Anda di halaman 1dari 6

Al-‘Ulum; Vol.

1, Tahun 2012 Minnah El Widdah, Pola …

POLA PIKIR DAN PENDIDIKAN yang secara lebih nyata telah menampakkan diri dalam bentuk penemuan-
penemuan peralatan teknologi dalam segala bidang kehidupan, mulai dari
Minnah El widdah peralatan rumah tangga, alat-alat kedokteran termasuk di dalamnya obat-
obatan, peralatan kantor, konstruksi bangunan, dan sebagainya hingga
Abstract peralatan bagi kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan
Setiap manusia baik sebagai individu atau sebagai teknologi, dan bahkan peralatan yang dapat berakibat pada kehancuran
kelompok masyarakat memiliki thought style (pola pikir) yang kehidupan manusia itu sendiri.
khas dan terkadang berbeda antara satu dengan lainnya. Selanjutnya hasil pemikiran manusia model pertama dalam
Kekhasan dan atau perbedaan-perbedaan pola pikir manusia perkembangan sejarahnya, secara sadar atau tidak, telah pula mengikat
ini terbentuk atau dipengaruhi oleh banyak faktor, yang manusia hingga terbelenggu dalam suatu pola hidup (life style), dan
kemudian juga menjiwai atau mewarnai aktifitas kehidupannya pandangan hidup tertentu yang pada gilirannya kemudian berpengaruh
termasuk mempengaruhi kegiatan pendidikan yang dilakukan.. pada “tindakan-tindakan” yang dilakukannya baik secara perorangan
Tulisan ini, sebagaimana tergambar dari judul di atas, maupun tindakan kolektif masyarakatnya. Dengan kata lain, dapat
mencoba mengangkat suatu diskursus filosofis tentang dua dikatakan bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan seseorang atau
model atau pola pemikiran (thought style) yang kemudian kelompok pada dasarnya merupakan gambaran dan manifestasi dari pola
mempengaruhi sistem dan kegiatan pendidikan. pikir (thought style)nya.
Tulisan ini, sebagaimana tergambar dari judul di atas,
Kata Kunci : Pola pikir, Model pendidikan mencoba mengangkat suatu diskursus filosofis tentang dua model
atau pola pemikiran (thought style) yang kemudian mempengaruhi
A. Pendahuluan sistem dan kegiatan pendidikan.
Pemikiran, sebagai hasil aktivitas akal, menempati posisi yang B. Pola Pemikiran (Thought Style)
sangat penting dan menentukan bagi kehidupan manusia dan Akal, sebagai potensi berpikir, yang dimiliki oleh manusia
bahkan bagi kelangsungan kehidupan di bumi pada umumnya. Hasil telah menjadikannya berbeda dari makhluk lain. Manusia tidak
pemikiran, yang berisi nilai-nilai, dapat digunakan manusia untuk hanya menjadi bagian dari alam, dan hidup diantara makhluk lain di
menentukan arah dan corak kehidupannya, selain itu hasil bumi, akan tetapi, dengan kemampuan berpikirnya, manusia
pemikiran juga dapat membantu manusia untuk bertahan hidup mampu menyadari kehidupannya, sehingga ia mampu mengarahkan
menyesuaikan diri dengan alam dan mengatasi keterbatasan proses hidupnya dan tidak hanyut dalam proses kehidupan
alamiahnya sehingga manusia mendapatkan kemudahan dalam alamiahnya semata. Dengan akalnya manusia berupaya memahami
memenuhi kebutuhannya. alamnya, memahami makna kehidupannya dan makna
Hasil kegiatan berpikir manusia ini pada dasarnya dapat keberadaanya diantara benda-benda alam dan makhluk hidup
dikelompokkan pada dua model. Model pertama; adalah pemikiran selain dirinya.
yang berkaitan dengan masalah sistem nilai, atau norma-norma Dengan pemikiran dan pemahamannya tentang alam,
tata kehidupan manusia, dan model kedua; adalah pemikiran yang kehidupan dan makna keberadaan dirinya tersebut, manusia
berkaitan dengan pengetahuan-pengetahuan teknis dan bersifat memiliki konsep-konsep tentang nilai-nilai dan pandangan dunia.
mekanistik. Dengan pikirannya manusia memiliki thought style.
Model pertama melahirkan suatu pengetahuan tentang pandangan Istilah thought style (pola pikir), dipopulerkan oleh Karl
hidup manusia (hukum-hukum tidak tertulis masyarakat seperti adat Mannheim dalam bukunya Ideology and Utopia (Fuad Baali dan Ali
istiadat dan sebagainya) dan undang-undang formal atau hukum tertulis Wardi, 1981; 22). Dalam bahasa aslinya yang digunakan Mannheim,
yang, secara langsung maupun tidak, mengatur manusia dalam menjalani pola pikir adalah denkstil, yang kemudian diterjemahkan ke dalam
kehidupan, baik kehidupan individual maupun sosialnya. Model kedua dari bahasa Inggris menjadi thought style, yang mempunyai arti
hasil kegiatan berpikir manusia melahirkan suatu pengetahuan teknologik kebahasaan sama yaitu pola pikir. Pola pikir yang dimaksud di sini
adalah prakonsepsi-prakonsepsi atau kategori-kategori yang

1 2
Al-‘Ulum; Vol. 1, Tahun 2012 Minnah El Widdah, Pola …

implisit, yang membentuk kerangka acuan atau perspektif, berat, karena hal itu, bagi mereka, dapat merusak ketentraman dan
darimana seseorang memandang dunia, yang kemudian cenderung kedamaian umum atau merusak tatanan sosial yang mereka anggap
menbentuk sikap mental, pandangan hidup atau falsafah hidup “sakral”. Sebaliknya kelas atau kelompok oposan memandang
(Fuad Baali; 22). revolusi sebagai suatu fenomena yang membawa rahmat atau suatu
Setiap manusia baik sebagai individu atau sebagai kelompok “tindakan Tuhan” untuk mengembalikan keadilan sosial hilang.
masyarakat memiliki thought style (pola pemikiran) yang khas dan Pemikiran manusia juga tidak dapat menghindar dari
terkadang berbeda antara satu dengan lainnya. Kekhasan dan atau kecenderungan emosional personalnya. Tidak ada manusia yang
perbedaan-perbedaan pola pikir manusia ini terbentuk atau benar benar dapat, secara seratus persen, menghindar dari
dipengaruhi oleh banyak faktor. Penulis, dalam artikel ini tidak kecenderungan atau keadaan emosionalnya. Bahkan Aristoteles,
akan membicarakan satu persatu faktor yang mempengaruhi yang sangat mempercayai kemampuan logikanya yang mutlak,
terbentuknya pola pikir ini, dengan alasan pertama bahwa mengakui pengaruh emosi atas pikiran manusia (Fuad Baali; 2-3).
pembahasan seperti itu tidak mungkin dilakukan pada penulisan Seseorang yang dasarnya suka atau tidak suka terhadap sesuatu,
artikel singkat seperti ini, alasan kedua bahwa fokus tulisan ini akan memiliki kesimpulan yang berbeda dalam menentukan sebuah
memang bukan ditujukan pada kajian tersebut. Sungguhpun pilihan atau penilaian.
demikian, demi sedikit melengkapi tulisan ini, penulis akan Akhirnya, Kekayaan informasi pengetahuan yang dimiliki
mencoba, secara singkat, membahas bagaimana pola pikir ini seseorang atau kelompok orang juga merupakan satu faktor yang
terbentuk dalam kehidupan manusia. sangat berpengaruh terhadap pola pikir. Seorang atau kelompok
Mengutip pemikiran Fuad Baali (1981; 2), secara garis besar, yang memiliki keluasan pengetahuan biasanya juga memiliki
terbentuknya pola pikir (thought style) manusia dipengaruhi oleh kesimpulan berbeda tentang suatu masalah dengan orang atau
tiga faktor utama yaitu: (1) Kultur, (2) Kedudukan sosial, dan (3) kelompok yang tidak berpengatahuan. Seorang sarjana tentu
Kecenderungan personal. Dalam hal ini penulis cenderung mempunyai pola pikir yang berbeda dengan orang yang hanya
menambah satu faktor lagi menjadi yang keempat, yang juga tidak berpendidikan rendah. Selanjutnya, pandangan atau pemahaman
bisa dikesampingkan yaitu (4) Kekayaan informasi pengetahuan. seseorang tentang realitas alam (pandangan dunia), pandangan
Manusia pada awalnya terpengaruh, dalam pemikirannya, tentang nilai-nilai dan sebaginya juga menentukan thought style
oleh sistem prakonsepsi dan nilai-nilai kultur yang tertanam dalam seseorang atau masyarakat.
benaknya sejak kanak-kanak disebabkan oleh pengaruh lingkungan Tampaknya manusia akan selalu terpenjara dalam empat
sosialnya. Prakonsepsi dan nilai-nilai ini tersembunyi dalam alam lingkaran konsentris. Apabila seseorang dapat terlepas dari
bawah sadar pikirannya. Manusia biasanya menerapkannya pada belenggu kondisi emosional pribadinya, dia masih akan dibatasi
obyek-obyek yang dilihatnya dan seringkali menganggapnya oleh belenggu kedua yaitu sikap-sikap kelas dan kedudukan
sebagai dasar-dasar hukum alam yang telah diterima secara umum. sosialnya. Dan kalau ia dapat terbebas dari kungkungan belenggu
Apabila seseorang atau sekelompok masyarakat menemukan atau kedua, dia barangkali dibatasi oleh belenggu ketiga yaitu
melihat nilai-nilai tertentu yang ada dalam masyarakat lain, yang kungkungan budayanya. Begitu seterusnya, yang kebanyakan
berbeda dengan nilai-nilai yang ada dalam kebudayaannya sendiri, kungkungan belenggu itu tidak disadari sehingga tidak bisa
biasanya ia akan merasa kagum atau sebaliknya akan menjadi dihindari.
marah dan tidak suka, karena ia menganggap nilai-nilai yang C. Idealisme dan Realisme
berbeda dengan nilai-nilai kebudayaannya tersebut keliru atau Istilah Idealisme dan Realisme yang dibicarakan dalam artikel
bahkan dianggapnya sebagai sebuah kejahatan yang besar. ini didefinisikan dari perspektif sosiologis, bukan filosofis. Ini pelu
Selanjutnya, pola pikir manusia juga selalu dipengaruhi oleh dijelaskan agar pembaca memilki pemahaman sesuai dengan apa
klasifikasi kelas kelompok dan pisisi sosialnya. Misalnya, kelompok yang penulis maksudkan dalam artikel ini.
masyarakat kelas atas (penguasa) biasanya memandang revolusi Orang biasanya lebih dahulu mengenal istilah ini dalam tradisi
atau gerakan sosial lainnya sebagai suatu tindak penyimpangan dan kajian filsafat ketimbang sosiologi. Dalam tradisi filsafat, ketika kita
bahkan dianggap sebuah kejahatan yang pelakunya harus dihukum membicarakan kedua istilah idealisme dan realisme, biasanya akan

3 4
Al-‘Ulum; Vol. 1, Tahun 2012 Minnah El Widdah, Pola …

dirujuk kepada dua tokoh besar filsafat Yunani abad klasik yakni pula bersifat transendental (di luar bendanya), akan tetapi
Plato dan muridnya Aristoteles (Titus, 1984; 315-331). Idealisme immanent atau di dalam bendanya (Ali Saifullah, 82).
dan realisme dalam filsafat, adalah suatu kajian yang ditujukan Untuk memperkuat teori hule-morphisme-nya ini, Aristoteles
untuk menyingkap atau untuk mengerti hakikat yang “ada”. mengemukakan juga teori kausalitas tentang kejadian alam, yang
Idealisme, yang mana Plato dianggap sebagai tokoh utama mana dikatakan bahwa alam terjadi berdasarkan rangkaian sebab
dan pertama, adalah suatu pandangan filsafat yang mengatakan yang berujung pada sebab pertama (causa prima) yaitu Tuhan.
bahwa hakikat yang ada ini bukanlah terletak pada alam yang Dalam hal kenyataan yang berubah, Aristoteles juga mengatakan,
tampak dan bisa diraba (alam empirik), karena alam empirik ini terjadi oleh berbagai sebab. Secara garis besar sebab-sebab ini
adalah merupakan manifestasi atau ekspresi dari suatu didefinisikannya menjadi empat sebab yaitu; Material cause,
“keberadaan” yang abadi dan absolut, yang bersifat spiritual formal cause, efficient cause, dan final cause (Louis O. Kattsoff,
(Nelson B. Henry, Ed. 1962; 139-140). Jadi realitas hakiki bagi aliran 1992; 57). Filosof muslim pertama, Al-Kindi, tampak juga
ini adalah realitas yang berada “di luar” realitas empirik, yang oleh terpengaruh oleh pemikiran ini, yang mana dalam hal sebab gerak
Plato disebut dengan istilah idea (alam idea) yang abadi dan tidak dan perubahan alam, ia juga mengemukakan empat sebab yatu;
mengalami perubahan. Sabab maddah, sabab shurah, sabab fa’ilah, dan sabab Tammiyah
Berbeda dengan idealisme, realisme (Aristoteles) memandang (Hasyimsyah Nasution, 2002; 21).
bahwa hakikat yang ada adalah alam yang tampak ini, yang jamak Istilah idealisme dan realisme dalam artikel ini tidak
dan beraneka ragam. Dengan kata lain bahwa alam empirik adalah dimaksudkan untuk dipahami dalam makna filosofis seperti
real adanya (Titus, 1984; 328-331), ia bukan bayang-bayang atau tersebut di atas, akan tetapi dipahami dalam perspektif sosiologis.
hanya sebuah manifestasi seperti yang dikatakan Plato. Secara populer ada dua tipe pola pikir manusia yang saling
Aristoteles menolak “idea transendental” dari Plato dengan bertentangan (Fuad Baali; 6), yakni kaum idealis di satu pihak dan
alasan bahwa : 1. Konsep “idea” sangat abstrak, sehingga sulit kaum realis pada pihak yang lain.
untuk dihubungkan dengan realitas empirik. 2. Konsep “idea” sifat Idealisme dalam kajian sosiologis adalah suatu sikap yang
statis dan kekal, karena itu tidak dapat digunakan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai moral, nilai-nilai estetika dan nilai-nilai
menerangkan gerak dan perubahan yang terjadi pada benda-benda relegius. Jadi, kaum idealis adalah orang-orang yang menerima dan
indifidual yang konkrit. 3. Bahwa “idea” adalah tiruan atau kopi hidup menurut standar-standar moral, estetika dan standar agama
dari benda dan bukan sebab dari bendanya. 4. “Idea” tidak lebih yang dianggap tinggi dan sakral (Titus, 1984; 316). Sedangkan
dari reduplikasi, tiruan yang tidak ada gunanya, dan tidak realisme adalah suatu pandangan atau sikap yang tunduk atau
menerangkan sesuatu apapun terhadap bendanya. 5. Tidak menjadi patuh kepada fakta, kepada apa yang terjadi, dan bukan kepada
jelas dengan mengatakan apa yang dimaksud bahwa sesuatu itu apa yang diharapkan atau diinginkan oleh nilai-nilai tertentu. Maka
adalah tiruan atau kopi dari “idea”. 6. Apabila kita mencari kaum realis adalah orang-orang yang patuh atau tunduk pada fakta
hubungan antara “idea” dan benda, maka berarti kita terjun ke atau realitas yang terjadi, yang dirasakan, dan bukan pada cita-cita
dalam regresi yang tidak akan berakhir atau tidak terbatas. 7. Teori moral atau cita-cita agama yang diinginkan (Titus, 1984; 328).
“idea” benar-benar memisahkan hakikat atau bentuk dari suatu Jadi pemaknaan istilah idealisme dan realisme dalam
benda dari bendanya itu sendiri (Ali Saifullah, tt; 81-82). perspektif sosiologis berbeda dengan filsafat. Perhatian filsafat
Untuk mengatasi kelemahan teori “idea transendental” Plato, lebih ditekankan pada pemahaman tentang apakah realitas asal
Aristoteles mengemukakan teori hule-morphisme yang mengatakan alam berupa “idea” ataukah materi, apakah kenyataan yang tampak
bahwa keseluruhan alam empirik ini real adanya, dan seluruh ini merupakan realitas yang sebenarnya, ataukah hanya merupakan
benda benda terdiri dari dua unsur yakni unsur yang tetap dan penampakan atau manifestasi dari sesuatu yang immateri dan
unsur yang berubah, yaitu unsur “hule” (materi, bendanya atau spiritual. Sementara secara sosiologis kedua istilah tersebut
bahannya), dan “morph” (bentuknya). Kedua unsur itu menbentuk dipahami sebagai sebuah pandangan atau sikap hidup, atau pola
kesatuan tak terpisah yang masing-masingnya bukan merupakan pikir (thought style) manusia dalam memahami hidup dan
bagian dari sesuatu, akan tetapi inherent dalam sesuatu itu, tidak kehidupannya, yang juga dapat dikatakan sebagai falsafah hidup.

5 6
Al-‘Ulum; Vol. 1, Tahun 2012 Minnah El Widdah, Pola …

D. Thought Style dan Pendidikan Manusia, baik sebagai individu maupun sebagai suatu
Pendidikan merupakan suatu fenomena khas kehidupan kelompok masyarakat hidup dalam sosio-budaya. Manusia
manusia. Pendidikan memiliki fungsi yang hakiki dalam menciptakan kebudayaan, membina dan mengembangkannya,
mempersiapkan sumber daya manusia dan akan menjadi aktor melestarikannya, serta hidup dalam warna atau corak
dalam menjalankan fungsi dari berbagai bidang kehidupan manusia. kebudayaannya sendiri.
Lebih dari itu bahkan Cohn (1979) mengemukakan bahwa Pendidikan, baik sebagai sebuah sistem maupun sebagai suatu
pendidikan sangat erat hubungannya dengan tingkat penghasilan proses, adalah juga merupakan salah satu bentuk kebudayaan
dan kesuksesan yang diraih seseorang. Karena pendidikan sebagai manusia. Oleh karena pemahaman manusia tentang dunia dan
salah satu bentuk investasi pembangunan sumber daya manusia, kehidupannya berbeda-beda, yang kemudian melahirkan sistem
yang telah memberikan keuntungan yang tidak hanya bagi individu nilai dan thouhgt style (pola pikir) yang berbeda, maka muncul
yang bersangkutan namun juga masyarakat dan bangsa pada pulalah keanekaragaman corak pendidikan dalam kehidupan
umumnya. Selain itu pendidikan juga telah memperlihatkan manusia, baik dalam sistem maupun tujuannya.
proporsi yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Tidak ada satupun kegiatan pendidikan yang terlepas dari
(Cohn,1979:163). sistem nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, karena hanya
Van Cleve Morris mengatakan, sebagaimana dikutip H.M dengan kegiatan pendidikanlah thouhgt style suatu kelompok
Arifin dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam (1994; 2-3), bahwa masyarakat dapat lestari, berkembang dan termanifestasikan dalam
pendidikan tidak semestinya hanya dipahami sebagai alat sosial kehidupan nyata.
untuk mengalihkan cara hidup secara menyeluruh kepada setiap Setiap kelompok masyarakat atau bangsa melaksanakan
generasi, akan tetapi juga harus dipahami sebagai agen perubahan aktifitas pendidikannya secara prinsipiil untuk menjaga dan
sosial untuk mencapai hari depan yang lebih baik. menanamkan nilai-nilai filosofis atau thouhgt style kelompoknya.
Hubungan antara manusia dan pendidikan adalah merupakan Suatu kelompok masyarakat beragama, komunitas muslim
hubungan antara subyek dengan aktifitasnya. Manusia sebagai misalnya, berupaya menanamkan dan bahkan upaya
subyek pendidikan, memiliki pandangan dunia dan pandangan mendakwahkan nilai-nilai agamanya melalui kegiatan pendidikan.
tentang nilai-nilai kehidupan yang kemudian membentuk suatu Secara historis pelembagaan Islam dalam bidang pendidikan
sistem kebudayaan dan peradabannya. Pemikiran yang menjadi memang bermula dari fungsi dakwah dan ta’lim dari masjid yang
sumber kebudayaan suatu kelompok manusia (masyarakat) selalu dulu sering disebut dengan langgar atau surau tempat dimana para
menjadi acuan bagi kesinambungan perjalanan sejarahnya, dan guru, da’i, Kiyai melakukan dakwah dan ta’lim, dan kemudian
cenderung selalu dilestarikan melalui proses pendidikan, baik melembaga menjadi pesantren (Abdurrahman Wahid, 1974),
pendidikan dalam maknanya yang umum maupun dalam Melaui penelusuran akar sejarah, sesungguhnya pendidikan
pengertiannya yang khusus. Islam tidak pernah berpisah dari dakwah yang menjadi tujuan
Kegiatan pendidikan adalah upaya membimbing dan utama dari seluruh gerakan keagamaan Islam di seluruh dunia.
mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan manusia kepada Berakar pada latar kesejarahan dimana pendidikan Islam berawal
tujuan tertentu. Karena pendidikan merupakan sebuah proses yang dari pelaksanaan dakwah, maka dunia pendidikan Islam yang
bertujuan, maka pendidikan adalah suatu kegiatan yang penuh sesungguhnya adalah bentuk riil upaya mentransfer doktrin agama
dengan muatan nilai-nilai, pandangan hidup dan cita-cita Islam menjadi nilai-nilai kongkrit etis bagi individu pemeluknya,
kemanusiaan. Pendidikan mengemban tugas dan fungsi untuk dan pewarisan nilai-nilai tersebut kepada generasi selanjutnya.
menyerap, mengolah dan menganalisa serta menjabarkan aspirasi Karena itulah maka sulit sekali bagi kegiatan pendidikan Islam
dan idealitas masyarakat, dan harus mampu mengalihkan aspirasi untuk membebaskan diri dari pemahaman-pemahaman keagamaan
dan idealitas masyarakat itu ke dalam jiwa generasi penerusnya baik yang bersifat lokalistik, parsial dan doktrinal, maupun rasional
(H.M Arifin, 1994; 3). Melalui perspektif inilah maka, secara (Affandi Mochtar ; 2001).
filosofis, kegiatan pendidikan dipahami sebagai upaya realisasi dari
ide-ide filsafat (M. Noor Syam,1988; 41,43).

7 8
Al-‘Ulum; Vol. 1, Tahun 2012 Minnah El Widdah, Pola …

E. Idealisme dan Realisme dalam Pendidikan bukan pada cita-cita moral atau cita-cita agama yang diinginkan.
Sebagaimana telah dipaparkan di atas, bahwa aktifitas Konsep dan tindakan pendidikan yang lahir dari kaum realis ini
pendidikan pada dasarnya merupakan upaya realisasi dari ide-ide biasanya bersifat dinamis, lebih menekankan pada progresivitas,
filsafat, dan aktivitas pendidikan merupakan kegiatan yang tidak dan lebih menyuarakan optimisme, serta tidak ingin terikat ketat
pernah bisa terlepas dari sistem nilai atau thouhgt style yang pada sistem nilai tertentu. Fokus tujuan pendidikan dari kaum
dianut subyeknya (manusia), maka Idealisme dan Realisme, sebagai realis adalah lebih kepada pengembangan potensi diri manusia
suatu thouhgt style, memiliki corak dan sistem pendidikan yang untuk mencapai kemajuan kebudayaan dan peradaban. Yang
khas, dan berbeda. termasuk dalam kelompok ini, dalam kajian filsafat pendidikan,
Kaum idealis adalah orang-orang yang menganut sistem nilai misalnya adalah progressivisme (M. Noor Syam, 1987; 225-248),
universal, yang cenderung mereka anggap mapan dan tidak dan eksistensialisme (Ali Saifullah, 157-165).
berubah. Karena itu penganut paham ini biasanya sulit menerima
adanya perubahan. Sistem dan aktifitas pendidikan kaum idealis, Wa Allah a’lam bi al shawab
sebagai orang yang menerima dan hidup menurut standar-standar
moral, estetika dan standar agama yang dianggap tinggi dan sakral,
mengacu pada upaya pelestarian nilai-nilai yang mereka anut. Daftar Pustaka
Pendidikan model ini biasanya bersifar konservatif dan memiliki
kecenderungan untuk terjebak pada regresi budaya dan peradaban Abdurrahman Wahid, (1974), Pesantren Sebagai Subkultur, dalam
serta bersifat jumud. M.Dawam Raharjo (ed), Pesantren dan Pembaharuan,
Kelompok masyarakat yang termasuk dalam tipe ini biasanya Jakarta : LP3ES,
adalah kaum Perennialis, Essensialis dan kelompok agamawan.
Affandi Mochtar, (2001), Dinamika Internal Kajian dan Pendidikan
Perennialis berpegang pada prinsip bahwa nilai nilai itu bersifat
Islam di Indonesia, dalam Husni Rahim, Arah Baru
universal, abadi, berlaku di waktu dan tempat manapun. Aliran ini
Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Logos Wacana
didasarkan pada pandangan ontologi bahwa Reality is universal,
Ilmu
that is every where and at every moment the same. Karena itu, bagi
perennialisme, pendidikan harus bersandar pada nilai-nilai abadi Ali Saifullah, HA., (tt), Antar Filsafat dan Pendidikan, Surabaya: Usaha
yang hidup terus di manapun dan kapanpun. Dalam kajian filsafat Nasional
pendidikan aliran ini dikenal dengan sikap regresifnya, yaitu
Cohn, E. (1979), The Econimics of Education. Cambridge, Massachusetts
regressive road to culture, khususnya nilai-nilai budaya abad
: Ballinger Publishing Company.
pertengahan (M. Noor Syam, 1988; 296-310). Essensialis adalah
kelompok masyarakat yang juga percaya pada nilai-nilai universal, Fuad Baali & Ali Wardi, (1989), Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam,
hanya saja sumber nilai universal yang dianut kaum ini berbeda (terj.) Mansuruddin & Ahmadie Thaha, Jakarta;
dengan kaum perennialis, dan aliran ini bersifat konservatif (M. Pustaka Firdaus, Cet. I.
Noor Syam, 1988; 260-266). Sementara kaum agamawan (meski Gunawan. H. Ari, (1986), Kebijakan-kebijakan di Indonesia, Jakarta:
tidak seluruhnya) juga cenderung terjebak pada sifat regresif atau Bina Aksara
konservatif tradisional karena mereka dipengaruhi oleh sikap
kehati-hatian dan menjaga kemurnian ajaran Tuhan, atau Hasyisyah Nasution, (2002), Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media
disebabkan karena pemahaman keagamaan yang tekstual. Pratama, Cet. III
Sedangkan realisme adalah suatu pandangan atau sikap yang Henry, Nelson B. (Ed.), (1962), Philosophies of Education, Chicago,
tunduk atau patuh kepada fakta, kepada apa yang terjadi, dan University Of Chicago Press, Cet. XVII
bukan kepada apa yang diharapkan atau diinginkan oleh nilai-nilai
tertentu. Maka, kaum realis berarti orang-orang yang patuh atau HM. Arifin, (1994), Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, Cet.
tunduk pada fakta atau realitas yang terjadi, yang dirasakan, dan IV

9 10
Al-‘Ulum; Vol. 1, Tahun 2012 Minnah El Widdah, Pola …

Kattsoff, Louis O, 1992, Pengantar Filsafat, Yogyakarta; Soejono KONSEP PENDIDIKAN ISLAM
Soemargono (Pent),Tiara Wacana Yogya, Cet. V.
DALAM MENGATASI KENAKALAN REMAJA
Titus, Harold H., (1984), Persoalan-Persoalan Filsafat, (terj.) HM.
Rasyidi, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. I Dra. Hasnidar Karim, M.Pd.I1
Muhammad Noor Syam, (1988), Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat
Pendidikan Pancasila, Surabaya: Usaha Nasional, Cet. Abstrak
IV Tujuan pendidikan yang diharapkan ialah membentuk kepribadian
seseorang menjadi insan kamil dengan pola taqwa kepada Allah
Siagian S. P, (1995), Teori Pengembangan dan Inovasi Kurikulum, SWT, dimana tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah
Jakarta: Grafindo Persada “Fitrah”yaitu dapat membembing manusia sejalan dengan
kejadiannya. Dan bertujuan untuk mendapatkan keselamatan dunia
dan akhirat. Dengan adanya pendidikan Islam maka diharapkan
menghasilkan manusia yang berkepribadian muslim yang berbuat
baik secara lahiriah maupun batiniah yang mampu mengabdikan
amal dan perbuatan untuk mencari keridhoan Allah SWT.

Kata Kunci : Pendidikan Islam Mengatasi Kenakalan Remaja

A. Pendahuluan.
Dalam ajaran Islam dijelaskan bahwa anak merupakan amanat dari
Allah SWT yang dititipkan kepada orang tuanya untuk dijaga, dibimbing,
dididik dan diarahkan sesuai dengan apa yang diamanatkan. Dalam
perkembangan informasi yang sangat pesat diera globalisasi saat ini
memberikan peluang kepada remaja untuk terlibat secara lansung dalam
suasana kehidupan global.Dengan tahap perkembangan remaja yang
masih mencari identitas diri,remaja dihadapkan pada berbagai alternative
pilihan yang tersedia ditengah lingkungan. Hal ini acap kali menjadi remaja
berada dalam posisi yang tidak mudah dan bimbang.
Untuk itu lajunya perkembangan arus imformasi dan teknologi secara
bersamaan,memberikan pengaruh pada perkembangan remaja sebagai
suatu masa “ krisis “ dalam pencarian identitas diri sebagai individu yang
utuh selain itu pula, berbagai sarana dan prasarana penunjang, seperti:
fasilitas alat komonikasi (Cetak maupun elektronik ), keberadaan orang
tua dan keluarga serta teman seusia. Dan seluruh komponen tersebut
mempengaruhi proses pembentukan identitas diri remaja oleh karena itu
sarana dan prasarana penunjang tersebut memiliki arti yang berbeda, pada
diri remaja lainnya.
Kemudian masa remaja sebagai masa “ peralihan “ dari masa anak-
anak ke remaja, berarti mereka sedang mengalami perobahan-perobahan

1
. Dosen Fakultas Tetap Tarbiyah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi

11 12

Anda mungkin juga menyukai