Anda di halaman 1dari 8

RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang dimaksud dengan Etika Deontologi?


2. Bagaimana prinsip yang ada pada Etika Deontologi?
3. Apa kekuatan/kelebihan dari Etika Deontologi?
4. Apa kesulitan/kekurangan dari Etika Deontologi?
5. Apa saja contoh kasus dalam Etika Deontologi?
6. Tepatkah Etika Deontologi diterapkan dalam kehidupan?

TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui dan memahami apa yang dimaksud dengan Etika Deontologi
2. Mengetahui prinsip yang ada pada Etika Deontologi.
3. Mengetahui Apa kekuatan/kelebihan dari Etika Deontologi.
4. Mengetahui Apa kesulitan/kekurangan dari Etika Deontologi
5. Memahami contoh-contoh kasus dalam Etika Deontologi.
A. PENGERTIAN ETIKA DEONTOLOGI
Etika deontologi adalah sebuah istilah yang berasal dari kata Yunani ‘deon’
yang berarti kewajiban dan ‘logos’ berarti ilmu atau teori. Mengapa perbuatan
ini baik dan perbuatan itu harus ditolak sebagai keburukan, deontologi
menjawab, ‘karena perbuatan pertama menjadi kewajiban kita dan karena
perbuatan kedua dilarang’.

Sejalan dengan itu, menurut etika deontologi, suatu tindakan dinilai baik atau
buruk berdasarkan apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban.
Karena bagi etika deontologi yang menjadi dasar baik buruknya perbuatan
adalah kewajiban. Pendekatan deontologi sudah diterima dalam konteks
agama, sekarang merupakan juga salah satu teori etika yang terpenting.

Dalam pemahaman teori Deontologi memang terkesan berbeda dengan


Utilitarisme. Jika dalam Utilitarisme menggantungkan moralitas perbuatan
pada konsekuensi, maka dalam Deontologi benar-benar melepaskan sama
sekali moralitas dari konsekuensi perbuatan.

Dalam suatu perbuatan pasti ada konsekuensinya, dalam hal ini konsekuensi
perbuatan tidak boleh menjadi pertimbangan. Perbuatan menjadi baik bukan
dilihat dari hasilnya melainkan karena perbuatan tersebut wajib dilakukan.
Deontologi menekankan perbuatan tidak dihalalkan karena tujuannya. Tujuan
yang baik tidak menjadi perbuatan itu juga baik. Di sini kita tidak boleh
melakukan suatu perbuatan jahat agar sesuatu yang dihasilkan itu baik,
karena dalam Teori Deontologi kewajiban itu tidak bisa ditawar lagi karena ini
merupakan suatu keharusan.

Ajarannya : baik buruknya suatu tindakan tidak tergantung akibatnya,


melainkan ada cara bertindak yang begitu saja wajib atau dilarang.

B. PRINSIP ETIKA DEONTOLOGI


Dalam prinsip pada Etika Deontologi ada tiga prinsip yg harus dipenuhi :

1. Supaya tindakan punya nilai moral, tindakan ini harus dijalankan


berdasarkan kewajiban.
2. Nilai moral dari tindakan ini tidak tergantung pada tercapainya tujuan dari
tindakan itu melainkan tergantung pada kemauan baik yang mendorong
seseorang untuk melakukan tindakan itu, berarti kalaupun tujuan tidak
tercapai, tindakan itu sudah dinilai baik.
3. Sebagai konsekuensi dari kedua prinsip ini, kewajiban adalah hal yang
niscaya dari tindakan yang dilakukan berdasarkan sikap hormat pada hukum
moral universal.
Dengan kata lain, suatu tindakan dianggap baik karena tindakan itu memang baik
pada dirinya sendiri, sehingga merupakan kewajiban yang harus kita lakukan.
Sebaliknya, suatu tindakan dinilai buruk secara moral sehingga tidak menjadi
kewajiban untuk kita lakukan. Bersikap adil adalah tindakan yang baik, dan
sudah kewajiban kita untuk bertindak demikian. Sebaliknya, pelanggaran
terhadap hak orang lain atau mencurangi orang lain adalah tindakan yang buruk
pada dirinya sendiri sehingga wajib dihindari.

Bagi Kant, Hukum Moral ini dianggapnya sebagai perintah tak bersyarat
(imperatif kategoris), yang berarti hukum moral ini berlaku bagi semua orang
pada segala situasi dan tempat.

Perintah Bersyarat adalah perintah yang dilaksanakan kalau orang menghendaki


akibatnya, atau kalau akibat dari tindakan itu merupakan hal yang diinginkan dan
dikehendaki oleh orang tersebut. Perintah Tak Bersyarat adalah perintah yang
dilaksanakan begitu saja tanpa syarat apapun, yaitu tanpa mengharapkan
akibatnya, atau tanpa mempedulikan apakah akibatnya tercapai dan berguna
bagi orang tersebut atau tidak.

Dengan demikian, etika deontologi sama sekali tidak mempersoalkan akibat dari
tindakan tersebut, baik atau buruk. Akibat dari suatu tindakan tidak pernah
diperhitungkan untuk menentukan kualitas moral suatu tindakan. Hal ini akan
membuka peluang bagi subyektivitas dari rasionalisasi yang menyebabkan kita
ingkar akan kewajiban-kewajiban moral.

Contoh: Misalkan kita tidak boleh mencuri, berdusta untuk membantu orang lain,
mencelakai orang lain melalui perbuatan ataupun ucapan, karena dalam Teori
Deontologi kewajiban itu tidak bisa ditawar lagi karena ini merupakan suatu
keharusan.

Atas dasar itu, etika deontologi sangat menekankan motivasi, kemauna baik dan
watak yang kuat untuk bertindak sesuai dengan kewajiban. Bahkan menurut
Kant, kemauan baik harus dinilai baik pada dirinya sendiri terlepas dari apa pun
juga. Maka, dalam menilai tindakan kita, kemauan baik harus dinilai paling
pertama dan menjadi kondisi dari segalanya.

C. KEKUATAN ETIKA DEONTOLOGI

1. Memberi dasar kokoh bagi rasionalitas dan objektivitas kesadaran moral

Dengan menekankan bahwa prinsip moralitas bisa diturunkan secara apriori


dari akalbudi murni dan tidak ditentukan baik oleh objek tindakan, oleh akibat-
akibatnya, maupun oleh kepentingan-kepentingan subjek pelaku, maka etika
deontologis Kant memberi dasar yang kokoh bagi rasionalitas dan objektivitas
kesadaran moral. Seperti sudah pernah kita bicarakan, rasionalitas kesadaran
moral menuntut bahwa penentuan benar salahnya tindakan atau baik buruknya
kelakuan manusia itu bukan hanya perkara selera atau perasaan belaka dari
orang yang memberi penilaian, melainkan bahwa itu berdasarkan suatu prinsip
yang nalar (masuk akal). Keputusan moral itu bisa dan perlu dipertang-
gungjawabkan sehingga kebenarannya dapat diuji oleh orang lain. Objektivitas
kesadaran moral juga dijamin oleh etika deontologis melawan arus subjektivisme
dan relativisme, karena prinsip yang secara apriori diturunkan dari akalbudi murni
itu prinsip yang berlaku umum dan mengikat secara mutlak setiap manusia
sejauh ia mahkluk yang berakalbudi (rasional).

2. Memberi tolok ukur yang perlu dan penting untuk menilai moralitas
suatu tindakan, yakni prinsip universalitas.

Imperatif kategoris Kant sebagaimana dirumuskan di atas, kendati,


seperti masih akan kita lihat di bawah, belum mencukupi sebagai tolok ukur
penilaian moralitas tindakan, sudah memberi salah satu unsur yang memang
perlu dan penting, yakni prinsip universalitas. Tindakan yang secara moral
betul setidak-tidaknya mesti didasarkan atas prinsip yang tidak hanya berlaku
untuk subjek pelaku tertentu dan pada waktu serta kondisi tertentu, melainkan
pada prinsip yang bisa disetujui dan berlaku untuk semua orang di mana dan
kapan saja mereka berada.

3. Menjamin otonomi dan keluhuran martabat manusia.

Etika deontologis Kant yang menekankan peranan akalbudi sendiri


sebagai sumber hukum yang wajib ditaati secara mutlak, menolak segala bentuk
heteronomi atau penentuan dari luar. Akalbudi praktis atau kehendak yang
rasional bagi Kant adalah otonom, karena ia tidak tunduk pada hukum lain
selaian yang telah ditetapkannya sendiri. Kant barusaha menghindarkan bahaya
heteronomi etika teonom dengan menempatkan Tuhan, sebagai sumber hukum
yang tertinggi dan tujuan akhir yang bersifat mutlak, di luar ruang lingkup
moralitas. Hukum-hukum Tuhan secara moral mengikat mutlak sejauh itu
disadari begitu oleh akalbudi. Adanya Tuhan dalam filsafat Kant hanyalah salah
satu postulat untuk moralitas dan bukan bagian hakiki dan konstitutif darinya.

Etika deontologis Kant juga menjamin keluhuran martabat manusia, karena


seperti nampak dari perumusan kedua imperatif kategoris di atas, manusia mesti
diperlakukan sebagai tujuan dalam dirinya sendiri dan tidak pernah melulu
sebagai sarana. Setiap manusia sebagai pengada rasional adalah seorang
pribadi yang bermartabat luhur. Manusia dalam etika Kant tak pernah boleh
diperalat untuk suatu tujuan-tujuan tertentu yang pencapaiannya mengorbankan
manusia tersebut. Dalam hal ini etika Kant misalnya bisa berfungsi kritis terhadap
sikap utilitarian yang sering muncul sebagai argumen bagi pembenaran tindakan
penggusuran atau pengorbanan seseorang/kelompok demi kepentingan orang
banyak.
D. KESULITAN DALAM ETIKA DEONTOLOGI

1. Tidak memberi tempat bagi adanya dilema moral dan tidak bisa
memberi jalan keluar bila terjadi konflik prinsip moral

Dilema moral adalah situasi ketika seorang pelaku S secara moral wajib
untuk melakukan A dan sekaligus juga secara moral wajib untuk melakukan B,
namun ia tak dapat melakukan keduanya sekaligus, entah karena dengan
melakukan A itu berarti ia tidak melakukan B, atau karena keterbatasannya
sebagai manusia tidak memungkinkan untuk melakukan keduanya sekaligus.

etika deontologi tidak memadai untuk menjawab pertanyaan bagaimana saya


harus bertindak dalam situasi konkret yang dilematis itu. Ketika ada dua atau
lebih kewajiban yang saling bertentangan, ketika kita harus memilih salah satu
sambil melanggar yang lain, etika deontologi tidak banyak membantu karena
hanya mengatakan, bertindaklah sesuai dengan kewajibanmu.

Karena etika deontologis Kant tidak memberi ruang pada adanya


dilemma moral, maka ia juga tidak bisa memberi jalan keluar bila terjadi konflik
prinsip moral.

Misalnya : seorang dokter berdasarkan prinsip informed consent wajib secara


moral memberitahukan kepada pasiennya apa yang menjadi penyakit dia
sesungguhnya, sehingga ia perlu menjalani treatment tertentu. Akan tetapi
pasien tersebut juga mengidap penyakit jantung dan ada kemungkinan besar
bahwa pemberitahuan apa adanya mengenai penyakitnya akan menyebabkan
dia terkejut dan malah mati mendadak. Dalam hal ini prinsip informed consent
dan sekaligus prinsip larangan untuk berbohong, bertabrakan dengan prinsip
hormat terhadap hidup manusia. Karena dalam sistem etika deontologis semua
kewajiban moral mengikat setiap makhluk rasional secara mutlak, maka dalam
kasus tersebut dokter berhadapan dengan suatu dilema moral yang sulit dicari
jalan keluarnya. Etika deotologis tidak memberi tempat bagi penentuan
kewajiban kongkrit berdasarkan pertimbangan akibat tindakan.

2. Kemutlakan norma tanpa kemungkinan pengecualian dengan


mengindahkan akibat tindakan, sulit diterima

Teori etika deontologis tidak mengenal pengecualian, ada norma ada


kewajiban yang mengikat mutlak; jadi harus dilaksanakan entah apa pun
akibatnya. Kant misalnya memberi contoh bahwa orang wajib untuk mengatakan
yang benar, meskipun dalam kasus ada seorang pembunuh bayaran yang
mencari seseorang yang saya tahu di mana dia bersembunyi. Argumen dia yang
mengatakan bahwa kalau kita berdusta dengan maksud untuk melindungi atau
menyelamatkan nyawa orang itu lalu menunjuk suatu tempat lain, padahal
kebetulan orang yang dimaksud tanpa sepengetahuan kita sudah pindah ke
tempat yang kita tunjuk itu, sehingga si pembunuh tadi berhasil menemukan dan
membunuh dia, kita salah dua kali: pertama melanggar kewajiban untuk berkata
benar, dan yang kedua menyebabkan orang itu mati dibunuh. Sedangkan kalau
kita mengatakan sebenarnya, andaikan orang itu lalu terbunuh, maka
pembunuhan itu bukanlah karena kesalahan kita. Argumen ini rupanya tidak
begitu meyakinkan.

3 . Imperatif kategoris Kant melulu formal, hingga tidak membantu


mengerti kewajiban mana yang secara konkret mengikat seorang pelaku
moral.

Dengan mengembalikan semua norma norma kepada satu prinsip saja,


yakni imperatif kategoris, Kant bisa menghindarkan diri dari adanya konflik
norma, tetapi dia tidak berhasil untuk menunjukkan bagaimana dari satu norma
dasar yang melulu bersifat formal itu dapat disimpulkan norma-norma material
konkret yang wajib diikuti. Imperatif kategoris hanya menegaskan apa yang tidak
boleh dilakukan (misalnya: jangan ingkar janji, jangan dusta, jangan bunuh diri
dsb.), bukan apa yang secara positif perlu dilakukan. Mengenai kegiatan-
kegiatan apa yang harus dilakukan, tujuan-tujuan mana perlu dikejar, imperatif
kategoris tidak memberi keterangan apa-apa. Moralitas dalam hal ini lalu hanya
menetapkan batas-batas ruang lingkup kegiatan hidup kita, tetapi tidak memberi
arah. Imperatif kategoris Kant memberi tolok ukur untuk menguji benar tidaknya
suatu kaidah tindakan, tetapi tidak membantu mengetahui dari mana seorang
pelaku moral memperoleh kaidah yang mau diuji tersebut. Dengan demikian
moralitas dalam teori etika Kant mengandaikan adanya suatu praktek moral yang
sudah berlaku.

 Keberlakuan prima facie

Salah satu jalan keluar dari konflik prinsip moral dalam teori etika
deontologis Kant ditunjuk oleh Sir W.D. Ross (1877-1971). Ross membedakan
antara kewajiban yang sungguh-sungguh berlaku. Menurut Ross, semua
kewajiban moral memang berlaku tanpa kekecualian, tetapi hanya prima facie.
Berlaku prima facie berarti: berlaku kalau masalahnya hanya dilihat dari segi
kewajiban itu saja, jadi kalau tidak ada alasan-alasan moral dari segi kewajiban
lain yang perlu diperhatikan. Dengan demikian suatu kewajiban hanya mengikat,
kalau tidak ada kewajiban lain yang juga mengikat. Kalau ada kewajiban yang
bertentangan, orang yang bersangkutan harus memilih menurut keinsafannya
sendiri, dan untuk itu tidak ada peraturan lagi. Jadi suatu norma moral dengan
sendirinya hanya berlaku prima facie, tidak sungguh-sungguh. Manakah
kewajiban yang sungguh-sungguh berlaku bagi seseorang, artinya yang betul-
betul mengikat dia dalam batin, tidak dapat dipastikan secara teoretis. Jadi kita
secara teoretis hanya dapat mengatakan norma mana saja yang berlaku dan
sejauh mana kekuatannya, tetapi bagaimana suatu tabrakan antara dua norma
yang seimbang dipecahkan hanya dapat disadari dan diputuskan oleh yang
bersangkutan, jadi yang berada secara konkret dalam situasi itu. Dengan
demikian teori deontologis menurut paham Ross juga menjamin apa yang
menjadi inti usaha Etika Situasi: bahwa tidak mungkin suatu masalah konkret
dapat dipecahkan seratus persen dari balik meja saja.

E. CONTOH KASUS DARI ETIKA DEONTOLOGI :


1. Jika seseorang diberi tugas dan melaksanakannya sesuai dengan tugas maka
itu dianggap benar, sedang dikatakan salah jika tidak melaksanakan tugas.

2. Suatu tindakan bisnis akan dinilai baik oleh etika deontology bukan karena
tindakan itu mendatangkan akibat baik bagi pelakunya melainkan karena
tindakan itu sejalan dengan kewajiban si pelaku untuk misalnya menberikan
pelayanan terbaik untuk semua konsumennya, untuk mengembalikan hutangnya
sesuai dengan perjanjian , untuk menawarkan barang dan jasa dengan mutu
sebanding dengan harganya.

3. PT. PLN memonopoli kelistrikan nasional, kebutuhan listrik masyarakat


sangat bergantung pada PT. PLN, tetapi mereka sendiri tidak mampu secara
merata dan adil memenuhi kebutuhan listrik masyarakat. Hal ini ditunjukkan
dengan banyaknya daerah-daerah yang kebutuhan listriknya belum terpenuhi
dan juga sering terjadi pemadaman listrik secara sepihak sebagaimana contoh
diatas. Kejadian ini menyebabkan kerugian yang tidak sedikit bagi masyarakat,
dan investor menjadi enggan untuk berinvestasi. Dalam kasus ini, PT.
Perusahaan Listrik Negara (Persero) sesungguhnya mempunyai tujuan yang
baik, yaitu bertujuan untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional. Akan tetapi tidak
diikuti dengan perbuatan atau tindakan yang baik, karena PT. PLN belum mampu
memenuhi kebutuhan listrik secara adil dan merata. Jadi menurut teori etika
deontologi tidak etis dalam kegiatan usahanya.

4. Baru-baru ini terjadi kasus penculikan generasi muda yang dilakukan oleh
teman facebooknya, yang belum sama sekali bertemu. Tetapi, ada oknum yang
mengajak teman facebooknya bertemu kemudian membawa lari teman
facebooknya tersebut. Kasus ini tentunya membuat para orang tua resah karena
takut terjadi hal yang serupa pada anaknya. Para generasi muda yang
menggunakan jejaring sosial memiliki niat serta motif yang baik adalah untuk
bersilaturahmi serta mengenal dan memperbanyak teman. Tetapi oknum-oknum
yang tidak bertanggungjawab memanfaatkan hal ini untuk melakukan perbuatan
yang tidak benar seperti penculikan. Dari kasus ini ahli teori deontologikal menilai
perbuatan menggunakan facebook ialah baik karena niatnya untuk menjaga
silaturahmi dan memperbanyak teman. Tetapi, bagi para teleologikal tidak baik
karena yang dilihat teleogikal adalah akibat. Akibat dari perbuatan menggunakan
facebook ialah ada oknum yang memanfaatkan kesempatan ini untuk penculikan.

F.TEPATKAH ETIKA DEONTOLOGI DITERAPKAN DALAM


KEHIDUPAN?
Tidak! Karena dalam semua teori penting yang dibahas tidak terdapat satu
sistem pun sama sekali memuaskan, yang bisa menjadi jawaban satu-satunya
atas pemecahan masalah hidup kita. Tetapi antar teori sebaiknya harus saling
mendukung.

Seperti contohnya dalam Utilitarisme menggantungkan moralitas perbuatan pada


konsekuensi, sedangkan dalam Deontologi benar-benar melepaskan sama sekali
moralitas dari konsekuensi perbuatan. Seharusnya antara Teori Etika Utilitarisme
harus kita seimbangkan dengan Teori Etika Deontologi. Selain itu dengan kita
menganut suatu Teori Etika tertentu, kemungkinan akan menjadikan kita
seseorang yang fanatisme buta yang berujung akan merugikan diri kita sendiri
dan juga orang ain.
Maka sebaiknya antara Teori Etika yang ada harus kita seimbangkan dan kita
terapkan sisi positifnya serta kita tinggalkan sisi negatifnya.

Anda mungkin juga menyukai