Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK

KOLERA

Pembimbing:
dr. Supriyanto Sp.A

Disusun oleh :
Fatia Murni Chamida
G4A017092

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
SMF ILMU KESEHATAN ANAK
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2019
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT

KOLERA

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti


Ujian kepaniteraan klinik
Di bagian Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun oleh:

Fatia Murni Chamida


G4A017092

Disetujui dan disahkan


Pada tanggal November 2019

Pembimbing

dr. Supriyanto, Sp.A


I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kolera adalah infeksi bakteri akut pada usus yang disebabkan oleh
konsumsi makanan atau air yang mengandung Vibrio cholerae, serogrup O1
atau O139. Gejalanya meliputi diare berair akut dan muntah yang dapat
menyebabkan dehidrasi parah atau kehilangan air. Ketika tidak diobati,
kematian dapat terjadi dengan cepat - kadang-kadang dalam beberapa jam.
Kolera ditularkan melalui makanan yang terkontaminasi atau air minum, serta
melalui kontak orang per orang melalui rute fekal-oral. Kondisi sanitasi di
lingkungan memainkan peran penting karena bakteri V. cholerae bertahan dan
berkembang biak di luar tubuh manusia dan dapat menyebar dengan cepat di
mana kondisi kehidupan penuh dan sumber air tidak terlindungi dan di mana
tidak ada pembuangan kotoran yang aman.
Kondisi ini dipenuhi di negara-negara miskin dan di banyak kamp
pengungsi. Misalnya, pada tahun 1994 di sebuah kamp pengungsi di Goma,
Republik Demokratik Kongo, sebuah epidemi besar terjadi. Diperkirakan
58.000–80.000 kasus dan 23.800 kematian terjadi dalam satu bulan.Epidemi
penyakit mirip kolera telah dideskripsikan oleh pengunjung ke sub-benua India
sejauh awal abad ke-16 dan berlanjut hingga abad ke-19. Mulai tahun 1817
kolera menyebar secara berkala ke bagian-bagian lain dunia, dalam gelombang
pandemi, mundur ke daerah endemiknya di Asia Tenggara antara pandemi.
Pandemi ketujuh saat ini yang disebabkan oleh biotipe El Tor dari V. cholerae
O1 dimulai pada tahun 1961 di Sulawesi, Indonesia dan menyebar dengan
cepat ke negara-negara lain di Asia, Eropa dan Afrika dan akhirnya ke Amerika
Latin pada tahun 1991, setelah hampir seabad tanpa kolera. Penyebarannya
sangat cepat di Amerika Latin yang menyebabkan hampir 400.000 kasus yang
dilaporkan dan lebih dari 4000 kematian di 16 negara di Amerika pada tahun
itu. Selama 1990-an strain epidemi baru, V. cholerae O139 Bengal
diidentifikasi. Ini menyebabkan wabah besar di India dan Bangladesh dimulai
pada tahun 1992. Sampai saat itu hanya V. Cholerae O1 yang diketahui
menyebabkan epidemi kolera. V. cholerae O139 Bengal masih terbatas di Asia.
Pandemi ketujuh masih berlangsung dan menunjukkan tanda-tanda semakin
meningkat, bukannya mereda. Hampir 120 negara melaporkan kasus kolera
asli ke WHO sejak tahun 1991, dan hampir setengah dari negara-negara
tersebut telah melaporkan kolera setidaknya selama lima dari delapan tahun
terakhir. Ini mencerminkan fakta bahwa kolera adalah masalah berulang di
banyak daerah, dan telah menjadi endemik di tempat lain.

II. TINJAUAN PUSTAKA


A. Anatomi, Fisiologi, dan Histologi Saluran Cerna

1. Duodenum Gambar 2.1 Anatomi Usus Halus


Bagian pertama dari usus halus adalah duodenum. Duodenum
merupakan tabung berbentuk C dengan panjang perkiraan 25 cm (10 inch)
dimulai dari sfingter pilorus lambung hingga flexura duodenojejunalis.
Struktur ini terletak retroperitoneal kecuali bagian awalnya, yang
dihubungkan dengan hepar oleh suatu ligamentum hepatoduodenal, yang
merupakan bagian dari omentum minus. Duodenum terbagi menjadi 4
bagian, yaitu :
a. Pars superior duodeni terbentang dari ostium pyloricum gaster sampai
collum vesica fellea, berada tepat di sisi kanan corpus vertebrae LI, dan
berjalan di anterior ductus choledochus, arteria gastroduodenalis, vena
porta hepatis, dan vena cava inferior.
b. Pars descendens duodeni berada tepat disisi kanan garis tengah tubuh
dan terbentang dari collum vesica fellea sampai ke tepi bawah vertebra
LIII.
c. Pars inferior duodeni adalah bagian yang terpanjang, menyilang vena
cava inferior, aorta dan columna vertebralis. Bagian ini disilang di
anteriornya oleh arteria dan vena mesenterica superior.
d. Pars ascendens duodeni berjalan naik pada, atau disisi kiri dari aorta
sampai kira-kira di tepi atas vertebra LII dan berakhir sebagai flexura
duodenojejunalis (Guyton, 2014).
Gambar 2.2 Anatomi dan Histologi Usus Halus
Dinding dari duodenum terdiri atas 4 lapisan. Lapisan pertama
adalah lapisan mukosa dengan muskularis mukosa, lamina propia serta
epitel. Lapisan kedua adalah jaringan ikat submukosa dengan kelenjar
duodenal (Brunner). Lapisan ketiga adalah dua lapis otot polos pada
muskularis eksterna. Lapisan terakhir adalah serosa peritoneum
visceralis.12 Usus halus memiliki beberapa ciri yaitu tonjolan seperti
jari yang disebut vili, lapisan sel epitel kolumner berjajar dengan
mikrovili yang membentuk striated borders, dan kelenjar intestinal yang
tubular dan pendek (kripte Lieberkuhn). Vili merupakan mukosa yang
mengalami modifikasi. Diantara vili terdapat intervillous space. Setiap
vili berisi inti yaitu lamina propria , serabut otot polos yang menonjol
dari muskularis mukosa ke vili, dan pembuluh limfatik sentral yaitu
lacteal (Eroschenko, 2003).
2. Jejenum
Usus kosong atau jejunum adalah bagian kedua dari usus halus,
di antara usus dua belas jari (duodenum) dan usus penyerapan (ileum).
Pada manusia dewasa, panjang seluruh usus halus antara 2-8 meter, 1- 2
meter adalah bagian usus kosong. Usus kosong dan usus penyerapan
digantungkan dalam tubuh dengan mesenterium. Permukaan dalam
usus kosong berupa membran mukus dan terdapat jonjot usus (vili),
yang memperluas permukaan dari usus (Guyton, 2014)
Histologi duodenum segmen bawah, jejunum dan ileum memiliki
karakteristik yang hampir sama dengan duodenum segmen atas. Hanya
kelenjar duodenal (Brunner) yang hanya terdapat pada submukosa
duodenum segmen atas dan tidak ditemukan di jejunum maupun ileum.
12 Inti dari plica circularis dibentuk oleh jaringan ikat padat submukosa
yang terdapat arteri dan vena di dalamnya. Usus halus dikelilingi oleh
muskularis eksterna yang tersusun atas otot polos sirkuler dan
longitudinal. Diantara vili-vili terdapat kelenjar intestinal. Di dasar
kelenjar intestinal terdapat sel paneth yang merupakan kelenjar eksokrin
memproduksi lisozim. Sel paneth juga memiliki fungsi fagositosis
dengan demikian sel ini memiliki fungsi penting untuk mengontrol flora
mikroba pada usus halus (Eroschenko, 2003).
3. Ileum
Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus
halus. Pada sistem pencernaan manusia ileum memiliki panjang sekitar
2- 4 m dan terletak setelah duodenum dan jejunum, dan dilanjutkan
oleh usus buntu. Ileum memiliki pH antara 7 dan 8 (netral atau sedikit
basa) dan berfungsi menyerap vitamin B12 dan garam empedu
( Sherwood, 2014)
4. Kolon (usus besar)
Usus besar atau kolon adalah bagian usus yang berada antara
apendiks dan rektum. Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dari
feses. Usus besar terdiri dari kolon asendens (kanan), kolon
transversum, kolon desendens (kiri), kolon sigmoid (berhubungan
dengan rektum). Dinding usus bedar memiliki tiga lapisan yaitu lapisan
mukosa (bagian dalam) untuk absorbsi makanan, lapisan muskularis
(bagian tengah) untuk kontraktilitas usus, dan lapisan serosa (bagian
luar) sebagai pelicin dinding usus. Mukosa kolon tidak disusun oleh
villi melainkan terdiri dari epitel kolumnar yang didalam kriptanya
terdapat sel goblet. Sel yang lebih dominan untuk absorbsi air adalah
bagian kolon ascenden dan tranversum (Eroschenko, 2003).

Kolon mengabsorbsi air sampai 90% dan elektrolit, sehingga


mengubah kimus dari cairan menjadi massa semi padat, disebut feses.
Kolon tidak memproduksi enzim, tetapi hanya mukus. Terdapat
sejumlah bakteri pada kolon, yang mampu mencerna sejumlah kecil
selulosa, dan menghasilkan sedikit nutrien bagi tubuh. Bakteri juga
memproduksi vitamin K dan juga gas, sehingga menimbulkan bau pada
feses. Secara imunologis, oleh karena banyak limfonodus terutama di
aappendiks dan rektum; dan sel imun dilamina propria. Feses juga
bewarna coklat yang disebabkan pigmen empedu (Guyton, 2014;
Sherwood, 2014).
Dinding ususGambar 2.3 Anatomi
besar terdiri Usus
dari empat Besaryaitu mukosa, sub
lapisan
mukosa, muskularis eksterna dan serosa. Mukosa terdiri atas epitel
selapis silindris, kelenjar intestinal, lamina propia dan muskularis
mukosa (Eroschenko, 2003). Usus besar tidak mempunyai plika dan
vili, jadi mukosa tampak lebih rata daripada yang ada pada usus kecil.
Submukosa di bawahnya mengandung sel dan serat jaringan ikat,
berbagai pembuluh darah dan saraf. Tampak kedua lapisan otot di
muskulus eksterna. Baik kolon tranversum maupun kolon sigmoid
melekat ke dinding tubuh oleh mesenterium, oleh karena itu, serosa
menjadi lapisan terluar pada kedua bagian kolon ini. Di dalam
mesenterium terdapat jaringan ikat longgar, sel-sel lemak, pembuluh
darah dan saraf (Eroschenko, 2003).
5. Rektum dan Anus
Rektum adalah sebuah ruangan yang berawal dari ujung usus
besar (setelah kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Organ ini berfungsi
sebagai tempat penyimpanan sementara feses. Biasanya rektum ini
kosong karena tinja disimpan di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada
kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk ke dalam
rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar (BAB).
Anus merupakan lubang di ujung saluran pencernaan, dimana
bahan limbah keluar dari tubuh. Sebagian anus terbentuk dari
permukaan tubuh (kulit) dan sebagian lannya dari usus. Pembukaan
dan penutupan anus diatur oleh otot sphinkter. Feses dibuang dari tubuh
melalui proses defekasi (buang air besar) yang merupakan fungsi utama
anus (Sherwood, 2014).

B. Etiologi

Kolera adalah penyakit diare yang disebabkan oleh serogrup toksigenik


dari bakteri Vibrio cholerae, yang dapat menyebabkan dehidrasi dan kematian
yang cepat.. Bakteri kolera disebarkan melalui kontaminasi langsung oraofecal
atau menelan air atau makanan yang terkontaminasi. Masa inkubasi kurang dari
24 jam hingga 5 hari. Hanya hingga 25% dari orang yang terinfeksi menjadi
gejala; Dari jumlah tersebut, 10-20% mengalami penyakit parah.
Vibrio cholerae adalah bakteri gram negatif, berbentuk koma, bersifat an
aerobik fakultatif. Bakteri ini pathogen fakultatif intraseluler yang ditemukan
pada manusia dan hewan jenis primata. Pada biakkan, dapat dilihat bahwa
Vibrio membentuk koloni yang cembung (convex), bulat, halus/smooth, opak,
dan tampak bergranula bila diamati dibawah sinar cahaya. Bersifat halofilik dan
dapat tumbuh optimal pada air laut bersalinitas 20-40 ‰ tetapi tidak tahan asam
sehingga bakteri Vibrio dapat tumbuh pada pH 4 – 9 dan tumbuh optimal pada
pH 6,5 – 8,5 atau kondisi alkali dengan pH 9,0.Vibrio cholerae mempunyai
susunan antigen kompleks. Sebagian besar bakteri Vibrio cholerae mempunyai
antigen O juga dimiliki oleh bakteri enterik lainnya. Antigen somatik O dari
Vibrio adalah lipopolisakarida. Kehuhusan serologiknya tergantung pada
polisakarida. Terdapat sekitar 200 atau lebih serotype. Lipopolisakarida ( LPS )
endotoksin dari Vibrio cholerae memainkan peran penting dalam memunculkan
respon imun antibakteri dari hospes dan dalam mengklasifikasikan vibrio
menjadi sekitar 200 atau lebih serogrup yang mempunyai karakteristik fisik dan
kimia dari tiga unsur, lipid A , polisakarida inti (core - PS ) dan O antigen
polisakarida - charide ( O - PS ) , dari LPS dari V. cholerae serogrup berbeda ,
termasuk yang penyebab penyakit , O1 dan O139 (Wang et al., 2009).

C. Patologi dan Patogenesis


Vibrio cholerae ditularkan secara oral melalui air, makanan, dan lalat yang
tercemar oleh feses pasien. Sebagian galur Vibrio menyebabkan kolera
(Mrityunjoy et al., 2013). Dosis efektif yang diperlukan untuk menyebabkan
penyakit diperkirakan sekitar 102-103 sel untuk menyebabkan diare berat dan
dehidrasi. Vibrio memiliki sifat bertahan terhadap pH yang rendah sehingga
dapat melewati barrier lambung. Setelah melewati lambung, bakteri akan
berkembang di usus halus, tetapi kolon merupakan tempat utama yang diserang
Vibrio cholerae. Di kolon tersebut, bakteri Vibrio cholerae akan menginvasi sel
epitel mukosa usus (Sawasvirojwong et al., 2013).
Epitel usus memiliki beberapa lapisan sebagai sistem pertahanan yang
berfungsi sebagai penghalang mikroba. Lapisan tersebut terdiri dari 4 komponen
utama yaitu mikroba komensal, integrity epithelium, rapid inthelial turnover dan
mucosal (Ashida at al., 2011). Mikroba komensal di lumen usus dapat bersaing
dengan bakteri asing yang akan tumbuh dengan cara mengganggu kolonisasi
bakteri di permukaan mukosa. Integrity epithelium ditopang oleh sel-sel adheren
yang menjadi penghalang fisik dan biologis terhadap mikroba, Rapid epithelial
turnover ditutupi oleh lapisan musin yang tebal sehingga dapat mencegah
mikroba mencapai permukaan sel epitel. Mukosa sebagai sistem kekebalan tubuh
berfungsi sebagai pertahanan biologis terhadap infeksi mikroba. Meskipun
pertahan berlapis, pathogen gastrointestinal seperti Vibrio cholerae mampu
melewati penghalang usus dan membentuk kolonisasi (Ashida at al., 2011).
Adhesi merupakan tahap inisiasi dari proses kolonisasi bakteri. Bakteri patogen
harus menempel pada sel inang untuk memulai terjadinya infeksi. Proses ini
diperlukan untuk kolonisasi pada jaringan inang dan dimediasi oleh permukaan
bakteri yang mempunyai sifat adesif, seperti lectins yang mampu mengenali
oligosakarida residu glikoprotein atau reseptor glikolipid pada sel inang
(Anderson at al., 2007).
Kemampuan adhesi ini diperantarai oleh keberadaan hemaglutinin pada
permukaan bakteri. Hemaglutinin (HA) adalah suatu zat yang dapat berperan
dalam proses penggumpalan sel darah merah. Proses hemaglutinin yang
berbanding dengan aktivitas enzim protease (HA/P). Kemampuan adhesi bakteri
pada permukaan sel inang ada hubungannya dengan peran antigen permukaan
untuk melekat pada reseptor permukaan baik yang spesifik maupun yang tidak
spesifik. Pada adhesi yang bersifat spesifik, perlekatan bakteri diperantarai oleh
reseptor sel inang yang mampu berikatan dengan antigen permukaan bakteri.
Antigen permukaan ini secara umum disebut adhesin dan dapat berupa pili,
fimbria, kapsul, atau komponen struktural lainnya. Keberadaan hemaglutinin
pada permukaan bakteri sangat menentukan proses adhesi. Bakteri yang tidak
memiliki hemaglutinin maka kemampuan adhesinnya akan lemah. Hal ini sangat
mempengaruhi patogenisitas dari bakteri itu sendiri karena adhesi merupakan
tahap awal dari infeksi Salah satu peristiwa penting pada patogenitas bakteri
enteroinvasi adalah penetrasi ke dalam epitel usus.
Vibrio Cholerae dapat memasuki sel epitel melalui sel M. Sel M
merupakan struktuf folikel limfoid yang tersebar di seluruh permukaan sel usus
kecil, usus besar dan rectum. Sel M relatif jarang, ditemukan kurang dari 0,1 %
eptel pada lapisan usus. Sel M memiliki aktifitas endositik yang tinggi berfungsi
untuk mengangkut larutan dan partikulat antigen di sitoplasma, sehingga sel M
menjadi target pintu masuk bagi banyak bakteri pathogen. Sel M juga
mengekspresikan molekul pada permukaannya yang berfungsi reseptor untuk
bakteri patogen (Selvanantham et al., 2013). Bakteri patogen harus menempel
pada sel inang untuk memulai terjadinya infeksi. Proses ini diperlukan untuk
kolonisasi pada jaringan inang dan dimediasi oleh permukaan bakteri yang
mempunyai sifat adhesian, seperti lectins, mengenali oligosaccharide residu
glikoprotein atau reseptor glycolipid pada sel inang (Anderson, Ding and
Thomas, 2007). Adhesi bakteri terletak pada permukaan sel yaitu pada ujung
rambut peritrichous, dikenal sebagai pili atau fimbriae. Struktur utama fimbriae
atau poros pilus, yang terdiri dari ratusan sampai ribuan pili (Anderson, Ding and
Thomas, 2007). Kemampuan adhesi bakteri pada permukaan sel inang ada
hubungannya dengan peran antigen permukaan untuk melekat pada reseptor
permukaan baik yang spesifik maupun yang tidak spesifik. Pada adhesi yang
bersifat spesifik, perlekatan bakteri diperantarai oleh reseptor sel inang yang
mampu berberkaitan dengan antigen permukaan bakteri. Pada perlekatan yang
bersifat tidak spesifik, diduga tidak melibatkan peranan reseptor permukaan.
Antigen permukaan ini secara umum disebut adhesin dan dapat berupa fimbriae,
pili, kapsul atau komponen structural bakteri lainnya.
Keberadaan hemaglutinin pada pada permukaan bakteri sangat
menentukan proses adhesi. Bakteri yang tidak memiliki hemaglutinin maka
adhesinnya akan lemah. Hal ini sangat mempengaruhi patogenitas dari bateri itu
sendiri karena adhesi merupakan tahap awal dar infeksi Vibrio cholerae.
Kemampuan Vibrio cholerae untuk menempel atau adhesi pada sel inang
diperantarai oleh komponen adhesi bakteri yang membantu perlekatan bakteri
pada reseptor spesifik dari sel inang. Protein adhesi yang berperan adalah pili dan
Outer Membrane Protein (OMP). Outer membran mempunyai peranan
pentingdalam virulensi (kemampuan untuk menimbulkanpenyakit) dari bakteri
gram negatif (Selvanantham et al., 2013).
Outer membrane merupakan lapisan seperti membran sel yangterdiri dari
lemak, protein dan polisakarida. Ada sedikit perbedaan dari struktur OMP
jikadibandingkan dengan membran sitoplasma,komposisi dari OMP sangat
kompleks. Porinmerupakan bagian terpenting dari membran yang berhubungan
dengan permeabilitas sel. Porinmerupakan protein yang berbentuk pori-pori
diouter membran yang mengatur masuknya molekul-molekulhidtofilik kecil,
porin ini mengaturperpindahan molekul tersebut ke dalam ruang perisplasmik
untuk transport melalui membrane sitoplasma. Fungsi outer membrane adalah
mengatur tekanan negatif pada sel, sebagai pori untukmasuknya molekul
hidrofolik sebagai phagereseptor atau berhubungan dengan patogenitasbakteri,
mengatur stabilitas sel dan mempertahankan enzim dalam periplasmic (Paustian,
2006).
Efek utama dari infeksi V.cholerae O1 adalah meningkatnya secara aktif
sekresi klorida dan bikarbonat, dan menurunnya absorpsi sodium klorida. Kedua
peristiwa ini terjadi melalui pekerjaan toksin kolera, yaitu (i) subunit B, yang
mengikatkan diri pada reseptor di permukaan mukosa epitel intestinal yang
mengandung glikolipid GM1 gangliosida, dan (ii) subunit A yang secara
enzimatis mengaktifkan adenilat siklase dan meningkatkan konsentrasi
intraseluler AMP siklik (cAMP). Selanjutnya cAMP bekerja sebagai pembawa
perintah intraseluler kedua (intracellularsecond messenger) untuk menghambat
absorpsi sodium klorida yang terjadi secara aktif, dan sebaliknya meningkatkan
sekresi klorida dan bikarbonat. Mekanisme lain selain peningkatan konsentrasi
intraseluler dari cAMP yang juga dianggap berperan di dalam sekresi cairan
intestinal pada kolera adalah meningkatnya kadar prostaglandin. Prostaglandin
meningkatkan sekresi cairan intestinal secara in vitro. Akibat meningkatnya
prostaglandin dapat dijumpai di dalam tinja penderita kolera. Gambaran klinis
kolera yang paling menyolok adalah produksi tinja cair yang jumlahnya besar
dan terjadinya dehidrasi sebagai akibat dari kehilangan cairan melalui tinja yang
tidak diganti.
Patogenitas dan manifestasi klinis Vibrio cholerae merupakan akibat dari
sejumlah faktor vrulensi yang di inveksikan oleh bakteri tersebut. Virulensi
adalah ukuran patogenitas organisme. Tingkat virulensi berbanding lurus dengan
kemampuan organisme menyebabkan penyakit. Tingkat virulensi dipengaruhi
oleh jumlah bakteri, jalur masuk ke tubuh inang, mekanisme pertahanan inang,
dan faktor virulensi bakteri. Faktor virulensi utama dihasilkan oleh Vibrio
cholerae merupakan enterotoksin ekstraseluler yang kuat yang berperan pada sel
usus kecil. Dalam struktur dan fungsinya. Toksin Cholera (CT), atau
“choleragen”, merupakan suatu molekul protein kompleks dengan berat molekul
sekitar 84.000 di susun oleh dua subunit utama. CT memiliki subunit toksin A
dan B. Subunit A yang melakukan respon untuk aktivitas biologi sedangkan
subunit B yang melakukan respon pengikatan seluler toksin. Subunit A terdiri
dari dua polipeptida yang diikat bersama oleh suatu ikatan disulfida tunggal.
Aktifitas toksik terdapat pada A1, sedangkan A2 tersedia sebagai pengikat
subunit B (Wachsmuth, Blake, Olsvik, 2005).
Subunit B terdiri dari lima peptide yang identik dengan masingmasing
berat molekul 11.500 Da. Subunit B berikatan sangat cepat dengan molekul
monosialogangliosid GM1 dari sel usus kecil.Subunit A selanjutnya terlepas dari
subunit B sehingga menembus membran seluler. Aktivasi A1 terjadi dengan
reduksi ikatan disulfida. A1 yang teraktifkan secara enzimatik, dengan
mentransfer adenosin difosfat ribosa dari nikotinamid adenin dinukleotida
(NAD) menjadi protein pengikat-GTP (guanosin trifosfat) yang mengatur
aktifitas adenilsiklaseAksi tersebut menghambat mekanisme “turnoff” GTP dari
aktivitas adenilsiklase dan meningkatkan aktivitas adenilsiklase. Peningkatan
aktivitas adenilsiklase tersebut menyebabkan peningkatan level cAMP
intraseluler (cyclic AMP) yang menyebabkan meningkatnya sekresi elektrolit ke
dalam lumen usus. Hilangnya elektrolit layaknya peningkatan sekresi klorida
tergantung-natrium dan mencegah penyerapan Na dan Cl melintasi membran
oleh mekanisme kotranspor NaCl. Pembentukan sekresi merupakan suatu cairan
isotonis dengan konsentrasi bikarbonat dua kali dari plasma normal dan Kalium
4-8 kali plasma normal. Pengeluaran cairan dapat mencapai 1 liter per jam, dan
pengaruhnya dapat dilihat pada pasien penderita. Triptofan pada subunit toksin B
memiliki peran vital dalam pengikatan reseptor. Triptofan B distimulasi oleh
komponen sistein dan disalurkan menuju membran sel eukariotik oleh pentamer
B. Sub unit B mengandung lima polipeptida, dimana masing- masing molekul
memiliki aktivitas ADP ribosyltransferase dan menyebabkan transfer ADP ribose
dari NAD ke sebuah guanosine triphospate, mengikat protein yang mengatur
aktivitas adenilat siklase yang mengakibatkan produksi cAMP yang menghambat
absorpsi NaCl dan merangsang ekskresi klorida, sehingga menyebabkan
hilangnya air, NaCl, Kalium dan bikarbonat (Selvanantham et al., 2013).

F. Diagnosis
1. Gejala Klinis
Seseorang tersuspek kolera ketika seorang pasien yang berusia lebih
dari 5 tahun mengalami dehidrasi parah akibat berair akut diare (biasanya
dengan muntah); atau setiap pasien di atas usia 2 tahun memiliki diare berair
akut di suatu daerah di mana ada wabah kolera. Diare cair dan muntah
timbul sesudah masa inkubasi 6 jam sampai 72 jam (rata-rata 2-3 hari)
kadang-kadang sampai 7 hari. Kolera dimulai dengan awitan diare berair
tanpa rasa nyeri (tenesmus) dengan tiba-tiba yang mungkin cepat menjadi
sangat banyak dan sering langsung disertai muntah. Feses memiliki
penampakan yang khas yaitu cairan agak keruh dengan lendir, tidak ada
darah dan berbau agak amis. Kolera di juluki air cucian beras (rise water
stool) karena kemiripannya dengan air yang telah digunakan untuk mencuci
beras. nyeri abdominal di daerah umbilikal sering terjadi. Pada kasus-kasus
berat sering dijumpai muntah-muntah, biasanya timbul setelah awitan diare
kurang lebih 25 % penderita anak-anak mengalami peningkatan suhu rektum
(38-39C), pada saat dirawat atau pada 24 jam pertama perawatan gejala
klinisnya sesuai dengan penurunan volume cairan, pada kehilangan 3-5 %
BB normal, mulai timbul rasa haus (Sharifi-Mood et al., 2014).

Kehilangan 5-8 %, hipotensi postural, kelemahan, takikardia dan


penurunan turgor kulit, di atas 10% BB atau lebih merupakan diare masif,
dimana terdapat dehidrasi berat dan kolaps peredaran darah, dengan tanda-
tanda tekanan darah menurun (hipotensi) dan nadi lemah dan sering tak
terukur, pernafasan cepat dan dalam, oliguria, mata cekung pada bayi, ubun-
ubun cekung, kulit terasa dingin dan lembab disertai turgor yang buruk, kulit
menjadi keriput, terjadi sianosis dan nyeri kejang pada otot-otot anggota
gerak, terutama pada bagian betis. Penderita tampak gelisah, disertai letargi,
somnolent dan koma. Pengeluaran tinja dapat berlangsung hingga 7 hari.
Manifestasi selanjutnya tergantung pada pengobatan-pengobatan pengganti
yang memadai atau tidak. Komplikasi biasanya disebabkan karena
penurunan volume cairan dan elektrolit. Komplikasi dapat dihindari dan
proses dapat dibatasi apabila diobati dengan cairan dan garam yang
menandai. Tanda awal penyembuhan biasanya adalah kembalinya pigmen
empedu di dalam tinja. Pada umumnya diare akan cepat berhenti.
2. Pemeriksaan Fisik

Adanya tanda-tanda dehidrasi yaitu keadaan turgor kulit, mata


cekung, Ubun ubun besar yang cekung, mulut kering,denyut nadi lemah atau
tiada, takikardi, kulit dingin, sianosis, selaput lendir kering, washer woman
hands sign dan kehilangan berat badan (LaRocque & Jason, 2018).

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Kultur Bakteriologis

Diagnosis pasti kolera tergantung dari keberhasilan mengisolasi V.


Kolera dari tinja penderita penanaman pada media seletif agar gelatin
tiosulfat-sitrat-empedu-sukrosa (TCBS) dan TTGA. Tampak pada TCBS
organisme V. Kolera menonjol sebagai koloni besar, kuning halus berlatar
belakang medium hijau kebiruan. Pada TTGA koloni kecil, opak dengan
zone pengkabutan sekelilingnya (Depkes, 2013).

b. Reaksi aglutinasi dengan antiserum spesifik

Yaitu melalui penentuan antibodi-antibodi vibriosidal, aglutinasi


dan penetralisasi toksin, titer memuncrat dan ke 3 antibodi tersebut akan
terjadi 7-14 hari setelah awitan penyakit-titer antibodi vibriosidal dan
aglutinasi akan kembali pada kadar awal dalam waktu 8-12 minggu
setelah awitan penyakit, sedangkan titer antitoksin akan tetap tinggi
hingga 12-18 bulan. Kenaikan sebesar 4x atau lebih selama masa penyakit
akut atau penurunan titer selama masa penyembuhan .

c. Pemeriksaan Feses rutin

d. PCR (Polymerase Chain Reaction) Test. Test ini mempunyai sensitifitas


100% dan spesifitas 100% (Depkes, 2013).

e. Dark Field Test

f. Pemeriksaan darah
Pada darah lengkap ditemukan angka leukosit yang meninggi yang
menunjukkan adanya suatu proses infeksi, pemeriksaan terhadap pH,
bikarbonat didalam plasma yang menurun, dan pemeriksaan elektrolit
untuk menentukan gangguan keseimbangan asam basa (Diaconu et al.,
2018).

G. Komplikasi
1. Edema paru
Edem paru terjadi ketika terlalu banyak cairan IV diberikan, dan terutama
saat metabolisme asidosis belum diatasi. Yang terakhir paling mungkin
terjadi ketika salin normal digunakan untuk IV rehidrasi dan larutan ORS
tidak diberikan secara bersamaan. Ketika pedoman untuk rehidrasi IV
diikuti, edema paru seharusnya tidak terjadi. larutan ORS tidak pernah
menyebabkan edema paru.
2. Gagal ginjal
Gagal ginjal dapat terjadi ketika terlalu sedikit cairan IV diberikan, ketika
syok tidak cepat diperbaiki, atau ketika syok terjadi berulang, terutama pada
orang di atas usia 60 tahun.
3. Gangguan Keseimbangan Elektrolit yang Berat
4. Syok Hipovolemik (WHO, 2015).

H. Penatalaksanaan (WHO, 2015)


Langkah-langkah dalam pengelolaan kolera yang dicurigai:
Langkah 1. Kaji dehidrasi.
Langkah 2. Rehidrasi pasien, dan pantau sesering mungkin. Kemudian penilaian
kembali status hidrasi.
Langkah 3. Pertahankan hidrasi: ganti kehilangan cairan yang berkelanjutan
sampai diare berhenti.
Langkah 4. Berikan antibiotik oral kepada pasien dengan dehidrasi parah.
Langkah 5. Beri makan pasien. (WHO,2009)

Langkah 1. Kaji dehidrasi.


Gunakan tabel dibawah ini untuk menentukan tingkat dehidrasi pasien.
Tabel 2.1 Derajat Dehidrasi (WHO, 1995)
Langkah 2. Rehidrasi pasien
a. Rencana Terapi C (Dehidras Berat)
1. Berikan cairan IV segera untuk menggantikan defisit cairan. Gunakan
Ringer's lactate larutan atau, jika tidak tersedia, saline normal. Mulai
cairan IV segera. Jika pasien dapat minum, mulailah memberikan oral
larutan garam rehidrasi (ORS) melalui mulut saat tetesan sedang
disiapkan. Untuk pasien berusia 1 tahun dan lebih tua, berikan 100 ml / kg
IV dalam 3 jam, sebagai berikut:
- 30 ml / kg secepat mungkin (dalam 30 menit); kemudian
- 70 ml / kg dalam 22 jam ke depan.
Untuk pasien kurang dari 1 tahun, berikan 100 ml / kg IV dalam 6 jam,
sebagai berikut:
- 30 ml / kg pada jam pertama; kemudian
- 70 ml / kg dalam 5 jam ke depan.
2. Pantau pasien dengan sangat sering. Setelah awal 30 ml / kg telah
diberikan, denyut nadi radial harus kuat (dan tekanan darah harus normal).
Jika nadi belum kuat, terus berikan cairan IV dengan cepat.
3. Berikan larutan oralit (sekitar 5 ml / kg / jam) segera setelah pasien dapat
minum, sembari meneruskan rehidrasi melalui infus.
4. Menilai kembali pasien setelah 3 jam (bayi setelah 6 jam), menggunakan
Tabel 1:
- Jika masih ada tanda-tanda dehidrasi parah (ini jarang terjadi), ulangi
Terapi IV sudah diberikan.
- Jika ada tanda-tanda dehidrasi, lanjutkan seperti yang ditunjukkan di
bawah ini untuk beberapa dehidrasi.
- Jika tidak ada tanda-tanda dehidrasi, lanjutkan ke Langkah 3 untuk
mempertahankan hidrasi dengan mengganti kehilangan cairan yang
sedang berlangsung.

b. Dehidrasi Ringan - Sedang


- Berikan solusi ORS dalam jumlah yang direkomendasikan pada Tabel 2
berikut :

- Jika pasien buang air besar atau menginginkan lebih banyak larutan oralit
daripada ditampilkan, beri lebih banyak.
- Pantau pasien sesering mungkin untuk memastikan bahwa larutan ORS
dapat mengatasi dehidrasi dan untuk mendeteksi pasien dengan diare
berkelanjutan yang akan terjadi membutuhkan pemantauan lebih intens.
- Menilai kembali pasien setelah 4 jam, menggunakan Tabel 1:
- Jika tanda-tanda dehidrasi parah telah muncul (ini jarang terjadi), dehidrasi
untuk dehidrasi parah, seperti di atas.
- Jika masih ada dehidrasi, ulangi prosedur untuk beberapa dehidrasi, dan
mulai menawarkan makanan dan cairan lain.
- Jika tidak ada tanda-tanda dehidrasi, lanjutkan ke Langkah 3 untuk
mempertahankan hidrasi dengan mengganti kehilangan cairan yang
sedang berlangsung.
c. Tanpa Dehidrasi
- Pasien dapat dirawat di rumah. Berikan paket ORS untuk dibawa pulang.
Berikan paket yang cukup selama 2 hari. Tunjukkan cara mempersiapkan
dan memberikan solusinya.
Instruksikan pasien atau pengasuh untuk kembali jika ada tanda-tanda
berikut :
- Jumlah BAB cair bertambah
- Makan dan minum seidikit
- Kehausan
- Muntah berulang
Atau jika ada tanda-tanda yang menunjukkan masalah lain berkembang:
- Demam
- Darah dalam tinja
Langkah 3. Pertahankan hidrasi
Ketika seorang pasien yang telah direhidrasi dengan cairan IV atau larutan
ORS sudah tidak memiliki tanda-tanda dehidrasi,lanjutkan dengan memberikan
larutan ORS untuk pertahankan hidrasi normal. Tujuannya adalah untuk
mengganti kehilangan tinja. Jumlah larutan ORS yang sebenarnya diperlukan
untuk mempertahankan hidrasi bervariasi dari pasien ke pasien, tergantung pada
volume tinja yang dikeluarkan. Jumlah cairan yang diberikan dalam 24 jam,
rata-rata adalah 200 ml larutan ORS per kg berat badan, tetapi beberapa mungkin
membutuhkan sebanyak 350 ml / kg. Evaluasi keadaan pasien tiap 4 jam untuk
memastikan cairan mainenence yang diberikan cukup.
Beberapa pasien, dengan BAB yang sangat banyak , mungkin mengalami
kesulitan dalam minum volume ORS diperlukan untuk menjaga hidrasi. Jika
demikian pasien menjadi lelah, sering muntah atau mengalami distensi perut,
Larutan ORS harus dihentikan dan hidrasi harus dipertahankan intravena dengan
larutan Ringer laktat atau salin normal, memberikan 50 ml / kg dalam 3 jam.
Setelah ini dilakukan, biasanya mungkin untuk melanjutkan perawatan dengan
larutan ORS. Observasi pasien hingga diare berhenti atau frekuensi dan
kuantitas BAB berkurang.
Langkah 4. Berikan antibiotik oral kepada pasien dengan dehidrasi parah.

Antibiotik efektif dapat mengurangi volume diare pada pasien dengan


kolera dan memperpendek periode Vibrio cholerae O1 diekskresikan. Selain itu,
biasanya akan menghentikan diare dalam waktu 48 jam, sehingga memperpendek
masa rawat inap. Mulai antibiotik, jika pasien mengalami dehidrasi parah dan
berusia lebih dari 2 tahun. Mulai antibiotik setelah pasien di rehidrasi (biasanya
dalam 4-6 jam), dan muntah telah berhenti.
Tabel 2.2 Antibiotik pada Kolera

Langkah 5. Beri makan pasien.


Lanjutkan menyusui dengan diet normal ketika muntah telah berhenti.

I. Pencegahan
Cara pencegahan dan memutuskan tali penularan penyakit kolera adalah
dengan prinsip sanitasi lingkungan, terutama kebersihan air dan pembuangan
kotoran (feaces) pada tempatnya yang memenuhi standar lingkungan. Lainnya
ialah meminum air yang sudah dimasak terlebih dahulu, cuci tangan dengan
bersih sebelum makan memakai sabun/antiseptik, cuci sayuran dangan air bersih
terutama sayuran yang dimakan mentah (lalapan), hindari memakan ikan dan
kerang yang dimasak setengah matang. Bila dalam anggota keluarga ada yang
terkena kolera, sebaiknya diisolasi dan secepatnya mendapatkan pengobatan.
Benda yang tercemar muntahan atau tinja penderita harus di sterilisasi,
searangga lalat (vektor) penular lainnya segera diberantas. Pemberian vaksinasi
kolera dapat melindungi orang yang kontak langsung dengan penderita.
Eradikasi dengan cara pemberian vaksin, terbukti tidak efektif bagi negara-
negara berkembang yang keadaan sosial-ekonominya rendah.
III. KESIMPULAN

1. Kolera adalah penyakit diare akut, yang disebabkan oleh infeksi usus akibat terkena
bakteria Vibrio Cholerae O1 dan O139
2. Pasien dengan kolera, akan mudah mengalami dehidrasi berat akibat berair akut
diare, diare seperti air cucian beras (rise water stool), biasanya dengan muntah,,
nyeri abdominal di daerah umbilikal , peningkatan suhu rektum (38-39 celcius), dan
gejala klinis lainnya yang sesuai dengan penurunan volume cairan,

3. Pemeriksaan penunjang yang visa dikerjakan adalah Kultur Bakteriologis, Reaksi


aglutinasi dengan antiserum spesifik, Pemeriksaan Feses rutin, PCR (Polymerase
Chain Reaction) Test, Dark Field Test, Pemeriksaan darah

4. Komplikasi pada kolera adalah edem paru, gagal ginjal, gangguan keseimbangan
elektrolit berat, dan syok hipovolemik.
5. Penatalaknsanaan pada kasus kolera adalah kaji dehidrasi, Rehidrasi pasien, dan
pantau sesering mungkin. Kemudian penilaian kembali status hidrasi, Pertahankan
hidrasi, Berikan antibiotik oral kepada pasien dengan dehidrasi parah, dan Beri
makan pasien.
6. Pencegahan yang bisa dilakukan adalah sanitasi lingkungan, terutama kebersihan
air dan pembuangan kotoran (feaces) pada tempatnya, cuci tangan dengan bersih
memakai sabun/antiseptik, cuci sayuran dangan air bersih terutama sayuran yang
dimakan mentah (lalapan), hindari memakan ikan mentah, dan vaksinasi.

19
DAFTAR PUSTAKA

Anderson BN,. Ding AM, and Thomas WE, 2007. Weak Rolling Adhesion
Enhances Bacterial Surface Colonization, Journal of Bacteriology, 189
(5): 1798-180
Ashida H, Ogawa M, Kim M, Mimuro H, and Sasakawa C, 2011. Bacteria and
host interactions in the gut epithelial barrier, Natur Chemical Biology
(8)1: 36-45
Depkes, 2013. Diagnosa Vibrio Cholerae dengan Metode Kultur dan Polimerase
Chain Reaction (PCR) pada Sampel Sumber Air Minum. Jurnal Biotek
Medisiana Indonesia, Vol 2: No 2.
Diaconu, K., Jennifer Falconer, Fiona O’May, Miguel Jimenez, Joe Matragrano,
Betty Njanpop-Lafourcade, and Alastair Ager. 2018. Cholera diagnosis
in human stool and detection in water: protocol for a systematic review
of available technologies. Syst Rev.7: 29.
Eroschenko, VP. 2003. Atlas Histologi di Fiore dengan Korelasi Fungsional.
Edisi 9. Jakarta: EGC.
Gulli, Musjaya. 2016. Patogenesis Penyakit Kolera pada Manusia. Biocelebes,
Vol. 10 No. 2: 18-24

Guyton and Hall. 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 12. Jakarta: EGC.

LaRocque, R. & Jason B Harris. 2019. Cholera: Clinical features, diagnosis,


treatment, and prevention. International Journal of infection, 1-2
Mrityunjoy A, Kaniz F, Fahmida J, Shanzida J SMd, Aftab U. and Rashed N,
2013. Prevalence of Vibrio cholerae in different food samples in the city
of Dhaka, Bangladesh, 20(2): 1017-1022
Paustin T, 2006. Microbiologi dan Bakteriologi. Universitas Indonesia, Jakarta.
Sariadji,K., Sunarno & Rudi Hendro Putranto, 2015. Uji Diagnostik Cepat
Sebagai Metode Alternatif Diagnosis Kholera yang Disebabkan oleh
Agen Vibrio Cholera. Jurnal Biotek Medisiana Indonesia. Vol.4.1 :1-7
Sawasvirojwong S, Srimanote P, Chatsudthipong V, and Muanprasat C, 2013. An
Adult Mouse Model of Vibrio cholerae-induced Diarrhea for Studying
Pathogenesis and Potential Therapy of Cholera, Journal of Negleted
Tropical Diseas
Selvanantham T, Escalante NK, Tleugabulova MC, Fiévé S, Girardin SE, Philpott
DJ, Mallevaey T, 2013. Nod1 and Nod2 Enhance TLRMediated
Invariant NKT Cell Activation during Bacterial Infection, The Journal of
Immunology
Sharifi-Mood B, Metanat M. Diagnosis, Clinical Management, Prevention, and
Control of Cholera; A Review Study, Int J Infect. 2014 ; 1(1)
Sheerwood L. 2014. Fisiologi manusia: dari Sel ke Sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC
World Health Organization. 2015. Management of the patient with cholera. World
Health Organization Emerging and other Communicable Diseases,
Surveillance and Control
World Health Organization.. 2018. Vaccine-Preventable Diseases Surveillance
Standards. Geneva: WHO.

Anda mungkin juga menyukai