Pada Juli 1942, Soekarno menerima tawaran Jepang untuk mengadakan kampanye publik dan
membentuk pemerintahan yang juga dapat memberikan jawaban terhadap kebutuhan militer
Jepang. Soekarno, Mohammad Hatta, dan para Kyai didekorasi oleh Kaisar Jepang pada
tahun 1943. Tetapi, pengalaman dari penguasaan Jepang di Indonesia sangat bervariasi,
tergantung di mana seseorang hidup dan status sosial orang tersebut. Bagi yang tinggal di
daerah yang dianggap penting dalam peperangan, mereka mengalami siksaan, terlibat
perbudakan seks, penahanan sembarang dan hukuman mati, dan kejahatan perang lainnya.
Orang Belanda dan campuran Indonesia-Belanda merupakan target sasaran dalam
penguasaan Jepang.jepang membentuk persiapan kemerdekaan yaitu BPUPKI yaitu tugasnya
membentuk kemerdekaan dan membuat dasar negara dan di gantikan oleh PPKI yg tugasnya
menyiapkan kemerdekaan.
LATAR BELAKANG
Bulan Oktober 1941, Jenderal Hideki Tojo menggantikan Konoe sebagai Perdana Menteri
Jepang. Sebenarnya, sampai akhir tahun 1940, pimpinan militer Jepang tidak menghendaki
melawan beberapa negara sekaligus, namun sejak pertengahan tahun 1941 mereka melihat,
bahwa Amerika Serikat, Inggris dan Belanda harus dihadapi sekaligus, apabila mereka ingin
menguasai sumber daya alam di Asia Tenggara. Apalagi setelah Amerika melancarkan
embargo minyak bumi, yang sangat mereka butuhkan, baik untuk industri di Jepang, maupun
untuk keperluan perang.
Perang Pasifik ini berpengaruh besar terhadap gerakan kemerdekaan negara-negara di Asia
Timur, termasuk Indonesia. Tujuan Jepang menyerang dan menduduki Hndia-Belanda adalah
untuk menguasai sumber-sumber alam, terutama minyak bumi, guna mendukung potensi
perang Jepang serta mendukung industrinya. Jawa dirancang sebagai pusat penyediaan bagi
seluruh operasi militer di Asia Tenggara, dan Sumatera sebagai sumber minyak utama.
Pemberontakan dipimpin seorang ulama muda Tengku Abdul Jalil, guru mengaji di Cot
Plieng Lok Seumawe. Usaha Jepang untuk membujuk sang ulama tidak berhasil, sehingga
Jepang melakukan serangan mendadak di pagi buta sewaktu rakyat sedang melaksanakan
shalat Subuh. Dengan persenjataan sederhana/seadanya rakyat berusaha menahan serangan
dan berhasil memukul mundur pasukan Jepang untuk kembali ke Lhokseumawe. Begitu juga
dengan serangan kedua, berhasil digagalkan oleh rakyat. Baru pada serangan terakhir (ketiga)
Jepang berhasil membakar masjid sementara pemimpin pemberontakan (Teuku Abdul Jalil)
berhasil meloloskan diri dari kepungan musuh, namun akhirnya tertembak saat sedang shalat.
Peristiwa Singaparna
Perlawanan fisik ini terjadi di pesantren Sukamanah Jawa Barat (Singaparna) di bawah
pimpinan KH. Zainal Mustafa, tahun 1943. Beliau menolak dengan tegas ajaran yang berbau
Jepang, khususnya kewajiban untuk melakukan Seikerei setiap pagi, yaitu memberi
penghormatan kepada Kaisar Jepang dengan cara membungkukkan badan ke arah matahari
terbit. Kewajiban Seikerei ini jelas menyinggung perasaan umat Islam Indonesia karena
termasuk perbuatan syirik/menyekutukan Tuhan. Selain itu beliaupun tidak tahan melihat
penderitaan rakyat akibat tanam paksa.
Saat utusan Jepang akan menangkap, KH. Zainal Mustafa telah mempersiapkan para
santrinya yang telah dibekali ilmu beladiri untuk mengepung dan mengeroyok tentara Jepang,
yang akhirnya mundur ke Tasikmalaya.
Peristiwa Indramayu terjadi bulan April 1944 disebabkan adanya pemaksaan kewajiban
menyetorkan sebagian hasil padi dan pelaksanaan kerja rodi/kerja paksa/Romusha yang telah
mengakibatkan penderitaan rakyat yang berkepanjangan.
Pemberontakan ini dipimpin oleh Haji Madriyan dan kawan-kawan di desa Karang Ampel,
Sindang Kabupaten Indramayu.
Pasukan Jepang sengaja bertindak kejam terhadap rakyat di kedua wilayah (Lohbener dan
Sindang) agar daerah lain tidak ikut memberontak setelah mengetahi kekejaman yang
dilakukan pada setiap pemberontakan.
Teuku Hamid adalah seorang perwira Giyugun, bersama dengan satu pleton pasukannya
melarikan diri ke hutan untuk melakukan perlawanan. Ini terjadi pada bulan November 1944.
Menghadapi kondisi tersebut, pemerintah Jepang melakukan ancaman akan membunuh para
keluarga pemberontak jika tidak mau menyerah. Kondisi tersebut memaksa sebagian pasukan
pemberontak menyerah, sehingga akhirnya dapat ditumpas.
Di daerah Aceh lainnya timbul pula upaya perlawanan rakyat seperti di Kabupaten Berenaih
yang dipimpin oleh kepala kampung dan dibantu oleh satu regu Giyugun (perwira tentara
sukarela), namun semua berakhir dengan kondisi yang sama yakni berhasil ditumpas oleh
kekuatan militer Jepang dengan sangat kejam.
Pemberontakan Peta
Perlawanan ini dipimpin oleh Syodanco Supriyadi, Syodanco Muradi, dan Dr. Ismail.
Perlawanan ini disebabkan karena persoalan pengumpulan padi, Romusha maupun Heiho
yang dilakukan secara paksa dan di luar batas perikemanusiaan. Sebagai putera rakyat para
pejuang tidak tega melihat penderitaan rakyat. Di samping itu sikap para pelatih militer
Jepang yang angkuh dan merendahkan prajurit-prajurit Indonesia. Perlawanan PETA di Blitar
merupakan perlawanan yang terbesar di Jawa. Tetapi dengan tipu muslihat Jepang melalui
Kolonel Katagiri (Komandan pasukan Jepang), pasukan PETA berhasil ditipu dengan pura-
pura diajak berunding. Empat perwira PETA dihukum mati dan tiga lainnya disiksa sampai
mati. Sedangkan Syodanco Supriyadi berhasil meloloskan diri.
Perlawanan ini dipimpin oleh Perwira Gyugun T. Hamid. Latar belakang perlawanan ini
karena sikap Jepang yang angkuh dan kejam terhadap rakyat pada umumnya dan prajurit
Indonesia pada khususnya.
Perlawanan Rakyat yg dipimpin oleh Pang Suma berkobar di Kalimantan Selatan. Pang Suma
adalah pemimpin suku Dayak yg besar pengaruhnya dikalangan suku-suku di daerah Tayan
dan Meliau. Perlawanan ini bersifat gerilya untuk mengganggu aktivitas Jepang di
Kalimantan.
Momentum perlawanan Pang Suma diawali dengan pemukulan seorang tenaga kerja Dayak
oleh pengawas Jepang, satu diantara sekitar 130 pekerja pada sebuah perusahaan kayu
Jepang. Kejadian ini kemudian memulai sebuah rangkaian perlawanan yang mencapai
puncak dalam sebuah serangan balasan Dayak yang dikenal dengan Perang Majang Desa,
dari April hingga Agustus 1944 di daerah Tayan-Meliau-Batang Tarang (Kab. Sanggau).
Sekitar 600 pejuang kemerdekaan dibunuh oleh Jepang, termasuk Pang Suma.
Perlawanan ini dipimpin oleh L. Rumkorem, pimpinan Gerakan “Koreri” yang berpusat di
Biak. Perlawanan ini dilatarbelakangi oleh penderitaan rakyat yang diperlakukan sebagai
budak belian, dipukuli, dan dianiaya. Dalam perlawanan tersebut rakyat banyak jatuh korban,
tetapi rakyat melawan dengan gigih. Akhirnya Jepang meninggalkan Pulau Biak.
Perlawanan ini dipimpin oleh Nimrod. Ketika Sekutu sudah mendekat maka memberi
bantuan senjata kepada pejuang sehingga perlawanan semakin seru. Nimrod dihukum
pancung oleh Jepang untuk menakut-nakuti rakyat. Tetapi rakyat tidak takut dan muncullah
seorang pemimpin gerilya yakni S. Papare.
Perlawanan ini dipimpin oleh Simson. Dalam perlawanan rakyat di Papua, terjadi hubungan
kerja sama antara gerilyawan dengan pasukan penyusup Sekutu sehingga rakyat mendapatkan
modal senjata dari Sekutu.
Sebenarnya bentuk perlawanan terhadap pemerintah Jepang yang dilakukan rakyat Indonesia
tidak hanya terbatas pada bentuk perlawanan fisik saja tetapi Anda dapat pula melihat betnuk
perlawanan lain/gerakan bawah tanah seperti yang dilakukan oleh:
Kelompok Sutan Syahrir di daerah Jakarta dan Jawa Barat dengan cara menyamar
sebagai pedagang nanas di Sindanglaya.
Kelompok Sukarni, Adam Malik dan Pandu Wiguna. Mereka berhasil menyusup
sebagai pegawai kantor pusat propaganda Jepang Sendenbu (sekarang kantor berita
Antara).
Kelompok Syarif Thayeb, Eri Sudewo dan Chairul Saleh. Mereka adalah kelompok
mahasiswa dan pelajar.
Kelompok Mr. Achmad Subardjo, Sudiro dan Wikana. Mereka adalah kelompok
gerakan Kaigun (AL) Jepang.
Mereka yang tergabung dalam kelompok di bawah tanah, berusaha untuk mencari informasi
dan peluang untuk bisa melihat kelemahan pasukan militer Jepang dan usaha mereka akan
dapat Anda lihat hasilnya pada saat Jepang telah kalah dari Sekutu, kelompok pemudalah
yang lebih cepat dapat informasi tersebut serta merekalah yang akhirnya mendesak golongan
tua untuk secepatnya melakukn proklamasi.
Demikianlah gambaran tentang aktifitas pergerakan Nasional yang dilakukan oleh kelompok
organisasi maupun gerakan sosial pada masa pemerintah pendudukan Jepang, tentu Anda
dapat memahami sebab-sebab kegagalan dan mengapa para tokoh pergerakan lebih memilih
sikap kooperatif menghadapi pemerintahan militer Jepang yang sangat ganas/kejam.