Anda di halaman 1dari 24

REFERAT MANDIRI

Rhinitis Alergi

PEMBIMBING:
Dr.Retno Praptaningsih, Sp.THT-KL

Disusun Oleh :
Awalliantoni
(11.2016.232)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
RUMAH SAKIT PANTIWILASA DR. CIPTO SEMARANG
PERIODE 12 Juni – 22 Juli 2017
BAB I
PENDAHULUAN
Rhinitis alergi merupakan penyakit immunologi yang paling sering ditemukan.
Berdasarkan studi epidemiologi, prevalensi rhinitis alergi diperkirakan berkisar antara 10%-20%
dan secara konstan meningkat dalam dekade terakhir.1
Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien
atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan allergen yang sama serta dilepaskkannya
suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen spesifik tersebut (Von
Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA ( Allergic Rhinitis and its Impacy on Asthma) tahun 2001,
Rhinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rhinore, rasa gatal, dan
tersumbat setelah mukosa hidung terpapar allergen yang diperantarai oleh IgE.2
Rhinitis alergi bukanlah penyakit yang fatal, tetapi gejalanya dapat berpengaruh pada
3
kesehatan seseorang dan menurunkan kualitas hidup yang bermakna pada penderitanya.
Biasanya rhinitis alergi timbul pada usia muda (remaja dan dewasa muda). Pada usia remaja/
dewasa, prevalensi rhinitis alergi adalah sama banyak antara laki-laki dan perempuan. Keluarga
atopi memiliki prevalensi lebih besar daripada neonatopi. 4
Penyakit alergi THT terutama rhinitis alergi umumnya diterapi dengan cara menghindari
allergen penyebab untuk itu diperlukan pemeriksaan untuk mengetahui alergen penyebab
tersebut, imunoterapi, mencegah degranulasi sel matosit, menetralisir mediator amine vasoaktif
(terutama mediator histamine) dan menghilangkan gejala-gejala pada organ target ( pilek dan
buntu hidung).5 tetapi cara yang paling efektif untuk mengontrol penyakit-penyakit alergi adalah
dengan menghindari paparan allergen penyebabnya.6
Dalam referat ini penulis akan mencoba untuk membahas mulai dari definisi,
epidemiologi, faktor resiko, etiologi, patofisiologi, klasifikasi, manifestasi klinis, pemeriksaan,
diagnosis & diagnosis banding, penatalaksanaan, komplikasi, prognosis dan pencegahannya.
Namun sebelumnya, penulis akan membahas anatomi dan fisiologi hidung terlebih dahulu

1
BAB II

ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG

Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali tenang anatomi
dan fisiologi hidung. Anatomi hidung dibagi menjadi dua bagia, yaitu hidung bagian luar dan
hidung bagian dalam. Sedangkan Fisiologi hidung terdapat limja fungsi, yaitu fungsi respirasi,
fungsi penghidu, fungsi fonetik, fungsi staris dan mekanik, serta fungsi sebagai reflex nasal.
Pertama-tama akan dibahas mengenai anatomi hidung.

II.1 Anatomi Hidung1

II.1.1 Hidung bagian Luar

Hidung bagian luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas kebawah
adalah sebagai berikut :

 Pangkal hidung ( bridge)


 Batang hidung (dorsum nasi)
 Puncak hidung (tip)
 Ala nasi
 Kolumela
 Lubang hidung (nares anterior)

Gambar 1. Anatomi hidung bagian luar tampak samping

2
Gambar 2. Anatomi hidung bagian luar tampak bawah

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit.
Kerangka tulang terdiri dari:

1. Tulang hidung (os nasal)


2. Prosesus frontalis os maksila
3. Prosesus nasalis os frontal.

Sedangkan tulang rawan terdiri dari beberapa pasang yaitu:

1. Sepasang kartilago nasalis lateralis superior


2. Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior atau yg disebut juga alaris mayor
3. Kartilago alaris minor
4. Tepi anterior kartilago septum.

Gambar 3. Kerangka Tulang dan Tulang Rawan Hidung

3
II.1.2 Hidung bagian dalam1

Rongga hidung atau cavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang
dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya. Septum nasi dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian dari tulang adalah:

1. Lamina perpendikularis os etmoid


2. Vomer
3. Krista nasalis os maksila
4. Krista nasalis os palatina.

Bagian Tulang rawan adalah:

1. Kartilago septum ( lamina kuadrangularis)


2. Kolumela.

Cavum nasi terdiri dari vestibulum, meatus nasi, mukosa nasi, dan konka nasalis. Konka
nasalis terbagi menjadi 4 bagian yaitu bagian superior, media, inferior dan suprema.
Konka suprema ini biasanya rudimeter.

Gambar 4. Konka dan Sinus Hidung

4
II.2 Vaskularisasi hidung1

Bagian rongga hidung mendapat pendarahan dari arteri etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmik dari arteri karotis interna. Bagian
bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang arteri maksilaris interna,
diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor an arteri sfenopalatina dan memasuki ringga
hidung dibelakang konka media. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang-
cabang arteri fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-
cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri
palatina mayor yang disebut pleksus Kisselbach ( little’s area). Pleksus kisselbach
letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma sehingga sering menjadi sumber
epistaksis.

III.3 Fisiologi Hidung1

Fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah:

1. Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara, penyaring udara,


humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan meknisme
imunologik lokal.
2. Fungsi penghidu karena terdapat mukosa olfaktorius dan reservoir
udara ubtuk menampung stimulus penghidu.
3. Fungsi fonetiik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses
bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang,
4. Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi
terhadap trauma dan pelindung panas.
5. Refleks nasal, iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin
dan napas berhenti, rangsang bau tertentu juga akan menyebabkan
sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.

5
BAB III
RHINITIS ALERGI

III.1 Definisi

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan allergen yang sama serta
dilepaskkannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen
spesifik tersebut (Von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA ( Allergic Rhinitis and its
Impacy on Asthma) tahun 2001, Rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala
bersin-bersin, rhinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar allergen
yang diperantarai oleh IgE.2

III.2 Epidemiologi

Rinitis alergi merupakan penyakit yang umum dijumpai di masyarakat, insiden


rinitis alergi menurut WHO - ARIA 2001 antara 1 - 18%, sedangkan insiden rinitis alergi
di Jakarta cukup tinggi antara 10-20%.7 Dari sumber lainnya, didapatkan prevalensi
penyakit Rinitis Alergi pada beberapa Negara berkisar antara 4.5-38.3% dari jumlah
penduduk dan di Amerika, merupakan satu diantara deretan atas penyakit umum yang
sering dijumpai. 7

Meskipun dapat timbul pada semua usia, tetapi 2/3 penderita umumnya mulai
menderita pada saat berusia 30 tahun. Dapat terjadi pada wanita dan pria dengan
kemungkinan yang sama. Penyakit ini herediter dengan predisposisi genetic kuat. Bila
salah satu dari orang tua menderita alergi, akan memberi kemungkinan sebesar 30%
terhadap keturunannya dan bila kedua orang tua menderita akan diperkirakan mengenai
sekitar 50% keturunannya. 7

6
III.3 Faktor Resiko

Faktor resiko rhinitis alergika antara lain 8:

1. Riwayat keluarga yang atopi


2. Serum IgE > 100 IU/mL sebelum usia 6 tahun
3. Sosioekonomi menengah keatas
4. Paparan terhadap allergen dalam ruangan (binatang dan debu)
5. Skin prick test positif

III.4 Etiologi

Rinitis alergi adalah disebabkan oleh reaksi peradangan mukosa hidung, yang
diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE), setelah terjadi paparan allergen (reaksi
hipersensitivitas tipe I Gell dan Comb). 9

Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan
pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan
gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi pada setiap orang dapat berbeda alergen.
Alergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau
jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua
spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides
pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat. Berbagai
pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik
diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan
perubahan cuaca (Becker, 1994). 10

Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:

• Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya


debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.

• Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya


susu, telur, coklat, ikan dan udang.

7
• Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin atau sengatan lebah.

• Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan (Kaplan, 2003).

III.5 Patofisiologi

Pada dasarnya, rhinitis alergi merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh
reaksi hipersensitivitas tipe I. Reaksi hipersensitivitas tipe 1 merupakan reaksi yang
bersifat cepat dan merupakan hasil dari sensitisasi sel-sel mast yang ada pada jaringan
oleh IgE.

Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflammasi yang terbagi menjadi 2 fase,
yakni IPAR ( Immediate Phase Allergic Reaction ) yang berlangsung dalam kurun waktu
sampai 1 jam setelah terpapar oleh allergen, dan LPAR ( Late Phase Allergic Reaction )
dimana manifestasinya muncul 2-4 jam setelah terpapar dengan puncak manifestasinya
pada jam ke 6-8 dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.

Mukosa dari nasal memiliki kemampuan untuk menangkap partikel-partikel yang


ikut terhirup ketika bernafas, partikel-partikel tersebut kemudian akan dipindahkan ke
faring dengan bantuan silia-silia yang ada pada permukaan mukosa. Namun pada rhinitis
alergi, antigen dari partikel-partikel tertentu akan dipecahkan oleh enzim yang terdapat
pada mukosa hidung dan melepaskan alergen yang kemudian akan memicu sel mast ,
yang sudah tersensitisasi dan memiliki IgE pada reseptornya, yang ada dalam jaringan
mukosa dan memicu terjadinya reaksi hipersensitivitas terhadap alergen tersebut.

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit
yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap
alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan
membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II
membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang
kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas

8
sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi
menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5,
dan IL-13.

IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE
di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel
mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini
disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang
sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat
alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil
dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators)
terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain
prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin,
Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF
(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut
sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga


menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan
kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler
meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat
vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga
menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter
Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1). Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan
molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan
target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan
mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan
penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan
mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan
Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret
hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan

9
eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein
(ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan
Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh
faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang,
perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi (Irawati, Kasakayan, Rusmono,
2008).

Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan


pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang
interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada
jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat
serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat
terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi
perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa,
sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan masuknya antigen asing ke dalam
tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari:

10
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non
spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan,
reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah
sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil
dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada
defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat
bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.

Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi
anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi
kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi
klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis
alergi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).

11
III.6 Klasifikasi

Sekarang ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi WHO


initiative ARIA tahun 2001, berdasarkan lama terjadinya gejala serta berdasarkan
keparahan dan kualitas hidup, dapat dilihat sebagai berikut:11

Tabel 1. Klasifikasi Rhinitis Alergi menurut guideline ARIA (2001)


Selain klasifikasi diatas, terdapat juga klasifikasi berdasarkan waktunya, terdapat
tiga golongan rhinitis alergi, yaitu :11

 Seasonal allergic rhinitis (SAR)


Terjadi pada waktu yang sama setiap tahunnya, misalnya pada saat musim bunga,
dikarenakan banyak serbuk sari yang beterbangan.
 Perrenial allergic rhinitis (PAR)
Terjadi setiap saat dalam setahun, penyebab utamanya adalah debu, animal
dander, jamur, kecoa
 Occupational allergic rhinitis
Rhinitis alergi yang terkait dengan pekerjaan

12
III.7 Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala pada rhinitis alergi, adalah:

o Bersin berulangkali
o Hidung berair (rhinorrhea)
o Tenggorokan, hidung, kerongkongan gatal
o Mata merah, gatal, berair
o Post-nasal drip

Gambar 5. Gejala Rhinitis Alergi


Berikut adalah perbedaan tanda dan gejala pada intermiten dan persisten rhinitis alergi,

13
Tabel 2. Pebedaan Gejala Rhinitis Alergi Intermiten dan Persisten

III.8 Pemeriksaan Penunjang

a. In vitro

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai
normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya
selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah
dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno
Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan
diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam
jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap)
mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan
adanya infeksi bakteri.1

14
b. In vivo

Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan
atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET
dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai
konsentrasi yang bertingkat kepekatannya.1 Keuntungan SET, selain alergen penyebab
12
juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui. Untuk alergi
makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya
ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”). Alergen ingestan
secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test,
makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari,
selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan
dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu
jenis makanan.1

III.9 Diagnosa

Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:

1. Anamnesis

Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa.
Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang
khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar hingus (rinore)
yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang
disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Seringkali gejala yang timbul tidak
lengkap. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-
satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.1 Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul,
menetap) beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karena faktor
genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap
pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan
berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali

15
setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus encer lebih dari satu jam, hidung
tersumbat, dan mata merah serta berair maka dinyatakan positif (Rusmono, Kasakayan,
1990).

2. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, bewarna pucat,m
atau livid disertai adanya secret encer yang banyak. Gejala spesifik lain, terutama pada
anak ialah garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu bayangan gelap di daerah
bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Selain itu, dapat
ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang pada dorsum nasi bagian
sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok oleh
punggung tangan (allergic salute).

III.10 Diagnosa Banding

Rhinitis alergika harus dibedakan dengan:13

1. Rhinitis vasomotor
Adalah gangguan pada mukosa hidung yang ditandai dengan adanya edema yang
persisten dan hipersekresi kelenjar pada mukosa hidung apabila terpapar oleh iritan
spesifik.14 Kelainan ini merupakan keadaan yang non-infektif dan non-alergi. Rinitis
vasomotor mempunyai gejala yang mirip dengan rinitis alergi sehingga sulit untuk
dibedakan. 1
Etiologi yang pasti belum diketahui, tetapi diduga sebagai akibat gangguan
keseimbangan fungsi vasomotor dimana sistem saraf parasimpatis relatif lebih
dominan. Keseimbangan vasomotor ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang
berlangsung temporer, seperti emosi, posisi tubuh, kelembaban udara, perubahan
suhu luar, latihan jasmani dan sebagainya, yang pada keadaan normal faktor-faktor
tadi tidak dirasakan sebagai gangguan oleh individu tersebut. 1

Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis yang cermat, pemeriksaan THT serta
beberapa pemeriksaan yang dapat menyingkirkan kemungkinan jenis rinitis lainnya.

16
Penatalaksanaan rinitis vasomotor bergantung pada berat ringannya gejala dan dapat
dibagi atas tindakan konservatif dan operatif.

Tabel 3. Perbedaan Rhinitis Alergi dengan Rhinitis Vasosmotor

2. Rhinitis virus
Rhinitis yang disebabkan oleh virus. Virus yang paling sering menyebabkan rhinitis
virus adalah rhinovirus. Virus-virus lainnya adalah myxovirus, virus coxsackie, dan
virus ECHO. Penyakit ini sangat menular dan gejala dapat timbul sebagai akibat tidak
adanya kekebalan atau menurunnya daya tahan tubuh, Pada stadium prodromal yang
berlangsung beberapa jam, didapatkan rasa panas, kering dan gatal di dalam hidung.
Kemudian akan timbul bersin berulang, hidung tersumbat, dan ingus encer yang
biasanya disertai demam dan nyeri kepala.Mukosa hidung tampak merah dan
membengkak. Tidak ada terapi spesifik selain istirahat dan pemberian obat-obat
simptomatis, seperti analgetika, antipiretika, dan obat dekongestan. Antibiotika
diberikan hanya jika ada infeksi sekunder oleh bakteri
3. Rhinitis bacterial
Rhinitis yang terjadi akibat adanya infeksi dari bakteri. Rhinitis bacterial dapat terjadi
sebagai infeksi primer ataupun infeksi sekunder pada rhinitis virus. Beberapa bakteri
yang dapat menyebabkan rhinitis bacterial adalah Corynebacterium diphteriae yang
menyebabkan rhinitis dipteri, Treponema palidum yang menyebabkan rhinitis sifilis,
infeksi ekstra pulmonal oleh mycobacterium tuberculosa yang menyebabkan rhinitis
tuberkulosa.

17
III.11 Penatalaksanaan

1. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan
eliminasi.

2. Simptomatis

a. Medikamentosa-Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja


secara inhibitor komppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat
farmakologik yang paling sering dipakai sebagai inti pertama pengobatan rinitis alergi.
Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara
peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1
(klasik) dan generasi -2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga
dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta
mempunyai efek kolinergik. Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa
dipakai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau
tropikal. Namun pemakaian secara tropikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk
menghindari terjadinya rinitis medikamentosa. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala
trauma sumbatan hidung akibat respons fase lambat berhasil diatasi dengan obat lain.
Yang sering dipakai adalah kortikosteroid tropikal (beklometosa, budesonid, flusolid,
flutikason, mometasonfuroat dan triamsinolon). Preparat antikolinergik topikal adalah
ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi
reseptor kolinergik permukaan sel efektor (Mulyarjo, 2006).

b. Operatif - Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan


bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi
memakai AgNO3 25 % atau troklor asetat (Roland, McCluggage, Sciinneider, 2001).

c. Imunoterapi - Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi dan


hiposensitasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang
gejalanya berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan
(Mulyarjo, 2006).

18
19
20
III.12 Komplikasi

Komplikasi rhinitis alergi yang sering adalah:1

1. Polip hidung
2. Otitis Media Akut
3. Sinusitis Paranasal

Komplikasi lainnya yang dapat disebabkan rhinitis alergi adalah:

1. Asma
2. Obstruksi tuba Eustachius dan efusi telinga bagian tengah
3. Hipertrofi tonsil dan adenoid
4. Gangguan kognitif

III.12 Prognosis

Secara Umum baik. Penyakit rhinitis alergi ini secara menyeluruh berkurang
seiring bertambahnya usia, tetapi kemungkinan menderita asma bronkial meningkat (
Becker, 1994 ). Remisi spontan dapat terjadi sebanyak 15-25% selama jangka waktu 5-7
tahun, remisi untuk rinitis alergi musiman lebih besar frekusensinya dibandingkan dengan
rhinitis alergi perenial ( Rusmono, 1993 ).

III.13 Pencegahannya

Pencegahan dari rhinitis alergi adalah dengan menghindari paparan dengan


allergen pencetus rhinitis alergi, selain itu juga dengan menjaga keadaan imunitas tubuh
dalam keadaan yang baik.

21
BAB IV RINGKASAN

Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflammasi yang dicetuskan oleh reaksi
hipersensitivitas sistem pertahanan tubuh terhadap alergen-alergen tertentu. Penyakit ini dapat
timbul secara musiman atau sepanjang tahun. Penyakit ini dapat dikaitkan dengan suatu kelainan
atopik.

Tanda dan gejala yang khas dari rhinitis alergi adalah rinorrhea, bersin-bersin, obstruksi
jalan nafas pada cavum nasi, lakrimasi, dan rasa gatal pada hidung dan konjungtiva. Selain itu
pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan mukosa nasal berwarna pucat dan nampak basah,
konjungtiva bisa didapatkan kongesti dan edem, pada faring tidak ditemukan suatu tanda yang
spesifik. Pembengkakan mukosa cavum nasi dapat menyebabkan terjadinya infeksi sekunder
memlalui oklusi ostium sinus maupun tuba eustachius.

Diagnosis rhinitis alergi terutama berdasarkan pada anamnesa yang lengkap dan
pemeriksaan fisik yang menunjang. Penggunaan pemeriksaan penunjang dapat membantu dalam
penegakan diagnosa, seperti foto x-ray, skin prick test, cell diff count, dan sebagainya.

Penatalaksanaan untuk kasus rhinitis alergi berupa pencegahan kontak dengan alergen.
Untuk simptomatis dapat diberikan obat-obatan anti histamin, simpatomimetik, kortikosteroid,
anti kolinergik. Bila terapi dengan medikamentosa tidak memuaskan dan penyakit pasien
menyebabkan disfungsi pada pasien, dapat dilakukan tindakan operatif seperti konkotomi. Selain
itu dapat dilakukan imunoterapi yang merupakan usaha desensitisasi terhadap alergen pencetus
rhinitis alergi pada pasien.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Suprihati,dr.,Sp.THT. Patofisiologi dan Prosedur Diagnosis Rhinitis Alergi. Bagian THT FK


Undip/RSUP Dr. Kariadi semarang: 1 -10

2. Sarumpaet R.D. Kumpulan Karya Ilmiah. Bagian Ilmu kesehatan THT FK Undip/SMF
kesehatan THT RSUP Dr. Kariadi Semarang, 2001 ; 49 -54

3. Ballenger J.J. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Ed 14 Jilid I.
Binarupa Aksara, Jakarta, 1994 : 176 – 8

4. Ballenger J.J. Diseases of The Nose, Throat, and Ear. 11thed. Philadelphia : Lea &
Febrigger, 1987 : 93 – 6

5. Boyes LR, Higgler JA, Priest RE. Fundamental of Otolaryngology A Textbook of Ear, Nose,
and Throat Diseases. 4thed. London : WB Saunders Company, 1984 : 303 – 9

6. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Rhinitis Alergi. Buku Ajar Ilmu
kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala leher Edisi keenam FKUI. Balai Penerbit FK
UI, 2007 : 128 – 34

7. Adams GL, Boyes LR, Higgler PH. Buku Ajar Penyakit THT ed.6 EGC, Jakarta, 1997 :
196-7

8. Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. Harrison’s Principles of


Internal Medicine. 17thedition. USA : McGraw-Hill Companies, 2008 : 2068 - 70

23

Anda mungkin juga menyukai