Anda di halaman 1dari 7

PAPER DIAGNOSA KLINIK

“CASE REPORT : TETANUS IN DOG”

Oleh

Intan Kirana Isnaeni 145130100111063


Risalia Elite Dityasari 145130101111067
Rizky Pamwidya A 145130101111073

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016
Tetanus jarang terjadi pada anjing. Tetanus terjadi karena infeksi Clostridium tetani
dari jaringan nekrosis yang terkontaminasi atau luka yang peka terhadap lingkungan
anaerobik. Lingkungan anaerobik yaitu lingkungan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan
organisme penyebab tetanus. Bagian tubuh yang terluka tidak harus menjadi besar atau
sangat dalam untuk terjadinya tetanus, tetapi apabila terjadi kontak langsung dan terinfeksi
oleh Clostridium tetani.

 CASE REPORT

Seekor anjing Brittany Spaniel berumur 3 bulan, dengan gejala klinis seperti tetanus
dirujuk ke rumah sakit. Lima hari sebelumnya, pemilik melihat adanya memar kecil di atas
gingiva dan berwarna keabu-abuan diatas gigi taringnya. Dua hari kemudian, terdapat
Epiphora dan swelling bagian wajah pada sisi yang sama dan terdapat memar. Beberapa hari
kemudian, anjing menjadi depresi, mengalami anoreksia dan kekakuan pada ototnya. Hari
berikutnya diikuti gangguan pada saraf yang parah.

 ETIOLOGI
Tetanus disebabkan oleh Clostridium tetani. C.tetani merupakan bakteri berbentuk
batang Iangsing, berukuran 0.4-0.6x2-5 mikron dan bersifat motil. Baik di dalam jaringan

maupun pada biakan, bakteri tetanus dapat tersusun tunggal atau berantai membentuk filamen
yang panjang. Bakteri ini membentuk spora setelah dibiakkan selama 24-48 jam, spora bulat,
terminal, dimana sel di tempat spora membengkak sehingga bakteri berbentuk seperti

pemukul gendrang atau “Drum stick bacteria”. Pada biakan muda bakteri tetanus bersifat

Gram positif, dan cepat berubah menjadi Gram negatif pada biakan yang lebih tua.

Gambar 1. Anak panah menunjukkan endospora bakteri dengan


bentuk menyerupai raket tenis.

Bakteri tetanus tumbuh pada biakan umum dalam suasana anaerob dan suhu optimum

37°C. Pada biakan cair membentuk sedikit kekeruhan yang kemudian menjadi bening

setelah terjadi sedimentasi. Pada lempengan agar darah akan terbentuk koloni yang
dilingkari dengan zone hemolyse. Bakteri ini tidak memfermentasi karbohidrat atau
menghidrolisa protein serta mencairkan gelatin membentuk koloni yang berbentuk sikat.
Untuk menyimpan galur bakteri tetanus dibiakkan pada liver bouillon yang ditambah CaCl .
Spora Cl.tetani bersifat sangat resisten, dapat tahan bertahun-tahun bila dalam
keadaan terlindung terhadap sinar matahari dan panas. Theobald Smith telah menemukan

beberapa strain yang tahan terhadap panas pada suhu 100°C selama 40-60 menit. Spora

bakteri tetanus dapat mati oleh 5% phenol setelah kontak 10-12 jam (Subronto, 2008).

 GEJALA KLINIS
Masa inkubasi selama 1-3 minggu. Gejala klinis tetanus untuk semua
hewan hampir mirip. Tanda awal ialah sedikit kekakuan, gelisah dan terjadi kekejangan yang
berlebihan bila ada sedikit rangsangan dari luar (suara, sentuhan, cahaya dan lain-lain). Bila
yang terserang otot-otot fascia maka hewan akan susah membuka mulut, sehingga penyakit
dinamai ”Lock jaw”. Bila toksin sudah menyerang otak maka akan terjadi kekejangan umum,
konvulsi yang berkesinambungan terjadi disebabkan oleh aspeksia (Subronto 2008).

Gejala klinis yang tampak pada case report diatas yaitu :


- Anjing dalam kondisi baik, namun mengalami sedikit dehidrasi
- Mengalami kekakuan pada otot-otot leher, tengkuk, dan ekstremitas
- Anjing tidak bisa melenturkan sendi hingga mengalami opisthotonus.
- Anjing mengalami hipersensitif terhadap ransangan eksternal dan kejang tetani pada
ototnya.
- Kehilangan keseimbangan tubuhnya, sehingga anjing tidak bisa berdiri.
- Membrana nictitans mengalami sedikit prolaps

 DIAGNOSA KLINIS
Diagnosis tetanus ditegakkan berdasarkan :
- Riwayat adanya luka yang sesuai dengan masa inkubasi
- Gejala klinis

Pemeriksaan laboratorium kurang menunjang dalam diagnosis. Pada pemeriksaan


darah rutin tidak ditemukan nilai–nilai yang spesifik; lekosit dapat normal atau dapat
meningkat. Pemeriksaan mikrobiologi, bahan diambil dari luka berupa pus atau jaringan
nekrotis kemudian dibiakkan pada kultur agar darah atau kaldu daging. Tetapi pemeriksaan
mikrobiologi hanya pada 30% kasus ditemukan Clostridium tetani. Pemeriksaan cairan
serebrospinalis dalam batas normal, walaupun kadang-kadang didapatkan tekanan meningkat
akibat kontraksi otot. Pemeriksaan elektroensefalogram merupakan pemeriksaan normal dan
pada pemeriksaan elektromiografi hasilnya tidak spesifik.

 DIAGNOSA BANDING
1) Meningitis bakterial
Pada penyakit ini trismus tidak ada dan kesadaran penderita biasanya menurun. Diagnosis
ditegakkan dengan melakukan lumbal pungsi, di mana adanya kelainan cairan serebrospinalis
yaitu jumlah sel meningkat, kadar protein meningkat dan glukosa menurun.
2) Poliomielitis
Didapatkan adanya paralisis flaksid dengan tidak dijumpai adanya trismus. Pemeriksaan
cairan serebrospinalis menunjukkan lekositosis. Virus polio diisolasi dari tinja dan
pemeriksaan serologis, titer antibodi meningkat.
3) Rabies
Sebelumnya ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain. Trismus jarang ditemukan,
kejang bersifat klonik.
4) Keracunan strichnine
Pada keadaan ini trismus jarang, gejala berupa kejang tonik umum.
5) Tetani
Timbul karena hipokalsemia dan hipofasfatemia di mana kadar kalsium dan fosfat dalam
serum rendah. Yang khas bentuk spasme otot adalah karpopedal spasme dan biasanya diikuti
laringospasme, jarang dijumpai trismus.
6) Tonsilitis berat
Penderita disertai panas tinggi, kejang tidak ada tetapi trismus ada.

 TREATMENT
Pengobatan tetanus dapat dilakukan sebagai berikut:
- Luka dibuat segar, dengan membuang bagian jaringan yang rusak, kemudian luka
dicuci dengan KMnO atau H2O2 dan diobati dengan antibiotika.
- Diberikan antitoksin tetanus dosis kuratif
- Perlakuan pada hewan sakit diberikan:
(1) kandang bersih, kering, gelap;
(2) diberikan kain penyangga perut;
(3) makanan disediakan setinggi hidung;
(4) luka yang ada diobati
- Diberikan obat-obatan untuk mengatasi simptom atau gejala antara lain:
(1) obat penenang;
(2) muscle relaxan
(Subronto dan Tjahajati 2008)
Dalam satu studi, antitoksin diberikan kepada anjing dengan tetanus hanya setelah tes
intradermal untuk mendeteksi reaksi hipersensitivitas. Selain itu, semua anjing menerima
penisilin IV dan beberapa juga menerima metronidasol oral. Kombinasi dari chlorpromazine
dan fenobarbital atau diazepam dapat digunakan untuk mengurangi reaksi hyperesthetic dan
kejang-kejang.
Aktif imunisasi dapat dicapai dengan tetanus toxoid. Jika terjadi luka serius setelah
imunisasi, suntikan toxoid untuk meningkatkan antibodi. Jika hewan belum pernah
diimunisasi, harus diberikan IU 1.500-3.000 atau lebih dari antitoksin tetanus, yang biasanya
dapat memproteksi selama 2 minggu. Toxoid harus diberikan secara bersamaan dengan
antitoksin dan diulang dalam 30 hari. Meskipun ini bukan berdasarkan ilmiah, disarankan
setiap tahun disuntik dengan booster toxoid pada hewan. Semua binatang yang telah pulih
dari tetanus harus secara teratur divaksinasi. Hewan yang dapat hidup setelah menderita
tetanus tidak dapat membangun kekebalan yang baik dan harus tetap divaksinasi dengan
tetanus toxoid (Susan E, 2016)

Treatment yang diberikan pada case report diatas, yaitu :


1. Pada hari pertama diberi terapi antitoxin tetanus (Colorado serum, Denver, Colorado),
amoxicillin, methocarbamol, dan sodium pentobarbital.
2. Setiap dua hari sekali, anjing dianastesi dengan 200mg sodium pentobarbital secara
intravena
3. Pada 5 hari pertama, anjing diberi 200ml baby food (Pablum Rice Cereal, Bristol-
meyers, Bellevile, Ontario), vitamin atau suplement asam amino (Diamino 4X,
Diamond Laboratories, Calgary, Alberta) dan air.

 KESIMPULAN
FAUSTA (bisa sembuh)
Tujuh hari kemudian anjing dapat menggerakkan kakinya secara normal sehingga bisa
berjalan secara normal, tetapi masih terdapat kekakuan pada pinggul bagian kiri.
DAFTAR PUSTAKA

Subronto dan Tjahajati 2008. Ilmu Penyakit Ternak III (Mamalia) Farmakologi Veteriner:
Farmakodinami dan Farmakokinesis Farmakologi Klinis. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta Indonesia.
Subronto 2008. Ilmu Penyakit Ternak I-b (Mamalia) Penyakit Kulit (Integumentum)
Penyakit-penyakit Bakterial, Viral, Klamidial, dan Prion. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta Indonesia.
Susan E. Aiello, Michael A. Moses. 2016. The Merck Veterinary Manual (MVM) 11th
Edition. ISBN: 9780911910612. MERCK & CO., INC. KENILWORTH, NJ, USA

Anda mungkin juga menyukai