Anda di halaman 1dari 16

I.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Tetanus, juga dikenal sebagai lockjaw, adalah infeksi yang ditandai
dengan kejang otot. Pada tipe yang paling umum, kejang dimulai di rahang
dan kemudian berlanjut ke bagian tubuh lainnya. Kejang ini biasanya
berlangsung beberapa menit setiap kali dan sering terjadi selama tiga sampai
empat minggu. Kejang yang parah bisa mengakibatkan juga patah tulang.
Gejala lainnya yaitu demam, berkeringat, sakit kepala, masalah menelan,
tekanan darah tinggi, dan denyut jantung yang cepat. Gejala-gejala tersebut
biasanya muncul selama tiga sampai dua puluh satu hari setelah infeksi.
Diperlukan waktu berbulan-bulan untuk sembuh. Sekitar 10% kasus
menyebabkan kematian pada penderitanya (Atkinson, 2012).

B. Epidemiologi
Tetanus banyak ditemukan di negara-negara berkembang. Hal ini biasa
terjadi di daerah di mana tanah dibudidayakan, di daerah pedesaan, di daerah
beriklim hangat, dan musim panas yang berjangka panjang. Di negara-negara
tanpa program imunisasi yang komprehensif, tetanus terutama berkembang
pada neonatus dan anak-anak (Fetuga, 2010). Meskipun tetanus
mempengaruhi semua umur, prevalensi tertinggi yaitu pada bayi baru lahir
dan muda. Pada tahun 1992, diperkirakan 578.000 kematian bayi disebabkan
oleh tetanus neonatal. Pada tahun 1998, 215.000 kematian terjadi akibat
tetanus, lebih dari 50% di antaranya terjadi di Afrika.

C. Etiologi

Tetanus disebabkan oleh toksin bakteri Clostridium tetani yang memiliki


dua bentuk, yaitu bentuk vegetatif dan spora. Bentuk vegetatif C.
pemanasan, desinfektan kimiawi, dan antibiotik. Bentuk ini merupakan
bentuk yang dapat menimbulkan tetanus (Ang J, 2003).

Spora C. tetani relatif resisten terhadap desinfeksi kimiawi dan


pemanasan. Spora tahan terhadap paparan fenol, merbromin, dan bahan
kimia lain yang efektif untuk desinfeksi. Pemanasan di dalam air mendidih
selama 15 menit dapat membunuh hampir semua spora. Sterilisasi
menggunakan uap tersaturasi dengan tekanan 15 lbs selama 15-20 menit
pada suhu 121°C juga dapat membunuh semua bentuk kehidupan. Sterilisasi
menggunakan panas kering lebih lambat dibandingkan uap panas (1-3 jam
pada suhu 160°C) tetapi efektif terhadap spora. Sterilisasi menggunakan
etilen oksida juga dapat membunuh spora (Edlich RF, et al., 2003).

Spora banyak terdapat di dalam tanah, saluran cerna, dan feses hewan.
Tanah yang mengandung kotoran hewan mengandung spora dalam jumlah
banyak. Spora dapat bertahan beberapa bulan bahkan tahun. Pada
lingkungan pertanian, manusia dewasa dapat menjadi reservoir spora. Spora
dapat ditemukan pada permukaan kulit dan heroin yang terkontaminasi (Ang
J, 2003).

Spora bersifat non-patogenik di dalam tanah atau jaringan terkontaminasi


sampai tercapai kondisi yang memadai untuk transformasi ke bentuk
vegetatif. Transformasi terjadi akibat penurunan lokal kadar oksigen akibat:
(a) terdapat jaringan mati dan benda asing, (b) crushed injury, dan (c) infeksi
supuratif (Ang J, 2003).

Gambar 3.1. Pewarnaan Gram C. Tetani (Todar, 2007).


tetani adalah basil, gram positif, tidak berkapsul, motil, dan bersifat
obligat anaerob. Bentuk vegetatif rentan terhadap efek bakterisidal dari
proses
D. Faktor Risiko
Tetanus tidak ditularkan dari orang ke orang. Seseorang biasanya
terinfeksi tetanus saat C. tetani masuk ke luka atau terluka akibat benda yang
terkontaminasi C.tetani. Kuman tetanus biasanya tumbuh dalam luka
tusukan yang disebabkan oleh kuku yang kotor, pisau dan alat-alat yang
terkontaminasi, serpihan kayu, dan gigitan hewan.
Wanita cenderung memiliki risiko infeksi tambahan jika alat yang
digunakan saat proses persalinan terkontaminasi. Bayi yang baru lahir juga
dapat terinfeksi jika pisau, pisau cukur, atau instrumen lain yang digunakan
untuk memotong dan membalut tali pusatnya, atau tangan tenaga medis dan
yang mengantar si bayi terkontaminasi. Pada anak-anak juga perlu
diwaspadai kontaminasi C. tetani pada alat untuk sirkumsisi, tindik kulit, dan
sebagainya, yang dapat menjadi media transmisi kuman (WHO, 2010).

E. Manifestasi Klinis

Masa inkubasi 5-14 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau lebih lama
tiga atau beberapa minggu) (Sudoyo,2006). Karakteristik tetanus :

1. Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5 -


7 hari.
2. Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekuensinya
3. Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.
4. Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang dari
leher. Kemudian timbul kesukaran membuka mulut (trismus, lockjaw)
karena spasme otot masetter.
5. Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk (opistotonus, nuchal rigidity).
6. Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis
tertarik keatas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan
kuat .
7. Gambaran Umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus,
tungkai dengan eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya
kesadaran tetap baik.

F. Patomekanisme
Clostridium tetani menghasilkan dua jenis toksin, yaitu tetanolysin dan
tetanospasmin. Tetanolysin merupakan suatu hemolisin dan bersifat oxygen
labile (mudah diinaktivasi oleh oksigen), sedangkan tetanospasmin
merupakan suatu neurotoksin yang bersifat heat labile (tidak tahan panas).
Tetanolysin dikode oleh plasmid. Toksin ini secara serologis mirip dengan
Streptolysin O (Streptococcus pyogenes) dan hemolysin yang dihasilkan oleh
Clostridium perfringens dan Listeria monocytogenes. Kepentingan klinis
dari toksin ini tidak diketahui karena sifatnya yang mudah dihambat oleh
oksigen dan serum kolesterol (Murray, 2013).
Tetanospasmin adalah toksin yang berperan dalam manifestasi klinis
tetanus. Begitu toksin ini terikat dengan saraf, toksin tidak dapat dieliminasi.
Penyebaran tetanospasmin dapat melalui jalur hematogen ataupun limfogen,
kemudian mencapai targetnya yaitu di ujung saraf motorik. Toksin ini
memiliki 2 subunit dan 3 domain, subunit A (light chain) dan subunit B
(heavy chain). Begitu toksin disekresikan, suatu protease endogen akan
memecah tetanospasmin mejadi 2 subunit. Reseptor untuk toksin ini adalah
gangliosida pada neuron motoris. Domain pengikat karbohidrat
(Carbohydrate-binding Domain) pada ujung carboxy-terminal subunit B
berikatan dengan reseptor asam sialat yang spesifik dan glikoprotein pada
permukaan sel saraf motorik. Kemudian toksin akan diinternalisasi oleh
vesikel endosome. Asidifikasi endosome akan menyebabkan perubahan
konformasi ujung N-terminus subunit B, kemudian terjadi insersi subunit B
kedalam membrane endosome, sehingga memungkinkan subunit A keluar
menembus membran endosome menuju ke sitosol. Toksin mengalami
retrograde axonal transport dari perifer kemudian menu saraf presinaps,
tempat toksin tersebut bekerja (Farrar, 2014
Sub unit A merupakan zinc-dependent metalloprotease yang memecah
vesicle-associated membrane protein-2 (VAMP-2) (atau sinaptobrevin).
Protein ini merupakan komponen utama SNARE-complex yang berperan
dalam endositosis dan pelepasan neurotransmitter. Toksin ini menghambat
pelepasan inhibitory neurotransmitter, yaitu glycine dan GABA (gamma-
amino butyric acid) sehingga aktifitas motor neuron menjadi tidak terinhibisi
dan memberikan gambaran kekakuan otot, spasme dan paralisis spastik.
Proses ini terjadi di semua sinaps, termasuk neuromuscular junction (NMJ).
Otot-otot yang memiliki jaras persarafan (neuronal pathways) terpendek
akan terkena lebih dahulu, seperti otot-otot mastikasi. Sehingga pada awal
gejala timbul trismus (kaku rahang) dan disfagia (Farrar, 2014).

G. Diagnosis
Diagnosis tetanus lebih sering ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis
dibandingkan berdasarkan penemuan bakteriologis. Manifestasi klinis yang
paling sering ditemukan yaitu trismus, selain itu, pemeriksaan fisik
menunjukkan hipertonisitas otot-otot, refleks tendon dalam yang meningkat,
kesadaran yang tidak terganggu, demam derajat rendah, dan sistem saraf
sensoris yang normal. Spasme paroksismal dapat ditemukan secara lokal
maupun general. Sebagian besar pasien memiliki riwayat luka dalam 2
minggu terakhir dan secara umum tidak memiliki riwayat imunisasi tetanus
toksoid yang jelas (Edlich RF, et al., 2003).
Tetanus biasanya terjadi setelah luka dengan penetrasi yang dalam
dimana pertumbuhan bakteri anaerob dapat terjadi. Tempat infeksi yang
paling umum adalah luka pada ekstremitas bawah, infeksi uterus post-partum
atau post-abortus, injeksi intramuskular nonsteril, dan fraktur terbuka.
Penting untuk menekankan bahwa trauma minor dapat menimbulkan tetanus.
Pada 30% pasien tidak tampak adanya tempat masuk (portal of entry).
Tetanus telah diidentifikasi setelah berbagai cedera jaringan, termasuk
injeksi intravena dan intramuskular, akupuntur, tindik telinga, dan bahkan
luka akibat tusuk gigi. Tetanus dapat juga terjadi pada infeksi kronis seperti
otitis media dan setelah ulkus dekubitus. Tetanus dapat dibedakan menjadi
empat bentuk berdasarkan manifestasi klinisnya yakni tetanus lokal, tetanus
sefalik, tetanus general, serta tetanus neonatorum (Cottle LE, et al., 2011).
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis sedang.
Pemeriksaan cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat
akibat kontraksi otot. Hasil elektromiografi dan elektroensefalografi
biasanya normal dan tidak membantu diagnosis. Pada kasus tertentu apabila
terdapat keterlibatan jantung elektrokardiografi dapat menunjukkan inversi
gelombang T. Sinus takikardia juga sering ditemukan. Diagnosis tetanus
harus dibuat dengan hati-hati pada pasien yang memiliki riwayat dua atau
lebih injeksi tetanus toksoid yang terdokumentasi. Spesimen serum harus
diambil untuk memeriksa kadar antitoksin. Kadar antitoksin 0,01 IU/mL
dianggap protektif (Ongurin, 2009).
Setelah diagnosis tetanus dibuat harus ditentukan derajat keparahan
penyakit. Beberapa sistem skoring tetanus dapat digunakan, diantaranya
adalah skor Phillips, Dakar, Ablett, dan Udwadia. Sistem skoring tetanus
juga sekaligus bertindak sebagai penentu prognosis (Sjamsuhidajat , et al.,
2005).

Tabel 2.1. Skor Phillips untuk menilai derajat tetanus

Parameter Nilai

Masa < 48 jam 5


inkubasi 2-5 hari 4
6-10 hari 3
11-14 hari 2
> 14 hari 1

Lokasi Internal dan umbilikal 5


infeksi Leher, kepala, dinding tubuh 4
Ekstremitas atas 3
Ekstremitas bawah 2
Tidak diketahui 1

Status Tidak ada 10


Mungkin ada/ibu mendapatkan
Imunisasi imunisasi 8
(pada neonatus)
> 10 tahun yang lalu 4

Sistem skoring menurut Phillips dikembangkan pada tahun 1967


dan didasarkan pada empat parameter, yaitu masa inkubasi, lokasi infeksi,
status imunisasi, dan faktor pemberat. Skor dari keempat parameter
tersebut dijumlahkan dan interpretasinya sebagai berikut: (a) skor < 9
tetanus ringan, (b) skor 9-18 tetanus sedang, dan (c) skor > 18 tetanus berat.

Tabel 3.2. Sistem skoring tetanus menurut Ablett

Grade I Trismus ringan hingga sedang, spastisitas


general, tidak ada distres pernapasan, tidak
(ringan) ada
spasme dan disfagia.
Trismus sedang, rigiditas yang tampak,
Grade II spasme
ringan hingga sedang dengan durasi
(sedang) pendek,

takipnea ≥ 30 kali/menit, disfagia ringan.


Trismus berat, spastisitas menyeluruh,
Grade III A spasme
spontan yang memanjang, distres
(berat) pernapasan

dengan takipnea ≥ 40 kali/menit, apneic


spell,
disfagia berat, takikardia ≥ 120
kali/menit.
Grade III B Keadaan seperti pada grade III ditambah
disfungsi otonom berat yang melibatkan
(sangat berat) sistem
kardiovaskuler. Hipertensi berat dan
takikardia bergantian dengan hipotensi
relatif dan bradikardia, salah satunya dapat
menjadi persisten

Sistem skoring menurut Ablett juga dikembangkan pada tahun


1967 dan menurut beberapa literatur merupakan sistem skoring yang
paling sering digunakan (Afshar M, et al., 2011). Udwadia (1992)
kemudian sedikit memodifikasi sistem skoring Ablett dan dikenal sebagai
skor Udwadia.

Tabel 2.3. Sistem skoring tetanus menurut Udwadia

Grade I Trismus ringan hingga sedang, spastisitas general,


(ringan) tidak ada distres pernapasan, tidak ada spasme dan
disfagia.
Grade II Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme
(sedang) ringan hingga sedang dengan durasi pendek,
takipnea ≥ 30 kali/menit, disfagia ringan.
Grade III Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme
(berat) spontan yang memanjang, distres pernapasan
dengan takipnea ≥ 40 kali/menit, apneic spell,

disfagia berat, takikardia ≥ 120 kali/menit,


keringat berlebih, dan peningkatan salivasi.

Grade IV Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi


(sangat berat) otonom berat yang melibatkan sistem
kardiovaskuler: hipertensi menetap (> 160/100
mmHg), hipotensi menetap (tekanan darah sistolik

H. Tatalaksana
1. Farmakologis

a. Eliminasi produksi toksin

Luka harus dibersihkan secara menyeluruh dan di debridement


untuk mengurangi muatan bakteri dan mencegah produksi toksin lebih
lanjut. Antimikroba digunakan untuk mengurangi jumlah bentuk
vegetatif C tetani (sumber toksin) pada luka. Selama bertahun-tahun,
penisilin G digunakan secara luas untuk tujuan ini, namun bukan lagi
menjadi obat pilihan saat ini. Hal ini dikarenakan penisilin juga
diketahui merupakan agonis tetanospasmin (toksin tetanus) yang
bekerja menghambat pelepasan neurotransmiter GABA (Laksmi,
2014).

Di Indonesia, Metronidazol IV (misalnya 0,5 g setiap 6 jam)


merupakan terapi pilihan saat ini. Antibiotik ini memiliki aktivitas
antimikroba yang sebanding atau lebih baik dari pensilin G, dikaitkan
pula dengan mortalitas yang lebih rendah (Ahmadsyah,1985).
Antimikroba lain yang dapat digunakan yaitu klindamisin, eritromisin,
tetrasiklin, dan vankomisin.

b. Netralisasi toksin tak terikat

Tetanus immune globulin (TIG) dianjurkan untuk


pengobatan tetanus. Harus diingat bahwa TIG hanya bisa membantu
menghilangkan racun tetanus yang tidak terikat dan tidak dapat
mempengaruhi toksin yang terikat pada ujung saraf. Dosis
intramuskular tunggal (IM) 3000-5000 unit umumnya
direkomendasikan untuk anak-anak dan orang dewasa, dengan
sebagian dosis disusupi sekitar luka jika dapat diidentifikasi.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan TIG 500
unit melalui suntikan IM atau secara intravena (IV) - tergantung pada
persiapan yang tersedia - sesegera mungkin. Sebagai tambahan, 0,5
mL vaksin tetanus yang mengandung tetanus sesuai usia (Td, Tdap,
DT, DPT, DTaP, atau tetanus toxoid, tergantung pada usia atau
alergi), harus diberikan melalui suntikan IM di tempat terpisah
(Laksmi, 2014). Penyakit tetanus tidak menyebabkan imunitas,
pasien tanpa riwayat vaksinasi toksoid tetanus primer harus
mendapat dosis kedua 1-2 bulan setelah dosis pertama dan dosis
ketiga 6-12 bulan kemudian.

c. Pengendalian manifestasi penyakit

Benzodiazepin merupakan golongan obat andalan terapi


simptomatik tetanus. Diazepam adalah obat yang paling sering
dipelajari dan digunakan. Obat ini mengurangi kecemasan, berperan
sebagai obat penenang, dan melemaskan otot. Alternatif lain yang
efektif adalah Lorazepam. Dosis yang dapat diberikan hingga 600
mg/hari jika diperlukan. Untuk mencegah kejang yang berlangsung
lebih lama dari 5-10 detik, berikan diazepam IV, biasanya 10-40 mg
setiap 1-8 jam. Vecuronium (dengan infus kontinyu) atau
pancuronium (dengan injeksi intermiten) adalah alternatif yang tepat,
atau dapat pula diberikan midazolam 5-15 mg / jam IV (Petitjeans,
2009).

Jika kejang tidak terkontrol dengan benzodiazepin, dibutuhkan


blokade neuromuskular jangka panjang. Phenobarbital adalah
antikonvulsan lain yang dapat digunakan untuk memperpanjang efek
diazepam. Phenobarbital juga digunakan untuk mengobati kejang otot
yang parah dan memberi obat penenang saat agen penghambat
neuromuskular digunakan. Agen lain yang digunakan untuk
pengendalian spasm meliputi baclofen, dantrolene, barbiturat short-
acting, dan chlorpromazine. Propofol juga disarankan untuk sedasi.
(Petitjeans, 2009).
2. Non Farmakologis

a. Terapi oksigen
b. Rehidrasi cairan
c. Debridement luka
d. Pemasangan NGT
e. Pemasangan kateter urin
f. Mengatur pola dan porsi makan
g. Edukasi pasien dan keluarga mengenai penyakit tetanus
h. Vaksin

Pencegahan tetanus dilakukan melalui vaksinasi dengan DTP atau DTaP


pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, 12-18 bulan, dan 4-6 tahun. Pada tahun
2006, Komite Penasihat Praktik Imunisasi (ACIP) mengeluarkan
rekomendasi untuk penggunaan Tdap (Kretsinger, 2006). Untuk orang
berusia 7 tahun atau lebih yang belum pernah divaksinasi terhadap tetanus,
difteri, atau pertusis (tidak pernah menerima dosis DTP / DTaP / DT atau Td),
diberikan 3 vaksinasi yang mengandung toksoid tetanus dan difteri. Jadwal
yang dipilih adalah dosis tunggal Tdap, diikuti oleh dosis Td paling sedikit 4
minggu setelah Tdap dan dosis lain dari Td 6-12 bulan kemudian. Namun,
Tdap dapat diberikan sekali sebagai pengganti Td dalam seri primer 3 dosis
(Kretsinger, 2006).

Sebagai alternatif, jika orang dewasa telah menerima vaksinasi


terhadap tetanus dan difteri namun tidak tercatat, penyedia vaksin dapat
mempertimbangkan pengujian serologis untuk antibodi terhadap tetanus dan
toksin difteri dengan tujuan untuk menghindari vaksinasi yang tidak perlu.
Jika kadar antitoksin tetanus dan difteri masing-masing lebih tinggi dari 0,1
IU / mL, vaksinasi sebelumnya dengan vaksin toksoid tetanus dan difteri
diperkirakan, dan dosis tunggal Tdap diindikasikan (Kretsinger,2006). Orang
dewasa yang menerima seri vaksinasi tidak lengkap lainnya terhadap tetanus
dan difteri harus divaksinasi dengan Td untuk melengkapi rangkaian primer
tetanus dan vaksin yang mengandung toksin pada difteri. Satu dosis Tdap
harus digunakan menggantikan Td jika pasien tidak pernah menerima dosis
Tdap.

Kehamilan bukanlah kontraindikasi terhadap penggunaan Tdap pada


trimester kedua dan ketiga. Pencegahan tetanus sekunder dilakukan setelah
pemaparan melalui pembersihan dan debridemen luka yang tepat dan
pemberian toksin tetanus (Td, Tdap, DT, DPT, atau DTaP, seperti
ditunjukkan) dan TIG, bila diindikasikan. Formulasi pediatrik (DT dan DTaP)
mencakup jumlah toksoid tetanus yang sama seperti Td dewasa tetapi
mengandung toxoid difteri sebanyak 3-4 kali.

Pasien dengan luka rawan tetanus harus menerima Td atau DPT IM


jika mereka berusia kurang dari 7 tahun dan jika sudah lebih dari 5 tahun sejak
dosis toksoid tetanus terakhir mereka. Luka berikut merupakan luka yang
harus dianggap rentan terhadap tetanus: luka yang telah hadir lebih lama dari
6 jam, luka dalam (> 1 cm), luka yang sangat terkontaminasi, luka yang
terpapar air liur atau tinja, stellata, atau iskemik atau infeksi (termasuk abses),
dan avulsions, tusukan, atau luka bakar.

Pasien yang sebelumnya telah menerima kurang dari 3 dosis toksin


tetanus dan pasien berusia 60 tahun atau lebih tua harus menerima TIG 250-
500 unit IM, selalu berada di ekstremitas ekstrem ke toksoid. Orang dewasa
tanpa luka rawan tetanus harus diberikan Td atau Tdap jika sebelumnya
mereka telah menerima kurang dari 3 dosis toksoid tetanus atau jika lebih dari
10 tahun telah berlalu sejak dosis terakhirnya. Untuk orang dewasa yang
sebelumnya divaksinasi dengan Tdap (setelah usia 7 tahun), Td harus
digunakan jika vaksin yang mengandung tetanus toxoid diindikasikan untuk
perawatan luka.

Penting untuk meninjau status imunisasi semua pasien yang hadir ke


bagian gawat darurat untuk perawatan apapun (terlepas dari keluhan utama).
Imunisasi harus diberikan jika terjadi selang lebih dari 10 tahun sejak penguat
tetanus terakhir. Jika pasien tidak ingat atau tidak dapat memberikan riwayat
imunisasi, tes dipstick immunochromatographic mungkin tepat dan hemat
biaya untuk menentukan kekebalan tetanus dalam kondisi ini, walaupun
penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan penerapan pendekatan
ini (Hatamabadi, 2011).
DAFTAR PUSTAKA

Afshar M, et al. 2011. Review: Tetanus—A Health Threat After Natural Disasters
in Developing Countries. Ann Intern Med. Vol 154:329-35.

Ahmadsyah, I., Salim, A. 1985. Treatment of tetanus: an open study to compare the
efficacy of procaine penicillin and metronidazole. Br Med J (Clin Res
Ed) Vol 291(6496):648-650.

Atkinson, William. 2012. Tetanus Epidemiology and Prevention of


Vaccine-Preventable Diseases. Public Health Foundation.

Basu, S., Paul, DK., Ganguly, S., Chandra, PK. 2006. Risk factors for mortality
from neonatal tetanus: 7 years experience in North Bengal, India. Ann
Trop Paediatr Vol 26(3):233-9.

Blencowe, H., Cousens, S., Mullany, LC., Lee, AC., Kerber, K., Wall, S., et al.
2011. Clean birth and postnatal care practices to reduce neonatal deaths
from sepsis and tetanus: a systematic review and Delphi estimation of
mortality effect. BMC Public Health Vol 3:11.

Brooks, GF., Caroll, KC., Butel, JS., Morse, SA., Mietzner, TA. 2013. Jawetz,
Melnick &Adelberg’s Medical Microbiology International Edition,
Twenty Sixth ed. New York: McGraw-Hill Companies.

CDC. 2006. Preventing Tetanus, Diphtheria, and Pertussis Among Adolescents:


Use of Tetanus Toxoid, Reduced Diphtheria Toxoid and Acellular
Pertussis Vaccines. MMWR Vol 55:1-34.

Cook, T.M., Protheroe, R., Handel, J. 2001. Tetanus: A Review of The Literature.

British Journal of Anaesthesia Vol 87:477-487.

Edlich, RF, et al. 2003. Management and Prevention of Tetanus. Journal of Long-
Term Effects of Medical Implants Vol 13(3):139-54.

Farrar, J., Hotez, PJ., Junghanss, T., Kang, G., Lalloo, D., White,
NJ. 2014.

Manson’s Tropical Diseases, Twenty-Third Edition. Philadelphia: Elsevier.

Fetuga, BM., Ogunlesi, TA., Adekanmbi, FA. 2010. Risk factors for mortality in
neonatal tetanus: a 15-year experience in Sagamu, Nigeria. World J
Pediatr Vol 6(1):71-5.
Hatamabadi, HR., Abdalvand, A., Safari, S., Kariman, H., Dolatabadi, AA.,
Shahrami, A., et al. 2011. Tetanus Quick Stick as an applicable and cost-
effective test in assessment of immunity status. Am J Emerg Med Vol
29(7):717-720.

Ingole, KV., Mundhada, SG., Powar, RM. 2016. Tetanus in Developing Countries:
A Review and Case Series. International Journal of Applied Research
Vol 2(6):556-560.

Kretsinger, K., Broder, KR., Cortese, MM., Joyce, MP., et al. 2006. Preventing
tetanus, diphtheria, and pertussis among adults: use of tetanus toxoid,
reduced diphtheria toxoid and acellular pertussis vaccine
recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices
(ACIP) and recommendation of ACIP, supported by the Healthcare
Infection Control Practices Advisory Committee (HICPAC), for use of
Tdap among health-care personnel. MMWR Recomm Vol 55:1-37.

Laksmi, N.K.S. 2014. Penatalaksanaan Tetanus. CDK-22 Vol 41(11):823-827.

Murray, PR., Rosenthal, KS., Pfaller, MA. 2013. Medical Microbiology, Seventh
Edition. Philadelphia: Elsevier.

Ogunrin, O. 2009. Tetanus - A Review of Current Concepts in Management.


Journal of Postgraduate Medicine Vol 11(1):46-61.

Pascual, FB., McGinley, EL., Zanardi, LR., Cortese, MM., Murphy, TV. 2003.
Tetanus surveillance--United States, 1998--2000. MMWR Surveill
Summ Vol 52(3):1-8.

Petitjeans, F., Turc, J., Coulet, O., Puidupin, M., Eve, O., Benois, A. 2009. The use
of boluses of propofol for the management of severe tetanus in a child.
Trop Doct Vol 39(1):52-53.

Rodrigo, Chaturaka, Deepika, Fernando, Senaka, Rajapakse.


2016.

Pharmacological Management of Tetanus: An Evidence-


Based Review. Critical Care Vol 18:217.

Sjamsuhidajat, R., Jong, WD. 2005. Tetanus dalam Buku Ajar


Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.

Sudoyo, Aru W. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai