Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH PEMBANGUNAN DAN KEBIJAKAN AGRIBISNIS

KEBIJAKAN HARGA PERTANIAN

Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas


Mata Kuliah Pembangunan dan Kebijakan Agribisnis

DOSEN: Ir. Salman, M. Si

DISUSUN OLEH
MIRA ARYUNI
184210569

JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN


UNIVERSITAS ISLAM RIAU
2018
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebijakan pertanian adalah serangkaian tindakan yang telah, sedang dan akan
dilaksanakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu. Adapun tujuan umum kebijakan
pertanian kita adalah memajukan pertanian, mengusahakan agar pertanian menjadi lebih
produktif, produksi dan efisiensi produksi naik dan akibatnya tingkat penghidupan dan
kesejahteraan petani meningkat. Untuk mencapai tujuan-tujuan ini, pemerintah baik di pusat
maupun di daerah mengeluarkan peraturan-peraturan tertentu; ada yang berbentuk Undang-
undang, Peraturan-peraturan Pemerintah, Kepres, Kepmen, keputusan Gubernur dan lain-lain.
Peraturan ini dapat dibagi menjadi dua kebijakan-kebijakan yang bersifat pengatur (regulating
policies) dan pembagian pendapatan yang lebih adil merata (distributive policies). Kebijakan
yang bersifat pengaturan misalnya peraturan rayoneering dalam perdagangan/distribusi pupuk
sedangkan contoh peraturan yang sifatnya mengatur pembagian pendapatan adalah penentuan
harga kopra minimum yang berlaku sejak tahun 1969 di daerah-daerah kopra di Sulawesi.
Persoalan yang selalu tidak mudah diatasi adalah persoalan keadilan. Hampir setiap
kebijakan jarang akan disambut dengan baik oleh semua pihak. Selau ada saja pihak yang
memperoleh manfaat lebih besar dari pihak lainnya dan bahkan ada yang dirugikan. Itulah
sebabnya masalah kebijakan pertanian bukanlah terletak pada banyak sedikitnya campur tangan
pemerintah, tetapi pada berhasil tidaknya kebijakan itu mencapai sasarannya dengan sekaligus
mencari keadilan bagi pihak-pihak yang bersangkutan. Oleh karena itu kebijakan pertanian yang
lebih baik adalah yang dapat mencapai tujuan nasional untuk menaikkan produksi secara optimal
dengan perlakuan yang adil pada pihak-pihak yang bersangkutan itu.

Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kebijakan harga?
2. Apa tujuan kebijakan harga pertanian?
3. Apa saja contoh kebijakan harga pada produk pertanian?
PEMBAHASAN
Kebijakan Harga
Kebijakan ini merupakan salah satu kebijakan yang terpenting di banyak negara dan
biasanya digabung dengan kebijakan pendapatan sehingga disebut kebijakan harga dan
pendapatan (price and economic policy). Kebijakan harga adalah suatu kebijakan yang sering di
ambil oleh pemerintah untuk melindungi masyarakat secara luas, baik itu produsen maupun
konsumen.

Segi harga dari kebijakan itu bertujuan untuk mengadakan stabilitas harga, sedangkan
segi pendapatannya bertujuan agar pendapatan petani tidak terlalu berfluktuasi dari musim ke
musim dan dari tahun ke tahun. Kebijakan harga dapat mengandung pemberian penyangga
(support) atas harga-harga hasil pertanian supaya tidak terlalu merugikan petani atau langsung
mengandung sejumlah subsidi tertentu bagi petani. Menurut definisi kebijakan harga adalah
suatu kebijakan yang diambil pemerintah dan merupakan alat/tool untuk dapat mempengaruhi
harga produk tertentu (misalnya produk pertanian). Ini merupakan insentif, kepada produsen
untuk menghasilkan produk dengan jumlah tertentu, maupun kepada konsumen untuk menjamin
stabilnya harga beli.

Di banyak negara seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Australia banyak sekali hasil
pertanian seperti gandum, kapas, padi, dan gula yang mendapat perlindungan pemerintah berupa
harga penyangga dan atau subsidi. Indonesia baru mulai mempraktekkan kebijakan harga untuk
beberapa hasil pertanian sejak tahun 1969. Secara teoritis kebijakan harga yang dapat dipakai
untuk mencapai tiga tujuan yaitu:
1. stabilitas harga hasil-hasil pertanian terutama pada tingkat petani
2. meningkatkan pendapatan petani melalui perbaikan dasar tukar (term of trade)
3. memberikan arah dan petunjuk pada jumlah produksi.

Kebijakan harga di Indonesia terutama ditekankan pada tujuan pertama yaitu Stabilitas
harga hasil-hasil pertanian dalam keadaan harga-harga umum yang stabil berarti pula terjadi
kestabilan pendapatan. Tujuan yang kedua banyak sekali dilaksanakan pada hasil-hasil pertanian
di negara-negara yang sudah maju dengan alasan pokok pendapatan rata-rata sektor pertanian
terlau rendah dibandingkan dengan penghasilan di luar sektor pertanian.
Tujuan yang kedua ini sulit untuk dilaksanakan di negara-negara yang jumlah petaninya
berjuta-juta dan terlalu kecil-kecil seperti di Indonesia karena persoalan administrasinya sangat
kompleks. Pada prinsipnya kebijakan harga yang demikian ini merupakan usaha memindahkan
pendapatan dari golongan bukan pertanian ke golongan pertanian, sehingga hal ini bisa
dilaksanakan dengan mudah di negara-negara yang sudah maju dan kaya, dimana
golongan penduduk di luar pertanian jumlahnya jauh lebih besar dengan pendapatan lebih tinggi
dibanding golongan penduduk pertanian. Di negara-negara ini penduduk sektor pertanian rata-
rata di bawah 10 persen dari seluruh penduduk, sedangkan di negara kita masih antara 60 persen-
70 persen.
Tujuan kebijakan yang ketiga dalam praktek sering dilaksanakan oleh negara-negara
yang sudah maju bersamaan dengan tujuan kedua yaitu dalam bentuk pembatasan jumlah
produksi dengan pembayaran kompensasi. Berdasarkan ramalan harga, pemerintah membuat
perencanaan produksi dan petani mendapat pembayaran kompensasi untuk setiap kegiatan
produksi yang diistirahatkan. Di negara kita, dimana hasil-hasil pertanian pada umumnya belum
mencukupi kebutuhan, maka kebijakan yang demikian tidak relevan. Selain kebijakan harga
yang menyangkut hasil-hasil pertanian, peningkatan pendapatan petani dapat dicapai dengan
pemberian subsidi pada harga sarana-sarana produksi seperti pupuk/insektisida. Subsidi ini
mempunyai pengaruh untuk menurunkan biaya produksi yang dalam teori ekonomi berarti
menggeser kurva penawaran ke atas.

Kebijakan harga dalam sektor pertanian sangat penting karena harga produk pertanian
berfluktuasi lebih cepat dibandingkan dengan produk industri. Perubahan harga ini
mempengaruhi pendapatan, standar hidup petani dan penduduk pedesaan. Bahkan ini juga
mempengaruhi perdagangan barang lainnya. Contohnya, di Indonesia, pemerintah menjamin
harga pembelian gabah di tingkat petani dan juga menjamin agar harga di tingkat konsumen
tidak terlalu berfluktuasi antara musim panen raya dan musim paceklik. (Alydrus, 2015)

Lokollo menyebutkan bahwa tujuan kebijakan pertanian memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Untuk memenuhi permintaan dalam negeri
2. Untuk menjaga stabilitas harga
3. Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku atau input industri dengan harga tertentu/wajar
4. Untuk meningkatkan produksi dan ekspor produk pertanian
Beberapa pertanian hal yang harus diperhatikan pemerintah dalam mengambil kebijakan
harga adalah:
1. Tingkat harga dasar pembelian (administered price). Harga ini harus memperhatikan baik
pihak produsen maupun pihak konsumen. Beberapa hal yang termasuk di dalamnya
adalah: (i) support prices – biasanya ditentukan pada awal tanam untuk membantu
memberikan jaminan kepada petani penanam, (ii) issue prices – untuk melindungi
konsumen, konsumen mendapatkan komoditas tertentu dengan harga yang lebih rendah
dari harga pasar, dan (iii) procurement prices – untuk menjamin pengadaaan komoditas
pangan utama biasanya harga ini ditentukan dan diumumkan oleh pemerintah
2. Adanya perubahan permintaan dan penawaran komoditas pertanian
3. Adanya perbaikan infrastruktur, baik itu menunjang produksi (irigasi, gudang benih)
maupun pemasaran (infrastruktur bangunan pasar, jalan). Dengan adanya fasilitasi ini,
maka tingkat harga akan terpengaruh, baik harga di tingkat produsen maupun di tingkat
konsumen.

Kebijakan Harga Kedelai

Kebijakan harga dasar kedelai dimulai sejak tahun 1979/80 sampai akhir tahun 1991 dan
ditetapkan setiap tahun melalui Instruksi Presiden. Harga dasar yang ditetapkan harus dilihat
dengan hati-hati, karena bila hanya melihat nilai nominal harga saja tanpa melihat nilai nisbah
dengan komoditi pertanian lainnya, maka tujuan yang ingin dicapai pemerintah tidak akan
tercapai (yaitu menjamin harga di tingkat petani agar menanam kedelai di musim tanam setelah
padi). Sebagai contoh, dalam kurun waktu 12 tahun sejak kebijakan harga dasar kedelai
ditetapkan Pemerintah; meskipun nilai nominal harga dasar kedelai meningkat, nisbah atau ratio
harga dasar kedelai terhadap harga dasar gabah kering giling (GKG) hanya meningkat selama
tiga tahun pertama saja, tapi setelah itu menjadi tidak jelas (Silalahi, E. P. 2011); apalagi dengan
era liberalisasi pasar saat ini.
Dari segi nisbah harga dasar kedelai terhadap harga kedelai di tingkat petani terlihat
bahwa kebijakan harga dasar kedelai tidak banyak berpengaruh positif terhadap petani kedelai.
Nisbah yang kecil ini menggambarkan bahwa harga di tingkat produsen tidak dipengaruhi oleh
harga dasar karena harga dasar tersebut cenderung semakin jauh dibawah harga di tingkat
produsen.
Penetapan harga dasar seharusnya dapat memberikan jaminan kepada petani kedelai di
Indonesia sehingga para petani tidak perlu khawatir harga jual anjlok disaat panen raya tiba.
Dengan harga yang terjamin, petani akan semakin termotivasi menanam kedelai, dengan
demikian akan mendorong produksi dalam negeri meningkat sehingga impor bisa dikurangi.
Sebagian besar pemenuhan permintaan kedelai di dalam negeri Indonesia dipenuhi
dengan impor. Meningkatnya impor kedelai ini berpengaruh terhadap penurunan produksi
kedelai dalam negeri. Penurunan produksi di dalam negeri terjadi sejak tahun 1993 dan menurun
tajam sejak tahun 2000.
Dalam menstabilkan harga kedelai dalam negeri, pada awal tahun 1980an, Bulog
melaksanakan pengadaan penyimpanan dan penyaluran kedelai. Tujuannya untuk menjamin
ketersediaan kedelai bagi pengrajin tahu/tempe terutama bagi anggota KOPTI. Pengadaan
kedelai dalam negeri hanya berlangsung pada tahun 1979/80 – 1982/83 dalam jumlah kurang
dari satu persen dari produksi dalam negeri. Sebaliknya pengadaan melalui impor berlangsung
tiap tahun dalam jumlah besar dan harga lebih murah. Sebelum krisis ekonomi, harga yang
ditetapkan Bulog umumnya sedikit lebih tinggi dari harga impor, sehingga mampu menyangga
harga kedelai lokal.
Seperti halnya pada komoditi beras, semenjak peran Bulog sebagai State Trade Enterprise (STE)
dicabut pada 1998, maka kebijakan harga yang dilakukan Pemerintah menjadi tidak efektif,
meskipun ada kebijakan pengenaan tarif ad-valorem untuk kedelai impor. Tarif tersebut dimulai
sejak 1974 sampai 1982 sebesar 30 persen. Sejak tahun 1983 sampai 1993 tarif impor kedelai
diturunkan menjadi 10 persen dan kemudian menjadi 5 persen sejak tahun 1994 sampai 1996.
Pada tahun 1997 tarif diturunkan lagi menjadi 2,5 persen dan akhirnya tarif impor kedelai
ditiadakan mulai tahun 1998 sampai 2003. Pada tahun 2004 menjadi 5 persen dan sejak 1 Januari
sampai 2010 menjadi 10 persen (Silalahi, E.P., 2011).
Kebijakan mengenai tarif impor biasanya akan menaikkan harga kedelai dalam negeri
termasuk harga produsen. Produksi kedelai di Indonesia tidak dapat memenuhi permintaan
domestik Indonesia. Oleh karenanya, pemenuhan konsumsi kedelai yang sangat tergantung
impor ini menyebabkan harga kedelai dalam negeri akan sangat dipengaruhi fluktuasi harga
kedelai di pasar internasional. Oleh sebab itu ketika harga kedelai di pasar internasional
meningkat akibat persoalan kedelai di negara produsen, maka berdampak pada melambungnya
harga kedelai di pasar dalam negeri. Produsen pangan berbahan baku kedelai dan konsumen
terkena dampaknya. Saat ini akibat kurs nilai tukar USD terhadap IDR yang semakin menguat,
maka harga kedelai impor menjadi naik. Namun demikian harga kedelai domestik di tingkat
petani justru menurun, menjadi di bawah IDR 6.000 per kilogram. Padahal biaya yang
dikeluarkan petani untuk menanam kedelai mencapai IDR 7.000 per kilogram (Break Even Point
– BEP kedelai IDR 7.000 per kg ; www.detikfinance 28/08/15 Dirjen Tanaman Pangan,
Kementerian Pertanian, Dr. Hasil Sembiring – wawancara). Untuk mendongkrak harga di tingkat
petani, Kementerian Pertanian telah mengusulkan kepada Kementerian Perdagangan agar
menaikkan Harga Beli Petani (HBP) kedelai yang ditetapkan melalui Permendag menjadi IDR
8.000 per kilogram.
Di tahun 2015 ini, berdasarkan Angka Ramalan I dari Badan Pusat Statistik (BPS)
produksi kedelai mencapai 998 ribu ton, naik 5 persen dibanding tahun lalu. Namun, kebutuhan
kedelai domestik mencapai 2,3 juta ton, sehingga Indonesia masih harus mengimpor 1,4 juta ton
kedelai tahun ini. Oleh karena itu, kebijakan harga kedelai yang efektif akan dapat digunakan
pemerintah untuk meningkatkan produksi kedelai. Harga kedelai yang terus naik Oktober 2015,
dari Rp 6.800 menjadi Rp 7.400 – kualitas sedang dan dari Rp 7.400 menjadi Rp 8.200 – kualitas
bagus, berdampak pada pengusaha tempe dan tahu dan akhirnya pada konsumen masyarakat luas
(BPS dan Kemendag, 2015)

Kebijakan Harga Beras

Kebijakan harga untuk komoditas pangan utama/beras dimaksudkan untuk menjamin


ketersediaan dan menjaga stabilitas harga di pasar. Terdapat dua kebijakan harga, yaitu: (i)
kebijakan harga dasar dan (ii) kebijakan harga tertinggi. Kebijakan harga dasar pada umumnya
sebagai bentuk jaminan harga yang akan diterima petani padi pada saat panen. Hal ini
dimaksudkan agar petani dapat memperoleh harga yang layak. Harga dasar ini ditetapkan oleh
pemerintah. Kalau pada awalnya dikenal dengan nama kebijakan harga dasar gabah (HDG),
sekarang telah berkembang menjadi harga pembelian pemerintah (HPP). Untuk menjamin harga
dasar yang efektif, pada saat panen pemerintah melalui Bulog melakukan operasi pembelian
gabah petani, terutama apabila harga gabah di tingkat petani tertekan dibawah harga yang
ditetapkan pemerintah. Sampai dengan tahun 1998, Badan Urusan Logistik (Bulog) diberikan
mandat oleh pemerintah untuk membeli beras dari petani. Di samping untuk menjamin efektifitas
harga dasar, pembelian gabah oleh Bulog merupakan bagian integral dari pengadaan beras oleh
pemerintah dengan dana pangan nasional yang diperoleh dari dana kredit likuiditas Bank
Indonesia (KLBI), yang jumlahnya sesuai kebutuhan yang direncanakan oleh pemerintah. Di
samping itu, pemerintah memberikan hak monopoli pada Bulog untuk melakukan distribusi dan
impor beras pada saat tertentu bila diperlukan. Erwidodo (2004) dalam Ekonomi Padi dan Beras
Indonesia menyatakan bahwa sejak 1998, kebijakan harga dasar dan stabilisasi harga beras di
Indonesia menjadi kurang efektif. Di beberapa sentra produksi, menurutnya, harga jual gabah
petani selalu berada di bawah harga dasar pembelian pemerintah, terutama pada saat panen raya.
Penelitian empiris di atas (Timmer, C.P. dalam Mew TW et al., 2003) memberikan
petunjuk atau arahan sebagai berikut: (i) kenaikan pendapatan bagi golongan berpendapatan
rendah cenderung menaikkan konsumsi yang lebih besar dibandingkan golongan berpendapatan
tinggi; (ii) tiap kenaikan harga beras di pasar mengakibatkan penurunan konsumsi beras yang
lebih besar bagi penduduk kota yang berpendapatan tinggi dibanding dengan penduduk desa
yang relative memiliki cadangan makanan beraneka ragam dibandingkan penduduk kota.
Penelitian empiris lainnya membuktikan bahwa keterkaitan harga produksi pertanian di
tingkat konsumen dan di tingkat produsen (petani) bersifat asimetri (Simatupang, 1989 dalam
Jamal, E., et al. 2007). Ini berarti, peningkatan harga beras di tingkat konsumen ditransmisikan
tidak sempurna dan lambat ke harga gabah di tingkat petani, sedangkan penurunan harga beras di
tingkat konsumen ditransmisikan sempurna dan cepat ke harga gabah di tingkat petani.
Sebaliknya, peningkatan harga gabah di tingkat petani ditransmisikan dengan sempurna dan
cepat ke harga beras di tingkat konsumen, sedangkan penurunan harga gabah di tingkat petani
ditransmisikan dengan tidak sempurna dan lambat ke harga beras di tingkat konsumen. Dengan
demikian, fluktuasi harga beras atau gabah jangka pendek cenderung merugikan petani dan
konsumen, kalaupun ada, manfaat fluktuasi harga diraup oleh pedagang (Jamal, et al., 2007).
Penelitian ini menggunakan data primer di empat sentra produksi padi di Indonesia, yaitu
Provinsi Sumatera Barat, Jawa Barat, DI. Yogyakarta dan Sulawesi Selatan.
Penelitian ini lebih lanjut menyatakan bahwa dalam jangka pendek, kebijakan harga
maksimal dapat ditetapkan pemerintah sebesar 20 persen di atas HPP beras. Selain itu dapat
dilakukan operasi pasar dan impor hanya apabila diperlukan. Dalam jangka menengah dan
panjang, seyogyanya selisih harga di tingkat petani dan konsumen tidak lebih dari 25 persen.
Pada intinya, dapat dikatakan bahwa kebijakan harga beras yang diterapkan oleh pemerintah
lebih banyak menguntungkan konsumen daripada produsen, artinya kebijakan stabilisasi harga
yang diterapkan lebih banyak difokuskan pada stabilitas harga konsumen, terutama kaitannya
dengan inflasi. Sementara untuk harga gabah petani, seakan tidak ada pengaruhnya sama sekali.
Dari sisi ketahanan pangan, kebijakan harga beras yang ditetapkan pemerintah memiliki
manfaat yang cukup signifikan. Walaupun lebih condong pada kepentingan konsumen, namun
pada saat musim paceklik – dimana petani sebagai net konsumen, maka kebijakan yang
menjamin stabilitas harga akan berdampak positif.
Kebijakan harga dapat meredam fluktuasi harga yang tinggi. Oleh karenanya kebijakan
harga pertanian di negara-negara berkembang menjadi penting dan dapat memiliki dampak yang
luas. Namun demikian penerapan kebijakan harga ini seyogyanya memperhatikan rasio/nisbah
terhadap harga pangan lainnya atau harga relatif, karena untuk bahan pangan – yang merupakan
kebutuhan utama masyarakat luas – dapat menimbulkan dampak negatif apabila itu merupakan
pangan subsitusi maupun komplementer
PENUTUP

Kesimpulan
Untuk komoditas pangan utama (beras), karena keterkaitan harga produksi pertanian di
tingkat konsumen dan di tingkat produsen bersifat asimetri, maka dapat dikatakan bahwa
kebijakan harga beras yang diterapkan oleh pemerintah lebih banyak menguntungkan konsumen
daripada produsen, artinya kebijakan stabilisasi harga yang diterapkan lebih banyak difokuskan
pada stabilitas harga konsumen, terutama kaitannya dengan inflasi. Sementara untuk harga gabah
petani, seakan tidak ada pengaruhnya sama sekali, karena seringkali harga dasar atau harga
pembelian dari petani selalu lebih rendah dari harga pasar. Dari sisi ketahanan pangan, kebijakan
harga beras yang ditetapkan pemerintah memiliki manfaat yang cukup signifikan karena dapat
menjamin stabilitas harga dan menjamin stok yang cukup bagi masyarakat luas.
Untuk komoditas kedelai – yang sebagian besar pemenuhan permintaan dalam negerinya
dilakukan melalui impor, maka kebijakan harga di dalam negeri akan dipengaruhi fluktuasi harga
kedelai di pasar internasional. Oleh sebab itu ketika harga kedelai di pasar internasional
meningkat akibat persoalan kedelai di negara produsen, atau akibat kurs nilai tukar yang semakin
melemah; maka berdampak pada melambungnya harga kedelai di pasar dalam negeri. Produsen
pangan berbahan baku kedelai dan konsumen terkena dampaknya. Saat ini harga kedelai impor
cenderung naik, namun harga kedelai domestik di tingkat petani justru menurun. Hal ini harus
menjadi perhatian pemerintah karena kedelai adalah salah satu sumber protein nabati yang
bernilai ekonomis untuk pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat luas, terutama yang
berpendapatan menengah ke bawah.

Saran
Pemerintah sebagai penentu dan pengambil kebijakan harga seyogyanya memperhatikan
kepentingan dan kebutuhan semua pihak yang terlibat dalam mata rantai komoditas pangan
utama, mulai dari hulu sampai ke hilir, dari produsen sampai kepada konsumen akhir. Karena
kebijakan harga dapat menjadi instrumen yang efektif untuk mencapai tujuan ketahanan pangan
bagi masyarakat, apabila diterapkan dengan cermat dan tepat.
DAFTAR PUSTAKA

Alydrus, SE. 2015. Permasalahan Dan Kebijakan Di Bidang Pertanian melalui


http://syarifedrialydrus.blogspot.com/2015/04/permasalahan-dan-kebijakan-di-
bidang.html diakses 19 November 2018
Biro Pusat Statistik. 2015. Angka Ramalan I. Produksi Kedelai Tahun 2015. BPS, Jakarta,
Indonesia. www.bps.go.id.
Erwidodo. 2004. Analisis Harga Dasar Pembelian Gabah dan Tarif Impor Beras, dalam Kasryno,
F., Pasandaran, E., dan Fagi, A. M., editors. 2004. Ekonomi Padi dan Beras Indonesia,
Badan Litbang Pertanian, Jakarta. 606 hal.
Jamal, E., Ariningsih, E., Hendiarto, Noekman, K. M., Askin, A. 2007. Beras dan Jebakan
Kepentingan Jangka Pendek. Analisis Kebijakan Pertanian Vol.5, No.3, September 2007.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Lokollo, EM. 2015. Kebijakan Harga Serta Dampaknya Terhadap Ketahanan Pangan. Diakses
melalui www.litbangpertanian.go.id Pada 19 November 2018
Silalahi, E. P. 2011. Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditi Kedelai.
Timmer, C.P. 2003. Food Security and Rice Price Policy in Indonesia: The Economics and
Politics of the Food Price Dilemma, in Mew TW, Brar DS, Peng, S, Dawe, D, Hardy B,
editors. 2003. Rice Science: Innovations and Impact for Livelihood. Proceedings of the
International Rice Research Institute, Chinese Academy of Engineering, and Chinese
Academy of Agricultural Sciences. 1,022 p.

PEMERINTAH CARI JALAN ATASI TURUNNYA HARGA KOMODITAS PERKEBUNAN


Menghadapi turunnya beberapa komoditas perkebunan, terutama CPO juga kelapa
dan komoditas lain, pemerintah tidak tinggal diam. “Kami sedang memikirkan
berbagai cara untuk mengatasi masalah ini. Petani diminta kompak dan cerdas,
jangan sampai terpancing untuk melakukan demonstrasi yang pada akhirnya
pemerintah sibuk mengatasi demo dan bukan pada permasalahan pokoknya,” kata
Dirjen Perkebunan, Bambang.

Turunnya harga CPO yang berimbas pada harga TBS merupakan dampak dari
krisis global. Krisis yang terjadi sekarang beda dengan tahun 1998 yang turunnya
nilai rupiah diikuti kenaikan harga komoditas. Sekarang rupiah turun disertai
penurunan harga komoditas.
Dalam menghadapi situasi ini semua pihak harus kompak dan cerdas. Pemerintah
tidak akan pernah mengambil kebijakan mengatur harga komoditas perkebunan.
Petani juga jangan berpikiran suatu keputusan pemerintah akan serta merta
menaikkan harga.

“Saya berdiri paling depan untuk menjaga supaya harga komoditas perkebunan
jangan diatur pemerintah. Ketika harga kelapa mencapai Rp5000/butir banyak
instansi yang menyurati Ditjenbun supaya harga kelapa bisa ditentukan pemerintah.
Jawaban saya mekanisme pasar merupakan harga yang paling adil bagi petani
perkebunan,” katanya.

Karena tidak diatur maka petani kelapa bisa menikmati harga Rp5000 tetapi harus
sudah siap juga kalau harga Rp500. Harga cengkeh bisa Rp150.000/kg, harga lada
bisa Rp100.000/kg. “Kalau harga diproteksi pemerintah seperti pada padi dan
jagung maka petani tidak bisa menikmati harga sangat tinggi. Petani perkebunan
bisa menikmati harga sangat tinggi tetapi harus bersiap dengan harga rendah,”
katanya.

Salah satu penyebab turunnya harga CPO adalah posisinya sebagai pesaing
langsung minyak kedelai dan rapeseed yang diproduksi negara-negara Eropa,
sehingga akan terus dicari kejelekkannya. “Saya minta petani jangan mentang-
mentang sudah punya organisasi malah merencanakan demontrasi. Dalam tahun
politik seperti sekarang demonstrasi bisa-bisa tidak produktif karena hanya
dimanfaatkan kelompok-kelompok tertentu saja, akhirnya tidak memberikan manfaat
bagi banyak orang,” katanya.

Industri diminta jangan ikut-ikutan mengail di air keruh, dengan tidak mau membeli
tbs atau membeli dengan harga murah sekali. Dalam jangka pendek pemerintah
mungkin akan membangun tangki – tangki timbun di sentra produksi, sedang jangka
menangah dan pajangnya pelabuhan diperbanyak sehingga distribusi CPO bisa
lancar.

Harga Komoditi Perkebunan Turun, Pemerintah Perkuat Riset


Adhitya Himawan | Dian Kusumo Hapsari
Kamis, 02 Maret 2017 | 20:22 WIB
Sebuah truk mengangkut komoditi kelapa sawit di Ketapang, Kalimantan Barat [Suara.com/Adhitya Himawan]
Pemerintah akan meningkatkan faktor-faktor internal usaha perkebunan seperti meningkatkan produktivitas,
efisiensi dan nilai tambah.
Sektor perkebunan memiliki potensi dan kontribusi yang sangat besar terhadap negara. Hanya saja, harga
komoditas andalan perkebunan seperti crude palm oil (CPO) dan karet mengalami penurunan selama 5
tahun terakhir, walaupun pada pertengahan sampai dengan akhir tahun 2016 mulai menunjukkan adanya
perbaikan.
Di sisi lain harga input (cost) produksi meningkat. Kondisi tersebut seringkali dipersulit oleh kondisi iklim
yang tidak bersahabat seperti terjadinya El-Nino dan La-Nina sehingga berpengaruh terhadap produksi dan
produktivitas tanaman perkebunan.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan apabila situasi tersebut tidak
segera diatasi dan direspons, diperkirakan kondisi bisnis perkebunan nasional akan semakin berat.
“Akibat dari situasi sulit ini, maka tingkat keuntungan usaha perkebunan baik perkebunan negara maupun
swasta akan cenderung turun,” ungkapnya saat membuka Seminar dan Launching Penyelenggaraan World
Plantation Conferences and Exhibition (WPLACE) 2017, Kamis (2/3/2017), di Jakarta.

Hadir di antaranya Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Sri Adiningsih, Deputi Bidang Koordinasi
Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdhalifah Machmud, Direktur
Utama PT Riset Perkebunan Nusantara Teguh Wahyudi, perwakilan kementerian/lembaga terkait serta
direksi perusahaan dan anggota asosiasi komoditas perkebunan.

Mengatasi penurunan harga komoditi perkebunan, Menko Perekonomiaan menyatakan pemerintah akan
meningkatkan faktor-faktor internal usaha perkebunan seperti meningkatkan produktivitas, efisiensi dan
nilai tambah.
“Bukan hanya masalah tanaman, melainkan juga aspek pengelolaan SDM beserta tata nilai dan bud ayanya,
serta aspek manajemen dengan beragam sistem di dalamnya harus ditingkatkan,” tambah Darmin.

Selain itu, menurutnya, ilmu pengetahuan, pengetahuan dan inovasi menjadi faktor penyelamat untuk
mempertahankan bisnis dan usaha perkebunan. Dengan kata la in, kemajuan industri perkebunan dapat
dicapai secara sustainable (berkelanjutan) apabila ditunjang oleh lembaga riset yang kuat untuk
menghasilkan teknologi dan inovasi yang mendukung.

Menko Perekonomian mengaku, selama ini ketimpangan pada pelaku industr i perkebunan khususnya antara
korporasi dan pelaku usaha kecil dan menengah terjadi karena akses terhadap teknologi, pembiayaan,
pasar, sarana/prasarana dan kemampuan yang terbatas bahkan terjadi diskriminasi.

“Ketimpangan yang terjadi membuat ketidakadila n dalam hal aksesibilitas, penguasaan dan pemilikan
lahan, lemahnya rantai nilai di antara sektor usaha bahkan tidak meratanya kesempatan usaha termasuk
kemudahan akses terhadap kredit pengembangan perkebunan,” kata Darmin.

Oleh karenanya, pengembangan usaha kecil dan menengah melalui sinergi dengan perusahaan besar di sub
sektor perkebunan diharapkan terjadi dalam aktivitas investasi industri hilir perkebunan, off -take produk
hasil perkebunan, penjamin untuk kredit peremajaan perkebunan, fasilitasi penyedi aan benih unggul, dan
kemitraan sarana produksi, serta kerjasama penguatan Riset dan peningkatan kapasitas SDM.

Darmin juga berharap penyelenggaraan World Plantation Conferences and Exhibition (WPLACE) 2017,
yang akan diadakan pada tanggal 18-20 Oktober 2017 di Bali nantinya dapat menghasilkan langkah
terobosan pengembangan komoditas perkebunan unggulan di negeri ini.

“Kegiatan World Plantation Conferences and Exhibition 2017 diharapakan dapat menghasilkan rumusan
kebijakan yang dapat diimplementasikan bagi peningkatan pengembangan industri perkebunan domestik
khususnya untuk menciptakan sinergi pengembangan usaha kecil, menengah, dan korporasi,” tutur Darmin.

Musdhalifah Machmud menyatakan WPLACE 2017 ini merupakan momentum penting untuk menghasilkan
langkah terobosan bagi pengembangan komoditas utama perkebunan di negeri ini. “Kontribusi lintas K/L
dan stakeholder terkait dibutuhkan unuk menciptakan, tidak hanya langkah nyata pengembangan sektor
perkebunan, melainkan juga akselerasi pertumbuhan ekonom[

Jokowi Optimis Mampu Atasi Masalah Harga Sawit dan Karet


 Jokowi Optimis Mampu Atasi Masalah Harga Sawit dan Karet

 0

17 December
02:362018

1 2 3 4 5
0 Votes(0)
Print Artikel Dengarkan Audio

👤by arief rahman


KBRN, Jambi : Pemerintah pusat telah dan akan selalu mencari solusi dari problem penurunan harga komoditi perkebunan seperti
minyak kelapa sawit CPO, karet dan kelapa dalam yang belakangan menjadi keluhan mayoritas masyarakat di Sumatera beberapa
tahun terakhir.

Penegasan ini disampaikan calon presiden petahana Joko Widodo (Jokowi) di hadapan tiga ribu lebih pendukungnya pada Rapat
Kerja Daerah Tim Kampanye Koalisi Indonesia Kerja Provinsi Jambi, di Abadi Convention Center, Minggu, (16 /12/2018).

Dalam paparan hampir dua jam itu, Jokowi mengatakan segaja ingin menjelaskan hal tersebut agar masyarakat, khususnya di
Sumatera agar tahu langkah dan kebijakan yang telah tempuh pemerintah selama ini. untuk mengatasi penurunan harga-harga
komoditi perkebunan utama yang dipengaruhi kondisi pasar global.

“Kenapa di Sumatera ini kita turun, termasuk di Jambi ini, kita juga turun meskipun sedikit, di Riau juga turun, meskipun sedikit.
Kenapa ? Problemnya adalah karena harga komoditas itu turun semuanya. Harga minyak kelapa sawit CPO turun, harga karet
turun, harga kelapa turun. Turun semua, itu harga global, turun semuanya. Penyebabnya disitu, pemerintah tidak
mungkin menguasai pasar bebas_karena itu mekanisme pasar,“ ungkap Jokowi.

Calon presiden no urut 01 yang kala itu turut didampingi Ketua TKNnya Erick Thohir, Abdul Kadir Karding, dan Moeldoko lantas
menggambarkan soal sulitnya Indonesia mengekspor minyak kepala sawit di Uni Eropa (UE) yang disebutnya murni urusan bisnis.

Ia menuturkan, minyak kelapa sawit Indonesia di UE selama ini di band -diblok- karena Prancis memiliki bisnis serupa yang mirip-
mirip dengan minyak kelapa sawit yaitu minyak bunga matahari Untuk melindungi itu, (ekspor) minyak kelapa sawit Indonesia lantas
dipersulit.
“Ini sebenarnya murni urusan bisnis, Trus kita mau apa ?. Ya, kita kirim tim kesana bolak balik. Kita kemarin juga, saya ketemu PM
China juga_saya minta Indonesia (dapat) tambahan (kuota ekspor) untuk kelapa sawit, diberi 500 ribu ton, tapi nggak pengaruh.
Harganya belum pengaruh, sedikit sekali,“ kata Jokowi.

“Kita telah lakukan upaya-upaya itu. Jangan dipikir pemerintah itu nggak ngerti problem di Sumatera secara makro, problem di
Jambi secara makro. Ngerti, tapi mencari solusi, jalan keluarnya juga tidak mudah,” lanjutnya lagi.

Untuk itu, tidak hanya mengatasi persoalan persaingan dagang luar negeri, disaat yang sama, lewat kebijakan B 20 di dalam
negeri, pemerintah saat ini jelasnya mencoba mengurai masalah produksi minyak kelapa sawit CPO Indonesia yang disebutnya
sudah terlalu besar.
“Problemnya adalah produksi minyak kepala sawit CPO kita terlalu besar sekali. Kebun kelapa sawit kita sekarang 13 juta
ha, produksinya itu 42 juta ton. Bayangkan, itu kalau dinaikkan truk engkel itu 10 juta truk itu bayangkan, banyak sekali. Begitu ada
problem ekonomi global, kita kena imbas,” terang Jokowi.

Karenanya, pada saat menyerahkan 91 ribu hektar lahan tanah kepada petani di Jambi, ia pun mengaku talah berpesan agar lahan-
lahan yang dibagikan itu tidak lagi di tanami kelapa sawit, namun menggantinya dengan komiditi lain yang punya harga dan prospek
pasar yang bagus seperti kopi, kayu manis, manggis hingga jengkol dan pete.

“Tadi juga saya sampaikan, jengkol, pete, harganya naik terus, Jangan karena namanya pete, jengkol, yang penting kan harganya.
Kemudian manggis,. di Riau bagus sekali itu, Manggis itu permintaannya di Singapura, Taiwan, China, Hongkong dan Jepang
tinggi sekali, tapi barangnya nggak ada. Lha kita ini, semuanya kita tanami sawit semuanya, begitu harga sawit jatuh, ya sakit
semua,” ungkapnya lagi.

Untuk itu lanjut Jokowi, perlu ada strategi-strategi khusus untuk mengatasinya. Khusus untuk kelapa sawit pemerintah telah
menerapkan kebijakan B 20 sementara untuk karet diaplikasikan dengan aspal. Secara simultan, hal itu jelasnya menyasar pada
pengendalian pasokan – permintaan dan harga.

“Kita ini baru menyiapkan yang namanya B 20 agar sawit itu juga bisa juga di konsumsi dalam negeri dalam jumlah yang banyak
untuk solar - biodiesel. Tapi ini kan memerlukan waktu karena dulu-dulu hal ini mestinya sudah dibangun kalau kita mampu
produksi 42 juta ton. Kalau sudah B 20 nanti jalan, baru nanti yang namanya harga itu kita bisa mengatur demand dan supply,” ujar
Jokowi.
“Yang kedua karet, juga sama, Karet itu juga pasarnya pasar internasional, sulit kita mempengaruhi. Terus apa yang kita lakukan.
Kemarin saya sudah perintahkan kepada Menteri PU, sekarang aspal semuanya udah campur dengan karet supaya harga karet
bisa naik. Tapi juga perlu waktu karena memproduksi itu juga memerlukan pabrik,” tambahnya.

Kendati langkah yang ditempuhnya itu tidak mudah diwujudkan, Jokowi berharapp hal itu disosialisasikan kepada masyarakat apa
adanya, terlebih ia meyakini, jika kebijakan B 20 yang ditindaklanjuti dengan B 100 berjalan, maka pengendalian harga kelapa sawit
akan dapat dikelola pemerintah.

“Ini problem yang harus kita disampaikan apa adanya kepada masyarakat, dan memang tidak gampng tapi saya meyakini apabila
nanti B 20 kemudian melompat menjadi B 100, yang namanya kepala sawit itu, pengendalian harga akan kita pegang,” tutup
Jokowi.

Anda mungkin juga menyukai