Anda di halaman 1dari 22

AKRODERMATITIS

Pendahuluan
Akrodermatitis merupakan dermatitis tipe vesikular pada jari, telapak
tangan dan kaki. Penyakit ini merupakan dermatosis yang dapat dalam keadaan
akut, rekuren, dan kronik, yang dikarakteristikan dengan adanya vesikel yang gatal
dengan onset tiba-tiba, dan pada keadaan lanjut dapat ditemukan fisura dan
likenifikasi.1,2 Akrodermatitis pertama kali ditemukan pada tahun 1955 di Italia oleh
Gianotti yang dikaitkan dengan infeksi virus Hepatitis B. Beberapa waktu
kemudian dikemukakan bahwa banyak virus maupun bakteri lain yang dapat
menyebabkan akrodermatitis seperti Coxsackie virus, Parainfluensa virus,
Enterovirus, Respiratory Syncytial virus, group A Beta Hemolytic Streptococcus
dan lainnya..7
Prevalensi akrodermatitis di Amerika Serikat adalah 5% dari seluruh
penyakit eksema pada tangan. Insidensi puncak penyakit ini terjadi pada pasien
usia 20-40 tahun, tetapi penyakit ini juga dapat terjadi pada usia remaja ataupun
pada usia lebih tua. Berdasarkan beberapa penelitian penyakit ini lebih sering
terkena pada wanita dibandingkan pria dengan perbandingan 2 : 1. Mortalitas tidak
pernah dilaporkan sehubungan dengan akrodermatitis tetapi dalam keadaan berat
penyakit ini dapat menganggu aktivitas. 2
Akrodermatitis dikaitkan dengan riwayat atopi, dimana sekitar 50 %
penderita akrodermatitis juga menderita dermatitis atopik. Akrodermatitis
merupakan penyakit yang sering kambuh tetapi dapat terjadi remisi spontan dalam
2-3 minggu. Interval serangan bisa terjadi dalam minggu atau bulan. Pada beberapa
orang akrodermatitis dapat menjadi kronik.1
Mekanisme mengenai terjadinya akrodermatitis sendiri masih belum
jelas. Hipotesis paling awal mengemukakan bahwa lesi-lesi vesikel yang timbul
pada akrodermatitis disebabkan oleh ekskresi keringat yang berlebihan
(excessive sweating). Namun sekarang hipotesis ini sudah tidak digunakan lagi
karena lesi-lesi vesikular yang timbul pada akrodermatitis tidak berkaitan dengan
saluran kelenjar keringat. Walaupun demikian, hiperhidrosis (keringat berlebihan)
merupakan salah satu tanda yang terlihat secara khas pada 40% penderita
akrodermatitis.3

1
Distribusi dari ruam adalah 80 % pada tangan dan kaki, dimana tempat
predileksi dimulai dari bagian lateral jari-jari, telapak tangan, telapak kaki dan pada
keadaan lanjut pada bagian dorsal jari-jari.1 Akrodermatitis merupakan penyakit
yang sering kambuh tetapi dapat terjadi remisi spontan dalam 2-3 minggu. Interval
serangan bisa terjadi dalam minggu atau bulan.2

Definisi
Ditinjau dari segi bahasa berasal dari kata acro yang berarti ekstremitas dan
dermatitis yang mempunyai arti peradangan pada kulit. Akrodermatitis ditinjau dari
segi bahasa berasal dari kata acro yang berarti ekstremitas dan dermatitis yang
mempunyai arti peradangan pada kulit. Sehingga, pengertian secara bahasa yakni
peradangan kulit yang terdapat pada ektremitas. Sinonim dari acrodermatitis ialah
acrodermatitis infatile lichenoid, acrodermatitis papular infatile, Gianotti crosti
sindrom, papular acrodermatitis of childhood, papulovesicular acro located
syndrome. Sehingga dapat ditarik suatu pengertian secara bahasa yakni peradangan
kulit yang terdapat pada ektremitas. Akrodermatitis adalah suatu kelainan kulit
yang tidak berbahaya yang disertai gejala demam dan malaise, yang terkait dengan
suatu infeksi virus maupun bakteri.3 Sedangkan secara klinis akrodermatitis
dijelaskan sebagai suatu kelainan kulit pada anak yang disertai dengan gejala ringan
berupa panas dan malaise, yang dikaitkan dengan adanya infeksi virus hepatitis B
ataupun infeksi virus lainnya. Pada kelainan ini biasanya lesinya simetrik, papul
berwarna merah tembaga berbentuk datar, berkilat, berbentuk garis linear.

Etiologi
Penyebab akrodermatitis belum diketahui dengan pasti. Akrodermatitis
sering timbul bersamaan dengan penyakit kulit lain misalnya dermatitis atopik,
dermatitis kontak, alergi terhadap bahan metal, infeksi dermatofita, infeksi bakteri,
lingkungan dan stres. Ada beberapa faktor yang mungkin berperan dalam
menyebabkan akrodermatitis , yaitu
1. Atopi : Sebanyak 50% pasien dengan akrodermatitis dilaporkan baik secara
personal maupun keluarga mempunyai atopy diatesis (eksema, asma, hay
fever, rinitis alergika)

2
2. Serum IgE akan meningkat, sekalipun pasien dan keluarga tidak
mempunyai riwayat atopy.
3. Sensitif terhadap nikel : Ini mungkin faktor yang signifikan dalam
akrodermatitis namun mempunyai jumlah yang rendah, sedangkan dalam
beberapa studi lain dilaporkan adanya peningkatan terhadap sensitifitas
terhadap nikel.
4. Infeksi jamur.
5. Stres emosi :Merupakan faktor yang paling memungkinkan menyebabkan
akrodermatitis. Banyak pasien melaporkan adanya akrodermatitis berulang
selama periode stres. Perbaikan akrodermatitis menggunakan biofeedback
untuk mengurangi stres.
6. Faktor lain : Faktor yang dilaporkan bisa menyebabkan akrodermatitis
antara lain rokok, kontrasepsi oral, aspirin dan implan metal.

Patofisiologi
Mekanisme mengenai terjadinya akrodermatitis sendiri masih belum jelas.
Hipotesis paling awal mengemukakan bahwa lesi-lesi vesikel yang timbul pada
akrodermatitis disebabkan oleh ekskresi keringat yang berlebihan (excessive
sweating). Namun sekarang hipotesis ini sudah tidak digunakan lagi karena lesi-lesi
vesikular yang timbul pada dermatitis dishidrosis tidak berkaitan dengan saluran
kelenjar keringat. Walaupun demikian, hiperhidrosis (keringat berlebihan)
merupakan salah satu tanda yang terlihat secara khas pada 40% penderita dermatitis
dishidrosis (istilah dishidrosis datang dari gejala berkeringat banyak/salah
berkeringat).

Stres emosional dan faktor lingkungan meliputi perubahan iklim, suhu yang
panas atau dingin dan kelembaban dapat memudahkan terjadinya penyebaran dari
akrodermatitis. Pasien mengeluh gatal pada tangan dan basah serta adanya bula
yang tiba-tiba muncul. Keluhan rasa panas dan gatal mungkin akan dialami setelah
bula muncul. Keadaan tersebut bisa berubah dari sekali sebulan menjadi sekali
setahun.

3
Gambaran Klinis
Gelembung (vesikel) kecil dengan karakteristik sebagai berikut:
 vesikel yang sangat kecil (diameter 3 mm atau kurang) yang muncul di ujung
dan sisi jari jari tangan dan kaki serta telapak tanga.
 vesikel yang opak dan dalam, yang rata dengan kulit atau sedikit lebih tinggi
dan tidak mudah pecah. Akhirnya, gelembung kecil bersatu dan membentuk
gelembung besar (bula).
 vesikel mungkin gatal, nyeri, atau tidak ada gejala sama sekali dan memburuk
setelah kontak dengan sabun, air, atau zat iritan.
 vesikel akan pecah saat digaruk , mengeluarkan cairan di dalamnya, dan
akhirnya muncul krusta dan fisura (retak). Retak kulit itu sangat nyeri dan
menimbulkan gangguan kosmetik dan sering membutuhkan waktu berminggu
minggu bahkan berbulan bulan untuk menyembuhkannya Kulit akan tampak
kering dan bersisik selama periode ini.
 Cairan dari vesikel adalah serum yang terakumulasi antara sel-sel kulit yang
teriritasi bukan keringat seperti yang diperkirakan sebelumnya.
 Dalam beberapa kasus, seperti lepuh yang terdapat di telapak atau jari dapat
ditemukan pembengkakan kelenjar getah bening . Hal ini ditandai dengan rasa
kesemutan di lengan bawah dan benjolan muncul diketiak.
 Kuku pada jari tangan dan jari kaki yang terkena, dapat mengalami kelainan.
Beberapa faktor yang digali dari anamnesis dapat terkait dengan
akrodermatitis, antara lain stress emosional, riwayat atopik diri sendiri atau
keluarga, pajanan terhadap antigen tertentu (seperti kobalt, nikel, balsam, krom,
dll), riwayat pengobatan dengan terapi imunoglobulin intravena, atau riwayat
penyakit hiv.

Pemeriksaan Fisik

 Pada kulit tampak adanya papul papul yang berwarna merah kecoklatan atau
seperti merah tembaga dengan ukuran 2-5mm, datar dan berkilat tidak
gatal,dan distribusinya simetrik, diskret (terpisah satu dengan lain) atau
membentuk garis linear,

4
 Daerah predileksi : wajah, ektremitas (tangan, kaki) bagian ektensor, pantat.
Kadang kadang dapat mengenai telapak tangan dan telapak kaki.
 Jika akibat infeksi virus Hepatitis dapat ditemukan anicterik adanya
hepatosplenomegali, limfadenopati.
 Jika penyebabnya streptococcus pada sistem respirasi atas dapat dijumpai
adanya lesi di mukosa, pembengkakan pada tonsil dan pharing merah.
Sedang untuk penyebab lain belum diterangkan secara terperinci.

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Diagnosis akrodermatitis biasanya ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
klinis semata dan mudah untuk didiagnosis karena cenderung tidak menyerupai
keadaan lainnya. Pemeriksaan kultur bakteri dan sensitifitas dilakukan jika curiga
adanya infeksi sekunder. Sedangkan tes darah biasanya tidak diusulkan, tapi
biasanya IgE-nya meningkat. Dapat juga dilakukan uji tempel (Patch Test) bila
dicurigai adanya dermatitis kontak alergi.
Histopatologi
Pada biopsi kulit epidermis diperoleh spongios fokal, parakeratosis dan
acantholisis ringan. pada dermis disekitar vascular terdapat infiltrat lymphosit dan
histiosit.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis yang
ditemukan, kultur bakteri dan sensitivitas, uji tempel, dan histopatologi (adanya
spongiosis disertai infiltrasi limfosit dan/atau bula/vesikel intraepidermal).

Diagnosis Banding
Diagnosis bandingnya adalah dermatitis, yaitu dermatitis allergen yang
terjadi karena adanya kontak dengan allergen. Dermatitis kontak iritan dapat
menjadi faktor pencetus terjadinya akrodermatitis ini. Dermatitis kontak iritan pada
tangan biasanya mengenai dorsum manus dan sela-sela jari. Pada akrodermatitis,
lokalisasi terutama di telapak tangan dan pinggir lateral jari-jari.

5
Akrodermatitis dapat dibedakan dengan penyakit lain yang mempunyai
wujud kelainan kulit yang serupa namun dibedakan dari segi etiologi, distribusi dan
tempat predileksi yakni :

 Dermatitis kontak iritan


 Drug Eruption
 Scabies
 Erytema Multiforme
 Tinea Pedis et Manum

Penatalaksanaan
· Krim kortikosteroid
· Asam salisilat 5% dalam alkohol
· Krim vioform 3% memberi hasil yang baik
· Bila madidans : kompres dengan KMnO4 1 : 5000
· Pada kasus-kasus yang berat diberikan kortikosteroid sistemik seperti :
prednison, prednisolon atau tiamsinolon
Terapi paling mendasar yang dapat dilakukan adalah menjaga daya tahan
tubuh.
Beberapa tips yang dapat diterapkan antara lain:
1. Gunakan pelembab untuk mencegah kulit kering dan gatal
2. Manajemen stres
3. Hindari menggaruk karena justru akan memperburuk dishidrosisnya. Untuk
mengurangi gatalnya Anda dapat membasuh atau merendam tangan dan kaki
Anda dalam air dingin.
4. Buka kaus kaki dan sepatu setiap ada kesempatan untuk mengalirkan uap
keringat
5. Hindari penggunaan shampoo dan sabun yang berbahan keras
6. Hindari nikel jika Anda alergi terhadapnya. Sumber nikel antara lain beberapa
jenis makanan, perhiasan, bra, dsb.
7. Hindari produk kulit yang mengandung alkohol karena dapat mengiritasi kulit.
8. Gunakan alas kaki dari bahan kulit daripada karet
9. Gunakan kaus kaki yang terbuat dari katun dibandingkan bahan sintetik

6
Prognosis
Prognosis penyakit ini baik dengan diagnosis dan terapi yang tepat.

1. Akrodermatitis kontinua (hallopeau)


Definisi
Akrodermatitis kontinua adalah penyakit yang jarang, sterile, dan terdapat
pustural eruption dari ujung jari atau kaki yang bertahap menyebar kea rah
proksimal. Akrodermatitis termasuk dalam bagian akropustular psoriasis.

Epidemiologi dan Etiologi


tidak ada data dari prevalensi dan insidensi dari penyakit akrodermatitis
kontinua. Etiologi dari penyakit ini masih membingunkan. Factor penyebab masih
dicari.

Penemuan Klinis
Akrodermatitis kontinua paling sering muncul dari ujung satu sampai dua
jari, jarang muncul pada ibu jari. Lipatan kuku adalah bagian yang pertama kali
terkena dan trauma terjadi. Tanda pertama ialah adanya pustule yang kecil yang
aktif dan meninggalkan lesi kemerahan, dan membuat pustule baru dan membentuk
polycyclic lake of pus. Saat penyakit ini menyebar ke daerah yang lebih atas atau
proksimal, bagian yang terkena penyakit ini akan berubah menjadi kemerahan yang
mengkilat atau terdapat krusta, keratotik dan fissure juga terdapat pus yang baru
muncul.
Pustul sering terjadi pada bantal kuku dan matriksnya dan sering membuat
kuku terlepas atau onikodistrofi yang berat. Akrodermatitis kontinua yang terjadi
lama akan membuat destruksi dari kuku secara menyeluruh yang akan membuat
anokia. Kulitnya akan menjadi mengkilat dan mengalami atrofi yang parah.

7
Prognosis
Akrodermatitis kontinua memperlihatkan penyakit yang lama dengan
adanya lesi yang menyebar ke arah proksimal. Perbaikan yang lansung jarang
terjadi, perbaikan terjadi secara bertahap. Ketika tidak terkontrol bisa terjadi
destruksi yang ireversibel dari kuku jari.

8
Treatmen dan manajemen

2. Akrodermatitis acidemica
Definisi
Penyakit ini termasuk dalam penyakit yang disebabkan oleh cutaneous
changes in errors of amino acid metabolism. Penyakit bawaan terjadinya kerusakan
metabolisme asam amino mengakibatkan adanya kecacatan pada enzim. Enzim ini
sangat penting dalam mengatur keseimbangan dari asam amino. Penyakit ini paling
banyak adalah autosomal resesif disorder. Asam amino adalah molekul pembentuk
protein, dan semua protein dibentuk dari kombinasi 20 macam dan salah satunya
adalah asam amino.
Penyakit ini bisa membuat terjadinya multiorgan disorder dengan tanda dan
ciri seperti retardasi mental dan disfungsi dari beberapa organ seperti kulit dan
rambut. Contoh dari bagian penyakit ini adalah hyperphenylalaninemias,
hypertyrosinemias, disorders of histidine metabolism, disorders of proline and
hydroxyproline metabolism, dysfunctions of urea cycle enzymes, disorders of lysine
metabolism, disorders of branched-chain amino acid and keto acid metabolism,

9
disorders of transulfuration with homocystinuria dan homocystynemia,
sarcosinemia, dan nonketotic hyperglycemia.
Banyak bagian penyakit ini mempunyai manifestasi kelainan cutaneous.
Seperti adanya akrodermatitis acidemica. Lesinya sama seperti lesi akrodermatitis
enterophatika

3. Akrodermatitis enteropathica
Akrodermatitis Enteropatika(AE) merupakan penyakit genetik autosomal
resesif, yang disebabkan oleh kelainan metabolisme pada waktu kelahiran yang
menyebabkan malabsorbsi dan defisiensi zink, ditandai dengan adanya erupsi kulit
di ekstremitas atau disekitar orifisium yang terdapat pada tubuh, kehilangan rambut
(alopesia), diare atau gangguan gastrointestinal lainnya, dan gangguan
pertumbuhan.

Defisiensi Zink

Defisiensi zink dapat dihasilkan dari intake yang tidak adekuat,


malabsorbsi, kehilangan dalam jumlah yang besar, atau kombinasi dari beberapa
faktor yang disebabkan oleh kondisi genetik atau didapat. Akrodermatitis
enteropatika (AE) merupakan defisiensi zink secara genetik.

Epidemiologi

Defisiensi zink terjadi diseluruh dunia, dapat terjadi pada populasi dengan
sindrom malabsorbsi intestinal, penyakit liver, anoreksia nervosa atau food
faddism, luka bakar pada kulit yang luas, dan sindrom nefrotik. Defisiensi zink
iatrogenik dapat dihasilkan dari pemberian makan secara parenteral dan enteral
yang lama, yang terdiri dari level zink yang tidak adekuat.

Di Amerika angka kejadiannya tidak diketahui secara pasti, sedangkan di


Denmark diperkirakan 1 : 500.000 orang yang terkena. Penyakit ini dapat mengenai
semua ras dan jenis kelamin. Intake zink yang tidak adekuat dapat terjadi pada
sepertiga populasi di Asia selatan dan subsahara Afrika. Dinegara-negara
berkembang, kelompok dengan resiko defisiensi zink terdapat pada vegetarian,

10
alkoholik, malnutrisi, dan bayi prematur. Di Makassar sendiri belum ada yang
melaporkan mengenai jumlah angka kejadian AE.

Etiologi dan patogenesis

Akrodermatitis enteropatika dapat terjadi karena ketidakmampuan untuk


menyerap zink dari makanan. Absorbsi zink pada pasien AE yang berumur muda
sangat rendah yaitu sekitar 2-3% dibandingkan dengan dewasa normal yaitu sekitar
27-65%. Penyebab dari malabsorbsi sendiri belum diketahui secara pasti. Barnes
dan Moynahan pada tahun 1973 yang pertama meneliti bahwa penyakit ini
disebabkan oleh karena ketidakmampuan untuk mengabsorbsi zink dalam jumlah
yang cukup dan penyembuhan komplit dari semua gejala tersebut dengan
pemberian suplemen zink saja. Sebuah penelitian lainnya telah mengisolasi
fibroblast dari pasien AE dan telah menemukan penurunan aktivitas pengambilan
zink dan kandungan zink.

Penyebab dari AE kemungkinan berhubungan dengan terjadinya mutasi


genetikSLC39A4 pada 8q24 Penelitian yang dilakukan pada pasien dengan AE,
ditemukan mutasi gen SLC39A4 dimana hal ini tidak ditemukan pada individu yang
normal. SLC39A4 ini mengkode sebuah protein ZIP yaitu ZIP4. ZIP4 merupakan
anggota ZIP family yang merupakan transporter ion metal. ZIP4 sendiri merupakan
pengangkut zink diusus. Penderita AE mempunyai defek pada protein human ZIP4,
sehingga terjadi penurunan absorbsi zink dan terjadi metabolisme zink yang
abnormal.

Akrodermatitis enteropatika merupakan defisiensi zink yang diturunkan,


yang secara klasik muncul selama masa bayi dimana pemberian ASI dihentikan dan
digantikan dengan susu formula atau sereal, dimana hal tersebut mempunyai
bioavailabilitas yang lebih rendah dibandingkan dengan ASI. Terdapat pula bentuk
defisiensi zink yang didapat yang dapat muncul selama bayi, dimana hal ini berbeda
dari AE, yaitu bayi tersebut mendapat gejala selama pemberian ASI dan membaik
setelah ASI dihentikan dan diganti dengan susu formula atau makanan. Beberapa
laporan menyebutkan bahwa AE dapat terjadi pada bayi-bayi prematur tapi ada
beberapa kasus juga yang melaporkan bisa terjadi pada bayi cukup bulan. Ibu dari

11
bayi tersebut biasanya diperkirakan mempunyai defek pada ekskresi zink dalam air
susunya, sehingga menyebabkan intake zink yang tidak adekuat untuk bayi mereka.

Pada defisiensi zink yang didapat, terjadi oleh karena intake yang tidak
adekuat, kegagalan absorbsi, atau peningkatan ekskresi, termasuk pada masa
kehamilan, laktasi, luka bakar pada kulit yang luas, dermatis eksfoliatif
generalisata, nutrisi parenteral, anoreksia nervosa, dan keringat yang berlebihan.

Sindrom malabsorbsi intestinal, seperti penyakit inflamasi pada lambung,


dan fibrosis kistik, menyebabkan lemahnya absorbsi zink intestinal, sementara
alkoholisme dan sindrom nefrotik menyebabkan meningkatnya kehilangan zink
melalui renal.

Zinc Deficiency

Diagnosis

Diagnosis AE dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran klinis, dan


pemeriksaan penunjang. Akrodermatitis enteropatika muncul segera setelah
penghentian ASI atau pada bayi-bayi yang tidak mendapatkan ASI, yang secara
klinik ditandai dengan adanya lesi kulit pada akral dan periorofisial, diare dan
alopesia.

12
Manifestasi Klinis

Gambaran klinis yang klasik dari AE berupa lesi kulit yang pada awalnya
berupa erupsi vesikobulosa yang muncul pada permukaan kulit dengan dasar
eritem. Bula tersebut dengan cepat akan pecah dan menjadi krusta yang kering,
kemudian berkembang menjadi likenifikasi dengan batas yang jelas atau plak
psoriasiform. Lokasi lesi terdapat disekitar daerah orificium tubuh (seperti mulut,
hidung, telinga, mata, dan perineum) dan secara simetris terletak pada daerah
pantat, juga pada permukaan ekstensor atau sendi-sendi utama (seperti siku, lutut,
tangan, dan kaki), kulit kepala, jari-jari tangan dan jari kaki. Pada daerah wajah
tampak sebagai plak eritem didaerahperibuccal yang disertai dengan erosi dan
krusta dan sering mengalami infeksi dengan Candida albicans. Jika jari tangan dan
jari kaki terkena maka akan nampak daerah yang eritem dan bengkak pada jaringan
paronikial, sering diikuti dengan deformitas kuku.

Bayi yang menderita AE akan nampak lesu, anoreksia, dan apatis. Beberapa
bayi nampak sering menangis, cengeng, dan gelisah. Selama masa eksaserbasi
terdapat diare yang berbusa dan sangat bau. Terdapat juga kelainan pada mukosa
yaitu konjungtivitis, fotofobia, stomatitis, dan perleche. Kelainan pada kuku dapat
berupa paronikia dan distropi kuku, sedangkan pada rambut dapat terjadi alopesia
pada kulit kepala, bulu mata dan alis. Lesi dapat mengalami infeksi sekunder yang
disebabkan oleh Staphylococcus aureus and Candida albicans. Pada penderita
akrodermatitis enteropatika juga dapat terjadi terlambatnya fase penyembuhan.

Defisiensi zink kronik atau subakut juga dapat terjadi. Pasien dengan
keadaan ini mempunyai level zink dengan rata-rata kehilangan yang sedang (40-60
µg/dl). Manifestasi klinik termasuk gangguan pertumbuhan pada masa anak-anak
dan dewasa, hipogonadisme pada laki-laki, dysgeusia, selera makan yang buruk,
proses penyembuhan yang jelek, dan adaptasi terhadap gelap yang abnormal.
Manifestasi pada kulit jika muncul biasanya sedikit dan secara predominan timbul
sebagai dermatitis bentuk psoriasis yang mengenai tangan dan kaki dan kadang-
kadang mengenai lutut.

13
 Tampak plak eritem berbatas tegas pada daerah perianal

 Tampak lesi kulit dengan krusta, skuama, erosi,dan erupsi yang berbatas
tegas pada daerah
wajah

Lesi kulit pada daerah periorbital, perioral, kaki, dan tangan

Terdapatnya trias (1) total alopesia, (2) lesi kulit disekitar orifisium dan
akstremitas, dan (3) diare atau gangguan gastrointestinal lainnya, merupakan hal-
hal yang harus diperhatikan untuk menegakkan diagnosis AE. Pasien dengan
penyakit yang berkelanjutan dapat menunjukkan gejala berupa terlambatnya
pertumbuhan, keterlambatan mental, terlambatnya proses penyembuhan, anemia,

14
fotofobia, hypogeusia, anoreksia, terlambatnya pubertas, dan hipogonadisme pada
pria dan wanita.

Pemeriksaan penunjang

Laboratorium

Gold standard untuk diagnosis defisiensi zink adalah terdapatnya level zink
yang rendah dalam plasma, oleh karena itu pemeriksaan level zink plasma sangat
dianjurkan. Penggunaan jarum yang terkontaminasi, kateter, dan tabung sampel
dapat menyebabkan nilai level zink yang meninggi. Kontak dengan tabung dengan
penutup karet sebaiknya dihindari karena dapat menyebabkan nilai yang tinggi dari
zink. Sampel hemolisa juga tidak akurat karena sel darah merah dapat mengandung
level zink yang sangat tinggi dan lisis dari sel dapat mengeluarkan zink. Level zink
dalam plasma normalnya adalah berkisar dari 70 – 250 µg/dl. Konsentrasi zink
plasma kurang dari 50 mcg/dl merupakan nilai yang dicurigai untuk AE, tapi nilai
ini tidak bermakna untuk diagnostik. Sebagai tambahan sebaiknya juga dilakukan
pengukuran konsentrasi zink dalam eritrosit dan rambut. Nilai ini akan berguna
untuk menegakkan diagnosis defisiensi zink, akan tetapi nilai cut-off untuk
menentukan batas normalnya belum distandarisasi. Penderita AE dengan kadar
zink serum yang normal akan tetapi kadar zink yang rendah pada rambut pernah
dilaporkan di Korea pada tahun 2007. Hanya sekitar 10% total zink dalam tubuh
terdapat dalam plasma, dan 75% zink terikat pada albumin. Konsentrasi zink rata-
rata dalam plasma adalah 0,85 µg/ml, sedangkan dalam otot, liver, ginjal adalah
sekitar 50 µg/ml, dan sekitar 100 µg/ml dalam mata, tulang, prostat dan rambut.

15
Pemeriksaan enzim alkaline phospatase (AP) juga perlu dilakukan. Alkaline
phospatase merupakan enzim yang tergantung pada zink. Nilai dari serum AP
merupakan indikator lain yang berguna untuk status dari zink, dimana nilai AP
dapat rendah meskipun level zink masih normal, dimana hal tersebut merupakan
indikasi adanya suatu defisiensi zink. Peningkatan serum AP setelah pemberian
suplemen zink merupakan konfirmasi untuk penegakan diagnosis.

Pemeriksaan lain adalah dengan mengukur konsentrasi zinc regulated


protein seperti konsentrasi eritrosit metallothionein. Pemeriksaan serum albumin
sebaiknya juga dilakukan, karena level zink akan menurun pada keadaan
hipoalbuminemia mengingat bahwa zink akan mengikat albumin pada sirkulasi.

Pemeriksaan histopatologi
Biopsi kulit merupakan pemeriksaan histopatologi rutin yang dapat
dilakukan jika terdapat kasus dimana level zink dalam plasma meragukan sehingga
diagnosis menjadi tidak jelas. Gambaran histopatologi yang karakteristik dari AE
adalah terdapatnya hiperplasia psoariasiform yang beragam dengan parakeratosis,
spongiosis dan kepucatan pada bagian atas epidermis, diskeratosis fokal dan atropi
epidermal. Temuan ini tidak spesifik karena dapat terlihat dalam defisiensi nutrisi
lainnya.

Terapi
Akrodermatitis enteropatika memerlukan terapi jangka panjang dengan
suplemen zink. Supleman zink secara enteral atau parenteral dapat digunakan.
Respon klinik biasanya cepat dengan perbaikan awal dalam waktu beberapa hari.
Meskipun beberapa formula zink tersedia, tapi yang paling sering digunakan adalah
formula enteral yaitu zink sulfat. Zink klorida direkomendasikan untuk suplemen
parenteral.
Terapi zink sebaiknya di mulai pada dosis 3 mg/kg BB/hari elemen zink
pada AE.22Pasien memerlukan dosis zink yang lebih tinggi ataupun lebih rendah
dari 3 mg/kgBB/hari untuk menormalkan defek genetik metabolisme zink. Untuk
kasus-kasus defisiensi zink akibat intake yang rendah terapi dengan menggunakan
zink sebaiknya diawali dengan dosis 0,5 -1 mg/kgBB/hari. Pemberian zink pada

16
anak-anak dosisnya 0,5 sampai 1,0 mg/kg, yang diberikan satu sampai dua kali
sehari dan direkomendasikan untuk kasus ringan sampai sedang dari defisiensi zink.
Dosis yang tinggi mungkin diperlukan pada kasus defisiensi zink yang didapat
berdasarkan malabsorbsi intestinal. Pada dewasa 15 sampai 30 mg elemen zink
perhari biasanya cukup pada kasus defisiensi zink yang didapat. Level zink serum
sebaiknya dimonitor selama terapi. Pasien dengan defisiensi zink yang didapat
mungkin membutuhkan level yang bervariasi dari suplemen, tergantung pada
penyakit yang mendasarinya.

Akrodermatitis Enteropatika biasanya berespon dengan suplemen zink


dalam waktu beberapa minggu. Untuk kasus kongenital AE memerlukan suplemen
zink berkelanjutan sepanjang hidup, sementara untuk kasus defisiensi zink yang
didapat hanya memerlukan terapi zink untuk waktu yang cukup singkat.

Setelah kondisi pasien membaik dengan pemberian terapi zink, maka


sebaiknya level zink dimonitor secara periodik setiap tiga sampai enam bulan,
diikuti dengan pemberian suplemen zink dengan dosis yang lebih rendah dari terapi
awal. Pemberian makanan yang mengandung zink juga dinilai efektif. Suplemen
zink sebaiknya diberikan 1-2 jam sebelum makan.

Walaupun zink biasanya tidak toksik, namun dosis tinggi dengan jangka
waktu yang lama dapat menyebabkan gejala gastrointestinal, pusing dan
defisiensi cooper yang dapat menyebabkan anemia.

Komplikasi
Jika tidak diberikan terapi, lesi dapat terinfeksi oleh S. aureus dan C.
albicans, pada infants dapat menyebabkan fotofobia dan kehilangan nafsu makan.

Prognosis

Akrodermatitis Enteropatika yang tidak diketahui atau tidak diobati dapat


menjadi progresi, cacat, infeksi, dan bahkan dapat menyebabkan kematian.

17
4. Papular akrodermatitis pada anak (Gianotti-Crosti Syndrome)
Gianotti-Crosti Syndrome(GCS) adalah reaksi pada kulit yang berhubungan
dengan virus, bakteri dan vaksin. Pathogenesis GCS masih belum diketahui secara
pasti. Namun ada beberapa sumber yang menyatakan bahwa imunisasi dan kondisi
imun menjadi salah satu faktor risiko infeksi ini terjadi.

Epidemiologi

GCS atau infantile popular acrodermatitis atau popular acrodermatitis of childhood


terjadi pada anak pada usia 6 bulan – 12 tahun dengan usia tersering adalah 1-6
tahun

Temuan Klinis

18
Sebelum terbentuknya exanthemam, terdapat gejala prodromal nonspesifik dari
saluran pernafasan atas, demam, faringitis dan bisa ditemukan limfadenopati.

Lesi kulit

Multiple coelescalin, monomorphous, datar dengan puncakya berbentuk kubah,


papul merah-kecoklatan, papulovesikel. Lesi bisa menjadi pruritus, jarang terjadi
perdarahan. Papul berukuran 1-10mm, terdistribusi simetris di pipi, permukaan
ekstensor dari ekstrimitas dan bokong. Predileksi untuk GCS ini adalah didaerah
trunks, palmar dan telapak kaki yang kemudian bisa menyebar. Kadang papula kecil
bergabung menjadi papul besar. lesi kulit berevolusi selama beberapa hari dan
berlangsung selama 2-8 minggu.

Gejala lainnya:

Malaise, low-grade fever, mild diare, limfadenopati terutama didaerah cervical,


axillary dan lipatan inguinal

Laboratorium

Pada kebanyakan kasus, diagnosi bisa ditegakan dengan cukup melihat


gejala klinis dan tidak membutuhkan pemeriksaan diagnostic lainnya, pada pasien
dengan hepatomegaly membutuhkan pemeriksaan diagnostic lanjutan yaitu
complete blood count dan liver enzymes. Lymphositosis atau lymphopenia sering
terjadi dan tidak memerkukan pemeriksaan diagnostic lainnya. Jika kadar enzyme
liver meningkat, perlu dilakukan pemeriksaan untuk hepatits atau EBV.jika hasil
menunjukan hepatitis, periksa anti-hepaitis A IgG dan IgM, hepatitis B surface
anigen dan core antibody dan juga diindikasikan pemeriksaan anti-hepatitis C IgG.

19
Diagnosis Banding

Komplikasi

GCS jarang menimbulkan komplikasi, namun ketika GCS ini penyebabnya


adalah infeksi hepatitis B maka bisa terjadi chronic liver disease dan liver failure.

Prognosis

GCS merupakan penyakit yang bersifat self-limited dan biasanya sembuh


dalam waktu 3- minggu. Lesi sembuh tanpa jaringan parut dan jarang,
hipopigmentasi postinflammatory atau hiperpigmentasi terlihat. Limfadenopati
dapat berlangsung selama beberapa bulan. Dalam kasus yang terkait dengan
hepatitis B, hepatitis viral anicteric berkembang dan tidak dapat dilihat sampai 2
minggu setelah lesi kulit yang melihat.

Treatment

Pada beberapa pasien biasa digunaan steroid topical yang dapat menurunkan
durasi lesi ketika diaplikasikan 1x sehari selama 1-2 minggu. Pasien harus
dilakukan monitoring secara ketat karena kondisi yang memburuk bisa ditemukan
ketika menggunakan steroid topical. Pada kasus yang bera. Sistemik dan
kortikosteroid dapat diberikan. Oral anti hstamin atau lotion anti-itch dapat
diberikan untuk mengurangi gatal-gatal yang parah.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Fitzpatrick TB, Johnson RA, Wolff K, Suurmond D. Color atlas and


synopsis of Clinical Dermatology. New York. United States of America:
Mc Graw-Hill Medical Publishing Division; 2012.
2. Janniger, Camila K. Pediatric Dyshidrotic Eczema. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/910946-overview. di akses tanggal
3 Desember 2016

3. Harahap, H. 2009, Ilmu Penyakit Kulit, Hipokrates, Jakarta : 21


4. Siregar, R.S. 2006, Atlas Berwarna SARIPATI PENYAKIT KULIT, EGC,
Jakarta : 142-143
5. Burdick, A.E. 2007, Dyshidrotic Eczema, Department of Dermatology,
University of Miami School of Medicine, http ://www.eMedicine.com : 1-
19
6. Adam, Acrodermatitis definition, April, 2010, http :// www.unair.com//.
Diunduh 03 Desember 2016.
7. Cristopher J.R , Acrodermatitis Overview, Cause and Risk Factors,
Oktober, 2009, htt :// www.raredisease.org // Diunduh 03 Desember 2016.
8. Lehree M, Acrodermatitis Symptoms and Sign, University of Pennsylvania
Medical Center, January, 2007, Philadelphia, htt: // www.urac.org //.
Diunduh 03 Desember 2016
9. Albert G.Y. , Gianotti –Crosti Syndrome (Papular Acrodermatitis of
Chillhood, Desember, 2007, http :// www.medicine.com //. Diunduh 03
Desember 2016.
10. Budimulja, Unandar. Mikosis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Edisi kelima cetakan kedua. 2007. FKUI. Jakarta. Hal 97.

11. DeAngelis YM et al: Three etiologic facets of dandruff and seborrheic


dermatitis: Malassezia fungi, sebaceous lipids, and individual sensitivity. J
Investig Dermatol 10:295-297,2007

12. Arora V et al: Management of infantile seborrheic dermatitis. Am Fam


Physician 75(6):807, 2007

21
13. Shin H et al: Clinical effcacies of topical agents for the treatment of
seborrheic dermatitis of the scalp: A comparative study. J Dermatol
36(3):131-137, 2009

14. Nowicki R: Modern management of dandruff. Pol Merkur Lekarski


20(115):121-124, 2006

15. Bikowski J: Facial seborrheic dermatitis: A report on current status and


therapeutic horizons. J Drugs Dermatol 8(2):125-133, 2009

16. Nyhan WL, Barshop BA, Ozand PT: Atlas of Metabolic Diseases, 2nd
edition. London, Hodder Arnold, 2006

17. Scott CR: The genetic tyrosinemias. Am J Med Genet C Semin Med Genet
142:121, 2006

18. Goldsmith LA, Reed J: Tyrosine-induced eye and skin lesions: A treatable
genetic disease. JAMA 236:382, 1976

19. Madan V, Gupta U: Tyrosinaemia type II with diffuse plantar keratoderma


and self-mutilation. Clin Exp Dermatol 31:54, 2006

22

Anda mungkin juga menyukai