Anda di halaman 1dari 4

Konseling HIV/AIDS

1. Pengertian HIV dan AIDS


HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah suatu virus yang menyerang sel-sel
limposit T (CD4) yang berfungsi dalam sistem kekebalan tubuh manusia. Sedangkan AIDS
adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome. “Acquired” artinya tidak
diturunkan, tapi ditularkan dari satu orang ke orang lainnya; “Immune” adalah sistem daya
tangkal tubuh terhadap penyakit; “Deficiency” artinya tidak cukup atau kurang; dan “Syndrome”
adalah kumpulan tanda atau gejala penyakit. Sehingga AIDS dapat didefinisikan sebagai suatu
sindrom atau kumpulan gejala penyakit yang ditandai dengan berkurangnya daya tahan tubuh
atau defisiensi imun yang berat.
AIDS adalah bentuk lanjut dari infeksi HIV. Penyakit yang membuat orang tak berdaya
dan mengakibatkan kematian yang disebabkan oleh HIV. Penurunan daya tahan tubuh akibat
kerusakan sistem imun oleh HIV samapai pada tingkat timbulnya AIDS memerlukan waktu
beberapa tahun. Orang yang terinfeksi HIV dapat tetap sehat dan tidak menunjukkan gejala

apapun untuk jangka waktu cukup panjang bahkan hingga 10 tahun sehingga banyak orang yang
tidak menyadari atau mengetahui apakah dirinya sudah terinfeksi HIV atau tidak. Namun pada
saat itu, orang ini dapat dengan mudah menularkan infeksinya kepada orang lain. Kepastian atas
status HIV positif pada diri seseorang hanya bisa dipastikan melalui pemeriksaan laboratorium.
2. Penularan HIV/AIDS
HIV terdapat dalam darah dan cairan tubuh seseorang yang telah tertular, walaupun orang
tersebut belum menunjukkan keluhan atau gejala penyakit. HIV hanya bisa ditularkan bila terjadi
kontak langsung dengan cairan tubuh atau darah. Dosis virus memegang peranan penting. Makin
besar jumlah virusnya makin besar kemungkinan infeksinya. Jumlah virus yang banyak ada
dalam darah, sperma, cairan vagina, serviks dan cairan otak. Dalam saliva (air liur/ludah), air
mata, urin, keringat dan air susu hanya ditemukan sedikit sekali. (Wibowo, 2002 : 23).
Berdasarkan sifat dari virus HIV tersebut, HIV hanya dapat ditularkan melalui :
a. Hubungan seksual, baik secara vaginal, oral maupun anal dengan seorang pengidap HIV.
Ini adalah cara yang paling umum terjadi, meliputi 80 – 90 % dari total kasus sedunia.
b. Kontak langsung dengan darah, produk darah, transplantasi organ dan jaringan atau
jarum suntik:
1) Tranfusi darah/produk darah yang tercemar HIV, risikonya sangat tinggi, sampai
lebih dari 90 %. Ditemukan sekitar 3 – 5 % dari total kasus sedunia.

2) Pemakaian jarum suntik yang tidak steril atau pemakaian bersama jarum suntik dan
sempritnya pada para pecandu narkotika suntik. Risikonya sekitar 0,5 – 1 % dan telah
terdapat 5 – 10 % dari total kasus sedunia.
3) Penularan lewat kecelakaan tertusuk jarum pada petugas kesehatan. Risikonya sekitar
kurang dari 0,5 % dan telah terdapat kurang dari 0,1 % dari total kasus sedunia.
c. Secara vertikal dari ibu hamil pengidap HIV kepada bayinya, saat melahirkan ataupun
setelah melahirkan. Risiko sekitar 25 – 40 %, terdapat < 0,1 % dari total kasus sedunia.
HIV tidak ditularkan melalui kontak sosial, seperti bersentuhan dengan pengidap HIV,
berjabat tangan, berciuman biasa, bersin dan batuk, melalui makanan dan minuman, berenang
dalam kolam yang sama, menggunakan WC bersama pengidap HIV. Selain itu HIV juga tidak
ditularkan melalui gigitan nyamuk dan serangga lainnya.
Perilaku berisiko tinggi yang rentan terinfeksi HIV antara lain:
a. Wanita dan laki-laki yang berganti-ganti pasangan dalam melakukan hubungan seksual,
beserta pasangannya.
b. Wanita dan laki-laki tuna susila, beserta pelanggan mereka
c. Wanita dan laki-laki yang mempunyai pasangan dengan riwayat yang tidak diketahui dan
melakukan hubungan seksual yang tidak aman (hubungan seksual tanpa menggunakan
kondom)
d. Orang-orang yang melakukan hubungan seksual yang tidak wajar, seperti hubungan
seksual melalui dubur (anal) dan mulut (oral) misalnya pada homoseksual dan biseksual
e. Menggunakan narkotika atau alkohol pada situasi yang memungkinkan terjadinya
hubungan seksual

f. Penyalahguna narkotika dengan suntikan, yang menggunakan jarum suntik secara


bersama (bergantian)
3. Pencegahan Penularan HIV/AIDS
Pencegahan untuk melindungi diri dari infeksi HIV/AIDS meliputi tiga hal, yaitu :
a. Pencegahan penularan melalui hubungan seksual
b. Pencegahan penularan melalui darah
c. Pencegahan penularan dari ibu ke anak
Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah penularan HIV/AIDS dan berkembangnya
HIV/AIDS lebih lanjut terangkum dalam istilah A B C D E berikut ini.
A : Anda jauhi seks bebas atau tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah
(Abstinence). Hubungan seksual hanya dilakukan melalui pernikahan yang sah.
B : Bersikap saling setia (Be faithful), yaitu hanya mengadakan hubungan seksual dengan
pasangan sendiri, yaitu suami atau istri sendiri.
C : Bila salah satu pasangan sudah terinfeksi HIV, maka dalam melakukan hubungan seksual
harus menggunakan kondom secara benar dan konsisten (Condom).
D : Tidak menggunakan narkotika dan narkoba suntik (Do not use drugs)
E : Penyuluhan dan pendidikan mengenai HIV/AIDS secara benar kepada masyarakat
(Education)
Serta dengan mempertebal iman dan takwa agar tidak terjerumus melakukan perilakuperilaku
yang dilarang oleh Allah dan merugikan diri kita.

4. Konseling HIV/AIDS

Konseling HIV/AIDS merupakan komunikasi bersifat konfidensial antara klien dan


konselor yang bertujuan meningkatkan kemampuan menghadapi stress dan mengambil
keputusan berkaitan dengan HIV/AIDS. Proses konseling termasuk evaluasi risiko personal
penularan HIV, fasilitasi pencegahan perilaku dan evaluasi penyesuaian diri ketika klien
menghadapi hasil tes positif. (World Health Organization/WHO).
UNAIDS (2000) mendefinisikan konseling HIV/AIDS dialog rahasia antara seseorang
dan pemberi layanan yang bertujuan membuat orang tersebut mampu menyesuaikan diri dengan
stres dan membuat keputusan yang sesuai berkaitan dengan HIV/AIDS. Proses konseling
termasuk evaluasi risiko personal tranmisi HIV dan memfasilitasi perilaku pencegahan.
Konseling HIV/AIDS perlu dilakukan karena diagnosis HIV atas diri seseorang
mempunyai banyak implikasi, baik secara psikologis, fisik, sosial maupun spiritual. Selain itu
HIV merupakan penyakit yang mengancam kehidupan dan terapi terhadap penderitanya harus
dilakukan seumur hidup.
Di lapangan, konseling HIV/AIDS disebut juga dengan Voluntary Counseling and
Testing (VCT) atau Tes dan Konseling Sukarela. Kata ‘sukarela’ di sini menekankan bahwa
konseling harus berjalan tanpa paksaan serta berdasarkan atas keinginan dan kesadaran dari klien
itu sendiri. Selain itu testing dan konseling HIV merupakan komponen utama dalam program
HIV/AIDS. Hubungan antara konseling dan tes HIV dapat digambarkan sebagai berikut:

Bagan 2.1 Hubungan antara konseling dan testing HIV


VCT digunakan untuk melakukan setiap intervensi. Konseling ini minimum terdiri atas
konseling pre tes dan pasca tes HIV, juga menyediakan konseling berkelanjutan jangka panjang,
konseling dukungan, konseling keluarga dan pasangan hingga konseling kematian.
a. Konseling Pra Tes HIV
Tes HIV senantiasa didahului oleh konseling pra tes. Konseling pra tes individual
dilaksanakan untuk membantu seseorang dalam membuat keputusan yang baik tentang apakah
akan menjalani tes HIV atau tidak. Konseling pra tes HIV membantu klien menyiapkan diri
untuk pemeriksaan darah HIV, memberikan pengetahuan akan implikasi terinfeksi atau tidak
terinfeksi HIV dan memfasilitasi diskusi tentang cara menyesuaikan diri dengan status HIV.
Konseling juga dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan yang benar dan meluruskan
pemahaman yang keliru tentang HIV/AIDS dan berbagai mitosnya.
Konseling pra tes menantang konselor untuk dapat membuat keseimbangan antara
pemberian informasi, penilaian risiko dan merespon kebutuhan emosi klien. Banyak orang takut
melakukan tes HIV karena berbagai alasan termasuk perlakuan diskriminasi dan stigmatisasi
masyarakat dan keluarga. Karena itu layanan VCT senantiasa melindungi klien dengan menjaga
kerahasiaan. Peletakan kepercayaan klien pada konselor merupakan dasar utama bagi terjaganya
rahasia dan terbinanya hubungan yang baik. Penggunaan keterampilan konseling mikro sangat
penting untuk membina rapport dan menunjukkan adanya layanan yang berfokus pada klien.
b. Konseling Pasca Tes HIV

Konseling pasca tes HIV membantu klien memahami dan menyesuaikan diri dengan hasil
tes, baik itu hasilnya positif atau negatif. Konselor mempersiapkan klien untuk menerima hasil
tes, memberitahukan hasil tesnya, dan menyediakan informasi selanjutnya, atau bila perlu
merujuk klien ke fasilitas layanan lainnya. Selanjutnya konselor mengajak klien mendiskusikan
strategi untuk menurunkan transmisi HIV dan pengurangan risiko.
Bentuk dari konseling pasca tes tergantung dari hasil tes. Jika hasil tes positif, konselor
menyampaikan hasil tes dengan cara yang dapat diterima klien, secara halus dan manusiawi,
serta memperhatikan kondisi individu klien dan budaya setempat. Ketika hasil tes positif,
konselor harus:
1) Memberitahu klien sejelas dan sehati-hati mungkin, dan dapat mengatasi reaksi awal
yang timbul.
2) Memberi mereka cukup waktu untuk memahami dan mendiskusikan hasil tes tersebut.
3) Memberikan informasi dengan cara yang mudah dimengerti, memberikan dukungan
emosional, dan membantu mereka untuk mendiskusikan bagaimana mereka akan
menghadapi hal itu, termasuk mengidentifikasi dukungan apa yang tersedia di rumah.
4) Merujuk klien ke layanan yang diperlukan, misalnya kelompok dukungan masyarakat
atau fasillitas kesehatan.
5) Menjelaskan bahwa hasil tes akan tetap dirahasiakan, sehingga tidak akan ada orang lain
yang tahu kecuali atas persetujuan klien.
6) Mendiskusikan siapa orang yang mungkin ingin diberitahu tentang hasil tes itu dan
bagaimana cara untuk melakukannya.
7) Menjelaskan bagaimana klien dapat menjaga kesehatannya termasuk informasi tentang
pola hidup, makanan, olah raga, istirahat, dan menghindari infeksi.

Anda mungkin juga menyukai