Anda di halaman 1dari 15

HUBUNGAN NEGARA DAN AGAMA

Makalah Ini Guna Untuk Menyelesaikan Tugas Mata Kuliah:


Pendidikan Kewarganegaraan

Dosen Pengampu:

Syamsuddin

Disusun Oleh:
Ainul Uyun
Syamsul Arifin

PRODI USHULUDDIN
PROGRAM STUDI ILMU AL QUR’AN DAN TAFSIR
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL FITHRAH
SURABAYA 2019-2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dewasa ini, pembahasan mengenai agama dan negara merupakan hal yang
menjadi topik tersendiri bagi berbagai pihak. Dalam suatu negara kehidupan
beragama menjadi pilihan bagi warga nya karena hal tersebut merupakan hak asasi
bagi setiap manusia. Namun dalam menjalankan kehidupan bernegara,
menghubungkan antara agama dan negara menjadi polemik di antara berbagai
pihak yang lain.
Dalam sejarah peradaban dunia, hubungan agama dan negara telah
mempengaruhi berjalannya sistem politik sekarang ini. Pada masa abad pra
pertengahan negara berjalan di bawah otoritas agama dan pada abad pertengahan
telah terjadi pemisahan antara agama dan negara.
Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim juga mengalami
permasalahan mengenai hubungan agama dan negara. Munculnya kaum – kaum
yang menuntut pemerintahan Islam juga menjadi hal yang harus dapat ditangani
oleh bangsa ini. Berdasarkan hal tersebut, maka kami memilih judul ”Hubungan
Agama dan Negara”.
B. Rumusan masalah
1. Apa definisi negara dan agama ?
2. Bagaimana hubungan negara dan agama?
3. Bagaimana hubungan negara dan agama dalam tinjauan sejarah di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
1. Definisi Agama
Menurut Bahrun Rangkuti, seorang muslim cendekiawan sekaligus
seorang linguis, mengatakan bahwa definisi dan pengertian agama
berasal dari bahasa Sansekerta; a-ga-ma. A (panjang) artinya adalah
cara, jalan, The Way, dan gama adalah bahasa Indo Germania; bahasa
Inggris Togo artinya jalan, cara-cara berjalan, cara-cara sampai kepada
keridhaan kepada Tuhan.
Selain definisi dan pengertian agama berasal dari bahasa Sansekerta,
agama dalam bahasa Latin disebut Religion, dalam bahasa-bahasa barat
sekarang bisa disebut Religion dan Religious, dan dalam bahasa Arab
disebut Din atau juga.
Dari pendapat tersebut, definisi dan pengertian agama memiliki
perbedaan-perbedaan pokok dan luas antara maksud-maksud agama
pada kata ‘agama’ dalam bahasa Sansekerta, dengan
kata ‘religio’ bahasa latin, dan kata ‘din’ dalam bahasa Arab. Namun
secara terminologis, ketiganya memiliki inti yang sama, yaitu suatu
gerakan di segala bidang menurut kepercayaan kepada Tuhan dan suatu
rasa tanggung jawab batin untuk perbaikan pemikiran dan keyakinan,
untuk mengangkat prinsip-prinsip tinggi moralitas manusia, untuk
menegakkan hubungan baik antar anggota masyarakat serta
melenyapkan setiap bentuk diskriminasi buruk.
Agama adalah kekuatan ghaib yang diyakini berada di atas kekuatan
manusia didorong oleh kelemahan dan keterbatasannya. Manusia
merasa berhajat akan pertolongan dengan cara menjaga dan membina
hubungan baik dengan kekuatan ghaib tersebut. Sebagai realisasinya
adalah sikap patuh terhadap perintah dan larangan kekuatan ghaib
tersebut.1
Eka Darmaputera mendefinisikan negara sebagai realitas sosial dan
sebuah kenyataan manusiawi yang dapat difungsikan sebagai ideal type.
Ketika agama terperangkap kepada institusionalisme, yakni terjadinya
penekanan dan pemusatan kepada dimensi kelembagaan atau
institusional suatu agama, sehingga upaya penguatan dan
pengembangan institusional menjadikan agama semakin kuat, semakin
berkuasa, dengan demikian, maka agama akan mudah sekali terjebak
dalam sindrom mayoritas maupun minoritas.2
R.R. Marett, seorang ahli antropologi Inggris mengatakan bahwa
definisi dan pengertian agama itu menyangkut lebih dari pada hanya
pikiran, yaitu perasaan dan kemauan juga, dan dapat memanifestasikan
dirinya menurut segi-segi emosionilnya walaupun idenya kabur.
J. G. Frazer, megatakan agama adalah suatu ketundukan atau
penyerahan diri kepada kekuatan yang lebih tinggi dari pada manusia
yang dipercayai mengatur dan mengendalikan jalannya alam dan
kehidupan manusia.
Eden Sheffield Brigtman, memberikan definisi dan pengertian
agama, yaitu bahwa agama merupakan suatu unsur pengalaman-
pengalaman yang dipandang mempunyai nilai yang tinggi; pengabdian
kepada suatu kekuasaan-kekuasaan yang dipercayai sebagai sesuatu
yang menjadi asal mula, yang menambah dan melestarikan nilai-nilai
ini; dan sejumlah ungkapan yang sesuai tentang urusan serta pengabdian
tersebut baik dengan cara melakukan upacaraupacara yang simbolis
maupun melaui perbuatan-perbuatan yang lain yang bersifat
perseorangan serta yang bersifat kemasyarakatan.

1
Djalaludin H., Psikologi Agama, (jakarta: PT Grafindo Persada, 2004), hlm. 15
2
Eka Darmaputera, Agama sebagai kekuatan Moral bagi Proses Demokratisasi, dalam Agama
dan demokrasi, (Jakarta: P3M, 1994, hlm. 58-59)
Harun Nasution mengatakan bahwa agama dilihat dari sudut muatan
atau isi yang terkandung di dalamnya merupakan suatu kumpulan
tentang tata cara mengabdi kepada Tuhan yang terhimpun dalam suatu
kitab, selain itu beliau mengatakan bahwa agama merupakan suatu
ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi.
Beberapa definisi dan pengertian agama, memperlihatkan betapa
luasnya cakupan agama dan sekaligus menunjukkan betapa pengertian
agama itu cukup banyak. Hal ini di samping menunjukkan adanya
perhatian besar dari para ahli terhadap agama, juga menunjukkan bahwa
merumuskan pengertian agama itu sangat sulit sehingga tidak cukup
satu pengertian saja.
2. Definisi Negara
Istilah negara merupakan terjemahan dari beberapa kata asing,
yakni state (Inggris), staat (Belanda dan Jerman), dan etat (Perancis).
Kata – kata tersebut berasal dari bahasa latin status atau statum yang
memiliki pengertian tentang keadaan yang tegak dan tetap.
Pengertian status atau station (kedudukan). Istilah ini sering pula
dihubungkan dengan kedudukan persekutuan hidup antar manusia yang
disebut dengan istilah status republicae. Dari pengertian yang terakhir
inilah kata status selanjutnya dikaitkan dengan kata negara.
Sedangkan secara terminologi, negara diartikan sebagai organisasi
tertinggi di antara suatu kelompok masyarakat yang mempunyai cita cita
– cita untuk bersatu, hidup di suatu kawasan dan mempunyai
pemerintahan yang berdaulat. Pengertian ini mengandung nilai
konstitutif dari sebuah negara yang pada hakikatnya dimiliki oleh suatu
negara berdaulat, yaitu masyarakat, wilayah, dan pemerintahan yang
berdaulat.3
Beberapa tokoh mendefinisikan pengertian negara sebagai berikut :

3
Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2006),
hlm. 24
a. Roger H. Soultau: negara didefinisikan sebagai agency (alat)
atau authority (wewenang) yang mengatur atau mengendalikan
persoalan – persoalan bersama, atas nama masyarakat.
b. Harold J. Laski mengemukakan menurutnya negara merupakan
suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang
yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung daripada
individu atau manusia yang hidup bekerjasama untuk mencapai
terkabulnya keinginan – keinginan mereka bersama.
c. Max Weber mendefinisikan bahwa negara adalah suatu masyarakat
yang memiliki monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara
sah dalam suatu wilayah.4

Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa negara


adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah
pejabat yang berhak menuntut dari warga negaranya untuk taat pada
peraturan perundang – undangan melalui penguasaan monopolistis dari
kekuasaan yang sah.5 Dalam konsep ajaran Plato, tujuan adanya negara
adalah untuk memajukan kesusilaan manusia, sebagai perseorangan dan
sebagai makhluk sosial.

B. Hubungan Negara dan Agama


1. Tinjauan politik islam
Pendapat para pakar berkenaan dengan relasi agama dan negara
dalam Islam dapat dibagi atas tiga pendapat yakni paradigma
integralistik, paradigma simbiotik, dan paradigma sekularistik:
a. Paradigma Integralistik
Menurut paradigma integralistik, konsep hubungan agama dan
negara merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu (integrated). Ini
memberikan pengertian bahwa negara merupakan suatu lembaga

4
Miriam Budiarjo, Dasar – Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Media, 1987), hlm.
39-40
5
Khairon, dkk, Pendidikan Politik bagi Warganegara, (Yogyakarta: LKIS, 1999), hlm. 111-114
politik dan sekaligus lembaga agama. Konsep ini menegaskan
bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik
(negara). Paradigma integralistik ini dianut oleh kelompok Islam
Syi’ah.
b. Paradigma Simbiotik
Menurut paradigma simbiotik, hubungan agama dan negara
dipahami saling membutuhkan dan bersifat timbal balik. Agama
membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan
mengembangkan agama. Begitu juga sebaliknya, negara
memerlukan agama, karena agama juga membantu negara dalam
pembinaan moral, etika, dan spiritualitas.
c. Paradigma sekularistik
Menurut paradigma sekularistik, ada pemisahan (disparitas) antara
agama dan negara. Agama dan negara merupakan dua (2) bentuk
yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan bidangnya
masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak
boleh satu sama lain melakukan intervensi (campur tangan).6Dalam
Islam, hubungan agama dan negara menjadi perdebatan yang cukup
panjang di antara para pakar Islam hingga kini. Bahkan menurut
Azyumardi Azra, perdebatan ini telah belangsung sejak hampir satu
abad, dan berlangsung hingga dewasa ini. lebih lanjut Azra
mengatakan bahwa ketegangan perdebatan tentang hubungan agama
dan negara diilhami oleh hubungan yang agak canggung dalam
Islam sebagai agama dan negara. Berbagai eksperimen dilakukan
dalam menyelaraskan antara din dan kon sep kultur politik
masyarakat muslm, dan eksperimen tersebut dalam banyak hal
sangat beragam.
Samir Amin mengungkapkan bahwa selayaknya dunia Islam
melakukan diferensiasi antara utopia – utopia yang muncul di masa

6
Alfian Suhendrasah, Hubungan Agama dan Negara
lalai dan mengekspresikan konflik sosial antarkalangan yang
dieksploitir, penguasa yang dizalimi, dan kalangan yang menyeru
pada gerakan – gerakan kontemporer untuk mendirikan Negara
Islam. Hanya saja menurut Amir, sejarah yang benar membukktikan
bahwa penyatuan agama dan kekuasaan tidak terwujud kecuali pada
masa – masa belakangan dari perkembangan masyarakat Islam7
2. Tinjauan Politik Barat
Politik bangsa barat tidak terlepas dari peradaban Kristiani.
Sebelumnya, peradaban bangsa barat mengalami fase kelam. Fase ini
dikenal dengan abad kegelapan di Eropa yang dipenuhi pertumpahan
darah karena perang saudara-agama, pengekangan kebebasan, anti-
intelektualisme, daan maraknya takhayul serta paham itasionalisme.
Namun demikian, berkat para pemuka agama kristen yang reformis,
keadaan menjadi berbalik arah, dan masa pencerahan segera tiba.
Puncak sumbangan Kristiani terhadap peradaban Barat adalah
peranan agama ini dalam melahirkan gerakan reformasi protestan.
Dengan tokohnya antara lain Luther, Zwingli, dan calvin. Reformasi iini
kemudian menjadi tonggok penting sejara pemikiran dan peradaban
Barat. Sejarah membuktikan doktrin reformasi Protestan ini berdampak
pada perilaku ekonomi orang – orang kristen di barat.8
Peradaban romawi juga mempengaruhi perkembangan politik barat.
Gagasan barat mengenai negara, kekuasaan politik, keadilan dan
demokrasi secara intelektual bisa dilacak dari tradisi politik Yunani
Klasik yang dinamakan polis atau city states. Sumbangan terbesar
peradaban Romawi terhadap Barat yaitu pada bidang hukum dan
lembaga-lembaga politik. Tradisi keilmuan Yunani-Romawi telah
memberikan Barat metode-metode eksperimental dan spekulatif yang

7
Husein Muhammad, Islam dan Negara Kebangsaan: Tinjauan Politik, dalam Ahmad Suaedy, Pergulatan
Pesantren dan Demokrasi, (Yogyakarta: LKIS, 2000), hlm. 88
8
Deddy Ismatullah, dkk, Ilmu Negara dalam Multi Perspektif, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007),
hlm. 190-193
peranannya sangat fundamental empirisme dan rasionalisme. Ada tiga
bentuk pemikiran hukum Romawi yang mempengaruhi pemikiran
hukum Barat Ius Civile, Ius Gentium dan Ius Naturale. Romawi
membuat pemikiran spekulatif Yunani yang bisa diterapkan. Dari segi
pemikiran politik, Romawi membrikan pemahaman kepada Barat
tentang teori imperium. Berupa kekuasaan dan otoritas negara, equal
rights (hak persamaan politik), governmental contract (kontrak
pemerintah).9
C. Hubungan Agama dan Negara dalam Tinjauan Sejarah di Indonesia
Berbicara mengenai hubungan agama dan negara di Indonesia
merupakan persoalan yang menarik untuk dibahas, penyebabnya bukan
karena penduduk Indonesia mayoritas islam tetapi karena persoalan yang
muncul sehingga menjadi perdebatan di kalangan beberapa ahli. Untuk
mengkaji lebih dalam mengenai hal tersebut maka hubungan agama dan
negara dapat digolongkan menjadi 2 :
Hubungan Agama dan Negara yang Bersifat Antagonistik . Maksud
hubungan antagonistik adalah sifat hubungan yang mencirikan adanya
ketegangan antar negara dengan islam sebagai sebuah agama. Sebagai
contohnya adalah Pada masa kemedekaan dan sampai pada masa revolusi
politik islam pernah dianggap sebagai pesaing kekuasaan yang dapat
mengusik basis kebangsaan negara. Sehingga pesepsi tersebut membawa
implikasi keinginan negara untuk berusaha menghalangi dan melakukan
domestika terhadap idiologi politik islam. Hail itu disebabkan pada tahun
1945 dan dekade 1950-an ada 2 kubu ideologi yang memperebutka Negara
Indonesia, yaitu gerakan islam dan nasionalis.
Gerakan nasionalis dimulai dengan pembentukan sejumlah
kelompok belajar yang bersekolah di Belanda.Mahasiswa hasil didikan
belanda ini sangat berbakat dan merasa terkesan dengan kemajuan teknis di
Barat.Pada waktu itu pengetahuan agama sangat dangkal sehingga

9
Nahid Fadaq, Pemikiran Politik Barat, http://nahidfadaq.blogspot.com/2013/04/pemikiran-
politik-barat.html, 16 April 2013, diakses tanggal 3 oktober 2019
mahasiswa cenderung menganggap bahwa agama tidak mampu
menyelesaikan berbagai persoalan.Sehingga untuk menuju kemerdekaan,
nasionalis mengambil jalan tengah dengan mengikuti tren sekuler barat dan
membatasi peran agama dalam wilayah kepercayaan dan agama
individu.Akibatnya, aktivispolitik Islam gagal untuk menjadikan Islam
sebagai ideologi atau agama negara pada 1945 serta pada dekade 1950-an,
mereka juga sering disebut sebagai kelompok yang secara politik
“minoritas” atau “outsider.”
Di Indonesia, akar antagonisme hubungan politik antara Islam dan
negara tak dapat dilepaskan dari konteks kecenderungan pemahaman
keagamaan yang berbeda. Awal hubungan yang antagonistik ini dapat
ditelusuri dari masa pergerakan kebangsaan ketika elit politik nasional
terlibat dalam perdebatan tentang kedudukan Islam di alam Indonesia
merdeka.
Upaya untuk menciptakan sebuah sintesis yang memungkinkan
antara Islam dan negara terus bergulir hingga periode kemerdekaan dan
pasca-revolusi. Kendatipun ada upaya-upaya untuk mencarikan jalan keluar
dari ketegangan ini pada awal tahun 1970-an, kecenderungan legalistik,
formalistik dan simbolistik itu masih berkembang pada sebagian aktivis
Islam pada dua dasawarsa pertama pemerintahan Orde Baru ( kurang lebih
pada 1967-1987). Hubungan agama dan negara pada masa ini dikenal
dengan antagonistik, di mana negara betul-betul mencurigai Islam sebagai
kekuatan potensial dalam menandingi eksistensi negara. Di sisi lain, umat
Islam sendiri pada masa itu memiliki ghirah atau semangat yang tinggi
untuk mewujudkan Islam sebagai sumber ideologi dalam menjalankan
pemerintahan
Hubungan Agama dan Negara yang bersifat Akomodatif
Maksud hubungan akomodatif adalah sifat hubungan dimana negara dan
agama satu sama lain saling mengisi bahkan ada kecenderungan memiliki
kesamaan untuk mengurangi konflik( M. imam Aziz et.al.,1993: 105).
Pemerintah menyadari bahwa umat islam merupakan kekuatan politik yang
potensial, sehingga Negara mengakomodasi islam. Jika islam ditempatkan
sebagai out-side Negara maka konflik akan sulit dihindari yang akhirnya
akan mempengaruhi NKRI.
Sejak pertengahan tahun 1980-an, ada indikasi bahwa hubungan
antara Islam dan negara mulai mencair, menjadi lebih akomodatif dan
integratif. Hal ini ditandai dengan semakin dilonggarkannya wacana politik
Islam serta dirumuskannya sejumlah kebijakan yang dianggap positif oleh
sebagian (besar) masyarakat Islam.Kebijakan-kebijakan itu berspektrum
luas, ada yang bersifat:
1. Struktura, yaitu dengan semakin terbukanya kesempatan bagi para
aktivis Islam untuk terintegrasikan ke dalam Negara.
2. Legislatif , misalnya disahkannya sejumlah undang-undang yang dinilai
akomodatif terhadap kepentingan Islam.
3. Infrastructural, yaitu dengan semakin tersedianya infrastruktur-
infrastruktur yang diperlukan umat Islam dalam menjalankan “tugas-
tugas” keagamaan.
4. Kultural, misalnya menyangkut akomodasi Negara terhadap islam yaitu
menggunakan idiom-idiom perbendaharaan bahasa pranata ideologis
maupun politik negara.
Melihat sejarah di masa orde baru, hubungan Soeharto dengan Islam
politik mengalami dinamika dan pasang surut dari waktu ke waktu. Namun,
harus diakui Pak Harto dan kebijakannya sangat berpengaruh dalam
menentukan corak hubungan negara dan Islam politik di Indonesia.
Alasan Negara berakomodasi dengan islam pertama, karena Islam
merupakan kekuatan yang tidak dapat diabaikan jika hal ini dilakukan akan
menumbulkan masalah politik yang cukup rumit. Kedua, di kalangan
pemerintahan sendiri terdapat sejumlah figur yang tidak terlalu fobia
terhadap Islam, bahkan mempunyai dasar keislaman yang sangat kuat
sebagai akibat dari latar belakangnya. Ketiga, adanya perubahan persepsi,
sikap, dan orientasi politik di kalangan Islam itu sendiri. Sedangkan alasan
yang dikemukakan menurut Bachtiar, adalah selama dua puluh lima tahun
terakhir, umat Islam mengalami proses mobilisasi-sosial-ekonomi-politik
yang berarti dan ditambah adanya transformasi pemikiran dan tingkah
politik generasi baru Islam.
Hubungan islam dan negara berawal dari hubungan antagonistik yang
lambat laun menjadi akomodatif. Adanya sikap akomodatif ini muncul
ketika umat Islam Indonesia ketika itu dinilai telah semakin memahami
kebijakan negara, terutama dalam masalah ideologi Pancasila.10
Dewasa ini sering muncul konflik yang mengatasnamakan agama.
Untuk dapat mengakhiri hal tersebut, kewajiban kita adalah menciptakan
kehidupan beragama yang penuh dengan perdamaian, saling menghargai,
menghormati, dan mencintai sebagai umat manusia yang beradab.
Pancasila telah memberikan dasar – dasar nilai yang fundamental bagi umat
bangsa Indonesia untuk hidup secara damai dalam kehidupan beragama.
Dalam hal ini, negara memberikan jaminan kebebasan bagi setiap warga
negara untuk memeluk suatu agama dan menjalankan ibadah sesuai dengan
kepercayaannya itu.
Setiap agama memiliki keyakinan dan ajaran yang berbeda satu
sama lain, namun pada dasarnya setiap agama mengajarkan sikap saling
menghormati, menghargai, serta hidup berdampingan secara damai dengan
pemeluk agama yang lain. Maka, negara dan masyarakat berkewajiban
mengembangkan kehidupan beragama yang penuh dengan toleransi dan
saling menghargai berdasarkan nilai kemanusiaan yang beradab11

10
Hainur Rahman, dkk, Relasi Agama dan Negara, http://mku-pkn-
utm.blogspot.com/2013/04/makalah-ketuhanan-relasi-agama-negara.html, diakses tanggal 1
oktober 2019
11
Heri herdiawanto dan Jumanta Hamdayama, Cerdas, Kritis, dan Aktif Berwarganegara,
(Jakarta: Erlangga, 2010), hlm.168
BAB III
KESIMPULAN
1. Negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah oleh
sejumlah pejabat yang berhak menuntut dari warga negaranya untuk
taat pada peraturan perundang – undangan melalui penguasaan
monopolistis dari kekuasaan yang sah.
2. Pendapat para pakar berkenaan dengan relasi agama dan negara
dalam Islam dapat dibagi atas tiga pendapat yakni paradigma
integralistik, paradigma simbiotik, dan paradigma sekularistik
3. Hubungan negara dan agama di Indoneesia ini di tandai Pancasila
yang telah memberikan dasar – dasar nilai yang fundamental bagi
umat bangsa Indonesia untuk hidup secara damai dalam kehidupan
beragama. Dalam hal ini, negara memberikan jaminan kebebasan
bagi setiap warga negara untuk memeluk suatu agama dan
menjalankan ibadah sesuai dengan kepercayaannya itu.
DAFTAR PUSTAKA

Budiarjo, Miriam. Dasar – Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Media,

1987)

Darmaputera, Eka. Agama sebagai kekuatan Moral bagi Proses Demokratisasi,

dalam Agama dan demokrasi, (Jakarta: P3M, 1994, hlm. 58-59)

Djalaludin H., Psikologi Agama, (jakarta: PT Grafindo Persada, 2004)

Fadaq, Nahid Pemikiran Politik Barat,

Hainur Rahman, dkk, Relasi Agama dan Negara,

Heri herdiawanto dan Jumanta Hamdayama, Cerdas, Kritis, dan Aktif

Berwarganegara, (Jakarta: Erlangga, 2010)

http://mku-pkn-utm.blogspot.com/2013/04/makalah-ketuhanan-relasi-agama-

negara.html, diakses tanggal 1 oktober 2019

http://nahidfadaq.blogspot.com/2013/04/pemikiran-politik-barat.html, 16 April

2013, diakses tanggal 3 oktober 2019

Ismatullah, Deddy. Ilmu Negara dalam Multi Perspektif, (Bandung: CV Pustaka

Setia, 2007)

Khairon, dkk, Pendidikan Politik bagi Warganegara, (Yogyakarta: LKIS, 1999)

Muhammad, Husein. Islam dan Negara Kebangsaan: Tinjauan Politik, dalam

Suaedy, Ahmad. Pergulatan Pesantren dan Demokrasi, (Yogyakarta: LKIS, 2000)

Rozak, Abdul. Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta: ICCE UIN Syarif

Hidayatullah, 2006)

Suhendrasah, Alfian. Hubungan Agama dan Negara

Anda mungkin juga menyukai