Anda di halaman 1dari 9

Metode Praktikum

Alat-alat yang digunakan ialah gelas piala, pipet mohr, bulb merah, bulb hitam, pipet tetes,
corong, erlenmeyer, statip, kaca arloji, neraca analitik, alat refluks, alat sokhlet, gelas ukur, sudip,
batang pengaduk, labu takar, buret, spektrofotometri UV-VIS dan tabung reaksi.
Bahan-bahan yang digunakan ialah sampel tepung talas HM (Home made) dan tepung talas
komersil, air destilata, larutan tiosulfat, pati atau amilum, larutan NaOH, larutan pereaksi Luff-
Schrool, larutan HCl, larutan asam sulfat, larutan KI, serbuk KIO3, larutan etanol, larutan asam
asetat, dan larutan iodium.
Metode Loof-schrool dilakukan dengan sampel tepung talas ditimbang sebanyak 1.00 gram
lalu di tambahkan 200 mL HCl 3%, dan di tetesi indikator penoftalein, kemudian dihidrulisis
dengan cara refluks selama 2.5 jam. Setelah 2.5 jam hidrat dibiarkan dingin pada suhu kamar.
Lalu di tambahakan NaOH 40%. Sebanyak 10 mL sampel di pipet ke dalam Erlenmeyer, lalu
ditambahka 15 mL aquades dan 25 mL pereaksi luff-schrool, selanjutnya larutan dididihkan
selama 10 menit. Campuran di dinginkan pada suhu kamar, lalu ditambahkan H2SO4 25%
sebanyak 25 mL dan 10 mL larutan KI 20%. Campuran kemudian dititrasi dengan Na2S2O3 0.1 N
sampai larutan berwarna kuning muda lalu di tetesi kanji 1% dan dititrasi kembali sampai warna
biru pada larutan hilang. Titrasi sampel dilakukan triplo.
Standardisari larutan Na2S2O3 0.1 N dilakukan dengan cara sebanyak 0.500 gram padatan
KIO3 ditimbang ke dalam gelas piala lalu ditarutkan dengan akuades. Larutan dimasukkan kedalam
labu takar 100 mL dan ditambahkan akuades sampai batas tera. Larutan dipipet sebanyak 25 mL
kedalam erlenmeyer lalu ditambahkan 10 mL KI 20% dan 25 mL HCl 4 N. campuran dititrasi
dengan Na2S2O3 0.1 N sampai larutan berwarna kuning muda lalu larutan ditambahkan kanji 1%
dan dititrasi kembali dari larutan berwarna biru sampai warna biru pada larutan tepat hilang.
Titrasi dilakukan triplo.
Metode pengikatan iodin dilakukan dengan cara sampel tepung talas di timbang sebanyak
0.100 gram dalam tabung reaksi lalu ditambahkan 1 mL etanol dan 9 mL NaOH 1 N. campuran
dipanaskan di penangas air selama 30 menit sampai terbentuk gel lalu di saring dan dipindahkan
ke dalam labu takar 100 mL dan ditambahkan akuades sampai batas tera. Larutan kemudian dipipet
5 mL kedalam labu takar 100 mL lalu ditambahkan 1 mL asam asetat 1 N dan 2 mL larutan iodin
0.2%, kemudian di tera dengan akuades sampai batas tera. Campuran dibiarkan selama 30 menit
agar warna biru yang terbentuk stabil. Larutan standar amilosa dibuat dalam konsentrasi 0.1 ; 0.3
; 0.5 ; 0.7 ; 0.9 ; 1.1 ; dan 1.3 %b/v dalam labu takar 100 mL. larutn standard an sampel diukur
dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm.
PEMBAHASAN

Karbohidrat berasal dari pengertian atom karbon yang terhidrasi dengan rumus (CH2O)n.
Tetapi pengertian ini sebenarnya sudah tidak tepat lagi karena banyak senyawa karbohidrat yang
tidak mengandung atom hidrogen dan oksigen dengan perbandingan 2:1, misalnya gula
deoksiribosa yang mempunyai rumus C5H10O4. Disamping itu banyak pula karbohidrat yang
mengandung atom lain seperti nitrogen, sulfur dan lain-lain yang menunjukkan tidak sesuainya
dengan rumus karbohidrat tersebut. Walaupun demikian, nama karbohidrat ini sampai sekarang
masih terus dipergunakan (Girindra 1990). Karbohidrat adalah salah satu dari kelompok organic
senyawa yang meliputi gula, pati, selulosa, dan gusi. Ini berfungsi sebagai sumber energi utama
dalam makanan (Anyika et al 2012).
Gula reduksi adalah gula yang mempunyai kemampuan untuk mereduksi. Hal ini
dikarenakan adanya gugus aldehid atau keton bebas. Senyawa-senyawa yang mengoksidasi atau
bersifat reduktor adalah logam-logam oksidator seperti Cu (II). Contoh gula yang termasuk gula
reduksi adalah glukosa, manosa, fruktosa, laktosa, maltosa, dan lain-lain. monosakarida yang
mempunyai kemampuan untuk mereduksi suatu senyawa. Sifat pereduksi dari suatu gula
ditentukan oleh ada tidaknya gugus hidroksil bebas yang reaktif. Prinsip analisanya berdasarkan
pada monosakarida yang memiliki kemampuan untuk mereduksi suatu senyawa. Adanya
polimerisasi monosakarida mempengaruhi sifat mereduksinya. (Khopkar 1999).
Uji karbohidrat yang resmi ditetapkan oleh BSN dalam SNI 01-2891- 1992 yaitu analisis
total karbohidrat dengan menggunakan metode Luff Schoorl. Uji karnohidrat pada tahun 1936,
International Commission for Uniform Methods of Sugar Analysis mempertimbangkan metode
Luff Schoorl sebagai salah satu metode yang digunakan untuk menstandarkan analisis gula
pereduksi karena metode Luff Schoorl saat itu menjadi metode yang resmi dipakai di pulau Jawa.
Seluruh senyawa karbohidrat yang ada dipecah menjadi gula-gula sederhana (monosakarida)
dengan bantuan asam, yaitu HCl, dan panas. Monosakarida yang terbentuk kemudian dianalisis
dengan metode LuffSchoorl. Prinsip analisis dengan metode Luff-Schoorl yaitu reduksi Cu2+
menjadi Cu1+ oleh monosakarida. Monosakarida bebas akan mereduksi larutan basa dari garam
logam menjadi bentuk oksida atau bentuk bebasnya. Kelebihan Cu2+ yang tidak tereduksi
kemudian dikuantifikasi dengan titrasi iodometri (SNI 01-2891-1992).
Berikut merupakan hasil yang diperoleh dalam penentuan kadar karbohidrat pada sampel
tepung talas yang dapat di lihat pada Tabel 1
Tabel 1 Haasil percobaan kadar karbohidrat dalam tepung talas

Kadar (%)
Sampel
Amilosa Pati Amilopektin
Tepung Talas 1.157 21.96 20.81

Banyak cara yang digunakan untuk menentukan analisis kadar karbohidrat (glukosa) baik
secara kimiawi maupun fisik. Namun, dalam percobaan analisis karbohidrat dilakukan dengan
menggunakan cara kimiawi yaitu metode Luff-Schrool dan metode pengikatan iodin. Metode
Luff-Schrool ditentukan dengan menentukan kuprioksida dalam larutan sebelum direaksikan
dengan gula pereduksi (titrasi blanko) dan sesuda direaksikan dengan sampel gula pereduksi
(titrasi sampel). Penentuan titrasi dengan menggunakan larutan Na2S2O3. Oleh karena itu, sebelum
dilakukan analisis kadar glukosa dengan menggunakan metode ini dilakukan standardisasi
Na2S2O3 terlebih dahulu. Standardisasi Na2S2O3 ini dilakukan karena Na2S2O3 dapat dengan
mudah diperoleh dalam keadaan kemurnian yang tinggi, namun selalu ada sedikit kesalahan karena
sifat dari Na2S2O3 yang tidak stabil sehingga tidak dapat dijadikan sebagai larutan baku standar
primer.
Standardisasi Na2S2O3 dilakukan dengan menggunakan padatan KIO3 sebagai larutan
standar primer. Larutan Na2S2O3 sebelum digunakan sebagai larutan standar dalam proses
iodometri maka distandarkan terlebih dahulu oleh KI 20% yang merupakan standar primer. KI
20% ini ditambahkan dengan HCl 4N yang menyebabkan warna larutan menjadi coklat kehitaman.
Fungsi penambahan HCl 4N ini memberikan suasana asam karena larutan KI memiliki keasaman
yang rendah. Reaksi yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 1.

IO3- + 5I- + 6H+  3I2 + 3H2O


Gambar 1 Reaksi reduksi iodin
Indikator yang digunakan dalam proses standardisasi ini adalah amilum (kanji).
Penambahan amilum dilakukan saat mendekati titik akhir titrasi. Hal ini dikarenakan agar amilum
tidak membungkus iod karena akan menyebabkan amilum sulit dititrasi untuk kembali ke senyawa
semula. Proses titrasi harus dilakukan secepat mungkin karena sifat I2 yang mudah menguap. Pada
titik akhir titrasi iod yang terikat juga hilang bereaksi dengan Na2S2O3 sehingga warna biru tua
yang dihasilkan tepat hilang. Penggunaan indikator amilum dapat memperjelas perubahan warna
larutan yang terjadi saat titik akhir titrasi. Konsentrasi natrium Tiosulfat yang diperoleh dalam
percobaan yaitu sebesar 0.1487 N.
Metode Loof-schrool dilakukan dengan penimbang sampel 1.00 gr lalu di tambahkan HCl,
penambaan HCl untuk menghidrolisis karbohidrat, polimer karbohidrat sulit untuk bereaksi
sehingga dengan penambahan asam, polimer akan terpecah menjadi monomer-monomer yang
akan lebih mudah untuk bereaksi dengan senyawa lain. Hidrolisis pada sampel dapat memisahkan
karbohidrat dalam sampel. Selanjutnya di tetesi indikator fenoftalein untuk mengetahui titik akhir
dan ph. Selanjutnya sampel dilakukan refluks. Refluks berfungsi untuk jumlah komponen tidak
berkurang karena air dan asam dalam sampel tidak menguap. Hidrat yang dihasilkan pada proses
refluks dibiarkan mendingin pada suhu kamar. Lalu di tambahakan dengan larutan NaOH 40%
untuk menetralkan sampel tersebut. Suspensi dinetralkan karena pH mempengaruhi volume titrasi
yang dihasilkan. Jika pH asam, maka hasil titrasi akan lebih tinggi dari sebenarnya karena
terjadinya reaksi oksidasi Iod menjadi I2 begitu sebaliknya jika pH basa hasil titrasi akan lebih
rendah dari sebenarnya karena terjadinya reaksi I2 yang terbentuk dengan air (Ifmaily 2018). Uji
ph netral dilakukan dengan indikator universal, Sebanyak 10 mL sampel di pipet ke Erlenmeyer,
lalu ditambahka 15 mL aquades dan 25 mL pereaksi luff-schrool. Pereaksi Luff-Schoorl dibuat
dengan melarutkan 143,8 gram Na2CO3 anhidrat dalam 300 mL akuades sambil diaduk kemudian
ditambahkan 50 gram asam sitrat (C6H8O7) yang telah dilarutkan dengan 50 mL akuades kemudian
ditambahkan sebanyak 25 gram CuSO4.5H2O (Sesetyo 2016). Larutan luff schrool akan bereaksi
dengan sample yang mengandung gula pereduksi. Berikut reaksi yang terjadi dapat dilihat pada
Gambar 2.
R – COH + CuO Cu2O + R – COOH
Gambar 2 Reaksi larutan luff school dengan sampel
Campuran tersebut ditambahkan batu didih untuk mencegah terjadinya letupan (bumping).
Proses pemanasan, diusahakan larutan mendidih dalam waktu 3 menit dan biarkan mendidih
selama 10 menit, hal ini dimaksudkan agar proses reduksi berjalan sempurna, dan Cu dapat
tereduksi dalam waktu kurang lebih 10 menit. Agar tidak terjadi pengendapan seluruh Cu3+ yang
tereduksi menjadi Cu+ sehingga tidak ada kelebihan Cu2+ yang dititrasi maka larutan harus
mendidih atau diusahakan mendidih dalam waktu 3 menit. Campuran tersebut kemudian
didinginkan dalam bak yang berisi es. Agar pendinginan berlangsung cepat, maka pendinginan
dengan es perlu dilakukan. Setelah campuran dingin kemudian ditambahkan 15 ml Kalium Iodida
( KI ) 20% dan 25 ml H2SO4 25%. Zat KI berfungsi untuk mereduksi kelebihan CuO sehingga I2
terlepas dan H2SO4 berfungsi untuk mengikat ion Cu yang terbentuk dan hasil reduksi
monosakarida dan perekasi luff schoorl dan juga untuk mengasamkan larutan uji karena Na2S2O3
sebagai larutan standar akan tereduksi secara parsial menjadi sulfat setelah dilakukan pengasaman
(Ifmaily 2018).
Reaksi tersebut ditandai dengan timbulnya buih dan warna larutan menjadi coklat. Larutan
tersebut kemudian dititrasi cepat dengan menggunakan larutan tio sulfat (Na2S2O3) 0,1 N. titrasi
cepat dilakukan untuk menghindari penguapan KI. Indikator yang dipergunakan adalah amilum.
Penambahan indikator amilum dilakukan setelah campuran mendekati titik akhir, hal ini dilakukan
karena apabila dilakukan pada awal titrasi maka amilum dapat membungkus iod dan
mengakibatkan warna titik akhir menjadi tidak terlihat tajam.
Kadar glukosa dalam sampel tepung talas dilakukan secara Iodometri, yaitu larutan sampel
yang telah direaksikan dengan pereaksi Luff-Schoorl dititrasi dengan larutan Na2S2O3, yang telah
dibakukan dengan KIO3. Selisih volume Na2S2O3 pada titrasi blanko dengan volume Na2S2O3 pada
titrasi sampel adalah volume titran Na2S2O3 yang digunakan untuk menghitung kadar glukosa
dalam sampel sebagai gula pereduksi, dengan cara konversi menjadi berat menggunakan tabel
LuffSchoorl.
Penentuan kadar gula pereduksi dilakukan dengan metode Luff Shcrool. Metode Luff
Schoorl didasarkan pada proses reduksi dari ion Cu2+ menjadi ion Cu+ oleh gula pada madu.
Larutan Luff Schoorl mengandung ion Cu2+. Gula pereduksi seperti glukosa dan fruktosa akan
mereduksi CuO menjadi Cu2O (SNI 2004). Menurut Harjadi (1992) tahapan reaksi yang terjadi
pada penetapan kadar gula dengan metode Luff Schoorl adalah sebagai berikut:
R-CHO + 2CuO → Cu2O + R-COOH
H2SO4 + CuO → CuSO4 + H2O
CuSO4 + 2 KI → CuI2 + K2SO4
2 CuI2 → Cu2I2 + I2
I2 + 2 Na2S2O3 → Na2S4O6 + 2 NaI
Gambar 3 Reaksi metode luff- school
(Wulandari 2017)

Berdasarkan hasil percobaan persen gula pereduksi dengan metode luff- school yang
didapatkan dari tepung talas sebesar 24.4% kadar tersebut berada dibawah batas minimal kadar
gula pereduksi pada tepung talas yaitu sebesar 83.33% . sedangkan kadar pati yang di peroleh
dalam percobaan yaitu sebesar 21.96% kadar tersebut berada dibawah batar minimal kadar pati
pada tepung talas menurut SNI 01-2891- 1992 sekitar 75% (Ali et al 2016). Kadar pati yang
dihasilkan pun tergantung pada kadar gula pereduksi yang didapatkan, dimana semakin besar
kadar gula pereduksi dalam sampel maka komponen pati yang terdapat dalam sampel akan
semakin besar. Hal ini dikarenakan pati merupakan komponen utama dari karbohidrat. Namun
menurut Onwueme (1978), talas mengandung karbohidrat sekitar 13-29% dengan komponen
utama pati sekitar 77.9%. Apabila dibandingkan dengan hasil percobaan, pada percobaan
didapatkan kadar gula pereduksi maupun komponen pati yang sangat rendah. Seperti yang telah
dijelaskan pada sebelumnya, hal ini bergantung pada proses pembuatan tepung talas dan pengaruh
suhu yang dapat mempengaruhi kadar gula pereduksi maupun kadar pati.

Analisis karbohidrat juga dapat dilakukan dengan metode pengikatan iodin. Metode ini
digunakan untuk memisahkan amilum atau pati yang terkandung dalam sampel (Manatar et al.
2012). Pati merupakan salah satu jenis karbohidrat yang banyak terdapat di alam, dan dapat
diperoleh dari berbagai bagian tubuh tanaman seperti biji, akar, batang maupun sereal. Pati
termasuk suatu biopolimer semikristalin berupa polisakharida yang terbentuk dari unit-unit
glukosa yang berikatan dengan ikatan glikosida. Secara spesifik, ikatan glikosida dalam pati adalah
(1-4)-glikosida, yaitu suatu ikatan kovalen yang menggabungkan 2 molekul monosakharida.
Berdasarkan dari sumber tanamannya, pati mengandung 20-25% amilosa dan 75-80%
amilopektin. Amilosa merupakan rantai linier primer dari unit D-glukosa yang dihubungkan oleh
ikatan  (1-4)-. Sedangkan amilopektin adalah polimer dari unit glukosa yang bercabang, yang
dihubungkan dengan ikatan glikosida -D-(1-4)- dengan cabang -D-(1-6) yang terbentuk setiap
24-30 unit glukosa (Aryanti et al. 2017).
Metode diawali dengan penambahan etanol yang digunakan untuk melarutkan sampel,
sedangkan penambahan NaOH berfungsi untuk memberikan suasana basa. Pemanasan dilakukan
sampai suhu 100oC agar pati mengalami proses gelatinisasi sehingga granula pati rusak dan
amilosa dilepaskan dari granula ke dalam larutan. Proses gelatinisasi terjadi pengrusakan ikatan
hidrogen intermolekul. Ikatan hidrogen ini berfungsi untuk mempertahankan struktur integritas
granula. Terdapatnya gugus hidroksil yang bebas akan menyerap molekul air, sehingga selanjutnya
terjadi pembengkakan granula pati. Sampel kemudian ditambahkan dengan CH3COOH yang
berfungsi menurunkan pH amilum sehingga menyebabkan larutan bersifat asam. Penambahan
iodin akan membentuk kompleks pati dan iodium yang berwarna biru dan dapat ditentukan
konsentrasinya dengan menggunakan spektrofotometer. Perubahan warna larutan terjadi karena
dalam larutan pati terdapat unit-unit glukosa yang membentuk rantai heliks karena adanya ikatan
dengan konfigurasi pada tiap unit glukosanya. Bentuk ini yang menyebabkan pati dapat
membentuk kompleks dengan molekul iodin yang dapat masuk kedalam spiralnya (Lapu dan
Telussa 2013). Campuran tersebut kemudian didiamkan selama 30 menit agar reaksi antara
amilum dengan iod dapat berjalan secara sempurna dan akan terbetuk warna yang dapat
menunjukkan jumlah karbohidrat yang terdapat di dalam sampel talas tersebut. Intensitas warna
yang terbentuk dibaca serapannya dengan menggunakan instumen spektrofotometer Sinar Tampak
pada panjang gelombang 620 nm. Kurva standar amilum yang dihasilkan dapat dilihat pada
Gambar (sesuakan ya fik)
Kurva Standar
0.3
y = 0.2146x - 0.0068
0.25 R² = 0.9755
Absorban sampel
0.2

0.15
Series1
0.1 Linear (Series1)

0.05

0
0 0.5 1 1.5
Konsentrasi Sampel (%b/v)

Gambar 4 Kurva standar amilosa


Kurva standar diatas Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa persamaan garis yang
diperoleh adalah Y = y = 0,2146x - 0,0068 dengan koefisien determinasi (r2) = 0.9755. Persamaan
garis yang diperoleh menujukkan kelinieran yang kurang baik. Hal ini dikarenakan nilai koefisein
determinasi yang dihasilkan <0.98. Namun, absorban yang dihasilkan telah sesuai secara teori
yaitu semakin tinggi konsentrasi maka absorban yang dihasilkan akan semakin besar. Persamaan
garis yang diperoleh berdasarkan percobaan tersebut dapat digunakan untuk menentukan kadar
atau konsentrasi karbohidrat dalam sampel talas
Hasil percobaan diperoleh kadar amilosa di dalam sampel tepung talas yaitu 1.157%,
sedangkan kadar amilopektin di dalam sampel tepung talas yaitu 20.81%. Kadar amilopektin ini
diperoleh dari selisih antara kadar pati dan kadar amilosa. Standar mutu amilosa dan amilopektin
dalam tepung talas yaitu minimal 3,57% dan 71,43% (Ali et al. 2016). Hasil ini menujukkan kadar
amilosa dan amilopektin berada jauh di bawah nilai standar mutu. Hal tersebut dapat disebabkan
oleh proses gelatinisasi yang tidak berjalan sempurna sehingga amilosa dari granul belum
sepenuhnya dilepaskan ke dalam larutan.
Hasil percobaan yang dilakukan menunjukkan bahwa kadar karbohidrat pada tepung talas
tidak menunjukkan hasil yang sesuai berdasarkan teori karena kadarnya berada dibawah batas
maksimum kadar karbohidrat dalam tepung talas. Adanya kesalahan ini dapat disebabkan oleh
banyak faktor, misalnya pada larutan deret standar yang dibuat. Secara visual dapat dilihat
perbedaan intensitas warna yang terbentuk antara larutan standar dengan larutan sampel. Larutan
standar berwarna biru yang lebih muda, sedangkan larutan sampel berwarna biru pekat. Warna
tersebut akan berpengaruh terhadap serapan yang terukur pada instrument spektrofotometer. Pati
yang berikatan dengan (I2) akan menghasilkan warna biru. Sifat ini dapat digunakan untuk
menganalisis adanya pati. Hal ini disebabkan oleh struktur molekul iodin dan terbentuklah warna
bitu. Apabila pati dipanaskan, spiral merenggang, molekul-molekul iodin terlepas sehingga warna
biru menghilang. Amilosa dengan iodin akan berwarna biru, amilopektin dengan iodin akan
berwarna merah violet, glikogen maupun dekstrin dengan iodin akan berwarna merah coklat
(Poedjiadi dan Supriyanti 2007). Amilosa merupakan bahan yang menyusun sekitar 20% dari pati,
unit glukosa (50-300) membentuk rantai sinambung, dengan tautan-1,4 (Hart Harold 2003).
Ali A, Wani TA, Wani IA, Masodi FA. 2016. Comparative study of the physico-chemical
properties of rice and corn starches grown in Indian temperate climate. Journal of the Saudi
Society of Agricultural Sciences. 15(2): 75-82.

Anyika LC, Okonkwo SI, Ejike EN. 2012. Comparative analysis of monosaccharide and
disaccharide using different instrument refactometer and polarimeter. International Journal of
Research in Chemistry and Environment. 2(4) : 270-274.

Aryanti N, Kusumastuti YA, Rahmawati W. 2017. Pati talas (Colocasia esculenta (L.) Schott)
sebagai alternatif sumber pati industri. Jurnal Momentum.13(1): 46-52.
Badan Standardisasi Nasional. (1992), SNI 01-2892-1992: Cara Uji Gula. Jakarta.
Girindra, A. 1990. Biokimia 1. Cetakan ke-2. Jakarta: PT Gramedia
Harjadi, 1992, Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta (ID): UI Press.
Hart Harold et al. 2003. Kimia Organik. Suminar Setiati Achmadi, penerjemah; Jakarta (ID):
Erlangga. Terjemahan dari: Organic Chemistry.

Ifmaily. 2018. Penetapan kadar pati buah sukun (Artocarpus altilis L) dengan metode Luff
Schoorl. Chempublish Journal. 3(1).
Lapu P, Telussa I. 2013. Analisis kandungan pati resisten dari beberapa jenis pati sagu di Maluku
dengan variasi suhu pemanasan. Journal of Chemistry. 1(4):6-14
Manatar JE, Pontoh J, Runtuwene MJ. 2012. Analisis kandungan pati dalam batang tanaman aren
(Arenga pinnata). Jurnal Ilmiah dan Sains. 12(2): 89-92.
Onwueme IC. 1994. The Tropical Tubers Crops, Yams, Cassava, Sweet Potato, and
Cocoyams. New York (USA) : John Wiley and Chisester.

Poedjiadi, Supriyanti. 2007. Dasar-dasar Biokimia. Jakarta (ID): UI Press

Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 01-3545-2004 tahun 2004 tentang Madu
Susetyo, YA. Hartini S. Cahyani MN. 2016. Optimasi Kandungan Gizi Tepung Ubi jalar
(Ipomoea batatas L ) Terfermentasi Ditinjau dari dosis Penambahan Inokulum
Angkak Serta Aplikasinya dalam pembuatan mie basah. Jurnal aplikasi teknologi
pangan. 5(3).56-64.
Wulandari,DD. 2017. Kualitatif Madu (Keasaman,kadar air,dan Kadar Gula Pereduksi)
Berdasarkan Perbedaan Suhu Penyimpanan. Jurnal kimia riset. 2(1): 16-22.

LAMPIRAN

Tabel Data Standardisasi Na2S2O3


Ulangan Volume (mL) Konsentrasi (N)
awal akhir terpakai
1 0.00 23.55 23.55 0.1487
2 23.55 47.05 23.50 0.1489
3 0.50 23.95 23.45 0.1493
Rata-Rata 0.1489

Contoh Perhitungan;
𝑚𝑔 𝐾𝐼𝑂3 500
N Na2S2O3 = 𝑣 𝑥 𝐹𝑃 𝑥 35.7 = 100 = 0.1487 N
23.55 𝑥 𝑥 35.7
25

Tabel Data Metode Loofschrool


Bobot Sampel = 1.00 gr
Ulangan Volume (mL)
awal akhir Terpakai Na2S2O3
Blanko 0.60 11.60 11.00
Sampel 1 11.60 19.25 7.65 4.9881
Sampel 2 19.25 27.50 8.25 4.0975
Sampel 3 27.55 35.15 7.60 5.0626
Rata-rata 4.7039

Contoh perhitungan :
(𝑏 𝑚𝐿−𝑎 𝑚𝐿 ) 𝑥 𝑁𝑡𝑖𝑜
mL tio = 0.1
(11.00−07.65) 𝑥 0.1489
= = 4.9881 mL ≈ 5.00 mL
0.1
𝑚𝑔 𝑔𝑙𝑢𝑘𝑜𝑠𝑎 𝑥 𝑓𝑝
% Kadar gula pereduksi = 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑐𝑜𝑛𝑡𝑜ℎ (𝑚𝑔)𝑏 𝑥 100%
12.20 𝑚𝑔 𝑥 20
= 𝑥 100%
1000 𝑚𝑔
= 24.4%

Tabel Data Penentuan kadar Pati dengan iodin

Kadar Kadar
Standar (%b/v) Abs Sampel Abs Amilosa Amilopektin
(%b/v) (%b/v)
0.1 0.030 Ulangan 1 0.241 1.154 20.81
0.3 0.054 Ulangan 2 0.243 1.164 20.80
0.5 0.075 Ulangan 3 0.241 1.154 20.81
0.7 0.149 Rata-rata 1.157 20.81
0.9 0.183
1.1 0.247
1.3 0.266

Contoh perhitungan (Sampel Ulangan 1):


y = -0.0068 + 0.2146x
0.241 = -0.0068 + 0.2146x
0.247821 = 0.2146x
X = 1.154%

Kadar amilosa = 1.154%


Kadar Pati = 0.9 x % gula pereduksi
= 0.9 x 24.4 %
= 21.96%

Kadar Amilopektin = kadar pati – kadar amilosa


= 21.96% - 1.154%
= 20.81%

Anda mungkin juga menyukai