang pelatihan untuk residen.


B. Saran

1. Promosi kesehatan lebih digalakkan lagi oleh Lembaga Rehabilitasi

Kunci “Drugs Addict Rehabilitation Center” Yogyakarta agar dapat

mencegah dan mengurangi kasus penyalahgunaan narkoba

2. Lembaga Rehabilitasi Kunci “Drugs Addict Rehabilitation Center”

Yogyakarta membuka kesempatan berupa tempat dan sarana prasarana

lain agar dapat menampung korban penyalahgunaan narkoba berjenis

kelamin perempuan.
DAFTAR PUSTAKA
Azmiyati, Sr., Dkk. 2014. Gambaran Penggunaan Napza Pada Anak Jalanan Di Kota
Semarang. Semarang Unnes. Http://Download.Portalgaruda.Org. (Diakses
Tanggal 20 Juni 2018)
Badan Narkotika Nasional Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. (2015). Laporan
Tahunan Badan Narkotika Nasional Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Tahun 2014. Yogyakarta: Bnnp Yogyakarta.
Badan Narkotika Nasional Ri. Dampak Negatif Kecanduan Napza. Jakarta: Bnn Ri;
2013.
Hawari, Dadang. (2009). Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa Skizofrenia. Fkui:
Jakarta.
Hidayati, Ilmi. 2016. Metode Dakwah Dalam Menguatkan Resiliensi Korban
Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, Dan Zat Adiktif Lainnya (Napza).
Jurnal Ilmu Dakwah; Vol. 36, No. 1.
Irianto, Koes. 2008. Pencegahan Penanggulangan Keracunan. Penerbit: Yrama Widya.
Bandung.
Kemenkes RI. (2010). Pedoman Konseling Gangguan Penggunaan Napza Bagi Petugas
Kesehatan. Diakses 20 Juni 2018;
Http://Www.Scribd.Com/Doc/48415961/22/Proses-Pemulihan
Kesehatan Ri No. 86/Men.Kes/Per/Iv/1977 Tanggal 29 April 1977
Kembaren, Sryenda Marcelina. Analisis Pola Asuh Orang Tua Korban Penyalahgunaan
Narkoba Di Recovery Center Yayasan Caritas Pse. Dari
Https://Media.Neliti.Com. Diakses 20 Juni 2018.
Lestari, Puji.2012. Metode Terapi Dan Rehabilitasi Korban Napza Di Pondok
Pesantren Suryalaya . Jurnal Dimensia; Vol. 6, No. 1
Martaatmadja, S. 2007. Awasbahaya Napza. Semarang. Pt. Bengawan Ilmu.
Pusat Data Dan Informasi (Pusdatin). 2017. Kementerian Kesehatan Ri; Jakarta
Selatan.
Sharifi, H, Et Al. 2012. Common Methods To Treat Addiction In Treatment-
Rehabilitation Centers In Tehran. Iranian J Publ Health; Vol.41, No. 4.
Sistem Informasi Narkoba Bnn (2017)
Soeparman, Herman (2000). Narkoba Telah Merubah Rumah Kami Menjadi Neraka,
Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional-Dirjen Dikti
Sumiati, Dkk., 2009, Asuhan Keperawatan Pada Klien Penyalahgunaan &
Ketergantungan Napza, Jakarta: Trans Info Media.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
Undang-Undang RI Nomor 22 / 1997 Tentang Psikotropika

Sopiah, Pipih. 2009. Lindungi Pelajar Dari Serangan Virus HIV/AIDS. PT Elisa
Surya Dwitama. Bandung.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai