yang sangat besar dimata rakyat Indonesia, bersama Bung Hatta, Bung Karno
membacakan sebuah proklamasi sehingga membawa kita kepada kemerdekaan. Pada
Pemerintahan Bung Karno, banyak hambatan yang mengancam stabilitas keamanan dan
kedaulatan negara Indonesia. Namun, Bung Karno berhasil mengatasi permasalahan
tersebut. Di Bidang politik, bung Karno memproklamirkan diri sebagai “Presiden RI
seumur hidup”, tentu saja kalau dilihat dari konstitusi tentu saja ini merupakan sebuah
pelanggaran. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1960-an membuat
pemerintah Soekarno goyah , para mahasiswa turun ke jalan dan meneriakan TRITURA
kepada bung Karno. Puncak dari kekeroposan pemerintahan Soekarno adalah terjadinya
G30S/PKI dan menyebabkan Orde Lama runtuh digantikan oleh Orde Baru (peristiwa ini
oleh sebagian pihak dikatakan sebagai sebuah kudeta militer yang dilakukan Pak Harto).
Bung Karnoisme
Oleh : Rudi Hartono
Membicarakan konsep front persatuan, tidak lengkap rasanya jika tidak menyebutkan
nama Bung karno dan gagasan-gagasan politiknya. Ia memegang teguh keyakinan
politiknya sejak awal hingga akhir, termasuk keyakinannya soal persatuan nasional yang
dinamainya Nasakom, akronim dari nasionalis, agama, dan komunis.
Ada banyak yang mengatakan, pemikiran Bung Karno mengenai Nasakom adalah yang
paling orisinil dan acceptable di Indonesia. Sedangkan tak sedikitpula yang mencibir,
bahwa persatuan nasional nasakom hanya konsep belaka dan akan berantakan jika
dipraktekkan.
Bung Karno menginjak masa kematangan dalam pergerakan untuk kemerdekaan nasional
dengan melalui dua fase penting. Pertama, ketika dia tinggal di Surabaya, yaitu rumah
Tjokroaminoto, seorang tokoh pergerakan nasional kenalan bapaknya. Rumah
Tjokroaminoto merupakan “universitas politik” bagi Bung Karno, dimana ia bisa bertemu
dengan tokoh-tokoh terkemuka dunia pergerakan dan menyerap teori-teori politik
mereka.
Kedua, ketika Bung Karno melanjutkan sekolahnya di HBS Bandung, tempat dimana ia
mendengarkan kuliah-kuliah dari sosialis-demokrat dan demokrat radikal Belanda. Di
Bandung, Bung Karno menemukan semangat lain, bukan hanya karena mendengar
ceramah-ceramah orang-orang sosialis demokrat macam J.E. Stokvis dan C. Hartogh,
tetapi juga karena mendapat siraman radikalisme dari tokoh-tokoh pergerakan Indische
Partij, seperti Tjipto Mangkunkusumo dan Douwes Dekker.
Kedua pengalaman itu sangat mempengaruhi gagasan-gagasan politik Bung Karno muda.
Di satu sisi, dia sangat kagum dengan guru dan sekaligus mertuanya, Tjokroaminoto,
tetapi kurang puas dengan langkah moderatnya. Sedangkan, pada sisi yang lain, dia
semakin menyerap teori-teori baru (nasionalisme radikal dan sosialisme) dan
memantapkan diri untuk terbenam dalam perjuangan anti-kolonialisme dan pembebasan
rakyat.
Namun, pada tahun 1921, Bung Karno mulai menyaksikan dinamika yang sangat cepat di
kalangan pergerakan; saling kritik, perpecahan, dan persatuan.
Ada beberapa hal yang menandai situasi gerakan pada kurun waktu 1921 hingga 1926
(lahirnya tulisan Bung Karno: Marxisme, nasionalisme, dan islamisme). Pertama,
semakin menguatnya pengaruh gerakan rakyat yang menolak untuk mengemis kemajuan
kepada pihak kolonialis Belanda. Partai-partai ini, terutama sekali PKI dan Indische
Partij, telah memaklumkan sikap non-koperasi terhadap pemerintahan kolonial. Bung
Karno dalam sebuah pidato menggebu-gebu di tahun 1923, mengatakan: “….Sudah tiba
saatnya untuk tidak lagi mengemis-ngemis, tetapi adalah menuntut kepada tuan-tuan
kaum Imperialis.”
Seiring dengan periode surutnya gerakan mengemis-ngemis itu, maka pamor tokoh-tokoh
semacam Tjokroaminoto dan Dr. Soetomo pun semakin merosot di mata kaum
pergerakan dan rakyat.
Kedua, Bung Karno menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri saling serang di
kalangan pergerakan pembebasan nasional. Dalam tahun 1921, di dalam Sarekat Islam
(SI), organisasi politik terbesar saat itu, telah terjadi perpecahan yang tak terhindarkan.
Para pemimpin sayap kanan (SI putih) telah berhasil memaksa keluar pengikut-
pengikutnya yang kiri (SI-merah)—yang sangat dipengaruhi oleh ISDV/PKI.
Pada tahun 1926 Bung Karno mengeluarkan tulisan berjudul “Nasionalisme, Islamisme,
dan Marxisme”, dimana ia menegaskan bahwa persatuanlah yang membawa kita ke arah
“kebesaran dan kemerdekaan”.
Dalam tulisan itu, yang didalamnya disertai penjelasan yang sangat mendalam, Bung
Karno menegaskan bahwa tiga aliran dalam politik Indonesia, yaitu nasionalis, agama,
dan marxis, bisa bersatu untuk mencapai Indonesia merdeka.
“Inilah azas-azas yang dipeluk oleh pergerakan-pergerakan rakyat di seluruh Asia. Inilah
faham-faham yang menjadi roh-nya pergerakan-pergerakan di Asia itu. Roh-nya pula
pergerakan-pergerakan di Indonesia-kita ini,” demikian ditulis Bung Karno untuk
menyakinkan keharusan front persatuan tiga kekuatan itu.
Bung Karno membedakan antara nasionalis sejati, yaitu nasionalis cintanya pada tanah-
air itu bersendi pada pengetahuan atas susunan ekonomi-dunia dan riwayat, dan bukan
semata-mata timbul dari kesombongan bangsa belaka, dengan nasionalis chauvinis.
Menurut pendapatnya, nasionalis sejati akan terbuka untuk bekerjasama dengan golongan
politik lain yang memiliki tujuan sama.
Demikian pula terhadap islam, Bung Karno telah membedakan antara islam kolot dan
islam sejati. “Selama kaum Islamis memusuhi faham-faham Nasionalisme yang luas budi
dan Marxisme yang benar, selama itu kaum islamis tidak berdiri di atas Sirothol
Mustaqim,” tulis Bung Karno.
Ditariknya pendekatan mengenai kesamaan antara islam dan marxisme, yaitu sama-sama
bersifat sosialistis, dan letakkannya musuh bersama bagi keduanya; kapitalisme (paham
riba).
Sementara terhadap kaum Marxis, Bung Karno telah mengambil taktik perjuangan kaum
marxis yang baru, yaitu “tidak menolak pekerjaan-bersama-sama dengan Nasionalis dan
Islamis di Asia”. Untuk menyakinkan kaum marxis, Bung Karno mengambil contoh: Kita
kini melihat persahabatan kaum Marxis dengan kaum Nasionalis di negeri Tiongkok; dan
kita melihat persahabatan kaum Marxis dengan kaum Islamis di negeri Afganistan.
Bung Karno adalah salah seorang dari berbagai tokoh gerakan pembebasan nasional yang
tidak menginjakkan kakinya di luar negeri, namun menyerap ilmu pergerakannya dari
tokoh-tokoh terkemuka dunia pergerakan, seperti Tjokroaminoto, Tjipto
Mangungkusumo, dan lain-lain.
Tetapi Bung Karno bukan seorang dogmatis, ia selalu berhasil meletakkan teori itu dalam
syarat-syarat keadaan Indonesia dan dipergunakan untuk mencapai satu tujuan; Indonesia
merdeka!
Demkian pula saat mengeluarkan konsep persatuan tiga kekuatan itu, Bung Karno telah
mengambilnya dari kenyataan politik di Indonesia. Bagaiaman Bung Karno bisa
membangun konsepsi persatuannya:
Pertama, Bung Karno adalah orang yang paling tekun dalam mempelajari berbagai aliran
politik dalam gerakan nasional Indonesia. Dalam penyelidikan dan pengamatannya secara
langsung, ketiga aliran itulah yang mewakili perjuangan melawan kolonialisme dan
mewakili pengaruh luas di kalangan rakyat.
Bung Karno pernah menjadi anggota Sarekat Islam, meskipun tidak pernah terdaftar
sebagai pengurus. Dia juga sering menemani Tjokroaminoto dalam menghadiri rapat-
rapat akbar (vergadering) dan pertemuan-pertemuan.
Selain itu, ketika beraktivitas di Bandung, Bung Karno juga sangat dekat dengan tokoh
nasionalis radikal, khususnya Tjipto Mangungkusumo, yang oleh belanda dikenal dikenal
sebagai ”elemen paling berbahaya dalam gerakan rakyat di jawa.
Terhadap gerakan komunis, Bung Karno sangat tekun mempelajari marxisme dan
menyebut dirinya sebagai Marxis. Semasa di rumah Tjokroaminoto, Bung Karno telah
berkenalan dengan Snevleet, Baars, dan orang-orang Indonesia: Semaun, Musso, Tan
Malaka, dan Alimin. Bahkan Bung Karno mengakui bahwa Marhaenisme, hasil
temuannya sendiri, adalah marxisme yang dicocokkan dan dilaksanakan menurut keadaan
Indonesia.
Kedua, Bung Karno, seperti juga kaum marxis pada umumnya, mengakui adanya
kontradiksi tak terdamaikan antara kolonialisme/imperialisme dengan rakyat Indonesia,
atau dalam bahasa Bung Karno: pertentangan sana dan sini; sana mau kesana, sini mau
ke sini.
Dengan begitu, tidak benar juga kalau dikatakan front persatuan ala Bung Karno ini
terlalu eklektis, sebab pembedaan sini dan sana itu sudah merupakan sebuah pembedaan
yang jelas, gamblang.
Bung Karno sangat menyakini, bahwa jika ketiga kekuatan ini dapat disatukan dalam
sebuah persatuan, maka dia menjadi gabungan kekuatan yang maha dahsyat. Karena,
menurut perhitungan Bung Karno, gabungan kekuatan ini meliputi 90% paling sedikit
daripada seluruh rakyat Indonesia.
Lapangan Praktek
Pada bulan September 1927, berpidato di hadapan peserta kongres Partai Sarekat
Indonesia, Bung Karno telah mengusulkan untuk mendirikan semacam federasi diantara
organisasi-organisasi pergerakan nasional.
Ide yang dilemparkan Bung Karno mendapat sambutan luas, dan kepada Bung Karno
diserahi tugas untuk merancang konsep persatuannya. Dan, pada desember 1927, enam
organisasi politik telah bersepakat mendirikan Permufakatan Perhimpunan Politik
Kebangsaan Indonesia (PPPKI).
Beberapa front persatuan sesudahnya, seperti Gabungan Aksi Politik Indonesia (GAPI),
dimana Partindo tergabung di dalamnya, sedikit-banyaknya sesuai dengan konsep
persatuan ala Bung Karno.
Lebih jauh lagi, rumusan persatuan tiga kekuatan ini akan sangat nampak pula dalam
pidato Bung Karno mengenai dasar negara di depan BPUPKI, 1 Juni 1945, yang dikenal
sebagai “Pancasila”. Rumusan Pancasila adalah rumusan dari tiga kekuatan; nasionalis,
agamais, dan marxis. Bung Karno mengatakan, pancasila itu dapat diperas menjadi tiga,
yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Sosio-nasionalisme, dan Sosio-demokrasi. Ketiga
perasan pancasila tersebut, lanjut Bung Karno, masih dapat diperas lagi menjadi satu,
atau sering disebut Ekasila, yaitu: Gotong Royong.
Pada tahun 1959, Soekarno telah memprakarsai pembentukan Front Nasional, yang
tujuannya adalah menuntaskan revolusi nasional dan dibentuknya sebuah masyarakat adil
dan makmur. Soekarno, yang telah berhasil menyakinkan PKI, berusaha menghidupkan
kembali kolaborasi antara kaum nasionalis, agamais, dan marxis untuk menghadapi
imperialisme.
PKI sendiri sangat menyambut uluran tangan Bung Karno untuk bersama-sama melawan
imperialisme. Dan, di akhir tahun 1960-an, sebagaimana dicatat oleh Rex Mortimer, PKI
telah secara terbuka menegaskan untuk mensubordinasikan perjuangan kelas di bawah
perjuangan nasional.
Sebetulnya Front Nasional dirancang untuk memobilisasi seluruh kekuatan rakyat guna
melawan imperialisme. Dan, untuk mencapai tujuan-tujuan itu, Soekarno menganjurkan
agar Front Nasional dibangun hingga ke dusun-dusun. Sayang sekali, niat ini tidak
sepenuhnya berjalan dan lebih banyak disabotase.
Di penghujung 1965, ketika sebuah kudeta merangkak berusaha menggusur dirinya dari
kekuasaan, Soekarno menolak pertumpahan darah dan memilih untuk terus
mengedepankan persatuan nasional. Pada pidato 17 Agustus 1966, Bung Karno
menyerukan agar tetap memperkuat persatuan tiga kekuatan, yaitu Nasakom.
Pun, ketika demonstrasi mahasiswa kanan menuntut Bung Karno agar segera
membubarkan PKI dan ormas-ormas komunis, Ia telah menolaknya. Dan, dengan suara
yang lebih tegas, bahwa Pancasila tidak anti Nas (nasionalis), tidak anti A (agama), dan
tidak anti Kom (komunis).
Begitulah, Bung Karno memeluk dengan teguh keyakinan politik dan strategi
persatuannya dari awal hingga akhir. Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, tetapi
Nasakom pernah bergema dalam dalam sejarah politik Indonesia.
1. Chandra Simanungkalit
Kejatuhan Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno menjadi titik balik bagi sejarah
Indonesia yang dipenuhi dengan tragedi berdarah ikut menghiasi bingkai sejarah
suram bangsa pada sekitar tahun 1965-sampai terpilihnya Soeharto.[1] Sejarah
adalah politik di masa lalu, dan politik di masa kini akan menjadi sejarah di masa
yang akan datang. Namun pembodohan sejarah yang dilakukan orde baru kepada
masyarakat Indonesia, upaya-upaya depolitisasi massa, pemberlakuan asas
tunggal adalah lanjutan kebijakan politik orde baru di masa silam. Tahun 1965
merupakan mimpi buruk dalam sejarah revolusi Indonesia. [2]
Nasib buruk yang menimpa Partai Komunis Indonesia (PKI) harus dilenyapkan
oleh situasi-kondisi politik pada masa lalu, dan oleh penguasa fasis orde baru
dianggap sebagai partai terlarang. Sayap-sayap politik PKI yang begitu besar
seperti Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), Pemuda Rakyat, Gerakan
Wanita Indonesia (Gerwani), Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) harus hancur
lebur karena tuduhan keterlibatan partai berlambang palu-arit ini dalam
penculikan dan pembunuhan ketujuh jenderal.[5]
Partai yang sempat menjalin hubungan mesra dengan Presiden Soekarno dan
menjadi salah satu partai terbesar yang dalam pemilihan umum 1955 hingga kini
masih diperlakukan dengan tidak wajar dan hingga ini sejarah kelam Indonesia di
tahun 1965 tak dapat dituntaskan sama sekali, tak terkecuali sampai pada
pemerintahan SBY-JK .[6]
Pasca peristiwa yang sering disebut Soekarno dengan istilah Gerakan 1 Oktober
(Gestok) terjadi kerusuhan, penangkapan dan pembunuhan manusia Indonesia
yang dianggap terlibat atau sebagai dalang dalam peristiwa pembunuhan ketujuh
jenderal, namun kelompok yang tidak terlibat pun turut menjadi korban akibat
dari politik konspirasi antara militer dengan kekuatan asing yang sejak dahulu
ingin menggulingkan Soekarno dari kursi kekuasaan.[7] Kontroversial seputar
peristiwa 1965 ini yang diyakini terdapat dalam Supersemar hingga kini belum
dapat diungkap oleh negara, dan seolah-olah hilang atau dihilangkan dari
lembaran perjalanan bangsa Indonesia. [8]
Pembubaran partai tak hanya menimpa nasib PKI saja, bahkan Partai Nasional
Indonesia (PNI) juga secara sepihak juga dibubarkan oleh tentara. Penangkapan
kaum Nasionalis-Soekarnois yang dilakukan oleh tentara seakan mengidentikan
kaum nasionalis adalah kaum komunis, begitu juga dengan golongan islam yang
dianggap dekat dan bersimpati penuh terhadap Soekarno.
Skenario asing yang bekerja sama dengan komprador dalam negeri menyadari
bahwasanya untuk menggulingkan Soekarno dari tampuk kekuasaan maka
terlebih dahulu harus menghancurkan seluruh pendukung Soekarno.[10] Musuh-
musuh Soekarno memahami modal asing akan sulit masuk ke Indonesia selama
paham sosialisme masih bercokol di tanah air, dan Soekarno sudah menjadi ikon
bagi negara-negara sosialis dan Asia-Afrika.
Peristiwa Gerakan Tiga Puluh September (Gestapu) memberi ruang besar bagi
musuh-musuh sosialisme untuk bertindak atas nama penyelamatan negara dan
Pancasila.[12] Dibalik gerakan-gerakan yang menuntut pembubaran terhadap
Partai Komunis Indonesia (PKI) ternyata terdapat agenda negara asing seperti
Amerika yang sejak lama ingin menguasai Indonesia pasca Kemerdekaan.[13]
Keruntuhan regim orde lama dari tampuk kekuasaan menjadi simbol kekalahan
bagi kaum kiri Indonesia. Militer dengan TNI-AD dibawah komando Soeharto
secara perlahan-lahan mengambil kesempatan hingga berhasil merebut kekuasaan
dari tangan Presiden Soekarno.[16] Orde baru yang disimbolkan sebagai
kemenangan bagi kaum kontra revolusioner menjadi antitesa dari orde lama.
Sosialisme menjadi barang terlarang di masa orde baru dan dianggap sebagai
musuh bangsa, digambarkan sebagai pengkhianat Pancasila dan UUD 1945.
Penjajahan gaya baru yang disebut Soekarno nekolim atau neo kolonialisme dan
imperialisme, sekarang ini dikenal dengan sebutan popular neo liberalisme
(neolib). Pada dasarnya nekolim dan neolib masih menunjukan subtansi
kapitalisme yang tetap saja meng-ekploitasi dan menghisap sebagaimana watak
daripada kapitalisme itu sendiri. Harus diakui oleh semua pihak Indonesia telah
berada dalam cengkeraman kapitalisme sepenuhnya dengan ditandai peristiwa
yang oleh sebahagia pihak pro orde baru sebagai revolusi dengan berhasil
menggulingkan Soekarno atau disebut peristiwa 1966.[18]
Perkembangan dunia dewasa ini yang telah memasuki abad terbesar dalam sejarah
kapitalisme dengan ditandai mengguritanya kekuasaan perusahaan-perusahaan
multinasional (Multi National Corporation) seperti Kartel, Trust, dan sejumlah
perusahaan asing yang sedemikian lama telah meng-eksploitasi hasil kekayaan
alam secara besar-besaran.[19] Paham kapitalisme telah mengakar dalam setiap
sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia.
Stigma komunis atau PKI yang dilancarkan oleh pemerintah orde baru terhadap
organisasi yang menentang asas tunggal cukup ampuh dan menimbulkan trauma
yang dalam terhadap masyarakat./ bahkan secara resmi orde baru mengeluarkan
kebijakan politik yang membatasi kebebasan berfikir masyarakat melalaui
pelarangan terhadaptumbuh dan berkembangnya paham yang berbau kiri. Orde
Baru juga sangat gencar dalam melancarkan upaya de-soekarnoisasi, upaya ini
mendatangkan hasil peran Soekarno dihilangkan dari lembaran sejarah perjalanan
bangsa Indonesia.
http://berdikarionline.com/bung-karnoisme/20101110/bung-karno-dan-konsep-
persatuannya.html
By jakarta45 1 Comment
Categories: Jiwa Semangat Nilai-nilai 45
Tags: Leadership, Nation & Character Building, Statemanship
Sabtu, 16 Oktober 2010 03:55:05
Mengaji Pada Kepemimpinan Bung Karno dan Pemimpin Dunia Lainnya
Mimbar Gagasan
Integritas pemimpin pada saat krisis diuji oleh keberanian menghadapi masalah yang ada
di depannya tanpa mengeluh. Setiap kebijakan yang telah dibuat sudah sepantasnya
dipertanggung-jawabkan kepada publik secara fair dan berani. Sementara itu sungguh
mengherankan apa yang saat ini nampak di depan kita, bayangkan sudah tiga tahun
Lumpur Lapindo meluap dan menyengsarakan hajat hidup warga Sidoarjo, sementara
presiden bungkam tak bergeming, pada kasus Bank Century, telah bersama-sama kita
saksikan bagaimana kita dibuat menunggu demikian lama, saat Presiden menampilkan
staf dan wakilnya satu persatu berbicara sementara ia diam dalam waktu yang sangat
lama, namun demikian ketika ada kasus skandal tayangan video tak pantas dari oknum
yang seolah-olah artis belum lewat dua minggu beliau sudah berbicara. Ketika saat ini ini
kita disuguhi model komunikasi politik dari Presiden SBY yang kerapkali menghindar
dari persoalan, saya terkesima saat membuka kembali lembaran naskah pidato
Proklamasi RI dari Bung Karno pada 1966 yang berjudul Jas Merah (Jangan Sekali-kali
Meninggalkan Sejarah).
Keutamaan memimpin sebagai presiden seperti inilah yang tengah kita tunggu untuk
menahkodai republik kita tercinta. Komunikasi politik pemimpin yang berkarakter
flamboyan, namun lemah dan kerapkali memperlihatkan kepada publik bahwa dirinya
adalah korban yang dizalimi dan menyerahkan tanggung jawab kepada para
pembantunya, dapat melunturkan kepercayaan publik. Ketika hal itu terjadi, setidaknya
ada langkah-langkah komunikasi politik yang seharusnya dilakukan untuk memulihkan
integritas pemerintahan. Seperti diutarakan oleh Perdana Menteri kharismatik Inggris
pada masa Perang Dunia Kedua yaitu Winston Churchill bahwa harga yang harus dibayar
bagi sebuah kebesaran politik adalah keberanian.
Pertama, salah satu persoalan dalam karakter kepemimpinan republik ini sekarang adalah
munculnya kecenderungan kompromi elite yang terlalu tinggi, menghindar dan
bersembunyi dari persoalan sambil memunculkan staf dan anak buahnya untuk berdiri di
depan dan membela kebijakan dari pemimpin sambil menempatkan diri sebagai korban.
Ke depan sudah saatnya Presiden SBY menyadari bahwa memosisikan diri sebagai
korban pertarungan politik dan mengharap simpati publik dalam kondisi krisis justru
akan meluluh-lantakkan kepercayaan publik akan hadirnya pemimpin yang tangguh dan
bersama bisa menghadapi segala persoalan. Posisi sebagai korban dan menghindar seperti
ini saatnya diubah. Apabila pada situasi normal, presiden dapat memberikan wewenang
kepada para pembantunya untuk merumuskan kebijakan maupun menjawab pertanyaan
publik atas berbagai persoalan pemerintahan, pada situasi krisis langkah yang berbeda
harus diambil. Kejujuran dan keberanian sikap tersebut dapat membangun citra diri
Presiden SBY sebagai pemimpin yang tegar dan berani meski dihantam krisis politik
yang kuat di hadapan rakyat Indonesia. Sekarang lah saatnya memperlihatkan kepada
rakyat Indonesia bahwa kemampuan Presiden SBY menyelesaikan persoalan yang ada di
depannya bukanlah pencitraan publik semata, namun benar-benar karakter otentik
dirinya.
Membaca karakter kepemimpinan Presiden SBY di era presidensial ini ada hal yang
terlihat aneh bahwa system yang di desain untuk membangun kepemimpinan yang kuat
ini ternyata memperlihatkan karakter kepemimpinan yang lemah. Seperti pernah penulis
uraikan bahwa melampaui kemampuan untuk melakukan komunikasi dan kompromi
politik yang dianggap menjadi kunci bagi keberhasilan sistem presidensial untuk
membangun stabilitas politik (Jose Antonio Chiebub 2007; Firman Noor 2009) faktor
keberhasilan kepemimpinan eksekutif untuk memperlihatkan integritas politik adalah
faktor yang juga penting. Dalam konteks kasus Bank Century misalnya, Presiden SBY
terbukti memiliki sense of crisis yang lemah. Kondisi politik yang krisis direspons oleh
Presiden SBY secara lamban, seakan tidak ada krisis apa-apa, dan respons yang muncul
ketika situasi mendesak adalah melemparkan tanggung jawab kepada pembantunya
terhadap persoalan tersebut.
Langkah politik seperti ini justru mengikis popularitas SBY sebagai Presiden yang
mampu menyelesaikan persoalan secara sigap. Sementara dalam konteks koalisi partai
politik yang mendukung Presiden, kelambanan dan keengganan untuk mengambil
tanggung jawab politik melemahkan dukungan di internal koalisi itu sendiri. Sehingga
tidak mengherankan apabila kita dapati bahwa partai-partai politik pendukung Presiden
berbalik arah dan mengambil posisi sebagai kekuatan oposisi terhadap SBY. Ketidak-
mampuan menampilkan integritas politik yang kuat dalam kasus Bank Century membuat
elite politik berpaling dari proses konsolidasi koalisi yang tengah dijalankan, dan para
elite partai justru bersikap menjaga jarak dari pemerintah yang memiliki persoalan seperti
ini.
Kedua, stabilitas politik dalam sistem presidensial yang didukung oleh koalisi
pemerintahan yang kuat dibangun dalam asumsi keberhasilan Presiden dalam
membangun tatanan koalisi yang solid ketika mendukungnya baik didalam eksekutif
maupun di lembaga legislatif. Dalam konstruksi kelembagaan presidensial seperti ini,
diharapkan terjadinya reduksi ketegangan antara lembaga eksekutif dan legislatif yang
sama-sama merasa mendapatkan legitimasi penuh dari rakyat. Persoalan dalam sistem
presidensial pada masa pemerintahan Presiden SBY 2009-2014 ini adalah kegagapan
membangun integritas politik dari pemerintahan eksekutif membuat partai-partai yang
pada awalnya adalah bagian dari koalisi pemerintahan berpaling dan membangun
manuver-manuver politik yang justru menekan Presiden SBY. Gencarnya tekanan politik
dari PKS maupun Partai Golkar terhadap kepemimpinan SBY dalam kasus Century Gate,
memperlihatkan ketidak-mampuan Presiden mengkonsolidasikan dukungan politik dan
melakukan mainstreaming langkah politiknya kepada partai-partai pendukung koalisi.
Fenomena seperti ini membuat guncangnya stabilitas politik dan menguatnya ketegangan
antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif. Memang dalam sistem presidensial,
celah untuk mengguncang lembaga ekskutif sangatlah terbatas, namun sangat terbuka
kemungkinan ketidak-stabilan dan keguncangan politik terus berlangsung sampai 2014.
Muara dari persoalan tersebut tidak dapat dilepaskan dari persoalan integritas keberanian
dari presiden untuk mengambil tanggung jawab personal dari setiap kebijakannya. Salah
seorang penulis sekaligus executive director dari Mount Vernon yang memiliki perhatian
terhadap tradisi sejarah kepemimpinan Amerika Serikat yaitu James C. Rees (2007)
menulis buku tentang teladan kepemimpinan dari Presiden Pertama Amerika Serikat
George Washington yang berjudul George Washington’s Leadership Lessons: What The
Father of Our Country Teach us About Effective Leadership and Character mengutarakan
bahwa salah satu prinsip pelajaran kepemimpinan politik yang dapat kita petik dari
George Washington bahwa seorang pemimpin harus mengambil tanggung jawab personal
atas setiap kebijakan publik yang diambil dalam kepemimpinannya.
Adalah George Washington pemimpin yang membakar semangat warga dari tigabelas
koloni di Amerika Serikat untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintahan Inggris,
ketika tanggung jawab telah disematkan dipundaknya maka tidak ada kata untuk mundur.
Namun demikian saat anggota Dewan Virginia mengutuk tindakannya saat kekalahan
yang menentukan dan mengakibatkan hilangnya Fort Necessity tahun 1754, ia
mengemban sendiri tanggung jawab tersebut dan tidak mengalihkan kepada yang lainnya.
Dengan gagah ia menyatakan bertanggung jawab sendirian atas kesalahan tersebut. Saat
ini kita menyaksikan dari pelajaran yang kita dapatkan pada karakter George Washington
bahwa seorang pemimpin bukanlah seorang figur yang menjaga image bahwa dirinya
lepas dari segenap kesalahan, namun adalah seorang manusia yang tidak luput dari
kesalahan dan ia mengakui dan bertanggung jawab secara personal terhadap setiap
tindakan politik yang diambil, meskipun pada akhirnya kebijakan yang diambil tersebut
terbukti salah. Dengan kejujurannya seorang pemimpin akan terkenang sepanjang masa.
Kedua, sudah saatnya SBY menghadapi dengan tegar segenap kekuatan oposisi politik,
baik di tingkat kekuatan politik maupun kekuatan masyarakat sipil, ketika persoalan
politik sedang menghadangnyha. Dalam menghadapi krisis politik yang tengah terjadi
sudah semestinya Presiden mengambil langkah didepan untuk menjelaskan kepada publik
mengapa suatu kebijakan diambil, apa alasan dan logikanya, langkah apa yang akan
dilakukan dalam jangka waktu cepat dan apa yang akan didapatkan secara transparan dari
langkah-langkah politik yang telah diambil. Arjen Boint, Paul’t Hart et.al (2005) dalam
karyanya The Politics of Crisis Management: Public Leadership Under Pressure
mengutarakan pentingnya penciptaan makna bersama (collective meaning making) oleh
pemimpin dan tim politiknya disaat krisis untuk mengurangi ketidak-stabilan yang
muncul di masyarakat. Pemimpin harus mampu membangun komunikasi politik untuk
menjelaskan apa yang terjadi, mengapa hal ini sampai terjadi, apa yang segera harus
dilakukan oleh pemerintah, bagaimana kebijakan tersebut dapat menyelesaikan persoalan,
bagaimana tokoh-tokoh publik dan masyarakat dapat dilibatkan bersama untuk ikur serta
menyelesakan persoalan. Ketika kondisi krisis tercipta dan pemimpin tidak sigap untuk
menjawab persoalan tersebut, maka yang harus diingat bahwa komunikasi politik terjadi
dalam arena yang kontestatif, pihak lawan politik akan mengambil kesempatan ini dan
melakukan tekanan politik pada elite yang berkuasa.
Saat membaca sejarah, kita menjadi saksi bagaimana mantan Presiden Indonesia KH
Abdurrahman Wahid berani menghadapi lawan-lawan politiknya para legislator, di
gedung DPR RI, maupun teladan Bung Karno seperti telah dijelaskan diawal. Tidaklah
salah apabila Presiden SBY belajar dari momen tersebut. Saatnya dia tidak menghindar
dan justru memanggil para aktivis dan agensi-agensi politik yang saat ini melakukan
protes. Bukankah pada saat bertugas sebagai perwira tinggi pada masa Orde Baru, dirinya
dikenal sebagai jenderal yang rajin berdialog dengan para intelektual dan aktivis gerakan
mahasiswa. Tunjukkan kepada rakyat sebagai pemimpin yang selama ini menyerukan
pentingnya optimisme. SBY siap dan mampu berdialog dengan lawan politiknya dengan
segenap argumen dan penjelasan yang jernih dan rasional. Meskipun baik Abdurrahman
Wahid maupun Soekarno terbukti kalah dalam pertarungan politik dengan rivalnya pada
saat itu, namun kita semua menyaksikan di hati rakyat Indonesia mereka dikenang
sebagai pemimpin bangsa.
Dalam tradisi politik republikanisme yang membentang dari filsuf Romawi Cicero
sampai ke Nicollo Machiavelli dalam Discorsi maupun Il Prince diuraikan bahwa sikap
ksatria (virtue) adalah karakter fundamental yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin
agar ia dicintai oleh rakyatnya. Seorang pemimpin politik harus memiliki sikap berani
menghadapi masalah dan lawan-lawan politiknya. Ia harus menampilkan diri dihadapan
public sebagai pemimpin yang berani secara terbuka berhadapan dengan rival politik dan
menguraikan dengan gagah setiap kebijakan yang telah diambil. Saat seorang pemimpin
terlihat mundur dari persoalan dan keluar dari masalah, maka kebanggaan warga terhadap
pemimpinnya akan menghilang. Kelesuan politik menyebar dan negara maupun
pemerintahan akan kehilangan dukungan dan legitimasi politik dari rakyatnya. Saat
pemimpin tidak mampu menunjukkan karakter virtu nya dihadapan publik, maka tidak
saja rakyat hilang kepercayaan namun otoritas politik akan terancam dipermainkan dan
ditekan oleh rival politik. Hilangnya kewibawaan politik akan mengarah pada hilangnya
otoritas politik dan hilangnya otoritas politik akan membawa pada limbungnya pilar-pilar
republik.
Pada situasi yang sangat genting di bawah ancaman revolusi sosial, De Gaulle bertindak
tenang. Dia tidak mudah terpancing oleh tekanan dan provokasi politik, dan pada saat
yang tepat hadir di hadapan rakyat Prancis dengan menunjukkan integritasnya sebagai
presiden. Kemampuan De Gaulle menjalankan komunikasi politik secara efektif terbukti
berhasil mengembalikan kepercayaan publik dengan memperlihatkan kapasitasnya
sebagai pemimpin untuk menyelesaikan persoalan politik yang dihadapi rakyat Prancis.
Apabila hal ini tidak diubah oleh SBY, menurut hemat penulis ada beberapa hal yang
akan dihadapi oleh Presiden, seperti pernah menulis uraikan dalam Airlangga Pribadi
(2010) Karakter Kepemimpinan dalam Sistem Presidensial yaitu; Presiden akan
menghadapi tekanan dari elite partai-partai politik untuk selalu bertransaksi memasukkan
kepentingan-kepentingan politik mereka yang salah satu caranya adalah dengan berusaha
memasukkan orang-orang mereka sebagai menteri di kabinet SBY. Tanpa ketegasan
kepemimpinan Presiden, maka jabatan publik seperti menteri selanjutnya hanya akan
menjadi proses bongkar-pasang pemerintahan yang tidak berkesudahan untuk
memuaskan kepentingan politik dari elite-elite politik.
Ancaman terpenting dari lemahnya integritas presiden dalam sistem presidensial adalah
terkikisnya dukungan politik dari masyarakat sipil, dan melemahnya kepercayaan rakyat
bahwa Presiden akan dapat menjalankan kepemimpinan dengan performa prima dalam
masa kepemimpinan sampai 2014. Apabila hal ini yang terjadi maka dapat kita prediksi
bahwa lima tahun kepemimpinan dari periode kedua pemerintahan SBY hanya akan
melahirkan sistem presidensial limbung yang selalu terengah-engah dalam menerka dan
menyesuaikan dengan dinamika politik yang tengah berlangsung.
Pendeknya, yang dibutuhkan Presiden SBY untuk memimpin di saat krisis adalah
keberanian menghadapi persoalan yang muncul sebagai akibat dari kebijakan pada masa
kepemimpinannya. Semoga beliau sadar bahwa saat ini bukanlah situasi normal, namun
krisis politik terhadap pemerintahannya yang membutuhkan kehadiran pemimpin yang
berani. (*)
Referensi :
- Airlangga Pribadi (2010), Karakter Kepemimpinan dalam Sistem Presidensial, Tabloid
Inspirasi.
- Airlangga Pribadi, Saatnya Seberani Bung Karno, Jawa Pos.
- Arjen Boin and Paul’t Hart (2005), The Politics of Crisis Management: Public
Leadership Under Pressure, Cambridge University Press.
- Arnold M. Ludwig (2002), King of the Mountain: The Nature of Political Leadership,
Kentucky University Press USA.
- James C. Rees dan Stephen Spignessi (2007), George Washington’s Leadership
Lessons: What The Father of Our Country Teach us About Effective Leadership and
Character. John Wiley and Sons Inc. New Jersey.
- Soekarno (1966), Jangan Sekali-Kali Meninggalkan Sejarah!
http://soekarnoinstitut.com/?mod=berita&id=6392
Rabu, 08 September 2010 13:31:03
Bung Karno – Lintas Juang
BULAN Juni adalah bulannya “Bung Karno”. Se-abad yang lalu, Bung Karno lahir di
Bumi Pertiwi, Nusantara, tepatnya tanggal 6 Juni 1901.
Kemudian di bulan Juni pula Bung Karno pergi ke alam baka, menemui sang Khaliq,
yakni tanggal 21 Juni 1970.
Bung Karno, yang sudah tiada, tetapi semangat juangnya “masih hidup” di dalam jiwa
dan sanubari Rakyat Indonesia.
Di bawah ini, saya punya catat tentang Bung Karno, tentang “lintas juang Bung Karno”.
Saya sajikan tulisan ini, sebagai cermin masa depan bagi kami dan anak cucu kami.
Memang, tak dapat dipungkiri, bagaimanapun juga, ternyata Bung Karno tetap abadi.
Nama Presiden Republik Indonesia yang pertama, Dr.Ir.H.Soekarno, selalu dikenang.
Betapapun gonjang-ganjingnya bumi ini akibat gempa politik, namun sejarah tak pernah
bohong. Sehingga benar apa yang dikatakannya sendiri: “Bangsa yang besar adalah
bangsa yang tak melupakan jasa pahlawannya”.
Bung Karno adalah pahlawan. Dia adalah pejuang dan pembuat sejarah di negara yang
kini sudah bebas merdeka. Terlepas dari belenggu penjajahan kolonial Belanda selama
tiga setengah abad dan cengkeraman kekejaman balatentara Jepang selama tiga setengah
tahun. Kita merdeka. Merdeka dari segala derita. Indonesia merdeka dan merdeka.
Bung Karno dan Bung Hatta atas nama Bangsa Indonesia, 17 Agustus 1945,
memproklamasikan Kemerdekaan Republik Indonesia, di Jakarta.
Itu semua, bukan hadiah, tetapi perjuangan. Perjuangan para pemuda dan anak bangsa
dari seluruh pelosok Nusantara. Bukan sekejap, tetapi sejak berabad-abad lamanya.
Proses demi proses, akhirnya sampailah kita di alam merdeka, membangun dan menuju
keadilan, kemakmuran yang merata. Semua itu, cita-cita kita semua. Termasuk,
keinginan, kehendak dan cita-citamu Bung Karno.
Dr.Ir.H.Soekarno
Kau pimpin kami, rakyatmu sejak merdeka hingga akhirnya kau tiada. Kau bawa bangsa
ini ke alam nyata, di mata dunia. Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika berdasarkan
Pancasila, melepasmu ke alam baqa.
Lahir di Surabaya
Raden Sukemi Sostrodihardjo, seorang bapak dari Kota Blitar, Jawa Timur adalah
manusia yang penuh disiplin. Ia ningrat dari garis keturunan Raja Kadiri. Laki-laki ini
mempersunting gadis Bali, Idayu Nyoman Rai.
Wanita ini juga berdarah biru, keturunan raja di Singaraja Pulau Dewata. Dari perpaduan
dua etnis, Jawa dan Bali ini, lahirlah seorang anak perempuan dan seorang anak laki-laki.
Yang perempuan diberi nama Sukarmini dan adiknya diberi nama: Kusno. Kusno lahir di
Surabaya, Jawa Timur, tanggal 6 Juni 1901.
Pada akhir tahun 1899 Raden Sukemi pindah mengajar di Surabaya. Ia mengajar di
Sekolah Rendah (setingkat SD atau Sekolah Dasar) di Jalan Sulung Surabaya. Raden
Sukemi bersama isterinya, tinggal di kampung Pandean, kawasan Peneleh Surabaya.
Tepatnya di Jalan Pandean IV/40 Surabaya. Kawasan ini, tidak jauh dari Sulung, tempat
Sukemi mengajar.
Pada waktu itu, memang banyak masyarakat Bali yang bermukim di kawasan Peneleh.
Konon pada masa lalu, dermaga Peneleh adalah tempat berlabuhnya kapal dan perahu
layar dari Bali.
Sewaktu tinggal di rumah kontrakan Jalan Pandean IV/40, Peneleh, Surabaya itu, Ida
Nyoman Rai sedang mengandung anak keduanya. Nah, di saat sang surya menanjak naik
dari ufuk timur Surabaya, tanggal 6 Juni 1901, seorang bayi laki-laki lahir ke bumi.
Raden Sukemi memberi nama anak kedua dari isterinya itu, Kusno. Namun, hingga
sekarang belum ada yang memberi kepastian apakah Kusno lahir dengan pertolongan
bidan atau dukun bayi.
Kusno yang masih bayi itu, kemudian dibawa pindah oleh Raden Sukemi bersama
isterinya ke Blitar. Karena Sukemi ditugaskan mengajar di Kota Blitar. Di Kota Blitar
inilah Kusno kecil hidup bersama keluarga besar Raden Sukemi.
Saat pindah ke Kota Blitar itu, suasana di Blitar masih mencekam. Sebagian penduduk
masih mengungsi akibat meletusnya Gunung Kelud. Dari kawahnya masih mengalirkan
lava. Lereng gunung ini dilanda banjir bandang . Galodo itu meleluluhlantakkan segala
tanaman dan menghanyutkan lumpur kawah sampai ke Sungai Kali Brantas. Kabupaten
dan Kota Blitar, serta Kabupaten dan Kota Kediri, bahkan sampai ke Trenggalek dan
Tulungagung langitnya tertutup awan abu.
Nah, akibatnya, Kusno yang masih bayi itu terkena dampaknya. Ia sakit dan sering sakit-
sakitan. Ayahnya, Raden Sukemi yang beragama Islam dan mempercayai budaya Jawa,
mempunyai firasat, bahwa salah memberikan nama kepada anaknya. Nama Kusno yang
diberikan kepada anak laki-lakinya ini dianggap tidak cocok. Mungkin juga salah.
Agar terhindar dari sakit akibat salah memberi nama, sesuai dengan tradisi Orang Jawa,
maka nama Kusno diganti menjadi: Sukarno. Jadi mirip dengan mbakyunya, Sukarmini.
Sukarno kecil kemudian menjadi besar. Disekolahkan, menjadi pandai dan cerdik. Ia
berkembang terus menjadi dewasa. Setelah menjadi manusia dewasa yang cerdik-pandai,
Sukarno mampu menggali ilmu dan menantang zaman. Ia menjadi pemimpin. Ia mampu
memimpin dirinya menjadi manusia berakal dan berakhlak. Iapun dapat jatuh cinta.
Sukarno kemudian berkeluarga: mempunyai isteri, kemudian punya anak dan ia menjadi
bapak.
Kebesaran dirinya menjadikan ia bukan hanya bapak dari anak-anaknya, tetapi ia menjadi
“Bapak Bangsa”. Ia menjadi pemimpin negara. Ia menjadi pemimpin bangsa. Bangsa kita
Indonesia. Namanya berkibar dan terkenal. Ejaan yang U menjadi OE, mempengaruhi
pula pada nama Sukarno. Akibatnya orang menulis namanya menjadi: Soekarno. Konon
Bung Karno sendiri lebih senang kalau namanya ditulis Sukarno, bukan Soekarno.
Untung namanya berganti dari Kusno menjadi Sukarno. Mengapa? Sebab, di zaman
perjuangan kemerdekaan tahun 1940-an, para pemuda saling menyapa dengan panggilan
“bung”. Soekarno dipanggil Bung Karno. Mohammad Hatta, dipanggil Bung Hatta. Sutan
Sahrir disapa sebagai Bung Sahrir. Pokoknya sesama pejuang yang muda-muda kala itu,
kalau berjumpa selalu berteriak dengan tangan dikepalkan: Merdeka bung! Apa kabarnya
Bung! Dan begitulah bung.
Enak dan tepat panggilan untuk Soekarno menjadi Bung Karno. Andaikan namanya tak
diganti, tetap Kusno. Panggilannya tentu Bung Kusno. Bisa-bisa ada yang salah terima,
dikira disuruh membungkus. Sebab, dalam Bahasa Jawa “bungkusno” itu artinya
bungkuskan atau tolong dibungkus. Tetapi, kalau Bung Karno, salah-salah dengar bisa
diarti “bongkarno” atau artinya bongkarlah. Nah, kalau ini tidak masalah. Artinya bagus.
Begitu guyonan masa lalu tentang alihnama Bung Karno yang semula bernama Kusno
menjadi Sukarno.
Adipati Ngawonggo, tokoh pewayangan yang dikenal sebagai kesatria yang berpegang
teguh pada prinsip. Sampai seorang pujangga kenamaan, Mangkunegoro IV, melukiskan
jiwa kesatria Ngawonggo agar menjadi teladan bagi kerabat Mangkunegaran. Ada bentuk
tembang Dandanggula yang dirangkum dalam Tripama.
Nama asli Adipati Ngawonggo adalah Suryaputra dan juga dikenal dengan nama
Basukarno putra Dewi Kunti. Waktu Dewi Kunti masih perawan, tetapi karena kesalahan
menjalankan mantera pemberian Bathara Surya, hamillah dia. Betapa malunya anak raja
hamil sebelum menikah. Harus dicarikan jalan ke luar. Tetapi, dewa selalu serba
mungkin. Anak Kunti yang pertama tidak dilahirkan lewat rahim, namun melalui telinga.
Maka dari itu, dinamakan Basu Karno. Ia kelak dikenal sebagai Adipati Karno yang
berjiwa kesatria, pantang mundur dan berpegang pada prinsip.
Masyarakat Jawa masih dikuasai cerita-cerita pewayangan. Banyak yang hafal luar
kepala cerita Mahabarata, Ramayana dan kisah-kisah carangan lainnya. Sebagai seorang
priyayi, Raden Sukemi yang juga guru Sekolah Rendah (SD), sangat hafal cerita-cerita
tentang kepahlawanan itu. Dia sangat terkesan dengan Adipati Karno. Itulah dasar yang
akhirnya nama anaknya Kusno diubah menjadi Sukarno. Tentu harapannya, kelak
anaknya akan memiliki jiwa kesatriat seperti Adipati karno. Disiplin kuat dan tidak
mudah patah semangat.
Adipati Karno dalam pewayangan masih merupakan saudara Pandawa, Sama-sama anak
Kunti, hanya dari ayah yang berbeda. Untuk melenyapkan aib kerajaan, begitu Basu
Karno lahir, dibuang. Ditemukan oleh seorang kusir dan dibesarkan. Akhirnya ia diberi
kedudukan oleh Kurawa. Waktu perang Barata Yudha, anatara Kurawa dengan Pandawa,
maka Adipati karno memihak Kurawa, sebagai balas budi karena Kurawa yang mengakat
derajatnya, meskipun ia tahu pihk Kurawa salah.
Pada perang Barata Yudha itu Adipati karno gugur di medan laga. Dengan gugurnya
Adipati karno, Kurawa juga tertumpas. Pandawa kembali mendapatkan haknya untuk
menduduki tahta di Kerajaan Astina.
Dari alur cerita pewayangan itu, apakah harapan raden Sukemi kemudian terwujud?
Apakah ada kesamaan antara Adipati Karno dengan Bung Karno? Hanya ahli sejarah
yang bisa menjawabnya.
Umur lima tahun, Sukarno masuk sekolah di SR (Sekolah Rendah) Bumiputera. Sebagai
seorang guru, Raden Sukemi berusaha mencari jalan agar anaknya bisa melanjutkan
sekolah ke sekolah Belanda. Untuk itulah pada saat Sukarno duduk di kelas lima,
ayahnya berusaha memasukkan Sukarno ke kelas enam ELS (Eurpeesche Lagera
School), sekolah untuk anak-anak Belanda. Karena dari sini, ayahnya ingin kelak
Sukarno melanjutkan ke HBS (Hogere Burger School).
Prosedur resmi sulit dilakukan, akhirnya dengan jurus “akal bulus”, Raden Sukemi
mencoba mengontak temannya. Lalu kasak-kusuk ke sana kemari. Ternyata berhasil, dan
jadilah Sukarno sebagai anak Indonesia yang luar biasa waktu itu masuk ke ELS.
Sukarno sekolah sampai tamat di ELS. Kemudian melanjutkan ke HBS di Surabaya.
Waktu itu, baru ada 78 orang anak Indonesia yang sekolah di sana, yang lainnya anak-
anak Belanda dan Eropa.
Pada masa sekolah di Surabaya, maupun ketika kuliah di Bandung, Sukarno senang
membaca dan banyak menulis untuk suratkabar atau majalah. Ia selalu menulis nama
samaran “Bima” untuk tiap tulisannya. Di antaranya ia menjadi penulis tetap di Majalah
“Oetoesan Hindia” pimpinan HOS Cokroaminoto.
Nama Bima yang ada di majalah itu selalu menjadi perhatian Pemerintah Belanda. Ia
pernah menulis dengan judul “Hancurkan segera Kapitalisme yang dibantu oleh budak
Imperialisme. Insya Allah itu segera dapat dilaksanakan”. Tulisan itu benar-benar berani
dan tajam. Cokroaminoto geleng-geleng kepala membaca tulisan itu. Ia bangga melihat
adanya bakat terpendam dari anak muda Sukarno yang mondok di rumahnya itu. Anak itu
terus dibina dan akhirnya terus berkembang.
Ternyata bukan hanya Cokroaminoto yang terkesan terhadap karyatulis Sukarno. Tokoh
pergerakan, Dr.Douwes Dekker Setyabudi, juga memperhatikan bakat anak muda itu.
Apalagi kemudian ia tahu, ternyata Sukarno juga cerdas dan pandai berpidato.
Ada satu pegangan yang menjadi prinsip Sukarno, yaitu pendapat seorang ahli filsafat
yang theosofis, Swami Vivekananda. Pendapat yang selalu dihafal Sukarno adalah:
“Janganlah membuat otakmu menjadi perpustakaan, tetapi pakailah pengetahuannmu
secara aktif”.
Dengan dasar itu, Sukarno melakukan perbandingan antara apa yang dibaca dari buku
dengan apa yang dia dengar dari pidato. Ada pula yang dilihatnya dari alam sekitar dan
kehidupan masyarakat di sekelililingnya.
Selain menjadi guru, Cokroaminoto bagi Sukarno kemudian juga menjadi mertuanya.
Utari yang waktu itu masih gadis remaja usia 16 tahun dinikahinya. Tak lama setelah itu,
Sukarno melanjutkan sekolahnya ke Bandung dan mondok di rumah H.Sanusi dengan
isterinya Inggit Garnasih. Inggit kemudian cerai dengan H.Sanusi dan Sukarno juga cerai
dengan Utari. Janda Inggit dengan duda Sukarno akhirnya menjalin perkawinan. (Cerita
tentang percintaan Utari dan Inggit, baca pada bagian lain—Red).
Saat kuliah di Bandung, semangat kejuangan Sukarno semakin membara. Ia selalu tampil
di panggung, kalau ada kegiatan berpidato. Terbukti ia kemudian terkenal sebagai jago
pidato dan digelari “singa podium”. Ia juga berani menyampai kritik tajam kepada
Pemerintah Kolonial Belanda yang berkuasa dan menjajah tanahair kita ini.
Sukarno berhasil meraih gelar insinyur tanggal 25 Mei 1926, Kemudian dua bulan
kemudian, tepatnya 26 Juli 1926, ia bersama Ir.Anwari teman sekuliahnya dulu
mendirikan Biro Teknik. Tetapi, akibat waktunya banyak digunakan untuk kegiatan
politik, apalagi ia juga sudah mendirikan partai bernama PNI (Partai Nasional Indonesia).
Ada suatu cerita yang cukup unik, kemudian malah membawa berkah sendiri bagi
kehidupan politik Sukarno. Dengan sepeda yang dimilikinya – waktu itu sepeda
merupakan barang luks – ia sering keliling kota Bandung. Bahkan tidak jarang sampai ke
luar kota. Tak dinyana saat mengayuh sepedanya menuju Bandung Selatan, ia terbawa
angin sejuk ke pinggir sawah yang menghijau. Di sebuah hamparan ladang ia melihat
seorang petani yang asyik bekerja.
Sukarno memperhatikan petani pribumi dengan pakaian yang compang camping itu. Ia
sandarkan sepedanya di pinggir pematang, ia terus memperhatikan petani yang asyik
mencangkul ladangnya. Saat Sukarno masih meneawang memperhatikan alam sekitar
yang subur, laki-laki yang mencangkul itu menghentikan pekerjaannya. Ia pergi ke
pematang dan duduk dengan santai. Diambilnya rokok dari kantongnya, dilinting dan
dibakarnya. Kelihatan sekali ia menikmati asap tembakau itu.
Sukarno mendekat dan mengucapkan selamat siang, Betapa terkejutnya, petani itu
melihat seorang anak muda berpakaian necis mendekatinya di tengah sawah. Bung Karno
ikut duduk di atas rumput sembari berdialog dengan petani itu.
Saat ditanya Bung Karno, ia menyebut namanya: Marhaen. Dari tanya jawab itu Bung
karno tertarik akan keluguan petani itu. Ia adalah pemilik sawah itu, juga cangkul yang
digunakannya. Tetapi, setelah ia panen, hasilnya dijual untuk keperluan isteri dan anak-
anaknya. Namun, kenyataannya petani itu tetap saja miskin. Tidak hanya satu orang
petani seperti Marhaen itu. Masih banyak lagi. Mungkin tidak hanya di bandung, Jawa
Barat, tetapi juga di seluruh Jawa, Sumatera dan seluruh bumi Nusantara.
Bahkan dengan Marhaenisme itu pula, Bung Karno kemudian menjadikan PNI menjadi
partai yang besar dengan pengikut yang banyak. Kebesaran partainya mengangkat nama
Bung karno menjadi besar. Dan, Pemerintah Kolonial Belanda akhirnya
memperhitungkan potensi insinyur jurusan arsitek, tetapi mendapat gemblengan politik
dari mertuanya Cokroaminito itu.
Sukarno akhirnya mengikuti jejak para pejuang di negara ini. Ia dijebloskan ke penjara
Sukamiskin di Bandung Timur. Bersama dia juga ditahan Gatot Mangkuprojo,
Supriadinata dan Maskun. Waktu itu, Bung Karno sudah menjadii suami Inggit Garnasih.
Janda muda inilah yang rajin mengunjungi Bung Karno ke penjara. Termasuk
menyelundupkan buku-buku, yang akhirnya menjadi inspirasi Bung Karno untuk
melakukan pembelaan di depan Landraad, yang mengadilinya. Naskah pembelaan yang
ditulis Bung Karno di dalam sel penjara Sukamiskin beralaskan pispot yang dibalik
sebagai meja itu, karena tidak ada meja. Pispot itu tidak pernah digunakan untuk buang
air, tetapai dijadikan untuk menyimpan buku. Akhirnya naskah yang disusunnya di dalam
sel itu menggemparkan dunia.
Bung Karno yang didakwa melakukan tindak pidana yang melanggar Pasal 169 KUHP
(Kitab Undang-undang Hukum Pidana) dan menyalahi Pasal 161, 171 dan 153 de
Haatzaai Artikelen. Pada pokoknya, Sukarno bersama teman-temannya di PNI dianggap
menghasut rakyat dan akan melakukan pemerontakan tahun 1930. Pidato pembelaan
Bung Karno di depan pengadilan itu dikenal dengan judul : “Indonesia Menggugat”.
Dalam penutup uraian pembelaannya Bung Karno memberi ceramah politik yang isinya
antara lain:
“Memang, kami beridiri di hadapan Mahkamah Tuan-tuan ini bukanlah sebagai Sukarno,
bukanlah sebagai Gatot Mangkuprojo, bukannya sebagai Maskun atau Supriadinata.
Kami orang berdiri di sini ialah sebagai bagian dari rakyat Indonesia yang berkeluh kesah
itu, sebagai putera-putera Ibu Indonesia yang setia dan bakti kepadanya. Suara yang kami
keluarkan di dalam gedung mahkamah sekarang ini, tidaklah tinggal di dalam tembok
dan dinding-dinding saja. Suiara kami ini didengar dengarkan pula oleh rakyat yang kami
abdi, mengumandang ke mana-mana, melintasi tanah datar dan gunung dan samodra, ke
Kotaraja sampai Fakfak, ke Ulu Siau dekat Manado sampai ke Timor. Rakyat Indonesia
yang mendengar suara kami ini adalah merasa mendengarkan suaranya sendiri.”
Panjang pidato dan ceramah politik yang dibaca Sukarno. Hakim yang mengadilinya
hanya diam dan mendengar. Begitu pula jaksa dan para polisi Belanda yang menjaga.
Sehingga tidak mengherankan banyak yang berdecak kagum atas pembelaan Bung Karno
itu.
Ternyata bilik dan sel penjara bukan membuat Bung Karno dan para pejuang trauma.
Justru di tempat itulah mereka ditempa dan menjadikan penjara sebagai kawah
Candradimuka yang membuat mereka semakin gigih dan berani.
Setelah menjalani kurungan selama 330 hari atau dua setengah tahun di penjara
Sukamiskin, Bandung itu, tanggal 31 Desember 1931 Bung Karno keluar dari penjara.
Ada kejadian unik terjadi di penghujung tahun itu. Semua taksi, angkutan kota di
Bandung yang waktu itu jumlahnya 50 buah semua dicarter masyarakat yang ingin
menjemput Bung Karno di gerbang penjara. Tidak hanya itu, dokar-dokar pun berarak-
arak menuju perbatasan kota Bandung ke arah Sukamiskin. Begitu juga para pemilik
mobil pribadi, serta sepeda. Semuanya menuju ke arah Sukamiskin. Total hari itu tercatat
98 mobil, 320 dokar dan puluhan lagi sepeda.
Perjuangan Dwitunggal
Nasib para pejuang itu bukannya enak. Namun penuh pengorbanan dan tantangan. Di
tahun 1934, banyak pemimpin pergerakan yang ditangkap dan dibuang jauh dari Pulau
jawa. Mereka diasingkan ke daerah yang masih asing. Ada yang dibuang ke Digul di
Irian, tempat yang jauh dari hububngan dan bahkan di sinilah rawa-rawa tempat
berkembangnya penyakit malaria. Moh.Hatta dan Syahrir, dibuang ke Banda Neira. Tidak
lama menyusul Soekarno dibuang ke Ende di Nusatenggara, kemudian dipindah ke
Bengkulu di Sumatera.
Kehadiran Balatentara Jepang di Indonesi tahun 1942, membawa harapan bagi pejuang
kemerdekaan. Apalagi, Jepang dengan semboyan “Asia Timur Raya Merdeka”, mengajak
dan mengatur strategi untuk menghancurkan penjajahan Bangsa Eropa.
Jepang sudah lama mencatat nama-nama pejuang yang anti Belanda. Nama Sukarno,
Hatta dan Syahrir, merupkan tiga nama yang selalu menjadi incaran Jepang. Bahkan
pihak Jepang berusaha mengambil ke tiga orang ini jangan sampai lepas ke tangan
Belanda. Sebab, saat Jepang masuk Indonesia, tidak sedikit tahanan politik dilarikan
Belanda ke Australia.
Moh.Hatta bersama Syahrir diciduk Jepang dan diamankan di Sukabumi. Bung Karno
yang sedang berada di Bukittinggi sudah dikontak. Dengan rombongan kecil setelah
melewati jalan darat melalui Jambi, Bengkulu dan Palembang, Bung karno bersama
keluarganya tiba di Jakarta dijemput oleh Anwar anak HOS Cokroaminoto, kakak mantan
isteri Bung Karno, Utari.
Dua tokoh, Bung karno dan Bung Hatta, merupkan dua nama yang tak mungkin
dipisahkan. Pihak Jepang selalu melakukan kesepakatan dan perundingan dengan kedua
orang ini. Sehingga, sejak saat itu tercetuslah sebutan untuk kedua orang ini sebagai
“dwitunggal”.
Berdasarkan informasi “radio gelap” yang dipantau Syahrir dan Amir Sarifuddin bersama
anak buahnya, diketahui kedudukan Jepang semakin terdesak oleh Tentara Sekutu.
Dwitunggal yang memperoleh informasi A-1 (pasti) dari Syahrir dan Amir, maka
diaturlah siasat untuk segera membentuk pemerintahan apabila Jepang benar-benar
menyerah kepada Sekutu.
Kerjasama yang dilakukan Dwitunggal dengan pihak Jepang, terus dikembangkan untuk
membentuk barisan pemuda. Digalanglah beberapa pemuda pejuang dan organisasi
pejuang yang sudah ada sebelumnya. Bersama tokoh perjuangan lainnya seperti, Ki Hajar
Dewantoro dan KH Mas Mansur, Dwitunggal Sukarno-Hatta mendirikan Putera (Pusat
Tenaga Rakyat).
Jepang melihat kehadiran Putera itu sebagai kawan yang dapat membantu
kepentingannya, sebaliknya bagi kaum pergerakan, yang kemudian dikenal dengan
sebutan “Empat Serangkai”, yakni Sukarno, Hatta, Ki Hajar Dewantoro dan KH Mas
Mansur, merupakan persiapan untuk menyambut datangnya fajar kemerdekaan.
Selain empat serangkai itu, ada pula kelompok pejuang lainnya. Mereka terdiri dari
empat kelompok. Kelompok pertama pimpinan Amir Sarifuddin, kelompok kedua
pimpinan Syahrir, kelompok ketiga kelompok mahasiswa, serta kelompok keempat
kelompoknya Adam Malik bersama Sukarni, Chairul Saleh dan Pandui Kertawiguna. Di
samping itu ada kelompok lain yang juga bergerak di bawah tanah yang dikendalikan
Muhammad Natsir dan Sjafrudin Prawiranegara.
Perang Timur Raya terus berkobar. Tentara Jepang akhirnya melatih para pemuda
Indonesia menjadi kader-kader pejuang untuk membantu mereka. Didirikan PETA
(Pembela Tanah Air), salah satu pimpinannya Supriadi. Pro-kontra terjadi atas
pembentukan Peta itu. Tetapi setelah Bung Karno meyakinkan, maka Peta berkembang.
Bung Karno mengatakan, memang tujuan Jepang membentuk Peta, untuk
kepentingannya, Namun, bagi kita, adalah sebagai lembaga pendidikan untuk pemuda
pejuang. Jadi, yang masuk Peta harus dipilih dari para pemuda yang berjiwa patriot dan
cinta bangsa.
Akhirnya, memang terbukti, Tentara Dai Nippon semakin terdesak. Pada saat Jepang
mulai loyo, semangat pemuda kita terus berkobar. Bangkit untuk menyongsong era
merdeka.
Tidak hanya itu kemurahan hati yang diperlihatkan Jepang. Rakyat juga dibolehkan
menyanyikan lagu Indonesia Raya dan mengibarkan bendera Merah Putih di samping
bendera Jepang.
Bung Karno dan Bung Hatta di tempat terpisah sama-sama membuat perencanaan dan
konsep-konsep pemerintahan yang bakal lahir, Indonesia merdeka.
Jepang akhirnya benar-benar “bertekuk lutut” kepada Tentara Sekutu setelah Bom Atom
membumihanguskan Hiroshima dan Nagasaki.
Tengah malam, 16 Agustus 1945, di rumah Panglima Angkatan Laut Jepang, Maeda, di
Jalan Imam Bonjol diselenggarakan rapat dibuatlah tek Proklamasi Kemerdekaan.
Dan, paginya, hari Jumat tanggal 17 Agustus 1945, pukul 10.00, “Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia” berkumandang ke seluruh dunia.
Bung Karno membaca teks itu dengan penuh wibawa, sehingga ada yang menyebut suara
Bung Karno menggelegar di corong radio. Disusul kemudian dengan pengibaran Bendera
Merah Putih.
Demikian “lintas juang” Bung Karno, sang putera fajar kelahiran Surabaya, hingga
Indonesia merdeka.
http://jakarta45.wordpress.com/2010/10/17/kepemimpinan-bung-karno-dan-pemimpin-
dunia-lainnya/
-perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70
dan
pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.000
-sukses transmigrasi
-sukses KB
-sukses memerangi buta huruf
-sukses swasembada pangan
-pengangguran minimum
-sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
-sukses Gerakan Wajib Belajar
-sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
-sukses keamanan dalam negeri
-investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
-sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri
Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan
secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam
negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya.
Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau
Orde Baru. Pengucilan politik — di Eropa Timur sering
disebut lustrasi — dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai
Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah
Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto
sebagai pemberontak. Pengadilan
digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru.
Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga
keturunan dianggap sebagai warga negara asing di
Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak
langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka.
Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian
Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh
komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa
tradisional karena pelarangan
sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya
bisa
ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka
pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu
itu
memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa
Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan
menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika
itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia
dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal,
kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai
pedagang,
yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme.
-perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70
dan
pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.000
-sukses transmigrasi
-sukses KB
-sukses memerangi buta huruf
-sukses swasembada pangan
-pengangguran minimum
-sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
-sukses Gerakan Wajib Belajar
-sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
-sukses keamanan dalam negeri
-investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
-sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri
Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan
secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam
negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya.
Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau
Orde Baru. Pengucilan politik — di Eropa Timur sering
disebut lustrasi — dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai
Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah
Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto
sebagai pemberontak. Pengadilan
digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru.
Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga
keturunan dianggap sebagai warga negara asing di
Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak
langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka.
Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian
Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh
komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa
tradisional karena pelarangan
sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya
bisa
ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka
pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu
itu
memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa
Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan
menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika
itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia
dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal,
kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai
pedagang,
yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme.
http://ricko-phantom.blogspot.com/2010/08/kelebihan-dan-kekurangan-orde-maju.html