Anda di halaman 1dari 11

J. MANUSIA DAN LINGKUNGAN, Vol. 23, No.

2, Juli 2016: 195-205

PENGELOLAAN KEBERLANJUTAN EKOSISTEM HUTAN RAWA GAMBUT


TERHADAP KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN
DI SEMENANJUNG KAMPAR, SUMATERA
(Sustainable Management of Peat Swamp Forest Ecosystems Toward Forest and Land Fires
in Kampar Peninsula, Sumatera)

Budi Darmawan1*, Yusni Ikhwan Siregar2, Sukendi2 dan Siti Zahrah3


1
Program Doktor Program Studi Ilmu Lingkungan, Universitas Riau,
Jln. Pattimura No.9 Gobah, Pekanbaru 28131.
2
Program Studi Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana, Universitas Riau,
Jln. Pattimura No.9 Gobah, Pekanbaru 28131.
3
Fakultas Pertanian, Universitas Islam Riau,
Jln. Kaharudin Nasution No. 113, Perhentian Marpoyan, Pekanbaru 28284.

*
Penulis korespondensi. Tel: 08117506113. Email: budi_drw@yahoo.com. Diterima: 3

Agustus 2015 Disetujui: 11 Januari 2016

Abstrak
Keberadaan ekosistem hutan rawa gambut di Indonesia terus mengalami gangguan dan kerusakan akibat pola
pemanfaatan yang tidak bijaksana seperti terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Umumnya kebakaran tersebut berasal
dari adanya kegiatan manusia seperti penggunaan dan perubahan tutupan lahan. Kawasan Lindung Hutan Rawa Gambut
Semenanjung Kampar termasuk salah satu ekosistem hutan rawa gambut terbesar di Pulau Sumatera. Peranan utama dari
kawasan ini sebagai penjaga kestabilan lingkungan terhadap kawasan sekitarnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui tingkat dan status serta faktor-faktor kunci yang mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan ekosistem hutan
rawa gambut terhadap kebakaran hutan dan lahan dengan menggunakan pendekatan Multi-Dimensional Scaling.
Mengacu kepada hasil penelitian secara keseluruhan indeks atau status keberlanjutan berada pada kriteria sedang
(45,81%) atau status cukup berkelanjutan. Secara parsial untuk masing-masing dimensi yang memiliki status cukup
berkelanjutan adalah ekonomi, teknologi dan hukum, sedangkan dimensi ekologi dan sosial kurang berkelanjutan
sehingga perlu mendapatkan perhatian serius.
Kata kunci: gambut, kebakaran, skala, Kampar.

Abstract
The existence of peat swamp forest ecosystem in Indonesia continues to become distruption and damage which are
caused by unwise utilization patterns such as forest and land fires. This happens because of human activities such as the
use and change of the land. Protected area of peat swamp forest in Kampar peninsula is one of the largest forest
ecosystems in Sumatera. The main function of this area is to maintain environment stability for the surrounding area.
This study aims at finding out the level, status and main factors influencing sustainable management of peat swamp forest
ecosystems toward forest and land fires by using multi-dimensional scaling approach. Based on the result of the study, it
was found that the overall index or continues status was at the mediocre criterion level (45.81%). Partially, each
dimension which has sustainable status includes economy, technology and law, while ecological and social dimensions
were not sustainable and need more serious attention.
Keywords: peat, fire, scaling, Kampar.
PENDAHULUAN mendapat tekanan sangat berat oleh berbagai
aktivitas dan kegiatan manusia yang tidak ramah
Hutan dan lahan gambut merupakan salah satu lingkungan (Phillip, 1998; Saharjo, 2007; Lavorel
tipe ekosistem lahan basah (Mitsch and Gosselink, dkk, 2007; Anonim, 2010a).
2000). Luas lahan gambut di Indonesia diperkirakan Data menunjukkan dari sekitar 14,95 juta
sekitar 14,95 juta hektar tersebar di pulau Sumatera, hektar lahan gambut diperkirakan 6,66 juta hektar
Kalimantan dan Papua serta sebagian kecil di atau 44,6% telah terdegradasi (Wahyunto dkk,
Sulawesi (Wahyunto dkk, 2013a). Keberadaan 2013a; Wahyunto dkk, 2013b). Tata air yang salah
ekosistem hutan dan lahan gambut saat ini semakin menjadi penyebab utama terjadinya degradasi lahan
terus terancam, karena status eksistensinya gambut (Masganti, 2003). Selain itu degradasi lahan
196 J. MANUSIA DAN LINGKUNGAN Vol. 23, No. 2

gambut juga dapat disebabkan oleh kebakaran dan Kebijakan pengendalian kebakaran hutan dan
kegiatan penambangan (Masganti dkk, 2014). Lebih lahan gambut di Indonesia belum menyentuh akar
parah lagi akibat kebakaran hutan dan gambut akan permasalahan karena strategi penanggulangan
memberikan kontribusi terhadap perubahan iklim kebakaran masih berfokus pada manajemen
global sebagai akibat pertambahan emisi gas rumah pemadaman, sedangkan akar penyebab kebakaran
kaca yang dilepaskan ke udara (Masganti dkk, hutan dan lahan gambut semakin kompleks, termasuk
2014). Padahal fungsi utamanya adalah sebagai sistem pengelolaan sumber daya alam di Indonesia
sumberdaya keanekaragaman hayati dan tempat (Chokkalingam dan Suyanto, 2004). Provinsi Riau
penyimpan karbon di alam (Whelan, 1995; Hooijer merupakan salah satu provinsi yang paling rawa
dkk, 2006; Joosten, 2009). Kebakaran hutan dan terhadap kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.
lahan gambut sering terjadi saat pembukaan lahan, Provinsi Riau memiliki pengaruh yang besar
yang menjadi kontributor emisi gas rumah kaca terhadap terjadinya polusi asap yang melintas batas
tertinggi dan sering menyudutkan Indonesia dalam negara, di mana pada umumnya kebakaran tersebut
forum internasional tentang lingkungan dan berada di lahan gambut (Nurhayati dkk,
perubahan iklim (Agus dan Subiksa, 2008; Subiksa 2010).
dkk, 2011). Pembakaran mempercepat proses Luas lahan gambut di Provinsi Riau sekitar
subsidensi gambut dan degradasi lahan, padahal 3,89 juta hektar dari 6,49 juta hektar total luas lahan
kecepatan pembentukan gambut untuk hutan primer gambut di pulau Sumatera. Saat ini diperkirakan
hanya 3 mm/tahun (Andriesse, 1988). lahan gambut yang telah terdegradasi sekitar
Pembakaran juga menyebabkan punahnya 2.313.561 hektar atau 59,54% dari total luas lahan
mikroorganisme sehingga mengganggu proses gambut di Provinsi Riau. Sisanya sekitar 1.037.020
dekomposisi dan kimia tanah serta hilangnya hektar dari lahan tersebut dimanfaatkan untuk
berbagai biota atau biodiversitas lainnya (Tan, 1994; budidaya tananam seperti kelapa sawit, tanaman
Setyaningsih, 2000). Pembakaran memang pangan dan hortikultura (Wahyunto dkk, 2013a).
menghasilkan abu yang mengandung basa-basa, Mengacu kepada potensi luas lahan gambut di
namun tidak cukup untuk menyuplai kebutuhan hara Provinsi Riau jika tidak dikelola dengan baik maka
tanaman (Kurnia dkk, 1997; Masganti, 2003). Selain akan mudah terbakar dan berdampak pada pelepasan
itu kurangnya pengetahuan tentang sistem pertanian karbon ke udara sehingga meningkatkan efek gas
dan perkebunan ramah lingkungan menyebabkan rumah kaca.
masih terjadinya bencana asap setiap tahun Kawasan Semenanjung Kampar merupakan
dibeberapa provinsi di Indonesia. Asap kebakaran salah satu hamparan hutan rawa gambut terluas yang
hutan dan lahan gambut dapat menjalar sehingga berada di Provinsi Riau. Semenanjung Kampar
mengganggu sistem transportasi penerbangan, memiliki ekosistem hutan gambut berada di antara 2
(dua) sungai besar, yaitu Sungai Siak dan Sungai
aktivitas ekonomi dan kesehatan masyarakat seperti
Kampar. Hampir seluruh areal di Semenanjung
infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), diare dan Kampar merupakan lahan gambut dengan tiga kubah
gatal-gatal (Sumantri, 2003; Aiken, 2004; gambut besar (peat dome) sebagai daerah intinya
Hergoualc’h and Verchot, 2013). dengan kedalaman gambut tergolong dalam hingga
Dampak langsung kebakaran hutan dan lahan sangat dalam dan beberapa kubah gambut kecil
gambut bagi manusia adalah kehilangan sumber (Qomar dan Jaya, 2010). Tutupan hutan rawa gambut
mata pencaharian masyarakat terutama bagi mereka di Semenanjung Kampar pada tahun 1982 mencapai
yang masih menggantungkan hidupnya pada sumber 97% dari luas total areal 702.129 hektar. Pada tahun
daya alam (berladang, beternak, berburu/menangkap
2005 luas tutupan hutan yang ada hanya mencapai
ikan dan sebagainya). Ladang, perkebunan dan lahan
pertanian lain yang terbakar akan memusnahkan 63% atau telah terjadi deforestasi sebesar
semua tanaman, yang berarti pada akhirnya produksi 34% dalam kurun waktu 23 tahun (1982-2005) dari
pertanian akan ikut terbakar (Adinugroho dkk, luas keseluruhan kawasan Semenanjung Kampar
2005). Lahan gambut dikenal sebagai lahan yang atau sekitar 260.348 hektar (Rifardi, 2008).
rapuh atau rentan dengan perubahan karakteristik Kawasan Semenanjung Kampar telah
yang tidak menguntungkan. Lahan gambut ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia sebagai salah
mempunyai manfaat multifungsi yaitu fungsi satu bagian dari area kunci bagi keanekaragaman
hidrologi, produksi dan ekologi yang sangat vital hayati hutan rawa gambut (Anonim, 2007), dan area
bagi kelangsugan hidup manusia dan lingkungan penting bagi habitat burung di Pulau Sumatera
sekitarnya (Masganti, 2003). Oleh karena itu perlu (Anonim, 2003). Eksistensi hutan gambut
pengelolaan yang khas agar tidak terjadi perubahan Semenanjung Kampar sangat penting dalam
karakteristik yang menyebabkan produktivitas lahan melindungi dan melestarikan keanekaragaman
menurun, tidak produktif dan terbakar (Masganti hayati, demikian juga dalam mempertahankan
dkk, 2014). fungsi hidrologis dan penjaga stabilitas iklim mikro
Juli 2016 BUDI DARMAWAN DKK.: PENGELOLAAN KEBERLANJUTAN EKOSISTEM 197

dan makro serta sebagai adaptasi dan mitigasi


perubahan iklim global dunia (Anonim, 2010b).
Namun demikian tekanan penggunaan lahan di
Semenanjung Kampar oleh berbagai kepentingan
telah mengakibatkan semakin menurunkan luasan
kawasan berhutan.
Keberadaan ekosistem hutan rawa gambut
Semenanjung Kampar mendapatkan tekanan yang
cukup berat dan perubahan luasan secara signifikan
(Rifardi, 2008; Qomar dan Jaya, 2010). Pembukaan
hutan dan lahan gambut untuk pertanian, hutan
tanaman industri dan perkebunan yang disertai
dengan pembuatan kanal secara besar-besaran serta
tidak terkendali diperkirakan akan merubah pola
hidrologi secara ekstrim (Siegel dkk, 1995). Apabila
perubahan pola hidrologi terus berlanjut maka
diperkirakan akan berdampak pada percepatan Gambar 1. Lokasi penelitian (Rifardi, 2008).
proses oksidasi dan dekomposisi, khususnya pada
kubah gambut (Noor, 2010). Gambut yang kegiatan konversi hutan dan lahan gambut untuk
mengalami pengeringan berlebihan hingga merusak pengembangan sektor pertanian, perkebunan dan
sifat koloid gambut sehingga menjadi bahan yang hutan tanaman industri, tingginya kasus kejadian
mudah terbakar dan meningkatkan resiko kebakaran kebakaran hutan dan lahan gambut, dan berada di
hutan dan lahan (Hooijer dkk, 2006). zona inti, penyangga dan pemanfaatan kawasan
Bila kondisi saat ini (eksisting) terus dibiarkan Semenanjung Kampar.
maka jelas akan mempengaruhi keberlanjutan Secara klimatologi keadaan lokasi penelitian
ekosistem hutan rawa gambut di Semenanjung tidak dapat dipisahkan dari iklim Provinsi Riau
Kampar. Kondisi eksisting menyebabkan ekosistem secara keseluruhan dan pada umumnya beriklim
hutan rawa gambut Semenanjung Kampar menjadi tropis, curah hujan bulanan pada umumnya berkisar
salah satu fokus dalam penyelamatan antara 1.949-2.951 mm/th dengan hari hujan
keanekaragaman hayati yang saat ini sedang berkisar antara 151-181 hari, jumlah bulan basah 9
mengalami ancaman kemerosotan akibat degradasi bulan dan bulan kering 2-3 bulan. Suhu udara rata-
dan deforestasi di Provinsi Riau. Oleh karena itu rata bulanan berkisar 26,1-27,5 oC dengan rata-rata
perlu adanya evaluasi untuk mengetahui tingkat tahunan sekitar 26,7 oC (Anonim, 2014).
keberlajutannya berdasarkan pendekatan
multidimensi agar dapat menentukan langkah yang Metode Analisis
tepat untuk menjamin keberlanjutan pada masa yang Analisis indeks pengelolaan hutan rawa gambut
akan datang. Mengacu kepada permasalahan terhadap kebakaran dilakukan melalui analisis
penelitian, maka penelitian ini bertujuan untuk keberlanjutan dengan menggunakan metode
mengetahui tingkat keberlanjutan ekosistem hutan Multidimensional Scaling (MDS), yaitu pada
rawa gambut terhadap upaya mengurangi kebakaran penelitian ini telah dimodifikasi dari program
hutan dan lahan, berdasarkan 5 dimensi yaitu RafishTM (Rapid Appraisal for Fisheries)
ekologi, ekonomi, sosial, infrastruktur dan hukum (Kavanagh, 2001; Pitcher and Preikshot, 2001) yang
kemudian dinamakan menjadi Model Rap-Gambut.
METODE PENELITIAN Model Rap-Gambut dilakukan dengan tujuan guna
mencari peluang, alternatif dan solusi perbaikan-
Waktu dan Lokasi perbaikan berdasarkan pada nilai atribut-atribut
Waktu pelaksanaan penelitian dilakukan mulai sensitif, yaitu dengan cara mengembangkan kedalam
bulan Januari 2014 hingga Mei 2015. Untuk 26 atribut kunci yang dikelompokkan ke dalam 5
mewakili kawasan Semenanjung Kampar secara dimensi, yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial,
keseluruhan maka lokasi penelitian ditetapkan teknologi dan hukum.
bertempat di Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Dengan menggunakan metode MDS, maka
Pelalawan, Provinsi Riau, Indonesia (Gambar 1). posisi titik keberlanjutan dapat divisualisasikan
Penetapan lokasi penelitian dilakukan secara melalui sumbu horizontal dan sumber vertikal.
sengaja (purposive) dengan alasan bahwa wilayah Selanjutnya dengan melakukan proses rotasi, maka
penelitian masih banyak terdapat hutan dan lahan posisi titik dapat divisualisasikan pada sumbu
gambut yang masih tergolong alami dan gambut horizontal dengan nilai indeks keberlanjutan diberi
dalam hingga sangat dalam (> 3 m), banyak terdapat
nilai skor 0% (buruk) dan 100% (baik). Jika sistem
198 J. MANUSIA DAN LINGKUNGAN Vol. 23, No. 2

yang dikaji mempunyai nilai indeks keberlanjutan kategori buruk atau tidak berkelanjutan dan berada
lebih besar atau sama dengan 50% (≥50%), sehingga pada rentang 0-40% atau secara rata-rata sebesar
sistem dikatakan berkelanjutan dan tidak 33,37%.
berkelanjutan jika nilai indeks kurang dari 50% Pengetahuan tentang fungsi utama lahan
(<50%) (Tabel 1). gambut yang masih rendah disebabkan karena
Nilai indeks keberlanjutan untuk setiap dimensi rendahnya tingkat pendidikan masyarakat di lokasi
dapat juga divisualisasikan dalam bentuk diagram penelitian, yaitu: tidak pernah sekolah (16,11%),
layang-layang untuk mempermudah dalam proses pendidikan dasar (40,20%), pendidikan menengah
perbandingan dan mengetahui titik-titik pertama (14,77%), pendidikan menengah atas
ketidakberlanjutannya. Analisis ordinasi dengan (24,16%), dan sedikit sekali berpendidikan tinggi
metode MDS dilakukan melalui beberapa tahapan (4,70%). Tingkat pendidikan responden untuk
sebagai berikut: tahap penentuan atribut, tahap melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih lanjut
penilaian setiap atribut dalam skala ordinal (scoring) relatif masih rendah antara lain karena faktor
berdasarkan kriteria keberlanjutan setiap dimensi, motivasi dan rendahnya kesadaran orang tua pada
tahap analisis ordinasi untuk menentukan ordinasi saat mereka masih kecil untuk menyekolahkan anak-
dan nilai stress melalui ALSCAL Algorithm, anaknya karena alasan kesulitan ekonomi rumah
melakukan rotasi untuk menentukan posisi indeks tangga serta lebih memprioritaskan untuk bekerja
dan status keberlanjutan pada ordinasi bad atau good, membantu orang tua di ladang/bertani, menjadi
dan melakukan analisis sensitivitas, yakni Leverage nelayan, buruh perusahaan perkebunan dan jenis-
Analysis dan Monte Carlo Analysis untuk jenis pekerjaan sampingan lainnya.
memperhitungkan aspek ketidakpastian (KavanaGh,
2001). Indeks dan Status Keberlanjutan Dimensi
Ekonomi
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis keberlanjutan indeks dan status
dimensi ekonomi menggunakan 5 atribut terpilih,
Indeks dan Status Keberlanjutan Dimensi yaitu: penghasilan, pengeluaran, tanggungan, luas
Ekologi kebun, dan pekerjaan. Hasil analisis leverage atribut
Analisis indeks dan status keberlanjutan dimensi ekologi seperti disajikan pada Gambar 3.
dimensi ekologi menggunakan 5 atribut terpilih, Gambar 3 memperlihatkan hasil analisis
yaitu: tingkat konversi hutan dan lahan gambut, leverage atribut dimensi ekonomi urutan prioritas
metode bakar ramah lingkungan, pengetahuan atribut yang sangat perlu mendapat perhatian, yaitu
fungsi utama hutan rawa gambut, pengetahuan persentase luas kebun dan jumlah tanggungan. Secara
penyebab kebakaran hutan rawa gambut, dan keseluruhan indeks keberlanjutan untuk
pengetahuan dampak kebakaran hutan rawa gambut.
Hasil analisis leverage atribut dimensi ekologi Tabel 1. Nilai indeks, status dan interpretasi
seperti disajikan pada Gambar 2. Hasil analisis keberlanjutan MDS.
leverage atribut dimensi ekologi maka urutan Nilai Indeks (%) Interpretasi
prioritas atribut sensitif tersebut perlu mendapat 0 - 24,99 Tidak berkelanjutan
perhatian lebih atau sangat mempengaruhi 25 - 49,99 Kurang berkelanjutan
pengelolaan keberlanjutan lahan gambut terhadap 50 - 74,99 Cukup berkelanjutan
kebakaran, yaitu pengetahuan tentang fungsi utama 75 - 100 Sangat berkelanjutan
Sumber : Thamrin dkk. (2007).
lahan gambut. Secara keseluruhan indeks
keberlanjutan untuk dimensi ekologi berada pada
Pengamatan

Batas
Acuan

Gambar 2. (a) Peran masing-masing atribut yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RMS, dan (b) indeks
dan status keberlanjutan dimensi ekologi.
Juli 2016 BUDI DARMAWAN DKK.: PENGELOLAAN KEBERLANJUTAN EKOSISTEM 199
Pengamatan
60 atas
Batas

Sumbu Y setelah rotasi:


skala keberlanjutan
40 Acuan

20 bagus
buruk
21,89
0

0 20 40 3,3860 80 100
-20 -2.,991 -3,.306
-13,73
-40

-60
bawah
Sumbu X setelah rotasi: skala keberlanjutan
(b)
Gambar 3. (a) Peran masing-masing atribut yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RMS, dan (b) indeks
dan status keberlanjutan dimensi ekonomi.
Pengamatan
Batas
Acuan

Gambar 4. (a) Peran masing-masing atribut yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RMS, dan (b) indeks
dan status keberlanjutan dimensi sosial.
dimensi ekonomi berada pada kategori sedang atau dalam proses implementasi pencegahan kebakaran
cukup berkelanjutan dan berada pada rentang 40- hutan rawa gambut, dan ikut serta dalam proses
80% atau secara rata-rata sebesar 56,98%. Mengacu pengawasan pencegahan hutan rawa gambut seperti
kepada besarnya nilai indeks tersebut mengartikan disajikan pada Gambar 4. Hasil analisis leverage
bahwa dari sisi dimensi ekonomi telah memberikan atribut dimensi sosial penelitian maka atribut yang
manfaat yang lebih besar bila dibandingkan dengan paling sensitif dan perlu mendapat perhatian terhadap
dimensi ekologi. pengelolaan pencegahan kebakaran, yaitu tingkat
Dimensi ekonomi merupakan salah satu faktor pendidikan dan pemadaman api. Secara keseluruhan
sangat dominan terhadap maraknya kerusakan nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi sosial
lingkungan seperti kebakaran dan konversi lahan.
berada pada kategori buruk atau tidak berkelanjutan
Pada dasarnya hampir semua kasus degradasi lahan
serta berada pada rentang 0-40% atau secara rata-rata
dan rusaknya ekosistem selalu dipicu dari masalah
peningkatan ekonomi. Namun, alternatif ekonomi sebesar 30,61%.
yang menjadi unsur penting pada program konservasi Mulai memudarnya modal sosial dalam hal
haruslah mendapat mendukung dari pengelolaan ekosistem lahan gambut pada saat awal
kegiatan konservasi itu sendiri. Sebab, apabila aspek pembukaan lahan juga merupakan faktor pendukung
peningkatan ekonomi masyarakat tidak menjadi lainnya karena sebagian responden penelitian berupa
bagian dari peningkatan kegiatan konservasi, maka masyarakat pendatang atau baru menetap di daerah
kegiatan tersebut justru menjadi permasalahan dan penelitian, yaitu masyarakat yang berasal dari luar
ancaman bagi kawasan yang akan di konservasi. daerah yang kemudian bermigrasi untuk mencari
penghidupan baru dengan cara membuka hutan rawa
Indeks dan Status Keberlanjutan Dimensi Sosial gambut untuk sektor kegiatan pertanian dan
Analisis keberlanjutan indeks dan status perkebunan. Selain itu mulai memudarnya nilai
dimensi sosial menggunakan 6 atribut terpilih, yaitu: kearifan lokal atau aturan-aturan yang sudah
pendidikan, kearifan lokal, ikut serta dalam proses diwariskan secara turun-temurun untuk tetap
pemadaman api, ikut serta dalam proses perencanaan menjaga ekosistem hutan rawa gambut nampaknya
pencegahan kebakaran hutan rawa gambut, ikut serta sudah mulai berangsur-angsur pudar karena para
“tetua” yang ada di dalam masyarakat sudah tiada
200 J. MANUSIA DAN LINGKUNGAN Vol. 23, No. 2

Pengamatan
Batas
Acuan

Gambar 5. (a) Peran masing-masing atribut yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RMS, dan (b) indeks
dan status keberlanjutan dimensi teknologi.
Peningkatan penegakkan
Atribut dimensi hukum

7,44 atas Batas


hukum

Sumbu Y setelah rotasi:


Menindak tegas

skala keberlanjutan
6,46 buruk baik
pembakar hutan dan…
Kebijakan penyiapan -1-50
4-1.-541-3.1
9,14 0 9.19,44.5870 -18,72
100
lahan tanpa bakar

cetak dan elektronik bawah


-100
0 5 10
Nilai RMS leverage (%) (skala 0 - 100) Sumbu X setelah rotasi: skala keberlanjutan
(a) (b)

Gambar 6. (a) Peran masing-masing atribut yang dinyatakan dalam bentuk perubahan RMS, dan (b) indeks
dan status keberlanjutan dimensi hukum.
atau berkurang intensitasnya untuk selalu komunitas lokal, pemecahan masalah isu dan
mengingatkan peranan penting ekosistem lahan batasan atau ketentuan penggunaan, pengembangan
gambut kepada generasi berikutnya. pengelolaan dan opsi restorasi, dan penelitian,
pemantauan dan evaluasi.
Indeks dan Status Keberlanjutan Dimensi
Teknologi Indeks dan Status Keberlanjutan Dimensi
Analisis keberlanjutan indeks dan status Hukum
dimensi teknologi menggunakan 6 atribut terpilih, Analisis keberlanjutan indeks dan status
yaitu: ketrampilan sumber daya manusia, dimensi hukum menggunakan 4 atribut terpilih,
kelengkapan peralatan, kerjasama teknik dengan yaitu: sosialisasi dengan media cetak dan elektronik,
lembaga donor, pendanaan, pengurangan kebijakan penyiapan lahan tanpa bakar, menindak
penggunaan api, dan pelatihan dan bimbingan tegas pembakar hutan rawa gambut, peningkatan
pencegahan kebakaran seperti disajikan pada penegakan hukum seperti disajikan pada Gambar 6.
Gambar 5. Hasil analisis leverage atribut dimensi Gambar 6 memperlihatkan atribut dimensi
teknologi yang paling sensitif dan perlu mendapat hukum yang paling sensitif dan perlu mendapat
perhatian lebih atau mempengaruhi pengelolaan perhatian lebih atau mempengaruhi pengelolaan
hutan rawa gambut adalah masalah pendanaan, hutan rawa gambut terhadap kebakaran adalah
menggurangi penggunaan api, dan kelengkapan kebijakan penyiapan lahan tanpa bakar, peningkatan
peralatan kebakaran. Secara keseluruhan indeks penegakkan hukum dan menindak tegas pembakar
keberlanjutan untuk dimensi teknologi berada pada hutan dan lahan. Secara rata-rata keseluruhan indeks
kategori sedang atau cukup berkelanjutan, yaitu keberlanjutan untuk dimensi hukum berada pada
secara rata-rata sebesar 51,99%. kategori sedang atau cukup berkelanjutan, yaitu
Noor (2010) menyebutkan dalam konteks secara rata-rata sebesar 50,69%.
pencegahan kebakaran, pengelolaan dan konservasi Penerapan saksi hukum terhadap para pelaku
lahan gambut maka pengembangan ilmu dan pembakar lahan, baik disegaja maupun tidak
teknologi mutlak harus dilakukan seperti disengaja masih belum optimal dan bersifat “tebang
pendidikan, pertukaran informasi dan kemudahan pilih”. Penegakkan hukum lingkungan, khususnya
akses, pelatihan dan lokakarya, perbaikan kebakaran hutan dan lahan gambut seperti
pengelolaan dengan melibatkan kelompok menegakkan benang basah. Hukum hanya mampu
Juli 2016 BUDI DARMAWAN DKK.: PENGELOLAAN KEBERLANJUTAN EKOSISTEM 201

menjaring perusak lingkungan “kelas teri”, Kebijakan penyiapan lahan


9,14
sedangkan “kelas kakap" masih terus tanpa bakar
melangsungkan aktivitas perusakan lingkungan. Pengetahuan fungsi gambut 8,80
Kerusakan ekosistem lahan gambut di Indonesia Pengetahuan penyebab
kebakaran 7,63
terus mengalami peningkatan, sekalipun upaya
untuk menekan tingkat kerusakan dan upaya Metode bakar 7,71
rehabilitasi ekosistem yang rusak telah dilakukan
Peningkatan penegakkan hukum 7,44
dalam skala yang cukup tinggi dengan menghabiskan
anggaran dana dan tenaga yang sangat besar serta Luas kebun 7,32
waktu yang sangat lama.
Pendidikan 4,69
Upaya penegakkan hukum oleh aparat untuk
memerangi perusakan ekosistem lingkungan, dalam Pendanaan 4,06
beberapa kasus seperti pembakaran, illegal logging
hanya menangkap pelaku pelaksana dilapangan saja. Pemadaman api 3,99
Sementara pihak yang paling berperan, seperti Mengurangi penggunaan api 3,60
pemilik modal dan jaringannya tidak tersentuh oleh
aparat. Dengan demikian kegiatan perusak, 0 2 4 6 8 10
Nilai RMS leverage (%) (skala 0 - 100)
pembakar lahan gambut masih terus berlangsung
sekalipun sudah banyak pelaku yang diajukan ke Gambar 7. Urutan atribut-atribut kunci indeks dan
pengadilan dan dihukum. Hal ini ditambah lagi status keberlanjutan pengelolaan hutan rawa gambut
dengan vonis ringan yang dijatuhkan kepada pelaku terhadap kebakaran hutan dan lahan di Semenanjung
tidak menimbulkan efek jera. Kampar.
Demikian pula hukum lingkungan hanya bisa
menjerat dan menghukum perusak lingkungan pencegahan kebakaran sebagaimana disajikan pada
miskin dan tidak berdaya, misalnya pada para Gambar 7.
penebang liar dan masyarakat peladang berpindah Gambar 7 memperlihatkan atribut sensitif
dengan luas ladang yang tidak seberapa. Sementara untuk masing-masing dimensi, yaitu ekologi
pengusaha “kelas kakap” yang membiayai (peningkatan pengetahuan peranan ekosistem lahan
pengrusakan lahan gambut masih sulit tersentuh oleh gambut dan pengetahuan penyebab kebakaran lahan
hukum, sehingga upaya pengelolaan dan rehabilitasi gambut), dimensi ekonomi (alokasi atau pembatasan
lingkungan menjadi sia-sia, kerena perusakan lebih luas kebun dan pendanaan metode tanpa bakar),
cepat dari perbaikan atau konservasi. Apalagi dimensi sosial (peningkatan pendidikan masyarakat
pengrusakan dilakukan dengan menggunakan dan ikut serta dalam proses pemadaman api), dimensi
bantuan alat berat dan peralatan canggih. teknologi (peningkatan sistem pendanaan
Pengelolaan lingkungan hidup seperti pembukaan lahan ramah lingkungan dan
ekosistem hutan gambut harus mengacu pada hukum mengurangi penggunaan api) dan dimensi hukum
dan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam (Noor, (sistem kebijakan penyiapan lahan tanpa bakar dan
2010). Oleh karena itu perlu ada kemauan politik peningkatan penegakkan hukum).
atau komitmen yang kuat dari pemangku
Prioritas atribut penting pertama dari penelitian
kepentingan dalam hal pengaturan kewenangan
ini dapat diketahui bahwa para pengambil kebijakan
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam disarankan melakukan program pembukaan lahan
serta ekosistem hutan gambut. Anonim (2006) tanpa bakar. Nugroho (1999) menyebutkan
menyebutkan ada tiga hal yang mendasar yang perlu pembukaan lahan tanpa bakar adalah dengan cara
dipertimbangkan dalam pengelolaan sumber daya tebang dan tebas, pilah dan kumpul, lalu
alam hutan rawa gambut, yaitu: kerjasama antar
pemanfaatan sisa tebangan. Sisa kayu yang biasanya
lembaga terkait, pendekatan bentang lahan atau tata
ruang dan pendekatan berbasis ekosistem. dibakar bisa dimanfaatkan menjadi produk yang
bernilai ekonomis. Noor (2010) menyebutkan
pembukaan atau penyiapan lahan tanpa bakar
Indeks dan Status Keberlanjutan Multi Dimensi
Dari keseluruhan 26 atribut hasil analisis memerlukan bantuan herbisida. Semak dan gulma
leverage pada masing-masing dimensi ekologi, disemprot dengan herbisida dan kemudian dibiarkan
ekonomi, sosial, teknologi dan hukum maka dapat untuk dikomposkan dengan bantuan mikroba
ditentukan 10 atribut keberlanjutan yang dianggap sehingga perombakan bahan organik dapat
paling sensitif mempengaruhi status keberlanjutan dipercepat. Namun demikian cara ini dianggap telah
pengelolaan hutan dan lahan gambut terhadap upaya mendorong munculnya emisi gas metan (CH4) dari
bahan organik yang membusuk secara anaerob.
Walaupun demikian, sejauh masih dapat ditoleran
202 J. MANUSIA DAN LINGKUNGAN Vol. 23, No. 2

Ekologi 33,37% - langkah strategis untuk menekan tingkat kerusakan


50,69% - 100 dan melestarikan akibat degradasi/kerusakan dan
Kurang 56,98% -
Cukup 80 berkelanjutan Cukup kebakaran hutan dan lahan gambut (Rieley dan Page,
berkelanjutan 60
berkelanjutan
Hukum 40 Ekonomi 2003).
20 Untuk mempertahankan dan meningkatkan
0 status keberlanjutan pengelolaan hutan rawan
51,99% - 30,61% -
Cukup Kurang
gambut terhadap kebakaran kedepan, maka
berkelanjutan berkelanjutan sebaiknyan perlu dilakukan intervensi (perbaikan)
Teknologi Sosial terhadap atribut yang sangat berpengaruh dengan
cara mengacu kepada indikator pembangunan
Gambar 8. Diagram layang-layang indeks dan status berkelanjutan sebagaimana yang telah ditargetkan
oleh pemerintah melalui mekanisme REDD+
keberlanjutan pengelolaan hutan rawa gambut
(Anonim, 2012; Venter dan Koh, 2012) dan
terhadap kebakaran hutan dan lahan di Semenanjung
pengelolaan hutan dan lahan gambut berkelanjutan
Kampar. (Ritung dan Wahyunto, 2003; Wahyunto dan
Mulyani, 2011) yang disesuaikan dengan rencana
dan keuntungan yang diperoleh dari usaha-usaha pengembangan dan pembangunan wilayah.
tersebut secara nyata dapat meningkatkan Hutan rawa gambut Semenanjung Kampar
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. memiliki kepentingan nyata untuk pengembangan
Atribut sensitif penting kedua yang sosial-ekonomi dan mendukung kehidupan
mempengaruhi indeks dan status keberlanjutan masyarakat. Jika dikelola dengan baik atau
pengelolaan hutan rawa gambut terhadap kebakaran, dipertahankan sifat alamiahnya maka hutan rawa
yaitu masih rendahnya tingkat pengetahuan gambut Semenanjung Kampar akan mampu
masyarakat akan peranan (fungsi dan manfaat) memberikan berbagai jasa lingkungan bagi manusia
ekosistem lahan gambut diduga juga sangat maupun mahluk hidup lain di atas/sekitarnya.
berpengaruh pada indeks dan status eksistensinya. Kerusakan ekosistem lahan gambut dapat ditekan
Telah memudarnya kearifan lokal dalam hal
dengan cara mengelola berbagai atribut sensitif yang
pengelolaan hutan rawa gambut pada saat awal
menjadi penyebabnya. Selama ini kerusakan yang
pembukaan lahan merupakan faktor pendukung
lainnya karena sebagian responden penelitian, yaitu terjadi lebih disebabkan oleh banyak faktor manusia
berupa masyarakat pendatang atau baru menetap di bila dibandingkan faktor alami. Oleh karena itu,
daerah penelitian (masyarakat yang berasal dari luar implikasi penemuan penelitian ini sebagai upaya
daerah Semenanjung Kampar). untuk mengurangi atau menekan kejadian kebakaran
Untuk menggambarkan indeks dan status dengan cara melakukan pengelolaan ekosistem
keberlanjutan pengelolaan hutan rawa gambut hutan rawa gambut secara terpadu dan berkelanjutan
terhadap kebakaran secara keseluruhan untuk berbasis ekosistem dan partisipasi semua
masing-masing dimensi berdasarkan analisis MDS stakeholders terkait.
dapat divisualkan dengan menggunakan diagram
layang-layang (kite diagram) seperti disajikan pada Uji Sensitivitas Indeks dan Status Keberlanjutan
Gambar 8. Secara keseluruhan indeks atau tingkat Untuk menggambarkan keabsahan analisis
pengelolaan keberlanjutan ekosistem hutan rawa MDS maka dilakukan dengan menggunakan uji
gambut terhadap pencegahan kebakaran berdasarkan statistik, yaitu dengan cara membandingkan nilai S-
pada angka persentase yang dicari yaitu berada pada Stress terhadap nilai Root Mean Square (RMS) dari
kriteria sedang atau sebesar 45,81%. Hasil masing-masing dimensi pengelolaan keberlanjutan
interpretasi berada pada kategori sedang pada hutan rawa gambut terhadap kebakaran seperti
pengelolaan keberlanjutan hutan rawa gambut disajikan pada Tabel 1.
terhadap kebakaran tidak terlepas dari tingginya Tabel 1 memperlihatkan hasil uji statistik MDS
konversi lahan untuk pengembangan sektor kegiatan sudah dapat memenuhi Goodness of Fit dengan
pertanian dan perkebunan. selang kepercayaan 95%, nilai S-Stress lebih kecil
Hutan rawa gambut sebagai ekosistem yang dari 25%. Nilai RMS cukup tinggi atau mendekati
produktif dan sangat berarti bagi penyangga sumber angka 100%. Hasil analisis uji statistik sudah cukup
daya alam bagi semua mahluk hidup dan lingkungan menerangkan bahwa seluruh atribut sensitif setiap
sekitar, sehingga perlu tetap dilestarikan.
dimensi cukup baik untuk menerangkan indeks
Keberadaan ekosistem hutan rawa gambut dalam
mendukung kehidupan sangat strategis. Ekosistem keberlanjutan pengelolaan hutan rawa gambut
hutan rawa gambut sebagai mendukung fungsi terhadap kebakaran di Semenanjung Kampar. Untuk
penyangga lingkungan sehingga perlu langkah- mengetahui aspek ketidakpastian hasil analisis MDS
Juli 2016 BUDI DARMAWAN DKK.: PENGELOLAAN KEBERLANJUTAN EKOSISTEM 203

Tabel 1. Nilai S-Stress dan RMS masing-masing Tabel 2. Hasil analisis Monte Carlo dan MDS pada
dimensi. selang kepercayaan 95%.

Dimensi S-Stress (%) RMS (%) Iterasi# Dimensi MDS Monte Selisih
Ekologi 16,37 91,92 25 Ekologi 33,37 34.63 1,26
Ekonomi 19,96 87,56 25 Ekonomi 56,98 56,99 0,01
Sosial 14,12 94,18 25 Sosial 30,61 31,95 1,34
Teknologi 22,53 90,55 25 Teknologi 51,99 51,95 0,04
Hukum 22,67 92,12 25 Hukum 50,69 50,47 0,22

Sumber : Hasil analisis. Sumber : Hasil analisis.

maka digunakan analisis sensitivitas Monte Carlo mengatur pengelolaan kawasan Semenanjung
seperti disajikan pada Tabel 2. Kampar secara terpadu menyebabkan ketidapastian
Tabel 2 memperlihatkan hasil uji analisis yang cukup besar mengenai masa depannya. Untuk
sensitivitas maka selisih antara hasil analisis MDS itu diperlukan upaya terpadu dan kemauan politik
dengan analisis Monte Carlo tidak jauh berbeda, yang kuat oleh pemangku kepentingan untuk
sehingga dapat digunakan untuk menggambarkan mengelola eksistensi kawasan Semenanjung Kampar.
kondisi daerah penelitian. Metode Rap-Gambut
yang dimodifikasikan dari Rapfish hasil penelitian DAFTAR PUSTAKA
ini dapat diterapkan dalam merumuskan kebijakan
dan program pengelolaan hutan rawa gambut Adinugroho, W.C., Suryadiputra, I.N.N., Saharjo,
terhadap kebakaran di Semenanjung Kampar. B.H., dan Siboro, L., 2005. Panduan
Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan
KESIMPULAN Gambut: Wetlands International – IP, Bogor.
Agus, F. dan Subiksa, I.G.M., 2008. Lahan Gambut:
Hutan rawa gambut diketahui sebagai sumber Potensi Untuk Pertanian dan Aspek
daya alam yang rapuh atau rentan dengan perubahan Lingkungan. Balai Penelitian Tanah, Bogor.
karakteristik yang tidak ramah lingkungan. Oleh 36 hal.
karena itu perlu pengelolaan yang spesifik agar tidak Aiken, S.R., 2004. Runaway Fires, Smoke-Haze
terjadi perubahan karakteristik yang menyebabkan Pollution, and Un-natural Disasters in
peranannya semakin menurun, apalagi terjadi Indonesia. The Geographical Review,
kerusakan yang sangat parah (kebakaran). Hasil 94(1):55-79.
evaluasi terhadap 5 dimensi indeks dan status Andriesse, J.P., 1988. Nature and Management of
keberlanjutan pengelolaan hutan rawa gambut Tropical Peat Soils. Soil Resources
terhadap kebakaran di Semenanjung Kampar telah Management & Conservation Service. FAO
menyebabkan dimensi ekologi dan sosial kurang Land and Water Development Divisions.
berkelanjutan. Tingkat keberlanjutan kedua dimensi FAO, Rome. 165 pp.
tersebut lebih disebabkan rendahnya tingkat Anonim, 2003. Important Bird Areas in Asia: Key
pengetahuan akan peranan (fungsi dan manfaat) Sites for Conservation. Birdlife International
ekosistem hutan rawa gambut karena masih (Birdlife Conservation Series No. 13).
menggunakan metode bakar saat pembukaan lahan Cambridge.
sebab dianggap cara murah dan mudah. Selain itu Anonim, 2006. Strategi dan Rencana Tindak
masih lemahnya penegakkan hukum yang dilakukan Nasional Pengelolaan Lahan Gambut
oleh aparat terkait mengakibatkan masih leluasanya Berkelanjutan. Kelompok Kerja Pengelolaan
oknum masyarakat dan perusahaan melakukan Lahan Gambut Nasional. Jakarta.
konversi lahan dengan cara membakar. Anonim, 2007. Priority Sites for Conservation in
Untuk menjamin keberlanjutan peranan Sumatra: Key Biodiversity Area. Departemen
ekosistem hutan rawa gambut di Semenanjung Kehutanan Republik Indonesia, Jakarta. Anonim,
Kampar maka stakeholders terkait perlu melakukan 2010a. Profil Ekosistem Gambut di
intervensi kebijakan khusus guna mengurangi Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup
kebakaran dengan cara penerapan inovasi teknologi Republik Indonesia. Jakarta.
atau alternatif program pembukaan lahan tanpa Anonim, 2010b. Strategi Pengelolaan Ekosistem
Rawa Gambut. Untuk Penurunan Emisi Gas
bakar, subsidi atau pendanaan teknologi pertanian/
Rumah Kaca (GRK) dalam Rangka Adaptasi
perkebunan ramah lingkungan, dan penguatan
dan Mitigasi Perubahan Iklim. Seminar dan
penegakkan hukum terhadap para pelaku pembakar
lahan. Ketiadaan kelembagaan yang berfungsi untuk
204 J. MANUSIA DAN LINGKUNGAN Vol. 23, No. 2

Lokakarya Revitalisasi dan Penguatan Nugroho, B., 1999. Hutan Kita Dibakar. Skephi dan
Jejaring Kerjasama Pusat Penelitian Institut Studi Arus Informasi. Midas Surya
Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian Grafindo. Jakarta.
Universitas Riau, Pekanbaru. Nurhayati, A.D., Aryanti, E., dan Saharjo, B.H.,
Anonim, 2012. Strategi Nasional REDD+: MRV 2010. Kandungan Emisi Gas Rumah Kaca
Sebagai Instrument Pengukuran Keberhasilan pada Kebakaran Hutan Rawa Gambut di
Pelaksanaan. Pelalawan Riau. J. Ilmu Pertanian Indonesia,
Anonim, 2014. Laporan Klimatologi Tahun 2014. 15(2):78-82.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Phillips, V.D., 1998. Peatswamp Ecology and
Geofisika. Pekanbaru. Sustainable Development in Borneo.
Chokkalingam, G.U., dan Suyanto, S., 2004. Biodiversity and Conservation, 7: 651-671.
Kebakaran, Mata Pencaharian, dan Kerusakan Pitcher, T.J., dan Preikshot, D.B., 2001. Rapfish: A
Lingkungan pada Lahan Basah di Indonesia: Rapid Appraisal Technique to Evaluate the
Lingkaran yang Tiada Berujung Pangkal. Sustainability Status of Fisheries. Fisheries
CIFOR/ICRAF. Fire Brief 4: 4 hal. Research, 49(3):255-270.
Hergoualc’h, K., dan Verchot, L.V., 2013. Qomar, N., dan Jaya, Y.V., 2010. Deforestasi dan
Greenhouse Gas Emission Factors for Land Penggunaan Lahan Lansekap Semenanjung
Use and Land-Use Change In Southeast Asian Kampar, Riau. Seminar dan Lokakarya
Peatlands. Mitigation and Adaptation Revitalisasi dan Penguatan Jejaring
Strategies for Global Change. Bogor. Kerjasama Pusat Penelitian Lingkungan
Hooijer, A., Silvius, M., Wösten, H. and Page, S., Hidup, Pekanbaru 19-20 November 2010.
2006. Peat-CO2, Assessment of CO2 Emissions Rifardi, 2008. Degradasi Ekologi Sumberdaya
from Drained Peatlands in SE Asia. Delft Hutan dan Lahan (Studi Kasus Hutan Rawa
Hydraulics report Q3943. Gambut Semenanjung Kampar Propinsi
Joosten, H., 2009. Peatland Status and Drainage Riau). Jurnal Bumi Lestari, 8(2):145-154.
Related Emissions in All Countries of The Rieley, J.O. 2003. Strategies for Implementing
World. The Global Peatland CO2 Picture. Sustainable Management of Peatland in
Wetlands International. Bangkok. Borneo. Strapeat-UNINOT. Wageningen.
Kavanagh, P., 2001. Rapid Appraisal of Fisheries Rieley, J.O., dan Page, S.E., 2005. Wise Use of
(RAPFISH) Project. University of British Tropical Peatlands: Focus on Southeast Asia.
Columbia, Fisheries Centre. ALTERRA-Wageningen University and
Kurnia, U., Sinukaban, N., Suratmo, F.G., Pawitan, Research Centre and the EU INCO-
H., dan Suwardjo, H., 1997. Pengaruh Teknik STRAPEAT and RESTORPEAT
Rehabilitasi Lahan Terhadap Produktivitas Partnerships, Wageningen.
Ritung S, dan Wahyunto, 2003. Kandungan Karbon
Tanah dan Kehilangan Hara. J. Tanah dan
Tanah Gambut di Pulau Sumatera. Workshop
Iklim, 15:10-18.
on Wise Use and Sustainable Peatlands
Lavorel, S., Flannigan, M,D., Lambin, E.F., dan Management Practices October 13-14. Bogor.
Scholes, M.C., 2007. Vulnerability of Land Saharjo, B.H., 2007. Shifting Cultivation in
Systems to Fire: Interactions among Humans, Peatlands. Mitig Adapt Strat Glob Change
Climate, the Atmosphere, and Ecosystems. 12:135–146.
Mitig. Adapt. Strat. Glob Change, 12:33–53. Setyaningsih, R., 2000. Dinamika Populasi Mikro-
Masganti, 2003. Kajian Upaya Meningkatkan Daya organisme yang Berperan dalam Kesuburan di
Penyediaan Fosfat dalam Gambut Oligotrofik. Beberapa Jenis Tanah akibat Perlakukan
Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Paraquat. Tesis. Program Pascasarjana
Gadjah Mada, Yogyakarta. 355 hal. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. 71 hal.
Masganti, Wahyunto., Ai Dariah., Nurhayati., dan Siegel, D.I, Reeve, A.S., Glaser, P.H., dan
Yusuf, R., 2014. Karakteristik dan Potensi Romanowicz, E.A., 1995. Climate-Driver
Pemanfaatan Lahan Gambut Terdegradasi di Flushing of Pore Water in Peatlands. Nature
Provinsi Riau. J. Sumberdaya Lahan, 8:47-54. 374:531-533.
Mitsch, W.J. dan Gosselink, J.M., 2000. Wetlands. Subiksa, I.G.M, Hartatik, W., dan Agus, F., 2011.
Third Edition. John Wiley & Sons, Inc. Pengelolaan Lahan Gambut secara
Noor, M., 2010. Lahan Gambut. Pengembangan, Berkelanjutan. Balai Penelitian Tanah, Bogor.
Konservasi, dan Perubahan Iklim. Gadjah 16 hal.
Mada University Press. Yogyakarta. Sumantri, 2003. Prinsip Pencegahan Kebakaran
Hutan. IPB Press. Bogor.
Juli 2016 BUDI DARMAWAN DKK.: PENGELOLAAN KEBERLANJUTAN EKOSISTEM 205

Tan, K.H., 1994. Environmental Soil Science. Wahyunto, Ritung, S., Nugroho, K., Sulaiman, Y.,
Marcel Dekker Inc., New York. p 304. Hikmarullah., Tafakresnanto, C., Suparto, dan
Venter, O. dan Koh, L.P., 2012. Reducing Emissions Sukarman, 2013a. Peta Arahan lahan Gambut
from Deforestation and Forest Degradation Terdegradasi di Pulau Sumatera Skala
(REDD+): Game Changer or Just Another 1:250.000. Badan Litbang Pertanian,
Quick Fix?. Ann. N.Y. Acad. Sci., 1249:137– Kementerian Pertanian. Bogor. 27 hal.
150. Wahyunto., Dariah, A., Pitono, D., dan Sarwani, M.,
Wahyunto, dan Mulyani, A., 2011. Pengelolaan 2013b. Prospek Pemanfaatan Lahan Gambut
Lahan Gambut Berkelanjutan. Balai Besar Untuk Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia.
Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Perspektif, 12(1):11-12.
Penelitian dan Pengembangan Pertanian Whelan, R.J., 1995. The Ecology of Fire. Cambridge
Kementerian Pertanian. Bogor. University Press, New York. 343 p.

Anda mungkin juga menyukai