Rinitis
Rinitis
Rhinitis Alergi
PEMBIMBING:
Dr.Retno Praptaningsih, Sp.THT-KL
Disusun Oleh :
Awalliantoni
(11.2016.232)
1
BAB II
Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali tenang anatomi
dan fisiologi hidung. Anatomi hidung dibagi menjadi dua bagia, yaitu hidung bagian luar dan
hidung bagian dalam. Sedangkan Fisiologi hidung terdapat limja fungsi, yaitu fungsi respirasi,
fungsi penghidu, fungsi fonetik, fungsi staris dan mekanik, serta fungsi sebagai reflex nasal.
Pertama-tama akan dibahas mengenai anatomi hidung.
Hidung bagian luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas kebawah
adalah sebagai berikut :
2
Gambar 2. Anatomi hidung bagian luar tampak bawah
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit.
Kerangka tulang terdiri dari:
3
II.1.2 Hidung bagian dalam1
Rongga hidung atau cavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang
dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya. Septum nasi dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian dari tulang adalah:
Cavum nasi terdiri dari vestibulum, meatus nasi, mukosa nasi, dan konka nasalis. Konka
nasalis terbagi menjadi 4 bagian yaitu bagian superior, media, inferior dan suprema.
Konka suprema ini biasanya rudimeter.
4
II.2 Vaskularisasi hidung1
Bagian rongga hidung mendapat pendarahan dari arteri etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmik dari arteri karotis interna. Bagian
bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang arteri maksilaris interna,
diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor an arteri sfenopalatina dan memasuki ringga
hidung dibelakang konka media. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang-
cabang arteri fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-
cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri
palatina mayor yang disebut pleksus Kisselbach ( little’s area). Pleksus kisselbach
letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma sehingga sering menjadi sumber
epistaksis.
5
BAB III
RHINITIS ALERGI
III.1 Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan allergen yang sama serta
dilepaskkannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen
spesifik tersebut (Von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA ( Allergic Rhinitis and its
Impacy on Asthma) tahun 2001, Rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala
bersin-bersin, rhinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar allergen
yang diperantarai oleh IgE.2
III.2 Epidemiologi
Meskipun dapat timbul pada semua usia, tetapi 2/3 penderita umumnya mulai
menderita pada saat berusia 30 tahun. Dapat terjadi pada wanita dan pria dengan
kemungkinan yang sama. Penyakit ini herediter dengan predisposisi genetic kuat. Bila
salah satu dari orang tua menderita alergi, akan memberi kemungkinan sebesar 30%
terhadap keturunannya dan bila kedua orang tua menderita akan diperkirakan mengenai
sekitar 50% keturunannya. 7
6
III.3 Faktor Resiko
III.4 Etiologi
Rinitis alergi adalah disebabkan oleh reaksi peradangan mukosa hidung, yang
diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE), setelah terjadi paparan allergen (reaksi
hipersensitivitas tipe I Gell dan Comb). 9
Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan
pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan
gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi pada setiap orang dapat berbeda alergen.
Alergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau
jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua
spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides
pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat. Berbagai
pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik
diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan
perubahan cuaca (Becker, 1994). 10
7
• Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin atau sengatan lebah.
• Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan (Kaplan, 2003).
III.5 Patofisiologi
Pada dasarnya, rhinitis alergi merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh
reaksi hipersensitivitas tipe I. Reaksi hipersensitivitas tipe 1 merupakan reaksi yang
bersifat cepat dan merupakan hasil dari sensitisasi sel-sel mast yang ada pada jaringan
oleh IgE.
Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflammasi yang terbagi menjadi 2 fase,
yakni IPAR ( Immediate Phase Allergic Reaction ) yang berlangsung dalam kurun waktu
sampai 1 jam setelah terpapar oleh allergen, dan LPAR ( Late Phase Allergic Reaction )
dimana manifestasinya muncul 2-4 jam setelah terpapar dengan puncak manifestasinya
pada jam ke 6-8 dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit
yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap
alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan
membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II
membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang
kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas
8
sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi
menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5,
dan IL-13.
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE
di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel
mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini
disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang
sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat
alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil
dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators)
terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain
prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin,
Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF
(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut
sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
9
eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein
(ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan
Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh
faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang,
perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi (Irawati, Kasakayan, Rusmono,
2008).
10
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non
spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan,
reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah
sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil
dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada
defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat
bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi
anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi
kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi
klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis
alergi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
11
III.6 Klasifikasi
12
III.7 Manifestasi Klinis
o Bersin berulangkali
o Hidung berair (rhinorrhea)
o Tenggorokan, hidung, kerongkongan gatal
o Mata merah, gatal, berair
o Post-nasal drip
13
Tabel 2. Pebedaan Gejala Rhinitis Alergi Intermiten dan Persisten
a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai
normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya
selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah
dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno
Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan
diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam
jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap)
mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan
adanya infeksi bakteri.1
14
b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan
atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET
dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai
konsentrasi yang bertingkat kepekatannya.1 Keuntungan SET, selain alergen penyebab
12
juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui. Untuk alergi
makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya
ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”). Alergen ingestan
secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test,
makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari,
selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan
dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu
jenis makanan.1
III.9 Diagnosa
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa.
Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang
khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar hingus (rinore)
yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang
disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Seringkali gejala yang timbul tidak
lengkap. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-
satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.1 Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul,
menetap) beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karena faktor
genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap
pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan
berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali
15
setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus encer lebih dari satu jam, hidung
tersumbat, dan mata merah serta berair maka dinyatakan positif (Rusmono, Kasakayan,
1990).
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, bewarna pucat,m
atau livid disertai adanya secret encer yang banyak. Gejala spesifik lain, terutama pada
anak ialah garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu bayangan gelap di daerah
bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Selain itu, dapat
ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang pada dorsum nasi bagian
sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok oleh
punggung tangan (allergic salute).
1. Rhinitis vasomotor
Adalah gangguan pada mukosa hidung yang ditandai dengan adanya edema yang
persisten dan hipersekresi kelenjar pada mukosa hidung apabila terpapar oleh iritan
spesifik.14 Kelainan ini merupakan keadaan yang non-infektif dan non-alergi. Rinitis
vasomotor mempunyai gejala yang mirip dengan rinitis alergi sehingga sulit untuk
dibedakan. 1
Etiologi yang pasti belum diketahui, tetapi diduga sebagai akibat gangguan
keseimbangan fungsi vasomotor dimana sistem saraf parasimpatis relatif lebih
dominan. Keseimbangan vasomotor ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang
berlangsung temporer, seperti emosi, posisi tubuh, kelembaban udara, perubahan
suhu luar, latihan jasmani dan sebagainya, yang pada keadaan normal faktor-faktor
tadi tidak dirasakan sebagai gangguan oleh individu tersebut. 1
Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis yang cermat, pemeriksaan THT serta
beberapa pemeriksaan yang dapat menyingkirkan kemungkinan jenis rinitis lainnya.
16
Penatalaksanaan rinitis vasomotor bergantung pada berat ringannya gejala dan dapat
dibagi atas tindakan konservatif dan operatif.
2. Rhinitis virus
Rhinitis yang disebabkan oleh virus. Virus yang paling sering menyebabkan rhinitis
virus adalah rhinovirus. Virus-virus lainnya adalah myxovirus, virus coxsackie, dan
virus ECHO. Penyakit ini sangat menular dan gejala dapat timbul sebagai akibat tidak
adanya kekebalan atau menurunnya daya tahan tubuh, Pada stadium prodromal yang
berlangsung beberapa jam, didapatkan rasa panas, kering dan gatal di dalam hidung.
Kemudian akan timbul bersin berulang, hidung tersumbat, dan ingus encer yang
biasanya disertai demam dan nyeri kepala.Mukosa hidung tampak merah dan
membengkak. Tidak ada terapi spesifik selain istirahat dan pemberian obat-obat
simptomatis, seperti analgetika, antipiretika, dan obat dekongestan. Antibiotika
diberikan hanya jika ada infeksi sekunder oleh bakteri
3. Rhinitis bacterial
Rhinitis yang terjadi akibat adanya infeksi dari bakteri. Rhinitis bacterial dapat terjadi
sebagai infeksi primer ataupun infeksi sekunder pada rhinitis virus. Beberapa bakteri
yang dapat menyebabkan rhinitis bacterial adalah Corynebacterium diphteriae yang
menyebabkan rhinitis dipteri, Treponema palidum yang menyebabkan rhinitis sifilis,
infeksi ekstra pulmonal oleh mycobacterium tuberculosa yang menyebabkan rhinitis
tuberkulosa.
17
III.11 Penatalaksanaan
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan
eliminasi.
2. Simptomatis
18
19
20
III.12 Komplikasi
1. Polip hidung
2. Otitis Media Akut
3. Sinusitis Paranasal
1. Asma
2. Obstruksi tuba Eustachius dan efusi telinga bagian tengah
3. Hipertrofi tonsil dan adenoid
4. Gangguan kognitif
III.12 Prognosis
Secara Umum baik. Penyakit rhinitis alergi ini secara menyeluruh berkurang
seiring bertambahnya usia, tetapi kemungkinan menderita asma bronkial meningkat (
Becker, 1994 ). Remisi spontan dapat terjadi sebanyak 15-25% selama jangka waktu 5-7
tahun, remisi untuk rinitis alergi musiman lebih besar frekusensinya dibandingkan dengan
rhinitis alergi perenial ( Rusmono, 1993 ).
III.13 Pencegahannya
21
BAB IV RINGKASAN
Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflammasi yang dicetuskan oleh reaksi
hipersensitivitas sistem pertahanan tubuh terhadap alergen-alergen tertentu. Penyakit ini dapat
timbul secara musiman atau sepanjang tahun. Penyakit ini dapat dikaitkan dengan suatu kelainan
atopik.
Tanda dan gejala yang khas dari rhinitis alergi adalah rinorrhea, bersin-bersin, obstruksi
jalan nafas pada cavum nasi, lakrimasi, dan rasa gatal pada hidung dan konjungtiva. Selain itu
pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan mukosa nasal berwarna pucat dan nampak basah,
konjungtiva bisa didapatkan kongesti dan edem, pada faring tidak ditemukan suatu tanda yang
spesifik. Pembengkakan mukosa cavum nasi dapat menyebabkan terjadinya infeksi sekunder
memlalui oklusi ostium sinus maupun tuba eustachius.
Diagnosis rhinitis alergi terutama berdasarkan pada anamnesa yang lengkap dan
pemeriksaan fisik yang menunjang. Penggunaan pemeriksaan penunjang dapat membantu dalam
penegakan diagnosa, seperti foto x-ray, skin prick test, cell diff count, dan sebagainya.
Penatalaksanaan untuk kasus rhinitis alergi berupa pencegahan kontak dengan alergen.
Untuk simptomatis dapat diberikan obat-obatan anti histamin, simpatomimetik, kortikosteroid,
anti kolinergik. Bila terapi dengan medikamentosa tidak memuaskan dan penyakit pasien
menyebabkan disfungsi pada pasien, dapat dilakukan tindakan operatif seperti konkotomi. Selain
itu dapat dilakukan imunoterapi yang merupakan usaha desensitisasi terhadap alergen pencetus
rhinitis alergi pada pasien.
22
DAFTAR PUSTAKA
2. Sarumpaet R.D. Kumpulan Karya Ilmiah. Bagian Ilmu kesehatan THT FK Undip/SMF
kesehatan THT RSUP Dr. Kariadi Semarang, 2001 ; 49 -54
3. Ballenger J.J. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Ed 14 Jilid I.
Binarupa Aksara, Jakarta, 1994 : 176 – 8
4. Ballenger J.J. Diseases of The Nose, Throat, and Ear. 11thed. Philadelphia : Lea &
Febrigger, 1987 : 93 – 6
5. Boyes LR, Higgler JA, Priest RE. Fundamental of Otolaryngology A Textbook of Ear, Nose,
and Throat Diseases. 4thed. London : WB Saunders Company, 1984 : 303 – 9
6. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Rhinitis Alergi. Buku Ajar Ilmu
kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala leher Edisi keenam FKUI. Balai Penerbit FK
UI, 2007 : 128 – 34
7. Adams GL, Boyes LR, Higgler PH. Buku Ajar Penyakit THT ed.6 EGC, Jakarta, 1997 :
196-7
23