Ibadah merupakan salah satu dimensi yang begitu asasi didalam ajaran
Islam. Ibadah tidak cuma terkait dengan ritual-ritual antara manusia dengan Sang
Khalik, namun juga mengandung sejumlah keutamaan bagi diri manusia dalam
hubungannya dengan lingkungan sosialnya. Dalam konsep ajaran Islam, manusia
diciptakan tak lain dan tak bukan untuk beribadah kepada Alloh. Dengan kata lain
untuk menyembah alloh dalam berbagai bentuk dan manifestasinya baik secara
langsung maupun tidak langsung.
(Prof. Dr. Yusron Razak, M.A., dkk: 2011, 143)
Pengertian ibadah secara bahasa, kata ‘ibadah adalah bentuk dasar
(mashdar) dari fi’il (kata kerja) ‘abada-ya’budu yang berarti: taat, tunduk, hina,
dan pengabdian.
Berangkat dari arti ibadah secara bahasa, Ibn Taymiyah mengartikan ibadah
sebagai puncak ketaatan dan kedudukan yang di dalamnya terdapat unsur cinta (al-
hubb). Seseorang belum dikatakan beribadah kepada Alloh kecuali bila ia mencintai
Alloh lebih dari cintanya kepada apapun dan siapapun juga. Ketaatan tanpa unsur
cinta maka tidak bisa diartikan sebagai ibadah dalam arti yang sebenarnya. Dari sini
pula dapat dikatakan bahwa akhir dari perasaan cinta yang sangat tinggi adalah
penghambaan diri, sedangkan awalnya adalah ketergantungan.
Sementara itu Ibn Faris mengatakan bahwa kata ‘abdun mempunyai
pengertian yang bertolak belakang. Kata ‘abdun memiliki arti:
1.Sesuatu yang dimiliki (hamba sahaya)
2.Tumbuhan yang memiliki aroma yang harum
3.Anak panah yang lebar dan pendek
Arti yang pertama menggambarkan kerendahan, arti yang kedua kelemah
lembutan dan yang ketiga adalah kekuatan dan kekokohan.
Adapun definisi ibadah menurut Muhammaadiyah adalah: “Mendekatkan
diri kepada Alloh SWT dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi
segala larangan-Nya serta mengamalkan apa saja yang diperkenankan oleh-Nya.”
(Himpunan Putusan Tarjih, 276)
Sedangkan definisi ibadah menurut Ulama Fiqh yaitu: “apa yang dikerjakan
untuk mendapatkan keridhaan Alloh SWT dan mengharap pahala-Nya di Akhirat.”
(Syakir Jamaluddin, M.A: 2010, 1-2)
Ibadah artinya penghambaan diri kita sebagai makhluk dan Alloh sebagai
Tuhan kita atau dengan kata lain segala sesuatu yang kita kerjakan dalam rangka
mentaati perintah-perintah-Nya adalah ibadah. Ibadah meliputi apa saja yang
dicintai dan diridhoi oleh Alloh, menyangkut seluruh ucapan dan perbuatan yang
tampak dan tidak tampak, seperti sholat, zakat, puasa, menunaikan ibadah haji,
berkata yang baik dan benar, belajar, silaturahim, membaca Al-Qur’an, berdagang
dan lain sebagainya.
Adapun pengertian ibadah secara luas terkait dengan beberapa arti, secara
aqidah bisa berarti mentauhidkan Alloh SQT, secara fiqih ia bisa berarti
menegakkan hukum Alloh SWT dan secara akhlaq berarti berperilaku sesuai
dengan tuntunan Alloh SWT. Firman Alloh SWT di dalam Al-Qur’an yang artinya:
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang
yang sebelummu, agar kamu bertaqwa.” (QS Al-Baqarah [2]: 21)
(Tim PAI Jama’ah Al-Anhar UMY: 2001, 115)
Ibadah artinya menghambakan diri kepada Alloh. Ibadah merupakan tugas
hidup manusia di dunia, karena itu manusia yang beribadah kepada Alloh disebut
‘abdulloh atau hamba Alloh. Hidup seorang hamba tidak memiliki alternatif lain
selain taat, patuh, dan berserah diri kepada Alloh. Karena itu yang menjadi inti dari
ibadah adalah ketaatan, kepatuhan, dan penyerahan diri secara total kepada Alloh
SWT.
Ibadah merupakan konsekuensi dari keyakinan kepada Alloh yang
tercantum dalam kalimat syahadat yaitu “lailahaillallohu” (tiada Tuhan yang patut
diibadahi selain Alloh). Ini berarti seorang muslim hanya beribadah kepada Alloh,
tidak kepada yang lain.
Kedudukan ibadah di dalam islam menempati posisi yang paling utama dan
menjadi titik sentral dari seluruh aktivitas muslim. Seluruh kegiatan musim pada
dasarnya merupakan bentuk ibadah kepada Alloh, sehingga apa saja yang
dilakukannya memiliki nilai ganda, yaitu nilai material dan nilai spiritual. Nilai
material adalah imbalan nyata yang diterima di dunia, sedangkan nilai spiritual
adalah ibadah yang hasilnya akan diterima di akhirat. Aktivitas yang bermakna
ganda inilah yang disebut amal shalih.
(Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Isam: 2001, 145)
Banyak ayat Al-Qur’an yang mengaitkan perintah ibadah kepada Tuhan
dengan tujuan memperoleh takwa. Diantaranya QS Al Baqarah ayat 21
memerintahkan, “Wahai umat manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah
menciptakan kamu dan orang yang datang sebelummu agar kamu bertakwa.” QS
Al Baqarah ayat 183 mengajarkan, “wahai orang-orang beriman, diwajibkan puasa
kepada kamu, seperti pernah diwajibkan kepada umat sebelum kamu agar kamu
bertakwa.”
Dari ayat Al-Qur’an tersebut kita peroleh penegasan bahwa ibadah bagi
manusia merupakan kodrat pembawaan jiwa manusia yang rindu kepada kemuliaan.
Alloh telah memerintahkan jin dan manusia untuk beribadah kepada-Nya. Dalam
surat Adz Dzaariaat ayat 56 menyatakan, “Tidak Aku ciptakan jin dan manusia,
melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”. Bahkan ibadah juga dinyatakan
merupakan fungsi seluruh yang wujud di alam ini, sebagaimana disebutkan dalam
QS Al Israa’ ayat 44, “langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di langit
bertasbih kepada Alloh, tiada sesuatu pun yang terkecuali, semuanya bertasbih
dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka;
sesungguhnya, Dia Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.”
(KH Ahmad Azhar Basyir, MA : 2001, 5-7)
Karena amat pentingnya kedudukan ibadah dalam agama pada umumnya,
agama wahyu pada khususnya, masalah ibadah dalam pengertiannya yang khusus
merupakan hal yang mutlak dan tidak dapat diubah oleh manusia. Hanya Tuhan
yang dituju dan hanya Tuhan pula yang mengajarkan bagaimana cara
melaksanakannya. Manusia hanya taat kepada ajaran yang datang dari Tuhan, tidak
membuat cara sendiri, tidak boleh mengurangi, menambah atau mengubah.
(KH Ahmad Azhar Basyir, MA : 2001, 10)
Dalam ibadah pada hakekatnya seorang mu’min hendaknya ketika
beribadah kepada Alloh hanya menjadikan Alloh saja sebagai tujuan ibadahnya.
Sedangkan sumber pelaksanaan ibadah seorang mu’min disandarkan pada dua hal
yang menjadi pendorong pelaksanaan sebuah ibadah dilakukan, yaitu:
1. Dalam rangka mensyukuri banyaknya nikmat Alloh yang diterima
Anugerah Alloh pada seorang manusia sangat banyak, mulai dari
diberikannya kesempatan untuk hidup di bumi-Nya, mencari rizqi-Nya serta
menikmati sekian banyak ciptaan Alloh di alam untuk kelangsungan dan
eksistensi kehidupannya beserta keturunannya dan generasi selanjutnya.
Nikmat ini tentu saja akan terasa betapa bermanfaatnya ketika Alloh
mengurangi, mengambilnya kembali atau yang paling jauh adalah
mengubahnya menjadi sebuah bencana, Alloh berfirman :
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak
dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS An Nahl [16]: 18)
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS Ar
Rahman [55]: 13)
Ciptaan Alloh yang meliputi seluruh isi bumi dan langit menjadi bukti
betapa agungnya Alloh SWT. Dan dari sinilah sangatlah pantas ketika seorang
manusia berusaha mengagungkan Alloh atas ciptaan-Nya. Tentu saja wujud
pengagungan ini dengan memperbanyak ibadah kepada-Nya. Firman Alloh
SWT:
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi
dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy[548]. Dia menutupkan
malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya
pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada
perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha
suci Allah, Tuhan semesta alam. (QS Al A’raf [7]: 54)
”Maha suci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa
atas segala sesuatu,” (QS Al Mulk [67]: 1)
Ibadah kepada Alloh SWT bukan hanya semata-mata ibadah ritual, tetapi
ada beberapa landasan sehingga ibadah itu dilakukan, yaitu :
a. Ibadah yang dilakukan merupakan tujuan untuk menghinakan diri
Firman Allah S.W.T:
Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau
mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. dan
dihari kiamat mereka akan mengingkari kemusyirikanmu dan tidak ada yang
dapat memberi keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh yang Maha
Mengetahui. (QS Faatir [35]: 14)
b. Ibadah yang dilakukan merupakan sebuah tujuan kecintaan
Tujuan Ibadah
Tujuan ibadah adalah membersihkan dan menyucikan jiwa dengan
mengenal dan mendekatkan diri serta beribadat kepada-Nya.
(Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Isam: 2001, 145)
Jika direnungkan secara mendalam, dapatlah dikatakan bahwa tujuan paling
penting dari amalan-amalan keagamaan adalah untuk mendidik pelakunya memiliki
pengalaman ketuhanan serta menanamkan kesadaran ketuhanan yang sedalam-
dalamnya. Salah satu tujuan disyariatkannya ibadah adalah dalam rangka lebih
mendekatkan diri kepada Alloh. Melalui ibadah, manusia berkomunikasi dan
mendekatkan dirinya kepada Alloh. Tidak ada jalan lain untuk mendekat kepada
Alloh selain dengan jalan beribadah kepada-Nya. Dalam Islam, hubungan dengan
Alloh dapat dilakukan oleh seorang hamba secara langsung.islam tidak mengenal
adanya suatu perantaraan manakala ingin mendekat kepada Alloh. Salah satu tanda
dekat kepada Alloh adalah selalu mengingat-Nya, sehingga Alloh juga akan
mengingat hamba-Nya. Alloh SWT berfirman:
“Karena itu, ingatlah kepada-Ku niscaya Aku ingat pula kepadamu dan
bersyukurlah kepad-Ku dan janganlah kamu mengingkari nikmat-Ku.” (QS. Al-
Baqarah [2]: 152)
Salah satu manfaat ibadah yang diperoleh seorang hamba adalah
bertambahnya kebahagiaan. Ibadah bisa mendatangkan kebahagiaan bagi para
pelakunya. Ketika manusia diciptakan, diberikan kepadanya pula jiwa atau ruh.
Jiwa atau ruh ini tidak akan pernah merasakan kedamaian dan ketenteraman yang
sejati kecuali dengan berdzikir dan beribadah kepada Alloh. Demikian pula hati.
Alloh SWT berfirman:
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan kalbu mereka tenteram dengan berdzikir
kepada Alloh. Ingatlah, dengan berdzikir kepada Alloh hati menjadi tenteram.”
(QS. Ar-Ra’d [13]: 28)
Hanya dengan mengingat Alloh sajalah hati akan menjadi tenang. Dalam
kitab al-Ubudiyah, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa pada dasarnya hati itu
membutuhkan Allah dari dua segi: dari segi ibadah dan dari segi permohonan
pertolongan serta ketakwaan. Hati tidak menjadi baik, tidak beruntung, tidak
merasakan kenikmatan, tidak gembira, tidak nyaman, dan tidak pula merasakan
kenyamanan kecuali dengan beribadah kepada Alloh, mencintai-Nya serta kembali
bertaubat kepada-Nya. Seandainya dia mendapatkan kesenangan dari makhluk,
tetap saja tidak merasa tenang dan tenteram, sebab pada dasarnya zat atau fithrahnya
membutuhkan Tuhannya. Dengan demikian, dia akan mendapatkan kebahagiaan
dan kegembiraan.
Senafas dengan itu, Ibnu Qayyim juga mengatakan: “Sesungguhnya Dia-lah
Tuhan yang disembah serta penolong semua manusia. Tuhan yang mengatur
manusia, memberi rizki, mematikan dan menghidupkannnya. Maka, kecintaan
kepada-Nya merupakan kenikmatan jiwa, kehidupan ruh, kegembiraan jiwa,
makanan hati, cayaha akal, yang membahagiakan hati serta memakmurkan batin.
Bagi hati yang lurus dan ruh yang baik, serta akal yang bersih, tidak ada yang ebih
manis, tidak ada yang lebih nikmat, lebih menggembirakan serta membahagiakan
selain kecintaan kepada-Nya, menyukai-Nya serta merindukan pertemuan dengan-
Nya.”
Manfaat lain dari ibadah adalah hilangnya kecemasan dan kekhawatiran
yang merupakan salah satu dari pilar penting bagi terbangunnya kebahagiaan. M
Quraish Shihab mencatat bagaimana ibadah sholat bisa menghilangkan rasa cemas,
menurutnya manusia adalah makhluk yang memiliki naluri cemas dan mengharap.
Ia selalu membutuhkan sandaran terutama pada saat-saat cemas menghinggapinya.
Sholat memberikan peluang untuk berkomunikasi serta menyalurkan segenap
kecemasan itu kepada Tuhan.
Manfaat ibadah serta ritual agama terhadap kebahagiaan manusia juga di
akui dalam disiplin imu psikologi. C. G Jung, seorang psikiater asal swiss,
mengakui bahwa berbagai ritual agama memiliki efek bathin yang sangat besar serta
penting bagi kesehatan jiwa. Agama juga dapat memandu seseorang untuk
menemukan makna hidup yang lebih berarti, dan juga lebih memberikan kesehatan
bathin menghadapi kematian. Senada dengan itu, H. G. Koenig juga
mengemukakan hasil penelitian yang memukau bahwa ketaatan menjalankan
agama sangat membantu mengatasi stres, depresi, dan menurunkan tingkat
kecemasan. Ia juga mengemukakan bahwa ritual ibadah yang sifatnya sendirian
seperti sembahyang atau membaca kitab suci berkaitan dengan kesdehatan yang
lebih besar, serta memiliki tingkat kepuasan hidup yang tinggi.
Menurut Imam Asy-Syatibi, ibadah memiliki dimensi keakhiratan sekaigus
keduniawian. Ibadah daam ajaran islam tidak hanya dimaksudkan dalam kerangka
hubungan dengan Alloh (hablumminalloh) semata, tetapi juga mengandung dimensi
sosial (hablumminannas) yang tinggi bagi para pemeluknya. Semua bentuk ibadah
memiliki makna sosialnya masing-masing sebagaimana dijeaskan sebagai berikut:
Pertama, ibadah sholat. Salah satu kandungan sosial dari ibadah sholat
adalah bahwa sholat mengajarkan makna persaudaraan dan persatuan manusia yang
begitu tinggi. Ketika melaksanakan sholat di masjid 5 kali daam sehari, maka
sesungguhnya ibadah tersebut tengah menghimpun penduduknya 5 kali sehari.
Dalam aktivitas tersebut, mereka saling mengenal, saling berkomunikasi, dan saling
menyatukan hati. Persatuan manakah yang lebih utama dan mendasar daripada
persatuan orang-orang yang sholat di dalam masjid secara berjamaah? Mereka
sholat di belakang seorang imam, mengadu kepada Tuhan yang satu, membaca
kitab yang sama, serta menghadap ke arah kiblat yang sama. Mereka juga
melakukan amalan yang sama: sujud, rukuk, dan sebagainya. Persatuan yang di
terapkan sampai ke inti sarinya dan tidak terbatas pada kulit luarnya. Persatuan
dalam pandangan dan pemikiran, persatuan dalam tujuan arah, persatuan dalam
ucapan sekaligus amalan, serta persatuan di dalam dan di luar. Dalam Al-Qur’an
disebutkan:
“sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara.” (QS. Al-Hujurat [49],
10)
Hal lain yang diajarkan dalam ibadah sholat adalah persamaan setiap
manusia. Tatkala sholat orang islam diajarkan nilai-nilai kesetaraan. Seorang
penguasa bisa berada disamping atau bahkan di belakang pengawalnya. Begitu juga
seorang yang kaya raya bisa berdiri sejajar dengan orang miskin, seorang ilmuan
bisa di samping seorang pekerja kasar. Shaf tidak disusun berdasarkan strata sosial
yang berlaku di daam masyarakat. Di samping itu, sholat juga mengajarkan hidup
disiplin. M Iqbal, seorang intelektual serta filosof muslim mengatakan:
sesungguhnya pemilihan satu kibat untuk sholat kaum musimin dimaksudkan untuk
menumbuhkan persatuan rasa di kalangan para jama’ah. Sholat telah menjembatani
terbangunnya persamaan sosial dan menguatkan kekerabatan. Sebaliknya, sholat
menjadi saran yang efektif untuk mengeliminasi perbedaan, ras, sentimen, suku,
maupun kelas sosial yang sering kali menjadi penyulut permusuhan.
Kedua, ibadah puasa. Puasa mampu menumbuhkan kepekaan sosial bagi
pelakunya. Dengan berpuasa, si kaya merasakan betapa tidak enaknya merasakan
lapar. Puasa mengajarkan kepadanya untuk bisa mengenali serta merasakan
penderitaan orang yang sehari-hari senantiasa berada dalam kekurangan dan
berbalut kemiskinan, sehingga diharapkan lahir kepedulian dari si kaya kepada si
miskin. Kemudian puasa di akhiri dengan kewajiban membayar zakat fitrah yang
memaksa untuk seseorang untuk berderma, sekalipun mungkin hatinya belum
sadar. Ini akan menjadi latihan dan pembinaan tersendiri bagi orang yang
bersangkutan untuk menjadi orang yang dermawan dan peduli pada orang-orang
yang lemah.
Ketiga, ibadah zakat. Ibadah zakat memilikifungsi dan khikmah ganda.
Secara individual, zakat mengandung khikmah untuk membersihkan dan
mnyucikan diri beserta harta bendanya. Dengan begitu, zakat melatih manusia
menghilangkan sifat kikir, rakus, dan tamak yang melekat pada dirinya. Zakat
melatih seseorang menjauhi kerakusan pada harta, memupuk persaudaraan, rasa
kasihan dan suka menolong anggota masyarakat yang berada daam kekurangan.
Zakat menjadi tanda kedermawanan, solidaritas, dan kasih sayang seorang muslim
terhadap saudara-saudaranya agar bisa ikut merasakan rizki sebagai karunia Alloh
SWT. M. Quraish Shihab mencatat, zakat memiliki berbagai dampak positif:
1. Zakat dapat menangkis sifat kikir di dalam jiwa seseorang, melatihnya memiliki
sifat-sifat kedermawanan dan mengantarnya menjadi manusia yang mensyukuri
nikmat Alloh.
2. Zakat berpengaruh untuk menciptakan ketenangan dan ketenteraman bukan hanya
kepada penerimanya, tetapi juga bagi pemberi zakat.
Kedengkian dan iri hati dapat timbul dari mereka yang hidup dalam
kemiskinan, pada saat melihat orang yang berkecukupan bersifat sombong dan tak
mempedulikannya. Kedengkian tersebut dapat mengakibatkan keresahan bagi
pemilik harta, sehingga pada akhirnya menimbulkan kecemasan serta ketegangan.
Dalam konteks ini zakat bisa berfungsi sebagai perekat sosial untuk meminimalisir
konflik sosial.
Ke empat, Ibadah haji. Dalam ibadah haji terkandung pengalaman nilai-nilai
kemanusiaan yang universal. Ibadah haji dimulai dengan niat sambil menanggalkan
pakaian biasa dan kemudian mengenakan pakaian ikhrom. Menurut Quraish Shihab
tak dapat disangkal bahwa pakaian mencerminkan perbedan status sosial dan
predikat-predikat lain yang berbeda antara satu orang/kelompok dengan orang
/kelompok lain. Perbedaan ini pada gilirannya akan mempertegas kesenjangan
sosisal dan besar kemungkinan dapat meyulut permusuhan. Pada saat ikhram,
semua pakaian ini ditanggalkan. Semua orang wajib mengenakan pakain yang
sama, pakaian warna putih tanpa jahitan. Dengan mengenakan pakaian ikhram pada
saat haji, manusia diajarkan untuk meninggalkan perbedaan status sosial yang
mereka sandang dan bersatu dalam persamaan dan persaudaraan.
Kecuali itu, pada saat melaksanakan pakaian ikhram, seseorang juga
dilarang menyakiti binatang di larang membunuh, menumpahkan darah, serta
dilarang mencabut pepohonan. Disini Tuhan mengajarkan kepada manusia untuk
memelihara kehidupan. Ketika ikhram juga dilarang memakai wewangian,
bercumbu dan menikah, serta berhias. Hal ini mengajarkan kepada manusia agar
senantiasa menjauhkan diri dari keterjebakan pada kesenangan dan pada keindahan
materi. Manusia bukan sekedar materi. Kebutuhan dan tujuan kebahagiaan manusia
juga bukan hanya sekedar kepuasan materi.
(Prof. Dr. Yusron Razak, M.A., dkk: 2011, 143-149)
Ibadah mahdhah
Adalah ibadah yang murni ibadah, ditunjukkan oleh tiga ciri berikut ini:
Pertama, ibadah mahdhah adalah amal dan ucapan yang merupakan jenis ibadah
sejak asal penetapannya dari dalil syariat. Artinya, perkataan atau ucapan tersebut
tidaklah bernilai kecuali ibadah.. Ibadah mahdhah juga ditunjukkan dengan dalil-
dalil yang menunjukkan terlarangnya ditujukan kepada selain Allah Ta’ala, karena
hal itu termasuk dalam kemusyrikan.
Kedua, ibadah mahdhah juga ditunjukkan dengan maksud pokok orang yang
mengerjakannya, yaitu dalam rangka meraih pahala di akhirat.
Ketiga, ibadah mahdhah hanya bisa diketahui melalui jalan wahyu, tidak ada jalan
yang lainnya, termasuk melalui akal atau budaya. Contoh sederhana
ibadah mahdhah adalah shalat. Shalat adalah ibadah mahdhah karena memang ada
perintah (dalil) khusus dari syariat. Sehingga sejak awal mulanya, shalat adalah
aktivitas yang diperintahkan (ciri yang pertama). Orang mengerjakan shalat,
pastilah berharap pahala akhirat (ciri ke dua). Ciri ketiga, ibadah shalat tidaklah
mungkin kita ketahui selain melalui jalur wahyu. Rincian berapa kali shalat, kapan
saja, berapa raka’at, gerakan, bacaan, dan seterusnya, hanya bisa kita ketahui
melalui penjelasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan hasil dari kreativitas
dan olah pikiran kita sendiri.
Pokok dari semua ajaran Islam adalah “Tawhiedul ilaah” (KeEsaan Allah)
dan ibadah mahdhah itu salah satu sasarannya adalah untuk mengekpresikan ke
Esaan Allah, sehingga dalam pelaksanaannya diwujudkan dengan :
a. Tawhiedul wijhah (menyatukan arah pandang).
Shalat semuanya harus menghadap ke arah ka’bah, itu bukan menyembah
Ka’bah, dia adalah batu tidak memberi manfaat dan tidak pula memberi madharat,
tetapi syarat sah shalat menghadap ke sana untuk menyatukan arah pandang,
sebagai perwujudan Allah yang diibadati itu Esa. Di mana pun orang shalat ke
arah sanalah kiblatnya (QS. 2: 144).
b. Tawhiedul harakah (Kesatuan gerak).
Semua orang yang shalat gerakan pokoknya sama, terdiri dari berdiri,
membungkuk (ruku’), sujud dan duduk. Demikian halnya ketika thawaf dan sa’i,
arah putaran dan gerakannya sama, sebagai perwujudan Allah yang diibadati hanya
satu.
c. Tawhiedul lughah (Kesatuan ungkapan atau bahasa).
Karena Allah yang disembah (diibadati) itu satu maka bahasa yang dipakai
mengungkapkan ibadah kepadanya hanya satu yakni bacaan shalat, tak peduli
bahasa ibunya apa, apakah dia mengerti atau tidak, harus satu bahasa, demikian juga
membaca al-Quran, dari sejak turunnya hingga kini al-Quran adalah bahasa al-
Quran yang membaca terjemahannya bukan membaca al-Quran.
Ibadah yang tidak murni ibadah memiliki pengertian yang berkebalikan dari
tiga ciri di atas. Sehingga ibadah ghairu mahdhah dicirikan dengan:
a. ibadah (perkataan atau perbuatan) tersebut pada asalnya bukanlah ibadah. Akan
tetapi, berubah status menjadi ibadah karena melihat dan menimbang niat
pelakunya.
b. maksud pokok perbuatan tersebut adalah untuk memenuhi urusan atau
kebutuhan yang bersifat duniawi, bukan untuk meraih pahala di akhirat.
c. amal perbuatan tersebut bisa diketahui dan dikenal meskipun tidak ada wahyu
dari para rasul.
Prinsip Ibadah
Adapun prinsip melaksanakan Ibadah sebagai berikut :
B. Ikhlas (Al-Bayinah/98:5)
الزكَاةَ َوذَلِكَ دِي ُن ْالقَيِِّ َم ِة ِصينَ لَهُ ال ِدِّينَ ُحنَفَا َء َويُقِي ُموا ال ه
صالةَ َويُؤْ تُوا ه َ َو َما أُمِ ُروا إِال ِليَ ْعبُدُوا ه
ِ اَّلل ُم ْخل
ان فَ ْل َي ْست َِجيبُوا لِي َو ْليُؤْ مِ نُوا ِبي لَ َعله ُه ْم َ هاع ِإذَا َد ُ َ سأ َ َلكَ ِع َبادِي
َ َو ِإذَا
ِ ع ِ ع ِِّني فَ ِإ ِِّني قَ ِريبٌ أ ِجيبُ َدع َْوةَ الد
ََي ْرشُدُون
َيَا بَنِي آد ََم ُخذُوا ِزينَتَكُ ْم ِع ْندَ ُك ِِّل َمس ِْج ٍد َوكُلُوا َوا ْش َربُوا َوال تُس ِْرفُوا إِنههُ ال يُحِ بُّ ْال ُمس ِْرفِين
Peran dan fungsi ibadah terbagi menjadi 2 yaitu peran dan fungsi ibadah
secara umum dan secara khusus
Kalimat syahadat berbunyi : Asyhadu allaa ilaaha illa Allaah wa asyhadu anna
Muhammad Rasuul Allaah. Yang artinya adalah Aku mengaku tidak ada tuhan
selain Allah dan Aku mengaku Muhammad Utusan Allah.
Ikrar pertama yang diucapakan dalam syahadat adalah pernyataan suci penyaksian
dan keyakinan yang sungguh-sungguh tentang keesaan Allah. Bagian yang pertama
ini mengandung pengingkaran mutlak tentang adanya ilah-ilah,tuhan-tuhan ataupun
dewa-dewa lain dalam segala bentuknya selain Allah. Kalimat ini membebaskan
manusia dari pengkultusan individu (pendewaan seseorang) Bagi orang beriman,
kalimat ini sejatinya berfungsi untuk menimbulkan kesadaraan akan harga dirinya
sebagai manusia, dengan menutup segala kemungkinan untuk menyombongkan
diri,merasa lebih dari orang lain.
Ikrar selanjutnya ialah pengakuan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah.
Mengenai ini,ajaran islam hanya memberikan tempat yang sewajarnya saja kepada
Rasul Allah. Seorang muslim mengaku bahwa Nabi Muhammad adalah manusia
biasa yang dipilih Allah untuk menjadi Utusan-Nya. Seperti yang telah
difirmankan Allah dalam surat Al Kahfi ayat 110:
Hal ini berfungsi untuk mencegah pegkultusan Nabi Muhammad seperti yang
telah dilakukan kaum Nasrani yang telah mengkultuskan Nabi Isa as menjadi
sekutu Allah.
Shalat adalah suatu ibadah yang mengandung beberapa ucapan dan perbuatan
tertentu,yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Shalat adalah tiang
agama,barangsiapa yang ,menegakkannya maka dia telah menegakkan
agama,barangsiapa yang menghancurkannya dia menghancurkan agama. Peran dan
fungsi shalat antara lain:
• Menyehatkan Fisik
Ternyata tak hanya manfaat shalat tak hanya berupa manfaat ruhani tapi, manfaat
shalat juga berupa manfaat fisik. Telah banyak penelitian yang dilakukan oleh para
ahli yang menyatakn bahwa posisi dalam shalat sangat berguna untuk kesehatan
fisik. Salah satunya adalah posisi badan ketika sujud yang dapat memperlancar
darah masuk ke otak sehingga otak lebih banyak mendapat pasokan oksigen dan
nutrisi. Hal ini dapat menyebabkan pikiran kita terasa lebih jernih.
Hikmah Ibadah
1. Tidak Syirik
Seorang hamba yang sudah berketetapan hati untuk senantiasa beribadah
menyembah kepada-Nya, maka ia harus meninggalkan segala bentuk syirik. Ia telah
mengetahui segala sifat-sifat yang dimiliki Nya adalah lebih besar dari segala yang
ada, sehingga tidak ada wujud lain yang dapat mengungguli-Nya.
2. Memiliki ketakwaan
Ketakwaan yang dilandasi cinta timbul karena ibadah yang dilakukan manusia
setelah merasakan kemurahan dan keindahan Allah SWT. Setelah manusia melihat
kemurahan dan keindahan-Nya munculah dorongan untuk beribadah kepada-Nya.
Sedangkan ketakwaan yang dilandasi rasa takut timbul karena manusia
menjalankan ibadah dianggap sebagai suatu kewajiban bukan sebagai kebutuhan.
Ketika manusia menjalankan ibadah sebagai suatu kewajiban ada kalanya muncul
ketidakikhlasan, terpaksa dan ketakutan akan balasan dari pelanggaran karena tidak
menjalankan kewajiban.
3. Terhindar dari kemaksiatan
` Ibadah memiliki daya pensucian yang kuat sehingga dapat menjadi tameng
dari pengaruh kemaksiatan, tetapi keadaan ini hanya bisa dikuasai jika ibadah yang
dilakukan berkualitas. Ibadah ibarat sebuah baju yang harus selaludipakai
dimanapun manusia berada.
4. Berjiwa sosial
Ibadah menjadikan seorang hamba menjadi lebih peka dengan keadaan
lingkungan disekitarnya, karena dia mendapat pengalaman langsung dari ibadah
yang dikerjakannya. Sebagaimana ketika melakukan ibadah puasa, ia merasakan
rasanya lapar yang biasa dirasakan orang-orang yang kekurangan. Sehingga
mendorong hamba tersebut lebih memperhatikan orang lain.
5. Tidak kikir
Harta yang dimiliki manusia pada dasarnya bukan miliknya tetapi milik Allah
SWT yang seharusnya diperuntukan untuk kemaslahatan umat. Tetapi karena
kecintaan manusia yang begita besar terhadap keduniawian menjadikan dia lupa
dan kikir akan hartanya. Berbeda dengan hamba yang mencintai Allah SWT,
senantiasa dawam menafkahkan hartanya di jalan Allah SWT, ia menyadari bahwa
miliknya adalah bukan haknya tetapi ia hanya memanfaatkan untuk keperluanya
semata-mata sebagai bekal di akhirat yang diwujudkan dalam bentuk pengorbanan
hartauntuk keperluan umat.