TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Tetanus, juga dikenal sebagai lockjaw, adalah infeksi yang ditandai
dengan kejang otot. Pada tipe yang paling umum, kejang dimulai di rahang
dan kemudian berlanjut ke bagian tubuh lainnya. Kejang ini biasanya
berlangsung beberapa menit setiap kali dan sering terjadi selama tiga sampai
empat minggu. Kejang yang parah bisa mengakibatkan juga patah tulang.
Gejala lainnya yaitu demam, berkeringat, sakit kepala, masalah menelan,
tekanan darah tinggi, dan denyut jantung yang cepat. Gejala-gejala tersebut
biasanya muncul selama tiga sampai dua puluh satu hari setelah infeksi.
Diperlukan waktu berbulan-bulan untuk sembuh. Sekitar 10% kasus
menyebabkan kematian pada penderitanya (Atkinson, 2012).
B. Epidemiologi
Tetanus banyak ditemukan di negara-negara berkembang. Hal ini biasa
terjadi di daerah di mana tanah dibudidayakan, di daerah pedesaan, di daerah
beriklim hangat, dan musim panas yang berjangka panjang. Di negara-negara
tanpa program imunisasi yang komprehensif, tetanus terutama berkembang
pada neonatus dan anak-anak (Fetuga, 2010). Meskipun tetanus
mempengaruhi semua umur, prevalensi tertinggi yaitu pada bayi baru lahir
dan muda. Pada tahun 1992, diperkirakan 578.000 kematian bayi disebabkan
oleh tetanus neonatal. Pada tahun 1998, 215.000 kematian terjadi akibat
tetanus, lebih dari 50% di antaranya terjadi di Afrika.
C. Etiologi
Spora banyak terdapat di dalam tanah, saluran cerna, dan feses hewan.
Tanah yang mengandung kotoran hewan mengandung spora dalam jumlah
banyak. Spora dapat bertahan beberapa bulan bahkan tahun. Pada
lingkungan pertanian, manusia dewasa dapat menjadi reservoir spora. Spora
dapat ditemukan pada permukaan kulit dan heroin yang terkontaminasi (Ang
J, 2003).
E. Manifestasi Klinis
Masa inkubasi 5-14 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau lebih lama
tiga atau beberapa minggu) (Sudoyo,2006). Karakteristik tetanus :
F. Patomekanisme
Clostridium tetani menghasilkan dua jenis toksin, yaitu tetanolysin dan
tetanospasmin. Tetanolysin merupakan suatu hemolisin dan bersifat oxygen
labile (mudah diinaktivasi oleh oksigen), sedangkan tetanospasmin
merupakan suatu neurotoksin yang bersifat heat labile (tidak tahan panas).
Tetanolysin dikode oleh plasmid. Toksin ini secara serologis mirip dengan
Streptolysin O (Streptococcus pyogenes) dan hemolysin yang dihasilkan oleh
Clostridium perfringens dan Listeria monocytogenes. Kepentingan klinis
dari toksin ini tidak diketahui karena sifatnya yang mudah dihambat oleh
oksigen dan serum kolesterol (Murray, 2013).
Tetanospasmin adalah toksin yang berperan dalam manifestasi klinis
tetanus. Begitu toksin ini terikat dengan saraf, toksin tidak dapat dieliminasi.
Penyebaran tetanospasmin dapat melalui jalur hematogen ataupun limfogen,
kemudian mencapai targetnya yaitu di ujung saraf motorik. Toksin ini
memiliki 2 subunit dan 3 domain, subunit A (light chain) dan subunit B
(heavy chain). Begitu toksin disekresikan, suatu protease endogen akan
memecah tetanospasmin mejadi 2 subunit. Reseptor untuk toksin ini adalah
gangliosida pada neuron motoris. Domain pengikat karbohidrat
(Carbohydrate-binding Domain) pada ujung carboxy-terminal subunit B
berikatan dengan reseptor asam sialat yang spesifik dan glikoprotein pada
permukaan sel saraf motorik. Kemudian toksin akan diinternalisasi oleh
vesikel endosome. Asidifikasi endosome akan menyebabkan perubahan
konformasi ujung N-terminus subunit B, kemudian terjadi insersi subunit B
kedalam membrane endosome, sehingga memungkinkan subunit A keluar
menembus membran endosome menuju ke sitosol. Toksin mengalami
retrograde axonal transport dari perifer kemudian menu saraf presinaps,
tempat toksin tersebut bekerja (Farrar, 2014
Sub unit A merupakan zinc-dependent metalloprotease yang memecah
vesicle-associated membrane protein-2 (VAMP-2) (atau sinaptobrevin).
Protein ini merupakan komponen utama SNARE-complex yang berperan
dalam endositosis dan pelepasan neurotransmitter. Toksin ini menghambat
pelepasan inhibitory neurotransmitter, yaitu glycine dan GABA (gamma-
amino butyric acid) sehingga aktifitas motor neuron menjadi tidak terinhibisi
dan memberikan gambaran kekakuan otot, spasme dan paralisis spastik.
Proses ini terjadi di semua sinaps, termasuk neuromuscular junction (NMJ).
Otot-otot yang memiliki jaras persarafan (neuronal pathways) terpendek
akan terkena lebih dahulu, seperti otot-otot mastikasi. Sehingga pada awal
gejala timbul trismus (kaku rahang) dan disfagia (Farrar, 2014).
G. Diagnosis
Diagnosis tetanus lebih sering ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis
dibandingkan berdasarkan penemuan bakteriologis. Manifestasi klinis yang
paling sering ditemukan yaitu trismus, selain itu, pemeriksaan fisik
menunjukkan hipertonisitas otot-otot, refleks tendon dalam yang meningkat,
kesadaran yang tidak terganggu, demam derajat rendah, dan sistem saraf
sensoris yang normal. Spasme paroksismal dapat ditemukan secara lokal
maupun general. Sebagian besar pasien memiliki riwayat luka dalam 2
minggu terakhir dan secara umum tidak memiliki riwayat imunisasi tetanus
toksoid yang jelas (Edlich RF, et al., 2003).
Tetanus biasanya terjadi setelah luka dengan penetrasi yang dalam
dimana pertumbuhan bakteri anaerob dapat terjadi. Tempat infeksi yang
paling umum adalah luka pada ekstremitas bawah, infeksi uterus post-partum
atau post-abortus, injeksi intramuskular nonsteril, dan fraktur terbuka.
Penting untuk menekankan bahwa trauma minor dapat menimbulkan tetanus.
Pada 30% pasien tidak tampak adanya tempat masuk (portal of entry).
Tetanus telah diidentifikasi setelah berbagai cedera jaringan, termasuk
injeksi intravena dan intramuskular, akupuntur, tindik telinga, dan bahkan
luka akibat tusuk gigi. Tetanus dapat juga terjadi pada infeksi kronis seperti
otitis media dan setelah ulkus dekubitus. Tetanus dapat dibedakan menjadi
empat bentuk berdasarkan manifestasi klinisnya yakni tetanus lokal, tetanus
sefalik, tetanus general, serta tetanus neonatorum (Cottle LE, et al., 2011).
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis sedang.
Pemeriksaan cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat
akibat kontraksi otot. Hasil elektromiografi dan elektroensefalografi
biasanya normal dan tidak membantu diagnosis. Pada kasus tertentu apabila
terdapat keterlibatan jantung elektrokardiografi dapat menunjukkan inversi
gelombang T. Sinus takikardia juga sering ditemukan. Diagnosis tetanus
harus dibuat dengan hati-hati pada pasien yang memiliki riwayat dua atau
lebih injeksi tetanus toksoid yang terdokumentasi. Spesimen serum harus
diambil untuk memeriksa kadar antitoksin. Kadar antitoksin 0,01 IU/mL
dianggap protektif (Ongurin, 2009).
Setelah diagnosis tetanus dibuat harus ditentukan derajat keparahan
penyakit. Beberapa sistem skoring tetanus dapat digunakan, diantaranya
adalah skor Phillips, Dakar, Ablett, dan Udwadia. Sistem skoring tetanus
juga sekaligus bertindak sebagai penentu prognosis (Sjamsuhidajat , et al.,
2005).
Parameter Nilai
H. Tatalaksana
1. Farmakologis
a. Terapi oksigen
b. Rehidrasi cairan
c. Debridement luka
d. Pemasangan NGT
e. Pemasangan kateter urin
f. Mengatur pola dan porsi makan
g. Edukasi pasien dan keluarga mengenai penyakit tetanus
h. Vaksin
Afshar M, et al. 2011. Review: Tetanus—A Health Threat After Natural Disasters
in Developing Countries. Ann Intern Med. Vol 154:329-35.
Ahmadsyah, I., Salim, A. 1985. Treatment of tetanus: an open study to compare the
efficacy of procaine penicillin and metronidazole. Br Med J (Clin Res
Ed) Vol 291(6496):648-650.
Basu, S., Paul, DK., Ganguly, S., Chandra, PK. 2006. Risk factors for mortality
from neonatal tetanus: 7 years experience in North Bengal, India. Ann
Trop Paediatr Vol 26(3):233-9.
Blencowe, H., Cousens, S., Mullany, LC., Lee, AC., Kerber, K., Wall, S., et al.
2011. Clean birth and postnatal care practices to reduce neonatal deaths
from sepsis and tetanus: a systematic review and Delphi estimation of
mortality effect. BMC Public Health Vol 3:11.
Brooks, GF., Caroll, KC., Butel, JS., Morse, SA., Mietzner, TA. 2013. Jawetz,
Melnick &Adelberg’s Medical Microbiology International Edition,
Twenty Sixth ed. New York: McGraw-Hill Companies.
Cook, T.M., Protheroe, R., Handel, J. 2001. Tetanus: A Review of The Literature.
Edlich, RF, et al. 2003. Management and Prevention of Tetanus. Journal of Long-
Term Effects of Medical Implants Vol 13(3):139-54.
Farrar, J., Hotez, PJ., Junghanss, T., Kang, G., Lalloo, D., White,
NJ. 2014.
Fetuga, BM., Ogunlesi, TA., Adekanmbi, FA. 2010. Risk factors for mortality in
neonatal tetanus: a 15-year experience in Sagamu, Nigeria. World J
Pediatr Vol 6(1):71-5.
Hatamabadi, HR., Abdalvand, A., Safari, S., Kariman, H., Dolatabadi, AA.,
Shahrami, A., et al. 2011. Tetanus Quick Stick as an applicable and cost-
effective test in assessment of immunity status. Am J Emerg Med Vol
29(7):717-720.
Ingole, KV., Mundhada, SG., Powar, RM. 2016. Tetanus in Developing Countries:
A Review and Case Series. International Journal of Applied Research
Vol 2(6):556-560.
Kretsinger, K., Broder, KR., Cortese, MM., Joyce, MP., et al. 2006. Preventing
tetanus, diphtheria, and pertussis among adults: use of tetanus toxoid,
reduced diphtheria toxoid and acellular pertussis vaccine
recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices
(ACIP) and recommendation of ACIP, supported by the Healthcare
Infection Control Practices Advisory Committee (HICPAC), for use of
Tdap among health-care personnel. MMWR Recomm Vol 55:1-37.
Murray, PR., Rosenthal, KS., Pfaller, MA. 2013. Medical Microbiology, Seventh
Edition. Philadelphia: Elsevier.
Pascual, FB., McGinley, EL., Zanardi, LR., Cortese, MM., Murphy, TV. 2003.
Tetanus surveillance--United States, 1998--2000. MMWR Surveill
Summ Vol 52(3):1-8.
Petitjeans, F., Turc, J., Coulet, O., Puidupin, M., Eve, O., Benois, A. 2009. The use
of boluses of propofol for the management of severe tetanus in a child.
Trop Doct Vol 39(1):52-53.
Sudoyo, Aru W. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.