Anda di halaman 1dari 5

NETRALITAS APARATUR SIPIL NEGARA DALAM PEMILIHAN UMUM

Di susun oleh:
KELOMPOK II

ANGGOTA:
AHMAD RIDUAN, S.Pd
INDAH DWI RIZKI, S.Si.T
KHAIRUNNISA, S.Pd
LENDANG, S.Pd
YUWARNI, S.Pd

PELATIHAN DASAR CPNS GOLONGAN III ANGKATAN II KELAS F


TAHUN 2019

BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA


PROVINSI KALIMANTAN TENGAH
TAHUN 2019
A. Deskripsi Singkat
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 atau yang lebih dikenal dengan sebutan
UU ASN ialah Undang-undang yang mengatur segala hal mengenai Aparatur Sipil
Negara (ASN).UU ini merupakan suatu kerangka regulasi untuk mendorong
terciptanya Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian
Kerja (PPPK) yang memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi
politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu menjalankan
unsur sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa.
Pasal 2 UU ASN menyatakan bahwa penyelenggaraan dan kebijak
Manajemen ASN berdasarkan pada salah satu asas, yaitu NETRALITAS. Netralitas
birokrasi adalah suatu sistem dimana birokrasi tidak berubah dalam melakukan dan
menjaga pelayanannya kepada publik/masyarakat, walaupun pimpinannya berganti
dengan pimpinan lain.
ASN tidak boleh berpolitik praktis. Sebagai abdi negara dan abdi masyarakat,
ASN harus netral serta tidak melakukan aksi dukung-mendukung terhadap kontestan
Pilkada. Setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala pengaruh manapun dan tidak
memihak kepada kepentingan siapapun.
Adapun undang-undang ataupun peraturan pemerintah yang mengatur masalah
netralitas ASN, yaitu sebagai berikut: Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang
ASN, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps
dan Kode Etik PNS, Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin
PNS, beberapa surat edaran sebagai penegasan dari Komisi ASN , Menteri PANRB,
MenDAGRI BKN, dan Bawaslu RI. Setiap ASN dilarang memberi dukungan atau
melakukan kegiatan yang mengarah pada politik praktis pada kontestasi
Pilkada/Pileg/Pilpres. ASN dituntut untuk tetap profesional dan tidak berpihak dari
segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun.
Sikap netral dari pengaruh politik menjadi hal yang wajib dimiliki dalam diri
seorang ASN. Sebagai aparatur pemerintah yang paling dekat dengan masyarakat,
ASN memberikan pelayanan publik secara langsung dan berinteraksi dengan
masyarakat. Netralitas dalam politik harus dimiliki oleh ASN agar tidak terlibat
menjadi anggota partai politik dan terhindar dari kepentingan-kepentingan politik
yang mengarahkan ASN untuk dapat memobilisasi massa/masyarakat untuk
memenuhi kepentingan politik tersebut. Oleh karena itu, maka dibutuhkanlah sosok
ASN yang netral terhadap segala bentuk kegiatan politik, tidak terintervensi, tidak
memihak pada kubu politik manapun, serta bebas dari segala jenis tuntutan politik.

B. Permasalahan yang Timbul


Permasalahan atau dampak yang timbul apabila seorang ASN terlibat dalam
politik praktis, Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 41/PUU-XIII/2014 tanggal 6 Juli
2015, PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi gubernur/wakil,
bupati/wakil, wali kota/wakil, wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis
sebagai PNS sejak ditetapkan sebagai calon peserta pemilihan.
Mengutip Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016, menegaskan
pasangan calon dilarang melibatkan ASN anggota Polri dan anggota TNI, Kepala
Desa atau perangkat Desa lainnya
Sesuai Pasal 71 Ayat (2) UU Nomor 10 Tahun 2016, gubernur/wakil,
bupati/wakil, wali kota/wakil, dilarang melakukan pergantian pejabat 6 bulan sebelum
tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali
mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.
Gubernur/wakil, bupati/wakil, wali kota/wakil dilarang menggunakan
kewenangan program dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu
pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain 6 bulan sebelum tanggal
penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih.
Ketentuan tersebut berlaku juga untuk penjabat gubernur atau penjabat bupati
atau wali kota. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan
Jiwa Korps dan Kode Etik PNS. "PNS dilarang melakukan perbuatan yang mengarah
pada keberpihakan salah satu calon atau perbuatan yang mengindikasikan terlibat
dalam politik praktis/berafiliasi dengan partai politik," PP Nomor 42 Tahun 2004
tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS termuat larangan yang dimaksud:
1. PNS dilarang melakukan pendekatan terhadap partai politik terkait rencana
pengusulan dirinya atau orang lain sebagai bakal calon Kepala Daerah/Wakil
Kepala Daerah.
2. PNS dilarang memasang spanduk/baliho yang mempromosikan dirinya atau
orang lain sebagai bakal calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah.
3. PNS dilarang mendeklarasikan dirinya sebagai bakal calon Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah.
4. PNS dilarang menghadiri deklarasi bakal calon Kepala Daerah/Wakil Kepala
Daerah dengan atau tanpa menggunakan atribut bakal pasangan calon/atribut
partai politik.
5. PNS dilarang mengunggah, menanggapi atau menyebarluaskan gambar/foto
bakal calon/bakal pasangan calon Kepala Daerah melalui media online maupun
media social.
6. PNS dilarang melakukan foto bersama dengan bakal calon Kepala Daerah/Wakil
Kepala Daerah dengan mengikuti simbol tangan/gerakan yang digunakan
sebagai bentuk keberpihakan.
7. PNS dilarang menjadi pembicara/narasumber pada kegiatan pertemuan partai
politik.

PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil yang


mengatur soal sanksi. Mulai penundaan kenaikan gaji atau pangkat, penurunan
pangkat, hingga pemberhentian dengan tidak hormat.

C. Penyebab Permasalahan
1. Adanya kepentingan untuk mendapatkan, mencapai, jabatan tertentu atau
sekedar untuk mempertahankan jabatan startegis.
2. Ketergantungan ASN itu sendiri terhadap kekuasaan kandidat usai pilkada. Untuk
mengamankan masa depan kariernya, ASN harus mengambil sikap yang jelas
agar selamat dari “hukuman” sang pemenang yang menjadi Pejabat Pembina
Kepegawaian (PPK)
3. Kurangnya sosialisasi politik praktis di ASN
4. Adanya ASN yang merangkap jabatan sehingga sangat strategis untuk
memobilisasi massa. Misalnya camat atau lurah merangkap jadi guru sehingga
mobilisasi massa semakin luas.

D. Solusi Pemecahan Masalah


1. Pimpinan kementerian/lembaga dan pemerintah daerah agar melakukan
pengawasan terhadap Aparatur Sipil Negara yang berada di lingkungan instansi
masing-masing.
2. Regulasi yang semakin diperketat untuk mengontrol ASN yang mengikuti politik
praktis
3. Membudayakan sikap integritas ASN melalui kegiatan rutinitas di lingkungan
kerja
4. Melakukan koordinasi dengan Bawaslu atau pihak yang terkait dalam upaya
menambah wawasan ASN tentang politik praktis, terutama menjelang
pelaksanaan pemilu.

E. Kesimpulan

ASN tidak boleh terlibat dalam politik praktis tetapi pada kenyataannya
ketidak netralitas ASN masih banyak terjadi sehingga perlunya sikap tegas
pemerintah dalam menyikapi permasalahan ini. Namun jika pelanggaran tetap
terjadi maka kita hanya berharap kedepannya politik di Indonesia dapat segera
bersih dari praktek-praktek yang melanggar hukum.

Anda mungkin juga menyukai