Anda di halaman 1dari 12

FARMASI INDUSTRI DAN CARA PEMBUATAN OBAT YANG

BAIK (CPOB)
“PRODUKSI”

DOSEN PENGAMPU
Drs. Wahidin Msi, Apt

Disusun oleh
Kelompok 6

Ade Vidia Anisa Ch 1943700221


Miftahunnur 1943700036
Dewi Marisa Hafsari 1943700130
Delfi Riska 1943700146
Dzulfatul ulwiyah 1943700180

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945


JAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Seiring dengan meningkatnya pendidikan dan pengetahuan masyarakat,
semakin tinggi pula kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kesehatan.
Dewasa ini kesehatan telah menjadi salah satu kebutuhan pokok individu yang
dinilai sangat berpengaruh pada kualitas diri dalam rangka mencari kualitas.

Kesehatan berperan penting dalam pelaksanaan pembangunan nasional


yang berusaha mewujudkan masyarakat yang sehat dan sejahtera.Hal ini
dikarenakan derajat kesehatan masyarakat menjadi salah satu indikator tingkat
kesejahteraan suatu bangsa, maka sangat diperlukan adanya upaya dan usaha yang
lebih memadai bagi peningkatan derajat kesehatan. Salah satu upaya yang dapat
dilakukan adalah dengan meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat,
di mana layanan kesehatan tersebut dapat diselenggarakan melalui industri
farmasi.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat,


memacu industri farmasi untuk meningkatkan kualitas produksi obatnya. Tuntutan
akan adanya obat-obatan yang bermutu, aman, dan efektif semakin meningkat
dengan membaiknya taraf hidup dan pendidikan masyarakat. Oleh karena itu,
pada proses pembuatan obat diperlukan pengawasan yang menyeluruh agar
dihasilkan obat yang bermutu tinggi dengan harga yang terjangkau.

Industri farmasi merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan yang


mempunyai kewajiban memproduksi dan menyalurkan obat-obatan maupun
perbekalan farmasi lainnya yang dibutuhkan oleh masyarakat.Dalam
memproduksi sediaan obat, industri farmasi dituntut untuk dapat menghasilkan
obat yang harus memenuhi persyaratan khasiat (efficacy),keamanan (safety), dan
mutu (quality) dalam dosis terapeutik.

Pemerintah menerapkan guideline untuk industri farmasi yang mengacu


pada Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Pedoman CPOB yang mengacu
pada Good Manufacturing Practice (GMP) dibuat untuk memberikan jaminan
bahwa obat yang diproduksi secara konsisten dapat memenuhi persyaratan yang
telah ditentukan dan sesuai dengan tujuan penggunaannya yang mencakup seluruh
aspek produksi dan pengendalian mutu. Selain itu, industri farmasi dipersyaratkan
untuk mengikuti guideline dan panduan internasional misalnya ISO 9000 series,
c-GMP, PIC/S, dan lain-lain, agar produk farmasi yang dihasilkan dapat diterima
secara global ataupun internasional.

Proses pembuatan obat tidak hanya sekedar lulus dari serangkaian


pengujian, tetapi yang sangat penting adalah mutu harus dibentuk ke dalam
produk tersebut. Industri farmasi dapat memenuhi ketersediaan obat yang
berkualitas, aman, dan berkhasiat dengan cara mengikuti serta menerapkan
ketentuan yang berlaku yaitu menerapkan Cara Pembuatan Obat yang Baik
(CPOB) dalam keputusan menteri kesehatan RI No.43/MENKES/SK/ II/1988,
kemudian diterbitkan juga CPOB 2001 dan Keputusan Direktur Jenderal
Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan Republik Indonesia No.
05410/A/SK/XII/1989 tentang petunjuk operasional penerapan CPOB yang
menyangkut seluruh aspek produksi dan pengendalian mutu serta bertujuan
menjamin bahwa produk obat senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang telah
ditentukan sesuai dengan tujuan penggunaannya. Mutu suatu obat ditentukan dari
proses pembuatan obat, mulai dari pemilihan bahan awal sampai perlakuannya
terhadap produk jadi.

Dalam CPOB terdapat aspek pokok pembuatan obat, yakni bahan baku
yang dipakai (material), prosedur atau metode (method), kondisi lingkungan
(milieu), alat dan mesin (machines) dan sumber daya manusia (man). Unsur-unsur
ini harus selalu terkendali dan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat berdiri
sendiri.

Berkaitan dengan pelaksanaan CPOB, industri farmasi perlu didukung


dengan personalia dalam jumlah yang cukup, memiliki keahlian, keterampilan dan
kemampuan sesuai dengan tugasnya, salah satu personalia yang terlibat adalah
apoteker. Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian,
pada pasal 9 ayat 1 menyatakan bahwa “Industri farmasi harus memiliki 3 (tiga)
orang apoteker sebagai penanggungjawab masing-masing pada bidang pemastian
mutu, produksi dan pengawasan mutu setiap produksi sediaan farmasi”.

1.2. Tujuan

1. Mahasiswa mengetahui dan memahami penerapan CPOB di industri

farmasi.

2. Mahasiswa mengetahui dan memahami semua kegiatan di industri

farmasi secara terpadu.

3. Mahasiswa mengetahui dan memahami tugas, wewenang, serta

tanggungjawab seorang apoteker di industri farmasi.

1.3. Manfaat

1. Bagi industri farmasi dapat memperoleh masukan berupa saran yang


sesuai dengan perkembangan ilmu kefarmasian sehingga dapat melakukan
proses produksi yang lebih optimal dan ekonomis sehingga dapat
menghasilkan produk yang aman, bermutu, efektif dan acceptable.
2. memperoleh pengalaman dan pengetahuan di bidang farmasi industri
dengan melihat secara langsung proses produksi dan pengawasan mutu
obat yang berpedoman pada CPOB yang nantinya akan berguna apabila
berkecimpung dalam bidang farmasi industri.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Industri Farmasi


2.1.1 Pengertian industri farmasi
Industri Farmasi adalah badan usaha yang memiliki izin dari Menteri
Kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat. Obat adalah
bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi, yang digunakan untuk
mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka
penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan
dan kontrasepsi untuk manusia. Bahan obat adalah bahan baik yang berkhasiat
maupun tidak berkhasiat yang digunakan dalam pengolahan obat dengan standar dan
mutu sebagai bahan baku farmasi (Badan POM, 2012).
2.1.2 Persyaratan industri farmasi
Industri Farmasi wajib memperoleh izin usaha dalam melaksanakan
kegiatannya. Oleh karena itu, industri tersebut wajib memenuhi persyaratan yang
telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No.1799/MENKES/PER/XII/2010 untuk memperoleh izin
mendirikan Industri Farmasi, suatu usaha Industri Farmasi wajib memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
1. Berbadan usaha berupa perseroan terbatas.

2. Memiliki rencana investasi dan kegiatan pembuatan obat.

3. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

4. Memiliki secara tetap paling sedikit 3 (tiga) orang Apoteker warga Negara
Indonesia masing-masing sebagai penanggung jawab Pengawasan Mutu,
Produksi, dan Pemastian Mutu.

5. Komisaris dan direksi tidak pernah terlibat, baik langsung atau tidak
langsung dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan dibidang
kefarmasian.
2.1.3 Pencabutan izin usaha industri farmasi

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.


1799/MENKES/PER/XII/2010, izin usaha industri farmasi dapat dicabut apabila
industri tersebut:
1. Melakukan pemindah tanganan hak milik izin usaha industri farmasi dan
perluasan usaha tanpa memiliki izin.

2. Tidak menyampaikan laporan mengenai perkembangan industri selama tiga


kali berturut-turut atau menyampaikan informasi yang tidak benar.

3. Melakukan pemindahan lokasi usaha industri tanpa persetujuan tertulis


terlebih dahulu.

4. Dengan sengaja memproduksi obat jadi atau bahan baku obat yang tidak
memenuhi persyaratan dan ketentuan yang berlaku.

5. Tidak memenuhi ketentuan dalam izin usaha Industri Farmasi.

2.2 Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB)

CPOB adalah bagian dari Pemastian Mutu yang memastikan bahwa obat
dibuat dan dikendalikan secara konsisten untuk mencapai standar mutu yang sesuai
dengan tujuan penggunaan dan dipersyaratkan dalam izin edar dan spesifikasi produk
(BPOM, 2012).
CPOB mencakup Produksi dan Pengawasan Mutu. Persyaratan dasar dari
CPOB adalah:
a) semua proses pembuatan obat dijabarkan dengan jelas, dikaji secara
sistematis berdasarkan pengalaman dan terbukti mampu secara konsisten
menghasilkan obat yang memenuhi persyaratan mutu dan spesifikasi yang telah
ditetapkan;
b) tahap proses yang kritis dalam pembuatan, pengawasan proses dan sarana
penunjang serta perubahannya yang signifikan divalidasi;
c) tersedia semua sarana yang diperlukan dalam CPOB termasuk: personil
yang terkualifikasi dan terlatih; bangunan dan sarana dengan luas yang memadai;
peralatan dan sarana penunjang yang sesuai; bahan, wadah dan label yang benar;
prosedur dan instruksi yang disetujui; dan tempat penyimpanan dan transportasi
yang memadai.
d) prosedur dan instruksi ditulis dalam bentuk instruksi dengan bahasa yang
jelas, tidak bermakna ganda, dapat diterapkan secara spesifik pada sarana yang
tersedia;
e) operator memperoleh pelatihan untuk menjalankan prosedur secara benar;
f) pencatatan dilakukan secara manual atau dengan alat pencatat selama
pembuatan yang menunjukkan bahwa semua langkah yang dipersyaratkan dalam
prosedur dan instruksi yang ditetapkan benarbenar dilaksanakan dan jumlah serta
mutu produk yang dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan. Tiap penyimpangan
dicatat secara lengkap dan diinvestigasi;
g) catatan pembuatan termasuk distribusi yang memungkinkan penelusuran
riwayat bets secara lengkap, disimpan secara komprehensif dan dalam bentuk yang
mudah diakses;
h) penyimpanan dan distribusi obat yang dapat memperkecil risiko terhadap
mutu obat;
i) tersedia sistem penarikan kembali bets obat manapun dari peredaran; dan j)
keluhan terhadap produk yang beredar dikaji, penyebab cacat mutu diinvestigasi serta
dilakukan tindakan perbaikan yang tepat dan pencegahan pengulangan kembali
keluhan.
CPOB merupakan pedoman yang harus diterapkan dalam seluruh rangkaian
proses di industri farmasi dalam pembuatan obat jadi, sesuai dengan keputusan
Menteri Kesehatan RI No.43/Menkes/SK/II/1988 tentang Cara Pembuatan Obat yang
Baik. Pedoman CPOB bertujuan untuk menjamin obat dibuat secara konsisten,
memenuhi persyaratan yang ditetapkan dan sesuai dengan tujuan penggunaannya
(BPOM, 2012)

CPOB mencakup seluruh aspek produksi dan pengendalian mutu. Pada proses
pembuatan obat, pengendalian menyeluruh adalah sangat penting untuk menjamin
bahwa obat yang bermutu tinggi tidaklah cukup bila produk jadi hanya sekedar lulus
dari serangkaian pengujian, tetapi yang lebih penting adalah bahwa mutu harus
dibentuk ke dalam produk tersebut (to build quality into the product). Mutu obat
tergantung pada bahan awal, bahan pengemas, proses produksi, pengendalian mutu,
bangunan, peralatan yang dipakai, serta personel yang terlibat. Oleh karena itu,
Pemastian Mutu suatu obat hendaknya dibuat dalam kondisi yang dikendalikan dan
dipantau secara cermat (BPOM, 2012).

Perkembangan yang sangat pesat dalam teknologi farmasi menyebabkan


perubahan-perubahan yang sangat cepat pula dalam konsep serta persyaratan CPOB.
Konsep CPOB bersifat dinamis dan mengikuti perkembangan teknologi di bidang
farmasi. Ruang lingkup CPOB 2012 meliputi 12 aspek yaitu:

1. Manajemen Mutu
2. Personalia
3. Bangunan dan Fasilitas
4. Peralatan
5. Sanitasi dan Higiene
6. Produksi
7. Pengawasan Mutu
8. Inspeksi Diri, Audit Mutu dan Audit & Persetujuan Pemasok
9. Penanganan Keluhan terhadap Produk dan Penarikan Kembali Produk
10. Dokumentasi
11. Pembuatan dan Analisis Berdasarkan Kontrak
12. Kualifikasi dan Validasi

2.2.1 Produksi

Produksi hendaklah dilaksanakan dengan mengikuti prosedur yang telah


ditetapkan dan memenuhi ketentuan CPOB yang menjamin senantiasa
menghasilkan produk yang memenuhi persyaratan mutu serta memenuhi
ketentuan izin pembuatan dan izin edar.
a. Produksi sebaiknya dilakukan dan diawasi oleh personel yang kompeten.
b. Penanganan bahan dan produk jadi, seperti penerimaan dan karantina,
pengambilan sampel, penyimpanan, penandaan, penimbangan,
pengolahan, pengemasan dan distribusi hendaklah dilakukan sesuai
dengan prosedur atau instruksi tertulis dan bila perlu dicatat.
c. Kerusakan wadah dan masalah lain yang dapat berdampak merugikan
terhadap mutu bahan hendaklah diselidiki, dicatat dan dilaporkan kepada
Bagian Pengawasan Mutu.
d. Semua bahan dan produk jadi hendaklah disimpan pada kondisi seperti
yang ditetapkan pabrik pembuat dan disimpan secara teratur untuk
memudahkan segragasi antar bets dan rotasi stok.
e. Produk dan bahan hendaklah dilindungi terhadap pencemaran mikroba
atau pencemaran lain pada tiap tahap pengolahan.
f. Selama pengolahan, semua bahan, wadah produk ruahan, peralatan atau
mesin produksi dan bila perlu ruang kerja yang dipakai hendaklah diberi
label atau penandaan dari produk atau bahan yang sedang diolah, kekuatan
(bila ada) dan nomor bets bila perlu, penandaan ini hendaklah
menyebutkan tahapan proses produksi.
g. Penyimpangan terhadap instruksi atau prosedur sedapat mungkin
dihindarkan. Bila terjadi penyimpangan maka hendaklah ada persetujuan
tertulis dari kepala bagian Pemastian Mutu dan bila perlu melibatkan
bagian Pengawasan Mutu.
h. Sistem penomoran bets/lot Untuk memastikan bahwa tiap bets/lot produk
antara, produk ruahan atau produk jadi dapat diidentifikasi. Sistem
penomoran bets/lot yang digunakan pada tahap pengolahan dan tahap
pengemasan hendaklah saling berkaitan. Sistem penomoran bets/lot
hendaklah menjamin bahwa nomor bets/lot yang sama tidak dipakai secara
berulang. Alokasi nomor bets/lot hendaklah segera dicatat dalam suatu
buku log. Catatan tersebut hendaklah mencakup tanggal pemberian nomor,
identitas produk dan ukuran bets/lot yang bersangkutan.
PRODUKSI

PRINSIP
Produksi hendaklah dilaksanakan dengan mengikuti prosedur yang telah
ditetapkan; dan memenuhi ketentuan CPOB yang menjamin senantiasa
menghasilkan produk yang memenuhi persyaratan mutu serta memenuhi
ketentuan izin pembuatan dan izin edar (registrasi).

UMUM
6.1 Produksi hendaklah dilakukan dan diawasi oleh personil yang kompeten.
6.2 Penanganan bahan dan produk jadi, seperti penerimaan dan karantina,
pengambilan sampel, penyimpanan, penandaan, penimbangan, pengolahan,
pengemasan dan distribusi hendaklah dilakukan sesuai dengan prosedur atau
instruksi tertulis dan bila perlu dicatat.
6.3 Seluruh bahan yang diterima hendaklah diperiksa untuk memastikan
kesesuaiannya dengan pemesanan. Wadah hendaklah dibersihkan dan
bilamana perlu diberi penandaan dengan data yang sesuai.
6.4 Kerusakan wadah dan masalah lain yang dapat berdampak merugikan
terhadap mutu bahan hendaklah diselidiki, dicatat dan dilaporkan kepada
Bagian Pengawasan Mutu.
6.5 Bahan yang diterima dan produk jadi hendaklah dikarantina secara fisik atau
administratif segera setelah diterima atau diolah, sampai dinyatakan lulus
untuk pemakaian atau distribusi.
6.6 Produk antara dan produk ruahan yang diterima hendaklah ditangani seperti penerimaan bahan
awal.
6.7 Semua bahan dan produk jadi hendaklah disimpan secara teratur pada kondisi
yang disarankan oleh pabrik pembuatnya dan diatur sedemikian agar ada
pemisahan antar bets dan memudahkan
rotasi stok.
6.8 Pemeriksaan jumlah hasil nyata dan
rekonsiliasinya hendaklah dilakukan
sedemikian untuk memastikan tidak ada
penyimpangan dari batas yang telah
ditetapkan.
6.9 Pengolahan produk yang berbeda
hendaklah tidak dilakukan secara
bersamaan atau bergantian dalam ruang
kerja yang sama kecuali tidak ada risiko
terjadinya campur baur ataupun
kontaminasi silang.
6.10 Tiap tahap pengolahan, produk dan
bahan hendaklah dilindungi terhadap
pencemaran mikroba atau pencemaran
lain.
6.11 Bila bekerja dengan bahan atau produk
kering, hendaklah dilakukan tindakan
khusus untuk mencegah debu timbul
serta penyebarannya. Hal ini terutama
dilakukan pada penanganan bahan yang
sangat aktif atau menyebabkan
sensitisasi.
6.12 Selama pengolahan, semua bahan,
wadah produk ruahan, peralatan atau
mesin produksi dan bila perlu ruang kerja
yang dipakai hendaklah diberi label atau
penandaan dari produk atau bahan yang
sedang diolah, kekuatan (bila ada) dan
nomor bets. Bila perlu, penandaan ini
hendaklah juga menyebutkan tahapan
proses produksi.
6.13 Label pada wadah, alat atau ruangan
hendaklah jelas, tidak berarti ganda dan
dengan format yang telah ditetapkan.
Daftar Pustaka

BPOM, 2012. Penerapan pedoman cara Pembuatan Obat Yang Baik.


Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Anda mungkin juga menyukai