Anda di halaman 1dari 21

BAB I

STATUS PENDERITA
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny.DT
Umur : 44 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Kristens
Alamat : Seram
Tanggal masuk : 28 januari 2018
ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Perdarahan
B. Keluhan tambahan
Pucat ,tidak nafsu makan
C. Riwayat Penyakit Sekarang
7 bulan sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh badan pegal-pegal,tidak bisa
beraktifitas,hanya berbaring di tempat tidur,pusing,pasien juga mengeluh nafsu makan
menurun,mual muntah tidak ada,pasien juga mengeluh perdarahan pervaginam
banyak,darah keluar berwarna merah sedikit gelap,disertai gumpalan darah,nyeri
perut,Buang air besar normal,buang air kecil normal.
Saat masuk instalasi gawat darurat rumah sakit GPM pasien membawa rujukan dari
dokter spesialis penyakit dalam dengan HB 5,9 mg/dl,keluhan saat ini pasien merasa
lemas,pusing,dan badan tidak bertenaga,sesak napas tidak ada,batuk dan pilek juga
tidak ada,mual dan muntah tidak ada ,pasien mengeluh perdarahan pervaginam.nyeri
perut, belum buang air besar sejak 7 hari lalu,buang air kecil normal,
D. Riwayat Penyakit Dahulu
• Sakit seperti ini disangkal,Riwayat TB paru disangkal
E. Riwayat Penyakit Keluarga
• Sakit seperti ini di keluarga disangkal
F. Riwayat Pengobatan
Sudah berobat ke dokter penyakit dalam dan di rujuk ke Rumah sakit
G. Riwayat Psikososial
Pasien tidak merokok,Lingkungan bersih

1
- III. PEMERIKSAAN FISIK

1. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang, komposmetis


2. Vital sign
Nadi : 124 x/m Tekanan Darah : 100/70
Suhu : 36, 0C Frekuensi pernapasan : 22 x/m
3. Kepala : bentuk normocephal
distribusi merata, tidak mudah rontok dan sukar dicabut.
4. Mata : conjunctiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-),bulu mata hitam lurus tidak rontok.
5. Hidung : bentuk normal, sekret (-), darah (-),deformitas(-).
6. Telinga : bentuk normal, sekret (-).
7. Leher : bentuk normal, trachea ditengah, kelenjar thyroid tidak membesar.
8. Thorax : Bentuk normochest, retraksi (-), gerakan simetris ka=ki
Cor : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba
Perkusi : Batas jantung kesan tidak membesar
Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
Pulmo: Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : Fremitus sama kanan-kiri
Perkusi : Sonor / Sonor di semua lapang paru

Auskultasi : Rhonki+/+,Wheezing -/-


9. Abdomen : Inspeksi : dinding dada setinggi dinding perut
Auskultasi : Bising usus (+) Normal
Perkusi : tympani
Palpasi : nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba,
10. Ekstremitas:
akral dingin + + sianosis oedem
- - - -
+ + - - - -
CRT >2”
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium Darah
GDS:146 mg/dl
Ureum : 86,16 mg/dl

2
Kreatinin :2,05 mg/dl
Asam urat : 6,6
Cholesterol : 159 mg/dl
Trigliserida : 71 mg/dl
Darah lengkap
Pemeriksaan Hasil

Hemoglobin 5,9 mg/dl

Hematocrit 15,6 m%

Leukosit 21,5 ribu/ul

Eritrosit 2.62 juta/ul

Trombosit 654 juta/ul

PDW 13.5 %

RDW-SD 51.2 fl

RDW-CV 14.1 %

MPV 8.3 fl

P-LCR 18,3 %

PCT 0.473%

Index
MCV 72.0 fl
MCH 34.8 pg
MCHC 33.2 %
Defferensial
Limfosit 10.3 %
MXD 6.5 %
Neutrophil 83,2 %
Jumlah total
Limfosit 2.1 ribu/ul
MXD 1.3 ribu /ul
Neutrophil 16.8 ribu/ul

3
VI. DIAGNOSA KERJA
 Anemia berat e.c susp mioma uteri

DD/
Suspect Tumor abdomen

VII. PENATALAKSANAAN
Terapi
 Diet Lunak TKTP

 IVFD RL + drip neurosanbe 16 tpm makro

 Ceftriaxone 2 x 1 ampul iv

 Vip albumin 1x1 tablet

 Transfuse wb 1 bag selanjutnya PRC 2 bag

 Damvit 1x1 tablet

VIII. FOLLOW UP
29 januari 2018
S : lemas,tidak bertenaga,panas ,perdarahan pervaginam.
O : suhu : 38,5, nadi : 80x/menit, RR : 20 x TD : 110/80
Konjungtiva anemis (+/+) ekstremitas :Akral hangat pucat, dextra sinistra
Nyeri perut .
A : Anemia berat e c. Susp mioma uteri
DD/ suspect tumor abdomen

P : USG abdomen
Konsul dr.SP.OG
Obat lanjutkan
Transfuse WB 1 bag
30 januari 2018
• S : lemas,badan pegal-pegal,perdarahan pervaginam sudah berkurang
4
• O : suhu : 36,1, nadi :80x/menit, RR : 22 x TD : 120/70
Pemeriksaan fisik :konjungtiva anemis (+ / +)
A : Anemia berat e.c susp mioma uteri
DD/suspect Tumor abdomen

P : lanjutkan terapi
Transfuse PRC 1 bag
USG abdomen
31 januari 2018
• S : lemas .
• O : suhu : 36,0, nadi :80, RR : 22 x TD : 120/70
Pemeriksaan fisik : konjungtiva anemis (+/+)
Hasil USG :terdapat gambaran massa intra uterin endometrium-myometrium

A :anemia e.c mioma uteri

• P : lanjutkan terapi
Transfuse PRC ke 2
Cek Hb
1 februari 2018
• S : lemas,nyeri perut seluruhnya,
• O: suhu : 37,2, nadi :80, RR : 22 x TD : 130/80
Konjungtiva anemis (+/+),akral dingin CRT >2 “
A : Anemia berat e.c mioma uteri
P : lanjutkan terapi
Cek hb

2 februari 2018
S: sesak napas,tidak batuk ,lemas,pusing,
O: conjungtiva anemis (+/+) ,akral hangat, rhonki kasar (+/+)
Hb,8,3 mg/dl TD : 140/80 N: 80 x/menit S: 36 P.32x/Menit
A : AHF FC IV
Anemia e.c mioma utri

5
P: Bisoprolol 1x 5 mg
Spironolakton 1x 25 mg
Konsul dr.bedah
*NB : total pemaikan cairan infus Rl 11 kolf dan Nacl 3 kolf

3 februari 2018
S : lemas kaki sakit dan bengkak,sesak napas berkurang
O :conjungtiva anemis (+/+) ,akral hangat, Rhonki kasar (+/+)
TD : 120/80 N: 80 x/menit S: 36 P.22x/Menit
Jawadan dokter bedah : RT massa (-) ampula rekti feses (+)
ST : feses (+)
Obstruksi usus mekanik parsial ec susp tumor colon sinistra
A : AHF FC IV
Anemia e.c mioma utri
Ileus Obstruksi
P.: obat lanjutkan
stop sefotaxime dan ketorolac
dr.bedah : rujuk RSU untuk kolonoskopi
4 februari 2018
S : bengkak berkurang ,sesak berkurang ,nyeri pada kaki (-)
O: TD 120/80 N: 80x/menit P: 22x/menit S: 36 thoraks Rhonki (-/-)
A: AHF FC IV
Anemia ec susp mioma uteri
Ileus obstruksi
P: pasien boleh pulang *NB : total pemakaian cairan Rl
15 kolf Nacl 3 kolf
o Vip albumin 3x 1 tab

o Muvit 1x1 tab

o Bisoprolol 1x 5 mg

o Spironolakton 1x 25 mg

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Gagal jantung kongestif (congestive heart failure) adalah sindrom klinis akibat
penyakit jantung, ditandai dengan kesulitan bernapas serta retensi natrium dan air yang
abnormal, yang sering menyebabkan edema. Kongesti ini dapat terjadi dalam paru atau
sirkulasi perifer atau keduanya, bergantung pada apakah gagal jantungnya pada sisi
kanan atau menyeluruh.1

Gagal jantung kongestif merupakan keadaan patofisiologis berupa kelainan


fungsi jantung, sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme jaringan atau kemampuannya hanya ada jika disertai dengan
peninggian volume diastolik secara abnormal. Gagal jantung kongestif biasanya disertai
dengan kergagalan pada jantung kiri dan jantung kanan.2

B. Epidemiologi
Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan
merupakan penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien jantung.Di Eropa
kejadian gagal jantung berkisar 0,4% - 2% dan meningkat pada usia yang lebih lanjut,
dengan rata-rata umur 74 tahun. Prevalensi gagal jantung di Amerika Serikat mencapai
4,8 juta orang dengan 500 ribu kasus baru per tahunnya. Di Indonesia belum ada angka
pasti tentang prevalensi penyakit gagal jantung, di RS Jantung Harapan Kita, setiap hari
ada sekitar 400-500 pasien berobat jalan dan sekitar 65% adalah pasien gagal jantung.
Meskipun terapi gagal jantung mengalami perkembangan yang pesat, angka kematian
dalam 5-10 tahun tetap tinggi, sekitar 30-40% dari pasien penyakit gagal jantung lanjut
dan 5-10% dari pasien dengan gejala gagal jantung yang ringan.3

Prevalensi gagal jantung di negara berkembang cukup tinggi dan makin


meningkat. Oleh karena itu gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang utama.
Setengah dari pasien yang terdiagnosis gagal jantung masih punya harapan hidup 5
tahun. Penelitian Framingham menunjukkan mortalitas 5 tahun sebesar 62% pada pria
dan 42% wanita.3

7
C. Etiologi
Gagal jantung adalah komplikasi tersering dan segala jenis penyakit jantung
kongenital maupun didapat. Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung
meliputi keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal, meningkatkan beban akhir,
atau menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaan-keadaan yang meningkatkan
beban awal (preload) meliputi regurgitasi aorta, dan cacat septum ventrikel; beban akhir
(afterload) meningkat pada keadaan-keadaan seperti stenosis aorta dan hipertensi
sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark miokardium dan
kardiomiopati. 3

Selain ketiga mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung, terdapat


faktor-faktor fisiologis lain yang dapat menyebabkan jantung gagal bekerja sebagai
pompa. Faktor-faktor yang mengganggu pengisian ventrikel (misal, stenosis katup
atrioventrikularis) dapat menyebabkan gagal jantung. Keadaan-keadaan seperti
perikarditis konstriktif dan tamponade jantung mengakibatkan gagal jantung melalui
kombinasi beberapa efek seperti gangguan pada pengisian ventrikel dan ejeksi ventrikel.
Dengan demikian jelas sekali bahwa tidak ada satupun mekanisme fisiologik atau
kombinasi berbagai mekanisme yang bertanggungjawab atas terjadinya gagal jantung;
efektivitas jantung sebagai pompa dapat dipengaruhi oleh berbagai gangguan
patofisiologis. Penelitian terbaru menekankan pada peranan TNF dalam perkembangan
gagal jantung. Jantung normal tidak menghasilkan TNF, namun jantung mengalami
kegagalan menghasilkan TNF dalam jumlah banyak. 3

Demikian juga, tidak satupun penjelasan biokimiawi yang diketahui berperan


dalam mekanisme dasar terjadinya gagal jantung. Kelainan yang mengakibatkan
gangguan kontraktilitas miokardium juga tidak diketahui. Diperkirakan penyebabnya
adalah kelainan hantaran kalsium dalam sarkomer, atau dalam sintesis atau fungsi protein
kontraktil. 4

Faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya gagal jantung melalui penekanan


sirkulasi yang mendadak dapat berupa disritmia, infeksi sistemik dan infeksi paru-paru,

8
serta emboli paru. Disritmia akan mengganggu fungsi mekanis jantung dengan
mengubah rangsangan listrik yang memulai respons mekanis, respons mekanis yang
sinkron dan efektif tidak akan dihasilkan tanpa adanya ritme jantung yang stabil.
Respons tubuh terhadap infeksi akan memaksa jantung untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme tubuh yang meningkat. Emboli paru secara mendadak akan meningkatkan
resistensi terhadap ejeksi ventrikel kanan, memicu terjadinya gagal jantung kanan.
Penanganan gagal jantung yang efektif membutuhkan pengenalan dan penanganan tidak
saja terhadap mekanisme fisiologis penyakit yang mendasari, tetapi juga terhadap faktor-
faktor yang memicu terjadinya gagal jantung.

D. Klasifikasi
Gagal jantung dapat diklasifikasikan menurut beberapa faktor. The New York
Heart Association (NYHA) membagi gagal jantung menjadi 4 kelas, berdasarkan
hubungannya dengan gejala dan jumlah atau usaha yang dibutuhkan untuk menimbulkan
gejala, sebagai berikut:

1. Kelas I : Penderita dengan gagal jantung tanpa adanya pembatasan aktivitas fisik,
dimana aktivitas biasa tidak menimbulkan rasa lelah dan sesak napas.
2. Kelas II: Penderita dengan gagal jantung yang memperlihatkan adanya pembatasan
aktivitas fisik yang ringan, merasa lega jika beristirahat.
3. Kelas III: Penderita dengan gagal jantung yang memperlihatkan adanya pembatasan
aktivitas fisik yang ringan, kegiatan fisik yang lebih ringan dari kegiatan biasa sudah
memberi gejala lelah, sesak napas.
4. Kelas IV: Penderita dengan gagal jantung yang tidak sanggup melakukan kegiatan
apapun tanpa keluhan, gejala sesak napas tetap ada walaupun saat beristirahat. 5
American College of Cardiology/American Heart Association (ACC/AHA)
heart failure guidelines melengkapi klasifikasi NYHA untuk menggambarkan
perkembangan penyakit dan dibagi menjadi 4 stage, yaitu:

1. Stage A pasien beresiko tinggi untuk gagal jantung tetapi tidak memiliki penyakit
jantung struktural atau gejala-gejala dari gagal jantung
2. Stage B pasien memiliki penyakit jantung struktural tetapi tidak memiliki gejala-
gejala dari gagal jantung

9
3. Stage C pasien memiliki penyakit jantung structural dan memiliki gejala-gejala dari
gagal jantung
4. Stage D pasien memiliki gagal jantung berat yang menuntut intervensi khusus. 6

E. Patofisiologi
Gagal jantung merupakan kelainan multisitem dimana terjadi gangguan pada
jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta perubahan
neurohormonal yang kompleks. Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel
kiri yang menyebabkan terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan
aktivasi mekanisme kompensasi neurohormonal, sistem Renin–Angiotensin–Aldosteron
(sistem RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretik peptide yang bertujuan untuk
memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga.7

Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac


output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta
vasokonstriksi perifer (peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul berkelanjutan
dapat menyebabkan gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan
dapat menyebabkan terjadinya apoptosis miosit, hipertofi dan nekrosis miokard fokal.7

Stimulasi sistem RAA menyebabkan peningkatan konsentrasi renin, angiotensin


II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor renal yang poten
(arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin dari
pusat saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron.
Aldosteron akanmenyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan sekresi kalium.
Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta berperan pada disfungsi endotel pada
gagal jantung.6,7

Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama yeng
memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial
Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap peregangan
menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada manusia Brain Natriuretic Peptide (BNO)
juga dihasilkan di jantung, khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-
type natriureticpeptide terbatas pada endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat,
efek terhadap natriuresis dan vasodilatasi minimal. Atrial dan brain natriuretic peptide
meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan dan bekerja

10
antagonis terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi ladosteron dan reabsorbsi
natrium di tubulus renal. Karena peningkatan natriuretic peptide pada gagal jantung,
maka banyak penelitian yang menunjukkan perannya sebagai marker diagnostik dan
prognosis, bahkan telah digunakan sebagai terapi pada penderita gagal jantung.2,6

Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya pada


gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga didpatkan pada pemberian
diuretik yang akan menyebabkan hiponatremia.2 Endotelin disekresikan oleh sel endotel
pembuluh darah dan merupakan peptide vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek
vasokonstriksi pada pembuluh darah ginjal, yang bertanggung jawab atas retensi natrium.
Konsentrasi endotelin-1 plasma akan semakin meningkat sesuai dengan derajat gagal
jantung. Selain itu juga berhubungan dengan tekanan pulmonary arterycapillary wedge
pressure, perlu perawatan dan kematian. Telah dikembangkan endotelin-1 antagonis
sebagai obat kardioprotektor yang bekerja menghambat terjadinya remodelling vaskular
dan miokardial akibat endotelin.2,6

Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi miokard, dengan


kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel kiri menyebabkan
gangguan pada pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering adalah penyakit
jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofik,
selain penyebab lain seperti infiltrasi pada penyakit jantung amiloid. Walaupun masih
kontroversial, dikatakan 30 – 40 % penderita gagal jantung memiliki kontraksi ventrikel
yang masih normal. Pada penderita gagal jantung sering ditemukan disfungsi sistolik dan
diastolik yang timbul bersamaan meski dapat timbul sendiri.

11
Gambar 1. Patofisiologi dan Simptomatologi CHF.

F. Penegakan Diagnosis
Diagnosis gagal jantung ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala dan
penilaian klinis, didukung oleh pemeriksaan penunjang seperti EKG, foto toraks,
biomarker, dan ekokardiografi Doppler.

1. Pasien segera diklasifikasikan apakah disfungsi sistolik atau disfungsi diastolik dan
karakteristik forward orbackward, left or right heart failure. Kriteria diagnosis gagal
jantung menurut Framingham Heart Study :

a. Kriteria mayor :
1) Paroksismal nokturnal dispneu
2) Ronki paru

12
3) Edema akut paru
4) Kardiomegali
5) Gallop S3
6) Distensi vena leher
7) Refluks hepatojugular
8) Peningkatan tekanan vena jugularis
b. Kriteria minor :
1) Edema ekstremitas
2) Batuk malam hari
3) Hepatomegali
4) Dispnea d’effort
5) Efusi pleura
6) Takikardi (120x/menit)
7) Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal
Kriteria mayor dan minor : Penurunan berat badan ≥ 4,5 kg dalam 5 hari
pengobatan. Diagnosis gagal jantung ditegakkan dengan dua kriteria mayor atau satu
kriteria mayor dan 2 kriteria minor.
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium Darah
- Pemeriksaan darah lengkap
- Kimia klinik (SGPT, SGOT, ureum, kreatinin, natrium, kalium, klorida,
kolesterol total, LDL, HDL)

b. Elektrokardiogram
Dalam kasus kardiogenik, elektrokardiogram (EKG) dapat menunjukkan bukti
MI ( Miocardium Infark ) atau iskemia, namun alam kasus noncardiogenic,
EKG biasanya normal.

c. Radiologi
1) Foto thoraks
Fungsi utama pemeriksaan foto thoraks adalah mengetahui ukuran dan
bentuk siluet jantung, serta edema di dasar paru-paru. 9 Pada gagal jantung
hampir selalu ada dilatasi dari satu atau lebih pada ruang-ruang di jantung,
menghasilkan pembesaran pada jantung. Pemeriksaan radiologi
13
memberikan informasi berguna mengenai ukuran jantung dan bentuknya,
distensi vena pulmonalis, dilatasi aorta, dan kadang-kadang efusi pleura,
begitu pula keadaan vaskuler pulmoner dan dapat mengidentifikasi
penyebab nonkardiak pada gejala pasien.

2) Computed Tomography
CT scan jantung biasanya tidak diperlukan dalam diagnosis rutin dan
manajemen gagal jantung kongestif. 9 Multichannel CT scan berguna dalam
menggambarkan kelainan bawaan dan katup, namun, ekokardiografi dan
pencitraan resonansi magnetik (MRI) dapat memberikan informasi yang
sama tanpa mengekspos pasien untuk radiasi pengion.9

3) Echocardiografi
Ekokardiografi dua dimensi dianjurkan sebagai bagian awal dari evaluasi
pasien dengan gagal jantung kongestif yang diketahui atau diduga. Fungsi
ventrikel dapat dievaluasi, dan kelainan katup primer dan sekunder dapat
dinilai secara akurat. Ekokardiografi Doppler mungkin memainkan peran
berharga dalam menentukan fungsi diastolik dan dalam menegakkan
9
diagnosis HF diastolik. Dua dimensi dan Ekokardiografi Doppler dapat
digunakan untuk menentukan kinerja sistolik dan diastolik LV(ventrikel
kiri), cardiac output (fraksi ejeksi), dan tekanan arteri pulmonalis dan
pengisian ventrikel. Echocardiography juga dapat digunakan untuk
mengidentifikasi penyakit katup penting secara klinis.Tingkat kepercayaan
di echocardiography adalah tinggi, dan tingkat temuan positif palsu dan
negatif palsu yang rendah. 9

G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi penalaksanaan secara
non farmakologis dan secara farmakologis. Penatalaksanaan gagal jantung baik akut
maupun kronik ditujukan untuk mengurangi gejala dan memperbaiki prognosis,
meskipun penatalaksanaan secara individual tergantung dari etiologi serta beratnya
kondisi.

1. Non Farmakalogi :

14
a. Anjuran umum :
1) Edukasi : terangkan hubungan keluhan, gejala dengan pengobatan.
2) Aktivitas sosial dan pekerjaan diusahakan agar dapat dilakukan seperti
biasa. Sesuaikan kemampuan fisik dengan profesi yang masih bisa
dilakukan.
3) Gagal jantung berat harus menghindari penerbangan panjang.

b. Tindakan Umum :
1) Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g pada gagal jantung ringan dan 1
g pada gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter pada gagal jantung berat
dan 1,5 liter pada gagal jantung ringan.
2) Hentikan rokok
3) Hentikan alkohol pada kardiomiopati. Batasi 20-30 g/hari pada yang
lainnya.
4) Aktivitas fisik (latihan jasmani : jalan 3-5 kali/minggu selama 20-30 menit
atau sepeda statis 5 kali/minggu selama 20 menit dengan beban 70-80%
denyut jantung maksimal pada gagal jantung ringan dan sedang).
5) Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan eksaserbasi akut.

2. Farmakologi
Terapi farmakologik terdiri atas panghambat ACE, Antagonis Angiotensin II,
diuretik, Antagonis aldosteron, β-blocker, vasodilator lain, digoksin, obat inotropik
lain, anti-trombotik, dan anti-aritmia.14,15

a. Diuretik. Kebanyakan pasien dengan gagal jantung membutuhkan paling sedikit


diuretik reguler dosis rendah. Permulaan dapat digunakan loop diuretik atau
tiazid. Bila respon tidak cukup baik, dosis diuretik dapat dinaikkan, berikan
diuretik intravena, atau kombinasi loop diuretik dengan tiazid. Diuretik hemat
kalium, spironolakton, dengan dosis 25-50 mg/hari dapat mengurangi mortalitas
pada pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat (klas fungsional IV)
yang disebabkan gagal jantung sistolik.
b. Penghambat ACE bermanfaat untuk menekan aktivitas neurohormonal, dan
pada gagal jantung yang disebabkan disfungsi sistolik ventrikel kiri. Pemberian

15
dimulai dengan dosis rendah, dititrasi selama beberapa minggu sampai dosis
yang efektif.
c. Penyekat Beta bermanfaat sama seperti penghambat ACE. Pemberian dimulai
dosis kecil, kemudian dititrasi selama beberapa minggu dengan kontrol ketat
sindrom gagal jantung. Biasanya diberikan bila keadaan sudah stabil. Pada gagal
jantung klas fungsional II dan III. Penyekat Beta yang digunakan carvedilol,
bisoprolol atau metaprolol. Biasa digunakan bersama-sama dengan penghambat
ACE dan diuretik.
d. Angiotensin II antagonis reseptor dapat digunakan bila ada intoleransi terhadap
ACE ihibitor.
e. Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal jantung disfungsi
sistolik ventrikel kiri dan terutama yang dengan fibrilasi atrial, digunakan
bersama-sama diuretik, ACE inhibitor, beta blocker.
f. Antikoagulan dan antiplatelet. Aspirin diindikasikan untuk pencegahan emboli
serebral pada penderita dengan fibrilasi atrial dengan fungsi ventrikel yang
buruk. Antikoagulan perlu diberikan pada fibrilasi atrial kronis maupun dengan
riwayat emboli, trombosis dan Trancient Ischemic Attacks, trombus intrakardiak
dan aneurisma ventrikel.
g. Antiaritmia tidak direkomendasikan untuk pasien yang asimptomatik atau
aritmia ventrikel yang menetap. Antiaritmia klas I harus dihindari kecuali pada
aritmia yang mengancam nyawa. Antiaritmia klas III terutama amiodaron dapat
digunakan untuk terapi aritmia atrial dan tidak digunakan untuk terapi aritmia
atrial dan tidak dapat digunakan untuk mencegah kematian mendadak.
h. Antagonis kalsium dihindari. Jangan menggunakan kalsium antagonis untuk
mengobati angina atau hipertensi pada gagal jantung.

Pada penderita yang memerlukan perawatan, restriksi cairan (1,5 – 2 l/hari)


dan pembatasan asupan garam dianjurkan pada pasien. Tirah baring jangka pendek
dapat membantu perbaikan gejala karena mengurangi metabolisme serta
meningkatkan perfusi ginjal. Pemberian heparin subkutan perlu diberikan pada
penderita dengan imobilitas. Pemberian antikoagulan diberikan pada penderita dengan
fibrilasi atrium, gangguan fungsi sistolik berat dengan dilatasi ventrikel. 13

16
Penderita gagal jantung akut datang dengan gambaran klinis dispneu,
takikardia serta cemas,pada kasus yang lebih berat penderita tampak pucat dan
hipotensi. Adanya trias hipotensi (tekanan darah sistolik < 90 mmHg), oliguria serta
cardiac output yang rendah menunjukkan bahwa penderita dalam kondisi syok
kardiogenik. Gagal jantung akut yang berat serta syok kardiogenik biasanya timbul
pada infark miokard luas, aritmia yang menetap (fibrilasi atrium maupun ventrikel)
atau adanya problem mekanis seperti ruptur otot papilari akut maupun defek septum
ventrikel pasca infark. 13
Gagal jantung akut yang berat merupakan kondisi emergensi dimana
memerlukan penatalaksanaan yang tepat termasuk mengetahui penyebab, perbaikan
hemodinamik, menghilangan kongesti paru, dan perbaikan oksigenasi jaringan.
Menempatkan penderita dengan posisi duduk dengan pemberian oksigen konsentrasi
tinggi dengan masker sebagai tindakan pertama yang dapat dilakukan. Monitoring
gejala serta produksi kencing yang akurat dengan kateterisasi urin serta oksigenasi
jaringan dilakukan di ruangan khusus. Base excess menunjukkan perfusi jaringan,
semakin rendah menunjukkan adanya asidosis laktat akibat metabolisme anerob dan
merupakan prognosa yang buruk. Koreksi hipoperfusi memperbaiki
asidosis,pemberian bikarbonat hanya diberikan pada kasus yang refrakter. 13
Pemberian loop diuretik intravena seperti furosemid akan menyebabkan
venodilatasi yang akan memperbaiki gejala walaupun belum ada diuresis. Loop
diuretik juga meningkatkan produksi prostaglandin vasdilator renal. Efek ini dihambat
oleh prostaglandin inhibitor seperti obat antiflamasi nonsteroid, sehingga harus
dihindari bila memungkinkan. 13
Opioid parenteral seperti morfin atau diamorfin penting dalam
penatalaksanaan gagal jantung akut berat karena dapat menurunkan kecemasan, nyeri
dan stress, serta menurunkan kebutuhan oksigen. Opiat juga menurunkan preload dan
tekanan pengisian ventrikel serta udem paru. Dosis pemberian 2 – 3 mg intravena dan
dapat diulang sesuai kebutuhan. 13
Pemberian nitrat (sublingual, buccal dan intravenus) mengurangi preload
serta tekanan pengisian ventrikel dan berguna untuk pasien dengan angina serta gagal
jantung. Pada dosis rendah bertindak sebagai vasodilator vena dan pada dosis yang
lebih tinggi menyebabkan vasodilatasi arteri termasuk arteri koroner. Sehingga dosis
pemberian harus adekuat sehingga terjadi.keseimbangan antara dilatasi vena dan arteri

17
tanpa mengganggu perfusi jaringan. Kekurangannya adalah teleransi terutama pada
pemberian intravena dosis tinggi, sehingga pemberiannya hanya 16 – 24 jam. 13
Sodium nitropusside dapat digunakan sebagai vasodilator yang diberikan
pada gagal jantung refrakter, diberikan pada pasien gagal jantung yang disertai krisis
hipertensi. Pemberian nitropusside dihindari pada gagal ginjal berat dan gangguan
fungsi hati. Dosis 0,3 – 0,5 μg/kg/menit. 13

Nesiritide adalah peptide natriuretik yang merupakan vasodilator. Nesiritide


adalah BNP rekombinan yang identik dengan yang dihasilkan ventrikel.
Pemberiannya akan memperbaiki hemodinamik dan neurohormonal, dapat
menurunkan aktivitas susunan saraf simpatis dan menurunkan kadar epinefrin,
aldosteron dan endotelin di plasma. Pemberian intravena menurunkan tekanan
pengisian ventrikel tanpa meningkatkan laju jantung, meningkatkan stroke volume
karena berkurangnya afterload. Dosis pemberiannya adalah bolus 2 μg/kg dalam 1
menit dilanjutkan dengan infus 0,01 μg/kg/menit. 13
Pemberian inotropik dan inodilator ditujukan pada gagal jantung akut yang
disertai hipotensi dan hipoperfusi perifer. Obat inotropik dan / atau vasodilator
digunakan pada penderita gagal jantung akut dengan tekanan darah 85 – 100 mmHg.
Jika tekanan sistolik < 85 mmHg maka inotropik dan/atau vasopressor merupakan
pilihan. Peningkatan tekanan darah yang berlebihan akan dapat meningkatkan
afterload. Tekanan darah dianggap cukup memenuhi perfusi jaringan bila tekanan
arteri rata - rata > 65 mmHg. 13
Pemberian dopamin 2 μg/kg/mnt menyebabkan vasodilatasi pembuluh
darah splanknik dan ginjal. Pada dosis 2 – 5 μg/kg/mnt akan merangsang reseptor
adrenergik beta sehingga terjadi peningkatan laju dan curah jantung. Pada pemberian
5 – 15 μg/kg/mnt akan merangsang reseptor adrenergik alfa dan beta yang akan
meningkatkan laju jantung serta vasokonstriksi. Pemberian dopamin akan merangsang
reseptor adrenergik 1 dan 2, menyebabkan berkurangnya tahanan vaskular sistemik
(vasodilatasi) dan meningkatnya kontrkatilitas. Dosis umumnya 2 – 3 μg/kg/mnt,
untuk meningkatkan curah jantung diperlukan dosis 2,5 – 15 μg/kg/mnt. Pada pasien
yang telah mendapat terapi penyekat beta, dosis yang dibutuhkan lebih tinggi yaitu 15
– 20 μg/kg/mnt. 13

18
Phospodiesterase inhibitor menghambat penguraian cyclic-AMP menjadi
AMP sehingga terjadi efek vasodilatasi perifer dan inotropik jantung. Yang sering
digunakan dalam klinik adalah milrinone dan enoximone. Biasanya digunakan untuk
terapi penderia gagal jantung akut dengan hipotensi yang telah mendapat terapi
penyekat beta yang memerlukan inotropik positif. Dosis milrinone intravena 25 μg/kg
bolus 10 – 20 menit kemudian infus 0,375 – 075 μg/kg/mnt. Dosis enoximone 0,25–
0,75 μg/kg bolus kemudian 1,25 – 7,5 μg/kg/mnt. 13
Pemberian vasopressor ditujukan pada penderita gagal jantung akut yang
disertai syok kardiogenik dengan tekanan darah < 70 mmHg. Penderita dengan syok
kardiogenik biasanya dengan tekanan darah < 90 mmHg atau terjadi penurunan
tekanan darah sistolik 30 mmHg selama 30 menit.Obat yang biasa digunakan adalah
epinefrin dan norepinefrin. Epinefrin diberikan infus kontinyu dengan dosis 0,05 – 0,5
μg/kg/mnt. Norepinefrin diberikan dengan dosis 0,2 – 1 μg/kg/mnt. 13
Penanganan yang lain adalah terapi penyakit penyerta yang menyebabkan
terjadinya gagal jantung akut de novo atau dekompensasi. Yang tersering adalah
penyakit jantung koroner dan sindrom koroner akut. Bila penderita datang dengan
hipertensi emergensi pengobatan bertujuan untuk menurunkan preload dan afterload.
Tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat seperti lood diuretik intravena,
nitrat atau nitroprusside intravena maupun natagonis kalsium intravena(nicardipine).
Loop diuretik diberkan pada penderita dengan tanda kelebihan cairan. Terapi nitrat
untuk menurunkan preload dan afterload, meningkatkan aliran darah koroner.
Nicardipine diberikan pada penderita dengan disfungsi diastolik dengan afterload
tinggi. Penderita dengan gagal ginjal,diterapi sesuai penyakit dasar. Aritmia
jantungharus diterapi. 13
Penanganan invasif yang dapat dikerjakan adalah Pompa balon intra aorta,
pemasangan pacu jantung, implantable cardioverter defibrilator, ventricular assist
device. Pompa balon intra aorta ditujukan pada penderita gagal jantung berat atau
syok kardiogenik yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan, disertai
regurgitasi mitral atau ruptur septum interventrikel. Pemasangan pacu jantung
bertujuan untuk mempertahankan laju jantung dan mempertahankan sinkronisasi
atrium dan ventrikel, diindikasikan pada penderita dengan bradikardia yang
simtomatik dan blok atrioventrikular derajat tinggi. Implantable cardioverterdevice
bertujuan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel dan takikardia ventrikel. Vascular Assist
Device merupakan pompa mekanis yang mengantikan sebgaian fungsi ventrikel,
19
indikasi pada penderita dengan syok kardiogenik yang tidak respon terhadap terapi
terutama inotropik. 13

H. Prognosis
Prognosis gagal jantung yang tidak mendapat terapi tidak diketahui. Sedangkan
prognosis pada penderita gagal jantung yang mendapat terapi yaitu: (2)

1. Kelas NYHA I : mortalitas 5 tahun 10-20%


2. Kelas NYHA II : mortalitas 5 tahun 10-20%
3. Kelas NYHA III : mortalitas 5 tahun 50-70%
4. Kelas NYHA IV : mortalitas 5 tahun 70-90%

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Nurdjanah S. Buku ajar ilmu penyakit dalam FK UI. 2006; ed IV


2. Hauser K, Longo B, Jameson F. Harrison’s principle of internal medicine.2005; ed XVI
3. Sugeng, Barita Sitompul dan J. Irawan.Buku ajar kardiologi. jakarta : balai penerbit
fakultas kedokteran universitas indonesia, 2004.hal 7 – 17,115 – 126.
4. Wilson, Sylvia A. Price dan Lorraine M.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Edisi 6. Jakarta : EGC, 2006.hal.633-640.
5. Oemar, Hamed.Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : balai penerbit fakultas kedokteran
universitas indonesia. 2004. hal. 7-12.
6. Kumar, Cotran, Robbins.Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Jakarta : EGC, 2007. Vol.
Volume 2.
7. Greenberg, Barry H. Congestuve Heart Failure, Philadephia, USA: Lipincott Williams
& Wilkins 2007 ; hal.167-168.
8. Goroll, Allan H., Primary medicine, office evaluation and management of the adult
patient sixth edition, Philadephia, USA: Lipincott Williams & Wilkins 2009;.hal.275-
287
9. Davis, Russell C. ABC of heart failure second edition, Australia: Blackwell publishing
2006;hal. 10-11.
10. Lee TH. Practice guidelines for heart failure management. In: Dec GW, editors. Heart
failure a comprehensive guide to diagnosis and treatment. New York: Marcel Dekker;
2005.p.449-65.
11. Gillespie ND. The diagnosis and management of chronic heart failure in the older
patient. British Medical Bulletin 2005;75 and 76: 49- 62.
12. Rodeheffer R. Cardiomyopathies in the adult (dilated, hypertrophic, and restrictive). In:
Dec GW, editor. Heart failure a comprehensive guide to diagnosis and treatment. New
York: Marcel Dekker; 2005.p.137-56.
13. Grady KL, Dracus K, Kennedy G, at al. Team management of patients with heart
failure. A statement for healthcare professionals from The Cardiovascular Nursing
Councils of The American Heart Assiciation Circulation 2000

21

Anda mungkin juga menyukai