Anda di halaman 1dari 20

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Medis


2.1.1 Pengertian
Gagal ginjal kronis (Chronic Renal Failure) adalah kerusakan ginjal progresif
yang berakibat fatal dan ditandai dengan uremia (urea dan limbah nitrogen lainnya
yang beredar dalam darah serta komplikasinya jika tidak dilakukan dialisis atau
transplantasi ginjal). (Nursalam, 2006 hal 47).
Gagal ginjal kronik terjadi apabila kedua ginjal sudah tidak mampu
mempertahankan lingkungan yang cocok untuk kelangsungan hidup, yang bersifat
irreversible. (Baradero, Mary. 2008 hal. 124).
Gagal Ginjal Kronik adalah penurunan fungsi ginjal yang bersifat persisten
dan irreversible. Sedangkan gangguan fungsi ginjal yaitu penurunan laju filtrasi
glomerulus yang dapat digolongkan dalam kategori ringan, sedang, dan berat,
(Mansjoer, 2007).
Gagal ginjal kronis adalah penurunan fungsi ginjal yang bersifat tidak dapat
kembali (irreversible) dan berkelanjutan (progresif). Dimana terjadi kegagalan
kemampuan tubuh untukj mempertahankan keseimbangan metabolik,cairan dan
elektrolit. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya uremia atau azotemia yaitu retensi
urea dan sampah nitrogen lainnya di dalam darah (Brunner & Suddart, 2015).
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa gagal ginjal kronik
adalah penyakit ginjal yang tidak dapat lagi pulih atau kembali sembuh secara total
seperti sediakala. Gagal ginjal kronik adalah penyakit ginjal tahap ahir yang dapat
disebabakan oleh berbagai hal. Dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan elektrolit, yang
menyebabkan uremia.

2.1.2 Etiologi
Penyebab dari gagal ginjal kronis antara lain :
1. Infeksi saluran kemih (pielonefritis kronis).
Infeksi saluran kemih (SIK) sering terjadi dan menyerang manusia tanpa
memandang usia, terutama wanita. Infeksi saluran kemih umumnya dibagi dalam
dua kategori besar : Infeksi saluran kemih bagian bawah (uretritis, sistitis,
prostatis) dan infeksi saluran kencing bagian atas (pielonepritis akut). Sistitis
kronik dan pielonepritis kronik adalah penyebab utama gagal ginjal tahap akhir
pada anak-anak. (Price, 2002: 919)
2. Penyakit peradangan (glomerulonefritis)
Kematian yang diakibatkan oleh gagal ginjal umumnya disebabkan oleh
glomerulonepritis kronik. Pada glomerulonepritis kronik, akan terjadi kerusakan
glomerulus secara progresif yang pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya
gagal ginjal. (Price, 2002:)
3. Nefrosklerosis hipertensif
Hipertensi dan gagal ginjal kronik memiliki kaitan yang erat. Hipertensi
mungkin merupakan penyakit primer dan menyebabkan kerusakan pada ginjal,
sebaliknya penyakit ginjal kronik dapat menyebabkan hipertensi atau ikut
berperan pada hipertensi melalui mekanisme retensi natrium dan air, serta
pengaruh vasopresor dari sistem renin-angiotensin. (Price, 2002: 933),
4. Penyakit kongenital dan herediter (penyakit ginjal polikistik, asidosis tubulus
ginjal).
Asidosis tubulus ginjal dan penyakit polikistik ginjal merupakan penyakit
herediter yang terutama mengenai tubulus ginjal. Keduanya dapat berakhir
dengan gagal ginjal meskipun lebih sering dijumpai pada penyakit polikistik.
(Price, 2002: 937)
5. Penyakit metabolik (DM, gout, hiperparatiroidisme).
Penyakit metabolik yang dapat mengakibatkan gagal ginjal kronik antara lain
diabetes mellitus, gout, hiperparatiroidisme primer dan amiloidosis. (Price, 2002:
940)
6. Nefropati toksik.
Ginjal khususnya rentan terhadap efek toksik, obat-obatan dan bahan-bahan
kimia karena alasan-alasan berikut :
a. Ginjal menerima 25 % dari curah jantung, sehingga sering dan mudah kontak
dengan zat kimia dalam jumlah yang besar.
b. Interstitium yang hiperosmotik memungkinkan zat kimia dikonsentrasikan
pada daerah yang relatif hipovaskular.
c. Ginjal merupakan jalur ekskresi obligatorik untuk kebanyakan obat, sehingga
insufisiensi ginjal mengakibatkan penimbunan obat dan meningkatkan
konsentrasi dalam cairan tubulus. (Price, 2002:944).
7. Nefropati obstruktif (batu saluran kemih).
8. BAK sedikit , warna urine lebih tua , bercampur darah.
9. Peningkatan ureum atau kreatinin.
(Price & Wilson, 1994)

2.1.3 Patofisiologi
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan
tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron
yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai
reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR).
Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–
nefron rusak.Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa
direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena
jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk
sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul
gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% -
90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin clearance turun
sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu.( Barbara C Long, 1996, 368)
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya
diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah.Terjadi uremia dan
mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka
gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis. (Brunner
& Suddarth, 2001 : 1448).

Gagal ginjal kronik dibagi 3 stadium :

1. Stadium 1 : penurunan cadangan ginjal, pada stadium kadar kreatinin serum


normal dan penderita asimptomatik.
2. Stadium 2 : insufisiensi ginjal, dimana lebihb dari 75 % jaringan telah rusak,
Blood Urea Nitrogen ( BUN ) meningkat, dan kreatinin serum meningkat.
3. Stadium 3 : gagal ginjal stadium akhir atau uremia.

Menurut Chronic Kidney Disease Improving Global Outcomes (CKD KDIGO)


Proposed Classification, dapat dibagi menjadi
1. Stadium 1 : kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria persisten dan laju
yang masih normal ( > 90 ml / menit / 1,73 m2)
2. Stadium 2 : Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan LFG antara 60-89
mL/menit/1,73 m2
3. Stadium 3 : kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59 mL/menit/1,73m2
4. Stadium 4 : kelainan ginjal dengan LFG antara 15-29mL/menit/1,73m2
5. Stadium 5 : kelainan ginjal dengan LFG < 15mL/menit/1,73m2 atau gagal ginjal
terminal.
Untuk menilai GFR ( Glomelular Filtration Rate ) / CCT ( Clearance Creatinin Test )
dapat digunakan dengan rumus :

Clearance creatinin ( ml/ menit ) = (( 140-umur ) x berat badan ( kg )) / ( 72 x


creatini serum )
Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85. (Corwin, 1994)

PATHWAY
2.1.4 Manifestasi Klinik
1. Kardiovaskuler
a. Hipertensi, gagal jantung kongestif, udema pulmoner, perikarditis
b. Pitting edema (kaki, tangan, sacrum)
c. Edema periorbital
d. Friction rub pericardial
e. Pembesaran vena leher
2. Dermatologi
a. Warna kulit abu-abu mengkilat
b. Kulit kering bersisik
c. Pruritus
d. Ekimosis
e. Kuku tipis dan rapuh
f. Rambut tipis dan kasar
3. Pulmoner
a. Krekels
b. Sputum kental
c. Nafas dangkal
d. Pernafasan kusmaul
4. Gastrointestinal
a. Anoreksia, mual, muntah, cegukan
b. Nafas berbau ammonia
c. Ulserasi dan perdarahan mulut
d. Konstipasi dan diare
e. Perdarahan saluran cerna
5. Neurologi
a. Tidak mampu konsentrasi
b. Kelemahan dan keletihan
c. Konfusi/ perubahan tingkat kesadaran
d. Disorientasi
e. Kejang
f. Rasa panas pada telapak kaki
g. Perubahan perilaku
6. Muskuloskeletal
a. Kram otot
b. Kekuatan otot hilang
c. Kelemahan pada tungkai
d. Fraktur tulang
e. Foot drop
7. Reproduktif
a. Amenore
b. Atrofi testekuler
(Smeltzer & Bare, 2001)

2.1.5 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Laboratorium darah :
BUN, Kreatinin, elektrolit (Na, K, Ca, Phospat), Hematologi (Hb, trombosit,
Ht, Leukosit), protein, antibody (kehilangan protein dan immunoglobulin)

b. Pemeriksaan Urin
Warna, PH, BJ, kekeruhan, volume, glukosa, protein, sedimen, SDM, keton,
SDP, TKK/CCT

2. Pemeriksaan EKG
Untuk melihat adanya hipertropi ventrikel kiri, tanda perikarditis, aritmia, dan
gangguan elektrolit (hiperkalemi, hipokalsemia).

3. Pemeriksaan USG
Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan parenkim
ginjal, anatomi system pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih serta
prostate.

4. Pemeriksaan Radiologi
Renogram, Intravenous Pyelography, Retrograde Pyelography, Renal
Aretriografi dan Venografi, CT Scan, MRI, Renal Biopsi, pemeriksaan rontgen
dada, pemeriksaan rontgen tulang, foto polos abdomen.

2.1.6 Komplikasi
Komplikasi yang mungkin timbul akibat gagal ginjal kronis antara lain :
1. Hiperkalemia
2. Perikarditis
3. Hipertensi
4. Anemia
5. Penyakit tulang
(Smeltzer & Bare, 2001)

2.1.7 Penatalaksanaan
Transplantasi ginjal merupakan upaya terakhir dalam perawatan penderita
gangguan ginjal. Hal ini terutama dilakukan apabila fungsi ginjal yang tersisa sangat
sedikit bahkan tidak ada. Prinsip utama nya adalah mengganti ginjal yang rusak
dengan ginjal yang sehat lewat proses operasi.Tujuan penatalaksanaan pada gagal
ginjal kronis adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis selama
mungkin. Semua factor yang berperan dalam terjadinya gagal ginjal kronis dicari dan
diatasi.
Adapun penatalaksanaannya yaitu : Penatalaksanaan konservatif, Meliputi
pengaturan diet, cairan dan garam, memperbaiki ketidakseimbangan elektrolit dan
asam basa, mengendalikan hiperensi, penanggulangan asidosis, pengobatan neuropati,
deteksi dan mengatasi komplikasi. Dan penatalaksanaan pengganti diantaranya
dialysis (hemodialisis, peritoneal dialysis) transplantasi ginjal.
Selain itu tujuan penatalaksanaan adalah menjaga keseimbangan cairan dan
elektrolit dan mencegah komplikasi yaitu sebagai berikut :
a) Restriksi konsumsi cairan, protein, dan fosfat.
b) Obat-obatan: diuretik untuk meningkatkan urinasi; alumunium hidroksida untuk
terapi hiperfosfatemia; anti hipertensi untuk terapi hipertensi serta diberi obat
yang dapat menstimulasi produksi RBC seperti epoetin alfa bila terjadi anemia.
Konversi angiotensin (ACE - Angiotensin-converting enzyme) atau penyekat
reseptor Angiotensin II untuk melindungi fungsi ginjal. Eritropoietin untuk
mendukung pembentukan sel darah merah. Vitamin D untuk mendukung
metabolisme tulang. Pengikat fosfat untuk menurunkan konsentrasi fosfor dalam
darah.
c) Dialisis
Dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal akut yang serius,
seperti hiperkalemia, perikarditis dan kejang. Perikarditis memperbaiki
abnormalitas biokimia; menyebabkan caiarn, protein dan natrium dapat
dikonsumsi secara bebas; menghilangkan kecendurungan perdarahan; dan
membantu penyembuhan luka.
d) Penanganan hiperkalemia;
Keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan masalah utama pada gagal
ginjal akut; hiperkalemia merupakan kondisi yang paling mengancam jiwa pada
gangguan ini. Oleh karena itu pasien dipantau akan adanya hiperkalemia melalui
serangkaian pemeriksaan kadar elektrolit serum (nilai kalium > 5.5 mEq/L ; SI :
5.5 mmol/L), perubahan EKG (tinggi puncak gelombang T rendah atau sangat
tinggi), dan perubahan status klinis. Pningkatan kadar kalium dapat dikurangi
dengan pemberian ion pengganti resin (Natrium polistriren sulfonat
[kayexalatel]), secara oral atau melalui retensi enema.
e) Mempertahankan keseimbangan cairan;
Penatalaksanaan keseimbanagan cairan didasarkan pada berat badan harian,
pengukuran tekanan vena sentral, konsentrasi urin dan serum, cairan yang hilang,
tekanan darah dan status klinis pasien. Masukkan dan haluaran oral dan parentral
dari urine, drainase lambung, feses, drainase luka dan perspirasi dihitung dan
digunakan sebagai dasar untuk terapi penggantian cairan.
f) Koreksi anemia
Pengendalian gagal ginjal pada keseluruhan akan dapat meninggikan Hb.
Transfusi darah hanya dapat diberikan bila ada indikasi yang kuat, missal pada
adanya insufisiensi koroner.
g) Koreksi asidosis.
Pemberian asam melalui makanan dan obat-obatan harus dihindari.Natrium
bikarbonat dapat diberikan peroral atau parenteral. Hemodialisis dan dialysis
peritoneal dapat juga mengatasi asidosis.
2.2 Konsep Kelebihan Volume Cairan

2.2.1 Pengertian

Kelebihan volume cairan terjadi apabila tubuh menyimpan cairan dan


elektrolit dalam kompartemen ekstraseluler dalam proporsi yang tidak seimbang.
Kondisi ini dikenal dengan hipervolemia. Karena adanya retensi cairan isotonik,
konsentrasi natrium dalam serum masih normal (Tamsuri, 2009).

2.2.2 Penyebab

Kelebihan cairan tubuh hampir selalu disebabkan oleh peningkatan jumlah


natrium dalam serum. Kelebihan cairan terjadi akibat overload cairan atau adanya
gangguan mekanisme homeostatis pada proses regulasi keseimbangan cairan.
Penyebab spesifik kelebihan volume cairan antara lain :

1. Asupan natrium yang berlebih


2. Pemberian infus berisi natrium yang terlalu cepat dan banyak; terutama pada
klien dengan gangguan mekanisme regulasi cairan
3. Penyakit yang mengubah mekanisme regulasi, seperti gangguan jantung (gagal
jantung kongestif), gagal ginjal, sirosis hati, sindrom Chusing.
4. Kelebihan steroid (Tamsuri, 2009)

2.2.3 Faktor Resiko Dan Tanda Klinis

Tanda Resiko Tanda Klinis


1. Kelebihan volume cairan yang 1. Penambahan berat badan
mengandung natirum dari terapi 2. Edema perifer
intravena 3. Nadi kuat dan frekuensi nadi
2. Asupan cairan yang mengandung meningkat
natrium dari diit atau obat-obatan 4. Peningkatan cvp dan tekanan darah
3. Nilai laboratorium 5. Bunyi napas rales, dyspnea, napas
a. Penurunan hematrokit pendek
b. Penurunan hemoglobin 6. Haluaran cairan melebihi asupan
c. Penurunan bun 7. Kemungkinan terjadi oliguria dan
d. Penurunan cvp penuruna bj urine (<1,003)
4. Gangguan sirkulasi 8. Vena leher terdistensi dan kencang
a. Gagal jantung 9. Lambatnya pengosongan venatangan
b. Gagal ginjal diangkat
c. Sirosis hati 10. Konfusi mental

2.2.4 Konsep Pengaturan Keseimbangan Cairan

Di dalam tubuh yang sehat volume cairan tubuh dan komposisi cairan tubuh
selalu berada dalam kondisi dan batas yang normal. Dalam kondisi normal, intake
cairan sesuai dengan kehilangan cairan tubuh yang terjadi. Kondisi sakit dapat
mengakibatkan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh. Dalam rangka
mempertahankan fungsi tubuh, tubuh akan kehilangan cairan antara lain melalui
proses penguapan ekspirasi, penguapan kulit, ginjal (urin), ekskresi, dan metabolisme.
Cairan tubuh dikatakan seimbang/balance jika antara cairan yang masuk dengan
cairan yang keluar tubuh sama atau dengan toleransi kelebihan/kekurangan ± 50 ml.

Rumus Balance Cairan

Input Cairan = Output Cairan

Keterangan :

Input cairan : terdiri dari minuman yang diminum, makanan dan oksidasi selama
proses metabolisme. Dan cairan lain yang masuk ke dalam tubuh, seperti injeksi, infus
dan lainnya perlu diperhitungkan juga.

Output cairan : terdiri dari tiga, yaitu urine (1 cc/KgBB/jam), IWL (5-15
cc/KgBB/hari) dan feses (± 100-200 ml/hari). Kehilangan cairan menurut cara lain
juga perlu ditambahkan jika ada, contohnya : muntahan, perdarahan, diare dan
lainnya.

Cairan yang diminum penderita gagal ginjal tahap lanjut harus diawasidengan
seksama. Parameter yang tepat untuk diikuti selain data asupan dan pengeluaran
cairan yang dicatat dengan tepat adalah pengukuran berat badan harian. Asuoan yang
bebas dapat menyebabkan beban sirkuklasi menjadi berlebihdan edema. Sedangkan
asupan yang terlalu rendah mengakibatkan dehidrasi, hipotensi dan gangguan fungsi
ginjal.
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan

2.3.1 Pengkajian

Pengkajian pada klien gagal ginjal kronis sebenarnya hampir sama dengan
klien gagal ginjal akut, namun disini pengkajian lebih penekanan pada support system
untuk mempertahankan kondisi keseimbangan dalam tubuh (hemodynmically
process). Dengan tidak optimalnya/ gagalnya fungsi ginjal, maka tubuh akan
melakukan upaya kompensasi selagi dalam batas ambang kewajaran. Tetapi, jika
kondisi ini tetap berlanjut (kronis), maka akan menimbulkan berbagai manifestasi
klinis yang menandakan gangguan sistem tersebut. Berikut ini merupakan pengkajian
keperawatan pada klien dengan gagal ginjal kronis :

1. Biodata
a. Usia
Gagal ginjal menyerang semua golongan usia, tidak ada spesifikasi
khusus pada usia penderita gagal ginjal kronis (Prabowo, 2014).
b. Jenis Kelamin
Laki- laki sering memiliki resiko lebih tinggi terkait dengan pekerjaan
dan pola hidup sehat. Gagal ginjal kronis merupakan periode lanjut dari
insiden gagal ginjal akut, sehingga tidak berdiri sendiri (Prabowo, 2014).
2. Keluhan Utama
Keluhan sangat bervariasi, terlebih jika terdapat penyakit sekunder yang
menyertai. Keluhan bisa berupa urine output yang menurun (oliguria) sampai pada
anuria, penurunan kesadaran karena komplikasi pada system sirkulasi-ventilasi,
anoreksia, mual dan muntah, diaphoresis, fatigue, napas berbau urea, dan pruritis.
Kondisi ini dipicu oleh karena penumpukan (akumulasi) zat sisa metabolisme/ toksin
dalam tubuh kareana ginjal mengalami kegagalan filtrasi ( Prabowo, 2014).
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pada klien dengan gagal ginjal kronis biasanya terjadi penurunan urine output,
penurunan kesadaran, perubahan pola nafas karena komplikasi dari gangguan system
ventilasi, fatigue, perubahan fisiologis kulit, bau urea pada napas. Selain itu, karena
berdampak pada proses metabolisme (sekunder karena intoksikasi), maka akan terjadi
anoreksia, nausea dan vomit sehingga beresiko untuk terjadinya gangguan nutrisi
(Prabowo, 2014).
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Gagal ginjal kronik dimulai dengan periode gagal ginjal akut dengan berbagai
penyebab (multikausa). Oleh karena itu, informasi penyakit terdahulu akan
menegaskan untuk penegakan masalah. Kaji riwayat ISK, payah jantung, penggunaan
obat berlebihan (overdosis) khususnya obat bersifat nefrotosik, BPH dan lain
sebagainya yang mampu mempengaruhi kerja ginjal. Selain itu, ada beberapa
penyakit yang langsung mempengaruhi / menyebabkan gagal ginjal yaitu diabetes
mellitus, hipertensi. Batu saluran kemih (urolithiasis) (Prabowo, 2014).
5. Riwayat Kesehatan Keluarga
Gagal ginjal kronis bukan penyakit menular dan menurun, sehingga silsilah
keluarga tidak terlalu berdampak pada penyakit gagal ginjal kronis. Namun, pencetus
sekunder seperti DM dan hipertensi memiliki pengaruh terhadap kejadian penyakit
gagal ginjal kronis, karena penyakit tersebut herediter. Pola kesehatan keluarga yang
diterapkan jika anggota keluarga yang sakit, misalnya minum jamu saat sakit
(Prabowo, 2014).
6. Riwayat Psikososial
Kondisi ini tidak selalu ada gangguan jika klien memiliki koping adaptif yang
baik. Pada klien gagal ginjal kronis, biasanya perubahan psikososial terjadi pada
waktu klien mengalami perubahan struktur fungsi tubuh dan menjalani proses dialisa.
Klien akan mengurung diri dan lebih banyak berdiam diri. Selain itu, kondisi ini juga
dipicu oleh biaya yang di keluarkan selama proses pengobatan, sehingga klien
mengalami kecemasan (Prabowo, 2014).
1) Pola Fungsi Kesehatan
2) Pola persepsi dan tatalaksana kesehatan Pemakaian obat yang berlebihan
(Kowalak, 2011).
3) Pola makan tinggi lemak dan karbohidrat
4) Pola eliminasi
a) Eliminasi uri
Sering berkemih pada malam hari, tetapi urine sedikit (Kowalak, 2011).
b) Eliminasi alvi
Frekuensi BAB meningkat 1 x per hari konsistensi (Kowalak, 2011).
5) Pola aktivitas dan kebersihan diri
Aktivitas sehari – hari dibantu karena kekuatan otot menurun (Kowalak, 2011).
6) Pola istirahat – tidur
Terjadi gangguan pola tidur pada malam hari karena sering berkemih pada
malam hari jika penyebab GGK karena Diabetes mellitus.
7) Pola kognitif
Tidak mengalami dalam kognitif, klien dapat menyebutkan hari, bulan, dan
tahun, serta menyebutkan 3 benda, berhitung dan mengikuti perintah
8) Pola konsep diri
a) Identitas diri
Terjadi ketidak mampuan karena sakit yang akan mengancam identitas
klien;
b) Peran diri
Terjadi perubahan dalam peran karena ketidak mampuan klien akibat sakit;
c) Gambaran diri
Terjadi perubahan dalam gambaran diri dan mengubah gaya hidup yang ada;
d) Ideal diri
Tergantung pada individu saat menghadapi kondisi saat ini, seperti pada
harapanya akan kesembuhan, ketahanan psikologis dan dukungan sosial
serta optimisme individu;
e) Harga diri
Penilaian haraga diri hanya bisa ditentukan pada klien itu sendiri.
9) Pola hubungan peran
Interaksi klien tidak mengalami gangguan, dapat berbicara dengan lancar,
mengikuti intruksi dengan dengan tepat.
10) Pola fungsi seksual – seksualitas
Terjadi amenore pada wanita (Kowalak, 2011).
11) Pola mekanisme koping
Sebagian pasien sudah menerima keadaan mereka tetapi ada beberapa pasien
yang masih menyangkal dan bersikap diam untuk menghadapi masalah yang
sedang mereka hadapi.
12) Pola nilai dan kepercayaan
Terjadi peningkatan praktik ibadah dikarenakan ingin sembuh dan ketakutan
akan kematian.
2.3.2 Pemeriksaan Fisik

1) Keadaan umum :

Lemah, kesadaran : konfusi, disorientasi

Tekanan darah : Hipertensi

Dikatakan hipertensi apabila tekanan darah sistolik > 140 mmHg dan diastolic >
90mmHg.

2) Body system

a. Sistem pulmoner
Inspeksi : Pernafasan cepat dan dalam (kussmaul), sputum kental
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, massa, peradangan dan eskpansi dada
simetris
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Jika terjadi penumpukan cairan dalam paru maka
terdengar bunyi krekels
b. Sistem kardiovaskuler
Inspeksi : Pembesaran vena junggularis
Palpasi : Ictus cordis teraba di ics 4 atau 5
Perkusi : Redup
Auskultasi : Jika terjadi penumpukan cairan dalam pleura maka
terdengar friction rub perikardial
c. Sistem neurologi
Kesadaran komposmentis terjadi konfusi dan disorientasi apabila
terjadi penumpukan zat – zat toksik, rasa panas pada telapak kaki
1) Persepsi sensori

Penglihatan Edema periorbital, konjungtiva anemis;

Tidak terganggu, terbukti dengan pasien dapat


Pendengaran
mendengar suara bisikan perawat dan detak jam tangan

Penciuman Tidak terganggu, terbukti pasien dapat mencium macam


bau

Tidak terganggu, terbukti dapat membedakan rasa


Pengecapan
manis, pahit dan asin, asam

Perabaan Tidak terganggu, terbukti klien dapar membedakan

2) Reflek

Reflek Bisep : positif, terdapat fleksi lengan pada siku

: positif, terdapat esktensi lengan bawah pada sendi


Reflek trisep siku

Reflek patella : positif, terdapat plantar fleksi kaki

Reflek achiles : positif terdapat plantar fleksi kaki Reflek patologis

: negative, terdapat plantar fleksi kaki semua jari


Reflek Babinski kaki

d. Sistem gastrointestinal
Inspeksi : ulserasi dan perdarahan pada mulut
Auskultasi : bising usus dapat terdengar meningkat (normalnya 8 – 12
x/mnt)
Perkusi : jika terjadi diare maka ditemukan hipertimpani dan jika
konstipasi maka ditemukan bunyi redup.
Palpasi : tidak terdapat nyeri tekan dan massa.
e. Sistem perkemihan
Inspeksi : tidak ada peradangan dan trauma
Palpasi : tidak ada nyeri tekan dan distensi kandung kemih
f. Sistem integument

Inspeksi : warna kulit abu abu mengkilat, bersisik, ekimosis

Palpasi : kulit kering, kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar
g. Sistem musculoskeletal
Kram otot, kekuatan otot menurun, kelemahan pada tungkai, pitting edema.
h. Sistem reproduksi
Ditemukan : atrofi testikuler (Kowalak, 2011).
BAB 3
METODE STUDI KASUS

3.1 Desain Studi Kasus


Jenis studi kasus ini adalah deskriptif dalam bemtuk studi kasus untuk
mengeksplorasi masalah asuhan keperawatan klien dengan diagnosa medis Gagal
Ginjal Kronik dengan masalah keperawatan kelebihan volume cairan. Pendekatan
yang digunakan adalah pendekatan asuhan keperawatan meliputi pengkajian,
diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
Asuhan keperawatan atau proses keperawatan merupakan cara yang dilakukan
oleh perawat bersama pasien dalam menentukan kebutuhan asuhan keperawatan
dengan melakukan pengkajian, menentukan diagnosa, merencanakan tindakan yang
akan dilakukan, melaksanakan tindakan serta mengevaluasi hasil asuhan keperawatan
yang telah diberikan dengan fokus pada pasien, berorientasi pada tujuan yang ada
pada setiap tahap.

3.2 Subyek Studi Kasus

Subyek yang akan digunakan dalam studi kasus keperawatan adalah individu
dengan kasus yang akan dikaji secara rinci dan mendalam. Adapun subyek studi kasus
yang akan digunakan berjumlah satu kasus dengan masalah keperawatan yang
komperhensif dan holistik. Klien yang akan dijadikan responden yaitu dengan rentang
usia antara usia remaja akhir hingga lansia awal (17-55 tahun), dengan diagnosa
medis gagal ginjal kronik dengan fokus masalah keperawatan kelebihan volume
cairan dan bersedia menjadi responden.

3.3 Definisi Operasional


Standart prosedur operasional pada semua istilah yang digunakan adalah
Asuhan Keperawatan gagal ginjal kronik dengan kelebihan volume cairan di RSUD
Sidoarjo.

Batasan Istilah Definisi Operasional Parameter


Proses Asuhan Serangkaian kegiatan atau 1. Pengkajian
Keperawatan mulai dari tindakan yang diberikan 2. Diagnosa keperawatan
pengkajian sampai melalui praktik 3. Perencanaan
evaluasi pada klien gagal keperawatan kepada klien keperawatan
ginjal kronik dengan penderita gagal ginjal 4. Pelaksanaan tindakan
masalah keperawatan kronik dengan keperawatan
kelebihan volume cairan menggunakan pendekatan 5. Evaluasi
proses keperawatan
Kelebihan Volume Cairan Gangguan dalam 1. Edema ekstremitas
keseimbangan cairan 2. Peningkatan BB
dimana input lebih banyak 3. Turgor kulit buruk, CRT
daripada output >3 detik
4. Pitting edema (+)
5. Oliguria atau anuria

3.4 Lokasi dan Waktu Studi Kasus


1. Tempat pengambilan data
Pengambilan data dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Sidoarjo
2. Waktu studi kasus
Studi kasus ini dilakukan pada bulan Agustus 2019

3.5 Prosedur Studi Kasus

1. Pemilihan masalah yang akan digunakan sebagai studi kasus, pada studi kasus ini
dipilih masalah kelebihan volume cairan pada paasien gagal ginjal kronis.
2. Mengurus surat ijin pengambilan data dari institusi pendidikan D3 Keperawatan
Sidoarjo ke RSUD Sidoarjo.
3. Pengambilan data awal dilakukan setelah mendapat ijin dari RSUD Sidoarjo,
setelah mendapat data awal penulis menyelesaikan penyusunan proposal dan
mengajukan proposal ke pembimbing, kemudian mengikuti ujian proposal.
4. Melakukan asuhan keperawatan terhadap subyek dan penulisan laporan sesuai
ketentuan yang berlaku.

3.6 Teknik Pengumpulan Data

1. Pengamatan (observasi)
Teknik observasi partisipasi serta tindakan pengawasan, pengamatan, untuk
mencapai hal-hal yang berhubungan dengan keadaan klien dengan melaksanakan
tindakan secara langsung pada klien sesuai dengan masalah yang dialami pasien.
2. Wawancara (interview)
Pengumpulan data, penulis berkomunikasi atau tanya jawab dengan pasien,
keluarga pasien, dokter atau yang lain yang ikut merawat dan mengobati pasien
selama melaksanakan perawatan.

3.7 Instrumen Pengumpulan Data

Alat atau instrumen pengumpulan data dengan menggunakan format asuhan


keperawatan meliputi format pengkajian, format pengumpulan dat, diagnosa
keperawatan dan format evaluasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku serta
menggunakan SOP tatalaksana kelebihan volume cairan.

3.8 Keabsahan Data

Keabsahan data dimaksudkan untuk membuktikan kulaitas data atau informasi


yang diperoleh dalam studi kasus sehingga menghasilkan data dengan validasi tinggi,
penulis sebagai instrumen utama. Keabsahan data dilakukan dengan memperpanjang
waktu pengamatan maupun tindakan, sumber data yang diperoleh yaitu berasal dari
klien, keluarga klien melalui wawancara langsung dan melalui pemeriksaan fisik
maupun pemeriksaan penunjang lainnya seperti pemeriksaan laboratorium. Selain itu
data diperoleh melalui rekam medis. Serta sumber informasi tambahan menggunakan
trigulasi dari tiga sumber data utama yaitu klien, perawat dan keluarga klien.

3.9 Analisis Data

Data deskriptif yang disajikan meliputi gambaran karakterisitik responden


gambaran karakteristik gagal ginjal kronis pada klien, gambaran penanganan
intervensi pada klien dengan masalah kelebihan volume cairan.

Jenis penelitian pada proposal karya tulis ilmiah ini sebagai deskriptif dengan
pendekatan proses keperawatan melalui beberapa tahap yaitu pengkajian, analisa data,
perumusan masalah (diagnosis keperawatan), prioritas masalah, perencanaan
(intervensi keperawatan), melakukan tindakan (implementasi keperawatan), evaluasi
keperawatan.

Tahap awal berupa pengkajian yaitu tahapan untuk mrndapatkan data,


pengumpulan data dapat melalui wawancara terhadap klien, keluarga klien dan
observasi.
Tahap selanjutnya perumusan masalah atau penegakan diagnosis. Pada tahap
ini diawali dengan analisa data dari hasil pengkajian yang didapat. Hasil pengkajian
dikelompokkan menjadi data subyektif dan data obyektif. Kedua data tersebut
dianalisis berdasarkan kondisi dan data ditemukan dari hasil wawancara dan
pengkajian dengan klien dan keluarga klien sebelum membuat kesimpulan masalah
keperawatan yang terjadi pada klien.

Tahap yang ketiga adalah penulis menentukan prioritas masalah keperawatan


yang lebih penting untuk diatasi. Prioritas masalah dapat membantu peneliti untuk
mengetahui masalah keperawatan yang penting untuk diselesaikan.

Tahap keempat adalah tahap perencanaan. Tahap perencanaan pada klien


tergantung pada prioritas masalah dan disesuaikan dengan kondisi klien,

Tahap kelima adalah tahap implementasi, implementasi dilakukan sesuai


dengan rumusan masalah, tujuan umum dan tujuan khusus pada diagnosis
keperawatan dan rencana tindakan keperawatan yang telah dibuat. Tindakan
keperawatan dilakukan sesuai dengan kondisi klien. Pada setiap tindakan yang
dilakukan, penulis akan mencatat hasil dari tindakan dan respon yang dimunculkan
oleh klien.

Tahap keenam adalah evaluasi. Evaluasi subjek berdasarkan dari keberhasilan


tindakan keperawatan yang dilakukan, tolak ukur yang digunakan adalah kenerhasilan
dari pencapaian tujuan umum dan tujuan khusus. Evaluasi subjektif dan objektif yang
diperoleh kemudian akan dilakukan analisa dan hasil tindakan keperawatan pada klien
yang kemudian diteteapkan rencana tindakan pada hari selanjutnya.

Analisis data dilakukan dengan cara mengemukakan fakta, selanjutnya


membandingkan dengan teori yang ada dan selanjutnya dituangkan dalam opini
pembahasan, sebagai bahan untuk memberikan rekomendasi dalam intervensi
tersebut.

Anda mungkin juga menyukai