Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PENDAHULUAN

ABSES

Disusun Oleh :
Nama : Lailis Safitri
NIM : 62019040032

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUDUS
TAHUN 2019/2020
A. DEFINISI
Abses (Latin: abscessus) merupakan kumpulan nanah (netrofil yang telah mati) yang
terakumulasi di sebuah kavitas jaringan karena adanya proses infeksi (biasanya oleh
bakteri atau parasit) atau karena adanya benda asing (misalnya serpihan, luka peluru, atau
jarum suntik). proses ini merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan untuk mencegah
penyebaran/perluasan infeksi ke bagian tubuh yang lain. Abses adalah infeksi kulit dan
subkutis dengan gejala berupa kantong berisi nanah (Siregar, 2004 dalam Nurarif &
Kusuma, 2013).
Abses adalah pengumpulan nanah yang terlokalisir sebagai akibat dari infeksi yang
melibatkan organisme piogenik, nanah merupakan suatu campuran dari jaringan nekrotik,
bakteri, dan sel darah putih yang sudah mati yang dicairkan oleh enzim autolitik (Morison,
2003 dalam Nurarif & Kusuma, 2013).

B. ETIOLOGI
Menurut Siregar, 2004 dalam Nurarif & Kusuma, 2013, abses dapat disebabkan
karena adanya:
1. Infeksi satu penyebab yang paling sering ditemukan pada proses radang ialah infeksi
mikrobial. Virus menyebabkan kematian sel dengan cara multiplikasi intraseluler.
Bakteri melepaskan eksotoksin yang spesifik yaitu suatu sintesis kimiawi yang
secara spesifik mengawali proses radang atau melepaskan endotoksin yang ada
hubungannya dengan dinding sel.
2. Reaksi hipersentivitas
Reaksi hipersentivitas terjadi bila perubahan kondisi respon imunologi mengakibatkan
tidak sesuainya atau berlebihannya reaksi imun yang akan merusak jaringan.
3. Agen fisik
Keruskan jaringan yang terjadi pada proses radang dapat melalui truma fisik,
ultraviolet atau radiasi ion, terbakar atau dingin yang berlebih (frosbite).
 Bahan kimia iritan dan korosif
Bahan kimiawi yang menyebabkan korosif (bahan oksidan, asam, basa) akan
merusak jaringan yang kemudian akan memprovokasi terjadinya proses radang.
Disamping itu, agen penyebab infeksi dapat melepaskan bahan kimiawi
spesifik yang mengiritasi dan langsung mengakibatkan radang.
C. MANIFESTASI KLINIK
1. Nyeri
2. Nyeri tekan
3. Teraba hangat
4. Pembengkakan
5. Kemerahan
6. Demam
Suatu abses yang terbentuk tepat dibawah kulit biasanya tampak sebagai benjolan. Adapun
lokasi abses antara lain ketiak, telinga dan tungkai bawah. Jika abses akan pecah, maka
daerah pusat benjolan akan lebih putih karena kulit diatasnya menipis.

D. PATOFISIOLOGI
Proses abses merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan untuk mencegah
penyebaran atau perluasan infeksi ke bagian lain tubuh. Organisme atau benda asing
membunuh sel-sel lokal yang pada akhirnya menyebabkan pelepasan sitokin. Sitokin
tersebut memicu sebuah respon inflamasi (peradangan) yang menarik kedatangan
sejumlah besar sel-sel darah putih (leukosit) ke area tersebut dan meningkatkan aliran
darah setempat.
Struktur akhir dari suatu abses adalah dibentuknya dinding abses, atau kapsul, oleh
sel-sel sehat di sekeliling abses sebagai upaya untuk mencegah pus menginfeksi struktur
lain di sekitarnya. Meskipun demikian, seringkali proses enkapsulasi tersebut justru
cenderung menghalangi sel-sel imun untuk menjangkau penyebab peradangan (agen
infeksi atau benda asing) dan melawan bakteri-bakteri yang terdapat dalam pus. Abses
harus dibedakan dengan empyema. Empyema mengacu pada akumulasi nanah di dalam
kavitas yang telah ada sebelumnya secara normal, sedangkan abses mengacu pada
akumulasi nanah di dalam kavitas yang baru terbentuk melalui terjadinya abses tersebut.
Abses adalah suatu penimbunan nanah, biasanya terjadi akibat suatu infeksi bakteri.
Jika bakteri menyusup ke dalam jaringan yang sehat, maka akan terjadi infeksi. Sebagian
sel mati dan hancur, meninggalkan rongga yang berisi jaringan dan sel-sel yang terinfeksi.
Sel-sel darah putih yang merupakan pertahan tubuh dalam melawan infeksi, bergerak ke
dalam rongga tersebut dan setelah menelan bakteri, sel darah putih akan mati. Sel darah
putih yang mati inilah yang membentuk nanah, yang mengisi rongga tersebut.
Akibat penimbunan nanah ini, maka jaringan di sekitar akan terdorong. Jaringan pada
akhirnya tumbuh disekeliling abses dan menjadi dinding pembatas abses, hal ini
merupakan mekanisme tubuh untuk mencegah penyebaran infeksi lebih lanjut. Jika suatu
abses pecah di dalam maka infeksi bisa menyebar di dalam tubuh maupun dibawah
permukaan kulit, tergantung kepada lokasi abses (Price, 2005)

E. PATHWAY

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium biasanya ditemukan peningkatan sel darah putih
(leukosit) yang diakibatkan oleh terjadinya inflamasi atau infeksi pada skrotum.
2. Selain itu dapat dilakukan kultur urin dan pewarnaan gram untuk mengetahui kuman
penyebab infeksi.
 Analisa urin untuk melihat apakah disertai pyuria atau tidak.
 Kultur darah bila dicurigai telah terjadi infeksi sistemik pada penderita
3. USG, CTscan, MRI dan rontgen dilakukan untuk menentukan lokasi dan ukuran abses.
G. PENATALAKSANAAN MEDIS
Abses luka biasanya tidak membutuhkan penanganan menggunakan antibiotik.
Namun demikian, kondisi tersebut butuh ditangani dengan intervensi bedah, debridement
atau kuretase. Suatu abses harus diamati dengan teliti untuk mengidentifikasi
penyebabnya, utamanya apabila disebabkan oleh benda asing karena benda asing tersebut
harus diambil. Apabila tidak disebabkan oleh benda asing, biasanya hanya perlu dipotong
dan diambil absesnya, bersama dengan pemberian obat analgetik. Drainase, abses dengan
menggunakan pembedahan biasanya diindikasi apabila abses telah berkembang dari
peradangan serasa yang keras menjadi tahap nanah yang lebih lunak.
Karena seringkali abses disebabkan oleh bakteri staphycoccus aureus, antibiotik
antistafilokokus seperti fluxocillin atau didoxacillin sering digunakan. Dengan adanya
kemunculan stophylococcus aureus yang dapat melalui komunitas, antibiotik biasa
tersebut menjadi tidak efektif.

H. PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
Pola-Pola Fungsi Kesehatan
a. Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat : Pada kasus abses akan timbul
ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya, apakah klien melakukan
olahraga atau tidak
b. Pola Nutrisi dan Metabolisme : Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu
menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi
dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar
matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal
terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan
mobilitas klien.
c. Pola Eliminasi : dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola
eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi urin dikaji frekuensi, kepekatannya,
warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
d. Pola Tidur dan Istirahat : pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana
lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.
e. Pola Aktivitas : dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien.
Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding
pekerjaan yang lain
f. Pola Hubungan dan Peran : Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan
dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap
g. Pola Persepsi dan Konsep Diri : dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu
timbul ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan
terhadap dirinya yang salah (gangguan body image)
h. Pola Sensori dan Kognitif : pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama
pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan.
i. Pola Reproduksi Seksual : dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa
melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan
gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status
perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya
j. Pola Penanggulangan Stress : pada klien abses timbul rasa cemas tentang keadaan
dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi
tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
k. Pola Tata Nilai dan Keyakinan : klien abses tidak dapat melaksanakan kebutuhan
beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi

2. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b.d agen cidera biologis (infeksi)
2. Kerusakan integritas jaringan b.d prosedur bedah
3. Resiko infeksi b.d ketidakadekuatan pertahanan sekunder (leucopenia)

3. Intervensi Keperawatan

NO Dx. NOC NIC


Keperawatan
1. Domain 12, kelas Kontrol nyeri 1. Management nyeri
1, nyeri akut b.d Indikator : a. Lakukan pengkajian
agen cidera fisik  160502:mengenali nyeri meliputi lokasi,
(trauma), kode kapan nyeri terjadi frekuensi, kualitas dan
00132 Skala target outcome faktor pencetus
dipertahankan pada b. Ajarkan prinsip-
jarang menunjukkan (2) prinsip management
ditingkatkan ke kadang- nyeri
kadang menunjukkan (3) 2. Terapi relaksasi
 160503:menggunakn a. Gambarkan manfaat
tindakan pencegahan relaksasi dan jenis
Skala target outcome relaksasi yang tersedia
dipertahankan pada (misalnya musik,
jarang menunjukkan (2) mediasi, bernafas
ditingkatkan ke kadang- dengan ritme)
kadang menunjukkan (3) b. Ciptakan lingkungan
 160505:menggunaka yang tenang
n analgesik yang 3. Pengurangan kecemasan
direkomendasikan a. Gunakan pendekatan
Skala target outcome yang tenang dan
dipertahankan pada meyakinkan
jarang menunjukkan (2) b. Berikan informasi
ditingkatkan ke kadang- faktual terkait
kadang menunjukkan (3) diagnosis, perawatan
dan prognosis
4. Peresepan obat
a. Kaji alergi yang
diketahui
b. Konsultasikan dengan
dokter atau petugas
farmasi sesuai
kebutuhan
2. Domain 11, kelas Integritas jaringan; kulit 1. Pengecekan kulit
2, kerusakan & membran mukosa a. Monitor warna dan
integritas jaringan Indikator : suhu kulit
b.d prosedur 110113 : integritas kulit b. Amati warna,
bedah kode 00044 Skala target outcome bengkak, pulsasi,
dipertahankan pada tekstur, edema, dan
cukup terganggu (3) ulserasi pada
ditingkatkan kesedikit ekstremitas
terganggu (4) 2. Perawatan luka
110115 : lesi pada kulit a. Bersihkan dengan
Skala target outcome normal atau pembersih
dipertahankan pada yang tidak beracun
cukup terganggu (3) b. Ganti balutan
ditingkatkan kesedikit 3. Perlindungan infeksi
terganggu (4) a. Monitor adanya tanda
gejala infeksi
b. Ajarkan pasien dan
keluargabagaimana
menghindari infeksi
4. Pemberian obat
a. Resepkan obat yang
sesuai berdasarkan
kewenangan dokter
b. Keluarkan narkotik
dan obat terlarang
sesuai dengan protokol
3. Domain 4, kelas Keparahan infeksi 1. Pengecekan kulit
4, resiko infeksi Indikator : a. Monitor warna dan
b.d 070303 : cairan (luka) suhu kulit
ketidakadekuatan yang berbau busuk b. Amati warna,
pertahanan Skala target outcome bengkak, pulsasi,
sekunder dipertahankan pada tekstur, edema, dan
(leucopenia) kode deviasi yang cukup berat ulserasi pada
00204 (2) ditingkatkan ke ekstremitas
deviasi sedang (3) 2. Perlindungan infeksi
070333: nyeri a. Berikan perawatan
Skala target outcome kulit yang tepat
dipertahankan pada b. Periksa setiap kondisi
deviasi yang cukup berat sayatan bedah atau
(2) ditingkatkan ke luka
deviasi sedang (3) 3. Kontrol infeksi
a. Ajarkan cara cuci
tangan yang benar
b. Anjurkan pasien dan
pengunjung untuk cuci
tangan
4. Peresepan obat
a. Resepkan obat yang
sesuai berdasarkan
kewenangan dokter
b. Keluarkan narkotik
dan obat terlarang
sesuai dengan protokol

DAFTAR PUSTAKA

Gloria, B. M. (2016). Nursing Interventionts Classification (NIC). Jakarta:


Mecommedia.

Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2015-2017). Diagnosis Keperawatan Definisi dan


Klarifikasi Edisi 10. Jakarta: EGC.

Moorhead, S. (2016). Nurshing Outcomes Classification (NOC). Jakarta:


Mecommedia.

Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa Medis dan NANDA NIC NOC. Jogjakarta: Mediaction.

Anda mungkin juga menyukai